Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara
KEBERADAAN FUNGI SELULOLITIK PADA TANAH BEKAS
KEBAKARAN DI KABUPATEN SAMOSIR
SKRIPSI
OLEH :
RIONALDO MELVIN SILALAHI / 091201039 BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
(2)
ABSTRAK
RIONALDO MELVIN SILALAHI: Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Dibawah bimbingan DELVIAN dan DENI ELFIATI.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir serta sifat kimia dan biologi tanah yang mempengaruhi keberadaannya. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah dan Laboratorium Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dimulai dari Oktober 2013 sampai Januari 2014. Sampel diambil berdasarkan 5 kelompok yaitu: Kontrol (yang tidak terbakar), tanah dari bekas kebakaran tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013. Hasil analisis sifat kimia termasuk dalam kategori rendah dan jumlah dari total mikroorganisme tanah pada sifat biologi tanah yaitu 100,68 x 103 SPK/ml. Hasil pengamatan secara makrokopis dan mikrokopis yaitu pada sampel K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12 T2P5 menunjukkan bahwa fungi selulolitik termasuk dalam genus Aspergillus.
(3)
ABSTRACK
RIONALDO MELVIN SILALAHI: The Existence of Cellulolytic Mushroom on
Land of Former Fires in Samosir Regency, North Sumatra. Under guidance of
DELVIAN and DENI ELFIATI.
This research aims to study the presence of cellulolytic mushroom on land of fire in Samosir Regency as well as chemical and biological soil properties that affect its existence . The study was conducted at the Laboratory of Soil Biology and Central Laboratory , Agriculture Faculty, University of North Sumatra, starting from October 2013 until January 2014 . Samples were taken based on 5 groups: control ( unburned ), the land of the former fires in 2010 , 2011, 2012 , and 2013. The results of the analysis of chemical properties are included in the low category and the total number of soil microorganisms on the biological properties of the soil that is 100.68 x 103 SPK / ml . Observations in makrokopis and mikrokopis for the K sample T1P1 , T1P3 K , K T1P4 , T2P5 K , 10 T1P1 , T1P4 10 , 10 T2P3 , T2P2 11 , 11 T2P5 , and T2P5 12 showed that cellulolytic mushroom belonging to the genus Aspergillus .
(4)
RIWAYAT HIDUP
Rionaldo Melvin Silalahi dilahirkan di Desa Pematang Panjang,
Kabupaten Batubara pada tanggal 29 Mei 1991. Anak kedua dari empat
bersaudara dari Ayahanda L. Silalahi, SP dan Ibunda R. Sidabutar, S.Pd.. Pada
tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD.010221 Air
Putih, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara. Pada tahun 2006 lulus dari
SMP Negeri 2 Air Putih, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara. Pada tahun
2009 lulus dari SMA Swasta Methodist-8 Medan, dan pada tahun yang sama
penulis diterima sebagai Mahasiswa Universitas Sumatera Utara melalui jalur
Ujian Masuk Bersama (UMB) Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, pada tahun 2011 penulis mengikuti
Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Hutan Pendidikan USU
TAHURA, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penulis juga melaksakan Praktek
Kerja Lapang (PKL) di KPH Garut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada
bulan Februari sampai dengan Maret 2013.
Penulis melakukan penelitian pada bulan Oktober 2013 sampai dengan
Januari 2014 dengan judul “ Keberadaan Fungi Selulolitik Pada Tanah Bekas
Kebakaran di Kabupaten Samosir” di bawah bimbingan Dr. Delvian, S.P, M.P.
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas segala rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian
saya yang berjudul “ Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran
di Kabupaten Samosir “ ini dengan baik.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada
banyak pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan hasil penelitian ini:
1. Komisi Pembimbing penulis yaitu Dr. Delvian, SP, MP. sebagai ketua
komisi pembimbing dan Dr. Deni Elfiati, SP, MP. sebagai anggota komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan selama penelitian
hingga penulisan hasil penelitian ini selesai.
2. Ayah dan Ibu serta keluarga yang telah membesarkan, mendidik, serta
selalu mendukung penulis lewat doanya yang tulus.
3. Teman-teman di Program Studi Kehutanan khususnya stambuk 2009, serta
seluruh pegawai di Program Studi Kehutanan.
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan khususnya di bidang kehutanan. Akhir kata penulis
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI……… ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan ... 4
Tipe Kebakaran Hutan ... 5
Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Mikroorganisme Tanah….. 7
Sifat Kimia Tanah ... 7
Sifat Biologi Tanah... . 10
Fungi Selulolitik... 11
Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 14
Kecamatan Pangururan... 14
Kecamatan Simanindo... 15
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
Bahan dan Alat ... 16
Metode Penelitian ... 16
Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel ... 16
Pengambilan Sampel Tanah……….. 17
Parameter Pengamatan ... 17
Prosedur Penelitian... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sifat Kimia Sampel Tanah Bekas Kebakaran…….. 20
Total Mikroorganisme Tanah... 23
Fungi Selulolitik... 25
Identifikasi Fungi Selulolitik. ... 28
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... ... 32
Saran... ... 32
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(7)
ABSTRAK
RIONALDO MELVIN SILALAHI: Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Dibawah bimbingan DELVIAN dan DENI ELFIATI.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir serta sifat kimia dan biologi tanah yang mempengaruhi keberadaannya. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah dan Laboratorium Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dimulai dari Oktober 2013 sampai Januari 2014. Sampel diambil berdasarkan 5 kelompok yaitu: Kontrol (yang tidak terbakar), tanah dari bekas kebakaran tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013. Hasil analisis sifat kimia termasuk dalam kategori rendah dan jumlah dari total mikroorganisme tanah pada sifat biologi tanah yaitu 100,68 x 103 SPK/ml. Hasil pengamatan secara makrokopis dan mikrokopis yaitu pada sampel K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12 T2P5 menunjukkan bahwa fungi selulolitik termasuk dalam genus Aspergillus.
(8)
ABSTRACK
RIONALDO MELVIN SILALAHI: The Existence of Cellulolytic Mushroom on
Land of Former Fires in Samosir Regency, North Sumatra. Under guidance of
DELVIAN and DENI ELFIATI.
This research aims to study the presence of cellulolytic mushroom on land of fire in Samosir Regency as well as chemical and biological soil properties that affect its existence . The study was conducted at the Laboratory of Soil Biology and Central Laboratory , Agriculture Faculty, University of North Sumatra, starting from October 2013 until January 2014 . Samples were taken based on 5 groups: control ( unburned ), the land of the former fires in 2010 , 2011, 2012 , and 2013. The results of the analysis of chemical properties are included in the low category and the total number of soil microorganisms on the biological properties of the soil that is 100.68 x 103 SPK / ml . Observations in makrokopis and mikrokopis for the K sample T1P1 , T1P3 K , K T1P4 , T2P5 K , 10 T1P1 , T1P4 10 , 10 T2P3 , T2P2 11 , 11 T2P5 , and T2P5 12 showed that cellulolytic mushroom belonging to the genus Aspergillus .
(9)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia, khususnya di
wilayah Sumatera dan Kalimantan. Kebanyakan kebakaran tersebut terjadi dalam
jangka waktu yang lama dan dalam wilayah yang relatif luas. Kebakaran hutan
merupakan gangguan bagi hutan dan lingkungan di sekitarnya. Kebakaran hutan
dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan
bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap
pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan. Kebakaran hutan yang sering
terjadi di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam
rangka pembukaan lahan, baik untuk usaha pertanian, kehutanan maupun
perkebunan dan ditunjang oleh adanya fenomena alam (Purbowaseso, 2004).
