Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Harian L

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan hidup sehari-hari untuk diri dan keluarga didapat dari bekerja,
baik menjalankan usaha sendiri maupun bekerja pada suatu perusahaan atau
perkantoran tertentu dengan mendapatkan upah penghasilan.
Bekerja merupakan salah satu setiap orang sesuai dengan yang dimaksud
oleh Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), yang berbunyi bahwa “Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja”. Lapangan kerja yang semakin sempit sedangkan jumlah tenaga
kerja yang semakin banyak menjadikan banyak pengangguran dan bahkan para
pekerja bekerja hanya mengikuti kemauan dari para pelaku usaha atau pengusaha.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan pengusaha
adalah orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik atau bukan miliknya, baik di wilayah Indonesia sendiri
maupun di wilayah luar Indonesia.
Pekerja dalam menjalankan pekerjaannya tidak menghendaki putus
ditengah jalan dalam arti bekerja hingga usia pensiun, namun di sisi lain pihakpihak perusahaan juga tidak menginginkan jika berhadapan dengan pekerja terjadi


1

2

suatu pemutusan hubungan hubungan kerja dengan diwajibkan untuk memberikan
uang bonus, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian.
Perusahaan dalam rangka untuk menghindari hal pemutusan hubungan
kerja, mengikat pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian
kerja harian lepas. Meskipun demikian dalam upayanya untuk menghindari
kerugian yang diderita oleh pekerja, pemerintah dengan UU No. 13 Tahun 2003
membatasi lamanya perjanjian kerja dengan waktu tertentu. Mengenai batasan
lamanya kontrak kerja atau perjanjian kerja waktu terntetu, hal ini diatur dalam
Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu kontrak kerja pertama tidak lebih dari 2
tahun dan dapat diperpanjang untuk sekali waktu yang tidak lebih dari 1 tahun
penambahan 2 tahun dan sesudahnya jika kontrak diperpanjang lagi, maka telah
menjadi pekerja tetap.
Pekerja tetap atau pekerja dengan sistem kontrak dapat dilihat dari
peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama, namun tidak demikian
dengan pekerja harian lepas karena pembayaran yang diterima oleh pekerja

didasarkan atas kehadirannya. Apabilapekerja tidak hadir untuk menunaikan
pekerjaannya, maka pekerja tidak mendapatkan upah. Pada kondisi yang
demikian ini tentunya sangat merugikan para pekerja, karena hak-haknya tidak
jelas terutama kaitannya dengan masa kerja dan hak-hak lain jika sesuatu saat
pekerja harian lepas tersebut diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan.
Pekerja harian lepas ini ditemukan pada suatu perusahaan yang
menghasilkan produk berupa barang maupun jasa, meskipun pekerja telah bekerja
dalam tempo waktu yang lama, contoh seorang pekerja pada bidang jasa promosi

3

produk, meskipun telah bekerja selama 2 tahun dan hampir setiap hari dalam
berbulan-bulan menjalankan pekerjaan di bidang jasa promosi produk, merasa
was-was karena selain waktu kerjanya yang tidak diatur secara jelas juga hakhaknya terutama jika diputus hubungan kerjanya kurang mendapat perhatian dari
perusahaan.
Berdasarkan latar belakang diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dan mengambil judul “Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja Berstatus Harian Lepas Yang Tidak Mendapatkan Upah”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pekerja status harian lepas yang tidak

mendapatkan upah kerja ?
2. Bentuk upaya hukum bagi pekerja harian lepas yang tidak mendapatkan
upah ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum pekerja yang
berstatus harian lepas yang tidak mendapatkan upah.
2. Untuk mengetahui, memahami dan kemudian menganalisis upaya hukum
yang ditempuh oleh pekerja harian lepas yang tidak terpenuhi hak-haknya.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pekerja yang

berkecimpung dalam kerja harian lepas pada pekerjaan yang diberikan oleh
pemberi kerja dapat digunakan sebagai bahan masukan dan dasar untuk
mengetahui dan menuntut hak-haknya jika dirugikan.
2. Secara Praktis

4


Diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran, setidaknya
memberikan dasar hukum dalam menjalin hubungan hukum dengan pekerja
harian lepas agar terhindar dari tuntutan hukum.
1.5 Tinjauan Umum Tentang Hukum Ketenagakerjaan
1.5.1 Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Perburuhan sekarang ini disebut dengan istilah ketenagakerjaan,
sehingga hukum perburuhan sama dengan hukum ketenagakerjaan. Menurut
Imam Soepomo memberi pengertian bahwa hukum perburuhan adalah
himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan
dengan suatu kejadian pada saat seseorang bekerja pada orang lain secara
formal dengan menerima upah tertentu.1 Istilah hukum perburuhan semakin
tidak popular dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan)
sebagai payung bagi masalah-masalah yang terkait dengan hukum
ketenagakerjaan.
Menurut UU Ketenagakerjaan, pengertian ketenagakerjaan lebih luas
dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam KUHPerdata. Yang
lebih merumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan seperti


segala hal

yang bersangkutan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan
sesudah masa kerja. Mengkaji pengertian yang diberikan oleh pakar hukum
Indonesia (Imam Soepomo) tampak jelas bahwa hukum perburuhan setidaktidaknya mengandung unsur:
1

R.Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013, h. 45

5

1. Himpunan peraturan (baik tertulis dan tidak tertulis).
2. Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa.
3. Seseorang bekerja pada orang lain.
4. Upah.2
1.5.2 Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan
Pemberian perlindungan hukum bagi pekerja menurut Imam
Soepomo meliputi 5 bidang hukum ketenagakerjaan, yaitu:
1. Bidang Pengerahan/Penempatan Tenaga Kerja
Perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja sebelum ia

menjalani hubungan kerja. Masa ini sering disebut dengan masa pra
penempatan atau pengerahan.

