KONFLIK STIGMA SIMBOLIK DAN PERJUANGAN H

KONFLIK KESEJAHTERAAN, STIGMA SIMBOLIK, DAN PERJUANGAN
HIZBUT TAHRIR INDONESIA DI YOGYAKARTA
Fathianabilla Azhar
Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
E-mail: [email protected]

ABSTRAK
Artikel ini mendiskusikan konflik kesejahteraan, stigma simbolik, serta upaya anggota
hizbut tahrir Indonesia berjuang dan bertahan memperjuangkan hak-haknya dalam rangka
menciptakan Negara khilafah di Indonesia. Akan tetapi perjuangan mereka tidak mudah.
Mereka kerap dimarjinalkan karena dianggap—distigma sebagai pengkhianat yang mampu
memecah belah Indonesia dari sudut pandang agama. Parahnya kini terdapat peluncuran
perppu ormas no. 2 tahun 2017 yang mencabut izin ormas seperti HTI karena dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dikarenakan perppu tersebut kini HTI kehilangan
kader dan hak untuk menyuarakan pendapat.
Kata kunci: hizbut tahrir, konflik, stigma simbolik, perjuangan, hizbut tahrir Indonesia, hak
suara.
A. PENDAHULUAN
HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) merupakan sebuah partai politik Islam yang menghendaki
Negara Indonesia menerapkan konsep khilafah (Suwanto, 2009). Dalam perkembangannya
sebenarnya tidak murni muncul di Indonesia karena Hizbut Tahrir ini berasal dari Yordania.

Tepatnya di Yerusalem Timur yang didirikan oleh Taqiuddin an-Nabhani al-Filastyni pada
tahun 1953 M (Rashta, 2009: 1-2). Baru pada tahun 1983-an hizbut tahrir mulai menyebar ke
Indonesia khususnya di Wilayah Bogor, dan orang pertama yang memperkenalkan hizbut
tahrir adalah Abdurrahman al-Baghdadi (Hayati, 2017:174). Kedatangan Abdurrahman alBaghdadi tersebut sebenarnya diundang secara terbuka oleh Mama Abdullah Nuh, pengelola
Pesantren al-Ghazali, Bogor (seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia). Seperti
yang saya kutip dari tulisan (Shofwan, 2016:146) bahwa pada tahun 1983 Mama abdullah
Nuh

mengundang

Abdurrahman

al-Baghdadi untuk datang

ke

Bogor

membantu


pesantrennya. Melihat kasus tersebut menarik untuk disimak bahwa kedatangan

Abdurrahman al-Baghdadi sebagai aktivisi Hizbut Tahrir sangat tergantung dari relasi. Ketika
relasi yang dibangun cukup kuat maka tidak menjadi masalah ketika mensyiarkan Islam dari
sudut pandang HTI secara frontal khususnya dilingkungan pesantren.
Adapun sasaran atau target masyarakat yang akan dijadikan anggota HTI tidak serta
merta dari anak pesantren namun juga dari kalangan mahasiswa. Anggota HTI beranggapan
bahwa mahasiswa memiliki pemikiran yang lebih kritis berbeda dengan orang awam,
1

sehingga memberikan relung—celah untuk menerima kehadiran HTI. Untuk itu, tidak
mengherankan jika HTI menyusup ke kampus-kampus baik negeri maupun swasta di seluruh
Indonesia, IPB misalnya. Sayangnya dalam penyebaran ajaran khilafah hizbut tahrir kerap
mengalami masalah. Pernah suatu ketika Taqiuddin an-Nabhani al-Filastyni menyuarakan
pendapat bahwa Negara-negara Islam masa kontemporer telah mengalami Darul Kufur—
hidup dalam kekafiran—budaya barat tidak mencerminkan ajaran islam. Kemudian Nabhani
mencoba untuk menggencarkan ajaran khilafah melalui Khilafah Islamiyah Internasional di
beberapa Negara dengan harapan Negara yang dianggap darul kufur bisa kembali kepada
ajaran islam yang kaffah (Jamuin dkk, 2015:162). Namun upaya tersebut tidak membuahkan
hasil bahkan Nabhani bersama dengan anggotanya dicekal—mereka dianggap sebagai teroris

