Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Ta

Penulis

Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga Anak dalam Budaya
“Ngenger”
: Bagus Yaugo Wicaksono

Diterbitkan

: Journal Outlook, 009-07, 2011 Yogyakarta, Indonesi

Website

: http://joutlook.com/journal/sospol-dan-hukum.html

Judul

:

Journal Outlook

Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga

Anak dalam Budaya “Ngenger”
Bagus Yaugo Wicaksono1

Abstract: Tulisan ini akan melakukan kajian mengenai sejauh mana kontek budaya
(“ngenger”) lokal memberikan peluang atau tantangan terhadap perlindungan pekerja anak
di Indonesia. Dimana budaya “ngenger” ini secara umum bertentangan dengan jaminan
perlindungan universal terhadap hak anak, khususnya pekerja anak. Di sisi lain budaya
“ngenger” masih dipercaya masyarakat sebagai sebuah bentuk pembelajaran bagi seorang
anak.
Keyword: hak anak, ngenger, hak asasi manusia, perlindungan anak, pekerja rumahtangga
anak, konvensi hak anak

Tantangan penerapan hak asasi manusia dalam budaya lokal sudah menjadi perdebatan
panjang dalam perjalanan pengesahan Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti juga yang dinyatakan
oleh American Anthropological Association (AAA) yang memberikan peringatan: bagaimana
caranya HAM bisa diterapkan pada seluruah umat manusia dan tidak hanya memuat nilai yang
lazim bagi negara-negara Eropa Barat dan Amerika? (AAA, 1947;539). Pernyataan AAA tersebut
menunjukan bahwa HAM masih dalam perdebatan ketika dideklarasikan pada 1948. Bahkan
secara tegas AAA sebagai penasihat pada naskah akhir penyusunan draf DUHAM pun
menyatakan skeptis atas naskah tersebut: “…it will not be convincing to Indonesian, the

African, the Indian, if it lies on the same plane as like documents of an earlier period” (AAA,
1947). Pernyataan ini menunjukan bahwa poin-poin dalam pengakuan DUHAM masih
bermasalah ketika dideklarasikan. Ada 3 poin utama yang direkomendasikan oleh AAA sebagai
bahan pertimbangan penerapan HAM yaitu: (1) penjaminan dan penghormatan individual
memerlukan penghormatan perbedaan budaya, selanjutnya (2) jaminan dan penghormatan itu
didasarkan karena fakta ilmiah yang tidak pernah menemukan teknik evaluasi qualitative
budaya, dan yang terakhir (3) standar dan nilai itu relative pada budaya yang berasal dari
formulasi dalil yang berkembang dari kepercayaan atau etika moral suatu budaya maka dari itu
jangkauan DUHAM harus dikurangi dalam pelaksanaanya ke seluruh umat (AAA, 1947;542).
Rekomendasi tersebut guna untuk memperkecil kekhawatiran supaya DUHAM tidak menjadi
bumerang bagi umat manusia di dunia. Setelah lebih dari setengah abad berlalu, kekhawatiran
1

Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, Yogyakarta
Page 2 of 15

Bagus Yaugo Wicaksono

tersebut ternyata terbukti pada pelaksanaan HAM khususnya perlindungan hak Pekerja Rumah
Tangga Anak (PRTA) di Indonesia.

Penerapan hak PRTA yang merupakan bagian dari HAM di Indonesia terbukti berbenturan
dengan budaya lokal yang disebut “ngenger”. Di satu sisi, bagi para pembela HAM seperti
Human Right Watch (HRW) mengklaim bahwa pemerintah Indonesia telah gagal dalam
melakukan perlindungan pada Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) di Indonesia. Pernyataan
HRW tersebut dinyatakan bersamaan diterbitkanya hasil penelitian atas pemantauan Hak
Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia tahun 2009. HRW melansir hasil penelitianya yang
menunjukan bahwa ratusan ribu anak-anak perempuan Indonesia bekerja sebagai pekerja
rumah tangga di rumah orang lain. Anak-anak ini bekerja layaknya pekerja rumah tangga
dewasa. Mereka bekerja di bawah bayang-bayang masyarakat, terisolasi dari keluarga dan
teman-teman sebaya mereka (HRW, 2009).
Senada dengan HRW, Laporan International Labor Worker (ILO) dan Universitas Indonesia
yang yang dipakai oleh Koalisi Organisasi Non-negara Pemantau Hak Anak (Koalisi NGO)
menunjukan angka sedikitnya ada 700.000 PRTA pada tahun 2002-2003, sebagian mereka
adalah perempuan (Koalisi NGO, 2010). Data tersebut juga digunakan oleh Koalisi NGO di
Indonesia untuk menunjukan bahwa pemerintah Indonesia tidak serius dalam melakukan
perlindungan terhadap hak-hak PRTA. Karena hal tersebut diklaim sebagai tindakan
pengabaian atas kewajiban negara sesuai yang diatur dalam norma hukum internasional dan
domestik di Indonesia.
Di sisi yang lain, bertolak belakang dengan pernyataan beberapa lembaga pembela HAM di atas,
cara pandang lain ditunjukan oleh beberapa orang dalam pemerintahan dan masyarakat. Cara

