MAKALAH HAK ASASI DISKRIMINASI DAN STIGM

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
HAK ASASI, DISKRIMINASI DAN STIGMA PENYANDANG
DISABILITAS

HALAMAN SAMPUL

Disusun Oleh :
Ita Puspitasari
Farhan Abdillah
Jefry Rizaldi
Heni Gustia
Nukki Dwi Cendani
Siti Cholifatun

ANALISIS KIMIA
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hak
Asasi Penyandang Disabilitas” untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Atas dukungan pemikiran dan materi yang
diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima
kasih kepada ibu Faranita Ratih L, SH, MH selaku dosen PKN dan sumber
referensi bacaan dari jurnal buku maupun website.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan baik secara format atau isi dari makalah.Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari rekan-rekan dan dosen pembimbing matakuliah
kepustakaan kimia dan teknik penulisan ilmiah sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.

Bogor, 25September 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................1

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
IPENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1

LatarBelakang...........................................................................................4

1.2

Rumusanmasalah.......................................................................................5

IITINJAUAN PUSTAKA........................................................................................5
IIIPEMBAHASAN..................................................................................................6
3.1

Pengertian Penyandang Cacat...................................................................6

3.2

Hak-Hak Penyandang Cacat dan Hak-Hak Pekerja Penyandang Cacat....8


3.3

Rancangan Undang-Undang Disabilitas..................................................11

3.4

Fasilitas umum bagi penyandang disabilitas...........................................12

3.5

Data Populasi Penyandang Disabilitas....................................................18

IVPENUTUP.........................................................................................................35
4.1

Simpulan..................................................................................................35

4.2


Saran........................................................................................................35

VDAFTAR PUSTAKA..........................................................................................36

I

PENDAHULUAN

1.1

LatarBelakang

Disabilitasmemilikiarticacatatauterdapatkelainanpadaseseorang yang
tidakdimilikioleh orang padaumunya.Jenis-jenisdisabilitasyaitudisabilitasfisik,
disabilitas mental, sensorik, disabilitasintelektualdandisabilitasperkembangan.
Disabilitasbiasterjadipadasemua

orang

selamahidupatausejakseseorangdilahirkan.Disabilitasataubiasadisebutpenyand

angcacatseringdikucilkandandianggaprendaholehsebagianmasyarakat.Keberad
aandisabilitasseringdianggapsebagaisebuahaib,
sumberpermasalahanhinggasebuahkutukandarisuatudosa

yang

telahdilakukan.Hal

yang

ini

menyebabkankaumdifabeldijauhkandantidakdiperdulikanolehmasyarakatpada
umunya.
Diskriminasiterhadappenyandangcacat

pun

seringterjadi


yang

berakibatakanmemperburukkeadaansuatukaumdifabel.
Seiringperkembanganzaman,
kepeduliankepadakaumdifabelmulaibermunculan.Masyarakatmulaisadarbahw
akaumdifabelmerupakan

orang

yang

tidakmampudanperlumendapatkanbantuanbaiksecarafisikmaupunpsikis.
Kaumdifabelmerupakanbagiandarimasyarakat

yang

memilikihakdankewajibansamahalnyasepertimasyarakatpadaumunya.Secarajel
aspemerintahsudahmengatur

UU


tentangperlindunganterhadapkaumdifabel

yang tertuangdalamUUD 1945, No.4 Tahun 1997 Tentangpenyandangcacat,
UU

No.28Tahun

2002

TentangBangunanGedung,danlainnya.Denganadanyapayinghokumtersebutkau
mdifabeldapatturutberpartisipasidanmengembangkanpotensidalambidangpendi
dikan, pekerjaan, kesahatan, kesejahteraan social danbidanglainnya.
1.1. Tujuan
Makalahinibertujuanuntukmeningkatkankepeduliaanterhadapdisabilit
asdaninformasiakanhakdankewajibankaumdifabel
terhindardaridiskriminasidan stigma sosial.
1.2

Rumusanmasalah


1. Siapa sajakah yang dianggap sebagai penyandang disabilitas?
2. Dasar hukum apa yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas?
3. Bagaimanakah isi Rancangan Undang-Undang Disabilitas?

agar

4. Kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak-hak para
penyandang disabilitas?

II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut

WHO,

disabilitas


suatuketidakmampuan melaksanakan

suatu

adalah

aktifitas/kegiatan

tertentu

sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan oleh kondisi
kehilangan atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan
struktur

atau

fungsi

anatomis.


Disabilitas

adalah

ketidakmampuan

melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang
normal yang disebabkan oleh kondisi impairment (kehilangan atau
ketidakmampuan) yang berhubungan dengan usia dan masyarakat (Glosarium
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial 2009). Dahulu istilah disabilitas
dikenal dengan sebutan penyandang cacat. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the
Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas) tidak lagi menggunakan istilah penyandang cacat, diganti dengan
penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki
keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama,
dimana ketika ia berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat
menyulitkannya untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat
berdasarkan kesamaan hak.
Berdasarkan hasil


Susenas

Modul

Sosial

Budaya

dan

Pendidikan (MSBP) 2012, persentase perempuan penyandang disabilitas
secara nasional sebesar 2,55 persen terhadap total penduduk. Menurut daerah
tempat tinggal, perempuan penyandang disabilitas di perkotaan relatif lebih
rendah dibandingkan di perdesaan, yaitu 2,28 persen berbanding 2,81 persen.
Jika dibandingkan dengan perempuan, persentase laki-laki penyandang
disabilitas relatif lebih rendah, baik di perkotaan maupun di perdesaan.

III

3.1

PEMBAHASAN

Pengertian Penyandang Cacat

Istilah difabel pertama kali dicetuskan di Indonesia oleh beberapa aktivis
di Yogyakarta, salah satunya adalah almarhum Dr. Mansour fakih (Ambulangsih,
2007; Priyadi 2006; Annisa 2005). Penggunaan kata difabel merupakan
pengindonesiaan dari “difabled people” yang merupakan kependekan dari
different ability people atau yang dapat diartikan dengan seseorang dengan
kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan dengan istilah disable,
disable sendiri bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti
kecacatan, dan penggunaan istilah kecacatan memiliki transisi perubahan yang
cukup signifikan sesuai dengan persepsi dan penerimaan masyarakat secara luas.
Di dunia internasional, istilah disability mengalami perubahan, antara
lain:cripple, handicapped, impairement, yang kemudian lebih sering digunakan
istilah
people

with

disability

atau

disabled

people.