yang mampu memecah belah persatuan. Dikarenakan adanya pencekalan tersebut dakwah
hizbut tahrir sempat meredup. Selain mengalami penolakan di Negara lain, Hizbut tahrir juga
pernah mengalami penolakan di Indonesia khususnya pada masa orde baru. Bahkan aktivitas
dakwah hanya bisa berjalan 10 tahun karena Soeharto melarang segala bentuk ideologi
kecuali ideologi pancasila (Hayati, 2017:174). Akan tetapi, ketika pertengahan menuju akhir
periode reformasi, HTI kembali menjalankan misinya—mereka pada masa ini tidak lagi
melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Tidak segan secara frontal mereka mulai
masuk ke kampus-kampus di seluruh kepulauan Indonesia khususnya di Sulawesi,
Kalimantan, dan Sumatera. Hanya saja mereka belum melakukan baiat1 kepada anggota
baru—masih sebatas dakwah kampus.
Sejak menggencarkan ajaran khilafah Islamiyah melalui dakwah kampus, HTI menjadi
partai politik Islam yang cukup besar pada masa itu. Akan tetapi, di tahun 2017 ini HTI
kembali terpuruk karena pemerintah mengeluarkan perppu ormas no.2 tahun 2017, yang
mana dalam perppu ormas tersebut menghapus seluruh ormas yang dipandang melanggar
nilai-nilai dari Pancasila. Adapun salah satu ormas yang dihapus oleh pemerintah ialah HTI.
Namun perppu tersebut menimbulkan pro dan kontra. Pro khususnya di pihak pemerintah
karena dengan penghapusan HTI, NKRI akan tetap utuh. Untuk kontra tentu berada di pihak
HTI, mereka merasa bahwa dengan adanya perppu penghapusan ormas, pemerintah dan
presiden telah bersikap otoriter—HTI tidak lagi memiliki ruang untuk menyuarakan
pendapat. Bahkan perppu ormas yang hadir dinilai tidak demokratis—pihak HTI tidak

diberikan kewenangan untuk menolak atau menerima usulan perppu ormas.

1

Baiat merupakan pelantikan kader yang akan menjadi HTI.
2

Menurut hemat saya, isu terkait HTI ini menarik untuk didiskusikan karena pasca perppu
ormas no.2 tahun 2017 diluncurkan, HTI tidak diberikan hak untuk menyuarakan pendapat.
Untuk kasus ini seakan-akan pemerintah di Negara Indonesia memiliki paradoks dalam
hukum. Disisi lain hukum mengakui segala hak warga Negara untuk menyuarakan pendapat
namun di lain sisi lainnya hukum juga membungkam suara rakyat. Tentu HTI yang
merupakan partai politik islam yang tidak terlalu besar tidak memiliki power untuk menolak
aturan dari pemerintah—mereka harus tunduk terhadap aturan yang telah ditetapkan.
Berangkat dari masalah tersebut, menarik untuk dipertanyakan bagaimana anggota hizbut
tahrir berjuang untuk mempertahankan pendapatnya? Mengapa Negara dan masyarakat di
luar HTI memandang atau menstigma HTI sebagai partai politik Islam yang tidak baik?
Kemudian perubahan apa saja yang terjadi ketika HTI resmi dibubarkan?
Untuk metode penelitian, saya menggunakan wawancara terstruktur terhadap informan.
Kemudian untuk melengkapi data saya menggunakan beberapa literatur yang relevan dengan