Dampak dari kebakaran hutan pada tanah dapat berbentuk perubahan pada
sifat fisik tanah dan kimia tanah. Pengaruh yang merugikan pada sifat fisik tanah
akan jelas nampak, sedangkan pengaruh pada sifat kimia tanah biasanya tidak
merugikan tetapi menguntungkan. Sifat fisik dari tanah sangat ditentukan oleh
keadaan humus dan serasah pada permukaan tanah yang mempunyai hubungan
yang rapat dengan tata air di hutan. Ditambah dengan pengaruh sinar matahari dan
angin maka tanah akan sulit menyerap air, sehingga air hujan akan mengalir
dipermukaan tanah yang mengakibatkan terjadinya erosi (Suharjo, 2003) dalam
(10)
Sifat biologi tanah adalah sebuah sifat yang dimiliki oleh tanah yang
berhubungan erat dengan kondisi, jumlah dan jenis mikroorganisme tanah dan
proses-proses mikrobiologi yang terjadi dalam tanah tersebut. Perubahan suhu
tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap
karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan
makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah akan
mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan penurunan jumlah
mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya
bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi
banyak lagi dalam beberapa tahun (Pyne et al., 1996).
Fungi berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik untuk
semua jenis tanah. Faktor yang paling penting untuk aktivitas fungi adalah
persediaan makanan. Fungi adalah mikroorganisme yang paling mudah
menyesuaikan diri dan paling tahan dibandingkan dengan mikroorganisme yang
lain, berdasarkan kemampuannya dalam mendekomposisi bahan organik.
Selulosa, hemiselulosa, lignin maupun protein dan gula merupakan sumber
makanan yang mudah didekomposisikan dan mudah tersedia untuk kehidupan dan
aktivitas fungi (Buckman dan Brady, 1982).
Di dalam ekosistem, fungi selulolitik memegang peranan penting dalam
merombak bahan organik. Sisa organik yang telah mati diurai menjadi
unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dll) dan atmosfer
(CH4 maupun CO2) sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh
(11)
Mengingat pentingnya peran mikroorganisme tanah, khususnya fungi
selulolitik dalam proses dekomposisi bahan organik pada tanah bekas kebakaran
dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fungi selulolitik
pada tanah bekas kebakaran, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan fungi selulolitik
pada tanah bekas kebakaran berdasarkan waktu terjadinya kebakaran di
Kabupaten Samosir.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini:
1. Memberi informasi tentang keberadaan fungi selulolitik pada tanah
bekas kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Samosir.
2. Memberikan informasi dan masukan kepada masyarakat dan pihak
(12)
TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dan lahan biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa
disengaja. Dengan kata lain terjadinya kabran hutan dan lahan diakibatkan oleh
faktor kesengajaan manusia oleh beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang,
perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI), penyiapan lahan untuk ternak sapi,
dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena kesengajaan ini
merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini
banyak disebabkan karena faktor kesengajaan (Purbowaseso, 2004).
Dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dapat berupa dampak
ekologis yaitu musnahnya tumbuh-tumbuhan mulai dari tumbuhan tingkat bawah
hingga pohon-pohon yang tinggi. Dampak kebakaran terhadap tumbuhan bawwah
yaitu menyebabkan suksesi sekunder pada komunitas tumbuhan bawah meliputi
perubahan komposisi jenis dan stuktur tumbuhan. Menurut McKinnon et al.
(1996) dalam Purbowaseso (2004) kebakaran hutan kemungkinan dapat
mengganggu proses ekologi hutan salah satunya adalah suksesi alami. Sedangkan
dampak fisiologis kebakaran hutan yaitu terganggunya proses metabolisme dalam
tumbuhan sebagai akibat dari pemanasan tinggi.
Dampak singkat dan jangka panjang api terhadap mikroorganisme tanah,
dan efek terhadap kelangsungan ekosistem tidak pasti dan sering juga
diperdebatkan. Dampak dari api terhadap populasi mikroorganisme tanah dan
(13)
dengan kondisi lokasi dan cuaca sebelum dan sesudah terjadinya kebakaran. Api
dengan kekuatan kecil walaupun bergerak dengan cepat tidak mempunyai
pengaruh yang besar terhadap populasi mikroorganisme, sedangkan api dengan
kekuatan tinggi dengan jangka waktu lama mempunyai dampak yang besar
terhadap populasi mikroorganisme. Penelitian yang dilakukan oleh Klopatek et
al.(1988) diacu oleh Treseder, dkk (2004) menunjukkan sepuluh pembakaran
susulan pada satu tahun, populasi mikoriza, hara tanah, dan tumbuh-tumbuhan
yang terbakar sampai bagian kanopinya tidak dapat dikembalikan kondisinya pada
keadaaan sebelum terjadinya kebakaran (Neary, 2004).
Tipe Kebakaran Hutan
Menurut Purbowaseso (2004), ada beberapa tipe kebakaran hutan yaitu:
1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)
Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada
umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api beerlangsung secara perlahan
dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan
dikontrol. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling
merusak lingkungan.
2. Kebakaran Pemukaan (Surface Fire)
Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas
limbah pembakaran dan bahan bakar lainnya yang terdapat di lantai hutan. Dalam
(14)
tumbuhan yang lebih tinggi. Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling
umum, terjadi di hampr semua tegakan.
3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)
Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon lainnya.
Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api
menjalar dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada
tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau
bagian pohon yang terbakar dan terbawa angin.
Faktor Penyebab Timbulnya Kebakaran Hutan
Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan meliputi bahan bakar,
cuaca, waktu dan topografi. Faktor bahan bakar yang mempengaruhi kebakaran
hutan dan lahan terdiri atas ukuran, susunan, volume, jenis dan kandungan kadar
airnya. Kelima hal tersebut memiliki pengaruh yang saling mempengaruhi,
sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (Purbowaseso, 2004).
Faktor cuaca merupakan faktor penting kedua yang menyebabkan
kebakaran hutan dan lahan, meliputi: angin, suhu, curah hujan, keadaan air tanah
dan kelembaban relatif. Waktu juga mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan,
karena waktu sangat terkait dengan kondisi cuaca yang menyertai. Waktu
dipisahkan atas siang dan malam hari. Terdapat hubungan antara waktu dengan
kondisi kebakaran hutan dan lahan. Faktor topografi yang mempengaruhi
kebakaran hutan dan lahan mencakup tiga hal yaitu kemiringan, arah lereng dan
medan. Masing-masing faktor tersebut sangat mempengaruhi perilaku api
(15)
Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Mikroorgnisme Tanah
Kebakaran hutan dapat menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati
dan bisa mengubah kekayaan fisika dan kimia tanah sehingga akan mempengaruhi
komposisi mikroba tanah. Jamur tanah merupakan salah satu mikroba tanah yang
mempunyai peranan besar pada siklus bahan makanan yang selanjutnya akan
menentukan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman
(Lailan dan Sukmana,2008).
Kebakaran serasah akan secara langsung dapat menaikkan suhu tanah.
Hasil pembakaran yang terbentuk arang dan berwarna hitam akan banyak
menyerap sinar matahari sehingga suu tanah akan naik. Pemanasan tanah akan
berakibat buruk pada organisme renik atau dapat mempercepat tumbuhnya gulma
(Sumardi dan Widyastuti, 2002).
