tugas 2 Psikologi Komunikasi pemicu
TUGAS 2
Psikologi Komunikasi
Karakteristik Manusia Komunikan
Dessrina Ismi
210110130337
Mankom C
Program Studi Manajemen Komunikasi
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
2014
Di Yunani, sejak abad VI SM., terkenal sebuah tempat pemujaan Apollo di Delphi. Ke
tempat inilah raja-raja dan rakyat banyak meminta nasihat. Dari Delphi menyebar motto yang
terkenal: Gnothi Seauthon (Kenalilah Dirimu). Motto inilah yang mendorong berkembangnya
filsafat di Yunani.
Fokus psikologi komunikasi adalah manusia komunikan. Oleh karena itu, penting lebih
dahulu kita mengenal diri kita.
Konsep Psikologi tentang Manusia
Teori-teori persuasi sudah lama menggunakan konsepsi psikoanalisis yang melukiskan
manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens).
Teori jarum hipodermik dilandasi konsepsi behaviorisme yang memandang manusia sebagai
makhluk yang digerakkan semaunya oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori pengolahan
informasi jelas dibentuk oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk
yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimulus yang diterimanya (Homo Sapiens). Teoriteori komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistis yang
menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan
lingkungannya (Homo Ludens).
Walaupun psikologi telah banyak melahirkan teori-teori tentang manusia, tetapi empat
pendekatan yang paling dominan adalah psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif, dan
psikologi humanistis.
Konsepsi Manusia dalam Psikoanalisis
Psikoanalisis secara tegas memerhatikan struktur jiwa manusia. Menurut Sigmun Freud,
perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia: Id, Ego,
dna Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis
manusia. Ada dua instink dominan: (1) Libido atau instink reproduktif yang menyediakan energy
dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; (2) Thanatos atau instink destruktif dan
agresif. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin segera memenuhi
kebutuhannya. Id adalah tabiat hewani manusia.
Ego berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah
mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistic. Ia bergerak
berdasarkan prinsip realitas (reality principle).
Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma
social dan kultural masyarakatnya. Baik Id maupun Superego berada dalam bawah sadar
manusia. Ego berada di tengah, antara memenuhi desakan Id dan peraturan Superego.
Konsepsi Manusia dalam Behaviorisme
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme dan juga psikoanalisis.
Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang tampak saja, yang dapat diukur,
dilukiskan, dan diramalkan.
Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai warna mental. Warna
ini didapat dari pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan
temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience).
Hedonism, salah satu paham filsafat etika, memandang manusia sebagai makhluk yang
bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan dan menghindari
penderitaan. Dalam utilitarianisme, seluruh perilaku manusai tunduk pada prinsip ganjaran dan
hukuman. Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and
pleasure (Jeremy Bentham :1879).
Sejak Thorndike dan Watson sampai sekarang, kaum Behavioris berpendirian: organisme
dilahirkan tanpa sifat-sifat social atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman; dan perilaku
digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi
penderitaan.
“Berikan padaku selusin anak0anak sehat, tegap, dan berikan dunia yang aku atur sendiri
untuk memelihara mereka. Aku jamin, aku sanggup mengambil seoran ganak sembarang saja,
dan mendidiknya untuk mnejadi spesialis yang aku pilih —dokter, pengacara, seniman, saudara,
dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memerhatikan bakat, kecenderungan, tendensi,
kemampuan, pekerjaan, dan ras orang tuanya).” (J.B. Watson, 1934:104)
Ekperimen yang dilakukan Watson & Rayner pada seorang anak bernama Albert
melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning). Pelaziman klasik adalah
memasangkan stimulus yang netral atau stimulus terkondisi dengan stimulus tertentu yang
melahirkan perilaku tertentu (Sechenov & Pavlov).
Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain yang ia sebut operant conditioning.
Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu
berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Bentuk-bentuk penghargaan yang diberikan
dalam hal ini disebut peneguh (reinforcer).