konsep penelitian yang dikaji. Namun, untuk penelitian ini kerap mendapatkan tantangan
dimana saya sempat kesulitan mencari informan. Rata-rata mereka enggan untuk
diwawancarai—mereka menutup-nutupi informasi terkait hizbut tahrir di Indonesia. Adapun
strategi untuk mengatasi masalah pencarian informan tersebut saya tidak menyertakan tujuan
yang dirasa sensitif—sekedar mengatakan bahwa saya ingin berdiskusi terkait sejarah dan
perkembangan HTI. Namun pada akhirnya saya mendapatkan beberapa informan yang
bersedia untuk diwawancarai.
B. KAJIAN PUSTAKA
Riset terkait kesejahteraan serta pergerakan HTI ini tentu bukan riset satu-satunya, bisa
dilihat dari bukti tertulis seperti jurnal-jurnal yang secara komprehensif membahas HTI.
Misalkan saja riset yang dilakuan oleh Jamuin dan Sari (2015) menjelaskan bahwa hizbut
tahrir yang berkembang selama ini sering mengalami tantangan di berbagai tempat. Hal
tersebut terjadi karena HTI dianggap memiliki ajaran Islam yang sesat dan mampu memecah
belah bangsa dan negara. Terlebih HTI pernah dengan tegas menolak pernyataan pancasila
khususnya sila pertama yang berbunyi ―Ketuhanan yang maha Esa‖. Pada sila pertama ini
menurut HTI merupakan ideologi yang haram—kafir. Untuk itu HTI menyarankan supaya
Negara Indonesia kembali pada sistem kekhalifahan. Akan tetapi suara HTI tersebut tidak
didengarkan. Kendati tidak didengarkan HTI tidak lantas menyerah. Mereka tetap melakukan
dakwah secara sembunyi-sembunyi baik di dalam ORMAS seperti NU maupun di masjid-


3

mesjid di seluruh Indonesia. Berbeda dengan Jamuin dan Sari, menurut Hayati (2017) dalam
pergerakan dakwah, HTI tidak sekedar melakukan dakwah secara offline melainkan secara
online melalui media masa. Untuk lebih jelasnya berikut saya kutip pernyataan Hayati,
Media elektronik juga mereka manfaatkan dalam upaya merealisasikan Indonesia
menuju negara Khilafah Islaamiyyah, seperti radio HTI, TV HTI serta melalui internet
dengan situs resmi HTI yaitu http://hizbuttahrir.or.id/. Situs ini merupakan website resmi
HTI yang dapat diakses setiap hari, yang di dalamnya berbagai bentuk tulisan baik
berita, opini, majalah, buku, serta foto, audio dan video yang menjelaskan segala hal
yang berhubungan dengan gerakan HTI terutama dalam mewujudkan berdirinya
Indonesia sebagai negara Khilafah Islaamiyah dan menegakkan tuntutan syariat Islam
yang sesuai dengan tuntutan al-Qur’an dan hadis. (Hayati, 2017: 178-179).
Melihat pernyataan Hayati tersebut menarik untuk disimak bahwa lagi-lagi HTI dalam
pergerakannya baik secara online maupun offline menghendaki konsep khilafah Islamiyah.
Pada konsep tersebut HTI juga menolak demokrasi yang dipadu-padankan dengan Islam.
Mereka memandang bahwa demokrasi sama dengan kekafiran karena dalam demokrasi
terdapat konsep kedaulatan rakyat seakan Tuhan tidak memiliki nilai kuasa dimata manusia.
Seperti yang di paparkan Kamilah (2017) ―demokrasi memiliki arti penguasa dan rakyat
yang memiliki kewenangan dalam menerapkan aturan syarak. Sedangkan menurut HTI satusatunya yang berhak menjadi penguasa adalah Tuhan karena di anggap memiliki kedaulatan

penuh dan sempurna ―(Kamilah, 2017: 70). Tentu saja konsepsi HTI tersebut sangat bertolak

belakang dengan kultur dan hukum yang berlaku di Indonesia karena seperti yang kita
ketahui Negara Indonesia adalah Negara yang memiliki latar belakang penduduk yang
beraneka ragam khususnya dari aspek agama. Ketika konsep khilafah Islamiyah diterapkan
maka akan menjadi masalah yang serius seperti perang saudara misalnya—dengan kata lain
NKRI terpecah belah.
C. SEJARAH PERJUANGAN DAN PERGERAKAN HISBUT TAHRIR INDONESIA
Permasalahan HTI terkait dengan penghapusan ormas melalui perppu no.2 tahun 2017
sebenarnya bukanlah tantangan baru, karena jauh sebelum perppu tersebut diluncurkan HTI
telah menghadapi berbagai macam tantangan khususnya dari pemerintah. Bisa kita lihat pada
rezim Soeharto sekitar tahun 1988-an. Mengutip dari pendapat Hayati (2017) dimana rezim
Soeharto melarang segala bentuk gerakan yang tidak berideologi Pancasila—agama pada
rezim Soeharto dianggap sebagai musuh besar pembangunan sehingga salah satu kebijakan
yang dicanangkan adalah penghapusan ormas-ormas keagamaan. Kemudian dari isu
penghapusaan HTI tersebut berdampak pada ruang gerak HTI yang semakin sempit. Bahkan

