Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

(1)

ANALISIS HADHANAH PADA PUTUSAN HADHANAH

DI PENGADILAN AGAMA MEDAN (Studi Putusan Pengadilan

Agama Medan Tahun 2010-2012)

TESIS

OLEH

NIRMAYANI LAKSANI PUTRI PULUNGAN

117011092/MK.n

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS HADHANAH PADA PUTUSAN HADHANAH

DI PENGADILAN AGAMA MEDAN (Studi Putusan Pengadilan

Agama Medan Tahun 2010-2012)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

NIRMAYANI LAKSANI PUTRI PULUNGAN

117011092/MK.n

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr.Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. 2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum. 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Idha Apriliana Sembiring, SH, MHum


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : NIRMAYANI LAKSANI PUTRI PULUNGAN

NIM : 117011092

Program Studi : Magister Kenotariatan Tanggal Lulus : 27 Agustus 2013

Judul : ANALISIS HADHANAH PADA PUTUSAN

HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA MEDAN

(Studi Pengadilan Agama Medan dari Tahun 2010-2012)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan plagiat. Apabila di kemudian hari diketahui tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut. Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dalam keadaan sehat tanpa ada paksaan dari pihak manapun.


(6)

ABSTRAK

Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain, tetapi kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai sengketa Hadhanah atas anak-anak yang lahir dari perkawinan. Hal inilah yang mendorong untuk mengetahui hadhanah dan penyelesaiannya oleh hakim yang dituangkan dalam putusan Pengadilan Agama Kelas IA Medan sepanjang tahun 2010-2012.

Meneliti masalah tersebut diatas teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum oleh Jan Michiel Otto, yang didukung teori kemaslahatan oleh Al-Ghazali, yakni menilai putusan hadhanah yang berkekuatan hukum tetap dan putusan itu harus dapat mencapai kemaslahatan bagi semua pihak yang bersengketa terutama kemaslahatan dari anak yang menjadi objek sengketa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis, yang teknik pengumpulan datanya dengan mempergunakan data skunder yaitu dengan mempelajari peraturan perUndang-Undangan yang memiliki hubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa sesuai pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, pemeliharaan anak yang belum muwayyiz atau belum berumur 12 Tahun adalah hak ibu, sedangkan pemeliharaan anak yang sudah muwayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibu sebagai pemegang hadhanahnya, namun hal ini tidak menutup kemungkinan pada anak yang belum muwayyiz, hadhanah jatuh pada ayah yaitu jika seorang ibu terbukti cacat hukum. Peraturan perUndang-Undang yang mengatur mengenai perlindungan terhadap hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomr 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah cukup mengatur perlindungan dan kesejahteraan anak dan hal itulah yang menjadi pertimbangan utama hakim dalam memutuskan setiap sengketa hadhanah.Khusus pada sengketa hadhanah maka pelaksanaan putusan secara eksekusi riil yaitu putusan yang dilakukan secara sukarela. Dari hasil penelitian diatas dapat disarankan Kepada Majelis hakim dalam memutuskan perkara sebaiknya seorang ibu yang lebih dahulu dipertimbangkan sebagai pemegang hadhanah, dan jika seorang ibu tidak berhak maka hal itu memang dibuktikan dengan bukti-bukti yang cukup kuat yang menyatakannya tidak berhak atas hadhanah, dan seharusnya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bersifat eksekutabel dalam pelaksanaannya jika putusan itu tidak dilaksanakan sesuai amar putusan. Dan untuk mewujudkannya hendaknya pemerintah mengatur masalah sanksi hadhanah baik mengenai sanksi dalam pelanggaran penetapan hadhanah maupun pembiayaan anak.


(7)

ABSTRACT

Marriage is the attempt to unite two different individuals; but, in reality, not all marriages can last forever. By the ending of a marriage, based on the Court’ verdict which is final and conclusive, there will be followed by legal consequence; one of them is about Hadhanah (child custody) on children who are born from that marriage. This case has encouraged the researcher to know hadhanah and its solution by judges which stipulated in the verdict of the Religious Court Class A in the period of 2010-2012.

The theory used in the research was the theory of legal certainty by Jan Michiel Otto, supported by the theory of benefit by Al-Ghazali which consider that the verdict on hadhanah which is final and conclusive must be able to give the benefit to all parties who are in dispute, especially to the children who become the object of the dispute. The research was conducted by using judicial normative method with descriptive analytic approach. The data were gathered by using secondary data, by studying legal provisions, laws, and regulations related to the problems in the research.

It can be concluded that in accordance with Article 105 of the Compilation of Islamic Laws, the custody of children who are before mummayiz (having arrived at the age of discretion/reason) or under 12 years old is given to the mother, while the custody of children who are after mummayiz, it is up to them to choose one of their parents. However, it is not possible that children who are before mummayiz, hadhanah is given to the father if it is evidence that the mother is legally defective. Legal provisions which stipulate the protection for children’s rights, found in Law No. 4/1979 on the Welfare of Children, Law No. 23/2002 on the Protection for Children, and Law No. 39/1999 on Human Rights, are sufficient in regulating the protection and the welfare of children. This becomes judges’ consideration in giving a verdict about hadhanah dispute. In hadhanah dispute, specifically, the implementation of real executorial verdict is made involuntarily. It is recommended that Panel of Judges, in giving the verdict, should prioritize the mother to be given the custody of hadhanah. If that mother does not have the right, it must be proved that she does have the right by strong evidence. The judge’s verdict which is final and conclusive must be executable in its implementation if the verdict is not implemented as it is in the dictum. In order to realize it, it is suggested that the government regulate the sanction on hadhanah, either the sanction on the violation against the dictum on hadhanah or the financing of the children.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT yang berkat Rahmat dan Hidayah-Nya, hasil penelitian dengan judul “ ANALISIS HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN TAHUN 2010-2012 “, telah dapat diselesaikan. Selawat dan salam Penulis sampaikan kepangkuan Nabi Besar MUHAMMAD SAW, yang telah megantarkan umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara yang sangat terpelajar dan para pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara yang sangat terpelajar, beserta para Asisten direktur, Sekretaris, dan para staf , Ketua Program S2 Magister kenotariatan yang sangat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH.,MS.CN, dan Sekretaris Program S2 Magister Kenotariatan yang sangat terpelajar Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH.,CN, MHUM yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti pendidikan dalam Program S2 Magister Kenotariatan yang sangat berharga dan sangat dicintai ini.

Sangat disadari bahwa penelitian ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa adanya bimbingan maupun arahan dari dosen pembimbing dan dosen penguji, untuk itulah dengan rasa hormat Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya terutama yang sangat penulis hormati dan sangat terpelajar Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah sebagai Ketua Pembimbing dan sebagai suri tauladan dan panutan bagi Penulis yang telah memberikan bimbingan mengenai materi penelitian, juga memberi ilmu materi perkuliahan selama Penulis berada di


(9)

Magister Kenotariatan sehingga Penulis lebih dapat memahami ilmu khususnya Agraria yang akhirnya sangat membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada yang sangat Penulis hormati dan sangat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN sebagai anggota pembimbing yang sangat membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis ini dengan bimbingan, arahan dan perhatian beliau disetiap waktu, walaupun ditengah-tengah kesibukan beliau tapi masih mau memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada Penulis hingga selesainya penulisan ini. Bapak merupakan contoh spirit bagi Saya untuk berani dalam meraih kesuksesan dan Penulis berharap semoga kelak dapat sukses seperti beliau. Kepada yang sangat Penulis hormati, sangat terpelajar dan sangat Penulis kagumi kepintaran dan kebaikannya Ibu Dr. Utary Maharany, SH, MHum yang telah membimbing dengan penuh perhatian, kesabaran, dan bersemangat dalam setiap waktu dan memberikan motivasi dan semangat pada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini,

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada yang amat terpelajar Ibu dosen Dr. T.Keizerina Devi A, SH,CN,Mhum dan Ibu dosen Dr. Idha Aprilyani SH, MHum yang masing-masing sebagai dosen penguji Penulis mulai dari tahap proposal tesis sampai dengan tahap ujian tesis yang selalu memberikan arahan dan petunjuk dalam menyempurnakan penulisan tesis ini hingga selesai.