Bandura menambahkan konsep belajar social (social learning). Ia mempermasalahkan
peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Menurut Bandura, belajar terjadi karena
peniruan (imitation). Ganjaran dan hukuman bukanlah factor yang penting dalam belajar, tetapi
factor yang penting dalam melakukan satu tindakan (performance). Melakukan satu perilaku
ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh
peniruan.
Konsepsi Manusia dalam Psikologi Kognitif
Ketika asumsi-asumsi Behaviorisme diserang habis-habisan pada akhir tahun 60-an dan
awal tahun 70-an, manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami
lingkungannya: makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens).
Descartes dan Kant menyimpulkan bahwa jiwa (mind) yang menjadi alat utama
pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsirkan, mendistorsi, dan mencari makna.
Rasionalisme ini tampak jelas pada aliran psikologi Gestalt di awal abad XX. Menurut para
psikolog Gestalt, manusia tidak memberikan respons kepada stimulasi secara otomatis. Manusia
adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkunagn. Seblu memberikan
respons, manusia menangkap dulu “pola” stimulus secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang
bermakna. Pola ini disebut Gestalt. Di kalangan ilmu komunikasi terkenal proposisi Words don’t
mean, people mean —kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Darinya, terknal
rumus B = f (P,E), artinya behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara person (diri orang itu)
dengan environment (lingkungan psikologisnya). Lewin juga berjasa dalam menganalisis
kelompok yang melahirkan konsep dinamika kelompok. Solomon Asch memperluas penelitian
kelompok dengan melihat pengaruh penilaian kelompok (group judgements) pada pembentukan
kesan (impression formation). Lewin juga berbicara tentang tension (tegangan) yang menunjukan
suasana kejiwaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologis belum terpenuhi. Konsep tension
melahirkan istilah teori (konsistensi kognitif). Teori ini menyatakan bahwa individu berusaha
mengoptimalkan makna dalam persepsi, perasaan, kognisi, dan pengalamannya.
Sejak pertengahan tahun 1950-an berkembang penelitian mengenai perubahan sikap
dengan kerangka teoretis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (The Person as
Consistency Seeker). Leon Festinger mengemukakan sebuah teori, yaitu teori disonansi kognitif.
Disonansi artinya ketidakcocokan antara dua kognisi (pengetahuan). Dalam keadaan disonan,
orang berusaha mengurangi disonansi dengan berbagi cara. Dihadapkan dalam situasi disonan,
seseorang akan:
(1) mengubah perilaku,
(2) mengubah kognisi tetang lingkungan,
(3) memperkuat salah satu kognisi,
(4) mengurangi disonansi dengan memutuskan bahwa salah satu kognisi tidak penting.
Dalam teori komunikasi, teori disonansi menyatakan bahwa orang akan mencari
informasi yang mengurangi disonansi, dan menghindari informasi yang menambah disonansi.
Awal 1970-an, teori disonansi dikritik, dan muncul konsepsi manusia sebagai pengolah
informasi (The Person as Information Processor). Dalam konsepsi ini, perilaku manusia
dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional, yang mengarahkan
penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi. Contoh perspektif ini adalah teori
atribusi yang menganggap manusia sebagai ilmuwan yang naïf (naïve scientists), yang
memahami dunia dengan metode ilmiah yang elementer.
Kenyataan menunjukan bahwa manusia tidaklah serasional dugaan tersebut. Sering
penilaian orang terjadi didasarkan pada data yang kurang, lalu dikombinasikan dan diwarnai oleh
prakonsepsi. Kehneman dan Tversky (1974) menyebutnya cognitive heuristics (dalil-dalil
kognitif). Dari sinilah muncul konsepsi Manusia sebagai Miskin Kognitif (The Person as
Cognitive Miser).
Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik
Pada behaviorisme manusia hanyalah mesin yang dibentuk lingkungan, pada
psikoanalisis manusia selalu dipengaruhi oleh naluri primitifnya. Psikologi humanistic
mengambil banyak dari psikoanalisi Neo-Freudian, tetapi lebih banyak lagi mengambil dari
fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia
kehidupan” yang dipersepsi dan diinerpretasi secara subjektif. Eksistensialisme menekankan
pentingnya kewajiban individu pada sesame manusia.
Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan humanism sebagai berikut:
1) Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi di mana dia
menjadi pusat.
2) Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasi
diri.
3) Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya.
4) Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri.
5) Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri.
Faktor-faktor Personal yang Mempengaruhi Perilaku Manusia
Dewasi ini ada dua macam psikologi social. Yang pertama adalah Psikologisosial (dengan
huruf P besar) dan yang kedua psikologi Sosial (dengan huruf S besar). Ini menunjukan dua
pendekatan dalam psikologi social: ada yang menekankan faktor-faktor social; atau dengan
istilah lai: faktor-faktor yang timbul dari dalam diri individu (faktor personal), dan faktor-faktor
berengaruh yang dating dari luar diri individu (faktor environmental).
Menurut McDougall, faktor-faktor personallah yang menentukan perilaku manusia.
Populernya behaviorisme memorakporandakan dalil-dalil McDougall. Orang melihat faktor
situasilah yang penting.
Faktor Biologis
Menurut Wilson, perilaku social dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah deprogram
secara genetis dalam jiwa manusia. Program ini disebut sebagai epigenetic. Emil Dofivat
menyebutkan kemungkinan menggunakan manipulasi biologis untuk menguasai massa suatu
negeri. Dofivat menyebutkan psychochemische machen (penguasaan psikokimiawi). Ia
mengutip, dosis kloral dan skopolamin dapat mengubah seluruh massa manusia menjadi sangat
mudah dipengaruhi.
Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusa,
dan bukan pengaruh lingkungan atau situasi. Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang
mendorong perilaku manusia, yan glazim disebut sebagai motif biologis.
Faktor-faktor Sosiopsikologis
Karena manusia makhluk social, dari proses sosial ia memeroleh beberapa karakteristik
yang memengaruhi perilakunya. Kita dapat mengklasifikasinya ke dalam tiga komponen: afektif,
kognitif, dan konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis.
Komponen kognitif adalh aspek inteletual. Komponen konatif adalh aspek volisional yang
berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.
Motif Sosiogenis
Motif-motif sosiogenis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Motif ingin tahu: mengerti, menat, dan menduga (predictability). Kita memerlukan
kerangka rujukan untuk mengevaluasikan situasi varu dan mengarahkan tindakan yang
sesuai.
2) Motif kompetensi. Motif ini erat hubungannya dengan kebuthan akan rasa aman.
3) Motif cinta. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kebutuhan akan kasih sayang yang
tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku manusia yang kurang baik.
4) Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas. Erat kaitannya dengan kebutuhan
untuk memperlihatkan kemampuan dan memeroleh kasih sayang, ialah kebutuhan untuk
menunjukan eksistensi di dunia.
5) Kebutuhan akan nilai, kedambaan, dan makna kehidupan. Bila manusia kehilangan nilai,
tidak tahu apa tujuan hidup sebebarnya, ia tidka memiliki kepastian untuk bertindak.
Dengan demikian, ia akan lekas putus asa dan kehilangan pegangan.
6) Kebutuhan pemenuhan diri. Dengan ucapan Maslow, “What a man can be, he must be.”
Kebutuhan akan pemenuhan diri dilakukan melalui berbagi bentuk (1) mengembangkan
dan menggunakan potensi-potensi kita dengan cara yang kreatif konstruktif, (2)
memperkaya kualitas kehidupan dengan memperluas rentangan dan kualitas pengalaman
serta pemuasan, (3) membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang
lain di sekitar kita, (4) berusaha “memanusia” menjadi persona yang kita dambakan.
Sikap
Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi
objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk
berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Sikap mempunyai daya pendorong
atau motivasi. Sikap relatif lebih menetap. Sikap mengandung aspek evaluatif. Dan sikap timbul
dari pengalaman.
Emosi
Emosi menunjukan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran,
keperilakuan, dan proses fisiologi. Ada empat fungsi emosi menurut Coleman dan Hummen.
Pertama, emosi adalah pembangkit energy (energizer). Kedua, emosi adalah pembawa informasi
(messenger). Ketiga, emosi juga merupakan pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal.
Keempat, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.
