BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah SWT, menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna

  dibandingkan dengan makhluk lainnya di bumi. Namun suatu bentuk yang dapat dirasakan dari kesempurnaan itu adalah dengan diberikannya manusia akal yang berguna untuk berpikir dan hati nurani yang ada pada manusia, tetapi disamping itu juga keberadaan manusia di muka bumi tidak hanya untuk hidup saja bahkan turut serta dan aktif dalam mengisi kehidupannya sehari-hari.

  Salah satu bentuk turut sertanya dan aktif dalam mengisi kehidupannya itu adalah perkawinan. Suatu perkawinan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang paling tua, dan paling pertama kali diatur oleh aturan hukum sejak dahulu kala. Adapun tujuan dari perkawinan bagi manusia tidak hanya untuk mendapatkan keturunan, tetapi lebih dari itu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin sekaligus yang terpenting adalah melaksanakan perintah agama dan juga membentuk sebuah keluarga. Pelengkap dari suatu keluarga adalah kelahiran anak, apabila di dalam keluarga telah dikaruniai anak, hendaknya keluarga tersebut harus memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan di dalam lingkungan sosialnya.

  Keluarga dapat diartikan sebagai wadah yang digunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan juga dapat melanjutkan silsilah keluarga dengan adanya keturunan, yaitu anak dengan melakukan perkawinan yang sah.

   Di dalam bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah, yang bermakna al-

wathi’ dan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna

  

  bersetubuh, berkumpul dan akad. Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti

  

  bersetubuh. Nikah atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Kata nikah sering digunakan untuk arti persetubuhan, juga

   untuk arti akad nikah.

  Perkawinan merupakan suatu lembaga masyarakat yang melegitimasi hidup bersama antara seorang laki-laki dewasa dengan seorang perempuan dewasa dalam satu rumah tangga (keluarga). Hidup bersama disini lepas dari pengertian dalam ilmu hayat (biologi) yang ditandai dengan adanya kegiatan persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tersebut, “ tetapi lebih jauh lagi adalah bahwa hidup bersama itu harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang

   berlaku”.

  Mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan “ perkawinan adalah 1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelesaian Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta,

  1973, hal. 468 2 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi kritis

Perkembangan Hukum Islam dan Fikih , Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI, Prenada Media,

Jakarta, 2004, hal.38 3 4 Armia, Bahan Ajar Fiqh Munakahat, La-Tansa Press, Medan, 2011, hal.1 5 Ibid

  R.Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung :Sumur Bandung, 1984), hal.7 ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

  

  berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”. Adapun hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan akan tetapi tidak saling bertentangan. Dari pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa perkawinan menurut undang-undang ini adalah suatu “tujuan ideal yang tinggi dan mencakup suatu pengertian jasmaniah dan rohaniah

   yang akan melahirkan suatu keturunan”.

   Dalam bahasa Indonesia pernikahan adalah perbuatan nikah, dan yang disebut

  perkawinan yang berarti ”ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan

  

  hukum dan ajaran agama”. Sedangkan menurut syara nikah berarti akad yang mengakibatkan bolehnya melakukan istimta (campur) dengan seorang wanita , dan ini dapat terjadi jika wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena hubungan nasab

  

sesusuan dan hubungan semenda (pernikahan).

  Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

  

  tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 6 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 8 M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan :CV.Rajawali,1986), hal.3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005,

  hal.782 9 10 Ibid 11 Armia, Op.cit, hal.2 Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, 2004, hal.70

  Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Perkawinan juga merupakan akad atau perjanjian, tetapi bukan berarti perjanjian itu sama dengan perjanjian biasa yang diatur didalam buku III KUH

12 Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa para pihak berjanji bebas untuk

  menentukan isi dari bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk dalam perjanjiannya selain yang telah

   ditetapkan oleh hukum-hukum yang berlaku.

  Didalam perkawinan juga terdapat perjanjian, Perjanjian dalam perkawinan ini

  

  mempunyai/mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu : 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.

  2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumya.

  3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.

