ABSTRAK PERAN PENYIDIK DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN CARA MUTILASI (STUDI KASUS DI POLDA LAMPUNG)

  

ABSTRAK

PERAN PENYIDIK DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM DALAM

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

DENGAN CARA MUTILASI

(STUDI KASUS DI POLDA LAMPUNG)

Oleh

  

Ganang Dwinanda .W, Firganefi, S.H.,M.H., Gunawan Jatmiko, S.H.,M.H.

  Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Ir. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung

  E-mail : ganang.dwinanda@gmail.com Tindak pidana mutilasi merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan terhadap tubuh yakni pemotongan bagian-bagian tubuh tertentu dari korban, pembunuhan yang dilakukan dengan cara mutilasi sangat sulit untuk diungkap karena kondisi fisik korban yang rusak hingga tidak dapat dikenali lagi, potongan tubuh korban yang dibuang secara terpisah di tempat-tempat berbeda, bahkan hilang, tujuan penelitian ini adalah agar mengetahui peran penyidik dalam penyidikan tindak pidana ini, serta apa saja yang menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer data sekunder serta pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, seleksi data, klasifikasi data dan sistematika data. Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif.

  Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa peran penyidik dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi yaitu : Pemeriksaan di tempat kejadian perkara tindak pidana dengan menggunakan ilmu bantu kedokteran kehakiman, yang mencakup penentuan lama kematian, cara kematian, sebab kematian, dan pembuatan Visum

  

et Repertum, lalu, pemanggilan atau penangkapan tersangka setelah jelas dan cukup bukti,

  Penangkapan terhadap tersangka yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap pelaku, Penyitaan berbagai barang bukti yang akan memperkuat berita acara, Pemeriksaan untuk menguatkan bukti bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan, Pembuatan berita acara, yang meliputi berita acara penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat, Pelimpahan kepada penuntut umum untuk dilakukan tindakan hukum lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku.

  Faktor penghambat penyidik dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi adalah penegak hukum, yakni kualitas SDM penyidik yang kurang memiliki kompetensi serta jumlah penyidik yang kurang memadai, faktor sarana dan prasarana, yakni tidak dimilikinya cabang laboratorium forensik polri di provinsi Lampung, faktor masyarakat, yakni kurang terbuka nya masyarakat dalam memberikan keterangan terhadap penyidik terkait tindak pidana pembunuhan ini. Kata Kunci: Peran, Penyidik, Penyidikan, Pembunuhan, Mutilasi.

I. PENDAHULUAN

  Tingkat kejahatan dan kriminalitas semakin meningkat mengikuti pertumbuhan ekonomi dan industri yang cukup berkembang. Hal tersebut bisa dilihat di media cetak maupun elektronik yang memberitakan mengenai kejahatan yang terjadi di tanah air, mulai dari tindakan kekerasan, penipuan, pemerkosaan hingga pembunuhan, sebagai suatu kenyataan sosial.

  Aristoteles menyatakan bahwa

  “kemiskinan menimbulkan kejahatan dan

  pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan”.

  1 Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat, pada dasarnya istilah kejahatan itu diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Perbuatan atau tingkah laku yang dinilai serta mendapat reaksi yang bersifat tidak disukai oleh masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan untuk muncul di tengah-tengah kehidupan.

  Berbicara mengenai kejahatan khususnya pembunuhan, dahulu orang membunuh dengan cara yang sederhana sehingga mudah terungkap oleh aparat kepolisian. Namun sekarang terjadi peristiwa pembunuhan dengan cara yang berbeda dan cukup sadis, yakni dengan cara mutilasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta menghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian tubuh lain, yang kemudian 1 Topo Santoso, Eva Achjhani Zulfa,2003, dibuang secara terpisah. Mutilasi adalah pemotongan atau perusakan mayat, tidak jarang mempunyai motif kejahatan seksual, dimana tak jarang tubuh korban dirusak, dipotong menjadi beberapa bagian. Mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi selama ratusan bahkan ribuan tahun. Banyak suku-suku di dunia yang telah melakukan budaya mutilasi dimana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku Aborigin, suku-suku Brazil, Amerika, Meksiko, Peru dan suku Conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka.

  Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur- unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tapi mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta menghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian- bagian tubuh lain, yang kemudian bagian- bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah.