People

with

disability

kemudianditerjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi penyandang cacat yang
padaawalnya menggunakan istilah penderita cacat. Istilah penderita cacat
sangatberkesan diskriminatif karena memandang seseorang memiliki salah satu
jenispenyakit atau lebih yang mempengaruhi kondisi fisik seseorang.
Perubahan penggunaan istilah penderita cacat menjadi penyandang cacat
mulai dikenalkan pada penetapan UU No. 4 tahun 1997, yang menempatkan
posisi penyandang cacat dengan cenderung menghaluskan istilah tersebut.
Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih humanis dan sebagai suatu usaha
untuk

menghilangkan

kekuatan

ruang

yang

memiliki

hubungan

tidak

adil/diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan
mereka (Priyadi 2006 ; Annisa 2005).
Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, pengertian
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatanbaginya
untuk melakukan secara selayaknya. ( Pasal 1 ). Penyandang cacat dalam UU

Nomor 4 Tahun 1997 ini dikategorikan menjadi 3 ( tiga ) jenis penyandang cacat,
antara lain penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang
cacat fisik dan mental. Demikian pula pengertian penyandang cacat yang
dijelaskan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998. Ada
beberapa penggolongan pada orang cacat berikut merupakan jenis atau klasifikasi
dari cacat yaitu :
1. Cacat Fisik, yang didefinisikan sebagai penderita yang mengalami anggota
fisik yang kurang lengkap seperti amputasi, cacat tulang, cacat sendi otot,
lungkai, lengan, dan lumpuh.
2. Cacat Mata, yang didefinisikan sebagai penderita yang mengalami
keterbatasan dalam penglihan atau kurang awas.
3. Cacat Rungu Wicara, yang didefinisikan sebagai penderita yang
mengalami keterbatasan dalam mendengar atau memahami apa yang
dikatakan oleh orang lain dengan jarak lebih dari 1 meter tanpa alat bantu,
lainnya tidak dapatberbicara sama sekali atau bicara kurang jelas, dan
mengalami hambatan atau kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang
lain
4. Cacat Mental Eks-psilotik, yang didefinisikan seperti ekspenderita
penyakit gila, kadang-kadang masih memiliki kelainan tingkah laku,
sering mengganggu orang lain biasanya orang – orang yang menderita
cacat jenis ini mengalami kesusahan dalam bersosial dan ada juga yang
mengalami kesusahan dalam mengontrol emosi, sehingga biasanya orang
– orang yang mengalami cacat jenis ini perlu pengawsan yang lebih
dibandingkan dengan orang – orangyang mengalami cacat fisik.
5. Cacat Mental Retardasi yang didefinisikan seperti idiot/ kemampuan
mental dan tingkah lakunya sama seperti dengan anak normal berusia 2
tahun dan biasanya wajahnya dungu, embisil/kemampuan mental dan
tingkah lakunyaseperti anak usia 3 – 7 tahun , debil/kemampuan mental
dan tingkah lakunya sama seperti anak usia 8 – 12 tahun. Selain itu
biasanya pada cacat jenis ini, orang – orang yang menderita cacat jenis ini
mengalami kesusahan dalam bersosial dan ada juga yang mengalami
kesusahan dalam mengontrol emosi, sehingga biasanya orang – orang

yang mengalami cacat jenis ini perlu pengawasan yang lebih dibandingkan
dengan orang – orang yang mengalami cacat fisik.

3.2

Hak-Hak Penyandang Cacat dan Hak-Hak Pekerja Penyandang
Cacat
Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia

dankebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada
manusia,yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi meningkatkan
martabatkemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan
(Pasal 2 UUNo.39 tahun 1999 tentang HAM). Hak dihubungkan dengan
perlindungan hukum tidakterlepas dari apa yang dimaksud dengan legal right,
dimana hak yang berdasarkanhukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui
dan dilindungi oleh hukum. Sebagaiakibat adanya kaitan bahwa hak yang
berdasarkan hukum merupakan suatu hak yangdiakui dan dilindungi oleh hukum,
di Indonesia hal itu berkaitan dengan sistem hukumcivil law, seperti yang
diungkapkan oleh Worthington bahwa di Negara dengan sistemhukum civil law,
hak dalam hukum ini ditetapkan dalam undang-undang. Hal inidimaksudkan agar
masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan hukum bagi hak-hakyang
dimilikinya tanpa diskriminasi.
Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar
RepublikIndonesia Tahun 1945 berisi Pasal-Pasal penjaminan hak bagi semua
warga

NegaraIndonesia,

baik

hak

membentuk

keluarga;

melanjutkan

keturunannya melaluiperkawinan yang sah; bahwa setiap anak mempunyai hak
atas kelangsungan hidupnya,tumbuh dan berkembang; berhak atas pelindungan
dari kekerasan; setiap orang berhakmengembangkan diri, berhak mendapat
pendidikan, memperoleh manfaat dari ilmupengetahuan, teknologi, seni dan
budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dandemi kesejahteraan umat
manusia sampai dengan penjaminan hak untuk hidup besertahak-hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan tertentu.
Diaturnyahak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945
membuktikan bahwa hak-hak inibenar-benar penting bagi kelangsungan hidup

manusia, khususnya dalam hal ini adalahwarga Negara Indonesia. Sedangkan
yang termasuk dalam penyebutan Warga NegaraIndonesia adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yangdisahkan dengan UndangUndang sebagai warga Negara ( Pasal 26 ayat (1) UUD1945). Orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkandengan UndangUndang sebagai warga Negara ini tentunya di dalamnya termasuk jugaorangorang penyandang cacat yang juga merupakan bagian dari orang-orang
bangsaIndonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan sebagaimana
yangdijelaskan di atas.
Berdasarkan uraian diatas, hak bagi kaum penyandang cacat dikategorikan
kedalam hak-hak relative. Pentingnya penekanan perlindungan hak bagi
kaumpenyandang cacat dikarenakan sebagaimana pengertian penyandang
cacat,bahwasanya kaum penyandang cacat merupakan orang-orang dengan
kemampuanberbeda, sehingga perlu perlakuan yang khusus juga dari pemerintah
untuk memenuhihak-hak yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab
XA mengenai hakasasi manusia.Selain itu tanpa adanya perlindungan lebih dari
pemerintah, para kaumpenyandang cacat ini rentan terhadap perlakuan
diskriminasi, terlebih terhadappemenuhan hak-haknya.
Bahkan dunia internasional juga begitu sangat peduli terhadappemenuhan
hak-hak asasi manusia khususnya bagi kaum penyandang cacat, hal initerbukti
dengan adanya Convention on the Rights of Persons with Disabilities.
KonvensiPBB yang dilaksanakan pada 3 Mei 2008 ini bertujuan mempromosikan,
melindungidan menjamin penuh terpenuhinya hak asasi manusia tanpa adanya
diskriminasi bagikaum penyandang cacat (difabel).
Indonesia saat ini sedang memproses ratifikasi konvensi dimaksud dan
sekarang drafsudah berada di Kementarian Luar Negeri untuk diajukan ke DPR
utuk proses penetapannya.Konvensi internasional berdasarkan resolusi PBB
Nomor. 61/1061 tanggal 13Desember 2006 ini mempunyai beberapa prinsip,
prinsip-prinsip dari Convention on theRights of Persons with Disabilities adalah:
1. Menghormati martabat yang melekat pada setiap individu termasuk
kebebasanuntuk menentukan pilihannya sendiri.
2. Non-Diskriminasi