pandang ini mendukung kepercayaan lama mengenai budaya “ngenger” di Jawa. sebagian
masyaraat dan pemerintah meyakini bahwa bagi seorang anak yang bekerja pada seseorang
yang mempunyai status sosial lebih tinggi maka akan membawa berkah bagi anak tersebut.
Anak yang bekerja tersebut tidak dianggap bekerja dalam keluarga yang bersangkutan,
melainkan dianggap sebagai anggota keluarga. Pola seperti ini yang di dalam budaya Jawa
kemudian disebut “ngenger” (HRW, 2009). Dalam budaya Jawa, “ngenger” merupakan suatu
cara masyarakat untuk mendidik anaknya menghadapi masa depanya. Hal ini sudah dipercaya
dari generasi-generasi, dan bahkan sampai sekarang kepercayaan akan budaya “ngenger” ini
masih melekat dalam masyarakat maupun pemerintah.
Seperti dalam temuan laporan HRW di mana dia mendapatkan statemen dari Deputi Bidang
Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan mengatakan:
“[dalam] kebudayaan kami [Jawa], kalau [anak-anak] bekerja di sebuah rumah, mereka
dianggap oleh majikan-majikan mereka sebagai anak sendiri dan disekolahkan sebagai
imbalan mereka bekerja di rumah itu, hal ini disebut “ngenger”. Kadang mereka tidak
mendapatkan gaji karena majikan mereka menyediakan makanan dan akomodasi” (HRW,
2009). Begitu juga pengalaman HRW ketika bertemu dengan salah satu anggota DPRD di kota
Yogyakarta yang mengatakan: “LSM-LSM selalu mengusulkan agar kami menambah detail
kedalam rancangan undang-undang ini, tapi di Yogyakarta sulit untuk melakukan ini karena
pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerja, melainkan dianggap sebagai keluarga
sendiri….”(HRW, 2009;43). Pernyataan atas budaya “ngenger” ini juga dirasakan sendiri oleh

Page 3 of 15

Journal Outlook

seorang anak yang menjadi PRTA. Berikut seperti yang dilaporkan oleh Koalisi NGO yang
menemukan pernyataan anak: “Yang menyenangkan bisa sekolah lagi, dibiayai majikan.
Disini itu lho nggak pernah dimarahi. Ya itu kalau nganter adek itu, banyak temen, kan bisa
ketemu sama temen-temen disana, terus kalau pas sekolah itu punya temen yang banyak.
Kumpul dengan majikan (nonton TV bersama), bisa bercanda dengan majikan” (Koalisi NGO,
2010).
Ulasan sekilas mengenai fakta di atas menunjukan adanya dilema dalam penerapan
perlindungan PRTA di Indonesia. Di satu sisi, perlindungan secara universal ini berfungsi untuk
meningkatkan derajat kemanusiaan PRTA, dan di sisi lain sebagian pemerintah dan masyarakat
percaya bahwa mempunyai cara sendiri untuk mewujudkan harkat dan martabat mereka.
Tulisan ini bermaksud untuk membahas lebih lanjut bagaimana problematika tersebut dapat
mendapatkan jalan tengah ketika berlangsung di masyarakat. Berikut adalah kerangka
penyajian dalam pembahasan ini: pertama akan mengkaji mengenai substansi HAM
internasional dan penerapanya dalam norma hukum domestik. Kedua mencari substansi
mengenai budaya “ngenger” di Jawa. Ketiga mengulas fakta kontradiksi HAM dan budaya
“ngenger” dalam masyarakat. Dan selanjutnya yang keempat menarik pembelajaran dari fakta

tersebut.

Hukum HAM Internasional
Dalam sesi ini akan menggambarkan mengenai bagaimana asal mula pengakuan HAM secara
universal. Dan kemudian juga akan menggambarkan mengenai sejarah panjang universalisme
tersebut sampai bisa masuk menembus kedaulatan antar negara-bangsa. Dalam kaitanya
dengan tulisan ini, maka penggambaran dalam sesi ini akan lebih mengkerucut pada norma
perlindungan Hak PRTA. Norma perlindungan ini akan mencakup norma internasional dan
norma domestik di Indonesia. Sekaligus menggambarkan bagaimana bentuk konsekuensinya.

Sekilas:Terbentuknya HAM Internasional
Dalam memahami hukum HAM internasional, saya akan memulai dengan mencoba menjawab
pertanyaan mendasar: mengapa hukum HAM internasional itu ada? Dalam menjawab
pertanyaan ini perlu untuk mengkaji kembali mengenai sejarah HAM internasional. Menurut
para penggagasnya, hak asasi manusia tidak serta merta diciptakan dalam hitungan tahun. Hak
ini mengalami berbagai evolusi yang cukup panjang. Wignjosoebroto menuliskan apa yang
disebut hak-hak asasi manusia ini adalah sebuah konsep yang mempunyai riwayat lama yang
panjang, terolah dan tersempurnakan dan merupakan bagian dari sejarah sosial-politik bangsabangsa dunia (Soetandyo Wignjosoebroto, 2005:2). Penyempurnaan melalui korban jutaan
jiwa. Di mana setelah banjir korban jiwa pada perang dunia II, kemudian keseriusan akan
penegakan HAM ini mulai digagas bibit-bibit yang dirumuskan dalam DUHAM.

