BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KH. ALI MASHUM

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KH. ALI MA’SHUM
Diajukan Untuk Tugas Makalah dan Presentasi Mata Kuliah Tokoh dan
Pemikiran Dakwah Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam

Ditulis Oleh:
ZULFA RAUYANI
162410000007

PROGRAM MAGISTER KOMUNIKASI
DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1437 H

KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis curahkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan kesehatan dan keselamatan kepada kita semua sampai saat
ini sehingga khususnya
Salawat


serta

salam

penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.

kita

junjungkan kepada

baginda

nabi

besar

Muhammad SAW yang mana beliau telah memperjuangkan Islam dengan
semangat juangnya yang tak terhingga sehingga sampai saat ini kita
menjadi umatnya untuk agama Islam. Tidak lupa juga semoga keluarga

dan para sahabat beliau selalu dalam lindungan dan rahmat Allah SWT
Ucapan terima kasih pertama-tama penyusun tujukan bagi dosen
mata kuliah Tokoh dan Pemikiran Dakwah Dr. Syamsul yang mana telah
memberikan pengajaran, pengetahuan, dan materi khususnya bagi
penyusun agar dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaikbaiknya. Dan tidak lupa pula kepada rekan - rekan saya yang memberikan
pengarahan dan masukan untuk penyusunan makalah ini karena tanpa
mereka penyusun tidak dapat membentuk makalah ini dengan sebaikbaiknya.
Tentu makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritikan beserta masukan dari para pembaca untuk
kedepannya mampu menyusun tulisan yang lebih baik lagi.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata ulama berasal dari bahasa arab yang semula merupakan bentuk jamak dari ‘alim
yang berarti orang yang mengetahui atau orang yang pandai. Orang yang ahli dalam ilmu
apapun dapat dikatagorikan ulama. Kemudian berkembang atau tepatnya menciut lebih
digunakan untuk mereka yang pandai ilmu agama. Bagi mereka yang membaca literatur kitab
kuning, istilah ulama umumnya dipahami sebagai mempunyi konotasi tidak hanya sebatas
untuk menunjukkan orang-orang berilmu, berilmu agama sekalipun. Untuk bisa disebut

ulama agama, pengamalan ilmu menjadi persyaratan mutlak dan utama.

1

Dakwah melalui tulisan dapat terus diingati. Seperti contoh, karya ilmuan KH. Ali
Ma’shum yang telah menulis pelbagai buku. Meskipun kini beliau telah tiada akan tetapi buku
penulisannya masih ramai orang membaca dan tulisannya seringkali dijadikan rujukan.
Selain buku masih banyak alternative yang dapat dijadikan sebagai media dakwah bil
kitabah, yakni, novel, majalah, Koran, bulletin masjid, ataupun dimedia online.
Melalui tulisan-tulisan di media massa, seorang mubalig, ulama, kiai, atau umat islam
pada umumnya sesuai dengan bidang keahlian atau keilmuan yang dikuasainya dapat
melaksanakan dakwah ini.2
Keberadaan seorang kyai sebagai pemimpin pondok pesantren, ditinjau dari tugas dan
fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena yang unik. Dikatakan unik karena kyai sebagai

1 Ahmad mustofa bisri, koridor renungan A. Mustofa bisri, ( Jakarta, PT Kompas Media
Nusantara),2010 hal. 39
2 Asep mulyadi, jurnalistik dakwah , (bandung : remaja rosdakarya, 2003) hal 23

pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekedar menyusun kurikulum, membuat

tata
-tertib, merancang sistem evaluasi dan sekaligus melaksanakan proses belajar mengajar yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu agama, melainkan juga bertugas pula sebagai pembina dan
pendidik umat serta menjadi pemimpin masyarakat.
Kyai sebagai pemimpin pondok pesantren yang legitimasinya diperoleh langsung dari
masyarakat sekitar, memiliki tugas dan tanggung jawab besar dalam menjalankan
kepemimpinannya. Hal ini bisa dikaitkan dengan posisinya yang strategis dalam pondok
pesantren. Kyai adalah pemilik, guru, pemimpin dan penguasa tunggal di dalam pondok
pesantrennya.
KH. Ali Maksum merupakan sosok seorang kyai yang memiliki jiwa kepemimpinan
yang sangat kuat. Dengan jiwa kepemimpinan yang dimilikinya itu ia dipercaya dan ditunjuk
untuk memimpin Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta pada tahun 1968.KH.
Ali Maksum sejak muda dikenal sebagai tokoh yang cerdas dan bijaksana.Oleh karena itu dia
selalu menduduki posisi strategis dalam organisasi yang diikuti. Hal itu diketahui melalui
pergumulan dia dalam organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Sejak
masa awalnya di Krapyak, KH. Ali Maksum senantiasa berkecimpung ke kancah Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama. Pada akhir tahun 1960-an atau setelah meletusnya pemberontakanG 30
S/PKI, KH. Ali Maksum dipilih sebagai Rois Syuriyah NU DIY.Keberhasilan yang
ditunjukkan selama menjabat sebagai Rois Syuriyah NU adalah tercatat sebagai suatu periode
yang menghantarkan NU kembali ke khittah 1926.3