  Metode mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor, baik itu untuk mempersulit proses penyidikan oleh kepolisian, faktor kondisi psikis dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga pelaku. Tindak pidana mutilasi merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan terhadap tubuh dalam bentuk pemotongan bagian- bagian tubuh tertentu dari korban. Apabila ditinjau dari segi gramatikal, kata mutilasi itu sendiri berarti pemisahan, penghilangan, pemutusan, pemotongan bagian tubuh tertentu. Dalam hal lain mutilasi itu sendiri diperkenankan dalam etika dunia kedokteran yang dinamakan dengan istilah amputasi, yaitu pemotongan bagian tubuh tertentu untuk kepentingan medis. Hukum pidana Indonesia belum memiliki undang-undang maupun peraturan yang secara khusus mengatur tentang kejahatan dengan cara mutilasi. Padahal dalam beberapa tahun terakhir ini, marak terjadi kasus mutilasi di Indonesia.Salah satu kasus mutilasi diantaranya, telah ditemukan potongan-potongan tubuh di aliran sungai desa Tanjung Kemala, Kecamatan Martapura, Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan yang merupakan potongan tubuh anggota DPRD Kota Bandar Lampung, M. Panshor yang hilang sejak seminggu sebelumnya. Setelah melalui proses penyelidikan dan penyidikan, Polda Lampung akhirnya menangkap tersangka Brigadir Medi Andika, anggota Polresta Bandar Lampung, dan Tarmidi alias Dede, karyawan warung makan di daerah Way Halim. Penyidik sudah menggelar pra- rekonstruksi pada hari senin, 1 Agustus 2016. Sampai saat ini motif pembunuhan masih belum diketahui karena Brigadir Medi tidak mengakui tuduhan penyidik. Tidak ada ketentuan khusus tentang tindak pidana mutilasi dalam Kitan Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP hanya mengatur tindak pidana pembunuhan pada umumnya saja, sesuai yang diatur dalam Pasal 338 KUHP yang

  berbunyi “Barang siapa dengan sengaja

  merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana

  penjara paling lama lima belas tahun.”.

  Maupun dalam Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang berbunyi

  “Barang siap a dengan sengaja dan dengan

  rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu

  tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

  Tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi sangatlah diperlukan peranan dan tugas pihak kepolisian khususnya Direktorat Reserse Kriminal Umum dalam penyidikannya sebab pembunuhan yang dilakukan dengan cara mutilasi atau dengan memotong bagian-bagian tubuh korbannya sangat susah untuk diungkap karena kondisi fisik korban yang rusak hingga tidak dapat dikenali lagi, potongan tubuh korban yang dibuang secara terpisah di tempat-tempat berbeda, bahkan hilang. Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan masyarakat, sudah seharusnya pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal mewujudkan rasa aman tersebut. Dalam hal mengungkap tindak pidana pembunuhan diperlukan kerja keras dari pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal untuk mengidentifikasi korban agar menemukan siapa yang menjadi otak pelaku pembunuhan tersebut dan segera untuk menghukum para pelaku pembunuhan tersebut. Hal ini sudah menjadi pekerjaan rumah bagi pihak Polri khususnya satuan Reserse Kriminal untuk mencari dan menemukan para pelaku kejahatan, serta memberikan rasa aman bagi setiap warga negara dan mencegah agar tidak terjadilagi kejahatan ini sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita Pihak kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dan sudah diatur dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No.

  2 Tahun 2002. Atas uraian diatas, maka penulis dalam pembuatan skripsi ini mengambil judul

  “Peran Direktorat Reserse Kriminal Umum

  dalam penyidikan tindak Pidana Pembunuhan Dengan Cara Mutilasi (studi kasus di Polda Lampung)”. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

  1. Bagaimanakah peran penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi ?

  2. Apakah faktor penghambat penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi ?

  Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari konsep-konsep, teori-teori serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalah. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan, baik berupa penilaian, prilaku, pendapat, dan sikap yang berkaitan dengan peranan penyidik dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi.

  Peran Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk dalam kategori peran normatif, peran ideal dan peran faktual.

  1. Peran Normatif Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat

  2

  . Peran normatif dilaksanakan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, peran normatif sangat sulit dilakukan dikarenakan kondisi di lapangan yang tidak memungkinkan dilakukannya peran normatif.

  Akan tetapi, Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara menyebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.