2. Bidang Hubungan Kerja
Masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak ia mengadakan hubungan
kerja dengan pemberi kerja. Hubungan kerja itu didahului oleh
perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat dilakukan dalam batas waktu
tertentu atau tanpa batas waktu yang disebut dengan pekerja tetap.
3. Bidang Kesehatan Kerja
Selama menjalani hubungan kerja yang merupakan hubungan hukum,
pekerja harus

2

33

mendapat

jaminan


atas

kesehatannya. Apakah

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h.

6

lingkungan

kerjanya dapat menjamin kesehatan tubuhnya dalam

jangka waktu yang relatif lama.
4. Bidang Keamanan Kerja
Adanya perlindungan hukum bagi pekerja atas alat-alat kerja yang
dipergunakan oleh pekerja. Dalam waktu relatif singkat atau lama
akan aman dan ada jaminan keselamatan bagi pekerja.Dalam hal ini
pemberi usaha wajib untuk menyediakan alat keselamatan kerja bagi
pekerja.
5. Bidang Jaminan Sosial Buruh

Besarnya kompensasi dan batas maksimal yang diakui oleh
perusahaan asuransi kerja dapat dikatakan cukup. Untuk saat ini
kompensasi ataupun batas maksimal upah yang diakui untuk
pembayaran premi perusahaan asuransi kerja sudah saatnya dilakukan
revisi penyesuaian.3
1.5.3 Para Pihak Dalam Hubungan Hukum Ketenagakerjaan
Dalam suatu perjanjian ketenagakerjaan terdapat beberapa pihak yang
terlibat,

yaitu

buruh/pekerja,

pengusaha/pemberi

kerja,

organisasi

buruh/pekerja, organisasi pengusaha dan pemerintah. Kelima unsur tersebut

akan saling berpengaruh dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam
hubungan industrial.
1. Pekerja
3

11

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h.

7

Menurut Pasal 1 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, memberikan pengertian
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak umum namun
maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja
pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan
lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.4
2. Pengusaha
Menurut UU Ketenagakerjaan juga memberikan pengertian pemberi kerja
yakni perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya

yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.5 Sedangkan pengertian Perusahaan dalam UU
Ketenagakerjaan adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang
mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau
tidak, milik orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum,
baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
buruh/pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
apapun.

4
5

Lalu Husni, Op.Cit, h. 43
Ibid, h. 45

8

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan

dalam bentuk lain (Pasal 1 ayat 6).
3. Organisasi Pekerja/Buruh
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh bahwa serikat buruh/serikat pekerja ialah
organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja, baik diperusahaan
maupun diluar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela
serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja beserta keluarganya.6

4. Organisasi Pengusaha
Dalam Perkembangannya di Indonesia terdapat 2 organisasi pengusaha,
yaitu Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha
Indonesia (APINDO). KADIN merupakan organisasi yang menangani
bidang ekonomi secara umum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa. Adapun APINDO
merupakan organisasipengusaha yang khusus bergerak pada bidang
sumber daya manusia dan hubungan industrial.
5. Pemerintah
6

R.Joni Bambang, Op.Cit, h. 74

9

Secara garis besar, pemerintah sebagai penguasa memiliki fungsi
pengawasan dan pengawasan terhadap pekerja dibidang ketenagakerjaan
dilakukan oleh Depnaker. Secara normative, pengawasan perburuhan
diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1948 jo. Undang-Undang No.
3 tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan. Dalam undang-undang
ini, pengawas perburuhan yang merupakan penyidik pegawai negeri
sipil.7
1.6 Tinjauan Umum Tentang Hubungan Kerja
1.6.1 Pengertian Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang pekerja
dengan seorang pemberi kerja. Hubungan kerja

hendak menunjukan

kedudukan kedua pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban pekerja terhadap pemberi kerja. Adanya hubungan
kerja ialah hanya bila ada pekerja dan pemberi kerja atau pemberi kerja
dengan pekerjanya. Hubungan antara pekerja dengan pekerja bukanlah suatu
hubungan kerja. Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja
antara pekerja dengan pemberi kerja yaitu suatu perjanjian dimana pihak
pekerja mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak
pemberi kerja yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja itu
dengan membayar upah.8

7
8

Ibid, h. 75
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta, 1998, h. 34

10

Dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Dengan
demikian hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan
perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya
perjanjian kerja, aka nada ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan
perkataan lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan
hubungan kerja.9
1.6.2 Subyek dan Obyek Dalam Hubungan Kerja
1. Subyek Hukum Dalam Hubungan Kerja
Subyek hukum dalam hubungan kerja pada dasarnya adalah
pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. UU Ketenagakerjaan
membedakan pengertian pengusaha, perusahaan dan pemberi kerja.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan, Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bcntuk lain. Adapun pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5
UU Ketenagakerjaan adalah:
a. Orang perusahaan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 45

11

Batasan pengusaha berbeda dengan pemberi kerja. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan, pemberi kerja adalah
orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya
yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Adapun perusahaan berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 6 UU Ketenagakerjaan adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.