4

tidak memungkinkan lagi menjalankan syi’ar Islam secara transparan. Dan jalan satu-satunya

yang paling memungkinkan adalah syiar Islam secara sembunyi-sembunyi dan berpindahpindah tempat hingga 10 tahun lamanya2. Namun setelah masa reformasi muncul yakni tahun
1998 yang membawa misi untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dari berbagai aspek,
HTI kembali berjaya—mereka diberikan hak untuk menyuarakan pendapat. Dikarenakan
adanya kebijakan tersebut HTI kembali mensyiarkan Islam secara terang-terangan.
Kemudian pada tahun 2000-an HTI berada di posisi keemasan. Hanya saja mereka
masih berhati-hati dalam berbagai pergerakan—mereka masih trauma terhadap kebijakan
Soeharto. Terlebih pada tahun 2000-an terjadi pergantian presiden dari Bacharuddin Jusuf
Habibie menuju presiden Abdurrahman Wahid. Untuk itu mereka mewaspadai kebijakan
yang akan dicanangkan. Akan tetapi kewaspadaan HTI tidak hanya terjadi pada masa
presiden Abdurrahman Wahid, mereka juga waspada terhadap kebijakan presiden-presiden
yang akan menjabat dimasa mendatang. Bahkan hingga kini (2017) yakni era presiden Joko
Widodo HTI tetap melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi—tetap tidak bisa secara
transparan mensyiarkan Islam.
D.

PENGALAMAN MENJADI ANGGOTA HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Berbicara mengenai dakwah HTI secara sembunyi-sembunyi rasanya tidak cukup

apabila hanya ditinjau dari bukti tertulis atau hanya merunut pada bukti sejarah. Untuk itu
disini saya akan menampilkan beberapa penjelasan informan yang telah berhasil

diwawancarai. Informan pertama yakni Awan (22 tahun)3 yang merupakan mantan anggota
HTI. Awan bercerita bahwa pada tahun 2009 dia dan keluarganya menerima sebuah
undangan dengan format seperti brosur dari rekan ibunya. Awalnya Awan tidak menyadari
bahwa undangan tersebut dari HTI sehingga dia mengabaikannya. Namun selang beberapa
hari rekan ibunya menemui Awan secara diam-diam. Rekan ibunya tersebut dengan semangat
menjelaskan konsep khilafah Islamiyyah, karena Awan mulai terbuai maka dia menjelaskan
dan meminta izin kepada ibunya. Namun ibunya menerima dengan lapang karena ternyata
ibunya merupakan simpatisan HTI dan pernah terasosiasi menjadi anggota HTI. Hanya saja
selama ini ibunya sengaja untuk tidak memperkenalkan HTI karena Awan dianggap masih
terlalu kecil. Kemudian dikarenakan sudah mengantongi izin Awan segera menemui rekan
ibunya dan langsung menyatakan kesepakatannya untuk terasosiasi dalam HTI.

Lihat artikel yang ditulis oleh Hayati (2017) pada halaman 174 ―Konsep Khilafah Islamiyyah Hizbut Tahrir
Indonesia: Kajian Living al-Qur’an Perspektif Komunikasi‖.
3
Ini bukanlah nama yang sebenarnya, sengaja saya anonimkan karena informan meminta namanya tidak di
publish.