  Penyidikan secara normatif diatur dalam

  Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dan Pasal 1 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Peraturan perundangan yang menjadi dasar pelaksanaan penyidikan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan di antaranya adalah 2 Soerjono Soekanto ,2002, Teori Peranan, Jakarta,

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan dengan cara Mutilasi

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Pasal 1 Ayat (1) penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

  Menurut hasil wawancara dengan Wahyu Saputra

  3

  maka diketahui bahwa penyidikan memerlukan beberapa upaya agar pengungkapan perkara dapat diperoleh secara cepat dan tepat. Upaya – upaya penyidikan tersebut mulai dari surat panggilan, penggeledahan, hingga penangkapan dan penyitaan. Namun sebelum melakukan penyidikan, penyidik memerlukan keterangan ahli bergantung dari jenis tindak pidana yang terjadi. Dalam tindak pidana pembunuhan, penyidik membutuhkan keterangan dari dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya sangat berpengaruh dalam penyidikan kasus tersebut. Keterangan yang harus diberikan oleh dokter ahli kepada penyidik adalah

  4

  :

  1. Identitas korban

  2. Perkiraan lama kematian

  3. Perkiraan sebab kematian

  4. Perkiraan cara kematian Keterangan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil 3 Hasil wawancara dengan Wahyu Saputra, Penyidik Subdit III Dirreskrimum Polda Lampung.

  Rabu, 14 Desember 2016. 4 Firganefi dan Ahmad Irzal Fardiansyah, 2014, Hukum dan Kriminalistik . Justice Publisher Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Lampung.

  pemeriksaan medis yang disebut Visum et Repertum. Penyidik dalam hal telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (sehari-hari dikenal dengan SPDP atau Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) hal ini sesuai dengan KUHAP

  Pasal 109 Ayat (1). Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum (kejaksaan) atau ternyata bukan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum. Pemberhentian penyidikan ini dibertahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangka atau keluarganya. Berdasarkan pemberhentian penyidikan tersebut, jika Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan penyidik maka penghentian penyidikan sah, tetapi jika Pengadilan Negeri tidak sependapat dengan penyidikan, maka penyidikan wajib dilanjutkan. Setelah selesai penyidikan, berkas diserahkan pada penuntut Umum [KUHAP Pasal 8 Ayat (2)]. Penyerahan ini dilakukan dua tahap:

  1) Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara 2) Apabila penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas

  tersangka dan barang bukti kepada penyidikan itu tidak sah dan Penuntut Umum. memerintahkan penyidik untuk menyidik kembali peristiwa itu. Berdasarkan Pasal

  Penuntut Umum apabila pada penyerahan 110 Ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu tahap pertama, berpendapat bahwa berkas 14 hari Penuntut Umum tidak kurang lengkap maka ia dapat mengembalikan berkas (hasil penyidikan) mengembalikan berkas perkara kepada maka penyidikan dianggap telah selesai. penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk dan yang kedua melengkapi Menurut hasil wawancara dengan Sunarto, sendiri. Menurut sistem KUHAP, dalam melaksanakan penyidikan, seorang penyidikan selesai atau dianggap selesai Penyidik harus memiliki dasar hukum dalam hal : (legalitas), sehingga pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara

  1) Dalam batas waktu 14 hari hokum, Polisi tidak boleh bertindak penuntut umum tidak semena-mena dalam melaksanakan mengembalikan berkas perkara, pelaksanaan penyidikan. Tindakan atau apabila sebelum berakhirnya penyidikan harus berada dalam jalur batas waktu tersebut penuntut hukum, sekalipun polisi telah diberikan umum memberitahukan pada kewenangan oleh undang-undang untuk penyidik bahwa hasil penyidikan mengambil tindakan lain tersebut tetap sudah lengkap. saja polisi harus bisa untuk mempertanggungjawabkan atas segala

  2) Sesuai dengan ketentuan Pasal 110 tindakan dan keputusan yang telah diambil Ayat (4) KUHAP juncto Pasal 8

  5

  dalam melaksanakan tugasnya . Hal Ayat (3) huruf

  b, dengan demikian dimaksudkan agar polisi tidak penyerahan tanggung jawab atas menyalahgunakan kewenangan yang tersangka dan barang bukti dari dimilikinya, mengingat kewenangan untuk penyidik kepada penuntut umum. melakukan tindakan lain oleh polisi pada

  3) Dalam hal penyidikan dihentikan saat pelaksanaan penyidikan tersebut sesuai dengan Pasal 109 Ayat (2), demikian luasnya. Penyidik juga harus yakni karena tidak cukup bukti, proporsional dalam pelaksanaan atau peristiwa tersebut bukan penyidikan, artinya tindakan penyidikan merupakan suatu tindak pidana, mengandung arti bahwa penyidik tidak atau penyidikan dihentikan demi dapat menyalahgunakan kewenangan hukum. dalam penyidikan terhadap tersangka. Pelaksanaan penyidikan kepolisan sebagai

  Penyidikan yang selesai dalam artian ini peran normatif disesuaikan dengan adalah bersifat sementara, karena bila di kewajiban umum polisi sebagaimana suatu saat ditemukan bukti-bukti baru, terdapat pada Undang-Undang Nomor 2 maka penyidikan yang telah dihentikan

  Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara harus dibuka kembali. Pembukaan kembali Republik Indonesia. Pasal 2 menyebutkan penyidikan yang telah dihentikan itu, dapat pula terjadi dalam putusan praperadilan

  Hasil wawancara dengan Sunarto, akademisi

  menyatakan bahwa penghentian

  Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung.Senin, bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.