3. Secara penuh dan efektif berpartisipasi dan ikut serta dalam masyarakat
4. Menghargai perbedaan dan penerimaan para penyandang cacat sebagai
bagiandari keragaman manusia dan kemanusiaan
5. Persamaan kesempatan
6. Aksesibilitas
7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
8. Penghormatan terhadap kapasitas berkembang anak-anak penyandang
cacat

danmenghormati

hak

anak-anak

penyandang

cacat

untuk

mempertahankan identitasmereka.
Aksesibilitas bagi penyandang cacat/difabel berdasarkan Convention on
theRights of Persons with Disabilities adalah:
1. Pembangunan jalan, bangunan, transportasi serta fasilitas indoor dan
outdoorsekolah, perumahan, fasilitas kesehatan dan tempat kerja yang
mampu memenuhikebutuhan difabel untuk dapat hidup mandiri dan
berpatisipasi penuh dalam semuaaspek kehidupan
2. Pemberian informasi, komunikasi, dan layanan lain seperti pelayanan
elektronik danlayanan darurat yang juga mendukung tercapainya
kemandirian dan partisipasipenuh difabel dalam segala aspek kehidupan.
Guna tercapainya aksesibilitas yang telah diatur dalam konvensi ini,
negara-negarapeserta mengambil langkah berupa:
1. Mengembangkan, menyebarluaskan dan memantau pelaksanaan standar
minimumdan panduan untuk aksesibilitas fasilitas dan layanan yang
terbuka atau yangdisediakan untuk umum
2. Memastikan bahwa fasilitas dan layanan yang terbuka atau yang
disediakan untukumum yang ditawarkan oleh pihak swasta telah
memperhitungkan semua aspekbagi aksesibilitas bagi para difabel
3. Memberikan

pelatihan

kepada

pemegang

kepentingan

pada

isu

aksesibilitas yangdihadapi oleh difabel
4. Menyediakan huruf braile dan braile signage pada bangunan dan fasilitas
lain yangterbuka untuk umum

5. Memberikan bantuan hidup dan perantara, termasuk panduan, pembaca
dan jurubahasa isyarat professional, untuk memfasilitasi aksesibilitas
terhadap bangunandan fasilitas lain yang terbuka untuk umum
6. Mempromosikan bentuk-bentuk lain yang sesuai bantuan dan dukungan
bagi paradifabel untuk menjamin akses mereka terhadap informasi
7. Mempromosikan akses bagi para difabel terhadap informasi baru dan
sistemteknologi komunikasi termasuk internet
8. Menggalakkan desain, pengembangan, produksi dan distribusi informasi
dankomunikasi dapat diakses dengan teknologi dan system pada tahap
awal, sehinggateknologi dan system ini dapat dicapai dengan biaya
minimum.

3.3

Rancangan Undang-Undang Disabilitas

KepalaBidangRehabilitasiVokasionalBalaiBesarRehabilitasiVokasionalBin
aDaksa

(BBRVBD),

UjangTaofikHidayatmengatakan,

upaya-

upayauntukmengadvokasikebutuhanpenyandangdisabilitassebenarnyatelahdiupay
akannegara, salahsatunyadenganpembuatan RUU disabilitas. Isi dari RUU
disabilitas meliputi:
1. sektorpendidikan,

SLB

akanmenjadisalahsatubentukpelayananNegarauntukwarganya.Di
setiapkecamatanakanadapusatpelayaandisabilitas
2. peraturantentangpenyertaankaumdisabilitasdalamsebuahperusahaan.Implik
asinya,

2

persen

di

antarasetiap

50

pekerjadalamsebuahperusahaanharuspenyandangdisabilitas.Status pekerja
di

perusahaandisebutsebagai

‘penyandangdisabilitas’

dan

‘bukanpenyandangdisabilitas’.

3.4

Fasilitas umum bagi penyandang disabilitas

Ada beberapa pelayanan bagi para difabel di Yogyakarta, yaitu sebagai
berikut.
1. Pelayanan pendidikan

A. Pendidikan Inklusi
Hak setiap warga negara adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan
tanpa diskriminasi. Hak pendidikan ini juga berlaku kepada orang
berkebutuhan khusus atau penyandang cacat atau yang biasa disebut difabel
(different ability). UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak
setiap warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang,
jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan
kata lain, dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat
sosial yang membedakan para difabel dengan masyarakat umum. Orang tua
bisa mendaftarkan anak difabel mereka ke sekolah umum. UU No. 4 Tahun
1997 pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga pendidikan umum menerima
para difabel sebagai siswa. Kewajiban seperti inilah yang disebut sebagai
model inklusi.
Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para
difabel dan masyarakat pada umumnya. Sekolah Inklusi memberikan peluang
bagi siswa dengan setiap perbedaannya untuk dapat berhasil dalam belajar di
sekolah reguler (umum). Sehingga sekolah inklusi mensyaratkan adanya
keterbukaan, keadilan, tanpa diskriminasi, ramah dan terbuka dengan
mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul perbedaan yang ada
pada siswa / anak berkebutuhan khusus (ABK). Hal ini berbeda dengan kurun
waktu sebelumnya, pendidikan bagi ABK hanya dapat dilayani oleh Sekolah
Luar Biasa (SLB).
B. Sekolah Luar Biasa (SLB)
Selain sekolah inklusi, untuk penyediaan kebutuhan pendidikan bagi
difabel, Sekolah Luar Biasa merupakan pilihan. Berbeda dengan sekolah
inklusi yang tidak membedakan perlakuan antara siswa biasa dan
berkebutuhan khusus, Sekolah Luar Biasa hanya menampung mereka yang
memiliki keterbatasan fisik atau mental.
Beberapa hal yang ditekankan dalam penyelenggaraan SLB sebagai
lembaga pendidikan Indonesia adalah: (a) Tunanetra: membaca dan menulis
braille, orientasi mobilitas, (b) Tunarungu: Bina Bicara, Bina Persepsi Bunyi

dan Irama, (c) Tunagrahita: Binadiri, Sensomotor, (d) Tunadaksa : Bina gerak,
sensomotor, Behaviour Terapi, (e) Umum: Play terapi, Music Terapi,
Physioterapi, Hidroterapi, dan Occupational terapi.
C. Blind Corner di Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpusda)
Blind Corner bagi difabel merupakan layanan baru setelah menjalankan
kegiatan Bank Buku 2010. Pelayanan Blind Corner adalah berbasis IT yang
menyediakan 1 perangkat komputer yang menggunakan software JAWS.
Dengan aplikasi ini komputer membacakan setiap teks yang tertera di layar PC
sehingga dapat disimak pengunjung tunanetra. Perpusda juga telah
melengkapi dengan koleksi buku elektronik diantaranya novel-novel
Indonesia terkenal, buku bicara digital, file digital sehingga tunanetra dapat
membaca buku umum melalui proses scanning dan pemanfaatan program
JAWS. Juga disediakan pendamping untuk membantu pengunjung tunanetra
dalam mencari buku sampai dengan pemanfaatannya.
Layanan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tunanetra akan
aksesibilitas informasi sebagai upaya menuju perpustakaan inklusif yang
melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.
2. Pelayanan Sosial dan Ketenagakerjaan
A Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial
Ada beberapa kegiatan rehabilitasi dan pelayanan sosial yang dilakukan.
Pertama, kursus sulam. Kedua, Program Pemberdayaan Keluarga Difabel.
Program pemberdayaan ini berupa pemberian bantuan stimulan usaha dalam
bentuk uang tunai dengan jumlah 1 juta per keluarga. Bantuan ini dapat
diperoleh ketika keluarga difabel mengajukan proposal bantuan dana kepada
FKADK dan dinas sosial. Selanjutnya untuk menetukan kelayakan penerima
bantuan, dinas sosial melakukan verifikasi oleh tim survei dengan melakukan
studi kelayakan atau kunjungan ke rumah-rumah keluarga pemohon bantuan
untuk memastikan kelayakan pemberian bantuan.
Ketiga, Program bantuan pemberian alat bantu bagi kaum difabel. Alat
bantu yang diberikan berupa kursi roda, kaki palsu, tongkat, alat bantu dengar,
dsb. Dalam pemberian alat bantu ini, dinas sosial bekerjasama dengan