Menurut hasil penelitian Hatta (2008) ditemukan bahwa jumlah
mikroorganisme yang berada pada tanah hutan utuh lebih banyak daripada jumlah
mikroorganisme yang terdapat pada tanah hutan bekas kebakaran. Jumlah
mikroorganisme yang berada pada tanah hutan bekas kebakaran akan mengalami
(16)
Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
peristiwa yang bersifat kimia dan terjadi di dalam maupun di atas permukaan
tanah sehingga akan menentukan sifat dan ciri tanah yang terbentuk dan
berkembang seetelah peristiwa kimia tersebut. Peubah yang termasuk sifat kimia
tanah yang mempengaruhi pertumbuhan, produksi dan kualitas tanaman antara
lain pH tanah, ketersediaan unsur hara makro dan mikro serta kapasitas tukar
kation (KTK). Komponen kimia tanah berperan dalam menentukan sifat dan ciri
tanah pada umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Uraian kimia tanah
bertujuan untuk menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang menyangkut
maslah-masalah ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Hakim et al., 1986).
Setiap organisme memiliki kisaran pH tertentu tang masih memungkinkan
bagi pertumbuhannya dan juga mempunyai pH optimum. Pada umumnya,
mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,6-8,0 dan nilai pH luar pada
kisaran 2,0-1,0 sudah bersifat merusak (Buckle et al., 1987).
Reaksi pada media juga memiliki suatu pengaruh yang penting atas
sifat/keadaan populasi mikrobiologis yang berperan dalam proses dekomposisi
selulosa. Bakteri aerobic termasuk golongan Cytophage sanggup berkembang
pada pH 6,1 – 9,1. Tanah-tanah yang lebih masam pH 6,0 mungkin mengurangi
sama sekali organisme ini, walaupun bakteri pendekomposisi selulosa lain
sanggup berkembang pada pH 5,0 – 6,0. Aktinomicetes tumbuh dan berkembang
(17)
lebih leluasa pada pH 3,0 – 9,5. Trichoderma (yang juga pendekomposisi
selulosa) sanggup berkembang pada pH 2,1 – 2,5 (Sutedjo et al., 1996).
Tanah-tanah di daerah beriklim basah berkembang ada kondisi iklim
dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun. Keadaan ini mendorong terjadinya
penurunan kadar kation-kation basa tanah (seperti Ca, Mg, dan K) dan
meningkatkan kemasaman tanah. Terdapatnya hidroksil Al dan Fe yang melapisi
mineral liat secara nyata mempengaruhi retensi dari ketersediaan hara (kation dan
anion) (Damanik et al., 2010).
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat
hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan
organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi dari pada tanah-tanah
dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir. Nilai KTK
tanah sangat beragam serta tergantung pada sifat dan ciri tanah tersebut. Besar
kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh : reaksi tanah, tekstuk atau jumlah liat, jenis
mineral liat, bahan organik dan pengapuran atau pemupukan
(Hardjowigeno, 2003).
Semua fungi dapat menggunakan sumber nitrogen organik. Nitrogen
organik yang paling sering digunakan adalah pepton, asam amino misalnya asam
glutamat atau suatu amida seperti asparagin. Sejumlah kecil fungi dapat juga
menggunakan nitrogen dalam bentuk anorganik seperti garam ammonium atau
nitrat maupun berganti antara nitrogen organik dan anorganik. Sumber nitrogen
(18)
nitrogen, sekaligus dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber karbon
(Kusnadi et al., 2003).
Pada umumnya kandungan N total pada tanah di lapisan 0 – 20 cm adalah
antara 2000 – 4000 Kg/ha, namun yang tersedia bagi tanaman adalah kurang dari
3% dari keseluruhan jumlah tersebut. Nitrogen dalan tanah berasal dari bahan
organik tanah (halus dan kasar), pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara,
pupuk dan air hujan (Hardjowigeno, 1989).
Sifat Biologi Tanah
Mikroorganisme tanah mempunyai tanggung jawab atas pelapukan bahan
organik dan pendauran unsur hara serta berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia,
serta biologi tanah. Total mikroorganisme tanah dapat dijadikan indikator
kesuburan tanah, yakni tanah yang subur mengandung sejumlah mikroorganisme.
Keberadaan mikroorganisme pada suatu tanah dapat diindikasikan dengan
populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang
cukup di tambah lagi dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup
dan kondisi ekologi lainnya yang menyokong perkembangan mikroorganisme
tanah tersebut (Soepardi, 1983).
Populasi mikroba tanah yang terdiri atas alga biru-hijau, fitoplankton,
bakteri, cendawan, dan aktinomiset pada permukaan dan lapisan olah tanah
mencapi pulahan juta setiap gram tanah, yang merupakan bagian integral dan
pembentuk kesuburan tanah pertanian. Disini terdapat perbedaan pendapat tentang
berapa jumlah mikroba khususnya fungi yang ada dalam tanah yang subur. Lay
(19)
subur adalah 400.000/gram tanah, sementara Rao (1994) menyebutkan bahwa
populasi fungi dalam tanah yang subur adalah 119 x 103 sel/gram tanah. Namun sejatinya semakin banyak jumlah mikroba dalam tanah, kondisi tanah tersebut
akan semakin baik (Arief, 2010).
Fungi Selulolitik
Mikroorganisme seperti jamur, bakteri, dan aktinomicetes banyak
ditemukan pada tanah-tanah pertanian, hutan, dan dalam jaringan tumbuhan yang
sudah membusuk. Beberapa diantaranya diketahui dengan mudah dan cepat
merombak selulosa seperti penambahan inokulasi pada pembuatan kompos adalah
bagian dari usaha mempercepat proses pengomposan (Alexander, 1977).
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman, di
bangun oleh unit-unit D-glukosa dengan ikatan glukosida 1,4. Ikatan-ikatan ini
membentuk mikrofibril selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang
mudah dihidrolisir disebut bagian amorf selulosa. Secara alami selulosa dapat
didegradasi oleh enzim-enzim selulase. Selulosa merupakan substansi dalam
proses enzimatis (Rao, 1994).
Selulosa merupakan senyawa karbon terbesar dari tumbuhan tingkat tinggi
dan kemungkinan senyawa organik terbesar yang melimpah di alam. Selulosa
penyusun utama dinding sel pada tanaman dan besama-sama dengan
hemiselulosa, pektin dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat
dinding sel tanaman. Selulosa, hemiselulosa dan lignin merupakan polimer
(20)
Mikroorganisme perombak bahan orgnaik terdiri atas fungi dan bakteri.
Pada kondisi aerob, mikroorganisme tanah terdiri atas fungi sedangkan pada
kondisi anaerob sebagian besar perombak bahan organik terdiri atas bakteri
(Noor, 2004).
Kelompok fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling nyata,
yang dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi senyawa
organik sederhana, yang berfungi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan
melepaskan hara di sekitar tanaman (Erikson et al., 1989).
Aktivitas fungi tidak saja terbatas pada penyediaan unsur hara, tetapi juga
berperan aktif dalam mendekomposisi serasah dan bahkan secara bertahap dapat
memperbaiki karakter struktur tanah. Rendahnya populasi dan aktivitas fungi
tanah potensial pada lahan-lahan kritis, maka diperlukan usaha untuk
memanipulasi ketersediaan populasi fungi potensial tersebut (Anas, 1989).