2. Obyek Hukum Dalam Hubungan Kerja
Obyek hukum dalam hubungan kerja adalah pekerjaan yang dilaku
kan oleh pekerja. Dengan kata lain tenaga yang melekatkan pada diri
pekerja merupakan obyek hukum dalam hubungan kerja. Obyek hukum
dalam perjanjian kerja, yaitu hak dan kewajiban masing-masing pihak
secara timbal balik yang meliputi syarat-syarat kerja atau hal lain akibat
adanya hubungan kerja. Syarat-syarat kerja selalu berkaitan dengan upaya
peningkatan

produktifitas

bagi

majikan

dan

upaya

peningkatan

12

kesejahteraan oleh buruh. Antara kepentingan pengusaha dengan
kepentingan pekerja pada hakikatnya dalam bertentangan.10
Obyek hukum dalam hubungan kerja tertuang didalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama/perjanjian
kerja bersama. Kedudukan perjanjian kerja adalah dibawah peraturan
perusahaan sehingga apabila ada ketentuan dalam perjanjian kerja yang
bertentangan dengan peraturan perusahaan maka yang berlaku adalah
peraturan perusahaan. Perjanjian kerja secara teoritis yang membuat
adalah buruh dan majikan, tetapi kenyataannya perjanjian kerja itu sudah
dipersiapkan majikan untuk ditandatangani buruh saat buruh diterima
kerja oleh majikan.

1.6.3 Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja tidak dimintakan dalam bentuk tertentu. Jadi dapat
dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak majikan atau
secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak. Perjanjian yang diadakan secara lisan maupun secara tertulis,
biasanya diadakan dengan singkat sekali dan tidak memuat semua hak dan
kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja menurut Pasal 52 UU
Ketenagakerjaan selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan dibuat atas dasar:
10

Asri Wijayanti, Op.Cit, h. 40

13

a. Kesepakatan kedua belah pihak.
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum.
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.11
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban para pihak (Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan).
Perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan (Pasal 51 ayat 1 UU
Ketenagakerjaan).

12

Perjanjian kerja dibuat sekurang-kurangnya dalam

rangkap 2 yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dan
diberikan pada masing-masing pihak. Perjanjian kerja yang telah
ditandatangani tidak boleh ditarik kembali atau diubah kecuali atas
persetujuan

para

pihak.Ketentuan

ini

sejalan

dengan

pasal

1338

KUHPerdata yang menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 13
1.6.4 Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja
Dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang
ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut masih juga menjadi pegangan
dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya
11
12
13

44

Lanny Ramli, Hukum Ketenagakerjaan, Airlangga University Press, Surabaya, 2008, h. 25.
Adrian Sutedi, Op.cit, h. 45
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, h.

14

bisa dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Tetapi disisi lain, ternyata masih ada unsurunsur lain yang harus mereka penuhi, manakala di dalam perjanjian kerja
tersebut telah memenuhi 4 syarat, yaitu berupa unsur-unsur yang terdiri
dari:14
a. Adanya Unsur Work Atau Pekerjaan
Didalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan
yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat
perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh
pekerja itu sendiri haruslah berdasarkan dan berpedoman pada
perjanjian kerja. Pekerja yagn melaksanakan pekerjaan atas dasar
perjanjian kerja tersebut, pada pokoknya wajib untuk
melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak itu bebas untuk
melaksanakan pekerjaannya itu, untuk dilakukan sendiri atau
menyuruh pada orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut
akan sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja.

b. Adanya Unsur Service Atau Pelayanan
Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai
manifestasi adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah tunduk
pada perintah orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk
dan dibawah perintah orang lain, si majikan. Dengan adanya ketentuan
tersebut, menunjukan bahwa si pekerja dalam melaksanakan
pekerjaannya berada dibawah wibawa orang lain, yaitu si majikan.
Alasannya, karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut
tidak terdapat di dalamnya. Sebab mereka itu dalam melakukan
pekerjaannya, tidak tunduk dan dibawah perintah orang lain. Karena
mereka mempunyai keahlian tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai
si pemberi kerja, yaitu klien dari notaris.15
c. Adanya Unsur Time Atau Waktu Tertentu

14
15

Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2008, h. 36
Ibid, h. 38

15

Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam melakukan
kehendak dari majikan dan juga boleh dilakukan dalam kurun waktu
seumur hidup, jika perjanjian tersebut dilakukan selama hidup dari
pekerja tersebut, disini pribadi manusia akan hilang, sehingga
timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian
kerja.16
d. Adanya Unsur Pay Atau Upah
Jika seorang yang bekerja dalam melaksanakan pekerjaannya bukan
bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang menjadi
tujuannya adalah selain upah, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut
sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja.
Selanjutnya jika seseorang yang bekerja tersebut bertujuan untuk
mendapatkan manfaat bagi diri si pekerja dan bukan untuk bertujuan
mencari upah. Maka unsur ke 4 dalam suatu perjanjian kerja adalah
unsur pay tidak terpenuhi. Tetapi walaupun ketiga unsur telah
terpenuhi , akan tetapi unsur ke 4 tidak terpenuhi, yaitu unsur pay atau
upah, maka hubungan tersebut bukan merupakan implementasi dari
pelaksanaan suatu perjanjian kerja. Upah maksudnya adalah imbalan
prestasi yang wajib dibayar oleh majikan untuk pekerjaan itu.
Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk
uang, namun demikian dalam praktek pelaksanaan sessuai dengan
peraturan perundang-undangan, tidak mengurangi kemungkinan
pemberian upah dalam bentuk barang, tetapi jumlahnya harus
dibatasi17
1.6.5 Syarat-Syarat Perjanjian Kerja
Berdasarkan

ketentuan

Pasal

51

ayat

(1)

dan

(2)