Kepercayaan
Kepercayaan adalah kecakinan bahwa sesuatu itu ′benar′ atau ′salah′ atas dasar bukti, sugesti
otoritas, pengalaman, atau intuisi (Hohler, et al., 1978: 48). Menurut Solomen E. Asch,
kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan.
Kebiasaan
Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, belangsung secara otomatis tidak
direncanakan.
Kemauan
Kemauan erat kaitannya dengan tindakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai
tindakan yang merupakan usaha seseoran guntuk mencapai tujuan: (1) hasil keinginan untuk
mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong oran guntuk mengorbankan
nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan; (2) berdasarkan pengetahuan
tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan; (3) dipengaruhi oleh kecerdasan dan
energy yang diperlukan untuk mencapai tujuan; (4) pengeluaran energi yang sebenarnya dengan
satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan.
Faktor-faktor Situasional yang Memengaruhi Perilaku Manusia
Berdasarkan eksperimen yang telah ia lakukan pada kera-kera gibbon, Delgado
menyimpulkan bahwa respons otak sangat dipengaruhi oleh “setting” atau suasana yang
melingkupi organisme (Packard, 1978: 45).
Edward G. Sampson merangkumkan seluruh faktor situasional sebagai berikut:
Faktor Ekologis
Kaum determinisme lingkungan sering menyatakan bahwa keadaan alam memengauhi
gaya hidup dan perilaku. Contoh dari faktor ini adalah faktor geografis dan faktor iklim dan
meteorologis.
Faktor Rancangan dan Arsitektural
Satu rancangan arsitektut dapat memengaruhi pola komunikasi di antara orang0orang
yang hidup dalam naungan arsitektrual tertentu. Pengarutan ruangan juga telah terbukti
memengaruhi pola-pola perilaku yang terjadi di tempat itu.
Faktor Temporal
Telah banyak diteliti pengaruh waktu terhadap bioritma manusia. Satu pesan komunikasi
yan gdisampaikan pada pagi hari akan memberikan makna yang lain bila disampaikan pada
tengah malam.
Suasana Perilaku (Behavior Settings)
Roger Barker dan rekan-rekannya membagi lingkungan ke dalam beberapa satuan yang
terpisah, yang disebut suasana perilaku. Pada setiap suasana terdapat pola-pola hubungan yan
gmengatur perilaku orang-orang di dalamnya.
Teknologi
Alvin Tofler melukiskan tifa gelombang peradaban manusia yang terjadi sebagai akibat
perubahan teknologi. Lingkungan teknologis (technosphere) yang meliputi system energy,
system reproduksi, dan system distribusi, membentuk serangkaian perilaku social yang sesuai
dengannya (sociosphere). Bersamaan dengan itu tumbuhlah pola-pola penyebaran informasi
(infosphere) yang memengaruhi suasana kejiwaan (psychosphere) setiap anggota masyarakat.
Faktor-faktor Sosial
Sestem peranan yang ditetapkan dalam suatu masyarakat, struktur kelompok dan
organisasi, karakteristik populasi, adalah faktor-faktor social yang menata perilaku manusia.
Karakteristik populasi seperti usia, kecerdasan, karakteristik biologis, memengaruhi jaringan
komunikasi dan system pengambilan keputusan, serta memengaruhi pola-pola perilaku anggotaanggota populasi itu.
Lingkungan Psikososial
Persepsi kita tentan gsejaumana lingkungan memuaskan atau mengecewakan kita, akan
memengaruhi perilaku kita dalam lingkungan itu. Pola-pola kebudayaan yang dominan atau
ethos, ideologi dan nilai dalam persepsi anggota masyarakat, memengaruhi seluruh perilaku
social.
Stimulus yang Mendorong dan Memperteguh Perilaku
Beberapa peneliti psikologi social, seperti Fredericsen Price, dan Bouffard (1972),
meneliti kendala situasi yang mempengaruhi kelayakan melakukan perilaku tertertentu. Situasi
yang permisif memungkinkan oran gmelakukan banyak hal tanpa harus merasa malu. Sebalinya,
situasi restriktif menghambat orang untuk berperilaku sekehendak hatinya.