  Setiap perkawinan dapat dipastikan bertujuan untuk membina suatu keluarga yang bahagia dan kekal dengan tetap diridhoi oleh Allah SWT. Kebahagiaan dan kekekalan perkawinan ini kadang hampir sering terjadi tidak dapat berlangsung lama atau dengan kata lain perkawinan yang tidak mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin yang akhirnya mengakibatkan perceraian.

  Tidak ada seorangpun yang telah melangsungkan perkawinan mengharapkan rumah tangga yang telah dibangunnya mengalami perceraian, apalagi di dalam 12 Tengku Erwinsyahbana, Pembatalan Perkawinan Karena Alasan Poligami, Media HukumVol. XIII,

  Nomor 1, Januari-Juni, 2004, hal.204 13 14 Ibid Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, Yogyakarta, Penerbit Liberti, 1982, hal.10 perkawinan itu telah dikarunia anak. Walaupun sedemikian tidak menutup kemungkinan karena sebab-sebab atau suatu hal tertentu yang harus mengakibatkan perceraian.

  Perceraian yang berasal dari kata cerai adalah “putus hubungan sebagai suami

  

  

  istri”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerai berarti juga “talak” . Secara

  

  bahasa talak berasal dari kata ithlaq berarti melepaskan atau meninggalkan. Sayyid Sabiq, dalam bukunya yang berjudul Fiqh as-sunnah mendifinisikan talak adalah “ membuka atau melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami

   istri”.

  Menurut ketentuan pasal 39 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk dapat melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri tidak akan dapat hidup rukun

   sebagai suami istri.

  Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,

   ikrar talak, atau putusan taklik talak.

  Untuk dapat melakukan perceraian salah satu dari pihak laki-laki ataupun perempuan mengajukan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama bagi 15 16 Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit, hal.208 17 Ibid 18 Armia, Op.cit, hal.98 19 Sayyid Sabiq, Fiqh as-sunnah, Jilid VIII, Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hal.9 20 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, 2005, hal.116 Mohd.Idris Ramulyo, Op.cit, hal.71 yang beragama muslim sedangkan Pengadilan Negeri bagi yang bukan beragama muslim. Kemudian berkas dan alasan-alasan yang cukup harus diperiksa terlebih dahulu dan setelah semuanya dipertimbangkan dengan baik maka hakim baru dapat memutuskan dan mengabulkan permohonan atau gugatan cerai tersebut.

  Perceraian adalah terlarang, banyak larangan Tuhan dan Rasul mengenai perceraian antara suami dan istri. Tak ada sesuatu yang halal yang paling dimarahi

   oleh Tuhan selain dari talak.

  Adapun akibat yang terjadi terhadap perceraian adalah anak, dimana anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya sudah meninggal dunia bisa dirawat oleh ayahnya, anak yang belum mumayyiz juga dapat memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

  Anak adalah salah satu tujuan dari adanya pernikahan atas suatu perkawinan, yaitu yang dikatakan anak adalah seseorang yang dilahirkan dari rahim seorang wanita, apabila dikaitkan dengan ibu. Bila dikaitkan dengan keduanya atau ibu maupun bapak maka anak adalah seseorang yang dilahirkan setelah adanya pernikahan yang sah antara kedua orang tuanya. Anak juga merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambaNya, tetapi tidak semua insan di dunia juga diberikan kepercayaan untuk memiliki dan mengasuh anak. Oleh karena itu kehadiran anak dalam rumah tangga adalah suatu kenikmatan dan rasa syukur yang begitu besar terhadap Allah SWT, sehingga wajib dan harus disyukuri dan juga merupakan belahan jiwa setiap jiwa. Anak adalah sumber kebahagiaan dan kesejahteraan yang 21 Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta, Attahiriyah, 1954, hal.363 mampu membuat setiap insan menjadi lebih bahagia, karena dialah rezeki dicari dan lantarannya pada cita-cita dan harapan digapai.