UU

Ketenagakerjaan, Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syarat
perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu syarat materill
16
17

Ibid, h. 39
Ibid, h. 40

16

dan syarat formil. Syarat materiil diatur dalam Pasal 52 UU
Ketenagakerjaan, sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54 UU
Ketenagakerjaan.
Syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 52
UU Ketenagakerjaan, dibuat atas dasar:
1.
2.
3.
4.

Kesepakatan kedua belah pihak
Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila perjanjian kerja yang dibuat itu bertentangan dengan ketentuan
angka 1 dan 2 maka akibat hukumnya perjanjian kerja itu dapat dibatalkan.
Apabila bertentangan dengan ketentuan angka 3 dan 4 maka akibat
hukmnya perjanjian kerja itu adalah batal demi hukum. Bila kita mengkaji
lebih jauh sebenarnya ketentuan Pasal 52 UU Ketenagakerjaan itu
mengadopsi ketentuan Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek. Perjanjian kerja
adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus memenuhi ketentuan
syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Burgerlijk
Wetboek. Yang dimana akan dikatakan sah apabila memenuhi unsur:
1. Adanya sepakat
2. Kecakapan berbuat hukum
3. Hal tertentu
4. Klausa yang dibenarkan
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.Syarat
kemampuan kecakapan dan kemauan bebas kedua belah pihak dalam

17

membuat perjanjian pada hukum perdata disebut syarat subyektif karena
menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat
adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan hal itu harus halal disebut syarat
obyektif karena menyangkut obyek perjanjian.18
1.6.6 Jenis-Jenis Perjanjian Kerja
1. Perjanjian Kerja Tertentu
Pengertian menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/
1986 Pasal 1 huruf a, yang berbunyi bahwa kesepakatan kerja antara
pekerja dengan pengusaha yang diadakan untuk waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu. Suatu kesepakatan kerja dapat diadakan untuk jangka
waktu yang tidak tertentu sedemikian rupa, sehingga tidak dapat untuk
sementara waktu itu secara teratur diputuskan oleh salah satu pihak.
Karena biasanya suatu perjanjian atau kesepakatan itu tidak diadakan
untuk suatu masa yang tetap dan masing-masing pihak tidak mempunyai
kewenangan untuk secara teratur memutuskannya. 19
2. Perjanjian Kerja Persaingan Atau Concurentie Beding
Tentang Concurentie Beding atau biasa disebut dengan perjanjian kerja
persaingan, ada diatur pada pasal 1601 ayat 1 KUHPerdata, yang
memberikan ketentuan bahwa pengertian perjanjian persaingan adalah
suatu janji antara majikan dan buruh dimana pihak yang belakangan ini
18
19

Asri Wijayanti, Op.Cit, h. 45
Djumadi, Op.Cit, h. 62

18

dibatasi dalam kekuasaannya untuk setelah berakhirnya hubungan kerja,
bekerja dengan atau cara. Perjanjian tersebut hanyalah sah, jika dibuat
dalam perjanjian tertulis atau dalam peraturan perusahaan dengan
seorang buruh dewasa.20
3. Perjanjian Kerja di Rumah
Mengenai perjanjian ini sendiri tidak ditemukan pengertian secara jelas
walaupun dilihat dalam KUHPerdata maupun peraturan perundangundangan lainnya. Tetapi menurut seorang pakar Hukum Perburuhan
Belanda yaitu M.G. Rood, yang mana beliau memberikan batasanbatasan tentang pengertian perjanjian kerja dirumah adalah bahwa
perjanjian kerja dirumah adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu ,
pekerja, membuat suatu persetujuan dengan pihak lain yaitu orang yang
memberi pekerjaan, si majikan, untuk dibawah pengawasan majikan
melakukan pekerjaan dirumah dengan imbalan yang saling disetujui
sebelumnya antara kedua belah pihak.21
1.7 Tinjauan Umum Tentang Upah
1.7.1 Pengertian Upah
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan, upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,

20
21

Ibid, h. 73
Ibid, h. 77

19

kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.22
Upah adalah salah satu sarana yang digunakan oleh pekerja untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 31
UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa kesejahteraan pekerja/buruh adalah
suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah
dan rohaniah, baik didalam maupun diluar hubungan kerja, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja
dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Pengupahan yang layak bagi kemanusiaan ini tidak boleh diserahkan
semata-mata kepada rasa-keluhuran (etika) dari pengusaha saja, tetapi
harus dijamin oleh penguasa supaya dilaksanakan oleh pengusaha sebagai
suatu kewajiban sosial. Dari pada itu tidak boleh dilupakan bahwa juga
dibidang pengupahan ini buruh mempunyai kewajiban sosial. Tidak hanya
buruh saja, tetapi juga majikan bahwa rakyat lainnya pun berhak atas
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.23
1.7.2 Perlindungan Upah
Berdasarkan ketentuan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan yaitu setiap
pekerja/buruh

berhak

memperoleh

penghasilan

yang

memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Adapun bentuk kebijakan

22
23

Asri Wijayanti, Op.Cit, h. 107
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1999, h. 189