Ucapan terima kasih kepada Hakim Pemgadilan Agama Medan Bapak

Haspar Pulungan SH di Pengadilan Agama Medan dan kepada Ulama Ahmad Zuchri Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Kota Medan yang semuanya sangat membantu Penullis dengan selalu memberikan waktu luangnya untuk


(10)

wawancara dan memberikan data yang diperlukan Penulis dalam dalam menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih kepada rekan-rekan di Magister Kenotariatan yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis ini khususnya kepada Fahmi yang selama ini telah banyak membantu, memberi semangat dan suport serta doa kepada Penulis hari demi hari dari awal sampai akhirnya penulis bisa menyelesaikan kuliah ini dengan semangat dan termotivasi untuk jadi yang lebih baik lagi.

Terimakasih juga Penulis sampaikan kepada pada para Staf dan pegawai di Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan melayani Penulis dengan baik.

Secara Khusus dari hati yang paling dalam ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Ibunda yang tercinta mama Rahma yang telah membesarkan, mendidik, serta melimpahkan segala kasih sayang yang tiada henti-hentinya, selalu mendoakan Penulis siang dan malam, yang telah memberikan segala-galanya kepada Penulis agar penulis selalu dalam keadaan sehat, bahagia dan sukses, yang sampai kapanpun tidak akan dapat Penulis balas seluruh kasih sayang yang telah mama berikan kepada Penulis. Tanpa mama, mungkin Putri tidak dapat meraih cita-cita dan dapat menimbah ilmu di Magister Kenotariatan Universitas sumatera Utara ini, Terima kasih mama, dan adikku Nanda yang sangat kusayangi yang selalu memberikan doa dan semangatnya kepada Penulis.

Terhadap kebaikan dan kemurahan hati semua pihak tersebut, Penulis hanya dapat mendoakan dan menyerahkan kepada Allah SWT semoga Allah SWT


(11)

memberikan balasan yang setimpal baik di dunia dan di akhirat kelak. Amiin Ya Rabal Alamin.

Hormat Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori... 13

2. Konsepsi ... 25

G. Metode Penelitian ... 28

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012 33

A. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak ... 33

1. Perceraian ... 33

2. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anaknya ... 34

B. Hadhanah ... 36

1. Pengertian Hadhanah ... 36

2. Masa Hadhanah ... 39

3. Syarat-Syarat yang Harus dipenuhi Hadhin dalam Hadhanah ... 41

4. Dasar Hukum Hadhanah ... 43

C. Sebab-sebab Timbulnya Hadhanah dan Akibatnya ... 45

D. Karakter Hadhanah Pada Putusan Pengadilan Agama Medan ... 55

1. Kondisi Anak ... 55

2. Kondisi Orang tua (ibu) ... 57

3. Isi Putusan Hadhanah ... 58

E. Karakter Hadhanah menurut Pandangan Hukum Islam 60

1. Kondisi Anak ... 60


(13)

BAB III ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM BAGI HAKIM PENGADILAN AGAMA KELAS IA MEDAN DALAM

MENENTUKAN PUTUSAN HADHANAH ... 64 A. Hak dan Kewajiban Orang tua menurut Hukum Islam ... 64 1. Menurut Alqur’an dan Hadist ... 64 2. Hak dan Kewajiban Orang tua menurut Kompilasi

Hukum Islam ... 71 B. Hak dan Kewajiban Orang tua menurut Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia ... 73 1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan ... 73 2. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Tentang kesejahteraan Anak ... 75 3. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak ... 75 C. Karakteristik Orang tua Ideal Bagi Anak Berdasarkan

Fiqh Islam ... 78 D. Hak-Hak Anak Berdasarkan Hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan ... 85 1. Hak Anak Berdasarkan Hukum Islam ... 85 2. Hak Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 87

a. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak ... 87 b. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak ... 90 c. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Azasi Manusia ... 92 BAB IV PUTUSAN HADHANAH YANG DIPUTUSKAN

PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012 96

A. Wilayah Hukum dan Kewenangan Pengadilan Agama Medan ...

1. Pengadilan Agama ... 96 2. Tugas dan Wewenang Lembaga Pengadilan Agama ... 97 B. Posisi Kasus Hadhanah di Pengadilan Agama Medan ... 103

1. Putusan Nomor 1431/Pdt.G/2010/PA-Mdn, dan

diputuskan pada tanggal 9 Desember 2010 ... 103 2. Putusan Nomor 1531/Pdt.G/2010/PA-Mdn, dan

diputuskan pada tanggal 1 Juni 2011 ... 104 3. Putusan Nomor 1591/Pdt.G/2011/PA-Mdn, yang

diputuskan pada tanggal 6 Maret 2011 ... 106 4. Putusan Nomor 234/Pdt.G/2011/PA-Mdn, yang

diputuskan pada tanggal 4 April 2011 ... 108 5. Putusan Nomor 1032/Pdt.G/2011/PA-Mdn, yang

diputuskan pada tanggal 22 Agustus 2011 ... 110 6. Putusan Nomor 1327/Pdt.G/2011/PA-Mdn, yang


(14)

diputuskan pada tanggal 30 November 2011 ... 112

7. Putusan Nomor 1790/Pdt.G/2011/PA-Mdn, yang diputuskan pada tanggal 18 Desember 2012 ... 114

C. Analisis Putusan Hadhanah di Pengadilan Agama Medan dari Tahun 2010-2012 ... 115

D. Analisis Eksekutabel Putusan Hadhanah pada Pengadilan Agama Medan ... 132

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

A. Kesimpulan ... 137

B. Saran ... 139


(15)

ABSTRAK

Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain, tetapi kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai sengketa Hadhanah atas anak-anak yang lahir dari perkawinan. Hal inilah yang mendorong untuk mengetahui hadhanah dan penyelesaiannya oleh hakim yang dituangkan dalam putusan Pengadilan Agama Kelas IA Medan sepanjang tahun 2010-2012.

Meneliti masalah tersebut diatas teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum oleh Jan Michiel Otto, yang didukung teori kemaslahatan oleh Al-Ghazali, yakni menilai putusan hadhanah yang berkekuatan hukum tetap dan putusan itu harus dapat mencapai kemaslahatan bagi semua pihak yang bersengketa terutama kemaslahatan dari anak yang menjadi objek sengketa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis, yang teknik pengumpulan datanya dengan mempergunakan data skunder yaitu dengan mempelajari peraturan perUndang-Undangan yang memiliki hubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa sesuai pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, pemeliharaan anak yang belum muwayyiz atau belum berumur 12 Tahun adalah hak ibu, sedangkan pemeliharaan anak yang sudah muwayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibu sebagai pemegang hadhanahnya, namun hal ini tidak menutup kemungkinan pada anak yang belum muwayyiz, hadhanah jatuh pada ayah yaitu jika seorang ibu terbukti cacat hukum. Peraturan perUndang-Undang yang mengatur mengenai perlindungan terhadap hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomr 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah cukup mengatur perlindungan dan kesejahteraan anak dan hal itulah yang menjadi pertimbangan utama hakim dalam memutuskan setiap sengketa hadhanah.Khusus pada sengketa hadhanah maka pelaksanaan putusan secara eksekusi riil yaitu putusan yang dilakukan secara sukarela. Dari hasil penelitian diatas dapat disarankan Kepada Majelis hakim dalam memutuskan perkara sebaiknya seorang ibu yang lebih dahulu dipertimbangkan sebagai pemegang hadhanah, dan jika seorang ibu tidak berhak maka hal itu memang dibuktikan dengan bukti-bukti yang cukup kuat yang menyatakannya tidak berhak atas hadhanah, dan seharusnya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bersifat eksekutabel dalam pelaksanaannya jika putusan itu tidak dilaksanakan sesuai amar putusan. Dan untuk mewujudkannya hendaknya pemerintah mengatur masalah sanksi hadhanah baik mengenai sanksi dalam pelanggaran penetapan hadhanah maupun pembiayaan anak.