3 Djunaidi A. Syakur, Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Madrasah Salafiyah
III, (2003, Yogyakarta: Pengurus Madrasah Salafiyah III P.P Al-Munawwir Komplek Q Krapyak,) hal. 10

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas maka penelitian ini membahas tentang
Pemikiran-pemikiran

KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Untuk memperjelas

pembahasan dan lebih terarah penjabarannya maka penulisan ini perlu dirumuskan masalah
sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Profile KH. Ali Ma’shum?
2. Bagaimanakah pemikiran-pemikiran KH. Ali Ma’shum?

C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan pokok-pokok masalah yang dikemukakan diatas, tujuan kajian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui profil KH. Ali Maksum.

2. Untuk mengetahui karya-karya dan pemikiran-pemikiran KH. Ali Maksum
sebagai Ulama bil kitabah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil KH. Ali Ma’shum
KH. Ali Ma’shum adalah tokoh yang cukup dikenal ditingkat nasional. Jabatan
puncaknya yang pernah disandangnya dijami’ah NU, yakni Rais Am. Beliau kepemimpinan
spiritual yang dalam forum nasional juga sangat penting, karena posisi central itu sangat
strategis sebagai alat bergaining dengan pihak tertentu.4
Kiai Ali Ma’shum lahir pada tanggal 2 Maret 1915 ditengah-tengah gencarnya kaum
pembaharu melakukan serangan terhadap peranan pondok pesantren, yang diidentikkan
dengan institusi lembaga pendidikan tradisional. KH Mashum yang merupakan ayah dari KH
Ali Ma’shum sangat menginginkan KH Ali menjadi seorang ahli ilmu fiqih. Setiap hari
pelajaran yang diberikan kepada KH Ali dapat dikatakan fiqih melulu, padahal KH Ma’shum
juga mengajar kitab-kitab yang lain kepada para santrinya, terutama nahwu dan balaghah.
Tetapi kecenderungan KH Ali ternyata lain dari yang diharapkan ayahnya, ia justru lebih
senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan sharof.
KH. Ali menimba ilmu kepada KH dimyathi, di pondok pesantren Tremas pada tahun
1927 yang didirikan oleh KH. Abdul Manaf Beliau menimba ilmu pendidikan agama di

tremas selama delapan tahun. kegemarannya membaca jauh melampaui usiannya yang masih
muda. Ali tidak hanya mempelajari kitab-kitab yang diajarkan oleh kiai-kiainya, atau kitabkitab Mu’tabar buah karya ulama klasik, tetapi juga kitab kitab para pembaharu. Nampaknya,
ilmu tafsir Alquran dan ilmu bahasa Arab sangat menarik bagi KH Ali, terbukti 2 disiplin
ilmu itu memperoleh perhatian kusus darinya.
4 A Zuhdi Mukhdor, KH Ali Ma’shum (Yogyakarta,Multi Karya Grafika 1989) muqaddimah

Kepulangannya dari Tremas, KH Ali membantu ayahandanya mengajar. Meski usianya
masih belia, kini ia semakin matang, terutama dalam penguasaan disiplin ilmu yang paling ia
sukai yakni Bahasa Arab dan Tafsir Alquran.5
kemudian KH Ali bertolak menuju Mekkah, sambil menunaikan ibadah haji KH. Ali
mengumpulkan informasi tentang pondokan, dan guru yang akan ia datangi ialah Sayyid
Alwy Al-maliky. Dan beliau berpondok di pondok milik Syaikhul Masyayikh Hammid
Mannan dikawasan Samiyah, sekita 1 km dari masjidil Haram.6
Pada tahun 1968 KH. Ali Maksum ditetapkan sebagai pemimpin di Pondok Pesantren
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, setelah wafatnya kedua putra KH. M. Moenawwir yaitu
KH. R. Abdullah Affandi Munawwir dan KH. R. Abdul Qadir Munawwir yang notabene
sebagai pemimpin sebelumnya. Legitimasi kepemimpinannya langsung diberikan oleh
keluarga bani Munawwir dengan di latar belakangi oleh beberapahal yaitu KH. Ali Maksum
merupakan kyai paling senior, Menantu KH. M. Moenawwir, memiliki kepribadian yang baik
dan memiliki pengalaman dalam berorganisasi.

