SIGNIFIKASI KISAH MUSA DAN FIRAUN JURNAL
SIGNIFIKASI KISAH MUSA DAN FIR’AUN DALAM Q.S. TAHA
PERSPEKTIF SEMIOTIKA RIFFATERRE
Oleh:
M. Firdaus Imaduddin
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Humaniora
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Isma Nida Aulia
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Humaniora
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
ABSTRAK
Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
mulia akhir zaman, Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril secara
mutawattir (berangsur-angsur) yang mengandung nilai-nilai normatif dan spiritual
untuk dijadikan pedoman bagi seluruh manusia. Al-Qur’an tidak hanya mengandung
berbagai hukum syari’at, akan tetapi juga mengandung kisah-kisah yang sangat luar
biasa. Diantaranya adalah kisah Musa dan Fir’aun yang terhimpun dalam berbagai surat
di Al-Qur’an salah satunya adalah dalam Q.S Taha. Kisah Musa dan Fir’aun memiliki
karakter yang istimewa karena kisahnya banyak disebutkan dalam Al Qur’an. Melalui
penelitian ini, peneliti memfokuskan terhadap kajian makna heuristik dan retroaktif
serta hipogram potensial dan aktual yang terkandung pada kisah Musa dan Fir’aun
dalam Q.S Taha. Adapun teori yang digunakan adalah teori semiotika Riffaterre. Teori
semiotika Riffaterre adalah salah satu teori yang mengkaji signifikasi (penandaan)
dalam sebuah karya sastra yang dalam hal ini diterapkan dalam qishash al qur’an. Teori
ini menguraikan tentang pembacaan sistem bahasa semiotika tingkat pertama atau
dikenal dengan pembacaan heuristik dan pembacaan sistem bahasa semiotika tingkat
kedua atau dikenal dengan pembacaan retroaktif. Melalui teori tersebut, peneliti dapat
mengungkap dan mendeskripsikan tanda-tanda dan proses signifikasinya antara ayat
satu dengan ayat lainnya sehingga kemudian akan memberikan makna (significance)
yang komprehensif. Penelitian ini menghasilkan beberapa data, antara lain; 1) Data
struktural kisah Musa dan Fir’aun melalui pembacaan heuristik yang kemudian
mendapatkan data tentang fragmen-fragmen kisah Musa dan Fir’aun dan definisi dari
ungkapan-ungkapan yang ada, 2) Penelitian menghasilkan signifikasi (penandaan)
makna kontekstual yang ada dalam rangkaian kisah Musa dan Fir’aun dalam Q.S.Taha
melalui pembacaan retroaktif, dan 3) penelitian ini mendapatkan data identifikasi
tentang hipogram potensial dan aktual dalam kisah.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Semiotika Riffaterre, Kisah, Signifikasi
1
PENDAHULUAN
Sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya bagi orang Islam, bahwa
al-Qur’an adalah kitab teologis sekaligus kitab suci yang berisi rangkaian kalamkalam Ilahi yang diturunkan kepada seorang Nabi agung akhir zaman,
Muhammad SAW, melalui perantara malaikat Jibril secara mutawattir (berangsurangsur), ayat demi ayat, surat demi surat, hingga pada akhirnya menjadi satu
kesatuan yang sempurna dan mengandung nilai-nilai normatif dan spiritual yang
dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk hidup seluruh umat manusia hingga
akhir zaman.1
Kitab suci al-Qur’an yang secara substansial memiliki akurasi tingkat
kebenaran kandungan dan legitimasi hukum yang kuat pada dasarnya berfungsi
sebagai pedoman dan petunjuk (hudan) hidup bagi seluruh manusia di dunia.
Pedoman
dan
petunjuk-petunjuk
itu
dipaparkan
dengan
prinsip-prinsip
fundamental yang kemudian melahirkan nilai-nilai hierarkis al-Qur’an. Nilai-nilai
tersebut secara umum dapat digolongkan menjadi; nilai-nilai yang wajib
(obligatory values) seperti konsep tauhid (keyakinan pada Tuhan, para malaikat,
para nabi, kitab-kitab, dan hari akhir), nilai-nilai fundamental (fundamental
values) seperti nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup perlindungan atas jiwa
seseorang, keluarga, atau harta benda, nilai-nilai perlindungan (protectional
values) seperti tindakan-tindakan larangan dan penerapan hukum yang sesuai,
nilai-nilai implementasi (implementational values) seperti ukuran spesifik potong
tangan bagi para pencuri, dan nilai-nilai instruksional (instructional values)
seperti larangan mengambil orang kafir sebagai teman karib dan perintah untuk
saling menyapa.2
Dalam upaya pendeskripsian nilai-nilai hierarkis tersebut, al-Qur’an
memiliki banyak keistimewaan yang sangat luar biasa. Dari aspek linguistik,
terdapat banyak keistimewaan yang tergambar dalam tataran sintaksis dan
morfologi yang menarik, baik dari segi nahwu maupun sharaf, 2) Dari aspek
semantik-pragmatik yang mengandung makna-makna filosofis dan hikmah yang
Emose Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al-Qur’an: Sejarah
yang Harus Dibaca, (Bandung: PT Karya Kita, 2009), hlm. 1
2
Abdullah Saeed, Al-Qur’an abad 21; Tafsir Konstekstual, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 110
1
2
tinggi, 3) Aspek stilistika yang mengandung ungkapan-ungkaan kebahasaan yang
indah dan teratur seperti dari aspek saja’ dan qafiyah (kesamaan bunyi akhir di
setiap kata), dari aspek fonetik yang unik di setiap huruf per huruf, kata per kata,
dan kalimat per kalimat dan 4) Dari aspek semiotika yang mengandung simbolsimbol kebahasaan yang tersembunyi.
Tidak hanya dalam aspek linguistik, dari segi teknik penyampaian, alQur’an juga menggunakan varian cara atau metode yang begitu menarik dan tidak
pernah membuat bosan manusia untuk mengkajinya, di antaranya adalah metode
penuturan langsung secara eksplisit dari Allah SWT melalui kata perintah, ajakan,
peringatan, dan penuturan secara implisit yang disampaikan melalui kisah-kisah
dalam al-Qur’an.3
Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan salah satu media yang sangat
menarik untuk menyampaikan kaidah-kaidah dan nilai-nilai hierarkis al-Qur’an.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an sangat istimewa dan memiliki tingkat ketajaman
sastra yang tinggi. Setiap kisah di dalamnya mengandung nilai dan tujuan yang
amat mulia. Kisah-kisah tersebut meliputi berbagai pokok persoalan yang
bermanfaat dalam membentuk karakter dan moralitas yang baik. Allah
menyampaikan kisah-kisah tersebut untuk dijadikan petunjuk dan pedoman bagi
umat manusia dalam berakhlak dan berperilaku yang terpuji. Sang Penutur kisah
bermaksud menyeru pembaca untuk menapaki jalan keimanan yang benar, akhlak
yang mulia, dan ilmu yang bermanfaat. Semua itu dituturkan dengan gaya bahasa
yang indah dan memesona banyak orang.4
Dalam kisah al-Qur’an, penyampaian nilai-nilai itu tentunya tidak
disampaikan secara eksplisit yang langsung bisa dipahami dengan mudah, karena
kisah-kisah dalam al-Qur’an terdiri dari fragmen-fragmen, tokoh-tokoh, dan
peristiwa-peristiwa
yang
mengandung
makna-makna
tersembunyi
dan
perumpamaan-perumpamaan yang harus diungkap dan dianalisis terlebih dahulu
dengan pembacaan-pembacaan yang mendalam. Proses penceritaan kisah dalam
3
Seperti perintah menjalankan Shalat dalam QS. Al-Baqarah: 43, dan kisah Nabi Yusuf AS yang
diceritakan dalam al-Qur’an di surat Yusuf.
4
Ahmad Jadul Mawla dan Abu al-Fadhl Ibrahim, Kisah-Kisah Al-Quran, (Jakarta: Zaman, 2009),
hlm. 10
3
al-Qur’an pun tidak semuanya runtut dan kronologis mulai awal hingga akhir,
melainkan juga ada banyak kisah yang terpisah satu sama lain dan tidak
berurutan. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat esensi al-Qur’an menjadi
berkurang tapi justru menjadikannya penuh dengan unsur-unsur sastra, nilai
filosofis dan mukjizat yang dahsyat, seperti kisah Musa dan Fir’aun, kisah
Ibrahim dan Ismail, kisah Maryam, dan lain-lain.5
Dari beberapa kisah dalam al-Qur’an, kisah Musa dan Fir’aun merupakan
salah satu kisah yang sangat istimewa dan memiliki karakteristik yang menarik
dan luar biasa diantaranya adalah menjadi kisah terpanjang di antara kisah-kisah
yang lain dalam al-Qur’an seperti, kisah Yusuf AS, Sulaiman AS, Maryam,
Ibrahim AS, dan lain-lain.6 Kisah Musa dan Fir’aun mengandung pesan spiritual
dan pendidikan khususnya kepemimpinan bagi manusia, seperti kebenaran
mu’jizat Allah SWT dalam menaklukan sihir-sihir Fir’aun dengan tongkat yang
dibawa oleh Nabi Musa AS7, mu’jizat membelah Laut Merah yang sangat luas
kemudian mengembalikannya lagi seperti sediakala8, keberanian Musa dalam
menentang kejahatan yang dilakukan oleh kaum Fir’aun terhadap kaum Ibrani dan
keberaniannya dalam membebaskan kaum Ibrani dari penindasan raja yang
dzalim9 dan lain sebagainya.
5
Ahmad Jadul Mawla dan Abu al-Fadhl Ibrahim, Kisah-Kisah Al-Quran,hlm. 11
Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap kisah-kisah populer di Al-Qur’an, bahwa kisah Yusuf
diceritakan sebanyak 26 kali dalam QS. Al-An’am: 84, QS. Yusuf: 4, 7, 8, 9, 10, 11, 17, 21, 29,
46, 51, 56, 58, 69, 76, 97, 80, 84, 85, 87, 89, 90, 94, 99, dan QS. Ghafir: 34, kisah Sulaiman
diceritakan sebanyak 16 kali dalam QS. Al-Baqarah: 102, QS. An-Nisa: 163, QS. Al-An’am: 84,
QS. Al-Anbiya’: 78, 79, 81, QS. An-Naml: 15, 16, 17, 18, 30, 36, 44, QS. Saba’: 12, QS. Saad, 30,
34), kisah Ibrahim diceritakan 63 kali dalam QS. Al-Baqarah: 124, 125, 126, 127, 130, 132, 133,
135, 146, 140, 258, 260, QS. Al- ‘Imran: 33, 65, 67, 68, 84, 95, 97, QS. An-Nisa’: 54, 125, 163,
QS. Al- An’am: 74, 75, 83, 101, QS. At-Taubah: 70, 114, QS. Hud: 69, 74, 75, 76, QS. Yusuf: 6,
38, QS. Ibrahim: 35, QS. Al-Hijr: 51, QS. An-Nahl: 120, 123, QS. Maryam, 41, 46, 58, QS. AlAnbiya’: 60, 62, 69, QS. Al-Hajj: 26, 43, 78, QS. As-Syuara’: 69, QS. Al- ‘Ankabut: 16, 31, QS.
Al-Ahzab: 7, QS. As-Saffat: 83, 104, 109, QS. Saad: 45, QS. As-Syura: 13, QS. Az-Zukhruf: 26,
QS. Al-Dzariyat: 24, QS. An-Najm: 37, QS. Al-Hadid: 26, QS. Al-Mumtahanah: 4, dan QS. AlA’la: 19, kisah Musa dan Fir’aun diceritakan sebanyak 267 kali dalam QS. Al-Qashas: 3-22, 2844, QS. Taha: 9, -73, 77-79, QS. An-Naml: 7-14, QS. Ghafir: 23- 27, 36, 37, 53, QS. AlMu’minun: 45-49, QS. As-Syua’ra’: 10-51, QS. Al-A’raf: 103-126, QS. Az-Zukhruf: 46-49, 55,
56, QS. Yunus: 75-92, QS. Hud: 96-99, QS. Adz-Dzariyat: 38, 39, 40, QS. Al-Isra’: 101-104, QS.
Ad-Dukhan: 22-24, QS. An-Naziyat: 15-26.
7
Lihat terjemahan QS. Al-A’raf: 107, QS. An-Naml: 10, QS. Al-Qashas: 31, QS. As-Syu’ara: 32,
45
8
Lihat terjemahan QS. Al- As-Syu’ara’: 63
9
Lihat terjemahan QS. Al-Qashas: 15
6
4
Salah satu surat yang mengandung kisah Musa dan Fir’aun adalah
Q.S.Taha. Jika ditinjau dari segi linguistik, kisah Musa dan Fir’aun dalam surat
Taha ini mengandung banyak simbol-simbol kebahasaan seperti, kalimat anastu
naaron dalam surat Taha ayat 9 yang memiliki arti leksikal melihat api, tapi
kemudian setelah dipahami secara mendalam kalimat anastu naron memiliki arti
melihat cahaya Allah yang membawa keberkahan.10
Kalimat
anastu
naaron secara heuristik sebagai penanda yang secara retroaktif menunjukkan
petanda adanya cahaya Allah yang memberi mu’jizat kepada Musa sebelum
diangkat menjadi Nabi. Kemudian, ungkapan simbolik Musa yang dibuang ke
sungai Nil agar diambil oleh Fir’aun menjadi penanda atas petanda akan sebuah
peringatan dan keselamatan bagi Bani Israel11 dan peristiwa eksodus kaum Ibrani
dari Mesir yang jika dibaca dengan sistem semiotika menghasilkan konsep sebuah
pembebasan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Dalam kaitannya al-Qur’an
yang mengandung bahasa-bahasa simbol dan pengungkapannya memerlukan
pembacaan-pembaccan dalam tataran tertentu, maka diperlukan teori atau metode
khusus untuk mengungkap dan menganalisis bahasa-bahasa simbolik tersebut
hingga diperoleh pemahaman-pemahaman yang benar dan sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh al-Qur’an.
Dari sekian teori yang dapat digunakan dalam mengungkap struktur teks,
menurut hemat peneliti, teori semiotika Riffaterre adalah teori yang sangat cocok
dan relevan untuk mengungkap makna-makna simbol yang terkandung dalam
rangkaian teks. Walaupun sesungguhnya teori ini awalnya diciptakan untuk
mengkaji puisi, namun peneliti tidak meragukan bahwa teori ini juga mampu
digunakan untuk mengkaji sebuah teks sastra, khususnya kisah Musa dan Fir’aun
yang ada dalam al-Qur’an
Melalui konsepnya, terutama tentang pembacaan heuristik dan retroaktif
serta identifikasi hipogram potensial dan aktualnya, teori ini sangat mampu
diaplikasikan untuk mengungkap dan menganalisis kisah Musa dan Fir’aun yang
mengandung bahasa-bahasa simbol dan mampu memberikan interpretasi10
11
Lihat terjemahan QS. An-Naml: 7 dan Tafsir Al-Qurthubi hlm.451
Lihat terjemahan QS. Al-Qashas: 7
5
interpretasi yang komprehensif. Pembacaan heuristik sendiri merupakan
pembacaan linguistik tingkat pertama secara tekstual yang dilakukan terhadap
sejumlah teks yang kemudian menghasilkan sebuah kerangka pemikiran tertentu.