  Perceraian dapat menimbulkan efek-efek yang kurang baik dari segi moral maupun keluarga, bahkan yang sudah memiliki anak membawa tanggung jawab yang lebih berat, sehingga anak-anak dapat saja mengalami perubahan dalam kehidupan sehari-hari mereka apalagi setelah perceraian itu terjadi, yang mana mengigat anak- anak masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang maupun pendidikan yang semestinya harus didapat kedua orangtuanya.

  Terkadang orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya dan sederhananya, bahwa penyelesaian terhadap anak lebih dapat dan mudah dicapai. Dalam kondisi dan situasi apapun harus tetap diingat bahwa anak juga adalah individu yang mempunyai hak-hak dasar yang harus diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Berarti anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh karena itu, didalam perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas yang utama.

  UU Perkawinan dan KHI menentukan perceraian hanya dapat dilaksanakan bila dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah melalui proses dan tahapan tertentu.

  Hal ini dapat ditemukan pada Bab VIII Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41 UU

  

   Perkawinan, dan Pasal 115 KHI. Diadakannya ketentuan hukum yang berkaitan

  dengan perceraian tentunya untuk menghilangkan kesan bahwa proses perceraian dapat dilakukan dengan teramat mudah, disamping juga untuk melindungi hak bekas istri dan hak anak setelah terjadinya perceraian.

  Kehadiran anak juga di dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orang tua, hubungan itu adalah memberikan hak dan kewajiban antara orangtua dan anak. Kewajiban orang tua dapat dilihat dari ketentuan didalam Pasal 45

   Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan : 1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

  2. Kewajiban orangtua yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orang tua putus.

   Selanjutnya Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan : 1.

  Anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik.

2. Jika anak telah dewasa maka ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.

  Dari kedua pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan timbal balik yang erat yaitu adanya hak dan kewajiban antara orangtua dan anaknya yang tidak akan berakhir walaupun sampai kedua orangtuanya bercerai.

  Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

26 Anak. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menegaskan:

  22 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,

  Jakarta, 1997, hal.222 23 24 Ibid, hal.331 25 Lihat Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 26 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

  “Bahwa pertanggung jawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak,

   baik fisik, mental, spiritual maupun sosial”.

  Seperti halnya juga yang kita lihat dan kita ketahui bahwa permasalahan hak dan pemeliharaan anak sering timbul dalam kehidupan manusia, sebagai akibat darinya suatu perceraian yang dilakukan kedua orangtuanya. Oleh karena itu, bagi orangtua tentunya menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada didalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orang tua yang telah bercerai harus merelakan anak-anaknya dalam penguasaan salah satu dari mereka, ataupun dengan jalur pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan hakim yang sudah diputuskan didalam persidangan perceraian mereka.

  Anak yang belum dewasa/dapat berdiri sendiri tentu saja masih mempunyai hak atas pengasuhan kedua orangtuanya, meskipun orangtuanya sudah bercerai dan semata-mata pengasuhan tersebut demi kepentingan dan kelangsungan hidup anak tersebut. Namun apabila terjadinya suatu perselisihan dalam penguasaan anak maka pengadilan yang berhak atau memberikan keputusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak tersebut.

  Sesuai dengan aturan hukum dan rumusan yang ada di dalam undang-undang, bahwa untuk dapat menentukan hak pemeliharaan anak yang perlu diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus bisa benar-benar 27 Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya. Namun apabila bapaknya tidak mempunyai jaminan sosial ekonomi untuk bisa membiayai penghidupan anaknya, maka ibunya yang ternyata lebih mampu untuk membiayainya, maka sang ibulah yang harus bertanggung jawab memberikan penghidupan kepada anaknya begitu pula sebaliknya terhadap bapaknya, walaupun seorang bapak dan ibu diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya.

  Seperti yang telah disinggung diatas bahwa perceraian menimbulkan akibat bagi anaknya yang telah lahir dalam perkawinan tersebut. Akibat didalam perceraian terhadap anak diatur dalam Pasal 41 UUP yang menyatakan sebagai berikut :

  “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Dan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.