Bahkan sebelum itu, bibit-bibit HAM ini diklaim telah ada sebelum yang sekarang dikenal
sebagai magna carta (1215). Meskipun pada sekarang ini banyak dikenal bahwa magna carta
itu sebagai tonggak pengakuan HAM. Muatan dari magna carta menbicarakan tentang adanya
Page 4 of 15

Bagus Yaugo Wicaksono

keterbatasan kekuasaan raja. Hal itu artinya, masyarakat sudah mempunyai ruang untuk
mendapatkan hak-haknya. Meskipun pada waktu itu, yang mempunyai hak adalah segelintir
orang atau disebut para bangsawan. Dari sini pula geneologi pengembangan mengenai konsep
kedaulatan raja perlu dikontrol oleh rakyat mulai dikembangkan. Hak-hak ini juga yang diklaim
akan berevolusi menjadi hak asasi yang tidak bisa dicabut (inderogable) dan tidak bisa
dialihkan (inalienable).
Selain itu, gagasan tentang HAM ini juga dikarenakan tidak adanya hukum internasional (pada
sekitar abad 15) yang mengatur jaminan hak-hak individu (Ravindrant, 1998). Seperti pada
konsep hukum internasional klasik, suatu negara berdaulat sepenuhnya memiliki kebebasan
bertindak dalam hubungan dengan warganya (kedaulatan personal), dengan wilayahnya
(kedaulatan teritorial), dan dalam (laut, atmosphere dan angkasa luar) mengelola domain
publik (Sieghart Paul, 1992;11). Paul menambahkan bahwa situasi itu membuktikan hukum
internasional klasik hanya mengakui negara dan tidak menjangkau individu yang hidup didalam

negara. Paul juga menegaskan bahwa dalil ini menjadi menjadi dalil tunggal takterbantahkan
selama berabad-abad di mana: doktrin kedaulatan negara, Hukum antar Negara tidak bisa
memberikan hak apapun kepada siapapun dalam hubungan dengan negara berdaulat manapun
– baik negaranya sendiri maupun negara lain” (Sieghart Paul, 1992;18). Kemudian pengalaman
atas kesewenang-wenangan penguasa yang merenggut jutaan nyawa memicu keseriusan
tentang penjaminan mengenai HAM.
Evolusi HAM melaju dengan kencang pada abad ke 19. Seperti yang dikenal terhadap
pengakuan pakta HAM oleh Liga Bangsa-Bangsa pertama kali baru dilakukan tahun 1926
(slavery convention) pakta mengenai perbudakan. Ditambah lagi dengan adanya situasi perang
dunia II, di mana Hitler yang dikambing hitamkan oleh sekutu sebagai pembawa kehancuran
ras manusia. Menyadari akan situasi ini, sekutu menganggap perlu untuk menghidupkan badan
dunia (Liga Bangsa-Bangsa) yang sudah lama tidak aktif. Amerika Serikat menjadi tokoh kunci
dari sekutu, melalui presidenya Roosevelt dalam pidatonya yang terkenal dengan empat
kebebasanya, yang kemudian dipercaya sebagai pondasi dasar kebebasan HAM.
In the future days, which we seek to make secure, we look forward to a world founded upon four
essential human freedoms. The first is freedom of speech and expression everywhere in the
world. The second is freedom of every person to worship God in his own way everywhere in
the world. The third is freedom from want, which, translated into world terms, means
economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its
inhabitants everywhere in the world. The fourth is freedom from fear, which, translated into

world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a
thorough fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical aggression
against any neighbor anywhere in the world. (Michael E. Eidenmuller, 2008)

Pidato tersebut kemudian diteruskan Amerika Serikat untuk memprakarsai penghidupan
kembali lembaga dunia. Tidak lama berselang, pada 26 Juni 1945 lembaga dunia didirikan
dengan ditandatanganinya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Piagam PBB). Dalam piagam
ini pulalah HAM diamanatkan untuk dikembangkan dan dikodifikasi kedalam hukum HAM
Internasional (Pasal 13 Pagam PBB). Sebagai capaianya adalah disepakatinya Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia pada 1948. Turunan dari deklarasi ini yang kemudian menjadi pakta-pakta
HAM.
Page 5 of 15

Journal Outlook

Dari tinjauan sekilas ini kemudian bisa dipahami mengenai keberadaan hukum
internasional yaitu: melengkapi jaminan hukum internasional yang memungkinkan
menjangkau setiap individu. Asumsinya, jangkauan internasional terhadap jaminan
individu adalah meluluh lantakan kedaulatan negara yang memegang kekuasaan
terhadap semua manusia yang berada di dalam wilayah tersebut.


HAM
untuk
setiap
penuh

Norma hukum HAM internasional dalam perlindungan PRTA
Setelah dideklarasikanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948,
keberadaan HAM mengalami akselerasi yang cepat. Keberadaan HAM dalam hukum
internasional yang bersifat “soft law” ini kemudian ditingkatkan menjadi “hard law” dengan
adanya dua konvensi yang mengelaborasi kandungan dari DUHAM. Dua konvensi tersebut
adalah konvensi internasional hak-hak sipil dan politik dan konvensi internasional hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Dan ditambah dengan dua protokol tambahan konvensi hak-hak
sipil dan politik kemudian kelimanya disebut sebagai paket “bill of rights”. Hak asasi manusia
tidak berhenti pada tahapan ini. Keberadaanya terus dinamis searah dengan tuntutan sosial.
Munculnya isu hak anak menunjukan kedinamisan HAM di mana beberapa pengamat
menggolongkanya kedalam isu HAM gelombang kedua. Isu hak anak ini muncul dan dikuatkan
dengan adanya perubahan sosial yang mengakui anak sebagai sosok individu yang merdeka. Di
mana sebelumnya posisi seorang anak ini masih melekat dalam kekuasaan orangtua, khususnya
ayah. Pada saat itu anggapan umum menyepakati bahwa seorang ayah memiliki kekuasaan atas