Dalam hal ini pembacaan heuristik yang dilakukan dalam kisah al-Qur’an
akan menghasilkan struktur cerita yang terhimpun dalam fragmen-fragmen atau
episode-episode yang kemudian dalam teori semiotika Riffaterre dapat dipahami
sebagai hipogram potensial sebuah teks serta menghasilkan pemaparan arti-arti
leksikal dari beberapa ayat yang terkandung. Sedangkan pembacaan retroaktif
merupakan upaya untuk menganalisis bahasa simbol dengan menghasilkan
interpretasi-interpretasi yang mengarah pada signifikasi12 (makna kontekstual)
dan pesan-pesan yang terkandung atas bahasa-bahasa simbol yang ada dalam
kisah Musa dan Fir’aun. Dalam upaya untuk memperkuat analisis, di akhir
penelitian juga akan dipaparkan mengenai hasil identifikasi hipogram potensial
dan aktual dari kisah Musa dan Fir’aun tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti sangat tertarik untuk
mengkaji kisah Musa dan Fir’aun dalam Q.S.Taha dengan menggunakan teori
semiotika Riffaterre karena teori semiotika ini secara komprehensif sangat tepat
dalam menguraikan tentang pembacaan teks melalui pembacaan heuristik dan
retroaktif yang kemudian menghasilkan interpretasi-interpretasi bahasa simbol
yang mengarah pada pengungkapan makna dan pesan dalam kisah tersebut.
PENGERTIAN KISAH
Secara etimologi kata kisah berasal dari kata
terbentuk dari fi’il
قصة-يقص-قص
قصة
yang berarti bercerita. Term
(qishshah) yang
قص
juga berarti
mencari atau mengikuti jejak. Kisah juga berarti fragmen atau potongan-potongan
Dalam bukunya Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, Wildan Taufik (2016:121)
menjelaskan bahwa dalam teori semiotika Riffaterre ada istilah meaning (mengacu pada arti secara
tekstual atau sesuai dengan konvensi linguistik) dan significance (mengacu pada makna secara
konstekstual atau sesuai dengan konvensi sastra).
12
6
berita, tokoh-tokoh atau umat terdahulu yang dimuat dalam al-Qur’an.13 Kata قصة
pula berarti menelusuri atsar (jejak) seperti dalam firman Allah SWT:
ِ َ َق
ك َما
َ ال ٰذل
ِ
صا
ًص
َ َ ُكنَّا نَْب ِغ ۚ فَ ْارتَدَّا َعلَ ٰٰٓى ءَا ََث ِرِهَا قlalu Musa AS berkata: “itulah tempat yang kita
cari”, lalu keduanya mengikuti jejak mereka semula”. 14
Sedangkan secara terminologi,
terdapat
banyak pengertian
yang
dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya adalah Manna al-Qattan, Ahmad
Syadali dan As-Shiddiqie. Menurut Manna al-Qattan, kisah adalah pemberitaan
mengenai umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu dan peristiwa yang pernah terjadi.15
Ahmad Syadali mengemukakan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para
nabi dan rasul mereka, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu, masa
kini, dan masa yang akan datang.16 Menurut Assiddiqie, kisah al-Qur’an adalah
kabar-kabar dalam al-Qur’an yang menceritakan tentang keadaan-keadaan umat
yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi.17
TUJUAN DAN KARAKTERISTIK KISAH AL-QUR’AN
Karakteristik kisah al-Qur’an sangat menarik dan berbeda dengan cerita
dan dongeng pada umumnya. Karakteristik yang dimaksud antara lain:
1. Gaya bahasanya indah, menarik, mempesona, dan sederhana, sehingga
mudah dipahami dan mampu mengundang rasa pensaran para pembaca
untuk mengetahui secara lengkap.18
2. Materinya bersifat universal, sesuai dengan perkembangan kehidupan
manusia dari masa ke masa, sehingga mampu menggungah hati pembaca
di setiap masa.19
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119), hlm. 102.
QS. Al-Kahfi ayat 64 .
15
Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyura al- ‘Asr al-Hadist, 1973),
hlm. 405.
16
Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 27.
17
As-Shiddieqe dan T.M. Hasbi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 176.
18
Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 239.
13
14
7
3. Materinya hidup, aktual, mampu menerangi jalan menuju masa depan
yang cemerlang, tidak membosankan, dan mampu menggugah emosi
pembaca.20
4. Kebenarannya dapat dibuktikan secara filosofis dan ilmiah melalui buktibukti sejarah.
5. Penyajiannya tidak pernah lepas dari dialog yang dinamis dan rasional
sehingga merangsang pembaca untuk berfikir.
Selain itu, bahwasanya gaya bahasa kisah al-Qur’an sejalan dengan
keadaan jiwa Nabi Muhammad SAW, bukan sesuai dengan keadaan orang-orang
yang sedang berdialog dengannya. Hal ini karena keadaan jiwa Rasulullah SAW
sama dengan keadaan jiwa para rasul sebelumnya.21
Sedangkan tujuan kisah al-Qur’an menurut Nashruddin Baidan adalah
menjadi bukti yang kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai
dengan kondisi mereka dan merealisasikan tujuan umum yang dibawa oleh alQur’an untuk menyeru dan memberi petunjuk kepada manusa ke jalan yang benar.
Agar mereka mereka selamat di dunia dan di akhirat.22 Sayyid Muhammad Alwi
al-Maliki mengemukakan bahwa kisah dalam al-Qur’an memiliki tujuan yang
tinggi yaitu menanamkan nasihat dan pelajar yang diambil dari peristiwa masa
lalu.23 Menurut Khalafullah, tujuan dari kisah-kisah al-Qur’an adalah tidak lain
untuk menimbulkan efek, kesan, dan pengaruh yang dibuat dalam rangka untuk
mempengaruhi jiwa orang-orang yang sedang mendengarkan al-Qur’an dan hal
ini dipancarkan melalui setiap kata yang berada dalam makna kedua yakni makna
sastranya. Ia berpendapat bahwa sesunguhnya al-Qur’an tidak bermaksud
menceritakan realitas sejarah atau menginformasikan berita akan tetapi al-Qur’an
19
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 175.
Salah al-Khalidi, Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-Orang Terdahulu, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 301-327.
21
Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna,
1984), hlm. 53.
22
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 230.
23
Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2001), hlm. 46.
20
8
pada dasarnya bermaksud untuk memberikan efek psikologis kepada yang
mendengarkannya.24
KONSEP SEMIOTIKA RIFFATERRE
Semiotika Riffaterre pada mulanya muncul atas penolakan terhadap
semiotika Jakobson. Dalam analisisnya, Jakobson hanya memperlihatkan aspek
linguistik dalam pengertiannya terbatas dan mengabaikan aspek-aspek lain,
seperti aspek pragmatik dan ekpresif dimana peran pembaca dan penulis bisa
diungkap. Jakonson juga meremehkan aspek referensial sehingga mengakibatkan
hilangnya relevansi sosial karya sastra dan sastra menjadi esuatu yang tergantung
di awang-awang.25
Menurut Riffaterre, yang menentukan apakah sajak (puisi) bagus atau
tidak adalah si pembaca sajak, bukan seorang linguis (ahli bahasa) yang
menganalisis sajak tersebut. Dengan segala pengalaman pembaca yang ia miliki,
pembaca mampu menentukan kualitas sebuah sajak termasuk di dalamnya hal-hal
yang relevan serta fungsi puitis sebuah sajak.26
Menurutnya, peneliti (linguis) harus membina semacam super reader
sebagai sarana (instrument) analisis puisi. Super reader adalah gabungan semua
respon terhadap puisi yang dikumpulkan selama terlepas dari unsur-unsur
subjektivitas di luar tindak komunikasi. Kemudian, Riffaterre mengemukakan
pendekatan semiotika yang menitikberatkan adanya urgensitas pertentangan
antara meaning (arti) dan significance (makna). Dalam pembacaan puisi, meaning
atau fungsi referensialnya harus ditingkatkan menjadi significance bersadarkan
interpretasi pertentangan atau penyimpangan dari arti mimetik yang kita temukan,
antara lain atas dasar kemampuan kita membaca puisi.27
Menurut Riffaterre dalam bukunya The Semiotics of Poetry, ada empat
paradigma dasar yang digunakan dalam semiotika Riffaterre yang pada dasarnya
24
Muhamad A Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah: Seni, Sastra, dan Moralitas dalam
Kisah-kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 347
25
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 79-80.
26
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, hlm. 80.
27
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, hlm. 81.
9
berangkat dari evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode
ke periode, antara lain; 1) konsep ketidaklangsungan ekspresi, 2) konsep
pembacaan heuristik dan retroaktif, 3) konsep matriks, model, dan varian, 4)
konsep hubungan intertekstualitas (hipogrram).28
1. Konvensi Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre, disebabkan oleh
tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Pertama, penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan
metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini
dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Hal ini
disebabkan pentingnya metafora dan metonimi sebagai bahasa kiasan
hingga digunakan untuk mengganti kiasan lainnya, seperti simile
(perbandingan), personifikasi, sinkedode, perbandingan epos, dan alegori.
Kedua, penyimpangan arti yang sebagaimana dikemukakan Riffaterre
disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense.
Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra yang bermakna ganda, terlebih
lagi bahasa puisi. Kontradiksi berarti mengandung pertenatangan yang
disebabkan oleh paradoks dan ironi. Nonsense merupakan kata-kata yang
secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya rangkaian bunyi dan
tidak terdapat dalam kamus. Ketiga, penciptaan arti merupakan konvensi
kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra).29
2. Pembacaan Heuristik dan Retroaktif
Konsep dasar kedua yang dikemukakan Riffaterre adalah konsep
pembacaan heuristik
dan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah
pembacaan mimetik berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat
pertama. Sebagai ekspresi bahasa, puisi atau teks prosa hanya dapat
28
Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 6.
29
Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, (Bandung: Yrama Wedia, 2016),
hlm. 121-126.
10
dipahami apabila pembacanya menguasai konvensi bahasa. Pembacaan
heuristik pada dasarnya merupakan interpretasi tahap pertama yang
bergerak dari awal hingga akhir teks sastra, dari atas ke bawah mengikuti
rangkaian sintagmatik. Pada pembacaan pertama ini akan menghasilkan
serangkaian arti yang bersifat heterogen.30 Analisis ini menitikberatkan
pada aspek linguistik dan hubungan antar unsur untuk mencari makna
semiotik tingkat pertama. Analisis linguistik ditekankan pada morfologi,
sintaksis maupun semantik sebagai tiga diantara empat elemen dasar
linguistik.31
Pembacaan heuristik pada sajak dan prosa pastilah berbeda
meskipun pada prinsipnya sama. Hal ini disebabkan prosa atau cerita
pendek bahasanya tidak begitu menyimpang dari tata bahasa baku.
Pembacaan heuristik prosa adalah pembacaan pada tata bahasa ceritanya,
yaitu pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Untuk
mempermudah, pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis cerita.
Pada tahap pembacaan heuristik, pembaca masih mengalami hambatan
dan kesulitan dalam memaknai teks dan memerlukan untuk pembacaan
yang lebih mendalam yaitu pembacaan retroaktif atau hermeneutik.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, maka pembacaan heuristik
dapat dilakukan dengan menambahkan definisi-definisi setiap kata secara
tekstual tanpa memberikan interpretasi secara mendalam. Dalam istilah
linguistik arab, heuristik disebut dengan
ِ -كشف
يكشف
استكشايفyang berasal dari lafadz
yang memiliki arti menyingkap sesuatu yang asalnya
tertutup. Hemat penulis, heuristik adalah proses pembacaan yang
mengungkap makna linguistik mencakup didalamnya makna leksikal,
sintaksis, semantis dan morfologi. Setiap kata didefinisikan dengan
menambahkan keterangan yang bersumber dari beberapa kamus yang
30
Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 7.
31
Moh. Ali Wasik, Master Thesis: “Kisah Ashabul Kahfi dalam al-Qur’an: Kajian Semiotika”
(Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017), hlm 59.
11
berkaitan dengan kosa-kata al-Qur’an seperti, kamus al-Mufahras li alFadh al-Qur’an, kamus al-Munjid, dan Lisan al-Arab. Misalnya, contoh
kata quraisy dalam surat Quraisy ayat 1, didefinisikan dengan ismun lil
qobail al- ‘arabiyah min walad an-nadlar bin kinanah (sebuah nama dari
kabilah Arab dari keturunan an-nadlar putra kinanah).32
Akan tetapi, pembacaan atas dasar konvensi bahasa itu yang oleh
Riffaterre disebut sebagai pembacaan heuristik tidaklah cukup untuk
memahami
makna teks
yang sesungguhnya. Untuk memperoleh
pemaknaan yang mendalam dan komprehensif, maka diperlukan
pembacaan pada sistem bahasa kedua yakni yang disebut pembacaan
retroaktif.
Pembacaan retroaktif dilakukan berdasarkan sistem semiotika
tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Dalam istilah
linguistik arab, retroaktif disebut dengan
يرجع-رجع
اسرتجاعي
yang berasal dari kata
yang berarti mendapatkan kembali. Menurut hemat penulis,
retroaktif adalah pembacaan dengan memadukan pemahaman pembaca
pada tingkat kedua untuk memperoleh kembali makna yang dikehendaki
oleh penulis. Pada tahap ini, pembaca melibatkan kompetensi kesusateraan
yakni familiaritas pembaca pada sistem deskriptif, tema-tema, mitologimitologi masyarakat, dan terutama sekali dengan teks-teks lain.
Pembacaan hermeneutik ini juga bisa dilakukan secara struktural, yaitu
bergerak secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali ke
bagian dan seterusnya.33 Dengan kata lain, pembaca menyimak teks,
mengingat apa yang telah dibacanya melalui tahap pertama, dan
memodifikasi pemahaman tersebut berdasarkan apa yang dipahami dalam
pembacaan tahap kedua. Pembaca melangkah dari awal ke akhir teks,
melakukan peninjauan ulang, revisi, evaluasi, dan komparasi sampai
32
33
Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, hlm. 136.
Faruk, “Aku” dalam Semiotika Riffaterre, Jurnal Humaniora, Vol. 3, Tahun. 1996, hlm. 29.