  Kenyataan yang kita lihat sebahagian besar yang terjadi dilingkungan masyarakat Indonesia sekarang terutama yang beragama Islam, apabila terjadi perceraian dan memiliki anak dibawah umur maka akan menimbulkan permasalahn dalam hal tanggung jawab orangtua setelah terjadinya perceraian dan antara permasalahan hak pemeliharaan anak dan tanggung jawab pemberian nafkah terhadap anak ini sering berbanding terbalik. Maksudnya disini adalah dalam hal hak pemeliharaan anak orangtua umumnya menginginkan anak-anaknya berada dalam asuhannya, tetapi untuk kewajiban pemberian nafkah sering kali pihak yang telah diwajibkan membiayai pemeliharaan anaknya tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan keputusan Pengadilan.

  Bagi yang beragama Islam ketentuan mengenai pemeliharaan dapat dilihat dalam Pasal 105 KHI, yang berbunyi sebagai berikut :

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

  3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

  Jika dibandingkan dan dilihat dari ketentuan Pasal 41 UUP dengan Pasal 105 KHI, ketentuan keduanya tetap mengatur mengenai hak anak pasca terjadinya perceraian, hanya saja didalam KHI disebutkan batas umur pemeliharaan anak yang merupakan hak ibunya, yaitu sampai si anak berumur 12 (dua belas) tahun dan apabila sudah lewat 12 (dua belas) tahun atau sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk dapat memilih apakah ikut dengan ibunya maupun bapaknya. Sedangkan dalam 41 UUP tidak ditentukan batas usia anak, namun tetap ditentukan adanya kewajiban orangtua untuk memelihara anak-anaknya.

  Berdasarkan uraian di atas, tertarik untuk melakukan penelitian Putusan mengenai hak asuh anak yang telah di Putuskan oleh Pengadilan Agama di kota Medan, dengan judul penelitian: “Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang

Tua Laki-laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama.

  (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam ? 2.

  Bagaimana kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian ? 3. Alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan hakim dalam memutuskan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam perceraian ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun tujuan penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tentang hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam.

  2. Untuk mengetahui kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian.

  3. Untuk mengetahui alasan-alasan hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam perkara perceraian.

  Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1. Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum Perdata khususnya hukum keluarga yang berkaitan dengan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki setelah terjadinya perceraian.

  2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai putusan Pengadilan Agama yang berhubungan dengan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki setelah perceraian.

  3. Sebagai bahan referensi bagi lembaga Peradilan sebagai bahan pertimbangan bagi majelis hakim dalam menangani perkara hadhanah setelah perceraian.

  D. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada penulisan skripsi yang menyangkut hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam hal terjadinya perceraian, sehingga penulisan skripsi ini adalah asli.

  JATUHNYA HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA LAKI- LAKI KARENA PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn) yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif dan ilmiah melalui pemikiran referensi, dari buku-buku, media elektronik dan bantuan para narasumber dari pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.

  E. Tinjauan Kepustakaan

  Pada prinsipnya perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Karena itu antara suami dan istri perlu adanya sikap saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material, karena itu UU Perkawinan menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian.

  Di dalam Pasal 38 UU Perkawinan ditegaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Adapun di dalam Pasal

  39 UU Perkawinan ditegaskan kembali bahwa perceraian hanya dapat dilakukan did epan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

  Apabila perkawinan tersebut putus karena perceraian, persoalan yang terjadi tidak begitu saja selesai, akan tetapi timbul akibat-akibat hukum yang perlu dipatuhi oleh pihak-pihak yang bercerai. Akibat hukum yang timbul dari perceraian tidak hanya kepada pihak suami atau istri, akan tetapi juga terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

  Akibat hukum yang kemudian timbul dari perceraian pada umumnya adalah

  

  tentang hadhanah. Secara teminologi hadhanah berarti merawat dan mendidik seorang yang belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya karena mereka tidak

  

  bisa memenuhi keperluannya. Apabila anak sudah mumayyiz (berumur 12 tahun) hendaklah diselidiki oleh yang berwajib siapakah diantara kedua orang tuanya yang

  

  lebih baik dan lebih cakap untuk mendidik anak tersebut. Selain persoalan

  

hadhanah , akibat hukum perceraian juga berkaitan dengan biaya hadhanah dan biaya

   nafkah anak tersebut dan harta sarikat (harta bersama).