(16)

ABSTRACT

Marriage is the attempt to unite two different individuals; but, in reality, not all marriages can last forever. By the ending of a marriage, based on the Court’ verdict which is final and conclusive, there will be followed by legal consequence; one of them is about Hadhanah (child custody) on children who are born from that marriage. This case has encouraged the researcher to know hadhanah and its solution by judges which stipulated in the verdict of the Religious Court Class A in the period of 2010-2012.

The theory used in the research was the theory of legal certainty by Jan Michiel Otto, supported by the theory of benefit by Al-Ghazali which consider that the verdict on hadhanah which is final and conclusive must be able to give the benefit to all parties who are in dispute, especially to the children who become the object of the dispute. The research was conducted by using judicial normative method with descriptive analytic approach. The data were gathered by using secondary data, by studying legal provisions, laws, and regulations related to the problems in the research.

It can be concluded that in accordance with Article 105 of the Compilation of Islamic Laws, the custody of children who are before mummayiz (having arrived at the age of discretion/reason) or under 12 years old is given to the mother, while the custody of children who are after mummayiz, it is up to them to choose one of their parents. However, it is not possible that children who are before mummayiz, hadhanah is given to the father if it is evidence that the mother is legally defective. Legal provisions which stipulate the protection for children’s rights, found in Law No. 4/1979 on the Welfare of Children, Law No. 23/2002 on the Protection for Children, and Law No. 39/1999 on Human Rights, are sufficient in regulating the protection and the welfare of children. This becomes judges’ consideration in giving a verdict about hadhanah dispute. In hadhanah dispute, specifically, the implementation of real executorial verdict is made involuntarily. It is recommended that Panel of Judges, in giving the verdict, should prioritize the mother to be given the custody of hadhanah. If that mother does not have the right, it must be proved that she does have the right by strong evidence. The judge’s verdict which is final and conclusive must be executable in its implementation if the verdict is not implemented as it is in the dictum. In order to realize it, it is suggested that the government regulate the sanction on hadhanah, either the sanction on the violation against the dictum on hadhanah or the financing of the children.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Sesuai dengan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara guna membentuk keluarga, karenanya perkawinan ini mutlak di perlukan, menjadi syarat terbentuknya sebuah keluarga.

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.

Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menurut pasal 1bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”

Pernikahan merupakan institusi yang sangat penting. Melalui pernikahan biasanya menimbulkan berbagai konsekuensi, karena itu diatur prosedur guna menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif yang merugikan.

Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu", kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa "tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan


(18)

perundang- undangan yang berlaku". Jadi untuk sahnya suatu perkawinan selain perkawinan harus sah berdasarkan agama juga harus didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang, sehingga perkawinan mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibuktikan atau peristiwa perkawinan itu telah diakui oleh negara. Hal ini penting artinya demi kepentingan suami isteri itu sendiri, anak yang lahir dari perkawinan serta harta yang ada dalam perkawinan tersebut.

Pencatatan resmi bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga resmi pemerintahan. Sedangkan publikasi secara formal biasanya dilakukan dalam bentuk acara walimahan atau resepsi.

Tujuan pencatatan perkawinan ini adalah agar perkawinan yang berlangsung tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan pasti, yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami-isteri, anak yang dilahirkan menjadi anak yang sah, hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, hak saling mewarisi antara suami-isteri dan anak-anak dengan orang tua, dan bagi anak perempuan seorang ayah berhak menjadi wali nikahnya.1

Menurut Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, bilamana suatu perkawinan tidak dicatat sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama atau kepercayaan, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula akibat yang timbul dari perkawinan itu.

2

1

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hal 248

2

Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Alumni Bandung, 1986), hal. 16.


(19)

Perkawinan yang dilaksanakan secara sah akan menimbulkan hak dan kewajiban dalam perkawinan, baik antara suami isteri maupun terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan tersebut .

Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan atau anak. Anak merupakan amanah Allah kepada kedua orang tuanya yang wajib untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Kewajiban suami isteri dalam berumah tangga diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 antara lain :3

1. Kewajiban suami (sesuai dengan pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan) yaitu :

Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2. Kewajiban isteri (sesuai dengan pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan) yaitu :

Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

3. Kewajiban suami dan isteri (sesuai denga pasal 45 Undang-Undang Perkawinan) yaitu :

Suami isteri (kedua orang tua) wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban itu berlaku sampai anak-anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus sampai meskipun perkawinan.

3


(20)

Kewajiban suami isteri tersebut lebih rinci diatur dalam instruksi presiden nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam :4

1.Kewajiban suami (sesuai dengan pasal 80 Kompilasi Hukum Islam) :

2. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.

3. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

4. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

5. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak

c. Biaya pendidikan bagi anak

6. Kewajiban suami terhadap isteri seperti tersebut pada ayat (94) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya

7. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b

8. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

2. Kewajiban isteri (sesuai dengan pasal 83 Kompilasi hukum Islam) yaitu:

1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan bathin kepada suami didalam batas-batas yuang dibenarkan oleh hukum islam.

2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Kewajiban suami dan isteri (sesuai dengan pasal 77 Kompilasi Hukum Islam) yaitu :

1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2) suami isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

4

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2012), hal 29


(21)

3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

Namun sebagai manusia yang mempunyai banyak persoalan dan keinginan tentunya tidak jarang timbul dalam suatu keluarga pertentangan, perselisihan, yang tanpa disadari akan menimbulkan jurang pemisah antara suami isteri di dalam perkawinan yang dibina, yang akhirnya menyebabkan terjadinya perceraian.

Akibat hukum dari perceraian salah satunya adalah hadhanah karena putusnya suatu perkawinan tidak mempengaruhi hubungan dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, tetapi dalam hal pemeliharaan terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan terjadi permasalahan, apabila kedua orang tuanya itu masing-masing sama berkeinginan untuk mengasuh anaknya, karena tidak mungkin seorang anak berada dalam pengasuhan kedua orang tuanya yang telah berpisah tempat tinggal dan hidupnya pada waktu yang bersamaan. Peristiwa tersebut akan menimbulkan sengketa antara kedua orang tua dalam pemeliharaan terhadap anaknya.

Menurut istilah ahli fiqh hadhanah adalah memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohani menjaga makanan dan kebersihannya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.5

5

TM.Hasbi Ash-Shsiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 54


(22)

Hak-hak anak cukup banyak peraturannya baik dalam ajaran Islam maupun dalam hukum nasional antara lain yang diatur dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (diatur dalam pasal 26), dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (diatur dalam pasal 48) serta Kompilasi Hukum Islam (diatur dalam pasal 98-106) dan diatur dalam Alqur’an pada surat Luqman ayat 12-19, surat Al-Baqarah ayat 233, surat An-Nisa ayat 2,6, & 10, surat Al-Qashas ayat 12.

Dalam penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa tanggung jawab orang tua atas

kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara serta mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa.

Apabila terjadi sengketa tentang hadhanah, dalam hal ini masing-masing pihak merasa berhak atas anak, maka dalam hal ini Pengadilan merupakan satu-satunya lembaga yang berhak menangani permasalahan ini adalah Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal suami atau istri.