12
menemukan invarian atau matriks yang juga mengarahkan kepada
signifikasi puisi atau prosa.
Pada
tahap
pembacaan
ini,
menurut
Riffaterre,
pembaca
mengaplikasikan dekoding struktural karena teks sebenarnya merupakan
variasi dari sebuah struktur dan relasi varian-variannya kemudian
membentuk kesatuan makna (signifikasi). Efek maksimal pembacaan
retroaktif sebagai generator sistem pemaknaan hadir pada bagian akhir.
Artinya, teks harus dilihat secara menyeluruh, bukan bagian per bagian.
Dari sini semakin jelas perbedaaanya bahwa teks sebagai suatu kesatuan
struktur “unit signifikasi” (unit of significance), sedangkan satuan
linguistik berupa kata-kata, frasa, serta kalimat yang menyusun teks itu
merupakan “unit-unit arti” (unit of meaning).34
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an sendiri, maka pembacaan
retroaktif dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa referensi pijakan.
Artinya, pada tahap ini peneliti dapat menghimpun dan membandingkan
beberapa kitab tafsir para ahli kemudian baru menambahkan interpretasi
peneliti terhadap ayat-ayat simbolik yang ada dalam al-Qur’an. Dari
tindakan itu nantinya akan diperoleh interpretasi yang holistik dan
terpercaya.
3. Matriks, Model, dan varian
Konsep dasar ketiga yang menurut Riffaterre dinamakan dengan
matriks, model dan varian. Dengan mengutip penjelasan lain bahwa karya
sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal
yang harfiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak
harfiah. Matriks adalah kata kunci atau intisari dari serangkaian teks.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai
aktulalisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal
ini tidak pernah muncul di dalam teks.
Matriks diaktualisasikan primer atau pertama, yang disebut sebagai
model. Ciri utama model adalah sifat puitisnya. Jadi, jika matriks
34
Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, hlm. 5-6.
13
merupakan motor penggerak derivasi tekstual, maka model adalah
pembatas derivasi tersebut. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih
sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan
motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata-cara
pemerolehan atau pengembangannya.35
4. Hubungan Intertekstual (Hipogram)
Selain matriks, model, dan varian, yang harus diperhatikan dalam
memahami makna adalah hipogram. Konsep dasar keempat menurut
Riffaterre adalah penunjukkan teks ke teks lain atau disebut hubungan
intertekstual (hipogram). Hipogram adalah teks yang menjadi latar
belakang penciptaan sebuah teks baru. Hipogram merupakan landasan bagi
penciptaan karya sastra yang baru.
Menurut Julia Kristeva, bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra,
merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta
transformasi teks ke teks lain. Secara khusus, ada teks tertentu yang
menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra yang oleh Riffaterre disebut
hipogram, sedangkan teks yang menyerap dan mentrasnformasikan
hipogram itu dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan
makna
hakiki
membandingkan,
tersebut,
digunakan
menjajarkan,
dan
metode
intertekstual,
mengontraskan
sebuah
yaitu
teks
transformasi dengan hipogram-nya.36
Riffaterre mengemukakan bahwa interpretasi yang tepat dan
komprehensif mengenai teks karya sastra (puisi) dimungkingkan hanya
oleh interteks. Puisi membawa makna hanya dengan mereferensi dari teks
ke teks. Riffaterre pula menegaskan bahwa proses interpretasi berlangsung
dalam pikiran pembaca. Pembaca merupakan agen pertama untuk
mengadakan hubungan antara teks, interpretan, dan interteks. 37 Riffaterre
35
Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, hlm. 21.
Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, hlm. 129..
37
Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, (Amerika: Indiana University Press, 1978), hlm.
164.
36
14
mengemukakan bahwa hipogram itu ada dua macam; yaitu hipogram
potensial dan hipogram aktual.38
Hipogram potensial tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus
diabstaksikan dari teks. Hipogram potensial itu adalah matriks yang
merupakan inti teks atau kata kunci. Dapat berupa satu kata, frase, atau
kalimat sederhana. Transformasi pertama matriks atau hipogram potensial
adalah model, kemudian ditransformasikan menjadi varian-varian.
Hipogram potensial terwujud dalam segala bentuk aplikasi makna
kebahasaan, baik yang berupa presuposisi, maupun sistem deskriptif atau
kelompok asosiasi konvensional. Sedangkan hipogram aktual dapat berupa
teks nyata, kata, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks dan terwujuddalam
teks yang ada sebelumnya, baik berupa mitos, maupun karya sastra
lainnya.39
Dari sekian konsep yang dikemukakan oleh Rifattere dalam
bukunya The Semiotics of Poetry, peneliti dalam hal ini hanya mengambil
dua konsep yang digunakan untuk mengkaji kisah Musa dan Fir’aun dalam
QS. Taha di atas, yaitu konsep pembacaan heuristik dan retroaktif, dan
konsep hipogram potensial dan aktual. Peneliti tidak mengambil semua
konsep karena peneliti yakin bahwa sebuah prosa atau teks sastra selain
puisi dapat dikaji cukup dengan menggunakan dua konsep tersebut.
Namun, tidak menutup kemungkinan dalam poin hipogram potensial dan
aktual nantinya terdapat penjelasan mengenai matriks, model, dan varianvarian. Karena seperti pemaparan di atas, konsep hipogram dan matriks,
model, dan varian adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA
Pada pembacaan heuristik terhadap kisah Musa dan Fir’aun yang
menitikberatkan pada struktur linguistik– unsur sintaksis, morfologi dan semantik
38
Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 7
39
Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, hlm. 23
15
– diperoleh empat fragmen utama. Fragmen pertama secara heuristik berbicara
tentang Musa memperoleh sakralitas wahyu dari Allah SWT di bukit Tuwa (Sinai)
yang ditandai dengan proses penganugerahan mu’jizat tongkat dan cahaya terang
dari celah lengan bajunya. Fragmen kedua berbicara tentang perintah Allah SWT
mengutus Musa kepada raja yang dzalim Fir’aun yang dzalim, dalam rangka
untuk membebaskan Bani Israel dari penindasan. Fragmen ketiga berbicara
tentang adu sihir yang terjadi antara tukang sihir Fir’aun dengan sihir (mu’jizat)
Musa yang diakhiri dengan pembuktian akurasi kedahsyatan mu’jizat Musa.
Fragmen keempat berbicara tentang peristiwa eksodus (hiijrah) Musa dan Bani
Israel dari Mesir ke daerah asal yang disertai di dalamnya bukti keagungan kuasa
Allah SWT dalam membelah laut Merah.
Pada pembacaan rektroaktif terhadap empat fragmen kisah Musa dan
Fir’aun dalam Q.S. Taha, diperoleh beberapa siknifikasi makna kontekstual yang
terhimpun dalam empat fragmen; fragmen pertama tentang transendensi wahyu
kepada Musa, peneliti mendapatkan beberapa makna kontekstual yang terhimpun
َ
dalam tiga sekuen. Pertama, kata نارٗاadalah cahaya spiritual yang menjadi tanda
َ َ َ
َ
َ
kewahyuan Musa. Kedua, ungkapan ك
ٗ ٗخلعٗ ٗنعٗلي
ٗ ٗفٱadalah menanggalkan atribut
َ ُ َ
ََ
keduniaan ketika berinteraksi dengan Allah SWT. Ketiga, ungkapan ٗ ك
ٗ تت
ٗ َٗوأنا ٗٱخ
ٗفَٱسٗ َت ِمعٗ ٗل َِما ٗيُ َ ىmengindikasikan akurasi pemilihan Musa sebagai pembawa
ٗ ٗوح
wahyu Allah dan etika dalam mendengar. Keempat, ungkapan
dan
ََ
َ ََ َا َ َ ا
َ َ
ُ
ٗ ِ لٗ ٗإ ِ ٗل ٗه ٗإ
ل ٗأناٗ ٗفٗٱعٗبدٗ ِنٗ وأق ِ ِمٗ ٗٱلصلوٗٗة
ََ
إِنٗ ٗٱلساع ٗة ٗ َءات َِي ٗة
mengindikasikan perintah dalam
melaksanakan ajaran-ajaran spiritual; monoteisme (tauhid), shalat, dan hari
kiamat. Kelima, pemberian tongkat yang luar biasa kepada Musa sebagai bukti
kenabiannya. Keenam, berubahnya karakter dan penampilan tongkat menjadi
seekor ular yang gesit dan berbahaya sebagai pengantar bukti mu’jizat pertama.
16
Ketujuh cahaya terang yang keluar dari sela baju Musa sebagai pengantar bukti
mu’jizat kedua yang Allah anugerahkan kepada Musa.
Fragmen kedua tentang pengutusan Musa kepada Fir’aun ini, peneliti
dapat mengambil beberapa makna kontekstual yang terdapat dalam empat sekuen
kisah. Pertama, sebuah strategi dakwah yang teraktualisasi dalam nilai
fundamental
َ َُ َ ُ َ
ٗ ٗ ول
ٗ )فق
)لۥ ٗق ٗولٗ ٗ يّل ِٗنا
pada pengutusan Musa dan Harus kepada
Fir’aun. Kedua, konsep satu kesatuan tentang pertolongan, bantuan, dan kekuatan
Allah dalam segala bentuk kesulitan dan ketakutan. Ketiga, nilai fundamental
tentang pengingkaran terhadap karakter Fir’aun yang begitu angkuh dan
melampaui batas.
Fragmen ketiga tentang adu sihir antara Musa dan Fir’aun, maka peniliti
َ َ
memperoleh beberapa makna kontekstual. Pertama, kalimat pertanyaan (ٗ ال
ٗ ق
َ
َ َ
َ )أَجئٗتَ َنا ِٗلِ ُخٗر َج
وس
ٗ َ ك ٗ ٗي ُم
ٗ ض َنا ٗبِسِ حٗ ِر
ۡر
أ
ٗ
ِن
ٗ
م
ٗ
ا
ن
ِ
ِ
ِ
mengindikasikan sebuah penetapan
(itsbat) serta karakter buruk (su’udzan) Fir’aun. Kedua, ungkapan
ََ َُ َ َ ُ َ َ
َ
ٗ ٗ ٗتوا
ٗويٗلكمٗ ٗلٗ ٗتف
ٗ َع ٗٱّللٗ ِ ٗكذِبٗا
َ َ َ
ٗ وس
ٗ َ ال ٗل ُهم ٗ ُّم
ٗ ق
merupakan ultimatum Musa yang bersifat
menakut-nakuti (at-takhwif) agar para tukang sihir mengundurkan niat mereka
dan tidak menyerang Musa. Ketiga, kata
ُ
ٗح َِبال
yang mengandung makna
kelenturan, kelembutan, elastis, dan mudah dibentuk merepresentasikan sebuah
kelicikan Fir’aun yang pandai membolak-balikkan fakta, merubah suatu
kebenaran menjadi buah fitnah, dan sebagainya dan kata
ُّ ِ ع
ِٗص
mengandung
َ َ َ َ ُّ
َ ُ َ
ٗ ٗك
ٗ قالواٗٗلنٗن ٗؤٗث ِر
makna kekuatan atau kekuasan yang besar. Keempat, ungkapan َٗع
َ ا
َ َ
َٗ َما ٗ َجٗا َءنا ٗمmengindikasikan keteguhan iman para tukang
ِٗ ِٗن ٗٱلَٗ يي ِ َن
ت ٗ َوٗٱَّلِي ٗف َط َرنا
17
sihir terhadap ajaran Musa. Fragmen keempat tentang peristiwa eksodus Musa
dan Bani Israel dari Mesir, peneliti memperoleh signifikasi makna tentang betapa
pentingnya pembebasan dari kawasan yang berbahaya dan penuh penindasan.
Dalam kisah Musa dan Fir’aun terdapat empat hipogram potensial dan satu
hipogram aktual (intertektualitas). Hipogram potensial meliputi; Pertama, Proses
transendensi wahyu yang diberikan Allah SWT kepada Musa. Kedua, pengutusan
Musa dan Harun ke hadapan Fir’aun dalam rangka untuk membebaskan bani
Israel dari penindasan. Ketiga, Rencana Fir’aun untuk menantang Musa adu sihir
yang kemudian tampak mu’jizat Musa yang dahsyat. Keempat, Peristiwa eksodus
Bani Israil atas perintah Allah SWT. Jika diamati berdasarkan tabel, maka akan
diperoleh data lengkap sebagai berikut:
Hipogram
Fragmen
Model
Potensial/
Varian-varian
Matriks
1
Proses
1) Proses
transendental
penghormatan
wahyu
dan
yang
diberikan Allah
penghambaan
SWT
diri kepada Allah
kepada
Musa
yang Maha Suci
َ ُ َ َ يا
تٗنارا
إ ِ ِنٗءانس
dan Maha
Agung.
2) Peristiwa
penerimaan
transendental
wahyu yang
diaktualisasikan
dengan dua
mu’jizat besar.
18
2
Pengutusan
1) Proses
Musa dan
pengutusan
Harun ke
Musa kepada
hadapan
Fir’aun dalam
rangka untuk
membebaskan
3
َ َ ا
َ َ
ٗنٗإِن ُٗهۥ
ٗ ٗٱ ٗذه َبٗاٗإِلٗٗف ِرٗعو
َ
َٗطغ
Fir’aun.
2) Kedatangan
Musa di Mesir.
3) Proses
bani Israel dari
meyakinkan
penindasan.
Fir’aun.
Rencana
1) Penawaran adu
Fir’aun untuk
menantang
Musa adu sihir
yang kemudian
Sihir.
ََ
َ
ٗٗكٗبِسِحٗر
ٗ فل َنأٗت ِيَن
ِيمِثٗل ِ ٗه
tampak
mu’jizat Musa
2) Pelepasan sihir
(mu’jizat) Musa
dan sihir
Fi’raun.
3) Pengakuan atas
yang dahsyat.
keimanan
tukang sihir
Fir’aun.
4
Peristiwa
eksodus
Israil
atas
perintah Allah
SWT.
1)
Bani
Perintah
memukulkan
َ َ
َ
سٗٗبِعِبادِي
ِ أنٗٗأ
tongkat.
2)
Penyusulan
Fir’aun yang
akhirnya
tenggelam.
19
Sedangkan hipogram aktual untuk kisah Musa Fir’aun ini adalah teks
Bibel (Perjanjian Lama) dalam Alkitab Deuterokanonika bagian Keluaran pasal 3,
4, 7 dan 15 yang menceritakan tentang kisah Musa dan Fir’aun dengan rincian
sebagai berikut: Fragmen 1 yang bercerita tentang penurunan wahyu dengan teks
transformasi QS.Taha ayat 9-23 dan Kitab Keluaran Pasal 3 ayat 1-6 sebagai
hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
KETERANGAN DALAM KITAB
KETERANGAN DALAM
KELUARAN PASAL 3: (1-6) &
Q.S. TAHA: 9-23
PASAL 4: (2-4 & 7) (HIPOGRAM)
(TEKS TRANSFORMASI)
3:2 Lalu Malaikat Tuhan menampakkan
diri kepadanya di dalam nyala api yang
keluar dari semak duri. Lalu ia melihat,
dan tampaklah: semak duri itu menyala,
tetapi tidak dimakan api.