YAKUM dan dokter Harso dari Solo. Keempat, Program santunan jaminan
hidup dari Kementerian Sosial.
Kelima, Kegiatan Pemberdayaan Tenaga Kerja Penca (Difabel). Dalam
rangka pembinaan tenaga kerja Aksus (Angkatan Kerja Khusus) dimana
didalamnya termasuk tenaga kerja penca (Difabel), Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan
Kegiatan Pemberdayaan Tenaga Kerja Penca (Difabel). Setelah mengikuti
pelatihan, peserta memperoleh pengetahuan kewirausahaan, baik teori maupun
praktek, dengan harapan termotivasi untuk menjadi wirausaha mandiri yang
pada akhirnya dapat memperluas lapangan pekerjaan bagi orang lain pada
umumnya dan difabel pada khususnya.
B Pengembangan dan Penyaluran Kerja
Dalam bidang pengembangan tenaga kerja ini, Dinas Sosial membantu
dalam menyalurkan kaum difabel dalam mencari kerja. Dalam Undang –
undang dan Peraturan Pemerintah, termasuk Perda No 4 tahun 2012 tentang
Perlindungan Dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas disebutkan
bahwa perusahaan yang mempunyai 100 pekerja, maka harus memasukkan 1 (
satu ) kaum difabel untuk dipekerjakan pada perusahaan tersebut. Namun
perusahaan juga mempunyai kriteria dalam memasukkan kaum difabel
tersebut dan ini bersifat tidak memaksa.
Dinas Sosial memberikan penghargaan kepada perusahaan yang
menempatkan kaum difabel di perusahaannya dalam bentuk pemberian gaji
sebesar 25% dari gaji yang diberikan oleh perusahaan tersebut selama 1 (satu)
tahun dan memberikan jaminan Jamsostek.
C Pelayanan Kesehatan
Kesehatan merupakan hak dasar warga negara. Artinya, dalam kondisi
dimana seorang warga negara tidak mampu mengupayakannya, maka sudah
menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Sebuah langkah maju adalah
bahwa pada saat sekarang ini, telah ada beberapa skema jaminan kesehatan
yang diselenggarakan untuk rakyat seperti JAMKESMAS, JAMKESSOS dan
JAMKESDA. Namun, dari pengalaman yang dirasakan oleh difabel, jaminanjaminan kesehatan tersebut ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan

kesehatan difabel. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya item-item obat
dan treatment yang ditanggung, sementara penyakit yang melanda tidak
pernah mau peduli apakah yang menyandangnya orang miskin atau kaya.
Meski di Indonesia khususnya Kota Yogyakarta belum ada suatu penelitian
mengenai tingkat kerawanan kesehatan bagi difabel, namun diyakini bahwa
pada tingkat difabilitas tertentu, tingkat kerawanannya akan jauh lebih tinggi
dibanding yang non difabel. Misalnya bagi difabel dengan paraplegi, setiap
bulannya mereka membutuhkan perawatan kesehatan dan biaya-biaya medis
yang tidak bisa ditangguhkan. Artinya, jika dengan penghasilan yang menurut
kategori yang saat ini berlaku, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat
miskin, tetapi setelah dikurangi dengan biaya-biaya kesehatan yang rutin harus
mereka keluarkan, bisa jadi penghasilan mereka tidak lagi cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
Melihat permasalahan di atas, jelas bahwa jaminan kesehatan yang sudah
ada belum dirasa mampu menjawab kebutuhan difabel akan jaminan
kesehatan, dan untuk itu, perlu dikembangkan sebuah mekanisme jaminan
kesehatan yang sensitive difabel dan mampu menjawab kebutuhan rakyat akan
jaminan kesehatan.
3. Aksesibilitas Perhubungan
A Transjogja
Sarana transportasi umum yang terbilang murah dan menjangkau seluruh
bagian kota jogja, kehadiran Transjogja dengan segala kenyamanannya
disambut hangat oleh masyarakat Yogyakarta secara umum, termasuk para
difabel. Apalagi Transjogja dijanjikan dapat diakses oleh semua masyarakat
dan juga menyediakan sarana sarana penunjang agar dapat ikut andil dalam
transportasi masyarakat difabel. Beberapa hal yang telah dilakukan adalah
menyediakan kursi yang dapat lipat di setiap bus Transjogja dan pembangunan
halte bus Transjogja yang ramah difabel. Akan tetapi, upaya pelayanan
tersebut ternyata dalam prakteknya tidak selalu memberikan kemudahan bagi
difabel.
Dalam menyikapi masalah masalah tersebut PT Jogja Tugu Trans mulai
melakukan pembenahan dari segi desain dan posisi lahan yang digunakan

sebagai halte trans. Beberapa perbaikan yang mulai dilakukan penyedia
Transjogja adalah; (a) Halte didisain lebih menjorok di pintu keluar menuju
bis bertujuan agar mempermudah difabel keluar masuk bis, (b) Ram yang
tidak terlalu curam. Hal ini diharapkan mampu meringankan beban dalam
mendorong kursi roda para difabel. Dalam hal ini kemiringan ram ideal sudah
dapat dilihat pada halte Jl. KH Ahmad Dahlan, (c) Halte hendaknya dibangun
dan menyisakan space lebih kurang 2 m di sebelah kanan dan sebelah kiri ram
agar ketika turun difabel tidak langsung berhadapan dengan taman, tiang
bendera, dan tiang listrik, (d) Penyediaan ram di batas antara jalan raya dan
trotoar yang ada diatasnya, dan (e) Pintu halte dibangun sama tinggi dengan
pintu bis dengan lebih teliti.
B Sepeda Motor Bagi Difabel
Kepolisian