Psikologi Komunikasi
Karakteristik Manusia Komunikan
Dessrina Ismi
210110130337
Mankom C
Program Studi Manajemen Komunikasi
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
2014
Di Yunani, sejak abad VI SM., terkenal sebuah tempat pemujaan Apollo di Delphi. Ke
tempat inilah raja-raja dan rakyat banyak meminta nasihat. Dari Delphi menyebar motto yang
terkenal: Gnothi Seauthon (Kenalilah Dirimu). Motto inilah yang mendorong berkembangnya
filsafat di Yunani.
Fokus psikologi komunikasi adalah manusia komunikan. Oleh karena itu, penting lebih
dahulu kita mengenal diri kita.
Konsep Psikologi tentang Manusia
Teori-teori persuasi sudah lama menggunakan konsepsi psikoanalisis yang melukiskan
manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens).
Teori jarum hipodermik dilandasi konsepsi behaviorisme yang memandang manusia sebagai
makhluk yang digerakkan semaunya oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori pengolahan
informasi jelas dibentuk oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk
yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimulus yang diterimanya (Homo Sapiens). Teoriteori komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistis yang
menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan
lingkungannya (Homo Ludens).
Walaupun psikologi telah banyak melahirkan teori-teori tentang manusia, tetapi empat
pendekatan yang paling dominan adalah psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif, dan
psikologi humanistis.
Konsepsi Manusia dalam Psikoanalisis
Psikoanalisis secara tegas memerhatikan struktur jiwa manusia. Menurut Sigmun Freud,
perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia: Id, Ego,
dna Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis
manusia. Ada dua instink dominan: (1) Libido atau instink reproduktif yang menyediakan energy
dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; (2) Thanatos atau instink destruktif dan
agresif. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin segera memenuhi
kebutuhannya. Id adalah tabiat hewani manusia.
Ego berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah
mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistic. Ia bergerak
berdasarkan prinsip realitas (reality principle).
Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma
social dan kultural masyarakatnya. Baik Id maupun Superego berada dalam bawah sadar
manusia. Ego berada di tengah, antara memenuhi desakan Id dan peraturan Superego.
Konsepsi Manusia dalam Behaviorisme
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme dan juga psikoanalisis.
Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang tampak saja, yang dapat diukur,
dilukiskan, dan diramalkan.
Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai warna mental. Warna
ini didapat dari pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan
temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience).
Hedonism, salah satu paham filsafat etika, memandang manusia sebagai makhluk yang
bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan dan menghindari
penderitaan. Dalam utilitarianisme, seluruh perilaku manusai tunduk pada prinsip ganjaran dan
hukuman. Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and
pleasure (Jeremy Bentham :1879).
Sejak Thorndike dan Watson sampai sekarang, kaum Behavioris berpendirian: organisme
dilahirkan tanpa sifat-sifat social atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman; dan perilaku
digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi
penderitaan.
“Berikan padaku selusin anak0anak sehat, tegap, dan berikan dunia yang aku atur sendiri
untuk memelihara mereka. Aku jamin, aku sanggup mengambil seoran ganak sembarang saja,
dan mendidiknya untuk mnejadi spesialis yang aku pilih —dokter, pengacara, seniman, saudara,
dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memerhatikan bakat, kecenderungan, tendensi,
kemampuan, pekerjaan, dan ras orang tuanya).” (J.B. Watson, 1934:104)
Ekperimen yang dilakukan Watson & Rayner pada seorang anak bernama Albert
melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning). Pelaziman klasik adalah
memasangkan stimulus yang netral atau stimulus terkondisi dengan stimulus tertentu yang
melahirkan perilaku tertentu (Sechenov & Pavlov).
Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain yang ia sebut operant conditioning.
Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu
berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Bentuk-bentuk penghargaan yang diberikan
dalam hal ini disebut peneguh (reinforcer).
Bandura menambahkan konsep belajar social (social learning). Ia mempermasalahkan
peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Menurut Bandura, belajar terjadi karena
peniruan (imitation). Ganjaran dan hukuman bukanlah factor yang penting dalam belajar, tetapi
factor yang penting dalam melakukan satu tindakan (performance). Melakukan satu perilaku
ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh
peniruan.