seorang anak, oleh karenanya pihak ayah berhak untuk menentukan nasib anak termasuk dijual
ataupun dikasari (Ravindran, 1998). Sedangkan pihak ibu tidak memiliki kekuasan untuk
pengasuhan anak. Seiring dengan perkembangan revolusi industry, masyarakat di Eropa
mengalami sebuah perubahan sosial yang besar. Termasuk dalam perubahan atas hak
kesetaraan perempuan.
Dengan munculnya status legal persamaan perempuan ini kemudian berdampak pada
persamaan pengakuan hak pengasuhan terhadap orangtua (baik pihak ayah dan ibu) yang
berdampak pada pengakuan hak independen anak. Munculnya hak persamaan pengasuhan
pada pihak ibu kemudian memberikan kontribusi besar dalam mengangkat status legal anak.
Sampai kemudian pada awal abad kedua puluh, di mana sudah mulai muncul pengakuan atas
hak independen seorang anak. Hal ini tercermin dalam Deklarasi yang diadopsi oleh Liga
Bangsa Bangsa pada tahun 1924 yang memberi penekanan pada perlindungan anak dari
kelaparan dan kebutuhan material lainnya (Weissberg, 1978). Ini diikuti dengan standar yang
diadopsi oleh ILO mengenai buruh anak dan isu-isu terkait lainnya. Sejalan dengan dinamika
sosial pengakuan terhadap independensi hak anak juga semakin meningkat.
Peningkatan hak anak ini terlihat dengan diadopsinya deklarasi hak anak oleh PBB pada tahun
1959. Sejalan dengan itu, ILO juga mengeluarkan konvensi usia minimum untuk bekerja tahun
1973. Dalam dekade ini, pengakuan terhadap hak anak menunjukan peningkatan yang berarti.
Hal ini ditandai dengan dicanangkanya pembuatan konvensi hak anak dalam peringatan 20
tahun deklarasi anak oleh PBB. Dan akhirnya pada tahun 1989 konvensi hak anak diadopsi oleh
PBB yang kemudian resmi diberlakukan oleh PBB pada tahun 1990. Khususnya pada PRTA juga
mendapat perhatian penting. Buktinya pada tahun 1999 ILO mengadopsi konvesi bentukPage 6 of 15

Bagus Yaugo Wicaksono

bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, di mana isu PRTA masuk dalam salah satu bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk bagi anak itu.
Dari ulasan sekilas tersebut dapat dibuktikan bahwa hukum HAM internasional sangat rigit
dalam melakukan perlidungan terhadap hak anak. Terlebih lagi pada perlindungan PRTA juga
mempunyai sistem pelindungan yang ditetapkan melalui konvensi. Bukti tersebut dapat
menjadi kesimpulan bahwa usaha universalisme hak asasi telah masuk pada sekup-sekup detail
dalam kehidupan sosial di seluruh dunia.

Norma hukum HAM domestik di Indonesia dalam perlindungan PRTA
Lalu bagaimana pengakuan HAM di Indonesia dan bagaimana khususnya mengenai hak PRTA?
Dalam menjawab pertanyaan ini perlu untuk melihat sekilas bagaimana pengakuan terhadap
hak asasi manusia di Indonesia. Proses masuknya pengakuan HAM telah di awali pada
pemerintahan oteriternya rezim Suharto. Pada tahun 1984 pemerintah Indonesia di bawah
kepemimpinan Suharto telah memasukan salah satu instrument HAM yaitu Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Tidak hanya itu, Suharto juga
telah mendirikan Komisi Nasional HAM pada tahun 1993. Pengakuan HAM di era Suharto pada
waktu itu tentu saja mengundang berbagai kontroversi argumen. Terlepas dari apapun maksud
pengakuan HAM pada masa itu, poinya adalah setidaknya HAM telah mejadi bagian isu di
Indonesia. Setelah Suharto lengser, dinamika masuknya HAM bisa diikuti dalam kerangka
normatif Indonesia. Pengakuan HAM diawali dengan amandemen pasal 28 konstitusi
Indonesia. Menyusul setalah itu hak anak, hak sipil politik dan ekonomi sosial budaya.
Khususnya pada hak anak, hak ini telah diakui oleh pemerintah Indonesia dengan meratifikasi
konvensi hak anak pada tahun 2000 dengan keputusan presiden no 36/2000. Pada
perkembanganya, pemerintah Indonesia telah mem follow up konvensi hak anak menjadi
undang-undang Perlindungan Anak pada tahun 2002. Sedangkan lebih khususnya pada pekerja
anak, isu ini sebenarnya telah lebih dulu mendapat perhatian oleh pemerintah. Hal ini
ditunjukan melalui diratifikasinya Konvensi ILO melalui UU No. 19/1999 tentang Ratifikasi
Konvensi ILO No. 105 mengenai Kerja Paksa, dan UU No 20/1999 tentang Ratifikasi Konvensi
ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja. Tidak hanya berhenti di
sini, pada tahun 2000 Pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No 182 mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak melalui UU No.
1/2000.
Mengkerucutkan mengenai substansi HAM internasional dan jangkaunya terhadap normanorma domestik di Indonesia, maka ulasan sekilas di atas telah menggambarkan secara
gamblang bahwa Indonesia telah mengakui dan menjamin HAM khusunya PRTA. Jaminan
keberadaan hak PRTA tersebut berlaku universal, seperti sebagaimana keberadaan konsep
maupun doktrin hukum HAM itu sendiri. Substansi dari perlindungan Hak PRTA ini adalah
tidak memberikan celah yang besar bagi negara atau individual yang memperkerjakan seorang
anak. Adapun konsekuensi pelanggaran atas ketentuan tersebut berarti merubah urusan private
mereka dengan negara.