Daerah

DIY

mengeluarkan

Surat

Nomor

B/4965/XII/2008/Ditlantas ditujukan kepada Kepala Poltabes/Kepala Polres
se-DIY perihal Pembuatan Surat Izin Mengemudi untuk Penyandang Cacat
pada10 Desember 2008 lalu. Ada tiga hal pokok yang harus dilaksanakan oleh
Poltabes/Polres: (a) Tidak ada diskriminasi dalam pengurusan SIM antara
difabel dan nondifabel, (b) Memberikan pelayanan dan menyediakan sarana
dan prasarana bagi difabel yang dapat mempermudah difabel mengurus SIM,
(c) Difabel diperbolehkan melakukan modifikasi kendaraan bermotor dengan
berpedoman pada ketentuan yang ada. Peraturan ini memang baru berlaku di
kota Yogyakarta. Sedangkan di kota besar lain seperti Jakarta dan Semarang
peraturan ini memanglah belum diterapkan.
C Marka Rambu
Saat ini salah satu marka rambu yang disediakan oleh Dinas Perhubungan
untuk difabel adalah di daerah Malioboro. Jadi marka rambu digunakan untuk
penyeberangan kaum difabel yaitu dengan memencet tombol yang ada pada
samping marka tersebut.
4. Aksesibilitas Bangunan dan Fasilitas Umum
Selama ini kaum difabel masih mengalami kesulitan dalam mengakses
bangunan dan prasarana fisik yang ada di Kota Yogyakarta. Sebagai contoh,
ketika memasuki Komplek Kantor Pemerintah Kota Yogyakarta, bagian

Hubungan Masyarakat misalnya, para difabel berkursi roda tampak kesulitan
ketika harus menaiki tangga tanpa ada jalur khusus kursi roda. Hal seperti ini
masih sangat sering dijumpai di hampir semua bangunan perkantoran
pemerintah
pembangunan

dan

swasta.

prasarana

Pihak-pihak
gedung

belum

yang

berwenang

banyak

melakukan

mempertimbangkan

kemudahan akses bagi difabel.
Pada beberapa fasilitas publik yang ada di Kota Yogyakarta, Dinas
Permukiman dan Prasarana Wilayah telah membuat dan membangun fasilitas
umum yang ramah difabel yaitu jalan khusus atau trotoar bagi difabel di
beberapa ruas jalan utama Kota Yogyakarta khususnya Jalan Malioboro.
5. Lajur blok penanda sebagai tanda jalan difabel diberi warna kuning. Lajur
berada di bagian tengah trotoar dengan desain berbeda memiliki tanda
menonjol pada permukaan jalan. Tanda tersebut merupakan standar
penanda jalan khususnya tunanetra dan penyandang low vision.
3.5

Data Populasi Penyandang Disabilitas

1. Pasal-pasal yang berlaku
ORANG DENGAN DISABILITAS SEBAGAI SASARAN
PEMBANGUNAN
KESEHATAN (pasal 25)

1

Negara/pemerintah harus memastikan bahwa orang dengan disabilitas
dapat menikmati dearajat kesehatan tertinggi yang dapat dicapai di negara
itu.

2

Untuk itu, pemerintah wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan
(dasar, rehabilitasi, reproduksi, dll.) di komunitasnya yang aksesibel dan
terjangkau, sekaligus untuk mencegah terjadinya disabilitas yang lebih
buruk.

3

Diselenggarakan secara etis, non-diskriminatif, oleh tenaga yang
kompeten, dan menghormati hak pasien

4

Menyediakan perlindungan melalui asuransi

HABILITASI DAN REHABILITASI
(pasal 26)
1

Negara/pemerintah perlu mengupayakan berbagai tindakan yang efektif
untuk membantu orang dengan disabilitas agar dapat hidup mandiri dan
berpartisipasi dalam komunitasnya,

2

Untuk itu diperlukan:
o Melakukan intervensi sedini mungkin
o Menyediakan dan memperkuat layanan yang relevan
o Menyediakan tenaga profesional yang terkait
o Mendorong gerakan relawan di dalam komunitas

BEKERJA DAN MENDAPAT PEKERJAAN
(pasal 27)
1

Negara/pemerintah mengakui hak orang dengan disabilitas untuk bekerja
dan memperoleh pekerjaan – perlu dicantumkan dalam hukum positif.

2

Hormati hak-haknya untuk memperoleh pekerjaan sesuai kemampuannya,
bergabung dengan serikat buruh, memperoleh training, dan menjalani
proses seleksi tanpa diskriminasi, mempromosikan tempat bekerja di
pemerintahan

maupun

swasta,

mendukung

dn

memperkuat

kemampuannya untuk bekerja sendiri (self-employed)
3

Membangun aksesibilitas dan menyediakan peralatan asistif untuk
mendukung kesempatan bekerja dan mendapat pekerjaan.

DERAJAT HIDUP YANG BERKUALITAS DAN PERLINDUNGAN
SOSIAL (pasal 28)


Negara/pemerintah berkewajiban mengupayakan setiap orang dengan
disabilitas mempunyai tempat tinggal yang layak, akses terhadap air bersih
dan sanitasi, pelayanan khusus maupun dasar, mempunyai akses
memperoleh bantuan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, dan yang
bekerja memperoleh jaminan pensiun

KERANGKA KEBIJAKAN
PARTISIPASI POLITIK DAN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
(pasal 29)
1

Negara/pemerintah menjamin hak-hak yang sama dengan orang lain untuk
memilih dan dipilih.

2

Untuk itu perlu diupayakan:
o Prosedur yang dipahami dan menghormati hak “kerahasiaannya”
o Membebaskannya memilih orang yang membantu dalam voting
o Melatih orang-orang yang membantu dalam pemilihan umum
sehingga tidak melanggar hak-hak mereka

3

Menjamin kebebasan berekspresi di depan umum termasuk mendirikan
dan mengikuti organisasi tertentu

4

Bantuan dalam bentuk asistensi karena disabilitasnya tidak menghilangkan
hak-haknya untuk menentukan pilihan dan kerahasiaan

PARTISIPASI DALAM KEHIDUPAN BUDAYA, REKREASI, WAKTU
LUANG, DAN OLAHRAGA (PASAL 30)
1

Negara/pemerintah menjamin bahwa orang dengan disabilitas mempunyai
akses terhadap kehidupan budaya, rekreasi dan waktu luang, serta olahraga
melalui upaya-upaya pembangunan aksesibilitas, peralatan asistif, dan
kesadaran masyarakat.

2

Negara/pemerintah menghormati dan menjamin kesempatan orang dengan
disabilitas

untuk

berkreasi,

mengembangkan

kreativitasnya

dan

melindungi hak-hak intelektualnya.
3

Menjamin dan melindungi keinginan mereka untuk berpartisipasi atau
berorganisasi dalam dunia seni bidaya dan olahraga

4

Menjamin akses bagi mereka untuk bermain, berwisata, menikmati waktu
luang – baik di sekolah maupun di tempat-tempat publik – termasuk
tempat wisata.

STATISTIK DAN DATA
(pasal 31)
1

Negara/pemerintah wajib mengumpulkan data dan informasi yang akurat
yang akan membantu dalam memformulasikan dan menerapkan kebijakan
yang tepat.

2

Untuk itu:

o Pengumpulan data dan info harus menghormati hak-hak diffabel
(perlindungan privasi)
o Data dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin, wilayah, usia, ragam
fungsionalitasnya, dll. Yang memungkinkan pemanfaatan data
secara optimal bagi kepentingan orang dengan disabilitas.
o Memastikan aksesibilitas data dan info oleh diffabel
KERJASAMA INTERNASIONAL
(pasal 32)


Memastikan bahwa semua kerjasama internasional (bi/multi-lateral)
dilakukan dalam rangka mendukung realisasi konvensi ini – melalui
pembangunan kapasitas, pertukaran informasi dan teknologi, pendidikan
ilmiah, pengupayaan/penyediaan ICT dan perlengapan asistif untuk
mengatasi masalah aksesibilitas.