2


5

Pada masa awal terasosiasi dalam HTI, Awan bercerita bahwa HTI tidak secara
langsung mengajarkan ideologi HTI. Justru hal pertama yang diajarkan yakni materi
keislaman secara mendasar –universal seperti membaca al-qur’an, menceritakan kisah nabi
dan rasul, dan pengajian. Namun ketika pertemuan semakin lama kurang lebih dua minggu
Awan secara rutin diajak untuk mengikuti acara konsolidasi kader. Disanalah Awan
mendapatkan gambaran secara spesifik ideologi yang ditanamkan HTI. Akan tetapi, ketika
Awan mengikuti konsolidasi, dia merasakan gemetaran karena acara konsolidasi begitu
sakral. Awan pada saat itu disuruh membawa Al-Liwa 4 dan menempatkan diri di barisan ke
dua. Suasana semakin sakral ketika para pemimpin HTI di setiap wilayah hadir dan
menempatkan diri dibarisan yang sesuai dengan asal daerah. Selain menempatkan diri
dibeberapa barisan, pemimpin HTI yang diceritakan Awan melontarkan kalimat-kalimat
profokatif seperti ―Hancurkan Israel!”;“Israel musuh Islam! Allahu Akbar!”.
Setelah konsolidasi kader selesai, Awan diwajibkan untuk mensyiarkan ideologi HTI
namun dengan syarat Awan mampu melaksanakan dua etiket syiar. Pertama, Jangan pernah
menyebut syari’ah atau khilaffah. Kedua, haram menyebut identitas HTI, Awan harus
mengaku dari BKMT (Badan Koordinasi Majelis Taklim). Ketika Awan bertanya kenapa
harus beretiket, pihak HTI menjelaskan supaya HTI tidak dicurigai, karena ketika HTI
dicurigai akan mengancam pembubaran. Namun ketika orang-orang mengetahui identitas

sesungguhnya Awan harus segera pergi dan berpindah tempat. Kemudian Awan juga
bercerita bahwa selama dia menjadi kader HTI dia merasa tidak sejahtera karena ruang gerak
HTI sangat sempit, dan berpura-pura bukanlah cara yang mudah. Selain terancam
dibubarkannya HTI, dia dapat terancam terkena drop out dari kampus dan tidak dapat
diterima oleh masyarakat umum. Awan sendiri pun bingung kenapa HTI seakan distigma
buruk oleh masyarakat. Masyarakat menstigma bahwa HTI adalah oknum-oknum teroris.
Melihat apa yang dipaparkan Awan tersebut menarik untuk disimak bahwa kesejahteraan
HTI selama ini sangat minim. Ini terlepas dari kebutuhan sandang—pangan—papan karena
anggota HTI memiliki konsepsi ―Allah akan memberikan rejeki pada waktu yang tepat‖,
melainkan kesejahteraan dari segi rekognisi atau pengakuan identitas. HTI selama ini hampir
tidak pernah diakui keberadaannya bahkan kerap distigma sebagai oknum-oknum teroris
yang akan memecah belah NKRI. Berangkat dari stigma itu kaum HTI secara langsung
merasa tidak nyaman dengan kepalsuan identitas demi mempertahankan HTI begitupun
dengan stigma yang ditempelkan masyarakat baik secara individu maupun kolektif.

4

Al-Liwa adalah nama lain dari bendera rasul ketika berperang.

6

E.

DAMPAK PELUNCURAN PERPPU ORMAS NO. 2 TAHUN 2017 TERHADAP
HTI
Menyinggung mengenai masalah konflik keejahteraan yang dialami HTI, disini saya

