PENGEMBANGAN BAHASA DAN SASTRA JAWA MELA

MEMBUMIKAN SASTRA JAWA MELALUI WARUNG KOPI
(Menanggapi Fenomena Meledaknya Jumlah Warung Kopi di Kota Mojosari, Mojokerto)
Fajar Laksana
Prabhata.laksana@gmail.com
Abstrak
Warung kopi punika sampun dados salah sawijining ‘ruang publik’, amergi para tiyang
ingkang ngopi wonten ing warung kopi yuswanipun benten-benten, kaliyan boten ningali jaler
punapa estri. Nanging kathahipun warung kopi ingkang sumebyar dereng saged dados sarana kagem
nuwuhaken kasaenan ing salebeting adat sabenipun. Menawi dipun gatosaken tiyang ngopi punika
langkung kathah ingkang yuswa enem, watara yuswa gangsal welas tahun dumugi tigang dasa tahun.
Bilih tiyang ngopi punika teksih enem, menawi ngopi kedahipun saged rerembagan bab ilmu utawi
kawruh ingkang migunani, sanes rerembagan bab ala, tuladhanipun ‘rasan-rasan’.
Pamulangipun basa lan sastra Jawa wonten salebeting sekolah punika dereng cekap, amergi
wancinipun naming sakedhik, ananging miturut andharan ing nginggil, warung kopi saged dados
sarana kagem ngrembakakaken basa lan sastra Jawa kanthi ‘informal’. Makalah punika dipun serat
sasampunipun nyumerepi kahanan warung kopi wonten ing Kecamatan Mojosari, Mojokerto.
Ngrembakakaken basa lan sastra Jawa punika kathah sanged caranipun, nanging sarana cara
informal kanthi papan warung kopi temtu kemawon saged adamel lare enem ingkang ngopi purun
mangertos basa lan sastra Jawa, mliginipun lare enem ing Kecamatan Mojosari, Mojokerto.
Wiyosipun makalah punika ngandharaken bab ingkang enggal kagem ngrembakakaken basa lan
sastra Jawa,kanthi sarana ‘ruang publik’.

Kata kunci
1.

: Sastra Jawa, warung kopi, kota Mojosari, sosial-komunikasi, interaksi

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa dan sastra Jawa, khususnya sastra Jawa sejauh ini kalau dicermati masih
dalam tahap pengajaran dan pengenalan, belum mencapai tahap pengembangan. Berbeda
kasus dengan aksara Jawa yang telah menyesuaikan diri dengan arus global, seperti
kemunculan aksara Jawa, atau baru-baru ini munculnya iqra aksara. Membahas bahasa dan
sastra Jawa memang sebuah hal yang rumit, sebab banyak sekali bentuk perspektif dan pola
penelitiannya. Meskipun bahasa Jawa saat ini adalah bahasa Jawa modern namun bentuk
kemodernan yang diperoleh tersebut belum mampu untuk membuat masyarakat dapat
memahami betul mengenai unsur-unsur kebahasaan Jawa yang modern itu. Dari sisi sastra,
walau bahasa Jawa bentuk modern saat ini melahirkan produk karya sastra berupa geguritan,
cerkak dan naskah drama namun kenyataannya bahasa Jawa modern yang menjadi media
tulisannya belum secara luas dikenal dan dipahami oleh masyarakat awam.
Produk karya sastra Jawa berdasarkan masa dan mengacu pada bahasa yang
digunakan dibagi menjadi empat bagian. Menurut R. Ng. Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja

dalam Kepustakaan Djawa (1952), sastra Jawa kuna menghasilkan kakawin, karya sastra
Jawa pertengahan menghasilkan kidung dan suluk karya sastra baru melahirkan macapat dan
yang terakhir ialah karya sastra modern menghasilkan geguritan dan cerkak. Pengategorian
karya sastra Jawa berdasarkan masa dan bahasa yang disampaikan oleh R. Ng. Poerbatjaraka
tersebut berlainan dengan penggolongan yang dituliskan oleh Pigeud dalam literature of Java
(Volume 1: Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 AD) yang terdapat di diktat sejarah
sastra Jawa Afendy Widayat dan Suwardi, menurutnya karya sastra Jawa apabila dibagi
menggunakan dasar periodisasi waktu maka akan menjadi sebagai berikut.
1. Periode pra-Islam berlangsung selama enam abad (900-1500 M)
2. Periode Jawa-Bali berlangsung selama empat abad (1500-1900 M)