  Pasal 4 disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Polisi dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum senantiasa menghormati hukum dan HAM.

  2. Peran Ideal Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem

  6 .

  Secara ideal tujuan pokok tindakan penyidikan adalah utuk menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan, bukan mencari-cari kesalahan seseorang. Dengan demikian, seseorang penyidik dituntut untuk bekerja secara obyektif, tidak sewenang-wenang, senantiasa berada dalam koridor penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Tahapan penyidikan yang dilakukan untuk mengungkap kasus tindak pidana pembunuhan antara lain adalah:

  (1) Pemeriksaan di tempat kejadian, yaitu memeriksa tempat kejadian perkara tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi.

  6

  (2) Pemanggilan atau penangkapan tersangka, setelah jelas dan cukup bukti awal maka pihak kepolisian melakukan pemanggilan atau penangkapan terhadap tersangka pelaku tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan cara mutilasi.

  (3) Penahanan sementara, setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka maka dilakukan penahanan terhadap pelaku.

  (4) Penyitaan, kegiatan penyitaan berbagai barang bukti yang akan memperkuat pemberkasan atau berita acara.

  (5) Pemeriksaan, untuk menguatkan bukti bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan. Pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan di muka pejabat penyidik dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan langsung dengan tersangka, para saksi, atau ahli. Pemeriksaan di muka penyidik baru dapat dilaksanakan penyidik, setelah dapat mengumpulkan bukti permulaan serta telah menemukan orang yang diduga sebagai tersangka. Penyidik yang mengetahui sendiri terjadinya peristiwa pidana atau oleh karena berdasar laporan ataupun berdasar pengaduan dan menduga peristiwa itu merupakan tindak pidana, penyidik wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan itu adalah pemeriksaan langsung tersangka dan saksi-aksi maupun ahli. (6) Pembuatan berita acara, yang meliputi berita acara penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat. (7) Pelimpahan kepada penuntut umum untuk dilakukan tindakan hukum lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku. Menurut hasil wawancara dengan Slamet AR

  7

  maka diketahui bahwa proses yang dilakukan kepolisian ini sesuai dengan Pasal 1 Butir (2) KUHAP, bahwa tindakan penyidikan tiada lain dari pada

  “rangkaian” tindakan mencari dan

  mengumpulkan bukti, agar peristiwa tindak pidananya terang serta tersangkanya dan berkas pekara tindak pidananya dapat diajukan kepada penuntut umum.

  Berkas perkara tindak pidana tersebut berisi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Selain itu dideskripsikan uraian secara cermat, jelas danlengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Masyarakat pada dasarnya mengharapkan polisi dapat menjalankan tugas secara profesional dan mengharapkan polisi dapat secara terbuka mengakui jika ada oknum anggotanya yang bersalah dan siap memprosesnya baik melalui sidang kode etik kepolisian atau bahkan sampai diajukan ke peradilan umum. Dengan

  Hasil wawancara dengan Slamet AR, Penyidik Subdit III Ditreskrimum Polda Lampung. Rabu, 14

  adanya batasan kewajiban umum dalam pelaksanaan penyidikan, anggota Polri harus mementingkan kepentingan dan kewajiban umum di atas kepentingan pribadi atau institusi kepolisian. Polisi dalam menghadapi permasalahan di lapangan bertindak sebagai penegak hukum hukum bertugas dan menjadi perantara antara hukum dengan tujuan- tujuan sosial yang dicita-citakan dalam masyarakat. Apabila polisi dapat berperan dalam hal ini dengan baik maka kemungkinan untuk terjadinya konflik dalam masyarakat antara hukum dengan ketertiban dapat untuk ditangani atau paling tidak diminimalkan terjadinya. Hal ini mengingat bahwa polisi tidak akan melaksanakan ketentuan hukum dalam masyarakat secara kaku apabila hukum itu diberlakukan sebagaimana mestinya malah akan menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidaktertiban dalam masyarakat. Tindakan polisi yang demikian tadi tidak lain merupakan penafsiran dari sudut pandang polisi sendiri di mana dalam praktek kepolisian tidak selalu sama persis dengan apa yang telah dituangkan dalam bunyi perundang-undangan, tetapi sekalipun demikian bukanlah hal yang bias dilakukan oleh polisi. Kepolisian secara ideal bertugas menciptakan memelihara keamanan dalam negeri dengan menyelenggaraan berbagai fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Maknanya adalah Kepolisian memiliki tugas untuk menciptakan rasa aman dan mewujudkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat, dengan cara meminimalisasi kejahatan atau tindak pidana yang sering kali mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

  3. Peran Faktual Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara konkrit di lapangan atau kehidupan social yang terjadi secara nyata. Peran faktual dilaksanakan dengan proses penyidikan, yaitu serangkaian tindakan yang tempuh oleh penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti tentang tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan cara mutilasi.

