REZIM HAK ASASI MANUSIA DAN KEDAULATAN N

REZIM HAK ASASI MANUSIA DAN KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM
INTERNASIONAL
Oleh: Fajri Matahati Muhammadin *
Makalah disampaikan pada Kajian Saturday Forum yang diadakan oleh the Institute for the
Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta

ABSTRACT
Are we in favor of human rights protection? Or do we prefer tirany and persecution towards it? It
seems like an easy choice, yet such questions are a false dilemma as if there are only two choices:
‘you are either with us or against us’. While we may have to critically ask: who is ‘us’? Is this ‘us’
the only truth, or the best truth?
This lecture will engage in a discussion on human rights from an international law perspective
with a postcolonial approach. It will be seen how colonialism was very sentral to the hegemony of
western thought in the development of international law, and how the pattern has repeated itself in
the modern era. This starts with the shaping of the concept of ‘sovereignty’ and then on ‘human
rights’. It is hoped that scholars of international law and world leaders would –in their own
capacities—lead and direct the development of international law especially on human rights so
that it can be more fair and inclusive towards the diversity of views that exist.

INTISARI
Apakah kita menginginkan perlindungan hak asasi manusia? Ataukah menginginkan kedzoliman

terhadapnya? Dua pilihan ini tampak terlalu mudah, tapi ternyata dalam penerapannya merupakan
false dilemma seakan-akan pilihannya hanya dua: ‘you are either with us or against us’. Padahal,
siapakah ‘us’ yang dimaksud? Apakah ‘us’ ini adalah satu-satunya yang benar, atau bahkan satusatunya yang ada?

*

Dosen pada Departmen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada; Mahasiswa Doktoral di
Ahmad Ibrahim Kuliyyah of Laws, International Islamic University of Malaysia
Email: fajrimuhammadin@ugm.ac.id , Web: http://fajrimuhammadin.staff.ugm.ac.id

Sesi kali ini akan menyelami hak asasi manusia dari sudut pandang hukum internasional dengan
pendekatan postkolonialisme. Akan dilihat bagaimana kolonialisme adalah sangat sentral pada
hegemoni pemikiran barat dalam perkembangan hukum internasional, dan bagaimana di era
modern ternyata polanya tampak berulang. Hal ini dimulai dari pembentukan konsep kedaulatan,
dan kemudian juga pada hak asasi manusia. Para akademisi hukum internasional dan pemimpin
dunia harus terus bergerak dengan bidangnya masing-masing untuk mengarahkan hukum
internasional pada umumnya dan hukum HAM pada khususnya untuk lebih fair dan inklusif
melibatkan keanekaragaman perspektif yang ada.

A. PENDAHULUAN

Apakah kita tidak ingin hak asasi kita diakui? Mudah sekali menjawab pertanyaan ini, barangkali
yang ditanya akan reflek menjawab dengan ekspresi ‘ya iya lah’ walau tak melisankannya.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu istilah yang sangat beken di masa ini. Hampir setiap
hal disangkutpautkan dengan HAM, yang telah banyak dianggap sebagai semacam ‘standard
kebenaran’. Antara lain yang mungkin paling dekat adalah ketika gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahja Purnama divonis bersalah dalam sidang penistaan agama, United Nations sampai
berkomentar bahwa hal ini melanggar HAM dan bahwa Indonesia harus menghapus Pasal
Penistaan Agama.1 Ketika Aceh menerapkan Syariat Islam pun kemudian terdengar teriakanteriakan yang sama dari para komunitas HAM. 2
HAM pun yang didengung-dengungkan untuk mereformasi banyak sekali hal, antara lain dalam
normalisasi dan legalisasi LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgenders). 3 Bahkan, laporan yang
disampaikan khusus di muka General Assembly United Nations (UN) tidak segan mengatakan

OHCHR, “Blasphemy Law Has No Place in a Tolerant Nation like Indonesia – UN Rights Experts,” Office of the
High Commissioner of Human Rights, May 22, 2017,
http://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=21646&LangID=E. Ini konsisten dengan
General Comments No. 34 (CCPR/C/GC/34), Para 48, yang dikeluarkan oleh Human Rights Committee pada tahun
2011.
1

Okezone, “Kontras: Hukuman Cambuk Di Aceh Langgar HAM,” Okezone News, June 25, 2011,

http://news.okezone.com/read/2011/06/25/337/472648/kontras-hukuman-cambuk-di-aceh-langgar-ham.
2

Ayub, “Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologis Dan Teologis),” The Center for Gender Studies, 2015,
https://thisisgender.com/penyimpangan-orientasi-seksual-kajian-psikologis-dan-teologis/.
3

bahwa penyiksaan yang dilakukan menurut hukum agama adalah bertentangan dengan HAM dan
harus dihapuskan. 4
Hukum internasional pun merupakan sesuatu yang sangat berdampak pada umat manusia
sekarang, apalagi di bawah rezim UN. Sejak tahun 1945 ketika UN Charter pertama kali disusun,
resmi pertama diakui Hak Asasi Manusia sebagai bagian dari hukum internasional. 5 Hukum
internasional mengakui bahwa sebuah negara memiliki kedaulatan, dan ini sedikit banyak
memiliki keserupaan dengan hukum nasional yang mengakui bahwa seorang manusia yang
memiliki kebebasan. Apakah hal ini berarti tidak ada pembatasan sama sekali? Sejauh mana
hukum dapat membatasi kebebasan tersebut?
Paper ini akan memaparkan hubungan antara Hak Asasi Manusia, Hukum Internasional, serta
kedaulatan negara.
B. HUKUM INTERNASIONAL
1. Tentang Hukum Internasional

Yang nampaknya menjadi kesepakatan antara semua ahli adalah bahwa hukum adalah kumpulan
peraturan-peraturan,6 tapi mereka berbeda-beda pendapat mengenai dari manakah kumpulan
peraturan-peraturan itu berasal.
Sebagian mengatakan bahwa ia haruslah berlandaskan moralitas dan keadilan yang mana ia bukan
dibuat oleh manusia melainkan secara alamiah sudah ada ‘dari sananya’, sehingga manusia hanya
menjalankan saja dan kalau hukum tidak sesuai keadilan maka ia bukanlah hukum, dan inilah
mazhab ‘hukum alam’. 7 Dalam konteks hukum Islam, fiqih haruslah merupakan aturan-aturan
yang diturunkan dari adillah tafsiliyah –yang mana adillah dari kata dalil maksudnya adalah Al-

4
Manfred Nowak, “Report of the Special Rapporteur on Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment (No. A/60/316),” 2005. Lihat khususnya Para 18 dan 27-28
5

Lihat butir kedua mukadimah dan Pasal 1(2) UN Charter

6

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), 3rd ed. (Yogyakarta: Liberty, 1991), 38.


Mark C. Murphy, “Natural Law Theory,” in The Blackwell Guide to the Philosophy of Law and Legal Theory, ed.
Martin P. Golding and William A. Edmundson (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), 16.