3:3
Musa
berkata:
"Baiklah
aku
menyimpang ke sana untuk memeriksa
َ َ ََ
ي
َ
ُُ
ٗن
َٗ ِ ِ ال ٗ ِِلهٗلِهِٗ ٗٱ ٗمكث اٗواٗ ٗإ
ٗ إِذٗ ٗ َر َءا ٗنارٗا ٗفق
َ ََ َ ُ ي
َ ُ َ ً ي
ٗٗلٗ َءات ِيكمٗٗم ِٗنهاٗٗب ِقبسٗٗأو
ٗاراٗل َع ِ ا
آنستٗن
ََ ُ َ
ُ
ً
ٗ ٗج ٗد
١٠ٗارِٗهدى
ٗ َعٗٱنل
ِ أ
penglihatan yang hebat itu. Mengapakah
tidak terbakar semak duri itu?"
3:4 Ketika dilihat Tuhan, bahwa Musa
menyimpang
untuk
memeriksanya,
berserulah Allah dari tengah-tengah semak
duri itu kepadanya: "Musa, Musa!" dan ia
menjawab: "Ya, Allah. "
3:5 Lalu Ia berfirman: "Janganlah datang
dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari
kakimu, sebab tempat, di mana engkau
berdiri itu, adalah tanah yang kudus ."
3:6 Lagi Ia berfirman: "Akulah Allah
ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan
Allah Yakub. " Lalu Musa menutupi
20
ََ يا
َ
َ َ ُ َ ََ ََ ا
ٗك
ٗ ن ٗأناٗ ٗ َر ُّب
ٗ ِ ِ ٗإ١١ٗ وس
ِٗي ٗ ٗي ُم َ ى
ٗ فلمٗا ٗأت ٗىها ٗنود
َُ
َ
َ َ َ َ َ
ٗٗالمقد ِس
ك ٗبِا َلوا ِد
ٗ ك ٗإِن
ٗ فاخلع ٗنعلي
َ َ ُ َ
َََ
َ ُ َ
َ
وحٗى
ٗ ست ِمعٗ ٗل ِما ٗي
ٗ ك ٗفٗٱ
ٗ تت
ٗ خ
ٗ ٗوأنا ٗٱ١٢ٗ ُط ًوى
َ ُ َا
َ ََ ا
ََ ا
ٗن
ٗ ِ ٗل ٗإِلٗ َٗه ٗإِلٗ ٗأناٗ ٗفٗٱعٗ ُبد
ٗ نٗ ٗأنا ٗٱ
ٗ ٗ ّلل
ِ ٗإِن١٣
ََ
َ َ
ا
ٗ ١٤ٗي
ٗ وأق ِ ِٗمٗٱلصلوٗٗةٗ َِّلِكٗ ِر
y
mukanya, sebab ia takut memandang
Allah.
4:2 Tuhan berfirman kepadanya:
"Apakah yang di tanganmu itu?" Jawab
Musa: "Tongkat."
4:3 Firman Tuhan: "Lemparkanlah itu
ke tanah." Dan ketika dilemparkannya
ke tanah, maka tongkat itu menjadi
َ َ
َ َ
َ
َٗ ِ ٗ ال
ٗ ٗق١٧ٗ وس
ٗ َ ِك ٗ ٗي ُم
ٗ ك ٗب ِ َي ِمين
ٗ َو َما ٗت ِٗل
ٗه
ََ َ
ُّ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ
ٗ اي ٗأتوكؤاٗ ٗعليٗها ٗوأه
ٗٗش ٗبِها َٗع
ٗ عص
ُ ُ َ َ
َ َ
َ
َغ
َ
َ م ٗ َو
ٗال
ٗ ٗق١٨ٗ ٗب ٗأخٗرى
ٗ ِمار
ٔٗ ٗ لٗ ٗفِيها
ٗ
ن
ٗ
ِ
ِ
َ َ َ َ ََ
َ َ َ
َ
َ
ُ
َ
ٗ ِ ٗ ٗ ٗفألٗقىٗها ٗفإِذا١٩ٗ وس
ٗ ألٗقِها ٗ ٗيم
ٗٗه ٗحية
ular, sehingga Musa lari
meninggalkannya.
َ
ََ ََ َ ُ َ َ
َ ُ ُ َ
ٗ ال ٗخذٗها ٗو
ٗ ٗق٢٠ٗ ٗتسٗ َع
ٗيدها
ِل َٗتفٗ ٗسنع
4:4 Tetapi firman Tuhan kepada
Musa: "Ulurkanlah tanganmu dan
peganglah ekornya" Musa mengulurkan
tangannya, ditangkapnya ular itu, lalu
َ ُ َََ
ٗ ٢١ٗول
ٗ ِل
ٗ سِريتهاٗٱ
menjadi tongkat di tangannya
َ َ ََ َ َ ََ ُ َ
َ ا
ٗ ضممٗ ٗيد
ٗ ٗوٱ
ٗ ك ٗإِلٗ ٗجناح
ِٗك َٗتٗ ُرجٗ ٗ َبيٗضٗا َٗء
4:6 Lagi firman Tuhan kepadanya:
"Masukkanlah tanganmu ke dalam
bajumu." Dimasukkannya tangannya ke
dalam bajunya, dan setelah ditariknya
ُ ًَ
َ َ ُ
َ ٗ ٗمِنٗ ٗ َغريٗ ٗ ُس اٗوء
َ
ٗ ُِني
ٗ
٢٢
ٗ
ى
ٗ
ر
خ
ٗ
أ
ٗ
ٗ
ة
اي
ء
ٗٗك ٗمِن
ل
ِ
ِ
ُ
َ
ٗ ٢٣ٗبى
َٗ ايت ِ َناٗٱ ٗلك
ٗ َء
ke luar, maka tangannya kena kusta,
putih seperti salju.
4:7 Sesudah itu firman-Nya:
"Masukkanlah tanganmu kembali ke
dalam bajumu." Musa memasukkan
tangannya kembali ke dalam bajunya
dan setelah ditariknya ke luar, maka
tangan itu pulih kembali seperti seluruh
badannya.
21
Fragmen 2 yang bercerita tentang pengutusan Musa dan Harun kepada
Fir’aun dengan teks transformasi QS.Taha 42-56 dan Kitab Keluaran Pasal 3 ayat
7-10 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
KETERANGAN DALAM
KETERANGAN DALAM
KITAB KELUARAN PASAL 3:
Q.S. TAHA: (42-56)
(7-10)
(TEKS TRANSFORMASI)
(HIPOGRAM)
َ ََ
َ َ َ ُ ََ َ َ
َ
َ
ٗٗل ٗتنِيا ٗ ِف
ٗ ت ٗو
ٗ ِ اي
ٗ ٗ ٗوك ٗٗب ِأ
ٗ نت ٗوأخ
ٗ ٱ ٗذهبٗ ٗأ
3:10 Jadi sekarang, pergilah, Aku
mengutus engkau kepada Firaun
َ َ ا
َ َ
َ
٤٣ٗغ
ٗ نٗإِن ُٗهۥٗ َط
ٗ ٗٗٗٱ ٗذه َبٗاٗإِلٗٗف ِٗرعو٤٢ٗذِكٗ ِري
untuk membawa umat-Ku, orang
Israel, keluar dari Mesir.
3:7 Dan Tuhan berfirman: "Aku
telah
memperhatikan
dengan
kesengsaraan
umat-
sungguh
Ku di tanah Mesir, dan Aku telah
mendengar seruan mereka yang
disebabkan
pengerah
oleh
mereka,
pengerahya,
َ
َُ َا
َ
َ
َٗك ٗفَأَرٗسِلٗ ٗ َم َعنا
ٗ ِ ول ٗ َر يب
ٗ فأٗت َِي ٗاهُ ٗفقولٗ ٗإِنا ٗ َر ُس
َ ُ َ ا َى َ َ َ ُ َ ي
َ
ٗٗك ٗبٗ ِأايَة
ٗ ٗجئٗ َن
ٗ
ٗ
د
ٗ ِيل ٗو
ٗ سء
ٗ ِ ن ٗإ
ِٗ ب
ِ ل ٗتعذِبٗه ٗم ٗق
ََ َ
َ
ٗ ِ يمِنٗر يب
ٗ ٤٧ٗى
ٗنٗٱت َب َٗعٗٱٗل ُه َد ى
ِٗ َعٗ َم
ٗ ٗكٗ َٗوٱلس ٗل ُٗم
Aku
mengetahui penderitaan mereka.
3:8
Sebab
itu
Aku
telah
turun untuk melepaskan mereka
dari tangan orang Mesir dan
menuntun
mereka
keluar
dari
negeri itu ke suatu negeri
yang
baik dan luas, suatu negeri yang
berlimpah-limpah
madunya ,
susu
dan
ke tempat orang
Kanaan, orang Het, orang Amori,
orang Feris, orang Hewi
dan
22
orang Yebus.
3:9 Sekarang seruan orang Israel
telah sampai kepada-Ku; juga
telah Kulihat, betapa kerasnya
orang Mesir menindas mereka.
Fragmen 3 yang bercerita tentang adu sihir antara Musa dan tukang
sihirnya dengan teks transformasi QS.Taha 57-73 dan Kitab Keluaran Pasal 7
ayat 1-14 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
KETERANGAN DALAM
KETERANGAN DALAM
KITAB KELUARAN PASAL 7:
Q.S. TAHA: (57-73)
(1-14)
(TEKS TRANSFORMASI)
(HIPOGRAM)
7.9
"Apabila
Firaun
kepada kamu: Tunjukkanlah suatu
mujizat,
maka
kaukatakan
Ambillah
kepada
َ
َ َ َ َ
ِٗكٗت ٗلقفٗٗ َماٗ َص َن ُع اٗوٗاٗإِن َما
ٗ فٗي ِمين
ٗ ِ ٗقٗ َما
ِٗ َٗوأل
berkata
haruslah
Harun:
tongkatmu
َ
ُ
َ َ
ٗ َٗص َن ُعواٗٗك ٗي ُٗد
ٗث
ٗ ِٗحٗٱلساح ُِٗرٗ َحي
ُٗ لٗ ُيفٗل
ٗ حرٗٗ َو
ِ س
ََ
ٗ أ
٦٩ٗت
dan
lemparkanlah itu di depan Firaun.
Maka tongkat itu akan menjadi
ular."
7.10 Musa dan Harun pergi
menghadap Firaun, lalu mereka
berbuat
seperti
diperintahkan
yang
Tuhan;
Harun
melemparkan tongkatnya di depan
Firaun dan para pegawainya,
maka tongkat itu menjadi ular.
7:12
Masing-masing
melemparkan
mereka
tongkatnya,
dan
tongkat-tongkat itu menjadi ular;
23
tetapi tongkat Harun menelan
tongkat-tongkat mereka.
7:11
Kemudian
Firaun
memanggil orang-orang berilmu
dan
ahli-ahli
sihir;
dan
merekapun, ahli-ahli Mesir itu,
membuat yang demikian juga
dengan ilmu mantera mereka.
َ َ ُ َ َ َ َ َ
ُ َ
ٗ ه ٗذ ِنٗٗل
ٗانٗأن
ِٗ نٗي ِريد
ِٗ ٗحر
ٗ ٗن
ٗ ِ قال اٗواٗٗإ
ِ س
pun
َ ُ َ ُ ي
ُ
َٗكمٗبسِحٗره َِماٗ َو َيذٗ َهبا
ض
ٗ
ِ ي ِرجاكمٗمِنٗٗأۡر
ِ ِ
ُ ُ َ َ ُ ََ
َ
ُ َ
ٗ ب ِ َط ِريقتِك ُٗمٗٱٗل ُم ٗث
ٗجٗعواٗٗك ٗيدكمٗٗث ٗم
ِ ٗفأ٦٣ٗل
َ َ ََ ُ َ ي
َ َ
َ
َ
َ
َ
ٗ حٗٱ
ٗ ٱ ٗئتواٗٗصفٗاٗٗوقدٗٗأ ٗفل
٦٤ٗل
ٗ ٗستع
ٗ نٗٱ
ِٗ ّل ٗومٗٗم
Fragmen 4 yang bercerita tentang eksodus Musa bersama Bani Israil
dengan teks transformasi QS. Taha ayat 77-79 dan Kitab Keluaran pasal 15 ayat
1-19 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
24
KETERANGAN PADA KITAB
KETERANGAN DALAM
KELUARAN PASAL 15: (1-19)
Q.S. TAHA: (77-79)
(HIPOGRAM)
(TEKS TRANSFORMASI)
15:2
Tuhan
mazmurku,
itu
kekuatanku
Ia
telah
dan
menjadi
keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia
Allah bapaku, kuluhurkan Dia.
15:3 Tuhan itu pahlawan perang; Tuhan,
itulah nama-Nya.
15:19
Ketika
kuda
Firaun
َ َ َ ُ َ َََ َ َ َا
ٗٗس
ٗولقدٗ ٗأ ٗوحيٗنٗا ٗإِلٗ ٗم ى
ِ وس ٗأنٗ ٗأ
َ
َ
َ
ٗٗب ٗل ُهمٗ ٗ َط ِريقٗا ٗ ِف
ٗ ٗض
ٱ
ِ بِعِبادِي ٗ ٗف
َ
َ ُ َ َ
َٗ ٱ
ٗل
ٗ ف ٗد َركٗ ٗ َو
ٗ خ
ٗ لحٗ ِرٗ ٗيَبَسٗا ٗلٗ ٗت
dengan
keretanya dan orangnya yang berkuda
َ َ
ٗ َٗت
ٗ٧٧ٗش
telah masuk ke laut, maka Tuhan
membuat air laut berbalik meliputi
mereka, tetapi orang Israel berjalan di
tempat kering dari tengah-tengah laut.
15:4 Kereta Firaun dan pasukannya
dibuang-Nya
ke
dalam
laut;
para
perwiranya yang pilihan dibenamkan ke
dalam Laut Teberau.