Konsepsi Manusia dalam Psikologi Kognitif
Ketika asumsi-asumsi Behaviorisme diserang habis-habisan pada akhir tahun 60-an dan
awal tahun 70-an, manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami
lingkungannya: makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens).
Descartes dan Kant menyimpulkan bahwa jiwa (mind) yang menjadi alat utama
pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsirkan, mendistorsi, dan mencari makna.
Rasionalisme ini tampak jelas pada aliran psikologi Gestalt di awal abad XX. Menurut para
psikolog Gestalt, manusia tidak memberikan respons kepada stimulasi secara otomatis. Manusia
adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkunagn. Seblu memberikan
respons, manusia menangkap dulu “pola” stimulus secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang
bermakna. Pola ini disebut Gestalt. Di kalangan ilmu komunikasi terkenal proposisi Words don’t
mean, people mean —kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Darinya, terknal
rumus B = f (P,E), artinya behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara person (diri orang itu)
dengan environment (lingkungan psikologisnya). Lewin juga berjasa dalam menganalisis
kelompok yang melahirkan konsep dinamika kelompok. Solomon Asch memperluas penelitian
kelompok dengan melihat pengaruh penilaian kelompok (group judgements) pada pembentukan
kesan (impression formation). Lewin juga berbicara tentang tension (tegangan) yang menunjukan
suasana kejiwaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologis belum terpenuhi. Konsep tension
melahirkan istilah teori (konsistensi kognitif). Teori ini menyatakan bahwa individu berusaha
mengoptimalkan makna dalam persepsi, perasaan, kognisi, dan pengalamannya.
Sejak pertengahan tahun 1950-an berkembang penelitian mengenai perubahan sikap
dengan kerangka teoretis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (The Person as
Consistency Seeker). Leon Festinger mengemukakan sebuah teori, yaitu teori disonansi kognitif.
Disonansi artinya ketidakcocokan antara dua kognisi (pengetahuan). Dalam keadaan disonan,
orang berusaha mengurangi disonansi dengan berbagi cara. Dihadapkan dalam situasi disonan,
seseorang akan:
(1) mengubah perilaku,
(2) mengubah kognisi tetang lingkungan,
(3) memperkuat salah satu kognisi,
(4) mengurangi disonansi dengan memutuskan bahwa salah satu kognisi tidak penting.
Dalam teori komunikasi, teori disonansi menyatakan bahwa orang akan mencari
informasi yang mengurangi disonansi, dan menghindari informasi yang menambah disonansi.
Awal 1970-an, teori disonansi dikritik, dan muncul konsepsi manusia sebagai pengolah
informasi (The Person as Information Processor). Dalam konsepsi ini, perilaku manusia
dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional, yang mengarahkan
penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi. Contoh perspektif ini adalah teori
atribusi yang menganggap manusia sebagai ilmuwan yang naïf (naïve scientists), yang
memahami dunia dengan metode ilmiah yang elementer.
Kenyataan menunjukan bahwa manusia tidaklah serasional dugaan tersebut. Sering
penilaian orang terjadi didasarkan pada data yang kurang, lalu dikombinasikan dan diwarnai oleh
prakonsepsi. Kehneman dan Tversky (1974) menyebutnya cognitive heuristics (dalil-dalil
kognitif). Dari sinilah muncul konsepsi Manusia sebagai Miskin Kognitif (The Person as
Cognitive Miser).
Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik
Pada behaviorisme manusia hanyalah mesin yang dibentuk lingkungan, pada
psikoanalisis manusia selalu dipengaruhi oleh naluri primitifnya. Psikologi humanistic
mengambil banyak dari psikoanalisi Neo-Freudian, tetapi lebih banyak lagi mengambil dari
fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia
kehidupan” yang dipersepsi dan diinerpretasi secara subjektif. Eksistensialisme menekankan
pentingnya kewajiban individu pada sesame manusia.
Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan humanism sebagai berikut:
1) Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi di mana dia
menjadi pusat.
2) Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasi
diri.
3) Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya.
4) Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri.
5) Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri.
Faktor-faktor Personal yang Mempengaruhi Perilaku Manusia
Dewasi ini ada dua macam psikologi social. Yang pertama adalah Psikologisosial (dengan
huruf P besar) dan yang kedua psikologi Sosial (dengan huruf S besar). Ini menunjukan dua
pendekatan dalam psikologi social: ada yang menekankan faktor-faktor social; atau dengan
istilah lai: faktor-faktor yang timbul dari dalam diri individu (faktor personal), dan faktor-faktor
berengaruh yang dating dari luar diri individu (faktor environmental).
Menurut McDougall, faktor-faktor personallah yang menentukan perilaku manusia.
Populernya behaviorisme memorakporandakan dalil-dalil McDougall. Orang melihat faktor
situasilah yang penting.
Faktor Biologis
Menurut Wilson, perilaku social dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah deprogram
secara genetis dalam jiwa manusia. Program ini disebut sebagai epigenetic. Emil Dofivat
menyebutkan kemungkinan menggunakan manipulasi biologis untuk menguasai massa suatu
negeri. Dofivat menyebutkan psychochemische machen (penguasaan psikokimiawi). Ia
mengutip, dosis kloral dan skopolamin dapat mengubah seluruh massa manusia menjadi sangat
mudah dipengaruhi.
Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusa,
dan bukan pengaruh lingkungan atau situasi. Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang
mendorong perilaku manusia, yan glazim disebut sebagai motif biologis.
Faktor-faktor Sosiopsikologis
Karena manusia makhluk social, dari proses sosial ia memeroleh beberapa karakteristik
yang memengaruhi perilakunya. Kita dapat mengklasifikasinya ke dalam tiga komponen: afektif,
kognitif, dan konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis.
Komponen kognitif adalh aspek inteletual. Komponen konatif adalh aspek volisional yang
berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.
Motif Sosiogenis
Motif-motif sosiogenis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Motif ingin tahu: mengerti, menat, dan menduga (predictability). Kita memerlukan
kerangka rujukan untuk mengevaluasikan situasi varu dan mengarahkan tindakan yang
sesuai.
2) Motif kompetensi. Motif ini erat hubungannya dengan kebuthan akan rasa aman.
3) Motif cinta. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kebutuhan akan kasih sayang yang
tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku manusia yang kurang baik.
4) Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas. Erat kaitannya dengan kebutuhan
untuk memperlihatkan kemampuan dan memeroleh kasih sayang, ialah kebutuhan untuk
menunjukan eksistensi di dunia.
5) Kebutuhan akan nilai, kedambaan, dan makna kehidupan. Bila manusia kehilangan nilai,
tidak tahu apa tujuan hidup sebebarnya, ia tidka memiliki kepastian untuk bertindak.
Dengan demikian, ia akan lekas putus asa dan kehilangan pegangan.
6) Kebutuhan pemenuhan diri. Dengan ucapan Maslow, “What a man can be, he must be.”
Kebutuhan akan pemenuhan diri dilakukan melalui berbagi bentuk (1) mengembangkan
dan menggunakan potensi-potensi kita dengan cara yang kreatif konstruktif, (2)
memperkaya kualitas kehidupan dengan memperluas rentangan dan kualitas pengalaman
serta pemuasan, (3) membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang
lain di sekitar kita, (4) berusaha “memanusia” menjadi persona yang kita dambakan.
Sikap
Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi
objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk
berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Sikap mempunyai daya pendorong
atau motivasi. Sikap relatif lebih menetap. Sikap mengandung aspek evaluatif. Dan sikap timbul
dari pengalaman.
Emosi
Emosi menunjukan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran,
keperilakuan, dan proses fisiologi. Ada empat fungsi emosi menurut Coleman dan Hummen.
Pertama, emosi adalah pembangkit energy (energizer). Kedua, emosi adalah pembawa informasi
(messenger). Ketiga, emosi juga merupakan pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal.
Keempat, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.