Setelah ditetapkan menjadi pemimpin di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak,
dia mulai berkiprah dalam pengembangan Pondok Pesantrennya. Karena dia merasa
bertanggung jawab atas kepercayaan yang telah diberikannya. Usaha yang dilakukan
pengkaderan, penambahan lembaga-lembaga pendidikan, dan membangun sarana dan
prasarana. Selama dipimpin oleh KH. Ali Maksum Pondok Pesantren ini mengalami
kemajuanyang sangat pesat,
hingga lahirlah pendidikan-pendidikan formal antara lain madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah, Madrasah Diniyah.7
5 Ibid,hal 10
6 Ibid, hal 15
7 Djunaidi A. Syakur, Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Madrasah Salafiyah III)
hal.8.

Sejak masa-masa awalnya di krapyak, KH Ali selalu menerjunkan dirinya secara
resmi ke kancah jami’ah NU, sehingga pada pemilu

1955 terpilih menjadi anggota

konstitusi. Pada akhir tahun 1960 an atau setelah meletusnya pemberontakan G 30 s/PKI,
kiai Ali terlibat secara langsung ke dalam Jamiah NU.8

B. Karya-Karya KH. Ali Ma’shum
Karya tulis yang meliputi :
a. Mizanul ‘Uqul fi Ilmil Mantiq, yang berisi prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq
b. Ash-Shorful Wadhih, yang berisi kaidah-kaidah dan amtsilatut tashrif (latihan praktis tashriful
kalimah) dengan metode baru temuan KH Ali Maksum.
c. Hujjatu Ahlissunnah Wal Jama’ah, berisi kajian dalil-dalil / argumentasi syar’iyyah yang
dijadikan sebagai dasar berpijak kaum nahdhiyyin dalam melaksanakan amaliah atau tradisi
ke-NU-an.
d. Jawami’ul Kalim : Manqulah min ahadits al-Jami’ ash-shoghir murattabah ‘ala hurufl
hijaiyyah ka ashliha, berisi koleksi hadis-hadis pendek yang mengandung pemahaman yang
luas dan dalam, yang dicuplik dari kitab al-Jami’us Shoghir.
e. Ajakan Suci : Pokok-pokok Pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama, merupakan kumpulan
makalah tulisan KH Ali Maksum yang tersebar di Majalah Bangkit, surat kabar, forum
seminar, dan media cetak lainnya
f. Eling-eling Siro Manungso, yang berisi kumpulan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa gubahan
KH Ali Maksum. 9

C. Pemikiran –pemikiran KH. Ali Ma’shum
8 Ibid, hal 3
9 http://athena-sejahtera.blogspot.co.id/2013/05/1-biografi-kh-ali-maksum.html


a. Tentang Bahasa Arab
Sebagai seorang ahli lughoh Al-arabyah. KH Ali selalu mecermati ungkapan-ungkapan
dalam bahasa Arab dari sudut ilmu bahasa, baru mencari makna yang terkandung
didalamnya. Hal ini berkaitan erat dengan tradisi dalam ilmu, bahwa pemahaman yang benar
terhadap segi etimologi akan sangat membantu dalam pemahaman terminologi.
KH Ali mengakui, penafsiran ayat Al-quran dapat ditinjau dari mana saja , namun
pemahaman secara etimologis harus terlebih dahulu dilakukan. Dengan cara demikian,
minimal orang tidak akan terlalu lentur dalam menafsirkan Alquran, tetapi akan lebih
terjamin kaitannya dengan konteks ayat-ayat yang dibahas. Dalam bidang ilmu tafsir, KH Ali
lebih tepat dikatagorikan sebagai ahli yang menyukai tafsir ayat bil ayat, bukan tafsir bil
ma’na.
KH Ali sering mengkritik, karena tidak jarang penafsiran dan pemahaman Alquran
didukung oleh literatur-literatur barat, sementara meninggalkan khazanah tafsir atau ilmuilmu para sarjana dan ulama Islam sendiri. Akibatnya orang mudah terpesorok kepada
pengertian yang dibentuk oleh alam pikiran sekuler. Dalam memahami ungkapan-ungkapan
Arab, apalagi ayat-ayat Alquran, KH Ali hampir selalu merujuk segi etimologisnya kepada
kitab Alfiyah Abnu Malik. Hebatnya dalm kodisi apapun dia hafal dengan bait-bait yang
dimaksudkan.
Dalam hal ini, KH Ali pernah mengatakan “ kami sendiri merasakan bahwa Arab
justru menjadi kunci pembuka yang paling utama. Sebab Alquran, Sunnah Nabi, dan kitabkitab Tafsir serta Syarah-Syarah hadis itu tertulis dalam bahasa Arab.