15:5 Samudera raya menutupi mereka;
ke air yang dalam mereka tenggelam
ََ
ُ َ
ُ
ُ
َ
َ
ُ
ِ
ٗن ٗ ِِبنود ٗه ِۦ
ٗ فأتٗبعهمٗ ٗف ِٗرع ٗو
ََ
ٗ ِن ٗٱ
َٗ فغشِ َي ُهم ٗ يم
ّٗلَ ِيم�
PERSPEKTIF SEMIOTIKA RIFFATERRE
Oleh:
M. Firdaus Imaduddin
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Humaniora
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Isma Nida Aulia
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Humaniora
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
ABSTRAK
Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
mulia akhir zaman, Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril secara
mutawattir (berangsur-angsur) yang mengandung nilai-nilai normatif dan spiritual
untuk dijadikan pedoman bagi seluruh manusia. Al-Qur’an tidak hanya mengandung
berbagai hukum syari’at, akan tetapi juga mengandung kisah-kisah yang sangat luar
biasa. Diantaranya adalah kisah Musa dan Fir’aun yang terhimpun dalam berbagai surat
di Al-Qur’an salah satunya adalah dalam Q.S Taha. Kisah Musa dan Fir’aun memiliki
karakter yang istimewa karena kisahnya banyak disebutkan dalam Al Qur’an. Melalui
penelitian ini, peneliti memfokuskan terhadap kajian makna heuristik dan retroaktif
serta hipogram potensial dan aktual yang terkandung pada kisah Musa dan Fir’aun
dalam Q.S Taha. Adapun teori yang digunakan adalah teori semiotika Riffaterre. Teori
semiotika Riffaterre adalah salah satu teori yang mengkaji signifikasi (penandaan)
dalam sebuah karya sastra yang dalam hal ini diterapkan dalam qishash al qur’an. Teori
ini menguraikan tentang pembacaan sistem bahasa semiotika tingkat pertama atau
dikenal dengan pembacaan heuristik dan pembacaan sistem bahasa semiotika tingkat
kedua atau dikenal dengan pembacaan retroaktif. Melalui teori tersebut, peneliti dapat
mengungkap dan mendeskripsikan tanda-tanda dan proses signifikasinya antara ayat
satu dengan ayat lainnya sehingga kemudian akan memberikan makna (significance)
yang komprehensif. Penelitian ini menghasilkan beberapa data, antara lain; 1) Data
struktural kisah Musa dan Fir’aun melalui pembacaan heuristik yang kemudian
mendapatkan data tentang fragmen-fragmen kisah Musa dan Fir’aun dan definisi dari
ungkapan-ungkapan yang ada, 2) Penelitian menghasilkan signifikasi (penandaan)
makna kontekstual yang ada dalam rangkaian kisah Musa dan Fir’aun dalam Q.S.Taha
melalui pembacaan retroaktif, dan 3) penelitian ini mendapatkan data identifikasi
tentang hipogram potensial dan aktual dalam kisah.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Semiotika Riffaterre, Kisah, Signifikasi
1
PENDAHULUAN
Sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya bagi orang Islam, bahwa
al-Qur’an adalah kitab teologis sekaligus kitab suci yang berisi rangkaian kalamkalam Ilahi yang diturunkan kepada seorang Nabi agung akhir zaman,
Muhammad SAW, melalui perantara malaikat Jibril secara mutawattir (berangsurangsur), ayat demi ayat, surat demi surat, hingga pada akhirnya menjadi satu
kesatuan yang sempurna dan mengandung nilai-nilai normatif dan spiritual yang
dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk hidup seluruh umat manusia hingga
akhir zaman.1
Kitab suci al-Qur’an yang secara substansial memiliki akurasi tingkat
kebenaran kandungan dan legitimasi hukum yang kuat pada dasarnya berfungsi
sebagai pedoman dan petunjuk (hudan) hidup bagi seluruh manusia di dunia.
Pedoman
dan
petunjuk-petunjuk
itu
dipaparkan
dengan
prinsip-prinsip
fundamental yang kemudian melahirkan nilai-nilai hierarkis al-Qur’an. Nilai-nilai
tersebut secara umum dapat digolongkan menjadi; nilai-nilai yang wajib
(obligatory values) seperti konsep tauhid (keyakinan pada Tuhan, para malaikat,
para nabi, kitab-kitab, dan hari akhir), nilai-nilai fundamental (fundamental
values) seperti nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup perlindungan atas jiwa
seseorang, keluarga, atau harta benda, nilai-nilai perlindungan (protectional
values) seperti tindakan-tindakan larangan dan penerapan hukum yang sesuai,
nilai-nilai implementasi (implementational values) seperti ukuran spesifik potong
tangan bagi para pencuri, dan nilai-nilai instruksional (instructional values)
seperti larangan mengambil orang kafir sebagai teman karib dan perintah untuk
saling menyapa.2
Dalam upaya pendeskripsian nilai-nilai hierarkis tersebut, al-Qur’an
memiliki banyak keistimewaan yang sangat luar biasa. Dari aspek linguistik,
terdapat banyak keistimewaan yang tergambar dalam tataran sintaksis dan
morfologi yang menarik, baik dari segi nahwu maupun sharaf, 2) Dari aspek
semantik-pragmatik yang mengandung makna-makna filosofis dan hikmah yang
Emose Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al-Qur’an: Sejarah
yang Harus Dibaca, (Bandung: PT Karya Kita, 2009), hlm. 1
2
Abdullah Saeed, Al-Qur’an abad 21; Tafsir Konstekstual, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 110
1
2
tinggi, 3) Aspek stilistika yang mengandung ungkapan-ungkaan kebahasaan yang
indah dan teratur seperti dari aspek saja’ dan qafiyah (kesamaan bunyi akhir di
setiap kata), dari aspek fonetik yang unik di setiap huruf per huruf, kata per kata,
dan kalimat per kalimat dan 4) Dari aspek semiotika yang mengandung simbolsimbol kebahasaan yang tersembunyi.
Tidak hanya dalam aspek linguistik, dari segi teknik penyampaian, alQur’an juga menggunakan varian cara atau metode yang begitu menarik dan tidak
pernah membuat bosan manusia untuk mengkajinya, di antaranya adalah metode
penuturan langsung secara eksplisit dari Allah SWT melalui kata perintah, ajakan,
peringatan, dan penuturan secara implisit yang disampaikan melalui kisah-kisah
dalam al-Qur’an.3
Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan salah satu media yang sangat
menarik untuk menyampaikan kaidah-kaidah dan nilai-nilai hierarkis al-Qur’an.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an sangat istimewa dan memiliki tingkat ketajaman
sastra yang tinggi. Setiap kisah di dalamnya mengandung nilai dan tujuan yang
amat mulia. Kisah-kisah tersebut meliputi berbagai pokok persoalan yang
bermanfaat dalam membentuk karakter dan moralitas yang baik. Allah
menyampaikan kisah-kisah tersebut untuk dijadikan petunjuk dan pedoman bagi
umat manusia dalam berakhlak dan berperilaku yang terpuji. Sang Penutur kisah
bermaksud menyeru pembaca untuk menapaki jalan keimanan yang benar, akhlak
yang mulia, dan ilmu yang bermanfaat. Semua itu dituturkan dengan gaya bahasa
yang indah dan memesona banyak orang.4
Dalam kisah al-Qur’an, penyampaian nilai-nilai itu tentunya tidak
disampaikan secara eksplisit yang langsung bisa dipahami dengan mudah, karena
kisah-kisah dalam al-Qur’an terdiri dari fragmen-fragmen, tokoh-tokoh, dan
peristiwa-peristiwa
yang
mengandung
makna-makna
tersembunyi
dan
perumpamaan-perumpamaan yang harus diungkap dan dianalisis terlebih dahulu
dengan pembacaan-pembacaan yang mendalam. Proses penceritaan kisah dalam
3
Seperti perintah menjalankan Shalat dalam QS. Al-Baqarah: 43, dan kisah Nabi Yusuf AS yang
diceritakan dalam al-Qur’an di surat Yusuf.
4
Ahmad Jadul Mawla dan Abu al-Fadhl Ibrahim, Kisah-Kisah Al-Quran, (Jakarta: Zaman, 2009),
hlm. 10
3
al-Qur’an pun tidak semuanya runtut dan kronologis mulai awal hingga akhir,
melainkan juga ada banyak kisah yang terpisah satu sama lain dan tidak
berurutan. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat esensi al-Qur’an menjadi
berkurang tapi justru menjadikannya penuh dengan unsur-unsur sastra, nilai
filosofis dan mukjizat yang dahsyat, seperti kisah Musa dan Fir’aun, kisah
Ibrahim dan Ismail, kisah Maryam, dan lain-lain.5
Dari beberapa kisah dalam al-Qur’an, kisah Musa dan Fir’aun merupakan
salah satu kisah yang sangat istimewa dan memiliki karakteristik yang menarik
dan luar biasa diantaranya adalah menjadi kisah terpanjang di antara kisah-kisah
yang lain dalam al-Qur’an seperti, kisah Yusuf AS, Sulaiman AS, Maryam,
Ibrahim AS, dan lain-lain.6 Kisah Musa dan Fir’aun mengandung pesan spiritual
dan pendidikan khususnya kepemimpinan bagi manusia, seperti kebenaran
mu’jizat Allah SWT dalam menaklukan sihir-sihir Fir’aun dengan tongkat yang
dibawa oleh Nabi Musa AS7, mu’jizat membelah Laut Merah yang sangat luas
kemudian mengembalikannya lagi seperti sediakala8, keberanian Musa dalam
menentang kejahatan yang dilakukan oleh kaum Fir’aun terhadap kaum Ibrani dan
keberaniannya dalam membebaskan kaum Ibrani dari penindasan raja yang
dzalim9 dan lain sebagainya.
5
Ahmad Jadul Mawla dan Abu al-Fadhl Ibrahim, Kisah-Kisah Al-Quran,hlm. 11
Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap kisah-kisah populer di Al-Qur’an, bahwa kisah Yusuf
diceritakan sebanyak 26 kali dalam QS. Al-An’am: 84, QS. Yusuf: 4, 7, 8, 9, 10, 11, 17, 21, 29,
46, 51, 56, 58, 69, 76, 97, 80, 84, 85, 87, 89, 90, 94, 99, dan QS. Ghafir: 34, kisah Sulaiman
diceritakan sebanyak 16 kali dalam QS. Al-Baqarah: 102, QS. An-Nisa: 163, QS. Al-An’am: 84,
QS. Al-Anbiya’: 78, 79, 81, QS. An-Naml: 15, 16, 17, 18, 30, 36, 44, QS. Saba’: 12, QS. Saad, 30,
34), kisah Ibrahim diceritakan 63 kali dalam QS. Al-Baqarah: 124, 125, 126, 127, 130, 132, 133,
135, 146, 140, 258, 260, QS. Al- ‘Imran: 33, 65, 67, 68, 84, 95, 97, QS. An-Nisa’: 54, 125, 163,
QS. Al- An’am: 74, 75, 83, 101, QS. At-Taubah: 70, 114, QS. Hud: 69, 74, 75, 76, QS. Yusuf: 6,
38, QS. Ibrahim: 35, QS. Al-Hijr: 51, QS. An-Nahl: 120, 123, QS. Maryam, 41, 46, 58, QS. AlAnbiya’: 60, 62, 69, QS. Al-Hajj: 26, 43, 78, QS. As-Syuara’: 69, QS. Al- ‘Ankabut: 16, 31, QS.
Al-Ahzab: 7, QS. As-Saffat: 83, 104, 109, QS. Saad: 45, QS. As-Syura: 13, QS. Az-Zukhruf: 26,
QS. Al-Dzariyat: 24, QS. An-Najm: 37, QS. Al-Hadid: 26, QS. Al-Mumtahanah: 4, dan QS. AlA’la: 19, kisah Musa dan Fir’aun diceritakan sebanyak 267 kali dalam QS. Al-Qashas: 3-22, 2844, QS. Taha: 9, -73, 77-79, QS. An-Naml: 7-14, QS. Ghafir: 23- 27, 36, 37, 53, QS. AlMu’minun: 45-49, QS. As-Syua’ra’: 10-51, QS. Al-A’raf: 103-126, QS. Az-Zukhruf: 46-49, 55,
56, QS. Yunus: 75-92, QS. Hud: 96-99, QS. Adz-Dzariyat: 38, 39, 40, QS. Al-Isra’: 101-104, QS.
Ad-Dukhan: 22-24, QS. An-Naziyat: 15-26.
7
Lihat terjemahan QS. Al-A’raf: 107, QS. An-Naml: 10, QS. Al-Qashas: 31, QS. As-Syu’ara: 32,
45
8
Lihat terjemahan QS. Al- As-Syu’ara’: 63
9
Lihat terjemahan QS. Al-Qashas: 15
6
4
Salah satu surat yang mengandung kisah Musa dan Fir’aun adalah
Q.S.Taha. Jika ditinjau dari segi linguistik, kisah Musa dan Fir’aun dalam surat
Taha ini mengandung banyak simbol-simbol kebahasaan seperti, kalimat anastu
naaron dalam surat Taha ayat 9 yang memiliki arti leksikal melihat api, tapi
kemudian setelah dipahami secara mendalam kalimat anastu naron memiliki arti
melihat cahaya Allah yang membawa keberkahan.10
Kalimat
anastu
naaron secara heuristik sebagai penanda yang secara retroaktif menunjukkan
petanda adanya cahaya Allah yang memberi mu’jizat kepada Musa sebelum
diangkat menjadi Nabi. Kemudian, ungkapan simbolik Musa yang dibuang ke
sungai Nil agar diambil oleh Fir’aun menjadi penanda atas petanda akan sebuah
peringatan dan keselamatan bagi Bani Israel11 dan peristiwa eksodus kaum Ibrani
dari Mesir yang jika dibaca dengan sistem semiotika menghasilkan konsep sebuah
pembebasan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Dalam kaitannya al-Qur’an
yang mengandung bahasa-bahasa simbol dan pengungkapannya memerlukan
pembacaan-pembaccan dalam tataran tertentu, maka diperlukan teori atau metode
khusus untuk mengungkap dan menganalisis bahasa-bahasa simbolik tersebut
hingga diperoleh pemahaman-pemahaman yang benar dan sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh al-Qur’an.
Dari sekian teori yang dapat digunakan dalam mengungkap struktur teks,
menurut hemat peneliti, teori semiotika Riffaterre adalah teori yang sangat cocok
dan relevan untuk mengungkap makna-makna simbol yang terkandung dalam
rangkaian teks. Walaupun sesungguhnya teori ini awalnya diciptakan untuk
mengkaji puisi, namun peneliti tidak meragukan bahwa teori ini juga mampu
digunakan untuk mengkaji sebuah teks sastra, khususnya kisah Musa dan Fir’aun
yang ada dalam al-Qur’an
Melalui konsepnya, terutama tentang pembacaan heuristik dan retroaktif
serta identifikasi hipogram potensial dan aktualnya, teori ini sangat mampu
diaplikasikan untuk mengungkap dan menganalisis kisah Musa dan Fir’aun yang
mengandung bahasa-bahasa simbol dan mampu memberikan interpretasi10
11
Lihat terjemahan QS. An-Naml: 7 dan Tafsir Al-Qurthubi hlm.451
Lihat terjemahan QS. Al-Qashas: 7
5
interpretasi yang komprehensif. Pembacaan heuristik sendiri merupakan
pembacaan linguistik tingkat pertama secara tekstual yang dilakukan terhadap
sejumlah teks yang kemudian menghasilkan sebuah kerangka pemikiran tertentu.