Page 7 of 15

Journal Outlook

“Ngenger”
Dalam sesi ini akan lebih banyak mengeksplorasi mengenai pemahaman dan ruang lingkup
“ngenger”. Eksplorasi ini akan dimulai dengan melihat mitos yang masih menjadi kepercayaan
dalam masyarakat. Dengan mencoba mengkonstruksi dari awal ini, kemudian harapanya dapat
memberikan gambaran mengenai ruang lingkup dari pola “ngenger”. Selain itu setidaknya
diharapkan juga bisa untuk mengukur sejauh mana kepercayaan terhadap mitos “ngenger” ini
masih berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.

“Ngenger” dalam budaya Jawa
Derajat dan pangkat merupakan sesuatu posisi yang terhormat dalam struktur sosial dalam
masyarakat Jawa, karena kekuasaan itu adalah suatu hal yang agung (Sudadi, 2006).
Kepercayaan ini telah menjadi mitos secara turun temurun pada generasi yang digambarkan
oleh masyarakat Jawa. Kepercayaan terhadap mitos tersebut yang kemudian merangsang
masyarakat untuk meraih derajat dan pangkat tersebut. Di dalam mitos itu juga selalu
disebutkan berbagai jalan bagaimana dalam mendapatkan derajat dan pangkat itu. Salah satu
jalan yang dikenal adalah dengan menjalani laku “ngenger”.
Mitos-mitos yang menceritakan tentang laku “ngenger” menggambarkan kesuksesan oleh
beberapa orang yang kemudian sampai menjadi taraf capaian tertinggi derajat dan pangkat
manusia. Seperti mitos dalam cerita wayang “Sumantri “ngenger””, di mana dalam cerita
tersebut disebutkan bahwa Sumantri dapat mencapai derajat dan pangkat yang tinggi. Dalam
cerita tersebut disebutkan bagaimana Sumantri yang merupakan pemuda dari desa yang
mengabdi ke Raja Arjunasasrabau, diuji kesetianya oleh sang raja untuk berperang merebut
calon istrinya dan juga disuruh memindahkan Taman Sriwedari (Sindusastra, 1978; Sudadi
2006). Karena kekuatan tekad dan kesetianya, akhirnya Sumantri berhasil melakukanya dan dia
diangkat menjadi menteri tertinggi dalam kerajaan Raja Arjunasasrabau.
Mitos lain yang menceritakan mengenai laku “ngenger” adalah kisah Prabu Damarwulan.
Sebelum dia menjadi raja Brawijaya, dia melakukan laku “ngenger” di rumah Mahapatih
Logender. Dalam lakunya, dia mendapat kewajiban untuk menjadi pengurus kuda. Namun
karena dia menunjukan kinerja dan kesetiaanya yang bagus, maka dia mendapatkan
kesempatan kepercayaan untuk menumpas Patih Minakjingga. Akhirnya Damar Wulan dapat
melakukan tugasnya dengan baik, dan dia kemudian menikah dengan Ratu Kenconowungu.
Oleh karenanya Damar Wulan bisa menjadi Raja (Suaramerdeka, 2008). Dan masih banyak
sebenarnya kisah-kisah seorang yang melakukan laku “ngenger” dan kemudian berhasil
mencapai impian mereka. Namun pertanyaan kemudian, apa yang dimaksud “ngenger” itu?
Dalam adat Jawa tidak ada definisi yang pasti mengenai konsep “ngenger”. Meskipun begitu
ada beberapa konsep yang mendfinisikan “ngenger”. Seperti dalam penelitian yang dilakukan
ILO pernah mendefinisikan “ngenger”:
istilah “ngenger” merupakan tradisi yang dikenal pada masyarakat Jawa yang artinya seorang anak dari
keluarga yang kurang mampu yang dititipkan kepada kerabatnya atau keluarga besarnya di kota yang
dipandang lebih mapan atau dapat pula dititipkan pada keluarga yang tidak memiliki hubungan keluarga
apapun Namun memiliki komitmen untuk membantu anak tersebut. Tujuan “ngenger” adalah anak

Page 8 of 15

Bagus Yaugo Wicaksono

ditanggung seluruh biaya hidupnya dan pendidikannya untuk masa depan yang lebih baik. Sebagai
imbalannya maka anak tersebut harus membantu berbagai pekerjaan rumah tangga. (ILO, 2004)