Khusus masalah kitab Alfiyah, memang banyak pihak yang mengkritik. Namun yang
tidak menguasai kitab tersebut dengan baik , biasanya tidak dapat membaca kitab dengan

baik, lebih-lebih alquran dan Al-Sunnah.

Dalam hal ini, KH Ali sangat setuju dengan

statemen Muhammad Abu Zahroh 10
“Nash-nash Islamiah ialah rumusan-rumusan berbahasa Arab. Oleh karena itu untuk
memahaminya dan beristinbath kepadanya, mustanbith haruslah seorang yang alim tentang
bahasa Arab untuk dapat meraih detail-detail sasaran atau tujuan yang terdapat didalamnya.”11
Sementara itu, sebagai pengikut imam Syafii, KH Ali sangat memperhatikan sejarah
dan latar belakang pendidikan beliau, yang mempunyai perhatian luar biasa terhadap bahasa
Arab, meskipun beliau sendiri adalah orang Arab keturunan Bani Hasyim

dari suku

Quraisy.12
KH. Ali mengakui cara belajar konvensional yang biasa diterapkan di pesantren
terlalu makan waktu lama, sehingga menghabiskan umur. Hal ini tentulah memperkuat
anggapan bahwa bahasa Arab sangat sulit dipelajari, bahkan menjadi momok yang
menakutkan. Akibat anggapan tersebut, demikian KH Ali menulis dalam sebuah buku, kian
lama kita merasakan menurunnya minat di kalangan umat Islam, khususnya dikalangan
generasi muda untuk mendalami bahasa Arab.
Tashrif kalimat yang digunakan KH. Ali merupakan temuan baru yyang nampak telah
ia ciptakan ketika menjadi santridi Tremas. Buktinya, menurut KH Habib Dimyathi, ilmu
sharof temuan KH Ali itu masih dihafal dengan baik oleh sebahagian alumni pondok tremas,
bahkan keluarga pondok. 13

10 Sambutan KH. Ali Ma’shum, pada kitab Alfiyah Ibnu Malik ( Sumbangsih, Yogyakarta,
1985) hal v.
11 Muhammad Abu Zahroh, ushul Fiqih,( 1973)hal 116.
12 An-nawawi, Al-Majmu’( Juz 1) hal 18.
13 KH. Ali Mashum, Ash-Shorful Wadhih, (PP Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta 1409 H)
hal 3

b. Pemikiran kiai Ali mengenai Sunni dan Bukan Sunni,
menurut kiai Ali mazhab empat adalah yang paling banyak diikuti oleh ummat Islam di
dunia sampai saat ini, dan bahkan paling lama bertahan. Berkembangnya mazhab empat
bukan disebabkan oleh semangat taklid yang membuta, melainkan karena kebenaran dan
mamfaatnya diakui dan teruji.
Para imam mujtahid sendiri telah berpesan : imam Abu Hanafia mengatakan, “ Adalah
haram memberi fatwa berdasar pendapatku, bagi orang yang tidak mengerti dalil yang
kugunakan”. Imam Malik mengatakan, “ telitilah dalam mazhabku karena disitulah ajaran
agama, pendapat seseorang bisa diterima dan bisa di tolak, kecuali pendapat nabi Muhammad
SAW”. Imam Syafii mengatakan “ hai abu ishaq, janganlah kamu taklid kepada pendapatku,
tapi telitilah demi dirimu, karena disitulah terdapat ajaran agama”. Imam Hambali juga
mengatakan “ telitilah dalam perkara agamamu, karena sesungguhnya taklid kepada selain Al
ma’syum itu tercela, dan membuat hati menjadi buta. 14
kiai Ali menunjuk penyelewengan kaum Syi’ah , yang menuduh para sahabat besar
seperti Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khatab, dan Ustman bin Affan melakukan
persekongkolan politis untuk menyingkirkan Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah, karena
menurut orang syi’ah, Ali adalah penerima wasiyat kekhilafahan /keimanan setelah
Rasulullah SAW. 15
Orang Syiah mempunyai kecacatan dalil karna menuduh Ummul Mukminin Siti Aisyah
sebagai wanita brutal karena memerangi Ali dalam perang Jamal, akibat dendam kepada Ali
karena dalam peristiwa