PARTISIPASI DALAM KEHIDUPAN BUDAYA, REKREASI, WAKTU
LUANG, DAN OLAHRAGA (PASAL 30)
1

Negara/pemerintah menjamin bahwa orang dengan disabilitas mempunyai
akses terhadap kehidupan budaya, rekreasi dan waktu luang, serta olahraga
melalui upaya-upaya pembangunan aksesibilitas, peralatan asistif, dan
kesadaran masyarakat.

2

Negara/pemerintah menghormati dan menjamin kesempatan orang dengan
disabilitas

untuk

berkreasi,

mengembangkan

kreativitasnya

dan

melindungi hak-hak intelektualnya.
3

Menjamin dan melindungi keinginan mereka untuk berpartisipasi atau
berorganisasi dalam dunia seni bidaya dan olahraga

4

Menjamin akses bagi mereka untuk bermain, berwisata, menikmati waktu
luang – baik di sekolah maupun di tempat-tempat publik – termasuk
tempat wisata.

STATISTIK DAN DATA
(pasal 31)
1

Negara/pemerintah wajib mengumpulkan data dan informasi yang akurat
yang akan membantu dalam memformulasikan dan menerapkan kebijakan
yang tepat.

2

Untuk itu:
o Pengumpulan data dan info harus menghormati hak-hak diffabel
(perlindungan privasi)
o Data dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin, wilayah, usia, ragam
fungsionalitasnya, dll. Yang memungkinkan pemanfaatan data
secara optimal bagi kepentingan orang dengan disabilitas.
o Memastikan aksesibilitas data dan info oleh diffabel

KERJASAMA INTERNASIONAL
(pasal 32)


Memastikan bahwa semua kerjasama internasional (bi/multi-lateral)
dilakukan dalam rangka mendukung realisasi konvensi ini – melalui
pembangunan kapasitas, pertukaran informasi dan teknologi, pendidikan
ilmiah, pengupayaan/penyediaan ICT dan perlengapan asistif untuk
mengatasi masalah aksesibilitas.