7

Quran dan As-Sunnah. 8 Mazhab positivism hukum melihat hukum terlepas dari keadilan atau nilainilai lainnya, asalkan ia dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang maka ia adalah hukum. 9
Salah satu ahli mazhab positivis yaitu John Austin penting diperhatikan pendapatnya tentang
hukum, karena dampaknya besar terhadap pemahaman konteks hukum internasional. Hukum
internasional ini bisa bermakna dua, yang pertama adalah hukum perdata internasional atau
hubungan antar tata hukum serta yang kedua adalah hukum internasional public. 10 Yang kedua ini
adalah yang menjadi bahasan kita.
Bagi Austin, hukum yang sejati haruslah merupakan perintah dari political superiors (atau
sovereign atau daulat) kepada political inferiors (yang diperintah).11 Sebagai konsekuensi, hukum
internasional yang mengatur hubungan antar negara –masing-masingnya memiliki kedaulatan, dan
tidak ada daulat tertinggi di atas mereka—pun tidak dianggap sebagai hukum oleh Austin.12
Banyak sekali ahli hukum yang sudah membantah pendapat Austin tentang hukum internasional,13
tapi mazhab hukum positivis tampak menjadi tulang punggung pada banyak sistem hukum
modern. Mazhab yang mengutamakan pentingnya kewenangan berlakunya suatu aturan hukum
tentunya akan menuntut adanya pengamatan lebih terhadap sebuah sistem hukum yang tidak
memiliki figure pemerintah berdaulat yang menaungi semuanya. Kalau tidak ada sosok ‘daulat’,

siapa yang akan memberi perintah kepada daulat-daulat yang hendak diperintah oleh hukum
internasional ini? Pertanyaan inilah yang akan melandasi hubungan antara hukum internasional
dan kedaulatan nantinya.
2. Sumber-Sumber Hukum Internasional
Penting sekali mengenal sumber-sumber hukum dan bagaimana sifatnya, karena dari sanalah dapat
diketahui apa saja hukum yang berlaku di sebuah sistem. Secara tradisional, Statuta International

8

Imran Ahsan Khan Nyazee, Islamic Jurisprudence (Selangor: The Other Press, 2003), 20.

9

Raymond Wacks, Philosophy of Law: A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2006), 28.

10

Malcolm N Shaw, International Law, 6th ed. (New York: Cambridge University Press, 2008), 1.

11


John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: John Murray, 1832), 1–2.

12

Ibid., 146–47.

Misalnya Shaw, International Law, 3–4. Walaupun kemudian sebetulnya secara teori masih banyak terjadi ‘pingpong’ saja, lihat: Antony Anghie, Imperialism, Sovereignty, and the Making of International Law (New York:
Cambridge University Press, 2004), 46.

13

Court of Justice menyebut sumber-sumber hukum Internasional pada Pasal 38(1),14 pada intinya
adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian internasional, bagi para pihak-pihaknya
b. Kebiasaan internasional, yang oleh praktek umum diterima sebagai hukum
c. Prinsip-prinsip umum hukum yang dianut di negara-negara beradab
d. Putusan hakim terdahulu, atau disebut juga case law
e. Karya-karya para ahli hukum.
Perjanjian internasional disebut sebagai sumber hukum internasional yang paling utama, 15 dan ia

bersifat mengikat kepada para pihak yang berperjanjian. Perlu dicatat bahwa pada perjanjian
internasional yang bersifat multilateral16 negara pihak bisa saja melakukan ‘reservasi’, atau
pengecualian pada pasal-pasal tertentu, dengan syarat:
-

Perjanjian tersebut tidak melarang ‘reservasi’ baik umum maupun khusus, dan

-

Pasal yang hendak di’reservasi’, ketika dikecualikan tidak akan menimbulkan tidak
terpenuhinya maksud dan tujuan umum dari perjanjian tersebut.

Kebiasaan internasional juga merupakan sumber hukum mengikat, yang pada dasarnya dikenal
memiliki dua unsur yaitu (a) praktek negara-negara yang berseragam atau state practice, serta (b)
suatu keyakinan akan sifat praktek tadi sebagai suatu kewajiban hukum atau opinio juris sive
necessitatis.17 Prinsip-prinsip umum hukum juga mengikat, dan ia biasa digunakan untuk mengisi
kekosongan jika sumber-sumber hukum sebelumnya ada yang kurang. 18 Selainnya, umumnya
digunakan untuk memberikan penafsiran lebih lanjut dari sumber-sumber hukum yang mengikat
tadi tetapi ia sendiri (case law atau karya ahli hukum) tidak bersifat mengikat.19


Mungkin perlu dicatat bahwa Statuta International Court of Justice ini bukanlah “menentukan” sumber-sumber
hukum internasional. Hanya saja setiap statute pengadilan akan menyebutkan kewenangannya, dan Mahkamah ini di
pasal tersebut menyebutkan bahwa kewenangannya adalah menyelesaikan sengketa hukum internasional yang by the
way bersumber dari lima poin ini. Jadi ia semacam menyebut apa yang sudah biasa dikenal saja.

14

15

Shaw, International Law, 94.

16

Banyak negara pihaknya

17

Ibid., 72–93.

18


Ibid., 98.

19

Lihat pasal 59 Statuta International Court of Justice

Penjelasan di atas adalah penjelasan yang agak klasik, karena perkembangan hukum internasional
membawa kerumitan lebih. Banyak perjanjian internasional yang bersifat multilateral yang
melakukan kodifikasi terhadap hukum kebiasaan internasional, sehingga terkadang untuk hukum
kebiasaan tersebut dapat ditemukan di dalam sebuah perjanjian internasional, atau bahkan muncul
kebiasaan baru akibat dari perjanjian internasional tersebut.20 Prinsip hukum pacta sunt servanda
(perjanjian harus dipatuhi) pun dikenal sebagai sebuah hukum kebiasaan dan telah terkodifikasi di
sebuah perjanjian internasional (i.e. Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties between
States 1969. Putusan pengadilan pun bisa menafsirkan perjanjian internasional serta
‘mengkodifikasi’ hukum kebiasaan internasional, sehingga walaupun formal tidak mengikat tapi
tetap saja menjadi rujukan. 21
Belum lagi ketika kita bicara soft law, yaitu instrument hukum yang formal tidak mengikat, dan
prinsipnya adalah di luar yang sudah dibahas. Contohnya adalah resolusi General Assembly atau
komisi HAM UN, atau Draft Articles yang dikeluarkan oleh the International Law Commission

(ILC), dan lain sebagainya.22 Soft Law ini walaupun tidak formal mengikat tapi bisa menjadi
sumber hukum juga ketika ia (a) mengkodifikasi atau menggerakkan hukum kebiasaan
internasional, atau (b) menafsirkan perjanjian internasional multilateral. 23 Dengan demikian
menjadi lebih runyam.
3. Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum pada prinsipnya adalah siapa saja yang memiliki ‘personalitas hukum’, yaitu
kemampuan untuk menyandang hak dan kewajiban hukum. 24 Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa jika sesuatu itu tidak memiliki personalitas hukum maka ia bukan subjek hukum sehingga
ia tidak dapat dikenai hak dan kewajiban menurut hukum.
Dalam hukum internasional, yang paling pertama dikenal sebagai subjek hukum adalah negara.
Bahkan, pada suatu waktu dikatakan bahwa negara sajalah satu-satunya subjek hukum

Fajri Matahati Muhammadin, “Can ‘Soft Law’ Be Regarded as International Law?,” 2014,
http://fajrimuhammadin.staff.ugm.ac.id/2014/05/28/can-soft-law-be-regarded-as-international-law/.