3. Periode pesisir utara selama tiga abad (1500-1800 M)
4. Periode renaissance sastra klasik tahun 1700-1900 di Surakarta dan Yogyakarta.
Warung kopi merupakan sebuah tempat dimana seseorang atau sekelompok orang
dapat menikmati kopi. Namun dalam kasusnya, khususnya di kota Mojosari, ketika seseorang
atau sekelompok orang mengatakan ngopi maka ketika berada di warung kopi yang dipesan
tidak harus kopi, bisa saja es teh, es susu atau apapun itu, dan yang jelas tidak ada
hubungannya dengan istilah ngopi yang seharusnya menikmati kopi. Persoalan menu yang
dipesan selama berada di warung kopi tidak akan disorot, sebab dalam pembahasan yang akan
disampaikan saat ini lebih condong dalam hal fenomena ketika seseorang atau sekelompok

orang sedang berada di warung kopi. Tiap individu yang sedang berada di warung kopi
tentunya tidak bisa jika hanya diam, pada suatu waktu seorang pelanggan tentunya akan
berbicara pada penjual, seorang pelanggan berbicara dengan pelanggan lain, dan masih
banyak jenis interaksi yang terjadi di warung kopi, sebab secara mendasar proses interaksi
antar individu maupun kelompok adalah sebuah penanda akan adanya kehidupan, Soerjono
Soekanto dalam pengantar sosiologi menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci semua
kehidupan sosial, tidak ada interaksi berarti tidak mungkin ada kehidupan bersama.
Ketika bahasa dan karya sastra bersentuhan dengan suatu kelompok sosial maka saat
memunculkan sebuah pembahasan tentu akan melibatkan sebuah teori-teori atau kajian yang
bersangkutan mengenai sosiologi sastra. Soemardjo (1979: 12) dalam Sukarjo Waluyo, sastra
adalah produk masyarakat, ia berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggotaanggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional atau rasional dari
masyarakatnya. Jadi, sastra khususnya sastra Jawa ketika ditinjau dari sosiologi sastra harus
lebih membumi lagi, lebih dekat lagi dengan sebuah kelompok sosial masyarakat terlebih
masyarakat usia muda. Proses kajian mengenai karya sastra Jawa yang meresap kedalam
benak masyarakat bisa dengan mudah dilakukan melalui cara mengunjungi suatu tempat
berkumpul masyarakat kemudian mengamati fenomena susastra yang terjadi pada sebuah
kelompok sosial. Dalam hal ini sastra Jawa.
Banyak sekali karya sastra Jawa yang saat ini tersebar, dan karya sastra Jawa tersebut
memuat nilai-nilai kehidupan yang amat tinggi, namun sayangnya penyebarannya hanya
terbatas dalam lingkungan formal, seperti lingkungan sekolah atau universitas. Untuk

masyarakat umum dan awam sendiri khususnya yang berada di Jatim, Jateng dan DIY sampai
saat ini kurang mengenal dan memahami sastra Jawa, terlebih masyarakat usia muda yang
dewasa ini semakin gandrung dengan produk sastra atau seni dari luar negeri sehingga
membuat sastra Jawa dipandang kurang menarik. Peristiwa seperti itu tidak bisa dibiarkan,
apabila masyarakat muda enggan untuk mendatangi sastra Jawa, maka sastra Jawa-lah yang
harus mendatangi mereka, melalui instansi pemerintah, kesadaran kolektif ataupun kesadaran
personal mengenai betapa telah berperannya sastra Jawa bagi kehidupan mereka.
Kajian dalam makalah ini menggunakan metode kualitatif dan pengamatan secara
langsung di kota Mojosari mengenai kegemaran para pemudanya dalam hal ngopi.
Pembahasan dalam makalah ini ditujukan untuk menyulap warung kopi yang selama ini
hanya dipakai sebagai sarana nongkrong yang tidak jelas untuk dijadikan sebagai lokasi
pengenalan, pembelajaran dan pengembangan sastra Jawa. Sedangkan untuk mengurai
beberapa persoalan mengenai sastra dan sosial maka digunakan pendekatan sosiologi sastra.
2.1 Rumusan Masalah
1. Sepenting apakah sastra Jawa sampai harus dibumikan di masyarakat muda kota
Mojsari, Mojokerto ?
2. Kenapa menggunakan wahana warung kopi ?
3. Bagaimana sastra Jawa dikenalkan, diajarkan dan dikembangkan melalui warung
kopi ?
4. Apa saja hambatan yang akan muncul ketika sastra Jawa masuk kedalam

masyarakat muda di warung kopi ?

