NEGARA DAN KONSTITUSI negara-negara budaya negara-negara budaya negara-negara budaya
NEGARA DAN KONSTITUSI
BERNADETTA DIANA ARIPUTRA
1402105063
Fakultas Kedokteran
Program Studi Ilmu Keperawatan
Denpasar
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Secara umum Negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya karena konstitusi merupakan hukum dasar
sebuah Negara. Dalam pembukaan UUD 1945 ditulis secara jelas bahwa konstitusi
merupakan dasar dari penyelenggaraan bernegara di Indonesia. Hal ini dapat
dicermati pada alinea keempat.
Oleh karena itu, pada paper ini akan menjelaskan tentang Negara dan Konstitusi
serta permasalahan dan penyimpangan yang timbul dari praktik pelenggaraan konstusi
dalam bernegara.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.
5.
Apa pengertian negara?
Apa tujuan negara?
Apa pengertian konstitusi?
Apa isi, tujuan, dan fungsi konstitusi?
Apa saja problematika dalam menjalankan konstitusi bernegara di Indonesia?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan diatas, maka didapatkan beberapa
tujuan sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Untuk mengetahui pengertian Negara.
Untuk mengetahui tujuan Negara.
Untuk mengetahui pengertian konstitusi.
Untuk mengetahui isi, tujuan, dan fungsi konstitusi.
Untuk mengetahui apa saja problematika dalam menjalankan kontitusi di
Indonesia.
1.4 BATASAN PERMASALAHAN
Batasan masalah ini agar tidak menyimpang dari materi Negara dan Konstitusi.
1.5 METODE PENULISAN
Metode penulisan menggunakan pengumpulan dta dan analisis data.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN NEGARA
Negara berasal dari kata state (Inggris), staat (Belanda), etat (Prancis). Kata kata
tersebut berasal dari bahasa latin yaitu status atau statum yang berarti keadaan yang
tegak dan tetap1. Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi dalam suatu wilayah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyat serta kelompok sosial
yang berada di daerah tertentu yang diorganisir dibawah lembaga politik. Memiliki
kesatatuan politik yang berdaulat, sehingga mempunyai hak untuk menentukan tujuan
nasionalnya2.
2.2 TUJUAN NEGARA
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang orang yang
mendiaminya, Negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Tujuan Negara
dapat bermacam-macam, yaitu3:
1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.
2. Bertujuan untuk menyelenggarakan keteriban hukum.
3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
2.3 PENGERTIAN KONSTITUSI
Secara bahasa, konstitusi berasal dari kata constiture (Prancis), Constitution
(Inggris), constitutie (Belanda) yang artinya membentuk, menyusun, dan menyatakan.
Pemakaian istilah kosntitusi yang dimaksud adalah pembentukan suatu Negara atau
menyusun dan menyatakan aturan suatu Negara. 4Dalam ilmu poltik, kosntitusi
merupakan sesuatu yang bersifat luas yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit, konstitusi
adalah hukum dasar tertulis (UUD).
_____________________________________________________________________
1. Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009, cet. Ke-1, h. 4
2. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, h.77
3. Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM,
Masyarakat Madani, Jakarta: TIM ICCE-UIN Jakarta, 2007, h. 25.
4. Sri Janti dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu,
h.8
2.4
ISI, TUJUAN, DAN FUNGSI KONSTITUSI
Isi Konstitusi:
Hakekat (esensi—inti) sebuah konstitusi (tertulis) sangatlah penting karena
UUD sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi:
a.
Hasil perjuangan bangsa di waktu lampau.
b.
Merupakan tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan
sebuah bangsa.
c.
Pandangan-pandangan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan bangsa.
d.
Suatu cita hukum (rechtsidde) yang menjadi panutan/panduan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tujuan Konstitusi:
Konstitusi adalah hukum yang paling tinggi tingkatannya, maka tujuan
konstitusi juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi, yaitu keadilan,
ketertiban dan perwujudan nilai-nilai ideal. Seperti, kemerdekaan atau kebebasan dan
kesejahteraan atau kemakmuran bersama.
Mourice Hourion berpendapat tujuan konstitusi adalah untuk menjaga
keseimbangan antara ketertiban, kekuasaan, dan kebebasan. Sementara itu, G.S.
Diponolo merumuskan tujuan konstitusi adalah kekuasaan, perdamaian, keamanan,
ketertiban, kemerdekaan, keadilan, serta kesejahteraan.5
Fungsi Konstitusi:
Menurut Jimly Asshiddiqie, konstitusi Negara memiliki fungsi-fungsi
sebagai berikut:
a. Fungsi penentu atau pembatas kekuasaan Negara.
b. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan Negara.
c. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antara organ Negara dengan warga
Negara.
d. Sumber pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara
ataupun kegiatan penyelenggara kekuasaan Negara.
e. Fungsi penyalur atau pengalih kekuasaan dari sumber kekuasaan yang asli
(dalam demokrasi adalah rakyat) kepada organ Negara.
f. Fungsi simbolik yaitu sebagai sarana pemersatu, sebagai rujukan identitas
dan keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony.
g. Fungsi pengendali sebagai sarana pengendalian masyarakat (social
control).
h. Fungsi perekayasa dan sarana pembaruan masyarakat.
5. Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h..34-37.
2.5 Analisis Artikel
Artikel 1:
“Masalah Konstitusi Tak Pernah Berakhir”
Reporter: Muhammad Nurdin
Aula Madya, BERITA UIN Online - Proses desakralisasi konstitusi sejak
reformasi sampai saat ini belum berjalan. Selain itu, ideologi di Indonesia belum
berjalan sebagai mana yang diharapkan, hal ini dapat dilihat masih banyak aksi tarikmenarik kepentingan di kalangan elit politik, baik di pusat maupun di daerah.
“Konstitusi tidak harus lengkap akan tetapi harus menyangkut filosofi dan
kepentingan orang banyak,“ kata dosen Ilmu Politik sekaligus pengamat politik UIN
Jakarta Andi Safrani SH MCCL pada seminar bertema “Penegakan Konstitusi:
Menuju Negara yang Kokoh dan Berkemajuan” yang diselenggarakan Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP di Aula Madya, Kamis (20/10).