Namun definisi dari ILO ini menyempit jika dibandingkan dengan pengertian “ngenger”
berikut:
“Ngenger” iku tegese suwita utawa dadi abdine priyayi, narapraja, utawa ratu. “Ngenger” iku mujudake
"lembaga pendidikan" saliyane nyantrik ing padhepokan. Sing di”ngenger”i iku sok isih sedulur, nanging
terkadhang uga wong liya. “Ngenger” iku ora gampang, marga kudu manut miturut karo kulawarga sing
di”ngenger”i, kudu bisa gawe renaning penggalihe sing di”ngenger”i. Mula “ngenger” iku mujudake pasinaon,
latihan, lan penggemblengan jiwa. (Sudjarwo, 2008).
“Ngenger” itu artinya suwita (sistem hubungan antara pelindung dan yang dilingungi dalam budaya Jawa) atau
menjadi abdinya seorang priyayi, pembesar kerajaan atau raja. “Ngenger” itu mewujudkan “lembaga
pendidikan” selain masuk ke sekolahan. Orang yang di”ngenger”i itu terkadang masih saudara, akan tetapi
terkadang juga bukan keluarga. “Ngenger” itu tidak gampang, karena harus menurut sama keluarga yang
di”ngenger”i, juga harus bisa membuat senang keluarga yang di”ngenger”i. Maka dari itu “ngenger” itu
mewujudkan pembelajaran, latihan dan penggemblengan jiwa.

Dari konsep “ngenger” yang lebih luas ini, kemudian “ngenger” itu dapat ditarik menjadi
sebuah bentuk pembelajaran bagi setiap orang. Karena definisi tersebut mengarahkan bahwa
“ngenger” merupakan bentuk lain dari pendidikan setiap orang.

Dilematika “ngenger” dan perlindungan PRTA
Seperti ulasan singkat di atas mengenai konsep “ngenger” yang lebih luas tidak hanya terhenti
pada sebuah batasan bentuk pekerjaan, melainkan proses pembelajaran. Di mana pada
dasarnya konsep ini kemudian bisa untuk mempertegas perbedaan posisi keduanya. Dasar dari
konsep “ngenger” adalah ketika seseorang yang mengabdi kepada orang lain yang tidak hanya
untuk memperoleh materi semata. Akan tetapi keluasan dari falsafah ini adalah untuk
mendapatkan kesiapan mental seseorang untuk mencapai derajat dan pangkat tertentu. Hal
inilah yang kemudian bisa menunjukan bahwa konsep “ngenger” tersebut merupakan bentuk
lain sebuah sistem pendidikan oleh masyarakat itu sendiri. Yang hasil dari pendidikan itu
adalah untuk menciptakan manusia yang benar-benar siap menghadapi persoalan nyata dalam
masyarakat.
Namun di sisi lain, perlindungan PRTA secara universal yang ada sekarang itu secara langsung
membatasi konsep “ngenger”. Sehingga pola “ngenger” yang sudah ada di masyarakat Jawa itu
terkadang bisa masuk pada persoalan kriminal. Seperti misalkan adanya pembatasan bentuk
definisi pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
imbalan dalam bentuk lain (UU Ketenagakerjaan, psl. 1). Hal ini sangat berbeda dengan konsep
“ngenger” yang ada di masyrakat Jawa. Di mana pada dasarnya “ngenger” ini tidak serta merta
untuk mencari upah atau imbalan semata. Selain itu, perlindungan juga diarahkan pada usia
minimum anak, di mana ini juga merupakan hal yang membatasi adanya konsep “ngenger”.

Page 9 of 15

Journal Outlook

Kontradiksi “ngenger” dan perlindungan PRTA
Terlihat perbedaan mendasar mengenai konsep budaya “ngenger” di Jawa dengan definisi
perlindungan PRTA yang berlaku umum. Di mana konsep budaya “ngenger” tersebut masih
mempercayakan rasa komunalisme yang disebut dengan Suwito (sistem hubungan antara
pelindung dan yang dilindungi dalam budaya Jawa), dan bertolak belakang dengan konsep
pekerja yang hanya bertujuan mencari upah. Hal ini tentunya berdampak sangat buruk ketika
salah satu diantara keduanya sudah menjadi bentuk legal formal sedangkan lainya hanya
merupakan bentuk konvensi masyarakat.
Bentuk dari sistem legal formal mengatur bahwa jika sang pemberi kerja tidak melakukan
kewajiban memberikan upah, maka pemberi kerja tersebut akan dikenakan hukuman. Dan juga
sebaliknya jika sang pemberi kerjaan sudah memberi upah, mereka berhak menuntut pekerja
untuk melakukan kewajiban-kewajibanya. Hal ini tentu saja merupakan sebuah
penyederhanaan dalam relasi sosial di dalam masyarakat Jawa.
Sementara dalam sistem sosial Jawa masih mempercayai adanya rasa kepercayaan pada orang
lain. Di mana setiap orang dipercaya masih mempunyai rasa tolong-menolong antar sesama.
Oleh karenanya konsep “ngenger” ini masih menjadi kepercayaan bagi sebagian masyarakat di
Jawa, baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil. Dampaknya adalah seringkali kepercayan
ini akan bertubrukan dengan sistem normatif untuk melakukan perlindungan bagi PRTA di
Indonesia.
Sampai di sini kemudian bisa dilihat bahwa pola budaya “ngenger” ini tidak bisa mendukung
cara pandang dari konsep perlindungan Hak PRTA yang ada sekarang ini. Yang terjadi adalah
jika masih banyak masyarakat yang percaya terhadap pola budaya “ngenger”, maka besar
kemungkinan mereka akan masuk kedalam batasan kriminal yang disediakan oleh negara guna
melakukan perlindungan PRTA. Dengan kata lain jika anggapan ini masih banyak dianut
masyarakat, maka angka pelanggaran hak PRTA akan terus meningkat.