Dalam hal ini pembacaan heuristik yang dilakukan dalam kisah al-Qur’an
akan menghasilkan struktur cerita yang terhimpun dalam fragmen-fragmen atau
episode-episode yang kemudian dalam teori semiotika Riffaterre dapat dipahami
sebagai hipogram potensial sebuah teks serta menghasilkan pemaparan arti-arti
leksikal dari beberapa ayat yang terkandung. Sedangkan pembacaan retroaktif
merupakan upaya untuk menganalisis bahasa simbol dengan menghasilkan
interpretasi-interpretasi yang mengarah pada signifikasi12 (makna kontekstual)
dan pesan-pesan yang terkandung atas bahasa-bahasa simbol yang ada dalam
kisah Musa dan Fir’aun. Dalam upaya untuk memperkuat analisis, di akhir
penelitian juga akan dipaparkan mengenai hasil identifikasi hipogram potensial
dan aktual dari kisah Musa dan Fir’aun tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti sangat tertarik untuk
mengkaji kisah Musa dan Fir’aun dalam Q.S.Taha dengan menggunakan teori
semiotika Riffaterre karena teori semiotika ini secara komprehensif sangat tepat
dalam menguraikan tentang pembacaan teks melalui pembacaan heuristik dan
retroaktif yang kemudian menghasilkan interpretasi-interpretasi bahasa simbol
yang mengarah pada pengungkapan makna dan pesan dalam kisah tersebut.
PENGERTIAN KISAH
Secara etimologi kata kisah berasal dari kata
terbentuk dari fi’il
قصة-يقص-قص
قصة
yang berarti bercerita. Term
(qishshah) yang
قص
juga berarti
mencari atau mengikuti jejak. Kisah juga berarti fragmen atau potongan-potongan
Dalam bukunya Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, Wildan Taufik (2016:121)
menjelaskan bahwa dalam teori semiotika Riffaterre ada istilah meaning (mengacu pada arti secara
tekstual atau sesuai dengan konvensi linguistik) dan significance (mengacu pada makna secara
konstekstual atau sesuai dengan konvensi sastra).
12
6
berita, tokoh-tokoh atau umat terdahulu yang dimuat dalam al-Qur’an.13 Kata قصة
pula berarti menelusuri atsar (jejak) seperti dalam firman Allah SWT:
ِ َ َق
ك َما
َ ال ٰذل
ِ
صا
ًص
َ َ ُكنَّا نَْب ِغ ۚ فَ ْارتَدَّا َعلَ ٰٰٓى ءَا ََث ِرِهَا قlalu Musa AS berkata: “itulah tempat yang kita
cari”, lalu keduanya mengikuti jejak mereka semula”. 14
Sedangkan secara terminologi,
terdapat
banyak pengertian
yang
dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya adalah Manna al-Qattan, Ahmad
Syadali dan As-Shiddiqie. Menurut Manna al-Qattan, kisah adalah pemberitaan
mengenai umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu dan peristiwa yang pernah terjadi.15
Ahmad Syadali mengemukakan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para
nabi dan rasul mereka, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu, masa
kini, dan masa yang akan datang.16 Menurut Assiddiqie, kisah al-Qur’an adalah
kabar-kabar dalam al-Qur’an yang menceritakan tentang keadaan-keadaan umat
yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi.17
TUJUAN DAN KARAKTERISTIK KISAH AL-QUR’AN
Karakteristik kisah al-Qur’an sangat menarik dan berbeda dengan cerita
dan dongeng pada umumnya. Karakteristik yang dimaksud antara lain:
1. Gaya bahasanya indah, menarik, mempesona, dan sederhana, sehingga
mudah dipahami dan mampu mengundang rasa pensaran para pembaca
untuk mengetahui secara lengkap.18
2. Materinya bersifat universal, sesuai dengan perkembangan kehidupan
manusia dari masa ke masa, sehingga mampu menggungah hati pembaca
di setiap masa.19
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119), hlm. 102.
QS. Al-Kahfi ayat 64 .
15
Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyura al- ‘Asr al-Hadist, 1973),
hlm. 405.
16
Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 27.
17
As-Shiddieqe dan T.M. Hasbi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 176.
18
Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 239.
13
14
7
3. Materinya hidup, aktual, mampu menerangi jalan menuju masa depan
yang cemerlang, tidak membosankan, dan mampu menggugah emosi
pembaca.20
4. Kebenarannya dapat dibuktikan secara filosofis dan ilmiah melalui buktibukti sejarah.
5. Penyajiannya tidak pernah lepas dari dialog yang dinamis dan rasional
sehingga merangsang pembaca untuk berfikir.
Selain itu, bahwasanya gaya bahasa kisah al-Qur’an sejalan dengan
keadaan jiwa Nabi Muhammad SAW, bukan sesuai dengan keadaan orang-orang
yang sedang berdialog dengannya. Hal ini karena keadaan jiwa Rasulullah SAW
sama dengan keadaan jiwa para rasul sebelumnya.21
Sedangkan tujuan kisah al-Qur’an menurut Nashruddin Baidan adalah
menjadi bukti yang kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai
dengan kondisi mereka dan merealisasikan tujuan umum yang dibawa oleh alQur’an untuk menyeru dan memberi petunjuk kepada manusa ke jalan yang benar.
Agar mereka mereka selamat di dunia dan di akhirat.22 Sayyid Muhammad Alwi
al-Maliki mengemukakan bahwa kisah dalam al-Qur’an memiliki tujuan yang
tinggi yaitu menanamkan nasihat dan pelajar yang diambil dari peristiwa masa
lalu.23 Menurut Khalafullah, tujuan dari kisah-kisah al-Qur’an adalah tidak lain
untuk menimbulkan efek, kesan, dan pengaruh yang dibuat dalam rangka untuk
mempengaruhi jiwa orang-orang yang sedang mendengarkan al-Qur’an dan hal
ini dipancarkan melalui setiap kata yang berada dalam makna kedua yakni makna
sastranya. Ia berpendapat bahwa sesunguhnya al-Qur’an tidak bermaksud
menceritakan realitas sejarah atau menginformasikan berita akan tetapi al-Qur’an
19
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 175.
Salah al-Khalidi, Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-Orang Terdahulu, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 301-327.
21
Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna,
1984), hlm. 53.
22
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 230.
23
Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2001), hlm. 46.
20
8
pada dasarnya bermaksud untuk memberikan efek psikologis kepada yang
mendengarkannya.24
KONSEP SEMIOTIKA RIFFATERRE
Semiotika Riffaterre pada mulanya muncul atas penolakan terhadap
semiotika Jakobson. Dalam analisisnya, Jakobson hanya memperlihatkan aspek
linguistik dalam pengertiannya terbatas dan mengabaikan aspek-aspek lain,
seperti aspek pragmatik dan ekpresif dimana peran pembaca dan penulis bisa
diungkap. Jakonson juga meremehkan aspek referensial sehingga mengakibatkan
hilangnya relevansi sosial karya sastra dan sastra menjadi esuatu yang tergantung
di awang-awang.25
Menurut Riffaterre, yang menentukan apakah sajak (puisi) bagus atau
tidak adalah si pembaca sajak, bukan seorang linguis (ahli bahasa) yang
menganalisis sajak tersebut. Dengan segala pengalaman pembaca yang ia miliki,
pembaca mampu menentukan kualitas sebuah sajak termasuk di dalamnya hal-hal
yang relevan serta fungsi puitis sebuah sajak.26
Menurutnya, peneliti (linguis) harus membina semacam super reader
sebagai sarana (instrument) analisis puisi. Super reader adalah gabungan semua
respon terhadap puisi yang dikumpulkan selama terlepas dari unsur-unsur
subjektivitas di luar tindak komunikasi. Kemudian, Riffaterre mengemukakan
pendekatan semiotika yang menitikberatkan adanya urgensitas pertentangan
antara meaning (arti) dan significance (makna). Dalam pembacaan puisi, meaning
atau fungsi referensialnya harus ditingkatkan menjadi significance bersadarkan
interpretasi pertentangan atau penyimpangan dari arti mimetik yang kita temukan,
antara lain atas dasar kemampuan kita membaca puisi.27
Menurut Riffaterre dalam bukunya The Semiotics of Poetry, ada empat
paradigma dasar yang digunakan dalam semiotika Riffaterre yang pada dasarnya
24
Muhamad A Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah: Seni, Sastra, dan Moralitas dalam
Kisah-kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 347
25
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 79-80.
26
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, hlm. 80.
27
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, hlm. 81.
9
berangkat dari evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode
ke periode, antara lain; 1) konsep ketidaklangsungan ekspresi, 2) konsep
pembacaan heuristik dan retroaktif, 3) konsep matriks, model, dan varian, 4)
konsep hubungan intertekstualitas (hipogrram).28
1. Konvensi Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre, disebabkan oleh
tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Pertama, penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan
metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini
dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Hal ini
disebabkan pentingnya metafora dan metonimi sebagai bahasa kiasan
hingga digunakan untuk mengganti kiasan lainnya, seperti simile
(perbandingan), personifikasi, sinkedode, perbandingan epos, dan alegori.
Kedua, penyimpangan arti yang sebagaimana dikemukakan Riffaterre
disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense.
Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra yang bermakna ganda, terlebih
lagi bahasa puisi. Kontradiksi berarti mengandung pertenatangan yang
disebabkan oleh paradoks dan ironi. Nonsense merupakan kata-kata yang
secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya rangkaian bunyi dan
tidak terdapat dalam kamus. Ketiga, penciptaan arti merupakan konvensi
kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra).29
2. Pembacaan Heuristik dan Retroaktif
Konsep dasar kedua yang dikemukakan Riffaterre adalah konsep
pembacaan heuristik
dan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah
pembacaan mimetik berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat
pertama. Sebagai ekspresi bahasa, puisi atau teks prosa hanya dapat
28
Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 6.
29
Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, (Bandung: Yrama Wedia, 2016),
hlm. 121-126.
10
dipahami apabila pembacanya menguasai konvensi bahasa. Pembacaan
heuristik pada dasarnya merupakan interpretasi tahap pertama yang
bergerak dari awal hingga akhir teks sastra, dari atas ke bawah mengikuti
rangkaian sintagmatik. Pada pembacaan pertama ini akan menghasilkan
serangkaian arti yang bersifat heterogen.30 Analisis ini menitikberatkan
pada aspek linguistik dan hubungan antar unsur untuk mencari makna
semiotik tingkat pertama. Analisis linguistik ditekankan pada morfologi,
sintaksis maupun semantik sebagai tiga diantara empat elemen dasar
linguistik.31
Pembacaan heuristik pada sajak dan prosa pastilah berbeda
meskipun pada prinsipnya sama. Hal ini disebabkan prosa atau cerita
pendek bahasanya tidak begitu menyimpang dari tata bahasa baku.
Pembacaan heuristik prosa adalah pembacaan pada tata bahasa ceritanya,
yaitu pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Untuk
mempermudah, pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis cerita.
Pada tahap pembacaan heuristik, pembaca masih mengalami hambatan
dan kesulitan dalam memaknai teks dan memerlukan untuk pembacaan
yang lebih mendalam yaitu pembacaan retroaktif atau hermeneutik.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, maka pembacaan heuristik
dapat dilakukan dengan menambahkan definisi-definisi setiap kata secara
tekstual tanpa memberikan interpretasi secara mendalam. Dalam istilah
linguistik arab, heuristik disebut dengan
ِ -كشف
يكشف
استكشايفyang berasal dari lafadz
yang memiliki arti menyingkap sesuatu yang asalnya
tertutup. Hemat penulis, heuristik adalah proses pembacaan yang
mengungkap makna linguistik mencakup didalamnya makna leksikal,
sintaksis, semantis dan morfologi. Setiap kata didefinisikan dengan
menambahkan keterangan yang bersumber dari beberapa kamus yang
30
Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 7.
31
Moh. Ali Wasik, Master Thesis: “Kisah Ashabul Kahfi dalam al-Qur’an: Kajian Semiotika”
(Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017), hlm 59.
11
berkaitan dengan kosa-kata al-Qur’an seperti, kamus al-Mufahras li alFadh al-Qur’an, kamus al-Munjid, dan Lisan al-Arab. Misalnya, contoh
kata quraisy dalam surat Quraisy ayat 1, didefinisikan dengan ismun lil
qobail al- ‘arabiyah min walad an-nadlar bin kinanah (sebuah nama dari
kabilah Arab dari keturunan an-nadlar putra kinanah).32
Akan tetapi, pembacaan atas dasar konvensi bahasa itu yang oleh
Riffaterre disebut sebagai pembacaan heuristik tidaklah cukup untuk
memahami
makna teks
yang sesungguhnya. Untuk memperoleh
pemaknaan yang mendalam dan komprehensif, maka diperlukan
pembacaan pada sistem bahasa kedua yakni yang disebut pembacaan
retroaktif.
Pembacaan retroaktif dilakukan berdasarkan sistem semiotika
tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Dalam istilah
linguistik arab, retroaktif disebut dengan
يرجع-رجع
اسرتجاعي
yang berasal dari kata
yang berarti mendapatkan kembali. Menurut hemat penulis,
retroaktif adalah pembacaan dengan memadukan pemahaman pembaca
pada tingkat kedua untuk memperoleh kembali makna yang dikehendaki
oleh penulis. Pada tahap ini, pembaca melibatkan kompetensi kesusateraan
yakni familiaritas pembaca pada sistem deskriptif, tema-tema, mitologimitologi masyarakat, dan terutama sekali dengan teks-teks lain.
Pembacaan hermeneutik ini juga bisa dilakukan secara struktural, yaitu
bergerak secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali ke
bagian dan seterusnya.33 Dengan kata lain, pembaca menyimak teks,
mengingat apa yang telah dibacanya melalui tahap pertama, dan
memodifikasi pemahaman tersebut berdasarkan apa yang dipahami dalam
pembacaan tahap kedua. Pembaca melangkah dari awal ke akhir teks,
melakukan peninjauan ulang, revisi, evaluasi, dan komparasi sampai
32
33
Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, hlm. 136.
Faruk, “Aku” dalam Semiotika Riffaterre, Jurnal Humaniora, Vol. 3, Tahun. 1996, hlm. 29.
12
menemukan invarian atau matriks yang juga mengarahkan kepada
signifikasi puisi atau prosa.