Data yang ditemukan pada Pengadilan Agama Medan mengenai putusan hadhanah dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 yang tercatat di Pengadilan Agama Medan ada 7 kasus yang telah mendapatkan putusan yang sudah inkracht Pengadilan Agama Kelas IA Medan, yaitu antara lain:


(23)

2. 1531/Pdt.G/2010/PA.Mdn pada tanggal 08 Desember 2010 3. 234/Pdt.G/2011/PA.Mdn pada tanggal 14 Februari 2011 4. 1032/Pdt.G/2011/PA.Mdn pada tanggal 27 Juli 2011 5. 1327/Pdt.G/2011/PA.Mdn pada tanggal 11 Oktober 2011 6. 1591/Pdt.G/2011/PA.Mdn pada tanggal 1 Desember 2011 7. 1790/Pdt.G/2012/PA.Mdn pada tanggal 21 November 2012

Putusan Hadhanah yang diteliti ini adalah putusan hadhanah setelah perceraian yang pada putusan perceraiannya tidak ada penetapan mengenai hadhanah, namun setelah berjalannya waktu dan demi kemaslahatan anak maka dari salah satu pihak merasa perlu penetapan mengenai hadhanah.

Pada prinsipnya kewajiban mengenai Hadhanah merupakan tanggung jawab kedua orang tua, namun jika terjadi perceraian maka kewajiban hadhanah atas pemeliharaan anak yang belum muwayyiz atau belum berumur 12 tahun) merupakan hak seorang ibu. Hal ini diatur dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, tetapi si ayah dapat menuntut hak asuh ada ditangannya apabila seorang ibu yang mengasuh anaknya tersebut telah menikah lagi dengan orang lain dan berpindah agamanya (seperti pada putusan 1431/Pdt.G/2010/PA.Mdn), dan apabila ibu yang mengasuh anaknya tersebut dalam pengasuhan anaknya sering melakukan kekerasan baik secara fisik maupun mental kepada anaknya (seperti pada putusan 1032/Pdt.G/2011/PA.Mdn).

Seorang ibu juga dapat menuntut haknya disebabkan adanya penguasaan anak secara sepihak oleh ayahnya namun dalam pemeliharaannya terbukti diserahkan pada orang lain yang mengakibatkan anak tersebut terlantar bahkan tidak sekolah (seperti pada putusan 1327/Pdt.G/PA.Mdn), dan juga demi


(24)

kemaslahatan anak karena dikhawtirkan sang ayah akan mengajari anaknya dengan agama yang dianutnya (seperti pada putusan 234/Pdt.G/PA.Mdn).

Seorang ibu dapat mempertahankan hadhanahnya walaupun telah menikah lagi dengan orang lain dikarenakan terbukti sang ayah setelah perceraian tidak pernah bertanggung jawab terhadap anaknya (seperti pada putusan 1531/Pdt.G/PA.Mdn), dan walaupun seorang ibu bekerja tapi dia dapat membuktikan sebagai ibu mampuh mengurus, membiayai, dan merawat anaknya (seperti pada putusan 1790/Pdt.G/PA.Mdn).

Hadhanah bukan saja mengenai pemeliharaan anak tetapi juga mengenai kewajiban seorang ayah dalam pembiayaaan kehidupan anaknya, hal ini diatur pasal 105 (c) Kompilasi Hukum Islam, dan seorang ibu dapat menuntut tanggung jawab seorang ayah terhadap pembiayaan anaknya (seperti pada putusan 1591/Pdt.G/PA.Mdn)

Berdasarkan uraian mengenai sengketa Hadhanah di atas, maka kajian mengenai Analisis Putusan “Hadhanah” di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Kelas IA Medan Tahun 2010-2012) menarik untuk dilakukan.

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana Karakter Hadhanah yang diputuskan pengadilan` Agama Kelas IA Medan dari Tahun 2010-2012?


(25)

2. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum bagi hakim Pengadilan Agama Kelas IA Medan dalam menentukan sengketa Hadhanah dari Tahun 2010- 2012?

3. Apakah Putusan Hadhanah yang diputuskan di Pengadilan Agama Kelas IA Medan dari Tahun 2010- 2012 telah eksekutabel ?

J. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis karakter Hadhanah pada Putusan Pengadilan Agama Kelas IA Medan dari Tahun 2010-2012

2. Untuk mengetahui dan meganalisis pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Medan dalam menentukan sengketa Hadhanah dari Tahun 2010-2012

3. Untuk mengetahui dan menganalisis eksekusi putusan perkara-perkara Hadhanah pada Pengadilan Agama Kelas IA Medan dari Tahun 2010-2012

K. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan hadhanah di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian.


(26)

2. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pedoman bagi mahasiswa, praktisi hukum dalam menyelesaikan perkara hadhanah di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian serta lebih lanjut dapat menjadi landasan pengembangan lebih lanjut.

L. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan, yang dilakukan baik dikepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, sepengetahuan saya belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul ANALISIS HADHANAH PADA PUTUSAN HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA MEDAN (Studi Putusan Pengadilan Agama Kelas IA Medan Tahun 2010-2012). Namun ada beberapa penelitian yang menyangkut dengan Hak Asuh Atas Anak antara lain penelitian yang dilakukan oleh :

1. Kadriah, NIM ; 943105011 ; Magister Ilmu Hukum ; “ Tanggung Jawab Orang tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Penelitian di Kabupaten Pidie)”. Yang menjadi permasalahannya adalah :

a. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab orang tua terhadap pemeliharaan anak dan nafkah hidup anak?

b. Faktor apa yang menyebabkan orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak?

c. Bagaimana Penyelesaian yang diambil sehingga anak tetap mendapatkan hak-haknya secara layak?


(27)

2. Tessy Taufik, NIM ;097011100 ; Magister Kenotariatan ; Judul Tesis ; “ Tanggung Jawab Suami atau Isteri Dalam Perceraian terhadap Anak (Studi Kasus Putusan Nomor : 209/Pdt.G/2007/PN-Mdn )”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut ;

a. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tangung jawab pengasuhan anak setelah perceraian ?

b. Bagaimana akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya ?

c. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau isteri apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan ?

3. Lisdawarta Purba, NIM ; 0027011029 ; Magister Kenotariatan ; Judul tesis ; “Perceraian Atas Perkawinan yang Tidak Didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan Akibat Hukumnya Terhadap Hak Anak (Kajian Pada Masyarakat Karo di Kecamatan Tigah Panah)”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagi berikut :

a. Bagaimana keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor Catatan Sipil pada Masyarakat di Kecamatan Tigah Panah ?

b. Bagaimana tanggung jawab orang tua setelah perceraian terhadap pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat karo di Kecamatan Tiga Panah ?


(28)

c. Bagaimana hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tua setelah perceraian terhadap pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat karo di Kecamatan Tiga Panah ?

4. Anastasius Rico Haratua sitanggang, NIM ; 037011006 ; Magister Kenotariatan; Judul tesis ; Analisis yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Putusan pengadilan negeri Siak Indraputa-Riau)”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut :

a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinana karena percaraian melalui putusan pengadilan ?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan ?

c. Bagaimana pertimbangan hukum haklim dalam mengadili perkara perceraian di Pengadilan Negeri Siak Indrapura-Riau ?

5. Syarifah Tifany, Nim ; 037011076 ; Magister Kenotariatan ; Judul tesis; “Pengasuhan Anak setelah Terjadi Perceraian (Studi Kasus Pengadilan Agama Binjai)”. Adapun permasalahan yang diteliti adalah :

a. Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam Hukum Islam ?

b. Bagaimana menentukan hak pengasuh hak Hadhanah di pengadilan agama jika terjadi perceraian ?

c. Bagaimana eksekusi putusan perkara Hadhanah di pengadilan agama binjai?


(29)

6. Edi Sucipto, NIM ; 002105006 ; Magister Hukum ; judul Tesis ; “Hadhanah Setelah terjadi Perceraian Menurut kompilasi Hukum Islam dan Penerapannya di Pengadilan Agama Medan”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana ketentuan Hadhanah dalam Kompilasi Hukum Islam ?

b. Bagaimana penerapan penyelesaian Hadhanah di Pengadilan Agama Medan ?

c. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kelalaian orang tua atas tanggung jawab terhadap Hadhanah anak ?