5
6.

Apa dampak jangka pendek sekaligus dampak jangka panjang bagi kota
Mojosari, dan kabupaten Mojokerto ketika sastra Jawa berhasil dikenalkan
melalui warung kopi ?
Bagaimana wajah sastra Jawa nantinya ketika berhasil dibawa oleh masyarakat
muda, khususnya pemuda kota Mojosari ?

2. PEMBAHASAN
2.1 Sastra Jawa Membumi melalui Warung Kopi, Sebuah Langkah untuk Pemuda Jawa
Kota Mojosari merupakan sebuah daerah yang cukup strategis, karena menjadi kota
penghubung dari Surabaya, Sidoarjo, Kota Batu dan Pasuruan. Terletak di sebelah timur kota
Mojokerto, melalui jalan provinsi untuk menuju kabupaten Pasuruan kota Mojosari selalu
dilewati. Dalam wilayah kota Mojosari terdapat tiga desa atau kelurahan yakni, Seduri,
Kauman dan Sarirejo. Ketiga desa atau kelurahan tersebut terbagi menjadi beberapa sektor
apabila poros tengahnya adalah pasar Legi Mojosari. Sisi utara terdapat desa Seduri, sisi
tengah terdapat kelurahan Sarirejo dan di sisi selatan terdapat kelurahan Kauman.

Dari proses observasi yang dilakukan pada bulan Agustus 2016 - September 2016,
persebaran warung kopi di kota Mojosari terbagi menjadi lima wilayah inti ketika para
pemuda dan pemudi sedang ngopi di kota Mojosari. Pertama di sisi utara pasar Legi terdapat
basis pusat warung kopi untuk para siswa sekolah ketika hendak berangkat maupun pulang
dari kegiatan sekolahan, yaitu kompleks warung kopi terminal lama Mojosari. Bergeser ke
arah timur, basis warung kopi selanjutnya yang menjadi pusat nongkrong dan setiap hari
selalu ramai adalah kompleks warung kopi Sumber Tiri. Kedua kompleks yang telah
disebutkan tadi masuk dalam wilayah desa Seduri, berdasarkan penghitungan, di kompleks
warung kopi terminal lama Mojosari terdapat delapan warung kopi, di kompleks warung kopi
Sumber Tiri sendiri terdapat sepuluh warung kopi. Masih ada beberapa kompleks lagi namun
dua kompleks yang disebutkan tadi itulah yang menjadi jujugan kalangan pemuda Mojosari
pada bagian sisi utara.
Selanjutnya dari poros pasar Legi Mojosari, di sebelah selatan terdapat tiga kompleks
warung kopi yang selalu menjadi pilihan utama bagi para pemuda Mojosari, yaitu kompleks
ruko, kompleks jalan Masjid dan kompleks jalan Pahlawan. Dari penghitungan yang telah
dilakukan, di kompleks ruko terdapat tiga warung kopi, di kompleks jalan Masjid terdapat
tujuh warung kopi dan terakhir di kompleks jalan Pahlawan terdapat enam warung kopi.
Ketika berkumpul di warung kopi pembicaraan yang ada selalu saja tak beraturan dan
sifatnya sangat absurd. Namun tidak dengan fenomena warung kopi di Mojosari, persoalan
sepelik apapun yang tengah dihadapi masyarakat muda Mojosari nyatanya bisa ditemukan