Turut hadir para narasumber Anggota DPR-RI Fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN) Yahdil Abdi Harahap SH MH, Direktur Blezs Institute Jen Zuldi SH, dan
Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB-PII) Muhammad Ridha.
Sebagai pengamat politik, Andi mengungkapkan, bahwa ideologi di Indonesia
mengalami stagnanisasi yang cukup panjang. Sejak pasca-reformasi sampai saat ini
banyak kebijakan yang belum terealisasikan bahkan yang ada hanyalah kompromi
politik.
Lebih lanjut, Ia menegaskan, penerapan hukum belum berjalan, penerapan
tersebut hanya simbol belaka. Idealnya, penerapan konstitusi tidak boleh bertentangan
dengan yang undang-undang yang sudah ada, dan harus sejalan dengan kondisi
lingkungan dan kemaslahatan masyarakat.
“Kita harus mengakui, konstitusi kita masih sangat ringkas, artinya masih
banyak konstitusi negara yang fundamental yang masih sangat jauh atau belum
sempurna. Misalnya adanya resuffle sejumlah menteri yang masih menganut paham
parlementer,“ katanya.
Anggota DPR-RI Abdi pun ikut berbicara, menurutnya, masalah hukum
merupakan masalah yang sangat sensitif sekali. Masalah ini menyangkut kepentingan
para elit politik dan masih banyaknya multitafsir tentang amandemen tersebut.
Ia melanjutkan, proses pembuatan undang-undang di Indonesia itu ada dua
macam antara lain, atas inisiatif pemerintah dan DPR. Akan tetapi pembuatan
undang-undang lebih didominasi atas inisitif pemerintah.
“Ya, sebut saja, masalah peraturan perdagangan konstitusial otonomi daerah
Aceh yang sampai saat ini belum terleasisakan. Dan belum lagi kebijkan-kebijakan
lain yang masih terambang-ambang,“ ungkapnya.
Ia pun menjelaskan, tentang proses pembuatan undang-undang di Indonesia.
Menurutnya, sebelum undang-undang di sahkan, undang-undang di analisis terlebih
dahulu oleh staf ahli agar tidak bertentang dengan undang-undang yang lain, dan
menyangkut kemaslahatan masyarakat, serta jangan sampai ada multitafsir peraturan.
Artikel 2:
“Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia”
Oleh: Syafri Hariansah
(Akademisi, Alumni Postgraduated program faculty of law –
Constitutional and Comparative of law Universtiy of Indonesia)
Kurang lebih skitar 5 bulan yang lalu ketika saya masih studi di program pasca
sarjana, judul yang hendak saya pilih dalam rencana tesis saya adalah potensi krisis
konstitusi. Ide ini muncul setelah saya membaca tulisan dari Prof. Yusril Ihza
Mahendra yang mengatakan bahwa konstitusi kita saat ini sangat rentan dan
memungkinkan
terjadinya
krisis
konstitusi.
Dalam pemahaman negara-negara eropa, krisis konstitusi (constitutional crisis)
didefinisikan sebagai “a situation that the legal system’s constitution or other basic
principles of operation appear unable to resolve; it often results in a breakdown in the
orderly operation ofgovernment. Often, generally speaking, a constitutional crisis is a
situation in which separate factions within a government disagree about the extent to
which each of these factions holdsovereignty. Most commonly, constitutional crises
involve some degree of conflict between different branches of government.”
Krisis konstitusi dapat terjadi pada hampir seluruh negara di dunia ini. Faktanya
negara besar seperti Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 pernah
mengalami krisis konstitusi ini. Krisis politik di Australia berimbas pada kestabilan
konstitusinya, atau kasus terbaru yang dialami oleh negara Russia pada tahun 1993
antara Presiden dan Perdana Menteri yang tidak harmonis berakibat pada chaosnya
pemerintahan.
Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma atau aturan
yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu permasalahan konstitusi.
Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam karyanya moderen constitution
mengatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan peraturan yang mengatur
pemerintahan negara. Lebih luas lagi Van Apeldorn mengatakan bahwa konstitusi
memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara
sederhana konstitusi dapat dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak)
dengan tujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki
kedudukan hirarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari
teori ini, maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga
meminimalisir
potensi
terjadinya
krisis
konstitusi.
Dalam tulisannya, Prof Yusril mendeskripsikan suatu kasus yang bisa saja
menimbulkan krisis konstitusi seperti dalam kasus impeachment (pemakzulan). Di
dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan
bahwa “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis
masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap secara bersamaan maka jalannya
pemerintahn akan dilaksanakan secara bersama oleh triumvirat (Menteri dalam
Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3) Undang-Undang
Dasar
Republik
Indonesia
tahun
1945.
Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara
bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (termasuk triumvirat) mengingat
presiden mempunyai hak prerogratif, maka dapat dipastikan tidak ada yang
menjalankan pemerintahan (vacum of power). Kasus yang seperti ini kemudian
dipandang oleh Prof. Yusril sebagai pintu awal terjadinya krisis konstitusi karena
memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian mengatur permasalahan ini.
Secara yuridis normatif, harus diakui bahwa konstitusi Indonesia tidak mengatur
permasalahan ini. Tetapi di satu sisi, jika kasus ini ditelaah dengan teliti maka
permasalahan ini bisa dipecahkan melalui Mahkamah Konstitusi, mengingat salah
satu tugas MK adalah memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil
presiden telah melakukan pelanggaran hukum (Pasal 10 (2) UU MK NO 24 Tahun
2003). Jika kasus ini terjadi maka MK melalui putusannya (amar putusan) dapat saja
membuat putusan bahwa presiden tidak dapat mendemisionerkan kabinet. Secara de
jure, otomatis jika ketentuan ini dilaksanakan maka krisis konstitusi tidak akan terjadi
sebab hak prerogratif presiden pasca dinyatakan bersalah telah dicabut.
Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui pula bahwa tugas Mahkamah
Konstitusi hanya menyatakan Presiden bersalah dan selanjutnya mekanisme
pemberhentian diserahkan ke MPR. Tetapi, dalam kasus seperti ini MK dapat saja
melakukan trobosan hukum dengan menambahkan putusannya untuk mengugurkan
hak prerogratif presiden. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim MK ini
kemudian dapat dipahami sebagai rechtsvinding, mengingat proses penemuan hukum
merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Artinya di satu sisi rechtsvindingini
dipandang perlu dilakukan mengingat potensi krisis konstitusi yang dapat saja terjadi
pasca diberhentikannya presiden dan wakil presiden secara bersamaan.
Pemilu dan Potensi Krisis
Lalu bagaimana dengan potensi potensi krisis konstitusi lainnya yang bisa saja
muncul. Jika konstitusi hasil perubahan kita saat ini dianalisis lebih lanjut, maka
banyak sekali ditemukan titik krisis lainnya. Misalnya pada pengaturan tentang
pemilu. Baik konstitusi maupun undang-undang kepemiluan, baik presiden maupun
pemilu legislatif tidak mengatur apabila ternyata penyelenggaran pemilu gagal dan
tidak menghasilkan perwakilan di parlemen atau bahkan tidak menghasilkan presiden.
Jika mengacu pada aturan konstitusi saat ini, maka dalam Pasal 6A (3) UndangUndang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa
presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih, apabila memperoleh lebih dari lima
puluh persen suara nasional (suara mayoritas mutlak) dan 20 persen disetiap wilayah
provinsi. Jika dianalisis konstruksi pasal ini maka dapat dipahami bahwa pertama,
presiden terpilih apabila berhasil memperoleh suara mayoritas mutlak dari total suara
yang masuk. Kedua, angka atau persentase suara ini merupakan ketentuan yang
mutlak dan rigid. Artinya, presentasi angka ini tidak dapat diubah apabila tidak ada
satupun pasangan calon yang memperoleh suara mutlak mayoritas. Walaupun pada
ketentuan pasal lainnya dalam konstitusi khususnya dalam Pasal 6A (4) yang
mengidentifikasikan bahwa pemilu presiden di Indonesia dengan prinsip two round
system memungkinkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih kembali
pada putaran selanjutnya, Tetapi permasalahannya angka presentasi yang
diamanahkan dalam konstitusi merupakan ketentuan yang bersifat mutlak dan berlaku
sama pada ketentual pasal sebelumnya. Jika kasus seperti ini timbul maka dapat
dipastikan
pemilu
dalam
keadaan
deadlock.
Kondisi seperti ini bisa saja muncul mengingat Pemilu 2014, konstituen terbesarnya
diisi oleh segmentasi pemilu pemula. Disamping itu meningkatnnya angka golput
(berkaca pada pemilu kada) di hampir seluruh wilayah Indonesia menambah beban
berat
suksesi
penyelenggaran
Pemilu
2014.
Bertitik tolak dari hasil analisis ini, maka timbul pertanyaan apabila tidak ada satu
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhasil memperoleh suara seperti
yang telah diamanatkan dalam konstitusi, maka pemilu dapat dipastikan gagal karena
tidak dapat menghasilkan presiden dan wakil presiden. Pertanyaannya adalah, siapa
atau lembaga mana yang kemudian dapat menjalankan pemerintahan mengingat di
dalam negara tidak dibenarkan terjadinya kekosongan jabatan (vacum of power),
apalagi tidak ada presiden dan wakil presiden. Secara teori dalam negara dengan
sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki peranan yang sangat penting
untuk
menentukan
jalannya
pemerintahan.
Secara yuridis normatif jika mengacu pada ketentuan konstitusi dan undang-undang,
maka dapat dipastikan tidak ada lembaga yang berwenang menjalankan pemerintahan
sebab pemilu tidak menghasilkan apapun. Apakah kemudian benar pendapat Prof.
Yusril dengan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi
solusi untuk mengatasi kegagalan Pemilu 2014 ini? Apakah mungkin dalam waktu
yang relatif singkat MPR melakukan perubahan terhadap konstitusi untuk kemudian
mengembalikan
fungsi
MPR
sebagai
lembaga
tertinggi
negara?
Permasalahan-permasalahan ini seyogyanya tidak dipandang sederhana, mengingat
dampak yang akan timbul sangatlah kompleks. Apa yang terjadi pada Australia pada
tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 yang mengakibatkan negara besar ini chaos,
setidaknya dapat dijadikan pembelajaran bahwa krisis konstitusi merupakan
permasalahan yang serius dan harus segera diantisipasi segala kemungkinan yang
akan muncul.
Dalam hemat penulis, permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui perubahan
konstitusi yang kemudian mengatur secara detail permasalahan-permasalahan
konstitusi ini. Sebab perubahan konstitusi merupakan hal yang wajar dan lumrah
dilakukan dalam sebuah negara. Apapun hasil Pemilu 2014 nanti dan berbagai
permasalahan yang muncul di dalamnya, dapat dipastikan negara ini harus berjalan
sebagaimana mestinya. (***)
Artikel 3:
Mahkamah Konstitusi dan Keadaan Darurat Korupsi di Indonesia
Taruna Ikrar - detikNews
Jakarta - Sudah berbulan-bulan, media massa memberitakan tentang kasus korupsi.
Dari pemberitaan itu, terlihat jelas sangat banyak elit dan pemimpin kita yang terlibat
korupsi. Mulai elit di pusat pemerintahan nasional hingga daerah. Demikian pula
melibatkan elit politik DPR RI, birokrat, dan pengusaha.
Berita yang sangat mengejutkan, bahkan Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi)
tertangkap tangan melakukan korupsi. Suatu lembaga yang sangat terhormat dengan
kekuasaan yang sangat besar, justru terbukti melakukan tindakan korupsi.
Sebagaimana diketahui, fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah:
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945), memutus sengketa kewewenangan lembaga negara yang kewewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Berkewajiban memberi keputusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau
Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam: menguji undang-undang terhadap UUD
1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, berkewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan
tentang hasil pemilu, dan berbagai kekuasaan yang sangat urgen bagi kepentingan
Nasional.