Fakta Perlindungan Hak PRTA VS “ngenger”
Sesi ini akan membuktikan adanya benturan antara perlindungan Hak PRTA dengan
kepercayaan “ngenger” yang masih menjadi kepercayaan masyarakat. Di satu sisi, masyarakat
masih percaya bahwa untuk menggapai derajat dan pangkat perlu sebuah pengorbanan salah
satunya dengan laku “ngenger”. Namun bersebrangan dengan itu, ada aturan normative yang
membatasi jalan mitos itu, yaitu perlindungan HAM. Sekaligus sesi ini mencoba mengaitkan
benturan itu terhadap angka pekerja anak di Indonesia yang masih relative tinggi. Di mana
kaitan ini diharapkan dapat menggambarkan bahwa usaha perlindungan yang ada sekarang ini
belum efektif.

Page 10 of 15

Bagus Yaugo Wicaksono

Fakta kepercayaan “ngenger” di masyarakat
Dalam studi mengenai fenomena pekerja rumah tangga anak International Labour
Organisation dan Universitas Indonesia di tahun 2003, memuat beberapa studi kasus yang
mengekspresikan opini PRTA dan majikanya. Beberapa pernyataan yang didapatkan dari
responden sebenarnya mengarah dalam kepercayaan “ngenger”. Seperti statemen dari orang
yang di”ngenger”i (majikan) dan oleh salah seorang PRTA ini menunjukan betapa budaya
“ngenger” ini masih menjadi kepercayaan di masyarakat (ILO, 2003). Berikut ringkasan studi
kasus tersebut:
Setelah manganggur cukup lama - dari pekerjaan pertamanya menjadi PRT Sumi (17 tahun) memutuskan untuk
kembali bekerja menjadi PRT…….Ia mulai bekerja pukul 06.00 sampai pukul 18.30 sore, jika ada waktu majikan
perempuan dan adiknya juga ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Banyak waktu luang yang dimiliki Sumi selama
bekerja di rumah keluarga Suwarno…..
Pada bulan Maret 2003, Sumi mulai mengikuti kegiatan kursus menjahit di Sanggar Puri atas ijin majikannya.
Informasi keberadaan Sanggar Puri diperoleh setelah pekerja sosial dari Sanggar tersebut pernah berkunjung ke
rumah majikannya. Kegiatan yang diikuti Sumi adalah kursus menjahit tingkat dasar dengan lama kursus kurang
lebih 3 bulan setiap hari Sabtu dan Minggu dari pukul 12.00 sampai dengan pukul 18.00.
Setelah mengikuti kursus menjahit, keluarga majikan memberikan dorongan untuk mengikuti kegiatan kursus secara
serius dengan maksud agar dirinya mempunyai keterampilan dan keahlian. Sebagaimana dituturkan Pak Suwarno,
diharapkan suatu saat nanti Sumi bisa bekerja di tempat lain dengan gaji yang lebih besar, tetapi tidak sebagai PRT.
Lebih lanjut beliau mengatakan:
“ Sumi masih muda dan mempunyai masa depan yang panjang. Jangan sampai dia selamanya menjadi pembantu
terus. Satu hari, Sumi harus punya kehidupan sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain”
Dengan berbekal sertifikat dari Sanggar Puri dan ijin dari keluarga Suwarno, Sumi pun melamar pekerjaan di sebuah
perusahaan konfeksi untuk keperluan ekspor sebagai Helfer yang spesifikasinya membuat pola yang dikhususkan
pada pola kerah dan tangan. Majikan Sumi sangat mendukung dengan keputusan Sumi bahkan pihak keluarga
Suwarno tidak memberhentikannya tetapi memberikan kesempatan untuk tetap bekerja dirumahnya meski bekerja
di pabrik……..

Sumber: ILO, 2003
Fakta studi kasus di atas menunjukan bahwa tidak semua orang yang mempekerjakan seorang
PRTA menganggap mereka sebagai pekerja. Buktinya di atas menunjukan kepedulianya sebagai
seorang yang berusaha untuk membantu orang lain. Bahwan orang yang memperkerjakan
tersebut juga mendorong dan memberikan kesempatan bagi PRTA untuk mengembangkan
keahlianya supaya suatu hari PRTA yang bekerja di rumahnya bisa menghadapi kehidupanya
sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.
Selain masih adanya fakta bahwa orang yang benar-benar ingin menolong orang lainya seperti
di atas, kepercayaan “ngenger” itu sendiri masih dipercaya oleh pekerja rumah tangga anak
sebagai batu loncatan dalam menggapai cita-cita mereka. Berikut studi kasus yang dilaporkan
ILO:
…. Dian gadis berusia 16 tahun ini sampai sekarang masih menjadi PRT paruh waktu. ……….Ibu Panji, majikannya,

Page 11 of 15

Journal Outlook

mengancungkan jempol kepada Dian. Secara ekonomi keluarga Dian sebenarnya tidak mampu untuk membiayai
Dian sekolah, namun dengan modal semangat yang tinggi, Dian ternyata mempunyai keinginan yang kuat untuk
tetap bisa bersekolah. Ibu Panji kemudian mendaftarkan Dian untuk memperoleh beasiswa setelah mendengarkan
presentasi dari Sanggar Puri, di wilayah rukun tetangganya. Apa yang dilakukan Sanggar Puri sangat bagus dan
berguna, menurut Bu Panji tidak selamanya seseorang terus menerus menjadi PRT, perubahan pada kondisi yang
lebih baik harus dicapai.
….. Meski Dian menjadi PRT, Dian mempunyai keinginan yang tinggi untuk meraih harapannya di masa depan,
karenanya ia yang saat ini tengah duduk di bangku kelas 1 SMK swasta ini begitu bersemangat untuk terus bersekolah
sampai ke jenjang yang lebih tinggi agar cita-citanya menjadi insinyur tercapi.