solusinya saat berada di warung kopi, terlepas dari solutif atau tidaknya jalan keluar yang
mereka temukan. Dan dikalangan pemuda yang sering berkumpul untuk ngopi memiliki
semangat dari sebuah karya sastra Jawa digital berbentuk pepatah Jawa dialek Arekan yaitu
ngopi sek cek gak goblok (ngopi dulu agar tidak bodoh), pepatah yang cukup frontal tersebut
dibarengi lagi dengan pepatah Jawa yang lain yaitu aja nganti kerjamu nganggu ngopimu
(jangan sampai pekerjaanmu mengganggu waktu ngopimu). Terlepas dari sadar atau tidaknya
mereka, yang jelas terdapat sebuah ruang untuk sedikit kegembiraan ketika mengetahui
bahwa ternyata aktifitas ngopi pemuda di wilayah Mojosari digerakkan oleh sebuah pepatah
Jawa yang tersebar melalui viral di media sosial. Menurut Freud dalam Pengantar Umum
Psikoanalisis (2006: 38), kehidupan manusia oleh alam ketidaksadarannya.
Para pemuda yang ngopi sangat betah berlama-lama ketika berada di warung kopi.
Beberapa penyebabnya adalah, koneksi wifi, isi obrolan yang cocok, tempat yang sesuai, dan
menu yang ditawarkan. Memang di wilayah Mojosari beberapa warung kopi yang terdapat
pada kompleks-kompleks yang telah disebutkan sangat memanjakan pengunjung, mulai dari
wifi, lokasi yang cukup luas, hingga harga yang terjangkau untuk pemuda usia sekolah.
Mengetahui tentang durasi ngopi yang bisa mencapai tiga jam atau lebih maka tentunya
warung kopi bisa menjadi sebuah wahana transportasi bagi sastra Jawa agar lebih mendekat
pada kalangan masyarakat muda.
Hal lain yang perlu ditegaskan ialah pemuda, khususnya yang sering ngopi di kota
Mojosari pada dasarnya mengenal sastra Jawa hanya melalui meme berbahasa Jawa yang


banyak tersebar di internet. Kehadiran meme berbahasa Jawa biasa memuat hal-hal yang lucu
dan ada juga yang mengutip dari pepatah Jawa mengenai kata-kata bijak atau yang
bersangkutan dengan cara berperilaku masyarakat Jawa terhadap lingkungan sekitar. Modal
dasar dari meme tersebut seharusnya bisa menimbulkan sebuah ketertarikan pemuda tentang
istilah-istilah Jawa di meme yang tentunya berangkat dari karya-karya sastra Jawa. Bentuk
kreatifitas yang semacam itu hendaknya diapresiasi sebab dari karya-karya digital meme
berbahasa Jawa itulah sastra Jawa memulai langkah untuk membumi.
Pengaktualisasi sastra Jawa agar sesuai dengan semangat muda era postmodern saat
ini sangatlah dibutuhkan agar pemuda yang gemar ngopi tidak sampai kehilangan identitas
diri karena tergerus oleh hasrat jiwa muda mereka sendiri. Denzin (1986) dalam Hasan
Musthofa mengungkapkan bahwa era postmodern ialah suatu era yang diindikasikan dengan
hilangnya jati diri dan individualitas dari seseorang. Oleh karena itu, media-media internet
yang telah ada seharusnya bisa menjadi sarana untuk sastra Jawa, agar para pemuda tidak
kehilangan jati diri kejawaannya. Seperti halnya ketika meme berbahasa Jawa telah tersebar
luas, maka langkah selanjutnya yang perlu diambil ialah proses tindak lanjut agar pemuda
semakin tertarik terhadap sastra Jawa. Memang banyak sekali jenis sastra Jawa, namun untuk
menuju pemahaman yang lebih jauh mengenai sastra Jawa maka sebagai tahapan awal yang
perlu untuk dibumikan adalah karya sastra Jawa modern yang berbentuk geguritan ataupun
cerkak.

Problematika sastra Jawa di kalangan masyarakat usia muda memang bukan hal yang
baru. Sastra Jawa tidak berbeda dengan karya sastra yang lain, hanya pembedanya adalah
media bahasa yang digunakan. Sesuai dengan penyebutan nama sastra Jawa, maka setidaknya
sastra Jawa sebisa mungkin menjadi pilihan utama ketika menikmati karya sastra bagi para
pemuda Jawa, khususnya pemuda di kota Mojosari.
Pada bulan November 2015, pergerakan kebudayaan Prosa yang berbasis di kota
Mojosari mencoba untuk menjajaki rasio minat para pemuda yang ngopi terhadap sastra Jawa
melalui acara sastra saba café. Pelaksanaan dari acara tersebut bertempat di cafe J’tox yang
terletak di dalam wilayah kecamatan Bangsal. Pada saat acara berlangsung, seperti kegiatan
sastra pada umumnya, namun dalam acara tersebut karya sastra berupa geguritan
disampaikan dengan media bahasa Jawa ngoko dialek Arekan. Selama acara digelar, para
pengunjung yang hadir merasa sangat menikmati pembacaan geguritan yang ada, sebab
bahasa yang digunakan bukan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa yang tingkat
pemahamannya membutuhkan waktu lama. Secara lugu ternyata masyarakat muda yang hadir
pada saat acara sangat antusias. Acara tersebut bisa saja menjadi sampel untuk kegiatan
bersastra Jawa lain agar tidak bersembunyi di basecamp sendiri, melainkan dengan berani
mendatangi masyarakat awam, sehingga sastra Jawa, khususnya sastra Jawa modern bisa
lebih dikenal. Sebenarnya banyak sekali langkah-langkah yang telah diambil oleh seseorang
atau sekelompok orang menyangkut sastra Jawa. Tujuan yang ada pun sama, yakni
mengenalkan sastra Jawa pada masyarakat awam, hanya saja ketidak hadirannya tindak lanjut