  Menurut hasil wawancara dengan Wahyu Saputra

  8

  maka diketahui bahwa sesuai dengan ketentuan KUHAP, bahwa untuk meringankan beban penyidik juga telah di diatur adanya penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan yang diberi wewenang tertentu dalam melaksanakan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 6 Ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing- masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan

  Hasil wawancara dengan Wahyu Saputra.Penyidik Subdit III Ditreskrimum Polda Lampung.Rabu, 14

  pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a. (Ayat 2). Penyidik dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud Ayat (1) dan (2), wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Pasal 5 dan Pasal 7 UU No. 8 tahun 1981 disebutkan bahwa setiap pejabat kepolisian yang berkualifikasi menyelidik dan menyidik dalam rangka melakasanakan tugas dibidang peradilan pidana karena kewajibannya diberi wewenang oleh undang-undang. Sehubungan dengan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila berdasarkan keyakinan tersebut penuntut umumberpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Di sini dapat terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti-bukti yang ada kedepan persidangan.Bila diperhatikan pekerjaan ini mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena keseluruhan pekerjaan ini ditujukan pada pekerjaan disidang pengadilan. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dilakukan penuntutan. Peran faktual penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi mengacu pada pelaksanaan tugas utama penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 2 KUHAP, maka untuk tugas utama tersebut penyidik diberi kewenangan sebagaimana diatur oleh pasal 7 KUHAP untuk melaksanakan kewajibannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

  Menurut hasil wawancara dengan Sunarto

  9

  penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan melalui diskresi.Hal ini guna memberikan jaminan kepastian hukum pada tingkat penyidikan. Maksudnya KUHAP tidak menghendaki suatu penyidikan yang berlarut-larut tanpa berkesudahan, karena meneruskan suatu penyidikan yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang cukup, atau peristiwa yang disidik bukan merupakan suatu tindak pidana atau meneruskan suatu penyidikan yang menurut hukum tidak dapat dilakukan penuntutan adalah pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Hal demikian tentunya bertentangan dengan asas penyelesaian perkara yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana tertuang dalam KUHAP.

  Polisi sebagai penyidik menempatkannya pada jajaran terdepan dalam sistem peradilan pidana, maka keputusan pengambilan kebijakan dalam proses penyidikan di Direktorat Kriminal Umum Polda Lampung dapat mencegah terjadinya penumpukan perkara dan beban pada proses peradilan pidana selanjutnya seperti

  Hasil wawancara dengan.Sunarto, Akademisi Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung,

  di kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, tentunya dengan diskresi itu pula dampak negatif dari penumpukan perkara tadi dapat diminimalisasi, Dibandingkan dengan apabila semua permasalahan dalam penyidikan diproses sebagaimana mestinya melalui sistem peradilan pidana yang terkadang terlihat seperti terlalu dipaksakan. Menurut Slamet AR

  10

  , penyidikan memiliki kegunaan penting dalam upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sebagai suatu system peradilan pidana yang menyelenggarakan penegakan hukum pidana dalam kerangka kerja sistematik, dimana tindakan lembaga penegak hukum yang satu memiliki kaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dari kinerja lembaga yang lainnya. Sistem peradilan pidana tersebut dilaksanakan untuk menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikankasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana serta mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Adanya peran penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi terhadap anggota DPRD kota Bandar Lampung, adalah sebagai suatu pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang penyidik kepolisian dalam penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

  Hasil wawancara dengan Slamet AR. Penyidik Subdit III Dirreskrimum Polda Lampung, Rabu, 14 berlaku. Dalam aspek yuridis, proses penyidikan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 109 KUHAP. Selanjutnya, setelah lengkap dan memenuhi persyaratan, maka penyidik akan menjelaskan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh penyidik ke dalam berita acara secara tertulis untuk selanjutnya dibuat dalam 1 berkas lengkap dengan daftar isi, daftar saksi, daftar tersangka dan daftar barang bukti.