M.Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,6 sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.7

6

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti, 2004), hal. 72-73

7

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Bandar Maju, 1994), hal. 27


(30)

Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:8

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta; b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;

c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori dalam suatu penjelasan yang berupaya untuk

menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori merupakan simpulan dari rangkaian sebagai fenomena menjadi sebuah penjelasan.9

Adapun kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum yang didukung oleh teori kemaslahatan.

Dalam pandangan Thomas Aquinas, suatu hukum disebut adil jika hukum tersebut dapat berfungsi efektif dalam menjamin atau melindungi hak-hak subjek yang diaturnya, termasuk yang diatur dalam hukum positif, keadilan merupakan kehendak yang kekal diantara satu satu orang dan sesamanya untuk membertikan segala sesuatu yang menjadi haknya, defenisi ini memberikan gambaran hubungan antara “hak dan keadilan” hak yang dimiliki setiap manusia.10

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pres, 1981), hal. 121

9

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 134.

10

E.Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Cetakan Kelima, (Yogyakarta : Kanisius, 2002), hal 255


(31)

Dalam keadaan yang demikian kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjalankan peraturan secara konsisten cara dan memperlakukan seseorang atau masyarakat dengan adil, maka peraturan hukum akan sangat membantu anggota masyarakat karena hukum diterapkan secara pasti dan konsisten.

Menurut Jan Michiel Otto, untuk menciptakan kepastian hukumnya harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :11

a. ada aturan hukum yang jelas dan konsisten.

b. instansi pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten, tunduk dan taat terhadapnya.

c. masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut.

d. hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum.

e. Putusan pengadilan secara konkret dilaksanakan. Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi daripada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.12

Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hak Hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya, tetapi menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak dan menurut Wahbah al-zuhaily, hak hadhanah adalah hak berserikat antara ibu, ayah dan anak maka jika terjadi

11

Jan Michiel Otto, “Reele Rechtszekerheidin Ontwikkelingslanden”, Terjemahan Tristam Moeliono, Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), 2003, hal 5

12 Ibid


(32)

pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.13

Disinilah letak dari pekerjaan hakim untuk menemukan hukum didalam upaya melakukan penegakan hukum yang sangat tergantung pada fakta-fakta hukum, bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang

berperkara, serta menganalisis kasus dari pihak yang berperkara untuk menemukan kepastian hukum dalam hal menentukan pihak yang lebih berhak dalam mengasuh anak.

Berdasar pendapat ini juga teori kepastian hukum digunakan untuk memberikan kepastian dalam hal penyelesaian sengketa hadhanah.

Teori maslahat secara etimologi kata jamaknya Mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan. Maslahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar.Esensi maslahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum.14

Al-Ghazali menyatakan bahwa mashlahat adalah menarik manfaat atau menolak mudharat, dan artinya secara istilah pemeliharaan tujuan (maqashid) syara’ yakni agama, akal, keturunan dan harta Segala

sesuatuyang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima adalah mashlahat.15

13

Abdul Aziz Dahlan, Ensklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Barui Van Hoepe, 1999), hal 415

14

M.Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum, (Medan: USU Pers, 2002), hal 27

15

Jamaluddin, Analisis hukum perkawinan terhadap Perceraian dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, (Medan: Disertasi sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, 2008), hal 23


(33)

Menurut M. Hasballah Thaib,16

Mengacu kepada kepentingan dan kualitas kemaslahatan itu, para ahli mengklasifikasikan teori al-mashlahat kepada tiga jenis yaitu:

mashlahat yang dimaksud adalah kemashlahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi manusia dari segala segi dan aspek

kehidupan mereka di dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang dapat membawa kepada kerusakan.

17

Kedua, mashlahat hajiyah, yaitu kemaslahatan yang

keberadaannya dibutuhkan dalam menyempurnakan lima kemaslahatan pokok tersebut yang berupa keringanan demi untuk mempertahankan dan Pertama maslahat dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia di dunia dan di kemaslahatan ini berkaitan dengan lima kebutuhan pokok, yang disebut dengan Mashalh Al-Kharusah, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan dan (5) memelihara harta. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kelima unsur pokok di atas adalah bertentangan dengan tujuan syara’.Karena itu, tindakan tersebut dilarang tegas dalam agama.

16

Ibid, Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa mashlahat adalah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’, Selanjutnya lihat Nasroen Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 126

17

Kutbudin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hal 192-194


(34)

memelihara kebutuhan dasar (basic need) manusia. Misalnya, rukhshah berupa kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, kebutuhan terhadap makan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, menuntut ilmu untuk mengasah otak dan akal, berniaga untuk

mendapatkan harta. Semua ini disyariatkan untuk mendukung pelaksanaan kebutuhan lima pokok tersebut.

Ketiga, mashlahat tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap (komplementer) berupa keleluasaan yang dapat memberikan nilai plus bagi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan dalam konteks ini perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi manusia.

Teori kemaslahatan digunakan untuk mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan karena pada dasarnya tujuan hukum dalam islam harus berdasarkan kemaslahatan, karena masyarakat mengharapkan pelaksanaan hukum dan keputusan hakim dalam menyelesaikan masalah harus dapat memberi manfaat bagi masyarakat, dalam hal ini keputusan hakim harus dapat memberi manfaat bagi para pihak yang bersengketa hadhanah dan bagi anak yang dimaksud dalam permasalahan hadhanah tersebut, karena pada dasarnya kewajiban melakukan hadhanah adalah tanggung jawab bersama kedua orang tua.

Kedudukan anak dalam pandangan Islam, yakni anak adalah titipan Allah SWT kepada orang tua, masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris dari ajaran Islam. Pengertian ini memberikan hak yang harus


(35)

diakui, di yakini dan di amanatkan.18Ketentuan ini ditegaskan dalam Al Qur'an surat Al-isra (17) ayat 31 yang artinya "dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang amat besar.”19

Oleh karena itu, upaya pengimplementasian hak-hak anak merupakan tanggung jawab semua pihak, dalam hal ini dapat di lakukan dengan mewujudkan pendidikan anak dalam keluarga secara paripurna (internalisasi keluarga), meningkatkan peran serta masyarakat serta mengoptimalkan integrasi hak-hak anak dalam kebijakan publik yang akomodatif dan kontributif. Akumulasi ketiga institut ini secara sinergik merupakan syarat dalam memberikan hasil dan daya guna masa depan anak.20

Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia sendiri yang semakin hari semakin berkembang. anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, anak memerlukan pembinaan bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritual secara maksimal.21

Undang-Undang Nomor. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pada pasal 2 merumuskan hak-hak anak sebagai berikut:22

18

Imam Jauhari, Op.Cit, hal. 98-99

19

Al Quran dan terjemahannya, 1987, Departemen Agama RI, Jakarta, hal. 428-429.

20

Majda El Muhtaj, Memahami Integrits Hak-hak Anak dan Implementasinya (Suatu upaya antisipasi dan Proteksi Hukum terhadap Tindakan Kekerasan Terhadap Anak), (Medan: Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), 2001), hal. 25.

21

Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Cipta Adiyta Bakti, 1997), hal. 4

22


(36)

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik. c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa

dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan.

d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar

Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.23 Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup, bahwa antara suami isteri tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri24

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar melakukan perceraian dimuat dalam memori penjelasan Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 yaitu:

.

25

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain, selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

23

Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

24

Ibid pada pasal 39 ayat 2

25

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.


(37)

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Hukum Islam juga mengatur alasan perceraian yaitu :26 a. Suami melanggar taklik talak.

b. Terjadi peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan antara suami dan isteri di dalam rumah tangga.

Dari alasan perceraian diatas dapat juga menentukan pihak yang berhak dalam pengasuhan anak, walaupun ketentuannya anak dibawah umur tetap ibu yang mempunyai hak dalam pengasuhan anak.