20

21

Ibid.

22

Ibid.

23

Ibid.

24

Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), 54.

internasional. Sekarang dikenal subjek-subjek hukum internasional lain, tapi negara tetaplah aktor
utama dalam hukum internasional. 25
Organisasi internasional adalah subjek hukum internasional yang menarik, dan yang akan menjadi
focus lebih utama adalah organisasi internasional public yang beranggotakan negara-negara.
Mereka memiliki personalitas hukum sendiri.26 Mereka tidak memiliki personalitas hukum yang
sama seperti negara, melainkan hanya sejauh apa yang diatur oleh piagam-nya saja. UN adalah
salah satu dari sekian banyak organisasi internasional, tapi jelas ia tampak merupakan organisasi
internasional yang paling berperan dalam dunia internasional.
Subjek hukum internasional berikutnya yang sangat penting adalah individu. Setelah sekian lama
negara dianggap satu-satunya subjek hukum internasional, setidaknya UN Charter dan beraneka
ragam perjanjian internasional yang lahir setelahnya (terutama sekali soal HAM) telah
berbondong-bondong memberikan hak bagi individu dan juga kewajiban. 27 Seperti halnya
organisasi internasional, individu juga tidak memiliki akses penuh terhadap hak dan kewajiban
menurut hukum internasional melainkan hanya sejauh yang diatur dalam hukum internasional itu
saja.
Sebetulnya masih ada beberapa subjek hukum internasional lain, seperti pemberontak, Tahta Suci,
dan lain sebagainya, tapi untuk pembahasan ini mereka kurang esensial.
C. KEDAULATAN
1. Kedaulatan dan Hukum Internasional
Secara umum, kedaulatan atau sovereignty dipahami sebagai (dimilikinya) otoritas tertinggi pada
suatu wilayah. 28 Karena itulah, sebagai daulat ia memiliki kewenangan untuk membuat hukum
dan memerintah. Secara rasional, mudah disimpulkan bahwa jika sebuah entitas dianggap
memiliki kedaulatan maka ia pun tidak boleh dipaksa tunduk pada hukum milik entitas lain.
Dengan kata lain, ia harus independent dalam artian merdeka, berdiri sendiri, tidak boleh

25

Shaw, International Law, 197.

26

Chittharanjan Felix Amerasinghe, Principles of the Institutional Law of International Organizations (Cambridge
University Press, 2005), 66–104.
27

Shaw, International Law, 256–58.

Daniel Philpott, “Sovereignty,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2016,
https://plato.stanford.edu/entries/sovereignty/.

28

diintervensi. Bahkan sovereignty dan independence seringkali disebut sebagai sinonim. 29 Hukum
internasional pun mengatur hal ini di UN Charter, Pasal 2(4) dan 2(7).
Di sinilah kita akan kembali kepada kritik Austin terhadap hukum internasional. Jika hukum harus
berasal dari daulat, sedangkan dalam hukum internasional tidak ada yang berdaulat (dan justru
berlaku prinsip sovereign equality –semua negara adalah setara), bagaimana hukum internasional
mau dikatakan sebagai hukum? Dari manakah datangnya kekuatan hukum tersebut?
Mungkin diskursus lebih lanjut tentang kritik Austin terhadap hukum internasional lebih tepat
didiskusikan secara terpisah. Dalam perkembangannya, mazhab positivism hukum mengakui
hukum internasional sebagai hukum.30 Sedangkan pentingnya ‘kedaulatan’ sebagai sumber hukum
berperan dalam menjelaskan mengikatnya sumber-sumber hukum internasional. Consent
(kesetujuan atau kerelaan) pun menjadi sangat penting. 31
Misalnya, perjanjian internasional terjadi ketika sebuah negara –atas dasar kedaulatannya
sendiri—memilih untuk mengikatkan dirinya kepada perjanjian tersebut. 32 Maka dari itu, jadilah
perjanjian tadi sebuah hukum yang mengikat pada si negara. Demikian pula dalam kebiasaan
internasional, ketika sebuah negara memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah praktek33 dapat
dianggap sebagai sebuah consent, sehingga mazhab positivis pun dapat mengakui hukum
kebiasaan internasional. 34
Kemudian, akan agak rumit ketika mulai masuk pada rezim UN sebagai organisasi internasional.
Akan dibahas di bagian berikut ini.
2. Kedaulatan Dalam Rezim UN

29

Shaw, International Law, 211.

30

Lihat misalnya argument Hart dalam masalah ini, beliau mengatakan bahwa hukum internasional jelas merupakan
hukum, tapi hukum model berbeda dengan hukum internasional: Herbert L A Hart, “The Concept of Law, with a
Postscript Edited by Penelope A. Bulloch and Joseph Raz” (Oxford: Clarendon Press, 1994), chap. X.
31

Anghie, Imperialism, Sovereignty, and the Making of International Law, 43.

32

Ibid., 44.

33

Dan/atau menunjukkan Opinio Juris atau keyakinan hukum sebagaimana dijelaskan di sumber-sumber hukum tadi

34

Ibid.