Pada
tahap
pembacaan
ini,
menurut
Riffaterre,
pembaca
mengaplikasikan dekoding struktural karena teks sebenarnya merupakan
variasi dari sebuah struktur dan relasi varian-variannya kemudian
membentuk kesatuan makna (signifikasi). Efek maksimal pembacaan
retroaktif sebagai generator sistem pemaknaan hadir pada bagian akhir.
Artinya, teks harus dilihat secara menyeluruh, bukan bagian per bagian.
Dari sini semakin jelas perbedaaanya bahwa teks sebagai suatu kesatuan
struktur “unit signifikasi” (unit of significance), sedangkan satuan
linguistik berupa kata-kata, frasa, serta kalimat yang menyusun teks itu
merupakan “unit-unit arti” (unit of meaning).34
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an sendiri, maka pembacaan
retroaktif dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa referensi pijakan.
Artinya, pada tahap ini peneliti dapat menghimpun dan membandingkan
beberapa kitab tafsir para ahli kemudian baru menambahkan interpretasi
peneliti terhadap ayat-ayat simbolik yang ada dalam al-Qur’an. Dari
tindakan itu nantinya akan diperoleh interpretasi yang holistik dan
terpercaya.
3. Matriks, Model, dan varian
Konsep dasar ketiga yang menurut Riffaterre dinamakan dengan
matriks, model dan varian. Dengan mengutip penjelasan lain bahwa karya
sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal
yang harfiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak
harfiah. Matriks adalah kata kunci atau intisari dari serangkaian teks.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai
aktulalisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal
ini tidak pernah muncul di dalam teks.
Matriks diaktualisasikan primer atau pertama, yang disebut sebagai
model. Ciri utama model adalah sifat puitisnya. Jadi, jika matriks
34
Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, hlm. 5-6.
13
merupakan motor penggerak derivasi tekstual, maka model adalah
pembatas derivasi tersebut. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih
sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan
motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata-cara
pemerolehan atau pengembangannya.35
4. Hubungan Intertekstual (Hipogram)
Selain matriks, model, dan varian, yang harus diperhatikan dalam
memahami makna adalah hipogram. Konsep dasar keempat menurut
Riffaterre adalah penunjukkan teks ke teks lain atau disebut hubungan
intertekstual (hipogram). Hipogram adalah teks yang menjadi latar
belakang penciptaan sebuah teks baru. Hipogram merupakan landasan bagi
penciptaan karya sastra yang baru.
Menurut Julia Kristeva, bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra,
merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta
transformasi teks ke teks lain. Secara khusus, ada teks tertentu yang
menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra yang oleh Riffaterre disebut
hipogram, sedangkan teks yang menyerap dan mentrasnformasikan
hipogram itu dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan
makna
hakiki
membandingkan,
tersebut,
digunakan
menjajarkan,
dan
metode
intertekstual,
mengontraskan
sebuah
yaitu
teks
transformasi dengan hipogram-nya.36
Riffaterre mengemukakan bahwa interpretasi yang tepat dan
komprehensif mengenai teks karya sastra (puisi) dimungkingkan hanya
oleh interteks. Puisi membawa makna hanya dengan mereferensi dari teks
ke teks. Riffaterre pula menegaskan bahwa proses interpretasi berlangsung
dalam pikiran pembaca. Pembaca merupakan agen pertama untuk
mengadakan hubungan antara teks, interpretan, dan interteks. 37 Riffaterre
35
Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, hlm. 21.
Wildan Taufik, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, hlm. 129..
37
Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, (Amerika: Indiana University Press, 1978), hlm.
164.
36
14
mengemukakan bahwa hipogram itu ada dua macam; yaitu hipogram
potensial dan hipogram aktual.38
Hipogram potensial tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus
diabstaksikan dari teks. Hipogram potensial itu adalah matriks yang
merupakan inti teks atau kata kunci. Dapat berupa satu kata, frase, atau
kalimat sederhana. Transformasi pertama matriks atau hipogram potensial
adalah model, kemudian ditransformasikan menjadi varian-varian.
Hipogram potensial terwujud dalam segala bentuk aplikasi makna
kebahasaan, baik yang berupa presuposisi, maupun sistem deskriptif atau
kelompok asosiasi konvensional. Sedangkan hipogram aktual dapat berupa
teks nyata, kata, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks dan terwujuddalam
teks yang ada sebelumnya, baik berupa mitos, maupun karya sastra
lainnya.39
Dari sekian konsep yang dikemukakan oleh Rifattere dalam
bukunya The Semiotics of Poetry, peneliti dalam hal ini hanya mengambil
dua konsep yang digunakan untuk mengkaji kisah Musa dan Fir’aun dalam
QS. Taha di atas, yaitu konsep pembacaan heuristik dan retroaktif, dan
konsep hipogram potensial dan aktual. Peneliti tidak mengambil semua
konsep karena peneliti yakin bahwa sebuah prosa atau teks sastra selain
puisi dapat dikaji cukup dengan menggunakan dua konsep tersebut.
Namun, tidak menutup kemungkinan dalam poin hipogram potensial dan
aktual nantinya terdapat penjelasan mengenai matriks, model, dan varianvarian. Karena seperti pemaparan di atas, konsep hipogram dan matriks,
model, dan varian adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA
Pada pembacaan heuristik terhadap kisah Musa dan Fir’aun yang
menitikberatkan pada struktur linguistik– unsur sintaksis, morfologi dan semantik
38
Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotika Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2017), hlm. 7
39
Michael Riffaterre, The Semiotics of Poetry, hlm. 23
15
– diperoleh empat fragmen utama. Fragmen pertama secara heuristik berbicara
tentang Musa memperoleh sakralitas wahyu dari Allah SWT di bukit Tuwa (Sinai)
yang ditandai dengan proses penganugerahan mu’jizat tongkat dan cahaya terang
dari celah lengan bajunya. Fragmen kedua berbicara tentang perintah Allah SWT
mengutus Musa kepada raja yang dzalim Fir’aun yang dzalim, dalam rangka
untuk membebaskan Bani Israel dari penindasan. Fragmen ketiga berbicara
tentang adu sihir yang terjadi antara tukang sihir Fir’aun dengan sihir (mu’jizat)
Musa yang diakhiri dengan pembuktian akurasi kedahsyatan mu’jizat Musa.
Fragmen keempat berbicara tentang peristiwa eksodus (hiijrah) Musa dan Bani
Israel dari Mesir ke daerah asal yang disertai di dalamnya bukti keagungan kuasa
Allah SWT dalam membelah laut Merah.
Pada pembacaan rektroaktif terhadap empat fragmen kisah Musa dan
Fir’aun dalam Q.S. Taha, diperoleh beberapa siknifikasi makna kontekstual yang
terhimpun dalam empat fragmen; fragmen pertama tentang transendensi wahyu
kepada Musa, peneliti mendapatkan beberapa makna kontekstual yang terhimpun
َ
dalam tiga sekuen. Pertama, kata نارٗاadalah cahaya spiritual yang menjadi tanda
َ َ َ
َ
َ
kewahyuan Musa. Kedua, ungkapan ك
ٗ ٗخلعٗ ٗنعٗلي
ٗ ٗفٱadalah menanggalkan atribut
َ ُ َ
ََ
keduniaan ketika berinteraksi dengan Allah SWT. Ketiga, ungkapan ٗ ك
ٗ تت
ٗ َٗوأنا ٗٱخ
ٗفَٱسٗ َت ِمعٗ ٗل َِما ٗيُ َ ىmengindikasikan akurasi pemilihan Musa sebagai pembawa
ٗ ٗوح
wahyu Allah dan etika dalam mendengar. Keempat, ungkapan
dan
ََ
َ ََ َا َ َ ا
َ َ
ُ
ٗ ِ لٗ ٗإ ِ ٗل ٗه ٗإ
ل ٗأناٗ ٗفٗٱعٗبدٗ ِنٗ وأق ِ ِمٗ ٗٱلصلوٗٗة
ََ
إِنٗ ٗٱلساع ٗة ٗ َءات َِي ٗة
mengindikasikan perintah dalam
melaksanakan ajaran-ajaran spiritual; monoteisme (tauhid), shalat, dan hari
kiamat. Kelima, pemberian tongkat yang luar biasa kepada Musa sebagai bukti
kenabiannya. Keenam, berubahnya karakter dan penampilan tongkat menjadi
seekor ular yang gesit dan berbahaya sebagai pengantar bukti mu’jizat pertama.
16
Ketujuh cahaya terang yang keluar dari sela baju Musa sebagai pengantar bukti
mu’jizat kedua yang Allah anugerahkan kepada Musa.
Fragmen kedua tentang pengutusan Musa kepada Fir’aun ini, peneliti
dapat mengambil beberapa makna kontekstual yang terdapat dalam empat sekuen
kisah. Pertama, sebuah strategi dakwah yang teraktualisasi dalam nilai
fundamental
َ َُ َ ُ َ
ٗ ٗ ول
ٗ )فق
)لۥ ٗق ٗولٗ ٗ يّل ِٗنا
pada pengutusan Musa dan Harus kepada
Fir’aun. Kedua, konsep satu kesatuan tentang pertolongan, bantuan, dan kekuatan
Allah dalam segala bentuk kesulitan dan ketakutan. Ketiga, nilai fundamental
tentang pengingkaran terhadap karakter Fir’aun yang begitu angkuh dan
melampaui batas.
Fragmen ketiga tentang adu sihir antara Musa dan Fir’aun, maka peniliti
َ َ
memperoleh beberapa makna kontekstual. Pertama, kalimat pertanyaan (ٗ ال
ٗ ق
َ
َ َ
َ )أَجئٗتَ َنا ِٗلِ ُخٗر َج
وس
ٗ َ ك ٗ ٗي ُم
ٗ ض َنا ٗبِسِ حٗ ِر
ۡر
أ
ٗ
ِن
ٗ
م
ٗ
ا
ن
ِ
ِ
ِ
mengindikasikan sebuah penetapan
(itsbat) serta karakter buruk (su’udzan) Fir’aun. Kedua, ungkapan
ََ َُ َ َ ُ َ َ
َ
ٗ ٗ ٗتوا
ٗويٗلكمٗ ٗلٗ ٗتف
ٗ َع ٗٱّللٗ ِ ٗكذِبٗا
َ َ َ
ٗ وس
ٗ َ ال ٗل ُهم ٗ ُّم
ٗ ق
merupakan ultimatum Musa yang bersifat
menakut-nakuti (at-takhwif) agar para tukang sihir mengundurkan niat mereka
dan tidak menyerang Musa. Ketiga, kata
ُ
ٗح َِبال
yang mengandung makna
kelenturan, kelembutan, elastis, dan mudah dibentuk merepresentasikan sebuah
kelicikan Fir’aun yang pandai membolak-balikkan fakta, merubah suatu
kebenaran menjadi buah fitnah, dan sebagainya dan kata
ُّ ِ ع
ِٗص
mengandung
َ َ َ َ ُّ
َ ُ َ
ٗ ٗك
ٗ قالواٗٗلنٗن ٗؤٗث ِر
makna kekuatan atau kekuasan yang besar. Keempat, ungkapan َٗع
َ ا
َ َ
َٗ َما ٗ َجٗا َءنا ٗمmengindikasikan keteguhan iman para tukang
ِٗ ِٗن ٗٱلَٗ يي ِ َن
ت ٗ َوٗٱَّلِي ٗف َط َرنا
17
sihir terhadap ajaran Musa. Fragmen keempat tentang peristiwa eksodus Musa
dan Bani Israel dari Mesir, peneliti memperoleh signifikasi makna tentang betapa
pentingnya pembebasan dari kawasan yang berbahaya dan penuh penindasan.
Dalam kisah Musa dan Fir’aun terdapat empat hipogram potensial dan satu
hipogram aktual (intertektualitas). Hipogram potensial meliputi; Pertama, Proses
transendensi wahyu yang diberikan Allah SWT kepada Musa. Kedua, pengutusan
Musa dan Harun ke hadapan Fir’aun dalam rangka untuk membebaskan bani
Israel dari penindasan. Ketiga, Rencana Fir’aun untuk menantang Musa adu sihir
yang kemudian tampak mu’jizat Musa yang dahsyat. Keempat, Peristiwa eksodus
Bani Israil atas perintah Allah SWT. Jika diamati berdasarkan tabel, maka akan
diperoleh data lengkap sebagai berikut:
Hipogram
Fragmen
Model
Potensial/
Varian-varian
Matriks
1
Proses
1) Proses
transendental
penghormatan
wahyu
dan
yang
diberikan Allah
penghambaan
SWT
diri kepada Allah
kepada
Musa
yang Maha Suci
َ ُ َ َ يا
تٗنارا
إ ِ ِنٗءانس
dan Maha
Agung.
2) Peristiwa
penerimaan
transendental
wahyu yang
diaktualisasikan
dengan dua
mu’jizat besar.
18
2
Pengutusan
1) Proses
Musa dan
pengutusan
Harun ke
Musa kepada
hadapan
Fir’aun dalam
rangka untuk
membebaskan
3
َ َ ا
َ َ
ٗنٗإِن ُٗهۥ
ٗ ٗٱ ٗذه َبٗاٗإِلٗٗف ِرٗعو
َ
َٗطغ
Fir’aun.
2) Kedatangan
Musa di Mesir.
3) Proses
bani Israel dari
meyakinkan
penindasan.
Fir’aun.
Rencana
1) Penawaran adu
Fir’aun untuk
menantang
Musa adu sihir
yang kemudian
Sihir.
ََ
َ
ٗٗكٗبِسِحٗر
ٗ فل َنأٗت ِيَن
ِيمِثٗل ِ ٗه
tampak
mu’jizat Musa
2) Pelepasan sihir
(mu’jizat) Musa
dan sihir
Fi’raun.
3) Pengakuan atas
yang dahsyat.
keimanan
tukang sihir
Fir’aun.
4
Peristiwa
eksodus
Israil
atas
perintah Allah
SWT.
1)
Bani
Perintah
memukulkan
َ َ
َ
سٗٗبِعِبادِي
ِ أنٗٗأ
tongkat.
2)
Penyusulan
Fir’aun yang
akhirnya
tenggelam.
19
Sedangkan hipogram aktual untuk kisah Musa Fir’aun ini adalah teks
Bibel (Perjanjian Lama) dalam Alkitab Deuterokanonika bagian Keluaran pasal 3,
4, 7 dan 15 yang menceritakan tentang kisah Musa dan Fir’aun dengan rincian
sebagai berikut: Fragmen 1 yang bercerita tentang penurunan wahyu dengan teks
transformasi QS.Taha ayat 9-23 dan Kitab Keluaran Pasal 3 ayat 1-6 sebagai
hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
KETERANGAN DALAM KITAB
KETERANGAN DALAM
KELUARAN PASAL 3: (1-6) &
Q.S. TAHA: 9-23
PASAL 4: (2-4 & 7) (HIPOGRAM)
(TEKS TRANSFORMASI)
3:2 Lalu Malaikat Tuhan menampakkan
diri kepadanya di dalam nyala api yang
keluar dari semak duri. Lalu ia melihat,
dan tampaklah: semak duri itu menyala,
tetapi tidak dimakan api.