Di dalam ekosistem, organisme perombak bahan organik memegang
peranan penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur
yang dikembalikan ke dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dll) dan atmosfer (CH4
maupun CO2) sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh tanaman. Adanya
aktivitas organsime perombak bahan organik seperti mikroba saling mendukung
keberlangsungan proses siklus hara dalam tanah. Akhir-akhir ini mikroorganisme
perombak bahan organik digunakan sebagai strategi untuk mempercepat proses
dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa. Selain
untuk meningkatkan biomass dan aktivitas mikroba tanah juga dapat mengurangi
(21)
dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah yang pada gilirannya
merupakan keutuhan pokok untuk meningkatkan kandungan bahan organik dalam
tanah (Saraswati et al., 2008).
Fungi berperan dalam perubahan susunan tanah. Fungi tidak berklorofil
sehingga menggantungkan kebutuhan akan energi dan karbon dari bahan organik.
Fungi dibedakan dalam tiga golongan yaitu ragi, kapang, dan jamur. Kapang dan
jamur mempunyai arti penting bagi pertanian. Bila tidak karena fungi maka
dekomposisi bahan organik dalam suasana masam tidak akan terjadi
(Soeperdi, 1983).
Pengomposan mencakup dua proses yang berjalan secara simultan yaitu
proses perombakan bahan organik menjadi senyawa-senyawa sederhana dan
mineral, yang kemudian dimanfaatkan mikroba dekomposer dan organisme
lainnyauntuk ppertumbuhan dan perkembangan sel jaringan tubuhnya.beberapa
senyawa organik seperti bentuk-bentuk gula sederhana yang larut dalam air dapat
dengan mudah dirombak dan digunakan oleh mikroba sebagai sumber makanan
dan sumber energi, demikian juga protein. Sedangkan bahan organik lainnya
seperti hemiselulosa dan selulosa perombakannya melalui hidolisis enzimatik
(22)
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
1. Kecamatan Pangururan
Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di Kawasan Hutan Lindung
Di Desa Siogung-ogung dan pada daerah Desa Sosor Dolok, Kecamatan
Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Status lahan yang
terbakar di Desa Siogung-ogung merupakan Kawasan Hutan Lindung dengan
luasan 0,5 Ha yagn terjadi pada tahun 2012. Kebakaran yang terjadi pada tahun
2013 di Desa Sosor Dolok status lahannya merupakan lahan masyarakat dan
kawasan hutan dengan luasan 60 Ha. Letak geografis Kecamatan Pangururan
berada pada koordinat 2032’ - 2045’ lintang utara, 98042’ - 98047’ bujur timur. Luasan wilayah Kecamatan Pangururan yaitu 121.43 km2 dan 50.37 meter diatas permukaan laut. Lokasi penelitian tersebut memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Simanindo
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Palipi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sianjur Mulamula
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Ronggur Nihuta
Topografi wilayah umumnya bergelombang dang berbukit-bukit dan
bergelombang. Kemiringan lahan umumnya dari landai sampai dengan curam.
Angka curah hujan rata-rata 100 – 250 mm tiap tahun. Curah hujan tertinggi
(23)
Wilayah Kabupaten Samosir tergolong daerah yang beriklim tropis basah dengan
suhu berkisar antara 170C – 290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85,04 % termasuk Kecamatan Pangururan, yang merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Samosir. Sebaran jenis tanah di wilayah Pangururan didominasi oleh
jenis tanah litosol, podsolik, dan regasol. Gambar lokasi pengambilan sampel
tanah bekas kebakaran merujuk pada Lampiran 4 Gambar C dan D.
2. Kecamatan Simanindo
Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar dan areal yang tidak
terbakar di Desa Sijambur Nabolak, Curaman Tomok, dan Desa Tolping,
Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Areal yang
terbakar di Desa Sijambur Nabolak dan Curaman Tomok terjadi pada tahun 2010
dan 2011 dengan luasan 93 Ha untuk Desa Sijambur Nabolak dan 3 Ha pada
daerah Curaman Tomok. Areal yang terbakar merupakan Kawasan Hutan
Lindung. Letak geografis Kecamatan Simanindo berada pada koordinat 2032’ – 2045’ lintang utara, 98044’ - 98050' bujur timur. Luasan wilayah Kecamatan Simanindo yaitu 198.20 km2 dan 1539 – 1630 meter diatas permukaan laut.
Lokasi penelitian tersebut memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pengururan dan Ronggur Nihuta
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Danau Toba
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Onan Runggu, Palipi dan
(24)
- Sebelah Timur berbatasan dengan Danau Toba
Kecamatan Simanindo berada di hamparan dataran dan struktur tanahnnya
labil berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik. Wilayah kabupaten samosir
tergolong daerah yang beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara
170C – 290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85,04 persen. termasuk kecamatan simanindo, yang merupakan salah satu kecamatan di kabupaten
samosir. Angka curha hujan rata-rata 100 – 250 mm tiap tahun. Curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan September dan terendah pada bulan Februari. Sebaran
jenis tanah di wilayah Simanindo didominasi oleh jenis tanah litosol dan podsolik.
Gambar lokasi pengambilan sampel tanah yang tidak terbakar dan sampel tanah
(25)
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan contoh tanah dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di
Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014. Analisis tanah dilakukan di
Laboratorium Biologi dan Laboratorium Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu sampel tanah dari bekas kebakaran dan
bahan – bahan yang digunakan untuk pengujian di laboratorium.
Sedangkan alat yang digunakan adalah plastik wrap dan kawat persegi,
cawan petri, beaker glass dan tabung reaksi, parang dan pisau, sendok, pengaduk,
jarum ose, timbangan analisis, bunsen, oven dan autoclaf, inkubator, gelas ukur,
mikropskop cahaya, kaca objek dan gelas penutup dan kamera.
Metode Penelitian
A. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel
Lokasi pengambilan sampel tanah yang akan diambil ditentukan menurut
kejadian kebakaran yang pernah terjadi pada lokasi tersebut. Penentuan lokasi
pengambilan sampel tanah ini harus dapat mewakili karakteristik lahan lokasi
(26)
dengan syarat yang ditentukan sebagai sampel dalam penelitian yaitu, tanah bekas
kebakaran yang mewakili setiap rentang waktu terjadinya kebakaran.
B. Pengambilan Sampel Tanah
Sampel tanah bekas kebakaran diambil berdasarkan waktu terjadinya
kebakaran. Berdasarkan waktu terjadinya, sampel dibedakan atas 5 kelompok,
yaitu:
1. Tanah yang berasal dari lahan yang belum pernah terbakar sebagai kontrol
2. Tanah yang berasal dari lahan yang telah mengalami kebakaran pada tahun
2010
3. Tanah yang berasal dari lahan yang telah mengalami kebakaran pada tahun
2011
4. Tanah yang berasal dari lahan yang telah mengalami kebakaran pada tahun
2012
5. Tanah yang berasal dari lahan yang telah mengalami kebakaran pada tahun
2013
Pengambilan sampel tanah dari lahan bekas kebakaran dilakukan secara
diagonal dengan membuat petak pengambilan sampel berukuran 20 x 20
meter dan titik pengambilan sampel tiap petak ada 5 titik. Tiap sampel
tanah yang diambil adalah sebanyak 1 kg.
C.Parameter Pengamatan
1. Sifat Kimia Tanah
Parameter yang diamati untuk sifat kimia tanah yaitu : pH, C-Organik, Kapasitas Tukar Kation (KTK) (Lampiran 1).