dari sebuah instansi resmi membuat upaya-upaya pengenalan yang ada baik meme maupun
jemput bola terasa kurang mencukupi
Di kota Mojosari yang dipenuhi dengan warung kopi tentunya sangat banyak macammacam proses interaksi yang terjadi. Banyaknya proses interaksi yang ada tersebut sama
halnya dengan gelombang air yang tenang, dan dengan sedikit gerakan, maka seluruh elemen
yang ada di warung kopi pasti akan tertuju pada gerakan tersebut, seperti yang telah dilakukan
oleh pergerakan kebudayaan Prosa. Masyarakat muda yang ngopi di wilayah kota Mojosari
kebanyakan sangat antusias dengan hal-hal yang sifatnya lucu. Maka tidak salah ketika ngopi
mereka mengakses gambar-gambar unik yang berisikan kata-kata Jawa ngoko. Sama halnya
dengan sebuah fenomena munculnya gambar-gambar permainan masa kecil yang kemudian
diedit dengan kata-kata yang bersifat katarsis atau refleksi. Semisal, sebuah gambar orang tua
berpakian adat Jawa berisikan kata-kata aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa, sebuah
gambar seorang ayah memakaikan kopyah pada anaknya dan memuat kata-kata, ajining raga
ana busana, ajining dhiri ana ing lathi, dst. Pola-pola komunikasi seperti itulah yang
hendaknya dipresentasikan dalam wujud kegiatan nyata. Brihalt dan Galones (1992),
kelompok komunikasi merupakan sebuah pola komunikasi yang terdapat dalam suatu

komunitas tertentu untuk berdiskusi tentang suatu pengetahuan, meskipun pada akhirnya
kelompok tersebut tidak memiliki otoritas dalam memutuskan sebuah perkara atau persoalan.
Dengan kata lain, yang bisa dilakukan agar pemuda yang gemar ngopi, terutama pemuda
ngopi di wilayah kota Mojosari bisa lebih mengenal dan bersedia memahami sastra Jawa ialah