Munculnya UN sebagai tulang punggung hubungan dan hukum internasional modern (pasca
Perang Dunia II) membawa banyak sekali perubahan. Bahkan, sampai ada yang mengira UN
merupakan pemerintah dunia.
Betapa tidak? Ia memiliki General Assembly (GA) berisi perwakilan semua negara anggota, oleh
sebagian orang ini tampak seperti parlemen (walaupun resolusi GA tidak mengikat, kecuali dalam
perkara kepengurusan administrasi oragnisasi). Ia memiliki Security Council (SC) yang tampak
seperti polisi, walaupun bagi banyak kalangan performa-nya cenderung tampak ‘ajaib’. Ia juga
memiliki Secretary General (SG) yang bertindak selayaknya eksekutif dan International Court of
Justice yang merupakan organ peradilan. UN pun memiliki komisi atau sub komisi yang
mengurusi hampir segala hal mulai soal pangan (Food and Agricultural Organization), kesehatan
(World Health Organization), sampai masalah pendidikan (United Nations Education and Science
Organization). Pengadilan pidana untuk kejahatan-kejahatan paling serius yaitu the International
Criminal Court (ICC) memang secara structural bukan di bawah UN. Tapi draft awal Rome Statute
of the International Criminal Court (1998, atau Rome Statute, yang merupakan instrument
pendirian ICC) dibuat oleh ILC yang di bawah GA, dan dalam beberapa hal SC dapat
mengintervensinya juga.
Sebetulnya jelas tidak ada hubungan subordinasi antara UN dan negara-negara anggotanya. Justru
negara-negara itu sendiri yang perwakilan-perwakilannya berpartisipasi dalam jalannya UN
sebagai organisasi internasional. Karena itu, jelas UN bukan pemerintah dunia. Hanya saja, rezim
yang kemudian muncul jadi seakan-akan seperti sebuah rezim hukum sendiri dan dalam banyak
hal berfungsi sebagai tulang punggung dibuat dan dijalankannya hukum internasional.
UN Charter sendiri, yang merupakan instrument dasar UN, adalah berbentuk perjanjian
internasional. Dengan demikian, kedaulatan tidak lagi bisa dijadikan dasar untuk menolak
kewajiban-kewajiban yang timbul dari UN Charter.
Yang paling ringan mungkin adalah ICJ, karena pihak-pihak yang mau berperkara harus samasama sepakat dulu sebelum perkara bisa dibawa ke ICJ.35 36 Yang paling ekstrim adalah SC, yang

35
36

Ini sesuai Pasal 36 ICJ Statute

Sebagai catatan, beberapa bulan belakangan ini sempat tenar ada yang ingin membawa Kapolri atau Densus 88 ke
“Pengadilan Internasional” (yaitu ICJ) karena kasus Siyono, atau masalah dugaan Makar, tuduhan teroris pada NGO
Turki IHH. Itu entah dapat ide dari mana, tapi “Pengadilan Internasional” tidak bisa mengurusi perkara-perkara
tersebut. Penjelasan lebih rinci: Fajri Matahati Muhammadin, “Kami Bawa Ke Pengadilan Internasional:

sesuai Pasal 2(7) UN Charter dapat melakukan tindakan-tindakan keras yang melangkahi
kedaulatan termasuk, menurut Pasal 41-42, langkah militer dan non-militer untuk mengatasi
ancaman keamanan dan agresi. Pasal 23 menyebut bahwa anggota SC hanya 15 (termasuk 5
anggota permanen) jadi tidak dapat dikatakan mewakili seluruh negara anggota, tapi Pasal 24-25
memberikan kepercayaan penuh pada SC dan kewajiban pada semua negara anggota untuk
menurut. Organ UN inilah yang paling diharapkan untuk menyelesaikan konflik dunia, walaupun
sudah masyur sekali bahwa ada yang sangat salah dalam bagaimana SC beroperasi. 37
D. HAK ASASI MANUSIA
1. Tentang Hak Asasi Manusia
Sebelum lahirnya UN, HAM (atau bahkan pengakuan individu sebagai subyek) adalah sebuah
konsep yang umumnya tidak dikenal dalam hukum internasional, melainkan dalam hukum
domestic saja.38
‘Hak’ sendiri memiliki pengertian sederhana, intinya sesuatu yang dimiliki atau menjadi
wewenang pribadi. Keistimewaan HAM atau human rights adalah terletak pada ‘asasi’nya.
Pandangan yang tampak mendominasi adalah yang bercorak mazhab hukum alam, dengan
mengatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang inherent, ‘alamiyah’, dan ada pada manusia
semata-mata karena ia adalah manusia. The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948
(UDHR) pun mengambil pemahaman ini, dengan redaksi kalimat:
“…recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of
the human family…”39
“…All human beings are born free and equal in dignity and rights…”40

Memangnya Bisa?,” 2017, http://fajrimuhammadin.staff.ugm.ac.id/2017/04/04/kami-bawa-ke-pengadilaninternasional/.
Tidak terhitung kritik terhadap SC, salah satunya: Fajri Matahati Muhammadin, “Can International Law Be
Enforced Towards Its Subjects Within the International Legal Order?,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 21, no. 2
(2016): 181–83, 196.

37

38

Kecuali pada masalah perbudakan dan juga perlindungan tentara luka di medan perang.Shaw, International Law,
270. Dalam hukum-hukum domestic, HAM telah lama dikenal misalnya di Codex Hammurabi, Piagam Madinah,
Magna Carta, dan lain sebagainya
39

Mukadimah, para 1

40

Pasal 1 UDHR

Pasal 1(1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun didefinisikan
sebagai: “…seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Sebagian lain mendefinisikan secara positivis, misalnya The Australian Human Rights
Commission Act 1986 (AHRC Act) pada Pasal 3 mendefinisikan HAM pada intinya sebagai segala
hak dan kebebasan yang dituangkan dalam instrument-instrumen hukum internasional yang diakui
oleh AHRC Act.
Dalam konteks hukum internasional, kewajiban utama diberikan kepada negara untuk
menyelenggarakan perlindungan terhadap HAM bagi warganya. Ini disebut di mukadimah UN
Charter serta Pasal 1(3), mengingat konten-nya adalah pengakuan dan janji memberi perlindungan
terhadap HAM sedangkan UN Charter adalah mengikat bagi negara. Instrumen-instrumen hukum
HAM internasional kemudian pun adalah memberi kewajiban pada negara.
2. Rezim Hukum HAM Internasional
UN Charter adalah instrument hukum internasional mengikat pertama yang memperkenalkan
konsep HAM pada mainstream hukum internasional, 41 sedangkan penjabaran rinci apa saja HAM
itu pertama dilakukan di UDHR. Akan tetapi, UDHR itu sendiri bukanlah instrument hukum
mengikat. Ia hanyalah sebuah soft law, berbentuk Resolusi UN GA No. 217 (A/RES/217). Akan
tetapi, dari lahirnya UDHR lahir pula semangat dunia internasional (atau setidaknya sedikit negara
anggota UN saat itu yaitu 48 saja) untuk mulai membangun rezim hukum HAM internasional yang
kemudian mem’bola salju’ menjadi beraneka ragam perjanjian HAM internasional 42 yang
semuanya merujuk kepada UDHR di mukadimahnya.
Di antara perjanjian-perjanjian internasional ini beberapa yang utama sekali adalah:
-

The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) atau ICCPR,

41

Selain masalah perbudakan dan hukum perang, yang pada tahun 1945 sudah bertambah beberapa perjanjian
internasional lagi
42

Muhammadin, “Can ‘Soft Law’ Be Regarded as International Law?”