Hadhanah/kafalah (pengasuhan) anak-anak hukumnya wajib karena menelantarkan mereka akan menyebabkan mereka binasa. Selain wajib, (hadhanah/kafalah) juga berkaitan dengan hak kerabat anak karena kerabat anak itu memiliki hak atas pengasuhannya. Jadi, pengasuhan (hadhanah/kafalah) itu berkaitan dengan hak sekaligus kewajiban. Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang telah diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya.27

26

Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam

27

Abd. Al’Adzim Ma’ani dan Ahmad aal-Gundur, Hukum-hukum dari Al-Quran dan Hadist, secara Etimologi, Sosial dan Syariat, Terjemahan Usman Sya’roni, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 77.


(38)

Hak pengasuhan itu tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak, karena hal secara pasti akan membahayakan anak tersebut. Karena itu, pengasuhan anak tidak diberikan kepada anak kecil atau orang yang kurang akalnya atau idiot (al-ma’tuh). Sebab, mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuh mereka.28

Menurut J.Prins, Undang-Undang menetapkan bahwa kewajiban untuk memelihara anak-anak dan pendidikan mereka terletak baik pada ayah maupun pada ibu. Perselisihan tentang kekuasaan orang tua diputuskan oleh hakim. Ayah secara tegas dibebani kewajiban

menanggung semua biaya hidup dan pendidikan, hanyalah kalau ayah tidak mampu, hakim dapat mewajibkan si ibu ikut serta menanggung biayanya. Tidak diragukan bahwa disini telah dijelaskan suatu asas yang sah dan penting menurut hukum, pada yurisprudensilah diserahkan pelaksanaannya secara praktis.29

Secara syar’i, menurut Al-Anshari, al-hadanah adalah tarbiyah anak-anak bagi orang yang memiliki hak pengasuhan. Menurut ulama Syafiyah, al-hadhanah adalah tarbiyah atas anak kecil dengan apa yang menjadikannnya baik. Menurut ulama Hanabilah, al-hadhanah adalah: menjaga jiwa anak-anak, membantu dan memenuhi makanan, pakaian dan tempat tidurnya, dan membersihkan badannya. Sa’di Abu Habib memilih defenisi syar’i al-hadhanah dengan batasan pemeliharaan dan pendidikan siapa saja yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, dengan apa yang bisa

28

Ibid, hal 78

29

J.Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal 70


(39)

menjadikannya baik dan melindunginya dari apa saja yang membahayakannya, meski orang itu sudah besar tapi gila.30

Abu Yahya Zakaria al-Anshari mengatakan.“Al-Hadhanah itu berakhir pada anak kecil dengan kemampuannya melakukan pembedaan. Adapun setelahnya sampai baliq maka disebut Tamyiz, begitulah yang dilakukan al-Mawardi. Namun, yang lain berkata bahwa itu juga disebut hadhanah. Al Hadhanah adalah menjaga (merawat) orang yang tidak bisa mengurus urusannya sendiri dan mendidiknya dengan apa yang bisa menjadikannya baik.31

Dari ikatan-ikatan kekeluargaan dapatlah timbul berbagai

hubungan, di dalam mana orang yang satu diwajibkan untuk pemeliharaan atau alimentasi terhadap orang yang lain.32 Dalam hal perkawinan yang akibatnya terlahirnya anak, maka kedudukan anak serta bagaimana hubungan antara orang tua dengan anaknya itu menimbulkan persoalan sehingga memang dirasakan perlunya aturan-aturan hukum yang mengatur tentang pola hubungan antara mereka. Menurut R.I Suhartini.C, "Demi pertumbuhan anak yang baik, orang tua harus memenuhi kebutuhan jasmani seperti makan, minum, dan tidur. Kebutuhan keamanan dan perlindungan, kebutuhan untuk dicintai oleh orang tuanya, kebutuhan harga diri (adanya penghargaan) dan kebutuhan menyatakan diri baik secara tertulis maupun secara lisan"33

30

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 157

31 Ibid 32

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hal. 34

33

R.I. Suhartini. C, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co, 1986), hal 123


(40)

M.Yahya Harahap menyebutkan bahwa yang di maksud dengan pemeliharaan anak adalah:

a. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak.

b. Pemeliharaan yang berupa pengawasan, pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut adalah bersifat kontinue (terus menerus) sampai anak itu dewasa.34

Jika terjadi perselisihan atas hak pengasuhan maka ditetapkan sesuai dengan prioritas berikut (jika nomor diatasnya tidak ada atau bukan al-hadhanah berpindah ke nomor berikutnya):

a. Ibu, lalu nenek (ibunya Ibu), terus ke atas dari yang terdekat. Mereka semua berkedudukan sebagai Ibu.

b. Ayah, lalu nenek (Ibunya ayah), kemudian kakek (ayahnya ayah), lalu nenek buyut (ibunya kakek), dan seterusnya, meskipun mereka bukan ahli waris.

c. Saudara-saudara perempuan, mulai dari perempuan seayah-seibu, lalu seayah, kemudian seibu.

d. Saudara laki seayah-seibu, lalu seayah, kemudian anak-anak laki-laki dari keduanya (saudara seayah-seibu dan saudara seibu), Al-hadhanah tidak boleh diserahkan kepada saudara laki-laki seibu.

e. Para bibi dari pihak Ibu (al-khalat). Lalu para bibi dari pihak ayah (al’amat)

f. Paman dari ayah Ibu, lalu paman dari pihak ayah. Al-hadhanah tidak boleh diserahkan kepada paman dari pihak Ibu.

34


(41)

g. Para bibi (al-khalat)-nya Ibu dari pihak Ibu, lalu para bibi (al-khalat) nya ayah dari pihak Ibu, kemudian para bibi (al-‘amat)nya ayah dari pihak ayah.

h. Al-hadhanah tidak diserahkan kepada pihak-pihak tersebut, karena mereka semua mengalir dari pihak Ibu, dan tidak berhak mengasuh anak.35

Batas usia anak berkaitan dengan hak memilih ini dikembalikan kepada hakim sesuai dengan pendapat para ahli. sesuai dengan kondisi fisik dan mental anak yang berbeda-beda. Al-Hadhanah berakhir hingga anak itu sudah tidak lagi memerlukan pengasuhan dan perawatan. Pada kondisi demikian, kondisinya berubah menjadi perwakilan. Dalam kondisi ini, perwalian hanya menjadi hak kerabat yang muslim.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan

observasi, antara abstrak dengan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.36

Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari

35

Udin Abdullah, Hak Istri dan Kasih Sayang Suami, (Bandung: Mujahid Press, 2005), hal. 56.

36

Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 31.


(42)

jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individual tertentu.37

Dalam bahasa Latin, kata conceptus (di dalam bahasa Belanda: begrip atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan “defenisi” yang di dalam bahasa Latin adalah idefinition. Defenisi tersebut berarti rumusan (di dalam bahasa Belanda: onshrijving) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam

epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.38 Dalam konsepsi diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.39

Disini terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsepsi pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari

kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsi belaka kadang-kadang

dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan kongkrit di dalam proses penelitian.40

Disini definisikan beberapa konsep dasar dalam rangka

menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup

37

Burhan Ashhofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 19

38

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2001), hal 6

39

Ibid, hal 7

40

Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 48.


(43)

variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep itu adalah sebagai berikut:

a. Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil (dibawah usia 12 tahun) laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara buruk dan baik), menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawabnya.41

b. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.42

c. Perceraian adalah berakhirnya suatu hubungan pernikahan.

d. Hukum Islam adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun nhukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan)43

41

Sayid Sabiq. Fiqh as Sunnah Jilid VIII, Alih Bahasa Drs. Moh. Thalib, (Bandung: PT. Alma’arif, 1993), hal. 160.