  Setelah berkas perkara tersebut diterima oleh kejaksaan, maka penelitian dan pemeriksaan segera dilakukan oleh kejaksaan melalui penuntut umum. Dalam waktu maksimal 7 hari setelah berkas perkara diserahkan oleh penyidik, maka penuntut umum wajib memberitahukan apakah hasil penyidikan telah lengkap atau belum, apabila dinyatakan belum lengkap maka segera mengembalikannya dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan dan dalam waktu 14 hari setelah penerimaan wajib menyampaikan kembali berkas tersebut kepada penuntut umum (KUHAP Pasal 110 Ayat (2), (3) dan Pasal 138 Ayat (2)). Berita acara harus memenuhi kelengkapan formil yaitu kelengkapan yang dijelaskan oleh KUHAP pada Pasal 121 bahwa BAP harus memat antara lain tanggal perbuatan; tindak pidana yang dipersangkakan; dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan; nama dan tempat dai tersangka dan/atau keterangan saksi; sesuatu yang perlu demi kepentingan penyelesaian perkara pada tahapan selanjutnya. Penyidik dalam proses penyidikan harus mampu mengembangkan taktik penyidikan. Dalam taktik penyidikan (opsporingstactiek), penyidik harus bersemangat dan bertindak cepat, mengingat tiap saat ingatan para saksi makin berkurang, makin lama bekas-bekas kejahatan akan hilang, setiap saat memberi kesempatan kepada penjahat melarikan diri dari kejaran polisi

  11

  . Kecepatan adalah tuntutan taktis pertama bagi pemeriksa perkara, akan tetapi prioritas taktik penyidikan adalah pengetahuan yang mempelajari problema-problema taktik dalam bidang penyidikan perkara pidana. Dalam menyidik perkara, kecepatan penyidik tidak boleh mengurangi tertib pemeriksaan teknis perkara selanjutnya, Taktik penyidikan merupakan dasar bagi para penyidik melakukan penyidikan. Dasar ini diterapkan dalam melakukan tindakan sebagai berikut :

  1. Penyidikan di tempat kejadian perkara.

  2. Mengungkap bagaimana cara kejahatan itu dilakukan.

  3. Menemukan pelaku kejahatan.

  4. Cara bekerja nya pelaku kejahatan (metode dan alat).

  5. Pelaku memperlakukan barang- barang hasil kejahatan.

  6. Motif pelaku berbuat kejahatan.

  7. Cara-cara memeriksa atau mendengar keterangan saksi dan tersangka.

  8. Cara melakukan penyidikan.

  9. Cara mempergunakan penyidikan. 11 Firganefi dan Ahmad Irzal Fardiansyah, 2014,

  Hukum dan Kriminalistik . Justice Publisher Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Lampung.

  12 10. Cara mempergunakan informan.

  9. Membaca buku-buku yang bertemakan cerita detektif. Taktik penyidikan memberikan banyak

  10. Memahami bahasa sandi yang pengetahuan yang berkaitan dengan berlaku diantara pelaku, penyidikan. Kepandaian untuk dapat kepercayaan pelaku pada bertindak taktis itu merupakan suatu dukun/orang pintar, tahayul, jimat

  13

  anugerah dari Tuhan sejak orang dan lain lain. dilahirkan, sama halnya seperti keberanian,

  Teknik penyidikan adalah keseluruhan kecerdasan otak dan lain-lain. Taktik kegiatan yang dapat dilakukan dalam adalah suatu daya untuk dapat melihat penyidikan suatu perkara pidana.Teknik dengan jitu sebelumnya akan akibat yang penyidikan adalah pengetahuan tentang timbul dari perbuatan-perbuatan yang bekas-bekas (materiil), alat atau sarana dilakukan. Ia merupakan suatu bakat teknis yang dipergunakan untuk seseorang untuk merasakan bagaimana melakukan kejahatan; saran pembantuan baiknya, apa yang harus diperbuat dan apa untuk menetapkan dan mengambil barang yang tidak harus diperbuat untuk mencapai bukti; serta pengetahuan teknik identifikasi apa yang dituju. Tindakan-tindakan yang dan sinyalemen. termasuk dalam bidang taktik penyidikan antara:

  Setelah melakukan kejahatan, biasanya pelaku meninggalkan banyak bekas

  1. Tindakan pertama di tempat kejadian perkara. (materiil), seperti bekas darah, bekas barang atau pakaian yang ditinggalkan di

  2. Psikologi kriminal, khususnya tempat kejadian perkara (TKP). Teknik digunakan dalam mendengar mencari dan mengambil bekas mendapat keterangan saksi dan tersangka. bantuan besar dari ilmu-ilmu pengetahuan