dengan jalan membentuk sebuah paguyuban yang memang bergerak di bidang sastra Jawa
untuk terjun secara kontinyu dalam sebuah warung kopi dan kemudian mengajak kelompok
pemuda yang ngopi berbicara mengenai sastra Jawa dengan media menampilkan meme
berbahasa Jawa dan menanyakan maksud dari kata-kata Jawa tersebut.
2.2 Menjawab Tantangan Pengembangan Sastra Jawa di Warung Kopi
Sebelum mengenalkan karya sastra Jawa melalui wahana warung kopi, tentunya
sangat perlu dilakukan sebuah pemetaan mengenai hambatan apa saja yang akan muncul
ketika sastra Jawa mulai dikenalkan. Beberapa hambatan di bawah ini disimpulkan dari
proses pengamatan terhadap pemuda ngopi di warung kopi kota Mojosari. Sekaligus
berdasarkan pada pendekatan masalah-masalah sosial dan komunikasi. Sehingga hambatanhambatan yang diuraikan nanti sebenarnya juga merupakan fase-fase yang perlu dilakukan.
Menurut Carl I Hoveland (Effendy,1995:10), komunikasi adalah dimana seorang komunikator
menyampaikan perangsang untuk merubah tingkah laku orang lain.
1. Memunculkan stigma keren pada sastra Jawa sebelum dikenalkan.
2. Membangun sebuah jalinan komunikasi antar warung kopi agar secara serempak
bersedia menjadi lokasi mendekatkan karya sastra Jawa pada masyarakat muda.
3. Perencanaan strategi pengenalan dan pengembangan sastra Jawa di warung kopi
melalui pertimbangan waktu, tempat dan sistem yang digunakan.
4. Menciptakan atmosfer menyenangkan pada masyarakat muda ketika proses
pengenalan dengan cara terjun langsung sedang diberlakukan.
5. Menyampaikan persoalan-persoalan sastra Jawa secara komunikatif dan sesuai
dengan latar belakang kelompok pemuda yang sedang diajak berdiskusi.
6. Membentuk timeline yang tepat agar kehadiran sastra Jawa di tengah pemuda
ngopi tidak terlampau lama dan tidak terlampau singkat.
7. Membangun jaringan dengan komunitas-komunitas sastra, dewan kesenian
kabupaten dan dinas kebudayaan daerah yang terkait.
8. Membentuk sebuah kelompok yang secara intens bisa aktif mengamati
perkembangan sastra Jawa di warung kopi.
9. Mengajak warung kopi untuk mengemas promosi menggunakan nilai-nilai sastra
Jawa.
10. Strategi untuk melibatkan elemen-elemen masyarakat yang ada di warung kopi.
Sepuluh hambatan yang cukup rumit di atas apabila diurai dan dicari jalan keluar
permasalahannya akan memunculkan sebuah pola baru dalam mengembangkan sastra Jawa,
khususnya melalui warung kopi. Ruang publik berdasarkan pelingkupannya terbagi menjadi
tiga tipologi (Carmona, et al : 2003, p111), external public space, internal public space dan
quasi public space. Tipologi pertama ialah ruang publik yang bisa diakses secara umum oleh
masyarakat luas, tipologi kedua ialah ruang publik yang dikelola oleh pemerintah dan tipologi
terakhir merupakan ruang publik yang dikelola secara privat.
Hubungan simbiosis mutualisme antara pengelola warung kopi dengan penggiat
sastra Jawa harus senantiasa terjalin dalam kurun waktu yang sudah cukup lama, agar ada rasa
saling percaya bahwa melalui kegiatan menghadirkan sastra Jawa warung kopi terkait tidak
merugi. Kebutuhan yang lain menyangkut pengenalan sastra Jawa di masyarakat muda,
khususnya Mojosari berikutnya adalah memunculkan stigma keren pada karya sastra Jawa.
Kota Mojosari merupakan kota jembatan yang menjadi sebuah kota singgah bagi orang-orang
yang hendak ke Surabaya, Sidoarjo, Kota Batu atau Pasuruan. Surabaya yang hanya berjarak
satu jam dari kota Mojosari tentunya membawa dampak yang sangat besar terkait selera
mode, fashion, seni, ataupun sastra, mengingat Surabaya sendiri adalah ibukota Jawa Timur
dan telah menjelma menjadi suatu kota satelit Indonesia. Akibatnya, sastra Jawa yang hendak
dikembangkan di warung kopi bisa juga melalui jalan pengenalan secara modis di lingkungan
kota Surabaya, ketika masyarakat Surabaya antusias dengan sastra Jawa, maka kota Mojosari