42

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

43


(44)

e. Eksekutabel adalah putusan yang dapat dijalankan dengan upaya eksekusi riil (dapat dilaksanakan sesuai dengan putusan secara sukarela)

f. Pengadilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan Hukum dan keadilan.44

g. Karakter Hadhanah adalah kajian tentang tipe secara spesifik khususnya mengenai hadhanah.

h. Fiqh adalah ilmu yang membahas berbagai macam persoalan hukum islam (ibadah, muamalah,pidana,peradilan,jihad, perang dan damai) berdasarkan hasil ijtihad ulama figh dalam memahami Alqur’an dan Hadist yang dikaitkan dengan realitas yang ada dengan menggunakan metode ijtihad.45

i. Sudah Mummayiz adalah anak yang sudah diatas umur 12 tahun.46 j. Belum Mummayiz adalah anak yang belum berumur 12 tahun47

N. Metode Penelitian

Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani "Methodos" yang

44

Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal 3

45

A.Rahman Ritonga.et all, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), hal 345

46

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam

47 ibid


(45)

artinya "jalan menuju", bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.48 Maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan49, maka dalam metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah, oleh karena itu metode merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah.50

Pemilihan suatu metodologi yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian dan jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analysis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

48

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hal. 13.

49

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hal. 43.

50

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditamam, 2009), hal 29


(46)

fenomena yang diselidiki.51

2.Metode Pendekatan

sedangkan analisis dalam penelitian ini dengan jenis penelitian yuridis normatif menjelaskan secara cermat dengan menggunakan data skunder

Penelitian ini mempergunakan pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap peraturan yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perUndang-Undangan yaitu hubungan peraturan-peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.

3.Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang sifatnya mutlak untuk dilakukan karena data merupakan sumber yang akan diteliti. Pengumpulan data difokuskan pada pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasannya. Pengumpulan data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang diperoleh dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca bahan-bahan hukum yang ada relevansinya dengan topik pembahasan atau masalah yang akan diteliti, baik bahan primer maupun bahan sekunder.

Dalam penelitian ini jenis data yang diperlukan, yaitu data skunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya

51


(47)

data sudah dalam bentuk jadi,52

1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perUndang-Undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan dan putusan-putusan hakim.

atau data kepustaan yang dikenal dengan bahan hukum dalam yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu:

53

2) Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

Yaitu Undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Kompilasi Hukum Islam, Alqur’an & Hadist, serta putusan Pengadilan Agama Medan.

54

3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, misalnya: Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

4.Alat Pengumpulan Data

Ada beberapa alat pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:

52

I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Andi, 2006), hal. 34.

53

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 141.

54 Ibid


(48)

a. Studi Dokumen yaitu yang terdiri dari bahan hukum yang berkaitan dengan hukum pengasuhan anak khususnya mengenai pengasuhan anak setelah perceraian, yang ditunjang dengan bahan hukum lainnya.

b. Wawancara, yaitu penulis melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dengan nara sumber yaitu satu orang Hakim Pengadilan AgamaKelas IA Medan, satu orang pengacara/penasehat hukum di Kota Medan, Satu orang ulama dari majelis Ulama Kota Medan.

5.Analisa Data

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisis secara kualitatif,55

55

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 10.

yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena penelitian ini normatif, setelah diperoleh data skunder dilakukan interpretasi dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah, dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif untuk menjawab permasalahan yang diteliti dan tujuan penelitian diharapkan akan memberi solusi atas semua permasalahan dalam penelitian ini.


(49)

BAB II

KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012

1. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak a. Perceraian

Sesuai dengan prinsipnya perkawinan itu untuk selama-lamanya dan dilakukan dalam rangka terciptanya keluarga bahagia, sesuai dengan Hadist Riwayat Ibnu Majah, “Sesuatu yang halal yang sangat dibenci adalah perceraian.”56

Walaupun perceraian dibenci, namun jika pernikahan dipaksakan tapi mengakibatkan mudarat yang banyak daripada manfaat dalam rumah tangga, maka perceraian diperbolehkan, disinilah terlihat tujuan perceraian dalam Islam hanya untuk kemaslahatan dan kebaikan semua pihak.

Dalam Hukum Islam bahkan dikenal ada pesta perceraian yang yang memberi makna bahwa acara tersebut bukanlah perpisahan yang mengakibatkan permusuhan, perceraian hanya perpisahan hubungan suami isteri bukan perpisahan hubungan baik. Karena setelah perceraian hubungan suami isteri itu dapat berubah menjadi hubungan sahabat ataupun kekerabatan, karena perceraian yang terjadi hanya untuk mencari kemaslahatan akibat dari kehidupan rumah tangga yang tidak dapat dilakukan bersama lagi.57

56

E. Hassan Saleh, Kajian Figh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal 320

57

Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013.


(50)

Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian. Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.

Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Putusnya

hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing terhadapnya

Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada alasan bahwa suami isteri tidak dapat rukun sebagai suami isteri.58 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil lagi mendamaikan kedua belah pihak.59

58

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

59

Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


(51)

b. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anaknya

Perceraian dalam Hukum Islam tidak menyebabkan hilangnya tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan terserbut, karena hubungan anak dengan orang tua dengan anak tidak pernah putus, anak tersebut tetap menjadi anak dari ayah dan ibunya. Dan seorang ayah tetap berkewajiban bertanggung jawab penuh terhadap anaknya baik dari segi nafkah dan pemeliharaannya, dan wajib membayar upah kepada ibu yang memelihara anak tersebut. Jadi tanggung jawab memelihara dan mendidik anak adalah tetap menjadi kewajiban bersama walaupun terjadi perceraian.60

Terhadap anak, akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang timbul menurut Undang-Undang adalah :

61

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan member keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat member kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.

Sedangkan menurut pasal 149 Kompilasi Hukum Islam huruf d juncto pasal 156 huruf d berdasarkan inpres Nomor 1 Tahun 1991, Bapak

60

Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013

61


(52)

tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anak menurut kemampuannya, sekurang kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri sampai umur 21 Tahun .

Selagi anak belum berusia 18 Tahun atau belum menikah ia berada dibawah kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukumnya didalam dan diluar pengadilan.62 Meskipun memegang kuasa namun orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki.63

Dampak dari perceraian meyebabkan anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, dan bagi anak yang remaja kebutuhan fisik maupun psikis tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalurkan dengan memuaskan, dan akibatnya anak merasa terabaikan. Sehingga tidak menutup kemungkinan menyebabkan anak menjadi kasar, tidak terkendali dan bahkan bisa menjadi sangat agresif dan brutal, hal ini dikarenakan anak tidak mendapat kasih sayang orang tua secara bersamaan, dampak seperti inilah yang sangat dibenci dalam pandangan Islam karena bukan kemaslahatan yang terjadi tetapi kemudharatan.

64

62

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

63

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

64

Wawancara dengan Ulama Ahmad zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013


(53)

B. Hadhanah

1.Pengertian Hadhanah

Alhadhanah berasal dari kata hadhanah-yadhunu-hadhan wa hidhanah wa hadhanah, secara bahasa hadhanah memiliki dua arti pokok. Pertama dari alhidnu (dada), yaitu anggota tubuh antara ketiak dan pinggang dari sinilah jika dikatakan Ihtadhana al walad mendekapnya yaitu merengkuh dan meletakkannya didalam dekapan (pelukan). Kedua al-hidhnu adalah janib asy-syay’i (sisi sesuatu). Jika dikatakan Ihtadhana asy-syay’a artinya meletakkan sesuatu itu disisisnya dan berada dalam pemeliharaannya serta memisahkannya dari pihak lain. Hal ini seperti sdeekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya sehinga telurnya berada disisinya dan dibawah pemeliharaannya.65

Para ahli hukum Islam mendefenisikan Hadhanah dengan maksud melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar , tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup yang memikul tanggung jawabnya.