(27)
2. Sifat Biologi Tanah
Parameter yang diamati untuk biologi tanah yaitu total mikroorganisme
tanah dengan metode agar cawan (Lampiran 1).
3. Fungi Selulolitik
Parameter yang diamati adalah adanya keberadaan mikroba selulolitik
pada media Asparagine yang ditandai dengan adanya zona transparan pada
goresan di permukaan media (Lampiran 1).
4. Identifikasi Fungi Selulolitik
Dilakukan dengan pengamatan secara mikrokopis dimana fungi yang
tumbuhpada media PDA dipindahkan dengan ukuran 3 x 3 mm ke dalam kaca
objek. Biakan pada kaca objek ditempatkan dalam cawan petri yang telah diberi
pelembab berupa kapas basah. Biakan dibiarkan pada kaca diinkubasi selama 3
hari pada kondisi ruangan. Setelah masa inkubasi, fungi yang tumbuh pada kaca
preparat diamati ciri mikrokopisnya. Ciri yang ditemukan dari masing-masing
fungi kemudian dideskripsikan dan dicocokkan dengan buka identifikasi
(28)
D. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dapat dilihat pada lampiran 1. Prosedur penelitian
secara ringkas dapat dilihat pada gambar 1:
Analisis Sifat Kimia Tanah
Analisis Sifat Biologi Tanah
Analisis Keberadaan Mikroba selulolitik
pH, C-Organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Total mikroorganisme tanah dengan metode agar cawan
Sampel tanah diinkubasi dengan Media Selulosa Agar selama 2
minggu
Diisolasi pada Media Asparagine, diinkubasi selama 2 minggu,
(29)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
A. Karakteristik Sifat Kimia Tanah Bekas Kebakaran
Keberadaan mikroorganisme di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh
sifat kimia tanah. Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisi sifat kimia sampel tanah bekas kebakaran
Sampel pH Kritera C-Organik
(%)
Kriteria KTK (m.e/100g)
Kriteria
Kontrol 6,24 Agak masam 1,19 Rendah 4,20 Rendah
2010 5,80 Agak masam 1,22 Rendah 4,60 Rendah
2011 5,90 Agak masam 2,71 Sedang 7,80 Rendah
2012 4,98 Masam 3,29 Tinggi 11,00 Rendah
2013 7,52 Netral 2,03 Sedang 13,00 Rendah
Sumber kriteria : Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan
Hasil analisis menunjukkan bahwa pH tanah termasuk ke dalam kriteria
agak masam. Kebakaran yang terjadi pada hutan dan lahan di Kabupaten Samosisr
bisa menyebabkan tanah mempunyai pH masam. Pada awal kebakaran tanah
bersifat basa, karena disebabkan oleh pengaruh abu dari bahan-bahan organik
yang terbakar. Kemudian air hujan mencuci abu tersebut sehingga pH tanah
menjadi masam. Curah hujan dan suhu tinggi di daerah ini menyebabkan proses
(30)
pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena endapan abu yang bersifat
basa, abu terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor.
Keberadaan jasad renik sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Menurut
Buckle (1987) setiap organisme memiliki kisaran pH tertentu yang masih
memungkinkan bagi pertumbuhannya dan juga mempunyai pH optimum. Pada
umumnya, mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,6-8,0.
Fungi cenderung lebih bisa beradaptasi pada berbagai pH, terutama pada
pH yang rendah. Sedangkan bakteri tumbuh lebih baik pada pH yang lebih tinggi.
Karena itu, pada pH yang rendah ditemukan banyak fungi. Pada pH yang tinggi,
fungi harus bersaing dengan keberadaan bakteri dalam memperebutkan makanan.
Dari hasil penelitian Susanti (2005) diperoleh data bahwa jumlah isolat jamur
yang ditemukan pada pH yang rendah lebih banyak daripada bakteri. Faktor pH
mempunyai pengaruh penting dalam populasi mikroba yang berperan dalam
proses dekomposisi selulosa. pH optimum bagi bakteri dalah mendekati netral,
yaitu 6,5 – 7,5, sedangkan bagi jamur kisaran pH nya lebih lebar dari bakteri yaitu
2,0 – 11,0 yang artinya jamur lebih toleran pada tempat yang masam daripada
bakteri.
Dari hasil analisi pada Tabel 1 bisa dilihat bahwa persentase C-Organik
pada tanah sampel termasuk dalam kategori rendah sampai dengan tinggi.
Pengaruh kebakaran terhadap sifat kimia dengan kesuburan tanah yaitu dengan
terjadinya penurunan kandungan bahan organik pada areal yang terbakar maka
kesuburan tanah pada areal yang terbakar akan berkurang. Akibat areal yang
(31)
besar, hal ini menyebabkan banyaknya bahan organik yang terbawa oleh aliran
permukaan pada saat hujan. Keberadaan C-Organik pada tanah sangat
berpengaruh terhadap unsur-unsur kimia di dalam tanah, sekaligus keberadaan
mikroorganisme di dalam tanah, khususnya mikroorganisme selulolitik. Menurut
Soepardi (1983), bahwa keberadaan bahan orgnaik pada suatu tanah dapat
diindikasikan dengan populasi mikroorganisme yang tinggi karena populasi tinggi
menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup.
Kapasitas tukar kation pada tanah bekas kebakaran mempunyai nilai KTK
lebih tinggi daripada nilai KTK tanah yang belum terjadi kebakaran (kontrol). Hal
ini bisa terjadi karena pengaruh dari perubahan pH pada tanah tersebut. Menurut
Hakim et al,. (1986), pada kebanyakan tanah ditemukan bahwa pertukaran kation
berubah dengan berubahnya pH tanah. Dari hasil analisis KTK pada Tabel 1,
terlihat bahwa sampel tanah termasuk dalam kategori rendah. Perubahan pH pada
tanah bekas kebakaran mengakibatkan kation-kation yang dijerap atau dilepaskan
dari permukaan koloid atau humus menjadi sedikit dibandingkan dengan
kation-kation yang dijerap atau dilepaskan dari permukaan humus tanah yang tidak
mengalami kebakaran.
Kandungan bahan organik yang rendah pada tanah disebabkan oleh
terbakarnya vegetasi pada permukaan tanah akibat kebakaran pada hutan dan
lahan mengakibatkan rendahnya KTK. Kapasitas tukar kation berkaitan erat
dengan kadar organik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hardjowigeno (2003)
yakni bahwa tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi
(32)
B. Total Mikroorganisme Tanah
Parameter yang diamati dalam karakteristik sifat biologi tanah adalah total
mikroorganisme tanah. Untuk mengetahui populasi mikroorganisme di dalam
tanah sebagai salah satu acuan untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah dan
pengaruhnya terhadap reaksi-reaksi kimia pada tanah. Pada analisis ini yang
dihitung adalah semua jenis mikroorganisme. Jumlah mikroorgansime pada tanah
bekas kebakaran dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis Total Mikroorgansime (x 103) SPK/ml
Sampel Jumlah Jamur Jumlah Bakteri
Kontrol P1 17,26 9,64
Kontrol P2 21,59 4,67
2010 P1 5,25 3,71
2010 P2 1,24 4,62
2011 P1 2,41 1,73
2011 P2 2,95 5,03
2012 P1 1,22 4,53
2012 P2 1,24 4,62
2013 P1 1,44 3,83
2013 P2 1,05 2,65
Total 55,65 45,03
Berdasarkan pengamatan di laboratorium, mikroorganisme pada tanah
yang belum terjadi kebakaran (Kontrol) lebih banyak daripada tanah bekas
kebakaran. Hal tersebut diakibatkan karena matinya mikroorganisme yang ada
(33)
yang masih hidup, sehingga persaingan makanan akan terjadi antar
mikroorganisme. Dampak kebakaran pada periode 1 tahun setelah terjadi
kebakaran mengalami penurunan dari kondisi kebakaran pada periode 2-4 tahun.