  3. Cara menjalin hubungan dengan seperti ilmu kedokteran , ilmu kimia, ilmu informan. daktiloskopi, dan peralatan teknologi modern di bidang fotografi,

  4. Taktik penangkapan, penggeledahan badan dan rumah, mikrofotografi, mikroskop, tape recorder, konfrontasi serta penyamaran. lie detector dan lain lain. Dengan peralatan teknis ini, semakin banyak bekas yang

  5. Pembuntutan pelaku dapat dideteksi.

  6. Modus operandi (pola kerja pelaku Kegunaan penyidikan tindak pidana kejahatan) pembunuhan bagi kejaksanan dalam

  7. Press release telah terjadinya proses penuntutan adalah sebelum Jaksa kejahatan.

  Penuntut Umum membuat surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara kepada

  8. Dengan pertimbangan yang sangat Pengadilan Negeri, terlebih dahulu harus hati-hati berkaitan dengan menawarkan hadiah dalam ada penyerahan Berita Acara Pemeriksaan menemukan pelaku kejahatan.

  (BAP) dari pihak penyidik, Jika BAP dari 12 13 penyidik telah lengkap menurut Jaksa Penuntut Umum, barulah Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan, di mana surat dakwaan tersebut haruslah berjalan selaras dengan BAP tersebut. Apabila BAP tersebut menurut penyidik telah lengkap yang disertai dengan alat-alat bukti dan keterangan para saksi yang dianggap telah sah menurut hukum, serta BAP tersebut telah berjalan sesuai dengan dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum.

  Kegunaan penyidikan tindak pidana pembunuhan terhadap Pengadilan dalam Proses Persidangan adalah sebagai bahan pertimbangan atau alat bukti yang dapat membantu Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Menurut Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebutkecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya Pasal 184 menyebutkan bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.

  Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Hakim Pengadilan Negeri dihadapkan pada suatu perkara maka dalam dirinya berlangsung suatu proses pemikiran untuk kemudian memberikan keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, keputusan mengenai hukumannya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana. Semua berkas penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian ini kemudian dilimpahkan kepada pihak kejaksaan untuk proses hukum lebih lanjut kepada pelaku tindak pidana pembunuhan terhada. Berita Acara Pemeriksaan berguna sebagai salah satu alat bukti dan acuan bagi institusi penegak hukum yang akan memproses tindak pidana selanjutnya setelah penanganan kasus di pihak kepolisian selesai, yaitu pihak kejaksaan dan pengadilan.

  C. Faktor-Faktor Penghambat Peran Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan dengan Cara Mutilasi

  Hambatan-hambatan yang timbul dalam proses penyidikan tindak pembunuhan yang dilakukan dengan cara mutilasi terletak pada beberapa faktor, diantaranya :

  1.Faktor hukum itu sendiri Belum adanya aturan khusus mengenai tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi. KUHP hanya mengatur tentang tindak pidana pembunuhan pada umumnya saja, yang terletak dalam Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa dari pasal 338 sampai pasal 350 KUHP.

  14

  2. Faktor Penegak Hukum Kualitas penyidik memainkan peranan vital dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan. Seorang polisi dituntut untuk dapat memahami modus operandi kejahatan yang terus berkembang dan mengetahui perangkat hukum yang hendak diancamkan kepada penjahatnya

  (accussed) . Untuk melakukannya maka kualifikasi pendidikan sangat dibutuhkan.

  Seorang penyidik harus memiliki jenjang pendidikan yang baik demi meningkatkan kualitas SDM Penyidik Polri. Penyidik harus mengembangkan kemampuannya dalam bidangnya masing, misalnya, penyidik narkoba harus meningkatkan kemampuan tentang penyidikan di bidang narkoba dan begitupun di bagian penyidikan yang lain.

  3. Faktor Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan yang sebagaimana mestinya.

  16

  sarana dan prasarana yang menghambat peran Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda 14 Hasil wawancara dengan Wahyu Saputra,

  Penyidik Subdit III Ditreskrimum Polda Lampung.Rabu, 14 Desember 2016. 15 Soerjono Soekanto. Op Cit. hlm 9 Hasil wawancara dengan Slamet AR. Penyidik Subdit III Dirreskrimum Polda Lampung, Rabu, 14

  Lampung dalam mengungkap pembunuhan dengan mutilasi terhadap anggota DPRD Kota Bandar Lampung, yang pertama adalah tidak adanya sarana laboratorium forensik, sehingga penyidikan terkadang mengalami hambatan. Seperti dalam contoh kasus, kendaraan roda empat milik anggota DPRD Kota Bandar Lampung, M. Pansor (korban), yang digunakan Brigadir Medi Andika & Tarmidi (Tersangka) untuk membunuh dan membawa potongan tubuh korban untuk dibuang, harus dibawa ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri untuk dilakukan uji forensik. Lalu yang kedua, dikarenakan kondisi tubuh korban yang sudah membusuk dan tidak dapat dikenali lagi, untuk kepentingan identifikasi, DNA korban dan anak korban diambil dan dikirim ke Mabes Polri agar dilakukan tes DNA untuk mencocokkan DNA keduanya.