  Setiap anak berhak mendapatkan pemeliharaan (hadhanah) dan kelangsungan hidup yang layak dari orangtuanya sekalipun telah terjadi perceraian. Pemeliharaan menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan, 28 Hadhanah berasal dari kata “hidhan” yang artinya lambung, para ahli fiqh mendefinisikan hadhanah

  

ialah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tapi belum tamyiz (berumur 12 tahun), Sayyid Sabbiq Op.cit., hal.42-43 29 30 Abu Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999, hal.415 M.Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1993, hal.12 31 Harta bersama adalah harta benda dan kekayaan yang diperoleh pasangan suami istri disaat berlangsungnya perkawinan, Ibid, hal.133 perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan”.

   Menurut Abdul Aziz Dahlan, “Hadhanah ini berarti disamping atau berada

  dibawah ketiak. Sedangkan secara terminologisnya merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri”.

33 Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-

  laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara yang baik atau yang buruk) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga sesuatu dari yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa :

   Anak adalah putra-putri kehidupan didalam sebuah keluarga, masa depan

  bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan bimbingan atau pembinaan yang khusus agar perkembangan fisik, mental maupun spiritualnya dapat dimiliki Dalam Pasal 41 UU Perkawinan, disebutkan akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

  1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak ; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan memberi keputusannya.

  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

  32 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal.848 33 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), hal.415 34 Sayyid Sabbiq, Op.cit, hal.160 semaksimal mungkin. Anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil dan belum menikah.

  Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa anak adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Secara hukum perdata pengertian anak tidak diatur secara eksplisit, namun pengertian anak selalu dikaitkan dengan pengertian tentang kedewasaan dan masalah batas kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya.

  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak langsung mengatur mengenai usia sampai kapan seseorang digolongkan sebagai seorang anak, bahkan undang-undang membedakan usia dewasa yang dikaitkan kepada perbuatan hukumnya, sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 ayat (2) yang memuat tentang syarat perkawinan, “ Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya”. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan memuat batas usia minimum untuk dapat melangsungkan perkawinan, “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dilihat dari sisi lain Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.

  Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum mencapai

  

  umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, menyatakan, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai

   umur 8 (delapan) tahun dan belum pernah kawin”.

  Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI, batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan, “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan” Kemudian Pasal 105 huruf a dan b KHI membedakan anak yang belum dewasa antara yang belum mumayyiz ( belum berumur 12 tahun)

   dan telah mumayyiz.

  Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

   anak yang masih di dalam kandungan.

  Dari 2 (dua) sumber tersebut terdapat pengertian yang sangat berbeda tentang anak, satu sisi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian anak tidak 35 36 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak 37 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum umur 12 tahun) merupakan hak ibunya sepanjang

  

tidak terhalang dan yang telah mumayyiz diserahkan kepada anak yang bersangkutan untuk memilih apakah ikut ibunya atau bapaknya 38 Pasal 1 angka (1) Undang-undang Perlindungan Anak melihat kepada batas usia, sedangkan berdasarkan UU Perlindungan Anak, pengertian anak hanya meliputi yang berusia 0 (nol) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun bahkan yang masih dalam kandungan ibunya juga dikategorikan sebagai anak. Untuk dapat disebut anak maka anak itu harus berada pada batas usia bawah atau usia

   minimum 0 (nol) tahun (terhitung dalam kandungan) sampai dengan batas usia atas.

  Dari berbagai peraturan yang telah dikemukakan di atas, batas umur anak yang belum dewasa itu ada 2 (dua) batasan umur yaitu 18 (delapan belas) tahun dan 21 (dua puluh satu) tahun. Hal ini tergantung kepada tindakan atau perbuatan hukum yang terjadi padanya.

  Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, apabila perkawinan bubar karena perceraian yang dilakukan melalui pengadilan, maka setiap anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan nafkah dari orang tuanya. Mengasuh anak adalah hak ibu, kalau tidak ada ibu maka diganti oleh kaum wanita dari keluarga ibu, dan kalau mereka tidak ada maka digantikan oleh kaum wanita dari keluarga ayah, kemudian keluarga lain dari pihak ibu, kalau tidak ada maka

   digantikan oleh keluarga lain dari pihak ayah.

  Dari beberapa permasalahan yang telah dikemukakan di atas dapat dikatakan bahwa apabila terjadinya suatu perceraian, maka pemeliharaan anak dan memberikan kelangsungan hidup yang layak ataupun pemberian nafkah sampai anak tersebut tumbuh dewasa tetap menjadi tanggung jawab orang tua sesuai keputusan 39 40 Maulana Hasan Wadung, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal.24 Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hal.45 pengadilan.

F. Metode Penelitian

1. Sifat Jenis Penelitian

  Penulisan skripsi ini adalah dikaji dan disusun dengan menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, karena penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan atau menggambarkan keadaan atau fenomena yang berhubungan dengan permasalahan yang akan di teliti. Adapun Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin tentang segala hal yang berhubungan dengan aktivitas manusia, karya manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya.

  Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum/ norma-norma hukum atau prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan “Jatuhnya Hak Hadhanah

  Kepada Orang Tua Laki-laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn”.

   2. Sumber Data

  Data Sekunder yang di pergunakan terdiri dari beberapa bahan hukum, yaitu : 1. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang di bahas dan Putusan Pengadilan Agama di wilayah hukum Medan.

  2. Bahan hukum sekunder, yang sifatnya menjelaskan dari hukum primer.

  3. Tersier, berupa kamus umum.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian Putusan Pengadilan Agama Medan. Library research dimaksudkan untuk dapat dikumpulkan bahan-bahan kepustakaan, berupa buku-buku, majalah, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam skripsi ini. Putusan Pengadilan Agama Medan yang akan dibahas untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui Pengadilan Agama Medan.

G. Sistematika Penulisan

  Gambaran isi dari tulisan ini kemudian diuraikan secara sistematis dalam bentuk tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya akan diuraikan secara tersendiri, tetapi antar satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan.

  Berdasarkan sistematika yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu :

  BAB I : PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang

  pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.

  

BAB II : KEDUDUKAN ANAK DALAM KETENTUAN HUKUM ISLAM Didalam bab ini dijelaskan pengertian anak, hak dan kedudukan anak menurut hukum Islam, hak dan kewajiban anak yang masih dibawah umur menurut perundang-undangan.

  BAB III : KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK HADHANAH (PEMELIHARAAN ANAK) SETELAH PERCERAIAN Didalam bab ini di jelaskan tentang pengertian hadhanah

  (pemeliharaan anak) dalam hukum Islam, hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tuanya, kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian.

  BAB IV : ALASAN-ALASAN HUKUM YANG DIGUNAKAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 1521/Pdt.G/2011/PA. Mdn TENTANG HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA KARENA PERCERAIAN Didalam bab ini dijelaskan tentang duduk perkara, dasar pertimbangan putusan hakim serta analisis putusan hakim. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan serta saran yang dapat diberikan oleh penulis.

Dokumen yang terkait

Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

1 59 103

Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

2 91 165

Hak Pemeliharaan Dan Kewajiban Memberi Nafkah Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Di Kota Binjai (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

1 42 105

Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/Pa.Bks.)

0 12 73

Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/Pa.Bks.)

1 27 73

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Su

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

2 4 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tinjauan Yuridis Pembatalan Pernikahan Akibat Menggunakan Dokumen/Keterangan Palsu (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 776/Pdt.G/2009/PA/Mdn)

0 2 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB II KEDUDUKAN ANAK DALAM KETENTUAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Anak - Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

0 0 25