20

pengupahan yang melindungi pekerja/buruh diatur dalam ketentuan Pasal
88 ayat 3 UU Ketenagakerjaan terdiri atas :
a. Upah minimum;
b. Upah kerja lembur;
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar
pekerjaannya;
e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. Bentuk dan cara pembayaran upah;
g. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
h. Struktur dan skala pengupahan yang proposional;
i. Upah untuk pembayaran pesangon;
j. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Bentuk perlindungan upah yang pertama adalah upah minimum Pemerintah
menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 ayat 3 huruf a terdiri atas :
a. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota.
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat 1 diarahkan
kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.24
Motivasi utama seorang pekerja/buruh bekerja di perusahaan adalah
meningkatkan kesejahteraan dan mengembangkan karier. Salah satunya
peningkatan penghasilan upah/gaji yang sesuai dengan tugas, fungsi, dan
tanggung jawabnya.
24

Asri Wijayanti, Op.Cit, h. 109

Upah/gaji merupakan salah satu hak dasar

21

pekerja/buruh yang bersifat sensitive, karenanya tidak jarang dapat
menimbulkan perselisihan.
1.7.3 Bentuk Upah
1. Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Pasal 1 angka
30 UU Ketenagakerjaan).
2. Suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha

kepada buruh

untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan atau akan
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
buruh, termasuk tunjangan, baik untuk buruh sendiri maupun
keluarganya (Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1981).
Dari uraian diatas jelas upah diberikan dalam bentuk uang. Namun secara
normative masih ada kelonggaran bahwa upah dapat diberikan dalam
bentuk lain berdasarkan perjanjian atau peraturan perundang-undangan,

22

dengan batasan nilainya tidak boleh melebihi 25% dari nilai upah yang
seharusnya diterima.25
1.7.4 Sistem Pengupahan
Menurut Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang berbunyi:
1. Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dibayarkan secara
langsung atau melalui bank.
2. Dalam hal upah dibayarkan melalui bank, maka upah harus dapat
diuangkan oleh pekerja pada tanggal pembayaran upah yang
disepakati kedua belah pihak.
Dan dari penjelasan diatas, dapat dibagi menjadi beberapa jenis
pengupahan itu sendiri, seperti :
1. Upah Langsung
Sistem upah yang langsung berbentuk sejumlah uang yang dibayarkan
atas dasar satuan waktu tertentu. Satuan waktu tersebut bisa harian,
mingguan dan bulanan. Tetapi penggunaan sistem upah langsung ini
belum mencakup upah lembur.
2. Gaji
Sistem upah yang didasarkan atas waktu atau lamanya mengerjakan
suatu pekerjaan. Bisa juga menggunakan jam, atau yang biasa disebut
upah per jam.
3. Upah Satuan
Upah yang dibayarkan kepada pekerja dihitung dari sejumlah produk
atau banyaknya produk yang pekerja hasilkan. Biasanya didalam
system

upah

ini,

perusahaan

atau

pemberi

kerja

harus

memastikan/menjamin adanya upah minimum yang pekerja dapatkan.
4. Komisi

25

Abdul Hakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2014, h. 124

23

Sistem pembayaran yang berbentuk sejumlah uang yang dibayarkan
untuk setiap unit barang yang terjual dan didasarkan atas presentase
dari harga jual. Didalam pengupahan ini juga lebih diperuntukkan
kepenjualan unit, bukan unit yang dapat diproduksi.
5. Premi Shift Kerja
Upah yang diberikan kepada para pekerja yang bekerja diluar jam
kerja normal. Dengan contoh sebuah perusahaan mengejar deadline
pada

suatu

proyek

untuk

diproduksi, untuk

itu

perusahaan

mempekerjakan pekerja tambahan pada waktu sore atau malam hari
dan mendapat upah yang lebih tinggi dari peke rja yang bekerja pada
jam kerja normal.
6. Tunjangan Tambahan
Sistem upah yang berdasarkan pada waktu yang dilihat pada pekerja
telah bekerja cukup lama atau tidak pada suatu perusahaan.Sistem
upah tunjangan tambahan ini bisa berbentuk tunjangan hari raya,
tunjangan hari libur, tunjangan akhir tahun, cuti, pesangon, jemputan
bahkan hingga rumah dan kendaraan.
1.7.5 Asas Pengupahan
Beberapa asas pengupahan yang telah diatur dalam perundang-undangan
ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:26
1. Hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan
berakhir pada saat hubungan kerja putus (Pasal 2 PP No.8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah)
2. Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi pekerja
atau buruh laki-laki dan perempuan untuk jenis pekerjaan yang sama
(Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah)
3. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja (Pasal 77
ayat 1 UU Ketenagakerjaan)
26