Tetapi penurunan yang terjadi tidaklah besar nilainya karena diduga nilai total
mikroorganisme tanah periode 2-4 tahun setelah kebakaran sudah mengalami
peningkatan dari tanah periode 1 tahun setelah kebakaran. Hal ini disebabkan
karena populasi mikroorganisme kembali menjadi banyak lagi dengan diikutinya
peningkatan pada bahan organik dalam beberapa tahun. Seperti diketahui bahwa
bahan organik dapat dijadikan sumber energi (bahan makanan) bagi
mikroorganisme tanah. Menurut Pyne et al. (1996), kebakaran hutan
menyebabkan bahan makanan untuk mikroorganisme menjadi sedikit, kebanyakan
mikroorganisme mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan
perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah
mikroorganisme di dalam tanah.
Menurut hasil penelitian Hatta (2008), jumlah mikroorganisme yang
berada pada tanah hutan utuh lebih banyak daripada jumlah mikroorganisme yang
terdapat pada tanah bekas kebakaran. Total mikroorganisme tanah yang didapat
pada penelitian ini adalah 100,68 x 103 SPK/ml. Hal ini bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya maka total mikroorganisme tanah pada penelitian ini
termasuk rendah. Rao (1994) menyebutkan bahwa populasi mikroorganisme
dalam tanah subur adalah 119 x 103 sel/gr.
Menurut Soepardi (1983) fungi tidak berklorofil sehingga
(34)
fungi adalah persediaan makanan, maka jumlah cadangan makanan yang sedikit
sangat besar dampaknya terhadap populasi fungi. Populasi mikroorganisme
perombak bahan organik yang berkurang menyebabkan terhambatnya berbagai
siklus hara di dalam tanah. Sebagaimana pernyataan Saraswati et al., (2008)
bahwa perombak bahan organik memegang peranan penting karena sisa organik
yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah
(N, P, K, Ca, Mg, dll) dan atmosfer (CH4 maupun CO2) sebagai hara yang dapat
digunakan kembali oleh tanaman. Karena populasinya menurun maka tanah
menjadi tidak subur. Efek negatif ini biasanya sementara dan populasi
mikroorganisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa
tahun.
C. Fungi Selulolitik
Pada pengisolasian untuk mencari fungi selulolitik, dilakukan pengayaan
dengan menggunakan Median Selulosa Agar (MSA). Hal ini dilakukan untuk
memperbanyak jumlah fungi selulolitik pada sampel supaya memudahkan dalam
pengisolasian dan hasil lebih akurat. Semua sampel tanah dimasukkan ke dalam
MSA lalu diinkubasi selama 2 minggu. Setelah diisolasi selama 2 minggu, sampel
tersebut diisolasi lagi dengan media Asparagine dengan metode gores.
Masing-masing sampel di goreskan pada media Asparagine lalu diinkubasi selama 2
minggu. Media yang digunakan untuk mengisolasi fungi selulolitik mempunya pH
6,8 (Media MSA) dan 6,2 (Media Asparagine).
Penggunaan media dengan pH mendekati netral bertujuan untuk
(35)
dengan pernyataan Buckle (1987) bahwa pada umumnya, mikroorganisme dapat
tumbuh pada kisaran pH 6,6 – 8,0. Pada pengisolasian fungi selulolitik digunakan
pH 6,2 atau termasuk dalam kategori agak masam, karena fungi selulolitik dapat
tumbuh pada kisaran pH sangat masam sampai dengan agak masam. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Kusnadi et al,.(2003) bahwa rentang pH fungi jauh
lebih lebar. Dengan demikian medium pertumbuhan fungi yang digunakan di
laboratotium juga harus bersifat masam. Pada pengisolasian dengan menggunakan
media Asparagine ditambahkan senyawa antibakteri. Hal ini bertujuan untuk
mengganggu pertumbuhan bakteri bahkan mematikan bakteri dengan cara
menggangu pertumbuhan metabolismenya. Dengan menggunakan antibakeri
maka pertumbuhan bakteri bisa ditekan, sehingga fungi bisa tumbuh dan diisolasi.
Hasil isolasi pada media Asparagine dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Isolasi fungi selulolitik minggu ke-2
( Kontrol T1P3)
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa yang tumbuh pada media Asparagine
adalah fungi. Hal ini seperti terlihat dari permukaan media yang ditandai dengan Fungi
(36)
koloni-koloni fungi dengan ciri-ciri yaitu rata dengan permukaan media dan
tekstur permukaannya seperti kapas atau beludru.
Fungi selulolitik ditandai dengan adanya zona transparan pada permukaan
media. Fungi yang ditemukan dari 50 titik sampel penelitian, yang membentuk
zona transparan pada permukaan media hanya terdapat 10 sampel dan diberi kode
K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2,
11 T2P5, dan 12 T1P4. Jumlah koloni pada lahan yang tidak terbakar lebih
banyak di temukan fungi selulolitik dibandingkan dengan jumlah koloni yang
terbentuk pada tanah yang sudah terbakar. Hal ini disebabkan kondisi tanah yang
masih utuh yang memungkinkan fungi selulolitik dapat tumbuh dengan baik. Hal
ini sesuai dengan penelitian Hatta (2008), jumlah mikroorganisme yang berada
pada tanah hutan utuh lebih banyak daripada jumlah mikroorganisme yang
terdapat pada tanah hutan bekas kebakaran.
Tabel 3. Jumlah sebaran fungi selulolitik pada sampel tanah
Sampel Tanah Jumlah Fungi Selulolitik
Kontrol (Tidak Terbakar) 4
2013 0
2012 1
2011 2
2010 3
Dari 10 sampel yang ditemukan dalam penelitian ini, sampel dari tanah
yang tidak terbakar (Kontrol) yang paling banyak di dapatkan fungi selulolitik
(37)
semakin menurun. Tetapi penurunan yang terjadi tidak terlalu besar karena tanah
bekas kebakaran pada periode 2-4 tahun setelah terjadi kebakaran telah
mengalami perbaikan bahan organik yang memungkinkan suplay makanan bagi
fungi selulolitik tercukupi. Sedangkan pada tanah pada periode 1 tahun setelah
terjadi kebakaran tidak ditemukan fungi selulolitik diakibatkan fungi selulolitik
tidak tahan terhadap api pada saat terjadi kebakaran dan hilangnya suplay energi
bagi kebutuhan fungi tersebut. Keberadaan bahan organik juga sangat mendukung
bagi kehidupan fungi, karena fungi tidak berklorofil sehingga hidupnya sangat
tergantung pada keberadaan bahan organik.
D. Identifikasi Fungi Selulolitik
Identifikasi dilakukan pada fungi yang membentuk zona transparan pada
permukaan media. Dilakukan pengamatan secara mikrokopis dimana fungi
terlebih dahulu di pindahkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) . Fungi
selulolitik diisolasi pada media PDA dan diinkubasi selama 3 hari. Fungi yang
kemudian diamati secara mikrokopis yaitu K T1P1, K T1P3, K T1P4, K T2P5,
10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12 T2P5.