3:3
Musa
berkata:
"Baiklah
aku
menyimpang ke sana untuk memeriksa
َ َ ََ
ي
َ
ُُ
ٗن
َٗ ِ ِ ال ٗ ِِلهٗلِهِٗ ٗٱ ٗمكث اٗواٗ ٗإ
ٗ إِذٗ ٗ َر َءا ٗنارٗا ٗفق
َ ََ َ ُ ي
َ ُ َ ً ي
ٗٗلٗ َءات ِيكمٗٗم ِٗنهاٗٗب ِقبسٗٗأو
ٗاراٗل َع ِ ا
آنستٗن
ََ ُ َ
ُ
ً
ٗ ٗج ٗد
١٠ٗارِٗهدى
ٗ َعٗٱنل
ِ أ
penglihatan yang hebat itu. Mengapakah
tidak terbakar semak duri itu?"
3:4 Ketika dilihat Tuhan, bahwa Musa
menyimpang
untuk
memeriksanya,
berserulah Allah dari tengah-tengah semak
duri itu kepadanya: "Musa, Musa!" dan ia
menjawab: "Ya, Allah. "
3:5 Lalu Ia berfirman: "Janganlah datang
dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari
kakimu, sebab tempat, di mana engkau
berdiri itu, adalah tanah yang kudus ."
3:6 Lagi Ia berfirman: "Akulah Allah
ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan
Allah Yakub. " Lalu Musa menutupi
20
ََ يا
َ
َ َ ُ َ ََ ََ ا
ٗك
ٗ ن ٗأناٗ ٗ َر ُّب
ٗ ِ ِ ٗإ١١ٗ وس
ِٗي ٗ ٗي ُم َ ى
ٗ فلمٗا ٗأت ٗىها ٗنود
َُ
َ
َ َ َ َ َ
ٗٗالمقد ِس
ك ٗبِا َلوا ِد
ٗ ك ٗإِن
ٗ فاخلع ٗنعلي
َ َ ُ َ
َََ
َ ُ َ
َ
وحٗى
ٗ ست ِمعٗ ٗل ِما ٗي
ٗ ك ٗفٗٱ
ٗ تت
ٗ خ
ٗ ٗوأنا ٗٱ١٢ٗ ُط ًوى
َ ُ َا
َ ََ ا
ََ ا
ٗن
ٗ ِ ٗل ٗإِلٗ َٗه ٗإِلٗ ٗأناٗ ٗفٗٱعٗ ُبد
ٗ نٗ ٗأنا ٗٱ
ٗ ٗ ّلل
ِ ٗإِن١٣
ََ
َ َ
ا
ٗ ١٤ٗي
ٗ وأق ِ ِٗمٗٱلصلوٗٗةٗ َِّلِكٗ ِر
y
mukanya, sebab ia takut memandang
Allah.
4:2 Tuhan berfirman kepadanya:
"Apakah yang di tanganmu itu?" Jawab
Musa: "Tongkat."
4:3 Firman Tuhan: "Lemparkanlah itu
ke tanah." Dan ketika dilemparkannya
ke tanah, maka tongkat itu menjadi
َ َ
َ َ
َ
َٗ ِ ٗ ال
ٗ ٗق١٧ٗ وس
ٗ َ ِك ٗ ٗي ُم
ٗ ك ٗب ِ َي ِمين
ٗ َو َما ٗت ِٗل
ٗه
ََ َ
ُّ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ
ٗ اي ٗأتوكؤاٗ ٗعليٗها ٗوأه
ٗٗش ٗبِها َٗع
ٗ عص
ُ ُ َ َ
َ َ
َ
َغ
َ
َ م ٗ َو
ٗال
ٗ ٗق١٨ٗ ٗب ٗأخٗرى
ٗ ِمار
ٔٗ ٗ لٗ ٗفِيها
ٗ
ن
ٗ
ِ
ِ
َ َ َ َ ََ
َ َ َ
َ
َ
ُ
َ
ٗ ِ ٗ ٗ ٗفألٗقىٗها ٗفإِذا١٩ٗ وس
ٗ ألٗقِها ٗ ٗيم
ٗٗه ٗحية
ular, sehingga Musa lari
meninggalkannya.
َ
ََ ََ َ ُ َ َ
َ ُ ُ َ
ٗ ال ٗخذٗها ٗو
ٗ ٗق٢٠ٗ ٗتسٗ َع
ٗيدها
ِل َٗتفٗ ٗسنع
4:4 Tetapi firman Tuhan kepada
Musa: "Ulurkanlah tanganmu dan
peganglah ekornya" Musa mengulurkan
tangannya, ditangkapnya ular itu, lalu
َ ُ َََ
ٗ ٢١ٗول
ٗ ِل
ٗ سِريتهاٗٱ
menjadi tongkat di tangannya
َ َ ََ َ َ ََ ُ َ
َ ا
ٗ ضممٗ ٗيد
ٗ ٗوٱ
ٗ ك ٗإِلٗ ٗجناح
ِٗك َٗتٗ ُرجٗ ٗ َبيٗضٗا َٗء
4:6 Lagi firman Tuhan kepadanya:
"Masukkanlah tanganmu ke dalam
bajumu." Dimasukkannya tangannya ke
dalam bajunya, dan setelah ditariknya
ُ ًَ
َ َ ُ
َ ٗ ٗمِنٗ ٗ َغريٗ ٗ ُس اٗوء
َ
ٗ ُِني
ٗ
٢٢
ٗ
ى
ٗ
ر
خ
ٗ
أ
ٗ
ٗ
ة
اي
ء
ٗٗك ٗمِن
ل
ِ
ِ
ُ
َ
ٗ ٢٣ٗبى
َٗ ايت ِ َناٗٱ ٗلك
ٗ َء
ke luar, maka tangannya kena kusta,
putih seperti salju.
4:7 Sesudah itu firman-Nya:
"Masukkanlah tanganmu kembali ke
dalam bajumu." Musa memasukkan
tangannya kembali ke dalam bajunya
dan setelah ditariknya ke luar, maka
tangan itu pulih kembali seperti seluruh
badannya.
21
Fragmen 2 yang bercerita tentang pengutusan Musa dan Harun kepada
Fir’aun dengan teks transformasi QS.Taha 42-56 dan Kitab Keluaran Pasal 3 ayat
7-10 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
KETERANGAN DALAM
KETERANGAN DALAM
KITAB KELUARAN PASAL 3:
Q.S. TAHA: (42-56)
(7-10)
(TEKS TRANSFORMASI)
(HIPOGRAM)
َ ََ
َ َ َ ُ ََ َ َ
َ
َ
ٗٗل ٗتنِيا ٗ ِف
ٗ ت ٗو
ٗ ِ اي
ٗ ٗ ٗوك ٗٗب ِأ
ٗ نت ٗوأخ
ٗ ٱ ٗذهبٗ ٗأ
3:10 Jadi sekarang, pergilah, Aku
mengutus engkau kepada Firaun
َ َ ا
َ َ
َ
٤٣ٗغ
ٗ نٗإِن ُٗهۥٗ َط
ٗ ٗٗٗٱ ٗذه َبٗاٗإِلٗٗف ِٗرعو٤٢ٗذِكٗ ِري
untuk membawa umat-Ku, orang
Israel, keluar dari Mesir.
3:7 Dan Tuhan berfirman: "Aku
telah
memperhatikan
dengan
kesengsaraan
umat-
sungguh
Ku di tanah Mesir, dan Aku telah
mendengar seruan mereka yang
disebabkan
pengerah
oleh
mereka,
pengerahya,
َ
َُ َا
َ
َ
َٗك ٗفَأَرٗسِلٗ ٗ َم َعنا
ٗ ِ ول ٗ َر يب
ٗ فأٗت َِي ٗاهُ ٗفقولٗ ٗإِنا ٗ َر ُس
َ ُ َ ا َى َ َ َ ُ َ ي
َ
ٗٗك ٗبٗ ِأايَة
ٗ ٗجئٗ َن
ٗ
ٗ
د
ٗ ِيل ٗو
ٗ سء
ٗ ِ ن ٗإ
ِٗ ب
ِ ل ٗتعذِبٗه ٗم ٗق
ََ َ
َ
ٗ ِ يمِنٗر يب
ٗ ٤٧ٗى
ٗنٗٱت َب َٗعٗٱٗل ُه َد ى
ِٗ َعٗ َم
ٗ ٗكٗ َٗوٱلس ٗل ُٗم
Aku
mengetahui penderitaan mereka.
3:8
Sebab
itu
Aku
telah
turun untuk melepaskan mereka
dari tangan orang Mesir dan
menuntun
mereka
keluar
dari
negeri itu ke suatu negeri
yang
baik dan luas, suatu negeri yang
berlimpah-limpah
madunya ,
susu
dan
ke tempat orang
Kanaan, orang Het, orang Amori,
orang Feris, orang Hewi
dan
22
orang Yebus.
3:9 Sekarang seruan orang Israel
telah sampai kepada-Ku; juga
telah Kulihat, betapa kerasnya
orang Mesir menindas mereka.
Fragmen 3 yang bercerita tentang adu sihir antara Musa dan tukang
sihirnya dengan teks transformasi QS.Taha 57-73 dan Kitab Keluaran Pasal 7
ayat 1-14 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
KETERANGAN DALAM
KETERANGAN DALAM
KITAB KELUARAN PASAL 7:
Q.S. TAHA: (57-73)
(1-14)
(TEKS TRANSFORMASI)
(HIPOGRAM)
7.9
"Apabila
Firaun
kepada kamu: Tunjukkanlah suatu
mujizat,
maka
kaukatakan
Ambillah
kepada
َ
َ َ َ َ
ِٗكٗت ٗلقفٗٗ َماٗ َص َن ُع اٗوٗاٗإِن َما
ٗ فٗي ِمين
ٗ ِ ٗقٗ َما
ِٗ َٗوأل
berkata
haruslah
Harun:
tongkatmu
َ
ُ
َ َ
ٗ َٗص َن ُعواٗٗك ٗي ُٗد
ٗث
ٗ ِٗحٗٱلساح ُِٗرٗ َحي
ُٗ لٗ ُيفٗل
ٗ حرٗٗ َو
ِ س
ََ
ٗ أ
٦٩ٗت
dan
lemparkanlah itu di depan Firaun.
Maka tongkat itu akan menjadi
ular."
7.10 Musa dan Harun pergi
menghadap Firaun, lalu mereka
berbuat
seperti
diperintahkan
yang
Tuhan;
Harun
melemparkan tongkatnya di depan
Firaun dan para pegawainya,
maka tongkat itu menjadi ular.
7:12
Masing-masing
melemparkan
mereka
tongkatnya,
dan
tongkat-tongkat itu menjadi ular;
23
tetapi tongkat Harun menelan
tongkat-tongkat mereka.
7:11
Kemudian
Firaun
memanggil orang-orang berilmu
dan
ahli-ahli
sihir;
dan
merekapun, ahli-ahli Mesir itu,
membuat yang demikian juga
dengan ilmu mantera mereka.
َ َ ُ َ َ َ َ َ
ُ َ
ٗ ه ٗذ ِنٗٗل
ٗانٗأن
ِٗ نٗي ِريد
ِٗ ٗحر
ٗ ٗن
ٗ ِ قال اٗواٗٗإ
ِ س
pun
َ ُ َ ُ ي
ُ
َٗكمٗبسِحٗره َِماٗ َو َيذٗ َهبا
ض
ٗ
ِ ي ِرجاكمٗمِنٗٗأۡر
ِ ِ
ُ ُ َ َ ُ ََ
َ
ُ َ
ٗ ب ِ َط ِريقتِك ُٗمٗٱٗل ُم ٗث
ٗجٗعواٗٗك ٗيدكمٗٗث ٗم
ِ ٗفأ٦٣ٗل
َ َ ََ ُ َ ي
َ َ
َ
َ
َ
َ
ٗ حٗٱ
ٗ ٱ ٗئتواٗٗصفٗاٗٗوقدٗٗأ ٗفل
٦٤ٗل
ٗ ٗستع
ٗ نٗٱ
ِٗ ّل ٗومٗٗم
Fragmen 4 yang bercerita tentang eksodus Musa bersama Bani Israil
dengan teks transformasi QS. Taha ayat 77-79 dan Kitab Keluaran pasal 15 ayat
1-19 sebagai hipogramnya. Secara detail, dapat dilihat dalam tabel berikut:
24
KETERANGAN PADA KITAB
KETERANGAN DALAM
KELUARAN PASAL 15: (1-19)
Q.S. TAHA: (77-79)
(HIPOGRAM)
(TEKS TRANSFORMASI)
15:2
Tuhan
mazmurku,
itu
kekuatanku
Ia
telah
dan
menjadi
keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia
Allah bapaku, kuluhurkan Dia.
15:3 Tuhan itu pahlawan perang; Tuhan,
itulah nama-Nya.
15:19
Ketika
kuda
Firaun
َ َ َ ُ َ َََ َ َ َا
ٗٗس
ٗولقدٗ ٗأ ٗوحيٗنٗا ٗإِلٗ ٗم ى
ِ وس ٗأنٗ ٗأ
َ
َ
َ
ٗٗب ٗل ُهمٗ ٗ َط ِريقٗا ٗ ِف
ٗ ٗض
ٱ
ِ بِعِبادِي ٗ ٗف
َ
َ ُ َ َ
َٗ ٱ
ٗل
ٗ ف ٗد َركٗ ٗ َو
ٗ خ
ٗ لحٗ ِرٗ ٗيَبَسٗا ٗلٗ ٗت
dengan
keretanya dan orangnya yang berkuda
َ َ
ٗ َٗت
ٗ٧٧ٗش
telah masuk ke laut, maka Tuhan
membuat air laut berbalik meliputi
mereka, tetapi orang Israel berjalan di
tempat kering dari tengah-tengah laut.
15:4 Kereta Firaun dan pasukannya
dibuang-Nya
ke
dalam
laut;
para
perwiranya yang pilihan dibenamkan ke
dalam Laut Teberau.
15:5 Samudera raya menutupi mereka;
ke air yang dalam mereka tenggelam
ََ
ُ َ
ُ
ُ
َ
َ
ُ
ِ
ٗن ٗ ِِبنود ٗه ِۦ
ٗ فأتٗبعهمٗ ٗف ِٗرع ٗو
ََ
ٗ ِن ٗٱ
َٗ فغشِ َي ُهم ٗ يم
ّٗلَ ِيم