Kepercayaan
Kepercayaan adalah kecakinan bahwa sesuatu itu ′benar′ atau ′salah′ atas dasar bukti, sugesti
otoritas, pengalaman, atau intuisi (Hohler, et al., 1978: 48). Menurut Solomen E. Asch,
kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan.
Kebiasaan
Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, belangsung secara otomatis tidak
direncanakan.
Kemauan
Kemauan erat kaitannya dengan tindakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai
tindakan yang merupakan usaha seseoran guntuk mencapai tujuan: (1) hasil keinginan untuk
mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong oran guntuk mengorbankan
nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan; (2) berdasarkan pengetahuan
tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan; (3) dipengaruhi oleh kecerdasan dan
energy yang diperlukan untuk mencapai tujuan; (4) pengeluaran energi yang sebenarnya dengan
satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan.
Faktor-faktor Situasional yang Memengaruhi Perilaku Manusia
Berdasarkan eksperimen yang telah ia lakukan pada kera-kera gibbon, Delgado
menyimpulkan bahwa respons otak sangat dipengaruhi oleh “setting” atau suasana yang
melingkupi organisme (Packard, 1978: 45).
Edward G. Sampson merangkumkan seluruh faktor situasional sebagai berikut:
Faktor Ekologis
Kaum determinisme lingkungan sering menyatakan bahwa keadaan alam memengauhi
gaya hidup dan perilaku. Contoh dari faktor ini adalah faktor geografis dan faktor iklim dan
meteorologis.
Faktor Rancangan dan Arsitektural
Satu rancangan arsitektut dapat memengaruhi pola komunikasi di antara orang0orang
yang hidup dalam naungan arsitektrual tertentu. Pengarutan ruangan juga telah terbukti
memengaruhi pola-pola perilaku yang terjadi di tempat itu.
Faktor Temporal
Telah banyak diteliti pengaruh waktu terhadap bioritma manusia. Satu pesan komunikasi
yan gdisampaikan pada pagi hari akan memberikan makna yang lain bila disampaikan pada
tengah malam.
Suasana Perilaku (Behavior Settings)
Roger Barker dan rekan-rekannya membagi lingkungan ke dalam beberapa satuan yang
terpisah, yang disebut suasana perilaku. Pada setiap suasana terdapat pola-pola hubungan yan
gmengatur perilaku orang-orang di dalamnya.
Teknologi
Alvin Tofler melukiskan tifa gelombang peradaban manusia yang terjadi sebagai akibat
perubahan teknologi. Lingkungan teknologis (technosphere) yang meliputi system energy,
system reproduksi, dan system distribusi, membentuk serangkaian perilaku social yang sesuai
dengannya (sociosphere). Bersamaan dengan itu tumbuhlah pola-pola penyebaran informasi
(infosphere) yang memengaruhi suasana kejiwaan (psychosphere) setiap anggota masyarakat.
Faktor-faktor Sosial
Sestem peranan yang ditetapkan dalam suatu masyarakat, struktur kelompok dan
organisasi, karakteristik populasi, adalah faktor-faktor social yang menata perilaku manusia.
Karakteristik populasi seperti usia, kecerdasan, karakteristik biologis, memengaruhi jaringan
komunikasi dan system pengambilan keputusan, serta memengaruhi pola-pola perilaku anggotaanggota populasi itu.
Lingkungan Psikososial
Persepsi kita tentan gsejaumana lingkungan memuaskan atau mengecewakan kita, akan
memengaruhi perilaku kita dalam lingkungan itu. Pola-pola kebudayaan yang dominan atau
ethos, ideologi dan nilai dalam persepsi anggota masyarakat, memengaruhi seluruh perilaku
social.
Stimulus yang Mendorong dan Memperteguh Perilaku
Beberapa peneliti psikologi social, seperti Fredericsen Price, dan Bouffard (1972),
meneliti kendala situasi yang mempengaruhi kelayakan melakukan perilaku tertertentu. Situasi
yang permisif memungkinkan oran gmelakukan banyak hal tanpa harus merasa malu. Sebalinya,
situasi restriktif menghambat orang untuk berperilaku sekehendak hatinya.