(38)
Secara makrokopis, pada awal pertumbuhan koloni genus Aspergillus
membentuk lapisan padat yang berwarna coklat kekuningan, kemudian setelah
berumur 7 hari koloni berubah menjadi warna coklat kehitaman. Pengamatan
mikrokopis menunjukkan bahwa hifa yang muncul diatas permukaan merupakan
hifa fertil, koloninya berkelompok. Konidia berbentuk bulat dan berwarna hitam.
Memilki tangkai konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki
dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman. Setelah dicocokkan
dengan buku identifikasi jamur (Gilman, 1971), isolat yang didapat termasuk
genus Aspergillus. Jenis fungi selulolitik paling banyak diteliti adalah Aspergillus.
Hal ini disebabkan karena Aspergillus bersifat kosmopolit sehingga mampu
bertahan hidup di berbagai kondisi.
Gambar 4. Penampakan Aspergillus dibawah mikroskop (perbesaran 100 kali) A. Spora, B. Tangkai Konidia (Konidiafor)
Genus Aspergillus memiliki miselium vegetatif yang terdiri dari hifa bercabang
yang berseptat dan tidak berwarna. Bagian-bagian konidia terdiri dari batang dan
kepala dari sel yang membesar dan berdinding tebal yang memproduksi
A
(39)
konidiafor sebagai cabang, tegak lurus pada sel kaki. Aspergillus tergolong
mikroba mesofilik dengan pertumbuhan pada suhu 350C – 37 0C (Optimum), 60C – 80C (minimum), 450C – 470C (maksimum) (Gilman, 1971).
Taksonomi fungi Aspergillus
Kingdom : Myceteae (Fungi)
Divisio : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Eurotiales
Famili : Trchocommaceae
(40)
Penampakan Aspergillus secara makrokopis dan mikrokopis dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Penampakan isolat fungi selulolitik secara makrokopis dan mikrokopis serta identifikasi
Isolat Penampakan Makrokopis
Penampakan Mikrokopis
Hasil Identifikasi
K T1P1 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
K T1P3 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
K T1P4 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
K T2P5 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
(41)
10 T1P1 Terlihat tangkai konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
10 T1P4 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
10 T2P3 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
11 T2P2 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
11 T2P5 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat berwarna coklat kehitaman. Termasuk dalam genus Aspergillus
12 T1P4 Terlihat tangkai
konidiafor dan spora berbentuk semibulat
berwarna coklat kehitaman.
(42)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara
ditemukan fungi selulolitik. Dari 50 sampel penelitian, ditemukan 10 sampel yang
membentuk zona transparan pada media Asparagine yaitu sampel K T1P1, K
T1P3, K T1P4, K T2P5, 10 T1P1, 10 T1P4, 10 T2P3, 11 T2P2, 11 T2P5, dan 12
T2P5. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa fungi selulolitik tersebut termasuk
genus Aspergillus. Sifat-sifat kimia dan biologi pada tanah bekas kebakaran
termasuk dalam kategori rendah.
Saran
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
(43)
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Intoduction to Soil Mycrobiology. 2nd Ed. John Wiley and Sons. New York.
Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor
Arief, M. 2010. Jenis-jenis Fungi Tanah di Lahan Terdegradasi di Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Besitang Kabupaten Langkat. Skripsi. USU e-Repository. Medan
BPTP. 2011. Sertifikat Pengujian Tanah Top Soil. Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Medan.
Buckle, K.A., R.A. Edward., G.H Fleet., and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah: Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Buckman, H.O. dan Nyle , C.B. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. Penerbit Bhrata Karya Aksara. Jakarta.
Damanik, M.M.M., B.E. Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin., H. Hanum. 2010. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.
Eriksson, K.E.L., R.A. Blanchette., and P.Ander. 1989. Microbial and enzymatic degradation of wood an wood components. Springer-Verlag Heildeberg. New York.
Gilman, J. C. 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press. USA.
Hakim, N.,M.Y.Nyakpa., A. M. Lubis.,S. G. Nugroho.,M. A. Diha..,Go Ban Hong., dan H.H. Bailey. 1986. Dasar- Dasar Ilmu Tanah. Unversitas Lampung. Lampung.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Ediyatama Sarana Perkasa.
Hatta, M. 2008. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat-Sifat Tanah di Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Skripsi. USU e-Repository. Medan.
Kusnadi.,Peristiwa.,A. Syulasmi.,W. Purwianingsih.,dan D. Rochintaniawati. 2003. Mikrobiologi. Repsitory UPI. Bandung.
Lailan, S., dan A. Sukmana. 2008. Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran di Daerah Tangkapan Air Danau Toba. ITTO PROJECT PD 394/06 REV. 1(F). Centre of Forest and Nature Conservation Research and
(44)
Lidiawati. I. 2003. Penilaian Ekonomi Kerusakan Hutan dan Lahan Akibat Kebakaran. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marjenah. 2007. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Kondisi Iklim Mikro di Hutan Penelitian Bukit Soeharto.
Neary, G. 2004. An overview of Fire Affects on Soil. Southwest Hydrologi Journal. http:/
Noor, M. 2004. Lahan Rawa, Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
www.swhydro.arizon.edu/archive/V3_N5/feature4.pdf.
Notohadiprawito, T. 1992. Kerangka Evaluasi Kemampuan Lahan. Kuliah Pelatihan Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Daya Lahan Kedua. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Rineka Cipta. Jakarta.
Pyne, S. J.,P.L. Andrews.,dan R. D. Laven. 1996. Introduction to Wildland Fire.Second Edition. Johm Wiley and Sons. USA.
Rao, N.S.S., 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Terjemahan Herawati Susilo. UI Press. Jakarta.
Saraswati,S.,E. Santoso.,dan E. Yuniarti. 2008. Organisme Perombak Bahan Organik. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2). Balai Besa Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 211-230.
Sumardi dan Widyastuti, S.M. 2002. Bahan Ajar Pengantar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Susanti, U. 2005. Isolasi dan Uji Potensi Mikroorganisme Selulolitik Dalam Dekomposisi Sisa Tanaman Tembakau Deli PTPN II Kebun Sampali. Skripsi. USU e-Repository. Medan.
Sutedjo, M. M., A. G. Kartasapoetra, dan R. D. S. Sastroatmodjo. 1996. Mokrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanain Bogor.
Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
(45)
Lampiran 1. Prosedur Penelitian
1. Sifat Kimia Tanah
a. C-Organik
• Ditimbang 0,5 g tanah kering udara telah diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml
• Ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 (menggunakan pipet), goncang dengan
tangan
• Ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat, kemudian digoncang 2 – 3 menit,
selanjutnya diamkan selama 30 menit
• Ditambahkan 200 ml air 10 ml H3PO4 85%, ditambahkan 20 tetes
difenilamin, goncang (larutan berwarna biru tua)
• Dititrasi dengan FeSO4 0,5 N dari burret hingga warna berubah
menjadi hijau
• Dibuat juga blanko dan titrasi
• Dihitung :
% C = 5 ( 1 – T ) X 0,78 --- untuk tanah 0,5 g S
Dimana : T = titrasi
S = blanko %
(46)
b. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
1. Ditimbang 5 gr contoh tanah kering udara dan di masukkan ke dalam
tabung sentrifuse 100 ml
2. Ditambahkan 20 ml larutan NH4OAC pH 7.0. Diaduk dengan pengaduk
gelas sampai merata dan dibiarkan selama 24 jam
3. Diaduk kembali lalu disentrifuse selama 10 menit samapi 15 menit
dengan kecepatan 2.500 rpm
4. Ekstrak NH4OAC N pH 7.0 diulangi lewat saringan dan filtrat ditampung
dalam labu akar 100 ml
5. Penambahan NH4OAC pH 7.0 diulangi sampai 4 kali. Setiap kali
penambahan diaduk mereta, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi ke
dalam labu ukur 100 ml samppai tanda tera. Ekstrak ini digunakan dalam
penetapan kadar K, Na, Ca, Mg yang dapat dipertukarkan
6. Untuk pencucian NH4+ ditambahkan 20 ml alkohol 80% ke dalam tabung
sentrifuse yang berisi endapan tanah tersebut. Diaduk sampai merata,
sentrifuse, dekantasi dan filtratnya dibuang. Pencucian NH4 dengan
alkohol ini dilakukan beberapa kali sampai bebas NH4. Hal ini dapat
diketahui dengan menambahakan beberapa tetes pereaksi Nessler pada
filtrat tersebut. Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion
NH4.
7. Setelah bebas dari NH4+, tanah dipindahkan secara kuantitatif dari tabung
sentrifuse ke dalam labu didih. Ditambahkan air kira-kira berisi 450 ml.
8. Pada labu didih ditambahkan beberapa butir batu didih, 5-6 tetes paraffin
(47)
9. Destilat ditampung dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H2SO4 0.1
N dan 5-6 tetes indikator Conwai. Destilasi dihentikan jika destilat yang
ditampung mencapai kira-kira 150 ml.
10.Kelebihan asam dititrasi dengan NaOH 0.1 N. Titik air titrasi dicapai
bilamana warna berubah menjadi hijau
11.Dilakukan destilasi tanpa tanah sebagai blanko
12.Besarnya KTK dihitung menurut rumus :
KTK (me/100gr)n= (ml Blanko-ml Contoh) x N NaOH x100
Bobot Sampel *)
*)
(48)
2. Sifat Biologi Tanah
Total Organisme Tanah
1. Dibuat 1 seri pengenceran dengan memasukkan 10 gr tanah ke dalam 90 ml
larutan fisiologis pada erlenmeyer 250 ml, campuran ini sebagai pengenceran 10-1. Lalu dipipet 1,0 ml suspensi larutan 10-1 dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis pada tabung reaksi, campuran ini sebagai pengenceran 10-2 dan seterusnya sampai pengenceran 10-5
2. Setelah seri pengenceran dibuat, dipipet 1,0 ml dari suspensi dengan
pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5, dipindahkan ke cawan petri steril. Pada setiap cawan petri dicantumkan informasi berupa nomor contoh/perlakuan, seri
pengenceran, tanggal inkubasi, dan jenis media yang digunakan
3. Sediakan media (Nutrien Agar) tempat mikroorganisme yang diinkubasi.
Cairkan media dengan cara memanaskan dengan autoclaf. Media yang yang telah
disiapkan didinginkan sampai temperaturnya sekitar 40 – 45 0C. Jumlah media yang dituangkan ke cawan kira-kira 10 ml. Supaya suspensi tersebar merata maka
setelah media dituangkan secara pelan-pelan cawan yang telah berisi media
diputar kekanan tiga kali dan kekiri tiga kali
4. Setelah media benar-benar padat, diinkubasi pada temperatur ± 27 0C
5. Dilakukan pengamatan setelah tiga hari inkubasi.
6. Dari hasil yang diperoleh, rata-rata jumlah koloni per cawan dikalikan dengan
(49)
3. Fungi Selulolitik
1. Diambil tanah sebanyak 50 gr untuk setiap contoh tanah. Kemudian
dimasukkan ke dalam media Selulosa Agar cair dengan bubuk Alang-alang
sebagai pengganti bahan selulosa untuk memancing perkembangbiakan mikroba
2. Diinkubasi selama 2 minggu
3. Diambil sebanyak 1 ml bahan dari masing-masing media Selulosa Agar Cair,
lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi air steril dan disentrifugasi
4. Diambil ose dari masing-masing media untuk digoreskan pada media
Asparagine, lalu diinkubasi selama 2 minggu
5. Koloni yang terbentuk pada goresan tadi menandakan adanya aktifitas mikroba
(50)
Lampiran 2. Bahan-bahan dari media yang digunakan
1. Media Selulosa Agar (g/l)
Nama Bahan Jumlah Tepung Selulosa
NaNO3
K2HPO4
KCL
MgSO47H2O Yeast Extract Casein Hydrolysat Agar Aquades pH 5,0 0,5 0,5 0,5 0,9 0,5 0,5 10,0 1000,0 6,8 Sumber: Aaronson, 1970
2. Media Asparagine (g/l)
Nama Bahan Jumlah (NH4)2SO4
L-Asparagine K2HPO4
KCL
MgSO47H2O
CaCl2 Yeast Extract Selulosa Agar Aquades pH 0,5 0,5 1,0 0,5 0,1 0,1 0,5 10,0 20,0 1000,0 6,2 Sumber: Rao, 1994
(51)
Lampiran 3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dan BPTP-Medan (2011)
Sifat tanah Satuan Sangat rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi C (karbon) N (nitrogen) KTK (CEC) % % me/100 < 1.00 < 0.10 < 5 1.00-2.00 0.10-0.20 5-6 2.10-3.00 0.21-0.50 17-24 3.01-5.00 0.51-0.75 24-40 > 5.00 > 0.75 > 40
pH H2O
Sangat Masam
Masam Agak Masam
Netral Agak Alkalis
Alkalis
(52)
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
A. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Bekas Kebakaran Tahun 2010
(53)
C. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Bekas Kebakaran Tahun 2013
(54)
E. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Yang Tidak Terbakar (Kontrol)
(55)
Lampiran 4. Lanjutan
G. Pengambilan Sampel Tanah
H. Pengambilan Sampel Tanah
(56)
Lampiran 4. Lanjutan
Isolasi dengan Media Selulosa Cair
Isolasi dengan Media Selulosa Agar
(1)
Lampiran 3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dan BPTP-Medan (2011)
Sifat tanah Satuan Sangat rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat
tinggi C (karbon) N (nitrogen) KTK (CEC) % % me/100 < 1.00 < 0.10 < 5 1.00-2.00 0.10-0.20 5-6 2.10-3.00 0.21-0.50 17-24 3.01-5.00 0.51-0.75 24-40 > 5.00 > 0.75 > 40
pH H2O
Sangat Masam
Masam Agak
Masam
Netral Agak
Alkalis
Alkalis < 4,5 4,5 – 5,5 5,6 – 6,5 6,6 – 7,5 7,6 – 8,5 > 8,5
(2)
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
A. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Bekas Kebakaran Tahun 2010
(3)
C. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Bekas Kebakaran Tahun 2013
(4)
E. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Yang Tidak Terbakar (Kontrol)
(5)
Lampiran 4. Lanjutan
G. Pengambilan Sampel Tanah
H. Pengambilan Sampel Tanah
(6)
Lampiran 4. Lanjutan
Isolasi dengan Media Selulosa Cair
Isolasi dengan Media Selulosa Agar