Dengan wewenangnya yang luar biasa, sudah seharusnya, Mahkamah Konstitusi bisa
menjaga diri dari berbabagai kelemahan, terlebih lagi terhadap korupsi. Tetapi
kenyataannya, Mahkamah Konstitusi terlarut kedalam pusaran masalah korupsi.
Sehingga korupsi telah merajalela di semua sektor kehidupan, baik di yudikatif,
eksekutif, dan legislatif. Sehingga tidak salah kalau dikatakan, bahwa Indonesia
berada dalam kondisi, “Darurat Korupsi”.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir semua lini kehidupan di Indonesia
dewasa ini, harus diselesaikan dengan 'sogokan dan berbagai uang pelicin' lainnya.
Mulai dari mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Kelurahan, mengurus SIM
(Surat Izin Mengemudi), KK (Kartu Keluarga), masuk sekolah, sampai urusan yang
besar, seperti memenangkan tender suatu proyek, ataupun untuk promosi dan lain
sebagainya. Semuanya membutuhkan sogokan dan uang pelicin.
Sehingga tidak salah kalau para investor yang mau menanamkan modalnya di Tanah
Air harus melalui semua proses tadi. Akibatnya biaya investasi yang tertulis tidak
sebanding dengan real cost (biaya nyata) yang harus dibayar, karena panjangnnya
birokrasi dan semua tahap harus mengeluarkan uang. Akhirnya, membuat malas para
investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Air, dan berpindah ke negara
tetangga seperti Malaysia misalnya kasus pendirian RIM, pabrik BlackBerry.
Untuk membasmi korupsi dan pungutan liar tersebut, sangat tidak mudah bahkan
mustahil, karena kondisi ini telah berurat, berakar dan telah menjadi budaya. Padahal
untuk kemajuan suatu bangsa di zaman modern, budaya korupsi dan pungutan liar
menjadi penghabat yang sangat besar untuk kemajuan. Hampir semua negara maju di
dunia dewasa ini, sangat rendah tingkat korupsi dan pungutan liarnya. Hal ini
disebabkan oleh dua faktor utama yaitu: 1) Sistem yang transparan, 2) Pemimpin yang
kuat dan disiplin serta antikorupsi.
Sebetulnya Indonesia, mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi bangsa
yang maju, sejahtera, aman, dan sentosa. Olehnya bangsa ini membutuhkan pemimpin
yang kuat dan anti korupsi, artinya: pemimpin yang benar-benar berjuang untuk
kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Yang bertekad membumihanguskan
korupsi dan pungli (pungutan liar) dengan cara memperbaiki sistem pemerintahan
menjadi transparan, dan terkontrol, sehingga orang akan sulit melakukan korupsi
karena dengan sistem yang transparan dan terkontrol maka orang yang korupsi akan
langsung ketahuan.
Transparansi sistem keuangan negara, bisa dilihat pada negara maju, seperti
contohnya Amerika Serikat, pengelolaan keungan dan sistem perpajakan, sangat
transparan. Sehingga dalam mengawasi bukan saja tugas pemerintah, tetapi
masyarakat secara keseluruhan. Semua pejabat publik, mulai tingkat terendah hingga
presiden diawasi secara langsung oleh masyakat.
Hal ini karena sistem transparansi keuangan dan perpajakan begitu modern. Semua
transaksi keuangan, pembayaran pajak, sampai pemenangan tender serta distribusi
pembangunan dan penggajian dilakukan secara online dan transparan. Sehingga
terjadi kebocoran sekecil apapun, cepat terdeteksi, sehingga bisa dilakukan
pencegahan.
Demikian pula hukum ditegakkan secara maksimal tanpa pandang bulu dan strata
sosial. Dengan kondisi tersebut, keungan Negara bisa diberdayakan sebesar-besarkan
untuk kepentingan pembangunan nasional, sehingga Amerika Serikat, menjadi negara
maju dan superpower seperti sekarang ini.
Belajar dari kondisi tersebut, sudah saatnya Indonesia menerapkan system keuangan
yang transparan. Untuk mencegah terjadinya kebocoran keuangan negara akibat
korupsi.
Efek dari tidak adanya korupsi, akan menyebabkan keseimbangan dan pemerataan
pembangunan. Sehingga akan terbuka lapangan pekerjaan yang mencukupi, sehingga
setiap orang di Tanah Air akan mempunyai pekerjaan, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteran seluruh masyarakat Indonesia.
*) Dr Taruna Ikrar PhD, staf akademik University of California, Amerika Serikat
dan Wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Internasional.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Konstitusi merupakan hukum dasar yang menjadi hukum terutama di Indonesia.
Yang mengatur secara mengikat pemerintahan yang diselenggarakan dalam
Indonesia. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan konstitusi dalam
bernegara di Indonesia belum berjalan dengan sempurna. Banyak cacat di berbagai
sisi. Tetapi kita harus berbangga hati bahwa dewasa ini pemerintahan di Indonesia
sudah di pertegas dengan adanya berbagai macam komisi yang tidak dengan
ketidaksengajaan dibuat untuk mengadili dan mengaji berjalan nya konstitusi di
Indonesia.
3.2
Saran
Tentunya kita sebagai warga Indonesia harus berfikiran positif bahwa
kedepannya Indonesia akan lebih baik lagi dalam menjalankan keberlangsungan
konstitusi bernegara. Dan kita semua juga berharap bahwa pemerintahan dalam
menjalankan konstitusinya akan lebih transparan dan fleksibel kepada seluruh warga
negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009, cet. Ke-1, h. 4
2. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, h.77
3. Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,
HAM, Masyarakat Madani, Jakarta: TIM ICCE-UIN Jakarta, 2007, h. 25.
4. Srijanti dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha
Ilmu, h.83.
5. Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009,
h..34-37.
6. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/2085masalah- konstitusi-tak-pernah-berakhir.html
(Diakses pada 8 September 2014, pukul 19.25 WITA)
7. http://www.rakyatpos.com/pemilu-dan-potensi-krisis-konstitusi-di-indonesia.html
(Diakses pada 8 September 2014, pukul 19:40 WITA)
8. http://news.detik.com/read/2013/10/09/095050/2382062/103/2/mahkamahkonstitusi-dan-keadaan-darurat-korupsi-di-indonesia
(Diakses pada 8 September 2014, pukul 20:00 WITA)
BERNADETTA DIANA ARIPUTRA
1402105063
Fakultas Kedokteran
Program Studi Ilmu Keperawatan
Denpasar
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Secara umum Negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya karena konstitusi merupakan hukum dasar
sebuah Negara. Dalam pembukaan UUD 1945 ditulis secara jelas bahwa konstitusi
merupakan dasar dari penyelenggaraan bernegara di Indonesia. Hal ini dapat
dicermati pada alinea keempat.
Oleh karena itu, pada paper ini akan menjelaskan tentang Negara dan Konstitusi
serta permasalahan dan penyimpangan yang timbul dari praktik pelenggaraan konstusi
dalam bernegara.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.
5.
Apa pengertian negara?
Apa tujuan negara?
Apa pengertian konstitusi?
Apa isi, tujuan, dan fungsi konstitusi?
Apa saja problematika dalam menjalankan konstitusi bernegara di Indonesia?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan diatas, maka didapatkan beberapa
tujuan sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Untuk mengetahui pengertian Negara.
Untuk mengetahui tujuan Negara.
Untuk mengetahui pengertian konstitusi.
Untuk mengetahui isi, tujuan, dan fungsi konstitusi.
Untuk mengetahui apa saja problematika dalam menjalankan kontitusi di
Indonesia.
1.4 BATASAN PERMASALAHAN
Batasan masalah ini agar tidak menyimpang dari materi Negara dan Konstitusi.
1.5 METODE PENULISAN
Metode penulisan menggunakan pengumpulan dta dan analisis data.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN NEGARA
Negara berasal dari kata state (Inggris), staat (Belanda), etat (Prancis). Kata kata
tersebut berasal dari bahasa latin yaitu status atau statum yang berarti keadaan yang
tegak dan tetap1. Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi dalam suatu wilayah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyat serta kelompok sosial
yang berada di daerah tertentu yang diorganisir dibawah lembaga politik. Memiliki
kesatatuan politik yang berdaulat, sehingga mempunyai hak untuk menentukan tujuan
nasionalnya2.
2.2 TUJUAN NEGARA
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang orang yang
mendiaminya, Negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Tujuan Negara
dapat bermacam-macam, yaitu3:
1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.
2. Bertujuan untuk menyelenggarakan keteriban hukum.
3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
2.3 PENGERTIAN KONSTITUSI
Secara bahasa, konstitusi berasal dari kata constiture (Prancis), Constitution
(Inggris), constitutie (Belanda) yang artinya membentuk, menyusun, dan menyatakan.
Pemakaian istilah kosntitusi yang dimaksud adalah pembentukan suatu Negara atau
menyusun dan menyatakan aturan suatu Negara. 4Dalam ilmu poltik, kosntitusi
merupakan sesuatu yang bersifat luas yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit, konstitusi
adalah hukum dasar tertulis (UUD).
_____________________________________________________________________
1. Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009, cet. Ke-1, h. 4
2. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, h.77
3. Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM,
Masyarakat Madani, Jakarta: TIM ICCE-UIN Jakarta, 2007, h. 25.
4. Sri Janti dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu,
h.8
2.4
ISI, TUJUAN, DAN FUNGSI KONSTITUSI
Isi Konstitusi:
Hakekat (esensi—inti) sebuah konstitusi (tertulis) sangatlah penting karena
UUD sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi:
a.
Hasil perjuangan bangsa di waktu lampau.
b.
Merupakan tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan
sebuah bangsa.
c.
Pandangan-pandangan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan bangsa.
d.
Suatu cita hukum (rechtsidde) yang menjadi panutan/panduan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tujuan Konstitusi:
Konstitusi adalah hukum yang paling tinggi tingkatannya, maka tujuan
konstitusi juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi, yaitu keadilan,
ketertiban dan perwujudan nilai-nilai ideal. Seperti, kemerdekaan atau kebebasan dan
kesejahteraan atau kemakmuran bersama.
Mourice Hourion berpendapat tujuan konstitusi adalah untuk menjaga
keseimbangan antara ketertiban, kekuasaan, dan kebebasan. Sementara itu, G.S.
Diponolo merumuskan tujuan konstitusi adalah kekuasaan, perdamaian, keamanan,
ketertiban, kemerdekaan, keadilan, serta kesejahteraan.5
Fungsi Konstitusi:
Menurut Jimly Asshiddiqie, konstitusi Negara memiliki fungsi-fungsi
sebagai berikut:
a. Fungsi penentu atau pembatas kekuasaan Negara.
b. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan Negara.
c. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antara organ Negara dengan warga
Negara.
d. Sumber pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara
ataupun kegiatan penyelenggara kekuasaan Negara.
e. Fungsi penyalur atau pengalih kekuasaan dari sumber kekuasaan yang asli
(dalam demokrasi adalah rakyat) kepada organ Negara.
f. Fungsi simbolik yaitu sebagai sarana pemersatu, sebagai rujukan identitas
dan keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony.
g. Fungsi pengendali sebagai sarana pengendalian masyarakat (social
control).
h. Fungsi perekayasa dan sarana pembaruan masyarakat.
5. Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h..34-37.
2.5 Analisis Artikel
Artikel 1:
“Masalah Konstitusi Tak Pernah Berakhir”
Reporter: Muhammad Nurdin
Aula Madya, BERITA UIN Online - Proses desakralisasi konstitusi sejak
reformasi sampai saat ini belum berjalan. Selain itu, ideologi di Indonesia belum
berjalan sebagai mana yang diharapkan, hal ini dapat dilihat masih banyak aksi tarikmenarik kepentingan di kalangan elit politik, baik di pusat maupun di daerah.
“Konstitusi tidak harus lengkap akan tetapi harus menyangkut filosofi dan
kepentingan orang banyak,“ kata dosen Ilmu Politik sekaligus pengamat politik UIN
Jakarta Andi Safrani SH MCCL pada seminar bertema “Penegakan Konstitusi:
Menuju Negara yang Kokoh dan Berkemajuan” yang diselenggarakan Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP di Aula Madya, Kamis (20/10).