-

The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) atau
ICESCR,

-

The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (1979)
atau CEDAW,

-

The Conventions on the Rights of the Child (1990) atau CRC

-

Dan lain sebagainya

Pada prinsipnya, sebuah perjanjian adalah urusan antara yang berperjanjian saja. Jika ada sengketa
akibat pelaksanaan perjanjian tersebut, para pihak yang bersengketa bisa menyelesaikan
sengketanya dengan cara damai apa saja antara mereka dan kalau mereka menghendaki boleh
melibatkan pihak ketiga (negosiasi, arbitrase, dan lain sebagainya). Akan tetapi, dalam konteks
HAM ini konteksnya agak lebih rumit mengingat bahwa hampir semua perjanjian internasional
HAM telah diratifikasi secara hampir universal oleh seluruh negara di dunia. Apalagi, hampir
semua perjanjian internasional ini di’broker’i oleh UN.
Karena itu, masing-masing perjanjian internasional HAM ini kebanyakan memiliki Komisi sendiri
untuk mengawasi penerapan dan juga melakukan ‘penafsiran otoritatif’ terhadap perjanjian yang
bersangkutan. Misalnya, untuk ICESCR ada Committee on Economic, Social, and Cultural Rights
(CESCR). Selain itu, UN sendiri memiliki beberapa komite umum untuk mengawasi soal HAM
ini, misalnya Human Rights Council (HRC), dan UN SG punya salah satu divisi bernama The
Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang bertugas mengawasi dan
mengkoordinasi kinerja dari semua komite dan komisi ini.
Di samping yang disebutkan di atas, sebetulnya ada beberapa perjanjian internasional HAM yang
berskala regional, misalnya Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms (1950) di Uni Eropa dan The African Charter on Human and Peoples' Rights (1989) di
Uni Afrika. Ada juga yang berbentuk soft law misalnya ASEAN Human Rights Declaration (2012)
dan Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990). Tujuan dari adanya instrumen regional
ini adalah untuk memenuhi kewajiban-kewajiban HAM internasional, tapi dengan menyesuaikan
dengan nilai-nilai regional yang ada.
3. Hukum HAM Internasional Absen Konteks

Pada prinsipnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebuah negara dianggap berdaulat
hingga ia mengikatkan dirinya kepada sebuah perjanjian internasional atau berpartisipasi pada
(sehingga dapat dianggap menyetujui) sebuah kebiasaan internasional.
Maka dari itu, jika sebuah negara telah meratifikasi UN Charter dan menjadi anggota UN maka
secara umum ia telah setuju untuk terikat pada pengakuan umum terhadap HAM dalam konteks
hukum internasional. Kemudian, ketika sebuah negara telah meratifikasi perjanjian-perjanjian
internasional terkait HAM semisal ICCPR, ICESCR, CRC, dan lain sebagainya, maka ia pun
berarti telah setuju untuk terikat sehingga wajib menyesuaikan hukum nasionalnya.
Pelanggaran pun akan ditindak secara proporsional dan ada mekanismenya. Mungkin yang agak
menarik adalah karena hukum HAM internasional ini adalah revolusioner, dalam artian ia bukan
mengatur hubungan satu negara ke negara lain melainkan mengatur bagaimana negara (sebagai
daulat) menjalankan kedaulatannya. 43 Maka pelanggaran umumnya akan dinilai jika sesama
negara peratifikasi perjanjian internasional HAM (atau komite/komisi HAM di UN tadi) mengadu
tentang bagaimana si negara terlapor melanggar HAM dalam negaranya sendiri. Hal ini bisa
diselesaikan melalui rekomendasi komite/komisi HAM tersebut (tapi ini hanya soft law saja,
bersifat rekomendasi), atau –jika ada kesepakatan—bisa melalui ICJ yang akan memberi putusan
mengikat untuk para pihak.
Apabila ada pelanggaran HAM yang begitu parah, dan dilaksanakan secara sistematik/meluas,
dalam terminology hukum internasional akan disebut Crimes Against Humanity (CAH) atau
kejahatan terhadap kemanusiaan. 44 Ada pula kejahatan genocide atau genosida yang secara historis
dan klasifikasi sebetulnya termasuk dalam CAH, tapi kemudian dalam perkembangannya
dikeluarkan menjadi kategori International Crime sendiri. 45

43

Sebelumnya, hukum internasional murni hanya negara vs negara, dan apapun yang terjadi di dalam suatu negara
adalah urusan negara itu sendiri, dan inilah ide awal dari konsep kedaulatan. Lihat: Anghie, Imperialism,
Sovereignty, and the Making of International Law, 254.
44

Lihat Pasal 7, Rome Statute.

Fajri Matahati Muhammadin, “GENOSIDA: Istilah Secara Hukum vs ‘Penggunaan Populer,’” 2015,
http://fajrimuhammadin.staff.ugm.ac.id/2015/04/15/genosida-istilah-secara-hukum-vs-penggunaan-populer/. Perlu
dicatat bahwa terminology international crimes ini merujuk pada kejahatan-kejahatan khusus dalam hukum
internasional, yaitu utamanya: genosida, CAH, war crimes, aggression. Lihat Pasal 5 Rome Statute (walaupun
sebenarnya masih ada lagi). Beda dengan transnational crimes seperti peredaran narkoba, money laundering, human
trafficking, dan lain sebagainya.
45

Teorinya, jika terjadi salah satu International Crime terjadi, ada yurisdiksi universal yang pada
pokoknya menyatakan bahwa negara manapun boleh mengadili si tersangka (terlepas di manapun
terjadi kejahatannya dan warga negara manapun si tersangka ini). 46 Akan tetapi, jika si tersangka
merupakan kepala negara maka hal ini akan terbentur dengan konsep imunitas kepala negara yang
merupakan perpanjangan dari kedaulatan negara yang tidak boleh diadili di bawah hukum negara
lain.47 Maka preseden hukum internasional menunjukan bahwa si kepala negara tidak boleh diadili
di pengadilan negara lain, melainkan di pengadilan internasional. 48
Di sinilah batas di mana negara lain tidak boleh melanggar kedaulatan, melainkan harus melalui
forum internasional. Contohnya adalah di ICC yang memang umumnya mensyaratkan bahwa
kepala negara boleh diadili (Pasal 27, Rome Statute) asalkan ia adalah warga negara anggota ICC,
atau melakukan kejahatan di negara yang telah meratifikasi Rome Statute (Pasal 12[2]). Di sana
kuat unsur consent dalam pembatasan kedaulatan, kecuali kasus di mana pelaku adalah warga
negara non-peratifikasi tapi melakukan kejahatan di negara peratifikasi49 atau –terutama jika—UN
SC memberikan ‘fatwa’ sesuai Pasal 13[b] Rome Statute.50
E. BEBERAPA CATATAN KRITIS
1. Sejarah Pembentukan Hukum Internasional
Dalam sejarah hukum internasional, ada beberapa argument yang dikeluarkan oleh pakar-pakar
hukum yang bermadzhab hukum alam yang sangat menarik.
Misalnya Fransisco De Vitoria (wafat 1546) mengatakan bahwa suku Indian adalah manusia juga
sehingga terikat dengan ‘hukum alam’ (yang menurut madzhab ini mengikat semua manusia) juga,
tapi mereka harus di’hukum’ akibat tidak bisa memenuhi hukum alam (yang tentunya dipenuhi

46

Shaw, International Law, 668.