2. Data Populasi
Jenis Ke-lamin/Umur
Dunia

Persentase
Negara

Ber-penghasilan Negara

Berpenghasilan

Tinggi
Afrika

Amerika

Menengah

Asia

Eropa

dan

Rendah,

Regional WHO
Mediterania Pasifik Barat

Tenggara
Disabilitas Sedang dan Parah
Laki-laki
0-14
5,2
2,9
6,4
4,6

Timur
5,3

4,4

5,3

5,4

tahun
15-59

14,2

12,3

16,4

14,3

14,8

14,9

13,7

14,0

tahun
>60

45,9

36,1

52,1

45,1

57,5

41,9

53,1

46,4

tahun
Perempuan
0-14
5,0

2,8

6,5

4,3

5,2

4,0

5,2

5,2

tahun
15-59

15,7

12,6

21,6

14,9

18,0

13,7

17,3

13,3

tahun
>60

46,3

37,4

54,3

43,6

60,1

41,1

54,4

47,0

tahun
Laki-laki dan Perempuan
0-14
5,1
2,8

6,4

4,5

5,2

4,2

5,2

5,3

tahun
15-59

14,9

12,4

19,1

14,6

16,3

14,3

15,5

13,7

tahun
>60

46,1

36,8

53,3

44,3

58,8

41,4

53,7

46,7

tahun
>15

19,4

18,3

22,0

18,3

21,1

19,5

19,1

18,1

tahun
Semua

15,3

15,4

15,3

14,1

16,0

16,4

14,0

15,0

Umur
Tabel 2. (Lanjutan) Jenis Ke-lamin/Umur
Dunia

Afrika

Negara

Amerika

Persentase
Ber-penghasilan Negara

Berpenghasilan

Tinggi

Menengah

Asia

Regional WHO
Mediterania Pasifik Barat

Tenggara
Disabilitas Sedang dan Parah
Laki-laki

Eropa

Timur

dan

Rendah,

0-14

5,2

2,9

6,4

4,6

5,3

4,4

5,3

5,4

tahun
15-59

14,2

12,3

16,4

14,3

14,8

14,9

13,7

14,0

tahun
>60

45,9

36,1

52,1

45,1

57,5

41,9

53,1

46,4

tahun
Perempuan
0-14
5,0

2,8

6,5

4,3

5,2

4,0

5,2

5,2

tahun
15-59

15,7

12,6

21,6

14,9

18,0

13,7

17,3

13,3

tahun
>60

46,3

37,4

54,3

43,6

60,1

41,1

54,4

47,0

tahun
Laki-laki dan Perempuan
0-14
5,1
2,8

6,4

4,5

5,2

4,2

5,2

5,3

tahun
15-59

14,9

12,4

19,1

14,6

16,3

14,3

15,5

13,7

tahun
>60

46,1

36,8

53,3

44,3

58,8

41,4

53,7

46,7

tahun
>15

19,4

18,3

22,0

18,3

21,1

19,5

19,1

18,1

tahun
Semua

15,3

15,4

15,3

14,1

16,0

16,4

14,0

15,0

Umur

Jenis Ke-lamin/Umur
Dunia

Persentase
Negara

Afrika

Amerika

Ber-penghasilan Negara

Berpenghasilan

Tinggi

Menengah

Asia

Regional WHO
Mediterania Pasifik Barat

Eropa

dan

Rendah,

Tenggara
Disabilitas Sedang dan Parah
Laki-laki
0-14
5,2
2,9
6,4
4,6

Timur
5,3

4,4

5,3

5,4

tahun
15-59

14,2

12,3

16,4

14,3

14,8

14,9

13,7

14,0

tahun
>60

45,9

36,1

52,1

45,1

57,5

41,9

53,1

46,4

tahun
Perempuan
0-14
5,0

2,8

6,5

4,3

5,2

4,0

5,2

5,2

tahun
15-59

15,7

12,6

21,6

14,9

18,0

13,7

17,3

13,3

tahun
>60

46,3

37,4

54,3

43,6

60,1

41,1

54,4

47,0

tahun
Laki-laki dan Perempuan
0-14
5,1
2,8

6,4

4,5

5,2

4,2

5,2

5,3

tahun
15-59

14,9

12,4

19,1

14,6

16,3

14,3

15,5

13,7

tahun
>60

46,1

36,8

53,3

44,3

58,8

41,4

53,7

46,7

tahun
>15

19,4

18,3

22,0

18,3

21,1

19,5

19,1

18,1

tahun
Semua

15,3

15,4

15,3

14,1

16,0

16,4

14,0

15,0

Umur

Jenis Ke-lamin/Umur
Dunia

Persentase
Negara

Ber-penghasilan Negara

Tinggi
Afrika

Amerika

Berpenghasilan

Menengah

Asia

Eropa

dan

Rendah,

Regional WHO
Mediterania Pasifik Barat

Tenggara
Disabilitas Sedang dan Parah
Laki-laki
0-14
5,2
2,9
6,4
4,6

5,3

4,4

5,3

5,4

tahun
15-59

14,2

12,3

16,4

14,3

14,8

14,9

13,7

14,0

tahun
>60

45,9

36,1

52,1

45,1

57,5

41,9

53,1

46,4

tahun
Perempuan
0-14
5,0

2,8

6,5

4,3

5,2

4,0

5,2

5,2

tahun
15-59

12,6

21,6

14,9

18,0

13,7

17,3

13,3

15,7

Timur

tahun
>60

46,3

37,4

54,3

43,6

60,1

41,1

54,4

47,0

tahun
Laki-laki dan Perempuan
0-14
5,1
2,8

6,4

4,5

5,2

4,2

5,2

5,3

tahun
15-59

14,9

12,4

19,1

14,6

16,3

14,3

15,5

13,7

tahun
>60

46,1

36,8

53,3

44,3

58,8

41,4

53,7

46,7

tahun
>15

19,4

18,3

22,0

18,3

21,1

19,5

19,1

18,1

tahun
Semua

15,3

15,4

15,3

14,1

16,0

16,4

14,0

15,0

Umur

Tabel

3. Kondisi

(Lanjutan) No

Kesehatan (b,c)

Negara

Negara

Dunia (populasi

Berpendapatan

Berpendapatan

6,437 juta)

Tinggia)

(total Rendah

dan

populasi

977 Sedang

(total

juta)
0-59 tahun
8

>60 tahun
Infertilitas 0,8

0-59 tahun
0,0

populasi 5,460
juta)
>60 tahun
32,5
0,0

Semua umur
33,4

akibat
aborsi
tidak aman
dan sepsis
9

maternal
Degeneras
i

10

1,8

6,0

9,0

15,1

31,9

3,2

4,5

10,9

8,0

26,6

makula

(f)
Penyakit
paru
obstruktif
Menahun

11

Penyakit

1,0

2,2

8,1

11,9

23,2

12

iskemik
Gangguan

3,3

0,4

17,6

0,8

22,2

13
14

bipolar
Asma
Schizophr

2,9
2,2

0,5
0,4

15,1
13,1

0,9
1,0

19,4
16,7

15
16

enia
Glaukoma
Alzheimer

0,4
0,4

1,5
6,2

5,7
1,3

7,9
7,0

15,5
14,9

jantung

dan
demensia
17

lainnya
Panic

1,9

0,1

11,4

0,3

13,8

18

disorder
Penyakit

1,4

2,2

4,0

4,9

12,6

19

ular
Artritis

1,3

1,7

5,9

3,0

11,9

20

reumatoid
Ketergant

3,7

0,1

8,0

0,1

11,8

kardiovask

ungan dan
penyalahg
unaan obat
Catatan:
o Negara berpenghasilan tinggi adalah negara dengan GNI perkapita USD
10.066 atau lebih pada tahun 2004, estimasi Bank Dunia.
o Kelas disabilitas Global Burden of Disease (GBD) III dan di atasnya.
Kelas disabilitas GBD terdiri dari 7 kelas, semakin tinggi kelasnya
semakin parah disabilitasnya.
o Penyakit dan cedera yang berhubungan dengan disabilitas. Urutan
berdasarkan prevalensi global pada semua umur.

o Termasuk kehilangan pendengaran yang dimulai pada usia dewasa, tidak
termasuk yang disebabkan infeksi, dikontrol dengan ketersediaan alat
bantu pendengaran.
o Termasuk gangguan refraksi, dikontrol dengan ketersediaan kacamata dan
alat koreksi penglihatan lain.
o Termasuk kehilangan penglihatan terkait umur selain glaukoma, katarak
dan gangguan refraksi.
Sumber: World Report on Disability, WHO 2011

A

SITUASI PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA
Data penyandang disabilitas di Indonesia dikumpulkan oleh Badan Pusat

Statistik (BPS) dan kementerian/lembaga lain yang berkepentingan, antara
lain Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kementerian
Kesehatan. Data yang dihasilkan dapat berbeda karena konsep dan definisi
yang berbeda tergantung tujuan dan kebutuhan masing-masing.BPS
mengumpulkan data penyandang disabilitas sejak tahun 1980 melalui kegiatan
sensus dan survei berikut:
o Sensus Penduduk tahun 1980 dan 2010
o Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1998, 2000, 2002, 2003,
2006, 2009 dan 2012
o Survei Potensi Desa tahun 2002 (penyandang disabilitas di panti dan di
rumah tangga)
o Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008 dan 2011
Dalam Susenas tahun 1998, 2000, 2003 dan 2009 digunakan istilah
kecacatan dengan definisi kecacatan adalah hilangnya atau abnormalitas dari
fungsi atau struktur anatomi, psikologi maupun fisiologi. Susenas 2006
menggunakan istilah disabilitas dan cacat.Disabilitas didefinisikan sebagai
ketidakmampuan melaksanakan sesuatu aktivitas atau kegiatan tertentu
sebagaimanalayaknya orang normal.Sedangkan cacat adalah kelainan atau
kerusakan anggota tubuh dan sebagainya yang menyebabkan keadaannya

menjadi kurang sempurna atau abnormal. Susenas 2012 menggunakan istilah
disabilitas dengan definisi ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas atau
kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan
kondisi impairment (kehilangan/ketidakmampuan) yang berhubungan dengan
usia dan masyarakat.
Pada bulan Mei 2014, BPS telah meluncurkan instrumen survei dan buku
pedoman penyelenggaraan survei disabilitas.Kuesioner disusun mengadopsi
pertanyaan yang direkomendasikan oleh Washington Group on Disabilities
yang

hasilnya

dapat

dibandingkan

antar

wilayah

maupun

antar

negara.Pelaksanaan survei direncanakan mulai dilaksanakan pada tahun 2015.
Dengan demikian diharapkan akan tersedia data penyandang disabilitas yang
dapat digunakan untuk semua kementerian/lembaga.
Sejak tahun 2007 data penyandang disabilitas dikumpulkan melalui Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan oleh Kementerian
Kesehatan dan telah dilaksanakan pada tahun 2007, 2010, dan 2013.Data
disabilitas yang dikumpulkan dalam Riskesdas adalah data untuk kelompok
umur 15 tahun ke atas dan merupakan kondisi disabilitas dalam kurun waktu
sebulan sebelum survei.Kondisi disabilitas diukur menurut penilaian
responden mengenai tingkat kesulitan dirinya dalam melaksanakan fungsi
tubuh, individu dan sosial.
Instrumen untuk data disabilitas pada Riskesdas 2007 dan 2013 tidak
persis

sama.