akan menampilkan pemaparan dari informan kedua yakni Razak5 (Mahasiswa Teknik Elektro
UGM). Sebelum membahas lebih jauh Razak pertama-tama bercerita bahwa faktor yang
memicu dia mengikui HTI adalah pemikiran keislaman dari ROHIS6. Hanya saja pada masa
SMA Razak belum begitu mengembangkan pemikiran keislaman secara mendalam karena
dia tidak memiliki kenalan dari HTI ataupun informasi secara mendalam terkait HTI.
Kemudian ketika dia masuk kuliah di UGM berulah dia berkenalan dengan anggota HTI,
sejak saat itulah dia memutuskan untuk terasosiasi. Akan tetapi selang tiga tahun, HTI
mengalami kegentingan karena diluncurkannya perppu ormas no.2 tahun 2017. Berangkat
dari persoalan perppu tersebut, anggota HTI tidak berani mensyiarkan islam secara frontal.
Bahkan kini secara sembunyi-sembunyi pun sangat berbahaya. Apalagi secara terangterangan. Razak bercerita banyak rekan HTI nya yang berada di kampus kemudian di catat
namanya oleh SKKK.
Pernah suatu ketika Razak membuat sebuah bulletin dan mencantumkan no hp-nya
sebagai Contact Person. Kemudian tiba-tiba ada 3 laki-laki dan 4 perempuan yang
menghubungi Razak dan meminta untuk bertukar pikiran terkait HTI. Razak pun mengiyakan
dan bertemu di GSP. Akan tetapi, ketika Razak tiba, mereka bukanlah klien yang tertarik
dengan HTI melainkan dari pihak SKKK. Namun beruntungnya saat itu Razak lolos.
Kemudian ketika ditanya masalah penerimaan dan batasan masyarakat kepada HTI dengan
tegas Razak mengatakan sejauh ini tidak ada batasan dan hampir tidak ada styreotype buruk
khususnya di UGM. Hanya saja kini syiar tidak dapat dilakukan secara frontal. Bahkan ketika
ditanyai akankah mencantukan organisasi HTI di dalam CV, Razak menjawab tidak pernah
akan mencantukannya karena akan sangat berbahaya bahkan kini Razak memutuskan untuk
tidak berurusan lagi dengan HTI. Melihat kasus Razak yang telah diuraikan tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa sejak terbitnya perppu no 2. Tahun 2017 ruang gerak HTI semakin
dipersempit. Bahkan kini pihak kampus pun telah bergegas untuk memberantas HTI. HTI
tidak lagi bebas bergerak. Saya tidak tahu bagaimana dengan kampus lainnya. Namun di
UGM kini telah gencar untuk menghapuskan HTI, karena adanya penghapusan HTI tersebut

5
6

Sekali lagi saya menganonimkan nama informan karena keseluruhan informan meminta untuk dianonimkan.
Rohis (Rohani Islam) merupakan salah satu ekstrakurikuler pada masa SMA.

7

banyak anggota yang mengundurkan diri. Dengan kata lain anggota HTI mengalami
pengurangan.
PENUTUP
Pergerakan dan perkembangan HTI dari masa ke masa mengalami pasang surut dan
menghadapi berbagai tantangan baik dari pemerintah maupun masyarakat. Untuk itu HTI
harus menyamar menjadi identitas yang lain—tidak boleh menampilkan identitas HTI yang
sesungguhnya. Dikarenakan adanya permasalahan dan tantangan tersebut kerap memicu
trauma pada HTI. Mereka menjadi tidak berani mesyiarkan ajaran atau ideologi keislaman
dari sudut pandang HTI secara frontal atau terang-terangan. Dengan kata lain mereka menjadi
tidak aman—tidak sejahtera secara batin karena dianggap sebagai pihak yang akan memecah
belah Negara dan bangsa. Permasalahan pun semakin mencuat ketika pemerintah
memberlakukan perppu no 2. Tahun 2017 yang berisikan penghapusan ormas yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai pancasila, disini HTI tidak hanya kehilangan hak suara—hak untuk
menyuarakan pendapat namun mereka juga kehilangan kader-kader yang selama ini
berpengaruh terhadap perkembangan HTI.
DAFTAR PUSTAKA
Hayati, Nilda. 2017. ―Konsep Khilafah Islamiyyah Hizbut Tahrir Indonesia: Kajian Living alQur’an Perspektif Komunikasi‖, dalam Epistemé, Vol. 12, No. 1, Juni 2017.
Jamu’in dkk. 2005. ―Infiltrasi Pemikiran dan Gerakan HTI di Indonesia‖, dalam Suhuf,
Vol.27 (2). November 2015. Halaman: 161-172.
Kamilah, Mumtazah. 2017. ―Menuju Kesejahteraan Hidup: Ikhtiar Memahami Khilafah
Islamiyah dan Teo-Demokrasi‖, dalam JIE. Volume V No. 1 Juni 2017 M. / Raamaddan
1438 H.
Rashta, Ata Abu. 2009.Hizb-Ut Tahrir . American Foreign Policy Council.
Shofwan, A M. 2016. ―Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Radikalisme Gerakan ISIS dalam
Menegakkan Daulah Khilafah‖, dalam Addin. Vol. 10, No. 1, Februari 2016.
Suwanto, 2009. Sistem Khilafah dalam Pandangan Hizbut Tahrir: Studi Kasus Kekhalifahan
Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah II. Skripsi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Fakultas Adab. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

8