47

Widodo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler: Pada Era Globalisasi (Surabaya: Laks Bang Justitia, 2009), 119.

48

Bisa dilihat di Yurisprudensi ICJ : Arrest Warrant of 11 April 2000 (Democratic Republic of the Congo v.
Belgium), Judgment, I.C.J. Reports 2002, p.3
49

Atau di negara yang menundukkan diri, seperti kasus Palestina di penghujung tahun 2014. Lihat: Fajri Matahati
Muhammadin, “Palestine Acceding to Rome Statute: Prospects, Challenges,” The Jakarta Post, January 13, 2015,
http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/13/palestine-acceding-rome-statute-prospects-challenges.html.
Perlu dicatat bahwa banyak kritik terhadap kinerja ICC, seolah ia ‘jatuh cinta’ pada Afrika. Lihat : Jeron
Maklanron, “South Africa’s Disappointment with the International Criminal Court: The Unfair Treatment of African
People Caused an End to Cooperation,” Journal of Pan African Studies 9, no. 7 (2016): 82. Belum lagi kritik
terhadap kinerja UN SC secara umum sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.

50

oleh bangsa Spanyol) disebabkan oleh ‘keterbelakangan’ dan ‘kurang beradabnya mereka.51
Karena itulah, menjadi semacam kebutuhan bagi bangsa Spanyol untuk ‘memberadabkan’
mereka. 52
Contoh lain adalah Emer de Vattel (wafat 1767). Beliau berargumen bahwa mengolah dan
membudidayakan tanah adalah sebuah kewajiban menurut hukum alam yang berlaku universal
bagi seluruh umat manusia. 53 Karena itulah, bagi Vattel, tidak ada masalah bagi penjajahan
wilayah Amerika Utara mengingat penduduk aslinya tidak hidup bermukim melainkan nomaden. 54
Setelah madzhab hukum alam mulai tidak begitu digandrungi dan digantikan oleh madzhab
positivisme hukum (mulai abad 19), penjajahan sudah banyak sekali terjadi dan negara-negara
jajahan (yang mana itu banyak sekali) makin tersingkirkan. Sudah dijelaskan sebelumya
bagaimana madzhab positivism hukum ini berpusat pada konsep daulat. Bagaimana kesempatan
wilayah-wilayah jajahan (yang jumlahnya banyak sekali) untuk berperan dalam pembentukan
hukum internasional, ketika mereka praktis berada di bawah kedaulatan negara penjajah mereka?55
Belum lagi, bagi madzhab positivism abad itu sangat penting untuk menentukan siapa masyarakat
yang akan diberlakukan hukum terhadapnya,56 dan pemisahan negara ‘beradab’-‘tidak beradab’
adalah yang dilakukan oleh negara-negara Eropa.57 Maka akhirnya ketika jelas standar ‘beradab’
adalah Eropa sendiri, dan hanya negara ‘beradab’ yang dianggap sebagai tempat berlakunya
hukum internasional, maka selain mereka pun secara hukum jadi tidak dianggap.
Vitoria, Vattel, dan ahli hukum zaman itu adalah sejarah saja di era kolonialisme dulu. Mungkin
sekarang sudah lewat masa di mana begitu mudahnya negara-negara Eropa menyerang dan
menjajah negara-negara di benua-benua lain. 58 Pakar pakar hukum positivis pun sudah tidak

51

Anghie, Imperialism, Sovereignty, and the Making of International Law, 250–51.

52

Ibid., 251.

53

Emer De Vattel and Joseph Chitty, The Law of Nations: Or, Principles of the Law of Nature, Applied to the
Conduct and Affairs of Nations and Sovereigns (PH Nicklin & T. Johnson, 1835), 35.
54

Ibid.

55

Anghie, Imperialism, Sovereignty, and the Making of International Law, 34.

56

Ibid., 47.

57

Ibid., 52–65., atau lihat Bab 2 secara umum.

Walaupun bukan tidak ada kasus-kasus ‘ajaib’ seperti invasi Afghanistan dan Irak, ini adalah kritik terpisah
terhadap hukum internasional dan kinerja UN.

58

seperti dulu lagi, dan pasca Perang Dunia II masuklah pada era baru di mana semua (harusnya)
terlibat dan mulailah era dekolonialisasi.
Akan tetapi, Antony Anghie mencatat bahwa pola pikir penjajahan dari masa masa sebelumnya
telah membentuk konstruksi dasar hukum internasional modern sehingga berulang di zaman
modern dan berdampak pada banyak hal, antara lain adalah pada rezim hukum HAM Internasional.
Caranya pun lebih ‘halus’ (i.e. bukan dengan menyerang dan ‘memberadabkan’) tapi ‘menusuk’.
Anghie juga mencatat sebuah kebetulan yang menarik pada periode dekolonialisasi, yaitu bahwa
dikonstruksinya sebuah norma hukum HAM internasional yang ‘universal’ adalah kurang lebih
berbarengan dengan baru lahirnya dunia ketiga.59 Pada periode tersebut negara-negara dunia ketiga
yang baru bermunculan sudah dihadapkan pada konstruksi hukum internasional serta konsep
tentang individu yang mencerminkan western ideals. Belum lagi berbicara tentang ‘UN Mandate
System’ di mana pengelolaan negara-negara bekas jajahan adalah tergantung negara yang diberi
mandate.
Peran mereka dalam pembentukan hukum internasional secara umum dan pondasi pun menjadi
minim sekali, dan sistem-sistem hukum lain dianggap ‘kurang modern’. Perhatikan bagaimana
ketika tadi disebutkan sumber-sumber hukum internasional, sumber ketiga adalah ‘Prinsip-prinsip
umum hukum yang dianut di negara-negara beradab’.60 Di situ lah dianggap hukum-hukum nonBarat adalah kurang beradab dan disingkirkan. Misalnya dilihat kasus sengketa antara dunia timur
tengah dengan barat pada tahun 1950an, tidak malu malu para arbitrator menganggap bahwa
Syariat Islam adalah terlalu primitif untuk mengenal prinsip-prinsip hukum yang mampu
menaungi kontrak komersial modern61 lalu seenaknya menerapkan hukum Inggris karena
dianggap mewakili hukum-hukum yang modern.62 Di ICJ pun ada kecenderungan hakim-hakim

59

Ibid., 254.

60

Dalam teks aslinya ‘…civilized nations.’