secara otomatis akan ikut terkena imbas pengembangan sastra Jawa yang dimulai dari
Surabaya.
Tentunya dengan jalinan komunikasi antar warung kopi, maka penggerakan,
pengenalan dan pengembangan sastra Jawa bisa semakin mencakup skala yang luas. Di kota
Mojosari, antar warung kopi sebenarnya sudah terjalin sebuah interaksi yang mencukupi
untuk saling bergerak memberikan sarana tempat untuk pergerakan sastra Jawa. Jadi, untuk
membentuk sebuah jaringan antar warung kopi adalah sebuah keniscayaan, dengan
pertimbangan apabila warung kopi mereka dijadikan lokasi acara, tentu akan menarik minat
pengunjung.
Berawal dari kegiatan terjun lapangan maka baik dari pihak pengunjung maupun
pemilik warung kopi diupayakan untuk saling mendukung dalam hal pelestarian bahasa Jawa.
Timbal balik selanjutnya adalah warung kopi yang tersebar di kota Mojosari secara serempak
menggunakan nilai-nilai bahasa Jawa untuk mempromosikan warung kopinya, di sisi
pengunjung, mereka akan menjadi tertarik guna melestarikan sastra Jawa melalui media
internet. Untuk memunculkan stigma keren pada sastra Jawa maka bentuk tampilan pada
desain-desain disesuaikan dengan selera anak muda di media internet bisa menjadi alternatif
untuk mewujudkan stigma keren.
Dalam pelaksaanaannya tentu akan mengakibatkan shock culture bagi kalangan
pemuda, khususnya pemuda Mojosari. Namun dalam hal ini ketika bisa diterapkan maka akan
muncul dampak jangka pendek maupun panjang untuk para pemuda kota Mojosari terkait
dengan sastra Jawa. Berdasarkan penjabaran hambatan yang telah diurai maka akan muncul
dampak pendek dan dampak panjang sebagai berikut.
1. Keterkejutan pemuda atas kehadiran sastra Jawa di warung kopi.
2. Kompaknya jalinan komunikasi antar warung kopi dan antar pengunjung warung
kopi.
3. Adanya bentuk yang menarik menurut pemuda terkait sastra Jawa.
4. Kota Mojosari menjadi melek sastra Jawa.
5. Terbentuknya kantong-kantong sastra Jawa.
Dampak pendek maupun dampak panjang yang telah disebutkan tentu perlu dukungan
dari instansi-instansi yang berkaitan dengan kebudayaan. Karena yang menjadi sasaran adalah
kota Mojosari, maka pasti yang akan dilibatkan adalah kecamatan Mojosari. Kemudian
mengingat kota Mojosari berada di wilayah kabupaten Mojokerto, instansi resmi yang
selanjutnya dilibatkan adalah dinas kebudayaan dan DKKM (dewan kesenian kabupaten
Mojokerto), instansi-instansi yang resmi tersebut bila mendukung baik secara materi atau
imateri tentu sangat berarti bagi pengembangan sastra Jawa melalui wahana warung kopi di
kota Mojosari. Setelah itu sastra yang memang bagian dari wujud seni harus pula mengajak
kantong-kantong kesenian yang berada di sekitar Mojosari untuk secara bersama-sama
bergerak mengembangkan sastra Jawa, seperti Batang Bambu House of Art, Komunitas Arek
Japan, dan pergerakan kebudayaan Prosa. Perlu diketahui bahwa ketiga kantong kesenian
tersebut telah membangun konsumen tersendiri di wilayah kota Mojosari maupun kabupaten
Mojokerto. Untuk bidang tradisi dimotori oleh Batang Bambu House of Art, bentuk kesenian
kontemporer diprakarsai dari Prosa dan Komunitas Arek Japan telah mengkhususkan diri di
bidang sastra. Melalui ketiga kantong kesenian itulah, sastra Jawa bisa dihadirkan secara
nyata di dalam lingkungan warung kopi.
Kemudian agar seluruh komponen masyarakat bisa secara kolektif nyengkuyung
sastra Jawa maka sebagai pemrakarsa yang ditunjuk untuk melaksanakan proses
pengembangan sastra Jawa di warung kopi, baik di kota Mojosari atau di kota lain ialah
menunjuk mahasiswa-mahasiswa bahasa dan sastra Jawa agar bersedia untuk turun langsung
ke lapangan, bukan hanya melakukan kajian-kajian yang sifatnya hanya tersebar bagi
kalangan akademis namun sulit terjangkau oleh masyarakat awam.
Memang dibutuhkan sebuah usaha yang keras untuk mengembangkan sastra Jawa,
terutama di awal pelaksanaan. Namun ketika seluruh elemen masyarakat bergerak, dan
warung kopi sebagai basis lokasi bisa dioptimalkan, tentunya sastra Jawa di lingkungan kota
khususnya kota Mojosari akan menjadi lebih dinamis. Permulaannya masyarakat muda akan
mengenal, kemudian membaca, ketika rasa penasaran tumbuh, maka selanjutnya adalah rasa