waktu Ali memohon kepada nabi Muhammad SAW untuk

menceraikannya, karena dia termasuk orang yang mencurigai Aisyah berbuat serong dengan
Sofwan bin Mu’atthal setelah tertinggal di perjalanan ketika pulang dari peperangan. Padahal,
14 A. Zuhdi Muhdhor, Ibid, hal 51.
15Dr. Ahmad Amin, fajar Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 1989) hal 288

Allah sendiri membantah tuduhan itu, dan menjamin bahwa Aisyah tetap suci, tidak serong.
Tapi akibat dari peristiwa itu, Nabi Muhammad SAW sempat mendiamkan Aisyah beberapa
saat.
Sedangkan sikap Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menghadapi perselisihan di antara
sahabat nabi adalah “ tidak memihak dan tidak menilai”, karena mereka adalah orang-orang
yang dalam terminologi agama dikatakan “adil”, bahkan sepuluh orang di antara mereka
dijamin masuk syurga.
Sementara itu, tentang sebagian perbedaan antara paham sunny dengan mu’tazilah,
menurut kiai Ali kaum mu’tazilah lebih mendahulukan ratio daripada wahyu itu sendiri, tapi
tidak berarti pelaku dan pendapat kaum mu’tazilah buruk semua. Menurut kiai Ali kebaikan
kaum mu’tazilah adalah kepekaannya dalam melawan serangan orang-orang non Islam dari
segi filsafat dimasa lalu, sehingga dapat membentuk opini terutama dikalangan orang barat ,
bahwa Islam pun tidak menentang penggunaan ratio. Namun sayang, upaya kaum muktazilah
itu pada akhirnya justru menjebak mereka kedalam pemikiran filsafat yang sangat instens,
sehingga meninggalkan aspek-aspek lainnya. 16
Tradisi keagamaan yang mempunyai dasar-dasar atau legitimasi dari syar’i perlu
dilestarikan. KH Ali jelas tergolong seorang ulama yang membela ammalan tahlil, ziarah
kubur, taraweh 20 rakaat, dsb. Kritikan KH Ali ditujukan kepada kalimat baru tentang
Syaikh Abdul Qadir Jailani, sehingga berbunyi

Laila ha illallah Muhammadurrasulullah,

Asy- Syaikh Abdul Qadir Waliyullah, Imam Mahdi Masya Allah “ Dua kalimat terakhir itu,
mennurut KH Ali tidak sepatutnya dirangkaikan dengan kalimah thayyibah yang tauqifi atau
patent. Bahkan lebih jauh KH menggugat kewalilan Syaikh Abdul Qodir Al-jailani yang oleh
banyak orang menobatkan sebagai “ Sayyidul Auliya” atau penghulu dari para Wali Allah.

16 Ibid, hal 54

Kalimat “Waliyullah” itu sendiri, menurut KH Ali berarti kekasih Allah, orang yang
sangat dekat dengan Allah. Tidak terlalu berarti sebagai seorang ulama yang mempunyai
keramat. Karena itulah, menurut KH Ali, yang berhak disebut sebagai “sayyidul Auliya”
justru Khulafaur rasyidin”.
c. Tentang Ukhwah Islamiyah
KH Ali berpendapat, sebenarnya ajaran ukhwah telah diajarkan dalam Al-quran ayat
10-13 surat Al-hujurat memberi pengajaran yang cukup jelas bagi ummat Islam. Dalam ayat
tersebut, Allah tidak hanya menandaskan bahwa sesama orang mu’min itu bersaudara,
melainkan juga memberi petunjuk pelaksanaan bagaimana persaudaraan itu harus dibina.
Ada berapa ajaran yang dikemukakan oleh KH. Ali, sebagai sumbangan pemikiran
dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama sejati.
Pertama, Ummat Islam tidak perlu peruncing masalah Khilafiyah. Keteranganketerangan keagamaan yang sifatnya sepihak agar segera diakhiri. Seperti KH Ali menyindir
Mukti TV dalam siaran tanya jawab masalah khilafiyah yang dijaawabnya secara sepihak,
sehinnga mengesankan hanya pihaknya saja yang mengikuti Alquran dan hadist.
Kedua, ummat Islam terutama tokoh-tokohnya meninggalkan perbuatan atau ucapan
yang menyinggung perasaan umat Islam secara luas.
Ketiga, kelompok-kelompok ummat Islam agar berjiwa besar, yakni sanggup
mengakui kebenaran pihak lain, menghormati pendapatnya dan memperlakukan sebagaimana
mestinya
Keempat,