Ibid, h.123

24

4. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib membayar upah kerja
lembur (Pasal 85 ayat 3 UU Ketenagakerjaan)
5. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melakukan pekerjaan
pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 wajib
membayar upah kerja lembur (Pasal 85 ayat 3 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
6. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah
minimum (Pasal 90 ayat 1 UU Ketenagakerjaan)
7. Upah tidak dibayar apabila pekerja atau buruh tidak melaksanakan
pekerjaan atau asas no work to play (Pasal 93 ayat 1 UU
Ketenagakerjaan)
8. Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap dengan
formulasi upah pokok minimal 75% dari jumlah upah pokok dan
tunjangan tetap (Pasal 94 UU Ketenagakerjaan)
9. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan
atau kelalaiannya dapat dikenakan denda (Pasal 95 ayat 1 UU
Ketenagakerjaan 2003)
10. Pengusaha karena kesenjangannya atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah dikenakan denda sesuai persentase
tertentu dari upah pekerja atau buruh (Pasal 95 ayat 2 UU
Ketenagakerjaan)
11. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja atau buruh merupakan utang yang harus
didahulukan pembayaran (Pasal 95 ayat 4 UU Ketenagakerjaan)
12. Tuntutan pembayaran upah pekerja atau buruh dan segala pembayaran
yang timbul dari hubungan kerja menjadi daluwarsa setelah
melampaui jangka waktu 2 tahun sejak timbulnya hak (Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan).
1.8 Tinjauan Umum Tentang Pekerja Harian Lepas
1.8.1 Pengertian Pekerja Harian Lepas
Pekerja atau tenaga kerja harian lepas adalah pekerja atau buruh
yang menerima upah apabila pekerja tersebut bekerja dengan berdasarkan
jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau
penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Pekerja harian lepas ini masuk kedalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

25

(Selanjutnya disebut PKWT). Ketentuan mengenai PKWT diatur didalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan dari Pasal 56 sampai dengan Pasal 59,
yang mana di bagian akhir dari Pasal 59 yaitu pada ayat 8 disebutkan
bahwa hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih
lanjut dengan keputusan menteri. Ketentuan inilah yang kemudian
mendasari terbitnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (KEPMEN
No.100 Tahun 2004).27
Ketentuan untuk pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 10 ayat 1,
KEPMEN No.100 Tahun 2004 yang berbunyi untuk pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta
upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja
harian lepas. Pengusaha atau pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja
atau buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud Pasal 10 wajib membuat
perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja atau buruh.
Dengan demikian, perjanjian kerja harian lepas menurut KEPMEN ini
merupakan bagian dari PKWT.
1.9 Metodologi Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum,prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab

27

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

26

isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan
argumentasi,teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi.
1.9.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis
normatif. Yang dimaksud dengan yuridis normatif atau metode penelitian
hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan didalam
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
yang ada.28
Pada penelitian secara normatif, sering kali hukum dikonsepsikan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia dianggap putus. Dengan demikian penelitian ini dapat diperjelas
yaitu menggunakan metode hukum normatif dengan maksud untuk
memperoleh gambaran yang sejelas-jelasnya tentang perlindungan hukum
bagi pekerja berstatus harian lepas yang tidak mendapatkan upah.
1.9.2 Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif, data diperoleh langsung dari
pihak yang bersangkutan, yaitu berupa perilaku hukum masyarakat yang
diteliti secara langsung. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh
28

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 14

27

langsung dari sumber pertama. Jadi data primer diperoleh langsung dari
lapangan dan diolah oleh peneliti. Sedangkan data sekunder, antara lain
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian
yang berwujud laporan, dan sebagainya. Data sekunder dibagi menjadi :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam

pembuatan

perundang-undangan

dan

putusan-putusan

hakim.29 Dalam hal ini peenulis menggunakan Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
b.

Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, artikel, dan
sumber lainnya yang memiliki korelasi dengan isu hukum yang akan

c.

diteliti didalam penelitian ini.
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

1.9.3 Metode Pengumpulan Data
29

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-2,Kencana, Jakarta, 2006, h. 141

28

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam suatu penelitian,
lazimnya dikenal dengan beberapa jenis alat pengumpul data, yaitu:
1. Studi Kepustakaan/dokumen
Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian
hukum (baik normatif maupun sosiologis). Studi kepustakaan
diperlukan sebagai landasan dalam menganalisis suatu permasalahan
serta mampu memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut
terkait dengan fenomena yang ada dengan teori hukum yang
ditetapkan.
2.

Wawancara
Wawancara

yang

dilakukan

oleh

penulis

bertujuan

untuk

mendapatkan informasi terkait permasalahan yang diambil oleh
penulis sebagai bahan penelitian yang bersumber dari informan
terkait dengan permasalahan yang diambil oleh penulis. Adapun
dalam prakteknya penulis melakukan wawancara langsung kepada
pekerja maupun pemberi kerja yang pernah terlibat didalam
3.

permasalahan yang terjadi.
Observasi
Observasi atau data lapangan yang diperlukan sebagai data
penunjang dalam penelitian ini, penulis memperoleh dari pihakpihak terkait yang berada diruang lingkup kerja antara pekerja

dengan pemberi kerja.
1.9.4 Metode Analisis Data
Langkah pengumpulan data dalam tulisan ini adalah melalui studi
kepustakaan yaitu diawali dengan inventarisasi semuah data yang terkait