66

Menurut Ulama Hanafiyah membagi segala urusan yang

berhubungan dengan anak kecil menjadi dua bagian yaitu kewajiban yang

65

Ash Sha’ani, subulus Salam, (Surabaya : terjemahan Abu bakar Muhammad jilid 3, Al Iklash,1995), hlm 819

66

Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Pendidikan dan Pengasuhan Anak menurut Alqur’an dan Sunnah, (Medan : Perdana Publishing, 2012), hal 3


(54)

diserahkan kepada wali anak dan kepada hadhinah (pengasuh) yaitu tugas mendidik. Sedangkan pengarang kitab Al-ikhtiyar mengenainya; tersebut mengatakan, ketika anak masih kecil dan lemah untuk memperhatikan segala kemaslahatan dirinya maka Allah menjadikan untuk tugas tersebut orang yang membimbing dan mengurusnya sehingga urusan harta

kekayaan dan berbagai macam transaksi (akad) diserahkan kepada laki-laki, sebab mereka lebih kuat dan lebih mampu dalam hal tersebut dan untuk perawatan diserahkan kepada perempuan sebab mereka lebih sayang dan lemah lembut serta lebih mampu untuk memberikan pendidikan dan pengasuhan karena Allah telah memberikan kepada mereka rasa cinta, kasih dan sayang, kemampuan, kesabaran dan ketabahan.67

Jika dilihat dari kaca mata hukum, Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak yaitu seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.68

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 point 2, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.69

Sedangkan menurut Instuksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi hukum Islam dalam pasal 98 ayat (1) menyebutkan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa

67

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta : Ghalia Indonesi, 2009), hal 183

68

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

69


(55)

adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.70

Sedangkan dalam Hukum Islam tidak memberikan batasan usia yang dimaksud dengan anak, karena selama anak itu belum baliqh dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk masih dianggap anak-anak atau belum dewasa.71

Meskipun banyak rumusan mengenai anak namun perbedaan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan terhadap anak karena mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib, dan mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya yang membinasakan.

Dalam istilah fiqh Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinnya putusnya perkawinan, menurut fiqh hal ini secara praktis antara suami isteri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya.72

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadhanah, adalah masalah menjaga, memelihara, mengasuh, memimpin, mendidik, dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dirinya sendiri, dan hal ini terjadi apabila dua orang suami isteri bercerai, sedangkan

70

Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, pasal 98 ayat 1

71

Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013

72

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal 327


(56)

keduanya mempunyai anak yang belum mummayyiz (belum menguasai kemaslahatan dirinya).

2. Masa Hadhanah

Para Fukaha berbeda pendapat mengenai waktu dan batas hadhanah, kepada empat kelompok pendapat yaitu :73

a. Fukaha Hanafiyah mengatakan masa pengasuhan berakhir untuk anak laki-laki, ketika ia mencapai umur tujuh tahun atau menurut sebagian lagi Sembilan tahun, sedangkan untuk perempuan berakhir ketika anak mencapai umur sembilan tahun atau menurut sebahagian lagi sebelas tahun, setelah itu maka ayah lebih berhak dari keduanya. Kelompok ini dalam menyempurnakan hadhanah membedakannya dengan kias atau analogi berdasarkan batas usia anak perempuan dan laki-laki sebab hadhanah, itu merupakan suatu bentuk bimbingan (wilayah), karena hadhanah merupakan hak ibu sehingga hanya berkahir dengan kedewasaan anak, seperti hak wilayah (wali) dalam urusan harta kekayaan.

b. Fukaha Imam Malik mengatakan masa pengasuhan anak laki-laki itu berakhir dengan ihtilam (mimpi), sedangkan untuk anak perempuan berakhir dengan sampainya ia menikah. Jika ia sampai pada usia menikah sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ibu lebih berhak terhadap anak putrinya sampai ibu tadi menikah lagi. Jika tidak sedang demikian maka anak tersebut dititipkan kepada ayahnya dan jika ayah tidak ada maka dititipkan kepada wali-walinya. Seperti dari hadis yang diriwayatkan Amr bin Syuaib, bahwa Abu Bakar menentukan terhadap Umar bin Khatab ra, mengenai Ashim, “ibunya lebih berhak dengannya daripada Umar selama ia belum menikah.

c. Fukaha Imam Syafii menyebutkan bahwa masa pengasuhan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan berakhir ketika sampai usia tujuh tahun atau delapan tahun, dan jika ia telah masuk usia tersebut dan berakal sehat maka ia diperbolehkan untuk memilih antara ayah dan ibunya. Menurut hadis Abu Hurairah ra. Bahwa ada seorang perempuan yuang datang kepada Nabi Muhammad saw, seraya berkata, “Sesungguhnya suamiku datang ingin membawa anakku.”Nabi Muhammad saw. bersabda,”ini ayahmu dan ini ibumu maka peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki”. Ternyata anak itu mengambil tangan ibunya. Menurut hadis ini jika ada kedua orang tua yang bertengkar maka sang anak hendaknya diberi kesempatan untuk memilih siapa yang akan ia pilih

d. Fukaha Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat yang paling masyhur mengatakan masa pengasuhan anak itu berakhir sampai anak tersebut berumur tujuh tahun, jika ia telah mencapai usia tersebut, dan untuk

73


(1)

Ibid, Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa mashlahat adalah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’, Selanjutnya lihat Nasroen Haroen, Ushul Fiqh, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997

Imam M Bukhari, Shahih M Bukhr, Darul Qatam, Beirut, 1987

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990

J.Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakartam 1982 Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004 Jamaluddin, Analisis hukum perkawinan terhadap Perceraian dalam Masyarakat

Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008

Jan Michiel Otto, “Reele Rechtszekerheidin Ontwikkelingslanden”, Terjemahan Tristam Moeliono, Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), 2003

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Persada, Jakarta, 2002

Kutbudin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Bandar Maju, Bandung, 1994 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Rajawali, Medan, 1986 M.Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum, USU Pers, Medan,

2002

M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, 1988


(2)

Majda El Muhtaj, Memahami Integrits Hak-hak Anak dan Implementasinya (Suatu upaya antisipasi dan Proteksi Hukum terhadap Tindakan Kekerasan Terhadap Anak), Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan, 2001 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996

Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT.Citra Aditya, Bandung, 1999

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010

Nico Ngani, Cara Untuk Memperoleh Catatan Sipil, Liberty, Yogyakarta, 1984 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010

R.I. Suhartini. C, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co, Medan, 1986 R.Subekti dalam Soedharyo Soimin, Hukum orang dan Keluarga, Sinar Grafika,

Jakarta, 2002

Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998 Samsuhadi Irsyad, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga

dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, DITBMAPERAIS Departemen Agama RI, Jakarta, 1999.

Sayid Sabiq. Fiqh as Sunnah Jilid VIII, Alih Bahasa Drs. Moh. Thalib, PT. Alma’arif, Bandung, 1993

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999

Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993

Soerjono Soekanto, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1998 _______________, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, 1981 _______________, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007


(3)

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan xxv. Pradya Paramita, Jakarta, 1992

Syeikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, Darat-Tauji An-Nashr Al-Islamiya, Jakarta Timur, 1999

Silalahi Ulber, Metode Penelitian Sosial, PT. Refika Aditamam, Bandung, 2009

Team Penyusun, Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama, BINBAPERAIS. Departemen Agama RI, Jakarta, 1984

TM.Hasbi Ash-Shsiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1974 Udin Abdullah, Hak Istri dan Kasih Sayang Suami, Mujahid Press, Bandung, 2005 WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahahasa Indonesia, PN Balai Pustaka,

Jakarta, 1976

Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

B. Peraturan PerUndang-Undangan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

1 59 103

Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah Di Pengadilan Agama Cikarang

3 11 115

Pelaksanaan eksekusi sengketa hadhanah di pengadilan agama Cikarang

0 10 115

Murtad Sebagai Penghalang Hadhanah (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt. G/2010/PAJT)

1 29 206

JATUHNYA HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA LAKI-LAKI KARENA PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. (STUDI PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NO. 1521Pdt.G2011PA.Mdn) SKRIPSI

0 0 8

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012 1. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak a. Perceraian - Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 20

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

0 1 32

Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

0 2 14

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG HAK HADHANAH PADA MANTAN SUAMI (Studi di Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang )

0 0 12

Analisis putusan pengadilan agama tentang hak hadhanah pada mantan suami:studi di pengadilan agama kelas 1A Tanjung Karang - Raden Intan Repository

0 0 30