ingin mencipta karya sastra Jawa sendiri dan berangkat dari kegelisahan-kegelisahan sosial
maupun emosional pribadi. Bila dipetakan karya sastra Jawa apa saja yang akan muncul di
wilayah kota Mojosari, akan muncul wajah karya sastra Jawa dengan isu-isu industri dari arah
timur, isu-isu kebudayaan dan pariwisata dari arah selatan, isu-isu urban dari arah utara, isuisu kesejarahan dari arah barat, dan di pusat kota Mojosari akan tumbuh suatu karya sastra
Jawa yang berangkat dari kegelisahan personal untuk menyikapi kondisi sosial yang ada di
kota Mojosari sendiri. Begitulah prediksi mengenai wajah karya sastra Jawa apabila berhasil
dikenalkan melalui warung kopi, memanfaatkan rasa gengsi dari pemuda merupakan langkah
yang paling tepat.
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sastra dan lingkungan sosial tidak bisa dipisahkan. Sastra Jawa yang saat ini hanya
dikenalkan di lingkungan formal harus berani keluar ke ranah informal. Pemuda-pemuda,
khususnya pemuda ngopi di kota Mojosari haus akan suatu hal baru, suatu hal yang lucu, unik
dan bisa menambah tingkat keren dari diri mereka sendiri. Warung kopi yang merupakan
warung publik dan memiliki pelanggan usia muda bisa dimanfaatkan sebagai wahana untuk
menghadirkan sastra Jawa di lingkungan masyarakat awam. Proses-proses pengenalan, dan
pengembangan sastra Jawa dengan berbagai hambatan yang ada merupakan hal yang pasti
terjadi, namun melalui strategi yang disusun dengan pertimbangan waktu, tempat dan
pendekatan yang tepat maka pengenalan dan pengembangan sastra Jawa bisa menjadi lebih
optimal. Kasus yang ada di kota Mojosari telah menjadi sebuah sampel bagi kota lain untuk
menggencarkan kehidupan sastra Jawa yang lebih modern lagi, beriringan dengan budaya
postmodern yang saat ini tengah digandrungi kalangan pemuda.
3.2 Rekomendasi
Banyak sekali instansi maupun kelompok yang harus dilibatkan dalam proses
pengenalan dan pengembangan sastra Jawa melalui warung kopi. Instansi pemerintah dan
kantong-kantong kesenian harus diberi jembatan agar bisa saling berkomunikasi, hadirnya
Kongres Bahasa Jawa di antara dua belah pihak tersebut tentunya dapat menjadi jembatan
yang kuat agar kedua instansi bergairah dalam menghidupi sastra Jawa. Dinas kebudayaan
diharapkan tidak memisahkan diri dari jangkauan masyarakat, sehingga tak ada rasa takut atau
canggung ketika mengakses diri untuk masuk ke dalam dinas kebudayaan. Kantong-kantong
kesenian hendaknya bersedia untuk meninjau ulang kegiatan berkesenian mereka agar
bersedia berangkat dari nilai-nilai sastra dan budaya Jawa ketika menciptakan sebuah karya.
Bagi kalangan mahasiswa sastra Jawa yang berada di wilayah Jatim, Jateng dan DIY
harus diberi kesadaran bahwa dari peran merekalah sastra Jawa seharusnya bisa hidup di
dalam masyarakat Jawa sendiri, menjelma menjadi penggerak bagi daerah masing-masing
untuk mengenalkan dan mengembangkan sastra Jawa. Saat ini banyak sekali lulusan sastra
Jawa yang ketika lulus bukan malah mengabdikan diri di bidang sastra Jawa yang sebelumnya
mereka tekuni namun malah memilih untuk terjun ke ranah disiplin ilmu yang lain. Hambatan
yang sesungguhnya ialah berada di lingkup mahasiswa sastra Jawa. Dengan membangun
sebuah komunikasi yang intens dengan mahasiswa sastra Jawa maka pengenalan dan
pengembangan sastra Jawa di dalam masyarakat awam bisa lebih bergairah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Camona, et al, 2003. Public places-urban spaces, the dimension of urban design. Architectural
press.
2. Camona, et al, 2008. Public space: the management dimension. Routledge, Taylor & Francis
group. New York, USA.
3. Musthofa, Hasan, 2012, Perilaku Manusia dalam Perspektif Psikologi Sosial, Universitas
Katholik Parahyangan, hlm. 153
4. Poerbatjaraka, R. Ng & Tardjan Hadidjaja, 1952, Kepustakaan Djawa, Jakarta, Djambatan.
5. Soekanto, Soerjono, 2009, cetakan ke-42, Sosilologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali press.
6. Widayat, Afendy & Suwardi, 2005, Diktat Sejarah Sastra Jawa, UNY, hlm. 16
7. Waluyo, Sukarjo, Noktah Hitam Agama dalam Cerpen Madam Baptiste (Suatu tinjauan
sosiologi sastra), hlm. 02

BIODATA
Nama

: Fajar Laksana

Tempat lahir

: Mojokerto

Tanggal lahir

: 12 November 1995

Status

: Mahasiswa S1, Sastra Jawa, FIB, UGM

No. Telp

: 0857 3071 8300

Alamat

: Ds. Modopuro, RT.01/RW.06, Mojosari, Mojokerto