29

dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi data yang
terkait dan selanjutnya data tersebut disusun dengan sistematika untuk
lebih mudah membaca dan mempelajarinya.
Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran
bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat
umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literature
danberkas perkara yang kemudian dipakai sebagai bahan analisis terhadap
permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari
permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan
penafsiran sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan
perundangan-undangan yang ada serta pendapat para sarjana
1.9.5 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian pengumpulan data yang diperoleh dari beberapa
tempat yang mencakup perpustakaan Surabaya, perpustakaan perguruan
tinggi, perpustakaan umum dan sebagainya. Hal ini berkaitan dikarenakan
banyaknya pekerja lepas yang tidak mendapatkan upah yang seharusnya.
1.9.6 Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini adalah empat bulan, dimulai dari bulan
Februari 2016 sampai Juli 2016. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada
bulan Februari 2016 pada minggu kedua, yang meliputi tahap persiapan
penelitian yakni pengajuan judul (pra proposal), Acc judul, pencarian data,
bimbingan penelitian, penulisan penelitian.
1.9.7 Sistematika Penulisan
Di dalam proposal skripsi ini, terbagi dari beberapa hal dalam
bentuk kerangka menjadi beberapa bab yang merupakan kesatuan dari

30

beberapa sub bab. Proposal skripsi ini berjudul Perlindungan Hukum
Bagi Pekerja Berstatus Harian Lepas Yang Tidak Mendapatkan
Upah, yang didalam pembahasannya dibagi menjadi 4 (empat) bab.
Sebagaimana yang diuraikan secara menyeluruh tentang produk
permasalahan yang akan dibahas dalam proposal skripsi ini.
Bab Pertama, menjelaskan tentang pendahuluan berisi uraian atau
gambaran mengenai topik yang dibahas dalam proposal skripsi ini. Dalam
bab pertama ini dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu latar belakang,
rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka

menjelaskan tentang dasar hukum dan teori-teori untuk

mendukung pembahasan dalam proposal skripsi ini, metodologi penelitian
yang digunakan untuk membahas proposal skripsi ini yaitu metodologi
yuridis normatif, sistematika penelitian, lokasi penelitian, serta waktu
dalam penulisan proposal skripsi ini.
Bab Kedua, membahas tentang rumusan masalah yang pertama
yaitu, mengenai bentuk perlindungan hukum bagi pekerja status harian
lepas yang tidak mendapatkan upah kerja. Yang dibagi menjadi dua sub
bab, sub bab yang pertama membahas sistem pengupahan pada pekerja
harian lepas, dan pada sub bab kedua adalah bentuk perlindungan hukum
bagi pekerja harian lepas yang tidak mendapatkan upah.
Bab Ketiga, membahas tentang rumusan masalah yang kedua yaitu,
mengenai bentuk upaya hukum bagi pekerja harian lepas yang tidak
mendapatkan upah. Yang dibagi menjadi dua sub bab, sub bab yang

31

pertama membahas mengenai upaya hukum melalui cara non litigasi bagi
pekerja harian lepas yang tidak mendapatkan upah, sedangkan sub bab
yang kedua adalah upaya hukum melalui cara litigasi bagi pekerja harian
lepas yang tidak mendapatkan upah
Bab Keempat, berisikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian
yang diperoleh serta memberikan saran terhadap hasil penelitian yang
didapat guna memberikan manfaat terhadap permasalahan yang nantinya
akan terjadi pada suatu pekerja tersebut.

BAB II
BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA STATUS HARIAN
LEPAS YANG TIDAK MENDAPATKAN UPAH KERJA
2.1 Sistem Pengupahan Pada Pekerja Harian Lepas
Upah merupakan bentuk imbalan yang diberikan kepada buruh atau
pekerja dari pengusaha atau pemberi kerja atas jasa yang dikerjakannya demi

34

32

kepentingan pemberi kerja. Menurut Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan upah atau gaji
yaitu hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau
peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Upah tersebut bisa berupa uang yang dapat diberikan secara langsung maupun
tidak langsung seperti halnya memberikan dengan cara transfer melalui bank,
dan pemberian upah tersebut bisa berupa barang atau benda yang sekiranya
berharga dan dipersetujui oleh pihak pekerja tanpa adanya paksaan dari pemberi
kerja. Pembayaran upah tersebut atau bisa disebut sistem upah bisa terbagi
menjadi beberapa bentuk macam pengupahan kepada pekerja. Sistem upah itu
sendiri merupakan kebijakan dan strategi yang menentukan kompensasi yang
diterima pekerja. Bagi pekerja, masalah sistem upah ini merupakan masalah
yang penting karena menyangkut keberlangsungan dan kesejahteraan hidup
mereka. Menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan menjelaskan bahwa penghasilan
yang layak merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari
hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh
dan keluarganya secara wajar

33

Didalam sistem pengupahan, pastinya semua berawal dari pemberi kerja
yang membutuhkan pekerja untuk membantu mengerjakan dan mengembangkan
usaha yang dimilikinya. Di sisi lain, pekerja itu pun juga membutuhkan
pekerjaan

