Konstitusionalitas Pemilu 2014 SINDO pdf

Konstitusionalitas Pemilu 20141
Oleh: Pan Mohamad Faiz 2
MEMASUKI tahun 2014 hingar-bingar politik mulai terasa. Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) terkait pemilihan umum (pemilu) serentak menjadi bahan perdebatan.
MK mengeluarkan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa pemisahan
penyelenggaraan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden bertentangan dengan
UUD 1945. Akan tetapi dalam salah satu amarnya, MK juga memutuskan bahwa hal
tersebut berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan seterusnya.
Apabila diperbandingkan, dua amar tersebut terlihat bertentangan. Pertanyaannya kini,
akankah Pemilu 2014 yang tidak dilaksanakan serentak menjadi inkonstitusional? Sebab
telah ada putusan MK yang mencabut ketentuan UU tentang Pemisahan
Penyelenggaraan Pemilu.
Akibat hukum putusan MK
Berangkat dari pemahaman tersebut, banyak pihak mulai dari pengamat, praktisi,
hingga politisi berpendapat bahwa Pemilu 2014 apabila tidak dilaksanakan secara
serentak akan menjadi inkonstitusional. Alhasil, presiden dan wakil presiden serta
anggota legislatif yang terpilih dari hasil pemilu tahun ini juga tidak akan memiliki
legitimasi konstitusional.
Dari perspektif konstitusi, menurut penulis, pendapat tersebut tidaklah tepat. Apalagi
jika inti permasalahannya hanya karena didasari pada akibat hukum putusan MK yang
diberlakukan masa mendatang.

Seyogianya putusan MK harus dilihat secara utuh, bukan saja terbatas dalam satu
putusan yang sama, melainkan juga terhadap putusan-putusan sebelumnya. Dalam
beberapa putusan MK telah terdapat yurisprudensi terkait penetapan masa berlaku dan
akibat hukum dari suatu putusan.
Dalam judicial review UU Tipikor (2009), MK menyatakan bahwa dualisme sistem
peradilan tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi, MK menegaskan bahwa
ketentuan yang bertentangan tersebut masih tetap berlaku paling lama hingga tiga
tahun sejak putusan tersebut dibacakan. Contoh lain, MK pernah memutus
inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam perkara judicial review
UU Advokat (2006).

                                                        
1

Tulisan dimuat dalam kolom opini Seputar Indonesia pada 3 Februari 2014.

2

Kandidat PhD Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Center for Public, International and Comparative


Law (CPICL) di School of Law, University of Queensland, Australia. Ketua Umum Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI) Australia.

Putusan tersebut menyatakan bahwa ketentuan tentang pengambilan sumpah advokat
dinilai bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak memenuhi syarat yang dimaksud
MK dalam jangka waktu dua tahun sejak amar putusan diucapkan.
Jikalau ada yang berpendapat bahwa putusan semacam itu tidak dapat diberlakukan
dalam konteks pemilu (Opini SINDO, 29/1), perlu juga dibuka yurisprudensi MK dalam
Putusan Nomor 110-111-112-113/ PUU-VII/2009 terkait penetapan anggota DPR
berdasar perhitungan tahap III.
Dalam putusan tersebut, MK bahkan mengeluarkan putusan dengan akibat hukum yang
berlaku surut (retroaktif) untuk pertama kalinya. Belum lagi beragam putusan lain yang
berkorelasi dengan variasi akibat hukum dari suatu putusan MK, baik yang terkait
pemilu maupun tidak.
Diskursus mengenai akibat hukum dari putusan MK sebenarnya tidak saja terjadi di
Indonesia, namun juga di banyak negara. Karena itu, selain perlu merujuk pada hukum
positif yang ada, kita perlu juga melihat praktik internasional yang berkembang
menggunakan metode perbandingan konstitusi.
Praktik internasional
Di tengah permasalahan ketatanegaraan yang kian kompleks, pendekatan klasik dalam

konteks penyelesaian kasus judicial review terkadang memang tidak dimungkinkan
untuk diputuskan berdasar ketentuan yang rigid (Brewer-Carías, 2012).
Sebab itu, pelarangan absolut terhadap putusan MK yang ultra-petita ataupun putusan
yang menciptakan norma baru kini sudah mulai dikesampingkan di dalam praktik
internasional. Begitu pula dengan teori tunggal mengenai akibat hukum dari sebuah
putusan.
Dalam kondisi tertentu, MK di banyak negara juga kerap mengeluarkan putusan dengan
akibat hukum yang beragam. Hal tersebut justru kian lazim dewasa ini. Perbedaannya,
terdapat negara yang melakukannya berdasarkan penafsiran konstitusi, namun ada juga
yang melakukannya berdasar kewenangan yang diberikan secara langsung.
Dalam perkara konstitusi, baik Amerika Serikat maupun Jerman tidak jarang
mengeluarkan putusan yang berlaku surut untuk mengurangi dampak negatif atau
ketidakadilan dari suatu ketentuan yang dinilai inkonstitusional (Grant, 1978; Itzcovich,
2008;).
Kecenderungan putusan semacam ini juga telah menjadi prinsip umum yang diterapkan
di Prancis, Spanyol, Peru, dan Meksiko (Revorio, 2001; Segado, 2008; Belaúnde, dan
Cruz, 2008). Di negara lain, seperti Venezuela, Brasil, dan Kolombia, mereka telah
memberikan kewenangan langsung kepada MK untuk menentukan akibat hukum
sementara dalam pembuatan putusannya (Schäfer dan Almedia, 2008; Zamudio dan
Mac Gregor, 2008).


Praktik konstitusi yang berkembang di banyak negara tentu dapat dipergunakan untuk
melihat kerangka penyelesaian masalah-masalah konstitusi. Dalam teori universalis,
praktik dan putusan MK dari negara lain juga dapat dirujuk sebagai identifikasi dan
interpretasi dalam penanganan kasus-kasus konstitusi (Aroney, 2008; Jackson, 2005).
Kepastian hukum
Melalui perspektif konstitusi, berdasarkan yurisprudensi dan praktik konstitusi di banyak
negara, akibat hukum dari suatu putusan MK yang berlaku masa mendatang adalah
jamak terjadi. Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu 2014 yang tidak serentak atas
dasar putusan MK menjadi tetap konstitusional.
Perbedaan pandangan dalam menyikapi putusan MK tentu sudah menjadi hal yang
lumrah selama ini. Kendati demikian, pelaksana penyelenggara pemilu, peserta pemilu,
dan para calon pemilih perlu diberikan kepastian hukum.
Jangan sampai mereka terombang-ambing dengan wacana yang ada. Untuk jaminan
dan kepastian hukum, setidaknya siapa pun dapat merujuk pada pertimbangan hukum
putusan MK yang menegaskan, ”…penyelenggaraan pilpres dan pemilu anggota
lembaga perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak
dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional” (hal 8687).
Menurut penulis, putusan ini sudah cukup dijadikan landasan kepastian hukum terhadap
konstitusionalitas Pemilu 2014 beserta segala akibatnya sebab suatu putusan MK

memiliki kekuatan hukum mengikat yang juga setara dengan undang-undang. (*)
--Penulisan Referensi: Pan Mohamad Faiz, ‘Konstitusionalitas Pemilu 2014’, Seputar
Indonesia, 3 Februari 2014.