Turut hadir para narasumber Anggota DPR-RI Fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN) Yahdil Abdi Harahap SH MH, Direktur Blezs Institute Jen Zuldi SH, dan
Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB-PII) Muhammad Ridha.
Sebagai pengamat politik, Andi mengungkapkan, bahwa ideologi di Indonesia
mengalami stagnanisasi yang cukup panjang. Sejak pasca-reformasi sampai saat ini
banyak kebijakan yang belum terealisasikan bahkan yang ada hanyalah kompromi
politik.
Lebih lanjut, Ia menegaskan, penerapan hukum belum berjalan, penerapan
tersebut hanya simbol belaka. Idealnya, penerapan konstitusi tidak boleh bertentangan
dengan yang undang-undang yang sudah ada, dan harus sejalan dengan kondisi
lingkungan dan kemaslahatan masyarakat.
“Kita harus mengakui, konstitusi kita masih sangat ringkas, artinya masih
banyak konstitusi negara yang fundamental yang masih sangat jauh atau belum
sempurna. Misalnya adanya resuffle sejumlah menteri yang masih menganut paham
parlementer,“ katanya.
Anggota DPR-RI Abdi pun ikut berbicara, menurutnya, masalah hukum
merupakan masalah yang sangat sensitif sekali. Masalah ini menyangkut kepentingan
para elit politik dan masih banyaknya multitafsir tentang amandemen tersebut.
Ia melanjutkan, proses pembuatan undang-undang di Indonesia itu ada dua
macam antara lain, atas inisiatif pemerintah dan DPR. Akan tetapi pembuatan
undang-undang lebih didominasi atas inisitif pemerintah.
“Ya, sebut saja, masalah peraturan perdagangan konstitusial otonomi daerah
Aceh yang sampai saat ini belum terleasisakan. Dan belum lagi kebijkan-kebijakan
lain yang masih terambang-ambang,“ ungkapnya.
Ia pun menjelaskan, tentang proses pembuatan undang-undang di Indonesia.
Menurutnya, sebelum undang-undang di sahkan, undang-undang di analisis terlebih
dahulu oleh staf ahli agar tidak bertentang dengan undang-undang yang lain, dan
menyangkut kemaslahatan masyarakat, serta jangan sampai ada multitafsir peraturan.
Artikel 2:
“Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia”
Oleh: Syafri Hariansah
(Akademisi, Alumni Postgraduated program faculty of law –
Constitutional and Comparative of law Universtiy of Indonesia)
Kurang lebih skitar 5 bulan yang lalu ketika saya masih studi di program pasca
sarjana, judul yang hendak saya pilih dalam rencana tesis saya adalah potensi krisis
konstitusi. Ide ini muncul setelah saya membaca tulisan dari Prof. Yusril Ihza
Mahendra yang mengatakan bahwa konstitusi kita saat ini sangat rentan dan
memungkinkan
terjadinya
krisis
konstitusi.
Dalam pemahaman negara-negara eropa, krisis konstitusi (constitutional crisis)
didefinisikan sebagai “a situation that the legal system’s constitution or other basic
principles of operation appear unable to resolve; it often results in a breakdown in the
orderly operation ofgovernment. Often, generally speaking, a constitutional crisis is a
situation in which separate factions within a government disagree about the extent to
which each of these factions holdsovereignty. Most commonly, constitutional crises
involve some degree of conflict between different branches of government.”
Krisis konstitusi dapat terjadi pada hampir seluruh negara di dunia ini. Faktanya
negara besar seperti Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 pernah
mengalami krisis konstitusi ini. Krisis politik di Australia berimbas pada kestabilan
konstitusinya, atau kasus terbaru yang dialami oleh negara Russia pada tahun 1993
antara Presiden dan Perdana Menteri yang tidak harmonis berakibat pada chaosnya
pemerintahan.
Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma atau aturan
yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu permasalahan konstitusi.
Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam karyanya moderen constitution
mengatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan peraturan yang mengatur
pemerintahan negara. Lebih luas lagi Van Apeldorn mengatakan bahwa konstitusi
memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara
sederhana konstitusi dapat dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak)
dengan tujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki
kedudukan hirarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari
teori ini, maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga
meminimalisir
potensi
terjadinya
krisis
konstitusi.
Dalam tulisannya, Prof Yusril mendeskripsikan suatu kasus yang bisa saja
menimbulkan krisis konstitusi seperti dalam kasus impeachment (pemakzulan). Di
dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan
bahwa “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis
masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap secara bersamaan maka jalannya
pemerintahn akan dilaksanakan secara bersama oleh triumvirat (Menteri dalam
Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3) Undang-Undang
Dasar
Republik
Indonesia
tahun
1945.
Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara
bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (termasuk triumvirat) mengingat
presiden mempunyai hak prerogratif, maka dapat dipastikan tidak ada yang
menjalankan pemerintahan (vacum of power). Kasus yang seperti ini kemudian
dipandang oleh Prof. Yusril sebagai pintu awal terjadinya krisis konstitusi karena
memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian mengatur permasalahan ini.
Secara yuridis normatif, harus diakui bahwa konstitusi Indonesia tidak mengatur
permasalahan ini. Tetapi di satu sisi, jika kasus ini ditelaah dengan teliti maka
permasalahan ini bisa dipecahkan melalui Mahkamah Konstitusi, mengingat salah
satu tugas MK adalah memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil
presiden telah melakukan pelanggaran hukum (Pasal 10 (2) UU MK NO 24 Tahun
2003). Jika kasus ini terjadi maka MK melalui putusannya (amar putusan) dapat saja
membuat putusan bahwa presiden tidak dapat mendemisionerkan kabinet. Secara de
jure, otomatis jika ketentuan ini dilaksanakan maka krisis konstitusi tidak akan terjadi
sebab hak prerogratif presiden pasca dinyatakan bersalah telah dicabut.
Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui pula bahwa tugas Mahkamah
Konstitusi hanya menyatakan Presiden bersalah dan selanjutnya mekanisme
pemberhentian diserahkan ke MPR. Tetapi, dalam kasus seperti ini MK dapat saja
melakukan trobosan hukum dengan menambahkan putusannya untuk mengugurkan
hak prerogratif presiden. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim MK ini
kemudian dapat dipahami sebagai rechtsvinding, mengingat proses penemuan hukum
merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Artinya di satu sisi rechtsvindingini
dipandang perlu dilakukan mengingat potensi krisis konstitusi yang dapat saja terjadi
pasca diberhentikannya presiden dan wakil presiden secara bersamaan.
Pemilu dan Potensi Krisis
Lalu bagaimana dengan potensi potensi krisis konstitusi lainnya yang bisa saja
muncul. Jika konstitusi hasil perubahan kita saat ini dianalisis lebih lanjut, maka
banyak sekali ditemukan titik krisis lainnya. Misalnya pada pengaturan tentang
pemilu. Baik konstitusi maupun undang-undang kepemiluan, baik presiden maupun
pemilu legislatif tidak mengatur apabila ternyata penyelenggaran pemilu gagal dan
tidak menghasilkan perwakilan di parlemen atau bahkan tidak menghasilkan presiden.
Jika mengacu pada aturan konstitusi saat ini, maka dalam Pasal 6A (3) UndangUndang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa
presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih, apabila memperoleh lebih dari lima
puluh persen suara nasional (suara mayoritas mutlak) dan 20 persen disetiap wilayah
provinsi. Jika dianalisis konstruksi pasal ini maka dapat dipahami bahwa pertama,
presiden terpilih apabila berhasil memperoleh suara mayoritas mutlak dari total suara
yang masuk. Kedua, angka atau persentase suara ini merupakan ketentuan yang
mutlak dan rigid. Artinya, presentasi angka ini tidak dapat diubah apabila tidak ada
satupun pasangan calon yang memperoleh suara mutlak mayoritas. Walaupun pada
ketentuan pasal lainnya dalam konstitusi khususnya dalam Pasal 6A (4) yang
mengidentifikasikan bahwa pemilu presiden di Indonesia dengan prinsip two round
system memungkinkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih kembali
pada putaran selanjutnya, Tetapi permasalahannya angka presentasi yang
diamanahkan dalam konstitusi merupakan ketentuan yang bersifat mutlak dan berlaku
sama pada ketentual pasal sebelumnya. Jika kasus seperti ini timbul maka dapat
dipastikan
pemilu
dalam
keadaan
deadlock.
Kondisi seperti ini bisa saja muncul mengingat Pemilu 2014, konstituen terbesarnya
diisi oleh segmentasi pemilu pemula. Disamping itu meningkatnnya angka golput
(berkaca pada pemilu kada) di hampir seluruh wilayah Indonesia menambah beban
berat
suksesi
penyelenggaran
Pemilu
2014.
Bertitik tolak dari hasil analisis ini, maka timbul pertanyaan apabila tidak ada satu
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhasil memperoleh suara seperti
yang telah diamanatkan dalam konstitusi, maka pemilu dapat dipastikan gagal karena
tidak dapat menghasilkan presiden dan wakil presiden. Pertanyaannya adalah, siapa
atau lembaga mana yang kemudian dapat menjalankan pemerintahan mengingat di
dalam negara tidak dibenarkan terjadinya kekosongan jabatan (vacum of power),
apalagi tidak ada presiden dan wakil presiden. Secara teori dalam negara dengan
sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki peranan yang sangat penting
untuk
menentukan
jalannya
pemerintahan.
Secara yuridis normatif jika mengacu pada ketentuan konstitusi dan undang-undang,
maka dapat dipastikan tidak ada lembaga yang berwenang menjalankan pemerintahan
sebab pemilu tidak menghasilkan apapun. Apakah kemudian benar pendapat Prof.
Yusril dengan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi
solusi untuk mengatasi kegagalan Pemilu 2014 ini? Apakah mungkin dalam waktu
yang relatif singkat MPR melakukan perubahan terhadap konstitusi untuk kemudian
mengembalikan
fungsi
MPR
sebagai
lembaga
tertinggi
negara?
Permasalahan-permasalahan ini seyogyanya tidak dipandang sederhana, mengingat
dampak yang akan timbul sangatlah kompleks. Apa yang terjadi pada Australia pada
tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 yang mengakibatkan negara besar ini chaos,
setidaknya dapat dijadikan pembelajaran bahwa krisis konstitusi merupakan
permasalahan yang serius dan harus segera diantisipasi segala kemungkinan yang
akan muncul.
Dalam hemat penulis, permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui perubahan
konstitusi yang kemudian mengatur secara detail permasalahan-permasalahan
konstitusi ini. Sebab perubahan konstitusi merupakan hal yang wajar dan lumrah
dilakukan dalam sebuah negara. Apapun hasil Pemilu 2014 nanti dan berbagai
permasalahan yang muncul di dalamnya, dapat dipastikan negara ini harus berjalan
sebagaimana mestinya. (***)
Artikel 3:
Mahkamah Konstitusi dan Keadaan Darurat Korupsi di Indonesia
Taruna Ikrar - detikNews
Jakarta - Sudah berbulan-bulan, media massa memberitakan tentang kasus korupsi.
Dari pemberitaan itu, terlihat jelas sangat banyak elit dan pemimpin kita yang terlibat
korupsi. Mulai elit di pusat pemerintahan nasional hingga daerah. Demikian pula
melibatkan elit politik DPR RI, birokrat, dan pengusaha.
Berita yang sangat mengejutkan, bahkan Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi)
tertangkap tangan melakukan korupsi. Suatu lembaga yang sangat terhormat dengan
kekuasaan yang sangat besar, justru terbukti melakukan tindakan korupsi.
Sebagaimana diketahui, fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah:
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945), memutus sengketa kewewenangan lembaga negara yang kewewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Berkewajiban memberi keputusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau
Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam: menguji undang-undang terhadap UUD
1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, berkewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan
tentang hasil pemilu, dan berbagai kekuasaan yang sangat urgen bagi kepentingan
Nasional.
Dengan wewenangnya yang luar biasa, sudah seharusnya, Mahkamah Konstitusi bisa
menjaga diri dari berbabagai kelemahan, terlebih lagi terhadap korupsi. Tetapi
kenyataannya, Mahkamah Konstitusi terlarut kedalam pusaran masalah korupsi.