61
Misalnya pada putusan Lord Asquith of Bishopstone: Petroleum Development Ltd. v. The Sheikh of Abu Dhabi
(1951) 18 I.L.R. 144, hlm.149. Perlu dicatat bahwa ilmu fiqih termasuk yang mengatur hubungan komersial
sangatlah komprehensif bahkan sejak awal-awal dalam tradisi keilmuan Islam (abad 7-8 masehi), dan tidak berhenti
bekembang pesat sampai berabad-abad kemudian bahkan hingga sekarang.
62

Ibid

untuk menolak menggunakan konsep-konsep hukum internasional selain konsepsi barat, sehingga
dalam penafsiran dan pengembangan hukum internasional pun semakin cenderung Barat-sentris.63
Pada akhirnya, tadinya negara dianggap sebagai aktor utama dalam hukum internasional yang
berperan aktif dalam pembentukan norma hukum internasional. Akan tetapi, ternyata sebagian
negara saja yang diizinkan untuk terlibat.
2. ‘Universalitas HAM’ versus ‘Human Rights Outsiders’64
Sudah dijelaskan sebelumnya bagaimana trend hukum HAM internasional mulai mengkristal sejak
UDHR pada tahun 1948, semacam menjadi penyeragaman norma-lah. Tapi apakah normanya
seragam? Ternyata tidak. Banyak pakar Barat maupun non-Barat yang mengkritik bagaimana
konsep hukum HAM Internasional dibuat ‘default’nya adalah dengan cara pandang Barat. 65
Padahal, tidak dapat disangkal bahwa banyak konsep HAM di dunia ini yang berakar dari
perbedaan konsep tentang individu, yang bukan hanya terjadi dari Islam melainkan misalnya juga
ada ‘perspektif Asia’66 dan lainnya sampai muncul banyak sub-rezim HAM regional.
Telah dijelaskan sebelumnya bagaimana secara umum negara-negara non-Eropa seolah
disingkirkan dari proses pembentukan hukum internasional, dan salah satu bentuknya adalah
pemaksaan sebuah universalitas HAM. Telah disebutkan juga bagaimana kenyataannya konsep
HAM yang dikenal itu begitu beranekaragam, sampai lahir berbagai instrument HAM regional.
Akan tetapi, ternyata banyak kritik pula yang lahir kepada keanekaragaman perspektif ini. Kritik
ini mengambil asumsi dasar bahwa pokoknya semua harus disesuaikan dengan standar HAM
internasional (ala Barat), boleh ada pluralitas kecuali pada hal-hal yang tidak bertentangan.67

63

Misalnya lihat komentar Al-Khasawneh (mantan hakim ICJ) yang mengeluhkan bagaimana prinsip-prinsip hukum
Islam sering ditolak digunakan, bahkan untuk hal-hal yang relevan kontekstual: Awn S. Al-Khasawneh, “Islam and
International Law,” in Islam and International Law: Engaging Self-Centrism from a Plurality of Perspectives, ed.
Marie-Luisa Frick and Andreas Th Müller (Martinus Nijhoff Publishers, 2013), 29–44.
64

Maksudnya ‘outsiders’ di sini adalah pihak-pihak yang tersingkir karena dianggap ‘berbeda’

65

Kenneth Christie and Denny Roy, The Politics of Human Rights in East Asia (London: Pluto Press, 2001), 3–6.

66

Anghie, Imperialism, Sovereignty, and the Making of International Law, 255.

Salah satu manifestasi pola pikir seperti ini: Helen Quane, “Legal Pluralism and International Human Rights Law:
Inherently Incompatible, Mutually Reinforcing or Something in Between?,” Oxford Journal of Legal Studies 33, no.
4 (2013): 698–99.

67

Salah satu contohnya adalah, Deklarasi HAM ASEAN yang oleh OHCHR dikritik dan dituntut
untuk “… reaffirm in their Declaration the duty of States to promote and protect all human rights
and fundamental freedoms regardless of their particular political, economic and cultural
systems.”68 Padahal justru hal-hal inilah yang berkontribusi pada relativisme HAM. Ini salah satu
bukti asumsi bahwa hukum HAM internasional yang dikenal oleh OHCHR (resmi di UN SG)
haruslah mengikuti satu saja yang universal, dan pluralitas yang diizinkan hanya pada hal-hal nonesensial yang tidak menentang saja. Dan, ini bukan satu-satunya kasus.
Dalam isu gender, perdebatan antara apakah equal harus same69 nampaknya tidak habis-habis, dan
perdebatan pada setiap butir hak akan berbeda argumentasi. Akan tetapi, dalam CEDAW tampak
bagaimana ketika di mukadimah dan Pasal 1-2, pada intinya yang menjadi tujuan adalah equal
rights (kesetaraan hak) dan ‘menghapus diskriminasi terhadap perempuan’. Pasal 1 memaknai
‘diskriminasi’ singkatnya sebagai pembedaan berdasarkan jenis kelamin yang merugikan
perempuan. Mudah sekali melihat bagaimana ‘equal rights’ dan ‘same rights’ sama-sama dapat
terakomodasi dalam pemahaman umum ini.
Akan tetapi, pada Pasal 16 ketika berbicara tentang hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan
dalam keluarga, terminologi yang digunakan adalah ‘same rights’. Tentu saja, kemudian ada
minoritas negara (tapi banyak, yaitu 20+) yang mengecualikan atau melakukan ‘reservasi’
terhadap pasal ini baik sebagian atau seluruhnya. 70 Akan tetapi, Komite CEDAW dalam
laporannya mengatakan bahwa pengecualian pada pasal 16 adalah tidak sah,71 dengan alasan yang
pada pokoknya menekankan satu saja ideologi feminism yang mereka miliki tanpa

68

Intinya menuntut penegasan komitmen penegakan universalitas HAM terlepas pada sistem politik, ekonomi, dan
budaya. United Nations News Center, “UN Experts Raise Concerns over ‘landmark’ Southeast Asian Human Rights
Declaration,” 2012, http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=43520#.WUjmB-2GPIU.
69

‘setara’ versus ‘sama’

70
Bukan hanya negara-negara Islam saja, melainkan ada Inggris, Irlandia, Israel, Singapura, dan lainnya.. Lihat:
Declarations, reservations, objections and notifications of withdrawal of reservations relating to the Convention on
the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 23 June 2006, No. CEDAW/SP/2006/2

“Report of the Committee on the Elimination of Discrimination against Women (Eighteenth and Nineteenth
Sessions),” 1998, 48, http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/reports/18report.pdf.