  4. Faktor Masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum bersumber dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kepentingan masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.

  17 Menurut Wahyu Saputra

  18 Faktor

  masyarakat yang menghambat upaya penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung dalam penyidikan tindak pidana pembunuhan adalah masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku 17 Soerjono Soekanto. Op Cit. hlm.9

15 Menurut Slamet AR

  Hasil wawancara dengan Wahyu Saputra, Penyidik Subdit III Ditreskrimum Polda Lampung. pembunuhan. Ketakutan tersebut dapat disebabkan oleh adanya ancaman dari para pelaku yang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang menyaksikan perbuatan mereka. Masyarakat yang takut dan tidak melaporkan tindak pidana pembunuhan kepada aparat penegak hukum, dapat menghambat proses penyidikan pelaku tindak pidana pembunuhan. Kepolisian mengemban tugas dan fungsi di bidang ketertiban dan menegakkan hukum di wilayah kerjanya, melayani dan mengayomi masyarakat dengan baik. Dalam pembinaan kamtibmas, polisi harus aktif menggalang potensi masyarakat agar turut partisipasi membantu polisi menciptakan keamanan.Apapun yang dilakukan polisi dalam upaya pembinaan kamtibmas, tetapi tidak didukung oleh warga masyarakat, upaya itu tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan. Tugas polisi tidak hanya sampai pada tataran tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat. Model pemolisian sipil yang mandiri akan ditentukan oleh determinasi dan kemampuan polisi membuka koridor kebebasan berekspresi bagi masyarakat. Untuk itu, polisi harus berbesar hati untuk diawasi oleh masyarakatnya karena pengawasan dapat berfungsi sebagai motivasi untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dianalisis bahwa masyarakat diharapkan memiliki kepedulian dan keberanian dalam melaporkan apabila terjadi tindak pidana maka diharapkan pelaku akan semakin sulit untuk melakukan kejahatannya. Penjelasan di atas menunjukkan peran serta masyarakat secara aktif akan sangat mendukung keberhasilan proses penyidikan sebab dengan semakin aktifnya dukungan dari masyarakat maka akan semakin optimal pula upaya penegakan hukum.

  III. PENUTUP

  A. Simpulan

  1. Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan cara mutilasi, berperan dalam melakukan serangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana guna menemukan tersangkanya, yang mana serangkaian tindakan tersebut meliputi Pemeriksaan di tempat kejadian perkara tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi dengan menggunakan ilmu bantu kedokteran kehakiman, yang mencakup penentuan lama kematian, cara kematian, sebab kematian, dan pembuatan Visum et

  Repertum , Pemanggilan atau penangkapan

  tersangka setelah jelas dan cukup bukti, Penangkapan terhadap tersangka yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap pelaku, Penyitaan berbagai barang bukti yang akan memperkuat pemberkasan atau berita acara Pemeriksaan, untuk menguatkan bukti bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan, pembuatan berita acara, yang meliputi berita acara penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat dan pelimpahan kepada penuntut umum untuk dilakukan tindakan hukum lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dokumen yang terkait

UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MELALUI PENERAPAN PEMBELIAN LANGSUNG BERDASARKAN SISTEM KATALOG ELEKTRONIK (E-PURCHASING)

0 6 12

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Bandarlampung)

0 0 16

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN KORBAN ANAK (Studi Putusan No: 51/Pid.Sus/2016/PN.Kbu)

1 5 12

EKSISTENSI BARANG BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN (Studi Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK)

0 2 13

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN CARA PEMBOBOLAN ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) DI BANK BRI LAMPUNG UTARA (Studi Kasus di Polres Lampung Utara)

0 0 15

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRI (Studi di Polresta Bandar Lampung)

0 0 11

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

0 0 11

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

0 0 19

URGENSI PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA YANG BERTENTANGAN DENGAN SYARAT PP NO. 99 TAHUN 2012

0 1 12

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI SMS (Short Message Service) (Analisis Putusan No : 59Pid.B2015PN.Sdn) (Jurnal)

0 0 17