Sehingga korupsi telah merajalela di semua sektor kehidupan, baik di yudikatif,
eksekutif, dan legislatif. Sehingga tidak salah kalau dikatakan, bahwa Indonesia
berada dalam kondisi, “Darurat Korupsi”.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir semua lini kehidupan di Indonesia
dewasa ini, harus diselesaikan dengan 'sogokan dan berbagai uang pelicin' lainnya.
Mulai dari mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Kelurahan, mengurus SIM
(Surat Izin Mengemudi), KK (Kartu Keluarga), masuk sekolah, sampai urusan yang
besar, seperti memenangkan tender suatu proyek, ataupun untuk promosi dan lain
sebagainya. Semuanya membutuhkan sogokan dan uang pelicin.
Sehingga tidak salah kalau para investor yang mau menanamkan modalnya di Tanah
Air harus melalui semua proses tadi. Akibatnya biaya investasi yang tertulis tidak
sebanding dengan real cost (biaya nyata) yang harus dibayar, karena panjangnnya
birokrasi dan semua tahap harus mengeluarkan uang. Akhirnya, membuat malas para
investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Air, dan berpindah ke negara
tetangga seperti Malaysia misalnya kasus pendirian RIM, pabrik BlackBerry.
Untuk membasmi korupsi dan pungutan liar tersebut, sangat tidak mudah bahkan
mustahil, karena kondisi ini telah berurat, berakar dan telah menjadi budaya. Padahal
untuk kemajuan suatu bangsa di zaman modern, budaya korupsi dan pungutan liar
menjadi penghabat yang sangat besar untuk kemajuan. Hampir semua negara maju di
dunia dewasa ini, sangat rendah tingkat korupsi dan pungutan liarnya. Hal ini
disebabkan oleh dua faktor utama yaitu: 1) Sistem yang transparan, 2) Pemimpin yang
kuat dan disiplin serta antikorupsi.
Sebetulnya Indonesia, mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi bangsa
yang maju, sejahtera, aman, dan sentosa. Olehnya bangsa ini membutuhkan pemimpin
yang kuat dan anti korupsi, artinya: pemimpin yang benar-benar berjuang untuk
kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Yang bertekad membumihanguskan
korupsi dan pungli (pungutan liar) dengan cara memperbaiki sistem pemerintahan
menjadi transparan, dan terkontrol, sehingga orang akan sulit melakukan korupsi
karena dengan sistem yang transparan dan terkontrol maka orang yang korupsi akan
langsung ketahuan.
Transparansi sistem keuangan negara, bisa dilihat pada negara maju, seperti
contohnya Amerika Serikat, pengelolaan keungan dan sistem perpajakan, sangat
transparan. Sehingga dalam mengawasi bukan saja tugas pemerintah, tetapi
masyarakat secara keseluruhan. Semua pejabat publik, mulai tingkat terendah hingga
presiden diawasi secara langsung oleh masyakat.
Hal ini karena sistem transparansi keuangan dan perpajakan begitu modern. Semua
transaksi keuangan, pembayaran pajak, sampai pemenangan tender serta distribusi
pembangunan dan penggajian dilakukan secara online dan transparan. Sehingga
terjadi kebocoran sekecil apapun, cepat terdeteksi, sehingga bisa dilakukan
pencegahan.
Demikian pula hukum ditegakkan secara maksimal tanpa pandang bulu dan strata
sosial. Dengan kondisi tersebut, keungan Negara bisa diberdayakan sebesar-besarkan
untuk kepentingan pembangunan nasional, sehingga Amerika Serikat, menjadi negara
maju dan superpower seperti sekarang ini.
Belajar dari kondisi tersebut, sudah saatnya Indonesia menerapkan system keuangan
yang transparan. Untuk mencegah terjadinya kebocoran keuangan negara akibat
korupsi.
Efek dari tidak adanya korupsi, akan menyebabkan keseimbangan dan pemerataan
pembangunan. Sehingga akan terbuka lapangan pekerjaan yang mencukupi, sehingga
setiap orang di Tanah Air akan mempunyai pekerjaan, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteran seluruh masyarakat Indonesia.
*) Dr Taruna Ikrar PhD, staf akademik University of California, Amerika Serikat
dan Wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Internasional.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Konstitusi merupakan hukum dasar yang menjadi hukum terutama di Indonesia.
Yang mengatur secara mengikat pemerintahan yang diselenggarakan dalam
Indonesia. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan konstitusi dalam
bernegara di Indonesia belum berjalan dengan sempurna. Banyak cacat di berbagai
sisi. Tetapi kita harus berbangga hati bahwa dewasa ini pemerintahan di Indonesia
sudah di pertegas dengan adanya berbagai macam komisi yang tidak dengan
ketidaksengajaan dibuat untuk mengadili dan mengaji berjalan nya konstitusi di
Indonesia.
3.2
Saran
Tentunya kita sebagai warga Indonesia harus berfikiran positif bahwa
kedepannya Indonesia akan lebih baik lagi dalam menjalankan keberlangsungan
konstitusi bernegara. Dan kita semua juga berharap bahwa pemerintahan dalam
menjalankan konstitusinya akan lebih transparan dan fleksibel kepada seluruh warga
negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009, cet. Ke-1, h. 4
2. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, h.77
3. Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,
HAM, Masyarakat Madani, Jakarta: TIM ICCE-UIN Jakarta, 2007, h. 25.
4. Srijanti dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha
Ilmu, h.83.
5. Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009,
h..34-37.
6. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/2085masalah- konstitusi-tak-pernah-berakhir.html
(Diakses pada 8 September 2014, pukul 19.25 WITA)
7. http://www.rakyatpos.com/pemilu-dan-potensi-krisis-konstitusi-di-indonesia.html
(Diakses pada 8 September 2014, pukul 19:40 WITA)
8. http://news.detik.com/read/2013/10/09/095050/2382062/103/2/mahkamahkonstitusi-dan-keadaan-darurat-korupsi-di-indonesia
(Diakses pada 8 September 2014, pukul 20:00 WITA)