yang dikarenakan tuntutan kebutuhan ekonomi sehari-hari yang

semakin hari semakin naik harga kebutuhan primer maupun sekunder dan tersier.
Untuk itu hubungan mereka dipastikan saling terpaut karena mereka sama-sama
membutuhkan. Pekerjaan itu sendiri berawal dari pemberi kerja yang lebih dulu
bertemu dengan pekerja, maka akan dilanjutkan mengenai sistem pekerjaan yang
akan dikerjakan dan aturan-aturan dasar dalam dunia pekerjaan. Semua
mengenai aturan dan jenis pekerjaan akan ditulis dalam bentuk autentik didalam
naskah perjanjian pengikatan hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja.
Hal tersebut dilakukan untuk menghindari perihal yang dapat merugikan masingmasing dari pihak. Kemudian didalam perjanjian tersebut akan ditandatangani
oleh pihak pemberi kerja maupun pihak pekerja tanpa adanya paksaan maupun
ancaman. Pembuatan perjanjian kerja dapat dilakukan dalam waktu 1 hari.
Setelah itu pekerja berkewajiban untuk melakukan pekerjaan yang sudah
disepakati oleh pihak pemberi kerja, dengan jangka waktu yang telah ditentukan
dalam perjanjian yang disesuaikan dengan undang-undang yang masih berlaku.
Setelah suatu pekerjaan telah selesai dilakukan oleh pekerja, maka pekerja dapat
meminta hak alaminya dalam bekerja yaitu meminta upah yang sudah
ditentukan. Biasanya dalam pekerja harian lepas, upah akan dibayarkan setelah 7
hari semenjak pekerjaan selesai. Berikut merupakan proses sistem pengupahan :

34

1 Hari

Pekerja

Perjanjian
Pemberi Kerja

Melakukan Pekerjaan
7 Hari

Pemberian Upah

Pekerjaan Selesai
Bagan 1
Proses Sistem Pengupahan

Didalam proses pemberian pengupahan, terbagi menjadi beberapa macam
bentuk dan cara dalam pembayaran upah kepada pekerja. Tergantung dalam
kesepakatan sistem pengupahan atau pun dalam kondisi yang diharuskan untuk
melakukan pembayaran dengan keterlambatan waktu. Berikut merupakan
beberapa sistem pengupahan upah kepada pekerja :

35

1. Upah Langsung adalah sistem upah yang langsung berbentuk sejumlah
uang yang dibayarkan atas dasar satuan waktu tertentu. Satuan waktu
tersebut bisa harian, mingguan dan bulanan. Tetapi penggunaan sistem
upah langsung ini belum mencakup upah lembur. Biasanya yang
menggunakan sistem ini adalah pekerja yang termasuk didalam perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT). Dengan ditentukan dalam beberapa jam
atau hari dengan sistem langsung bayar.
2. Gaji adalah sistem upah yang didasarkan atas waktu atau lamanya
mengerjakan suatu pekerjaan. Bisa juga menggunakan jam, atau yang
biasa disebut upah per jam. Pekerja yang menerima upah dalam sistem
gaji biasanya termasuk didalam perjanjian kerja waktu tak tentu
(PKWTT). Karena pemberian upah bisa dalam waktu bulanan dengan
terhitung dari per jam yang dilakukan pekerja.
3. Upah Satuan adalah upah yang dibayarkan kepada pekerja dihitung dari
sejumlah produk atau banyaknya produk yang pekerja hasilkan. Biasanya
didalam sistem upah ini, perusahaan atau pemberi kerja harus
memastikan/menjamin adanya upah minimum yang pekerja dapatkan.
Sistem ini termasuk menganut pada jumlah kuantitas pada produk yang
dihasilkan oleh pekerja.
4. Komisi adalah sistem pembayaran yang berbentuk sejumlah uang yang
dibayarkan untuk setiap unit barang yang terjual dan didasarkan atas
presentase dari harga jual. Didalam pengupahan ini juga lebih
diperuntukkan kepenjualan unit, bukan unit yang dapat diproduksi.

36

Biasanya sistem ini diberlakukan kepada sales atau marketing suatu
perusahaan dengan ditentukan oleh target penjualan kepada konsumen.
Seperti halnya unit apartemen atau unit kendaraan.
5. Premi Shift Kerja adalah upah yang diberikan kepada para pekerja yang
bekerja diluar jam kerja normal. Dengan contoh sebuah perusahaan
mengejar deadline pada suatu proyek untuk diproduksi, untuk itu
perusahaan mempekerjakan pekerja tambahan pada waktu sore atau
malam hari dan mendapat upah yang lebih tinggi dari pekerja yang bekerja
pada jam kerja normal. Sistem ini jarang digunakan karena pemberi kerja
sudah cukup dengan menggunakan pekerja pada jam normal dengan
menentukan target perharinya sehingga dapat mencegah terjadinya
pengejaran deadline dalam suatu proyek.
6. Tunjangan Tambahan adalah sistem upah yang berdasarkan pada waktu
yang dilihat pada pekerja telah bekerja cukup lama atau tidak pada suatu
perusahaan.Sistem upah tunjangan tambahan ini bisa berbentuk tunjangan
hari raya, tunjangan hari libur, tunjangan akhir tahun, cuti, pesangon, uang
makan, jemputan bahkan hingga rumah dan kendaraan. Sistem ini
biasanya diberikan secara otomatis bersandingkan dengan sistem
pengupahan yang lain. Seperti contohnya seorang karyawan ditugaskan
diluar kota untuk kepentingan perusahaan, untuk itu perusahaan wajib
untuk memberikan uang makan, transportasi, kesehatan, keselamatan dan
tempat tinggal selama itu diperlukan dalam penugasan.

37

Pemberian upah dari pemberi kerja kepada pekerja dapat dilakukan per
tanggal yang sudah ditentukan dalam perjanjian ataupun kesepakatan. Jadi
pemberi kerja dapat menentukan sistem pengupahan yang akan diberlakukan
kepada pekerja atau buruhnya dengan melihat bentuk dari sistem kerja itu sendiri
dan waktu