ummat Islam memperluaskan cakrawala ilmiyah. Untuk ini KH Ali

mengajak ummat Islam mempelajari kembali “ kutub al-mazhaib” baik yang lama maupun
yang baru dan kitab yang nampaknya bertentangan satu sama lainnya, seperti Kasyful
Irtiyab fi Raddi ‘ala Muhammad bin abdil wahab, Al-la Mahzahibiyah akhthoru
bid’atin,an nadhatul islahiyah, ghausul ibad. Baik sebagai komparasi maupun referensi
agar mempunyai kemampuan untuk menjadi semacam Hujjatul Islam Alghazali yang

bermazhab Syafi’i, atau semacam Ibnu taimiyah dan Ibnu Qayyim dan bermazhab Hambali.
17

BAB III
KESIMPULAN
17 A. Zuhdi Muhdhor, Ibid hal 70-71

a. Kesimpulan
KH. Ali Maksum dari sisi geneologi termasuk keturunan orang-orang pilihan, yakni
dari kalangan keluarga terhormat, keturunan para kyai baik dari jalur ayah maupun ibu. Dia
dilahirkan dilingkungan PondokPesantren. Sejak kecil dia sudah dididik agama oleh kedua
orang tuanya. Semasa mudanya dia habiskan waktunya untuk menuntut ilmu darpesantren ke
pesantren. KH. Ali Maksum juga memiliki kepribadian yang baik. Kepribadiannya yang lebih
terlihat yaitu sikapnya yang sangat terbuka dan akrab dengan semua orang. Selain dekat
dengan keluarga dan para santrinya, dia juga memiliki hubungan baik dengan masyarakat
baik yang berada disekitarnyaataupun diluar. Kepribadian lain yang dimilikinya yaitu berjiwa
besar, pemaaf, ahli silaturahmi dan lain-lain.
Ada berapa ajaran yang dikemukakan oleh KH. Ali, sebagai sumbangan pemikiran
dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama sejati.
Pertama, Ummat Islam tidak perlu peruncing masalah Khilafiyah. Keteranganketerangan keagamaan yang sifatnya sepihak agar segera diakhiri. Seperti KH Ali menyindir
Mukti TV dalam siaran tanya jawab masalah khilafiyah yang dijaawabnya secara sepihak,
sehinnga mengesankan hanya pihaknya saja yang mengikuti Alquran dan hadist.
Kedua, ummat Islam terutama tokoh-tokohnya meninggalkan perbuatan atau ucapan
yang menyinggung perasaan umat Islam secara luas.
Ketiga, kelompok-kelompok ummat Islam agar berjiwa besar, yakni sanggup
mengakui kebenaran pihak lain, menghormati pendapatnya dan memperlakukan sebagaimana
mestinya
Keempat,

ummat Islam memperluaskan cakrawala ilmiyah. Untuk ini KH Ali

mengajak ummat Islam mempelajari kembali “ kutub al-mazhaib” baik yang lama maupun
yang baru dan kitab yang nampaknya bertentangan satu sama lainnya, seperti Kasyful
Irtiyab fi Raddi ‘ala Muhammad bin abdil wahab, Al-la Mahzahibiyah akhthoru
bid’atin,an nadhatul islahiyah, ghausul ibad.

b. Saran-saran
Penelitian tokoh lokal perlu menjadi perhatian para pengkaji sejarah, dari tokoh
tersebut banyak tersimpan mutiara penelitian yang dapat dijadikan obyek kajian dalam
sebuah penelitian. Melalui kajian ini, tokoh KH. Ali Maksum dapat dijadikan sebagai
perhatian dan pertimbangan bagi para cendekiawan yang peduli sejarah.