71

Perlu dicatat bahwa Indonesia –entah kenapa—tidak mengecualikan pasal 16 ini padahal tetap memberlakukan dan
mengakui hukum Islam dan adat yang umumnya bersifat ‘equal but not the same’, antara lain soal poligami.
Akhirnya kena tegur juga dalam laporan Komite CEDAW. Lihat Ibid., paras. 284, 308–307.

mempertimbangkan variasi norma yang konkritnya ada dan (seharusnya) memiliki standing dalam
hukum internasional.
Dalam hal ekonomi pun, konsep ‘good governance’ dibuat sedemikian rupa sehingga dianggap
tanpanya sebuah negara tidak akan maju, sedangkan salah satu indikatornya adalah HAM.72
Bukannya tidak diperlukan konsep pengelolaan pemerintah yang baik. Tapi justru, pengemasan
paket konsep dengan nama yang tampak begitu netral dan positif ini digunakan untuk memaksakan
satu konsep HAM yang universal. Sebenarnya idenya adalah memperlakukan manusia dengan
baik, 73 maka dari itu standar-standar HAM pun tentu saja relevan. Hanya saja ketika penggalaan
good governance menggeneralisir bahwa hanya ada satu saja versi HAM –yaitu versi HAM
‘internasional’—maka terjadilah pemaksaan standar perlakuan manusia di tempat yang tidak
semestinya.
Dengan asumsi bahwa perkembangan ekonomi adalah tergantung good governance (yang tidak
bisa dilepas dari HAM) inilah, World Bank juga kemudian merasa perlu untuk menuntut
‘perbaikan’ sistem penjalanan pemerintahan pada negara penerima dana yang bisa jadi termasuk
hal-hal terkait HAM. 74 Uni Eropa pun, dengan semangat ini (bersama dengan semangat
‘menjunjung tinggi nilai ke-Eropa-an’), sudah menjadikan HAM sebagai salah satu pertimbangan
evaluasi pada negara tujuan investasi dan bahkan mempertimbangkan untuk menambahkan
klausula untuk membolehkan ‘tindakan yang dianggap perlu’ jika ada pelanggaran HAM pada
negara tujuan investasi.75
Bahkan, sampai ada penelitian oleh professor-professor dari George Washington University yang
membuat ‘tingkat keislaman ekonomi negara-negara’,76 tapi salah satu indikatornya adalah

Perlu dicatat bahwa bukan berarti tidak ada unsur ‘good governance’ Anghie, Imperialism, Sovereignty, and the
Making of International Law, 247–48.

72

73

Karena manusia adalah unsur utama pada sebuah negara yang harus dipelihara kehidupannya

74

Misalnya bahkan termasuk mengutak-atik hukum terkait kebebasan pers di negara tersebut. Lihat: Ibid., 261–62.
Lihat juga: “Free Press, Pluralism and Democracy: Media Challenges in Latin America,” The World Bank, May 3,
2013, http://www.worldbank.org/en/news/feature/2013/05/03/prensa-libre-pluralismo-democracia-desafios-americalatina.

Lorand Bartels, “The European Parliament’s Role in Relation to Human Rights in Trade and Investment
Agreements,” 2014, http://www.europarl.europa.eu/cmsdata/86031/Study.pdf.
75

Scheherazade S Rehman and Hossein Askari, “An Economic IslamicityIndex (EI 2),” Global Economy Journal
10, no. 3 (2010): 1–37.

76

‘kesetaraan gender’ yang seakan-akan harus sama antara laki-laki dan perempuan.77 Ini pun sejalan
dengan salah satu program besar UN yaitu Milenium Developmental Goals (MDGs) yang salah
satu goals-nya yaitu No. 3 adalah kesetaraan gender. 78 Mudah sekali menyimpulkan bahwa
penafsiran UN untuk memahami ‘kesetaraan gender’ pastilah mengikut CEDAW.79
Contoh-contoh semodel ini sangat banyak dan tidak ada habis-habisnya. Sehingga tinggallah satu
pertanyaan: di mana kedaulatan negara di sini? Apakah negara betul-betul diberikan ‘pilihan’ di
sini?
PENUTUP
Apakah kita tidak ingin hak asasi kita diakui? Mudah sekali menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi,
jika kita eksplorasi dengan lebih mendalam, pertanyaan-pertanyaan tersebut memiliki latar
belakang dan konsekuensi yang rumit.
Di atas kertas, hukum internasional adalah sebuah sistem hukum yang tampak baik. Di satu sisi
ada janji bahwa semua negara memiliki sovereign equality, dan sama-sama berkesempatan untuk
berpartisipasi aktif dalam membentuk hukum. Bisa jadi dalam bentuk membuat perjanjian yang
disepakati bersama, bisa juga dalam wujud kebiasaan yang dijalani dan diinginkan dengan juga
bersama-sama, sehingga tidak ada pemaksaan kehendak pada siapapun.
Akan tetapi, ternyata kenyataannya begitu rumit dan tidak seideal yang dibayangkan. Arah
perkembangan hukum internasional dikonstruksi seakan-akan hanya ada satu saja versi hukum
internasional yang dianggap berlaku dan merupakan ‘konsensus’. Padahal, banyak yang tidak
dilibatkan dalam pembuatannya. Seakan-akan hanya ada satu cara untuk memperlakukan manusia
dengan baik dan merupakan ‘konsensus’, padahal begitu banyak cara yang tidak dianggap.

77

Ibid., 15. Lihat juga hlm. 11-12, bukannya Islam tidak memberi kesempatan pada perempuan, tapi konstruknya
tentu berbeda dengan konstruk Barat ala CEDAW yang sekuler. Rehman dan Askari tidak menyebut detail elaborasi
‘kesetaraan’ jenis apa yang dimaksud, penggunaan ‘egalitarian social structure’ tampaknya jadi petunjuk bahwa
konstruk barat yang jadi rujukan. Tentu ini membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
UNDP, “Millenium Development Goals,” United Nations Development Program, n.d.,
http://www.undp.org/content/undp/en/home/sdgoverview/mdg_goals.html.

78

79

Melihat web UN Development Program (UNDP) di atas, sebuah search dengan kata kunci human rights akan
melihat betapa banyaknya development dikaitkan dengan HAM dan bahkan hak LGBT juga. Menarik mengkaji apa
hubungan antara development dengan hal-hal ini.

Akhirnya ketika George W. Bush berkata “you are either with us or against us”,80 frasa masyur
tersebut bukan hanya benar untuk Amerika Serikat dan perang melawan terorisme saja. Seakanakan jika kita tidak mengikuti cara HAM internasional (versi barat), maka kita dianggap tidak pro
HAM dan pro kedzoliman dan ‘terbelakang’ dan ‘tidak beradab’. Maka, apakah salah jika kita
‘diberadabkan’ (walau dengan cara yang lebih halus)? Sungguh sebuah pertanyaan yang sangat
berbau De Vitoria.
Tentu kita berharap adanya perbaikan dan barangkali memang ada perbaikan-perbaikan yang telah
terjadi. Di sinilah para akademisi hukum internasional dan pemimpin dunia harus terus bergerak
dengan bidangnya masing-masing untuk mengarahkan hukum internasional pada umumnya dan
hukum HAM pada khususnya untuk lebih fair dan inklusif melibatkan keanekaragaman perspektif
yang ada.

CNN, “You Are Either with Us or against Us,” CNN, November 6, 2001,
http://edition.cnn.com/2001/US/11/06/gen.attack.on.terror/.
80