Pada

Riskesdas

2007

menggunakan

pertanyaan

yang

dikembangkan oleh WHO dalam International Classification of Functioning,
Disability and Health (ICF) yang terdiri dari sebelas pertanyaan terkait
dengan gangguan fungsi tubuh, sembilan pertanyaan terkait dengan fungsi
individu dan sosial, dan tiga pertanyaan tambahan terkait dengan kemampuan
merawat diri, melakukan aktivitas/gerak atau berkomunikasi. Riskesdas 2013
diadaptasi dari WHODAS (WHO Disability Assessment Schedule) 2 sebagai
operasionalisasi dari konsep International Classification of Functioning (ICF),
terdiri dari 12 pernyataan/komponen tentang status disabilitas seseorang.
B

Prevalensi Disabilitas

Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang
disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang
disabilitas yang terlihat pada gambar di bawah ini, dipengaruhi adanya
perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009 yang masih
menggunakan konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah
memasukkan konsep disabilitas. Walaupun demikian, jika kita bandingkan
antara Susenas 2003 dengan 2009 dan Susenas 2006 dengan 2012 terjadi
peningkatan prevalensi.
Gambar 1. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Data Susenas 2003, 2006, 2009, dan 2012
Sumber: BPS

Berdasarkan data Susenas tahun 2012 penyandang disabilitas terbanyak adalah
penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar
39,97%, diikuti keterbatasan melihat, dan berjalan atau naik tangga seperti pada
gambar di bawah ini.

Gambar 6. Prevalensi Disabilitas Penduduk Indonesia Usia>15 Tahun Menurut
Tipe Daerah
Berdasarkan Data Riskesdas Tahun 2007 dan 2013

Gambar 7. Persentase Penyandang Disabilitas Menurut Provinsi
Berdasarkan Data Susenas Tahun 2012

1

Estimasi prevalensi penyandang disabilitas global:
a. World Health Survey 2002-2004: pada populasi usia ≥18 tahun
o Mengalami kesulitan signifikan dalam keseharian sebesar 15,6%
(sekitar 650 juta dari 4,2 milyar orang).
o Mengalami kesulitan sangat signifikan sebesar 2,2% (sekitar 92 juta
orang).
b. Global Burden of Disease tahun 2004:
o Disabilitas sedang atau parah sebesar 15,3% (sekitar 978 juta orang
dari 6,4 milyar estimasi jumlah penduduk tahun 2004).
o Disabilitas parah sebesar 2,9% (sekitar 185 juta orang).
o Penyebab disabilitas terbanyak adalah kehilangan pendengaran dan
gangguan refraksi. Gangguan mental seperti depresi, penyalahgunaan
alkohol dan psikosis seperti gangguan
o bipolardan schizophrenia juga merupakan 20 penyebab terbanyak. Di
semua negara, prevalensi disabilitas pada kelompok berisiko tinggi
seperti perempuan, orang miskin dan lanjut usia lebih tinggi, dan
prevalensi lebih tinggi pada negara berkembang.

2

Prevalensi penyandang disabilitas di Indonesia:
a. Susenas tahun 2012:
o Penyandang disabilitas sebesar 2,45%.
o Sebesar 39,97% penyandang disabilitas mengalami lebih dari satu
jenis keterbatasan, diikuti keterbatasan melihat, dan berjalan/naik
tangga.
b. Sensus Penduduk tahun 2010: pada penduduk usia >10 tahun
o Mengalami kesulitan sebesar 4,74%.
o Jenis kesulitan tertinggi adalah kesulitan melihat, yaitu 3,05%
sedangkan yang lain di kisaran 1-2%.
o Kesulitan yang parah banyak terjadi pada kemampuan berjalan atau
naik tangga dan diikuti mengingat atau konsentrasi.

c. Riskesdas: pada penduduk usia ≥15 tahun, dalam kondisi 1 bulan terakhir.
Riskesdas tahun 2007:
o Disabilitas dengan kriteria “sangat bermasalah” sebesar 1,8%.
o Disabilitas dengan kriteria “bermasalah” sebesar 19,5%.
o Persentase tertinggi adalah bermasalah dalam melihat jarak jauh,
kesulitan berjalan jauh dan melihat jarak dekat.
Riskesdas tahun 2013:
o Disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 11%.
o Persentase tertinggi adalah bermasalah dalam berjalan jauh dan berdiri
lama. Kemampuan melihat yang merupakan masalah yang tertinggi
dalam Riskesdas tahun 2007 tidak dinilai khusus sehingga tidak bisa
dibandingkan.
3

Provinsi dengan persentase penyandang disabilitas tertinggi dan terendah:
a. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2012 tertinggi adalah Bengkulu sebesar
3,96% dan terendah Papua sebesar 1,05%.
b. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 tertinggi adalah di Sulawesi
Tengah sebesar 23,8% dan terendah Papua Barat sebesar 4,6%.

4

Rerata skor disabilitas (mencerminkan derajat disabilitas) tertinggi di Provinsi
Gorontalo dan tertinggi di DI Yogyakarta.

5

Prevalensi dan rerata skor disabilitas cenderung lebih tinggi pada penduduk
yang bertempat tinggal di perdesaan, pada kelompok usia yang lebih tinggi,
perempuan, tingkat pendidikan rendah, tidak bekerja, atau bekerja sebagai
petani/buruh nelayan, dan indeks kepemilikan terbawah. Hanya 37,85%
penyandang disabilitas yang bekerja, dan di antara penyandang disabilitas
yang bekerja tersebut, sebesar 51% bekerja di bidang pertanian.

IV

PENUTUP

4.1

Simpulan

Hasil analisis dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Disabilitas psikososial lebih banyak terjadi di perdesaan dari pada perkotaan, lebih
banyak pada wanita dibanding laki-laki, lebih banyak terjadi pada responden yang
tidak bekerja, ada kecenderungan meningkatnya kejadian disabilitas psikososial
seiring dengan meningkatnya umur, ada kecenderungan menurun kejadiannya
seiring dengan meningkatnya kuintil tingkat pengeluaran per kapita per bulan dan
pendidikan.
Proporsi kejadian disabilitas psikososial karena gangguan kesehatan jantung,
mental emosional, hipertensi, persendian, diabetes melitus, asma, tumor dan
stroke di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.Gangguan mental
emosional mempunyai risiko lebih besar terjadi disabilitas psikologis dan sosial
dibanding gangguan kesehatan lainnya. Risiko terjadinya disabilitas psikologis
pada penderita gangguan mental emosional di perkotaan 4,9 kali lebih besar
dibanding yang tidak menderita gangguan mental emosional, sedangkan di
perdesaan 3,6 kali. Risiko terjadinya disabilitas sosial pada penderita gangguan
mental emosional di perkotaan 3,0 kali lebih besar dibanding yang tidak
menderita, sedangkan di perdesaan 2,4 kali. Peran pemerintah dan masyarakat
sekitar

sangat

penting

untuk

pembangunan

dan

kesejahteraan

untuk

menghapuskan diskriminasi dan stigma untuk para penyandang disabilitas.

4.2

Saran

Dari hasil analisis di atas, maka ada beberapa saran yang yang perlu
diperhatikan dan ditindaklanjuti, antara lain adalah:
1. Tingginya disabilitas psikologis maupun sosial di perdesaan, maka
pelayanan kesehatan perlu memikirkan cara untuk memberikan edukasi
dan mensosialisasikan pada masyarakat perdesaan dalam meminimalkan
disabilitas yang terjadi.

2. Dikembangkan be