Sumber: ILO, 2003
Upaya perlindungan Hak PRTA di Indonesia
Di tahun 2000 pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU 1/2000 Tentang Ratifikasi
Konvensi ILO 182. Konsekuensi dari pengesahan konvensi ini maka Indonesia harus mengambil
tindakan segera dan efektif untuk melarang dan menghapuskan bentuk bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak sebagai langkah darurat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut: (1) Menetapkan dan memetakan pekerjaan berbahaya, (2) Membuat
mekanisme pemantauan, (3) Mendesin dan melaksanakan program aksi (Rencana Aksi
Nasional), (4) Mengembangkan program aksi berjangka atau terikat waktu (berjangka pendek,
menengah atau panjang) sehingga dapat dijadikan acuan dan indikator dalam rangka
implementasi program aksi tersebut dan terakhir (5) Meningkatkan bantuan dan kerjasama
internasional dengan mensyaratkan negara maju untuk membantu negara berkembang dalam
implementasi konvensi ini (ILO, 2003). Langkah nyata atas ratifikasi ini kemudian pemerintah
menetapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk anak. RAN ini di buktikan dengan dikeluarkanya Keppres No. 59 /2002
Tentang RAN Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Program ini dilakukan bekerjasama dengan berbagai pihak non-pemerintah juga. Seperti
misalkan yang dilakukan di DI. Yogyakarta oleh Rumpun Tjut Nyak Dien (RTND). Lembaga ini
bekerja sama dengan pemerintah daerah pada tahun 2003 merumuskan raperda perlidungan
PRT. Namun upaya yang dilakukan ini menemui hambatan karena tidak mendapat respon dari
pihak legislative (ILO, 2003), dan peraturan perlindungan PRT tingkat propinsi ini baru
disyahkan pada tahun 2010 (RTND, 2010). Selain pembuatan peraturan daerah ini RTND juga
mendirikan sekolah alternative bagi PRT. Tidak hanya RTND, penanganan bersama ini juga
dilakukan di berbagai kota di di Indonesia oleh organisasi-organisasi non pemerintah.
Seperti misalkan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan Gema Perempuan yang
memfokuskan mengenai penanganan aksi langsung dengan target sasaran lebih dari 300 anak.
Selain penanganan aksi langsung PRTA, YKAI juga melakukan advokasi ke pemerintah daerah
setempat dan kampanye melalui radio, TV dan media cetak. Di daerah Jawa Timur, Jaringan
Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) lebih fokus pada penguatan jaringan dan advokasi serta
peningkatan kapasitas anggota JARAK. Disamping itu juga bekerjasama dengan organisasi
sosial yang potensial dan memiliki jaringan luas, seperti KOWANI, Fathayat NU, Aisyiah
melakukan seminar dalam rangka meningkatkan kepedulian dan kesadaran akan permasalahan
PRTA. ILO IPEC juga bekerjasama dengan media, khususnya radio, menyiarkan program

Page 12 of 15

Bagus Yaugo Wicaksono

sandiwara radio berseri. Survei PRTA bekerjasama dengan Fakultas Kesejahteraan Sosial UI
dan konsultan dari BPS yang hasilnya dimuat dalam buku ini. Program-program atas dukungan
ILO IPEC di atas dari sisi wilayah program lebih terkonsentrasi dan tidak menyebar, akan tetapi
program diarahkan lebih komprehensif dan memberikan dampak yang luas (ILO, 2003).

PRTA dalam angka
Jumlah angka hasil penelitian mengenai Pekerja Rumah Tangga Anak yang masih digunakan
sampai saat ini dibuat pada tahun 2003 oleh ILO-IPEC. Dalam hasil penelitian ini menunjukan
estimasi jumlah PRTA di Indonesia sekitar 688.132 anak (ILO, 2003). Meskipun data spesisifik
tentang PRTA belum ada pembaharuan sampai sekarang, namun di tahun 2009 Badan Pusat
Statistik Indonesia dan ILO menyatakan hasil penelitian mengenai eastimasi pekerja anak di
Indonesia sebesar 1.755.300 (BPS – ILO, 2009). Setidaknya angka-angka ini menunjukkan
bahwa angka pekerja anak (termasuk di dalamnya adalah PRTA) masih menunjukan angka
yang masih tinggi. Kemudian jika dikaitkan dengan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam
penghapusan dan perlindungan pekerja anak, maka kuatlah argumentasi yang menyatakan
bahwa usaha penghapusan dan perlindungan pekerja anak (termasuk PPRTA) yang telah
dilakukan ini belum efektif.

Catatan Penutup
Budaya “ngenger” masih menjadi kepercayaan dalam masyarakat khususnya di Jawa. Dalam
kepercayaan ini, laku “ngenger” masih menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat tertentu
untuk mendapatkan derajad dan pangkat mereka. Mereka juga percaya untuk mendapatkan
keduanya memang perlu adanya pengorbanan. Pengorbanan tersebut berguna dan dipercaya
bisa menjadi pembelajaran dan pembentukan sikap dan perilaku seseorang. Setelah seseorang
mampu mendapatkan pembelajaran dan membentuk sikap dan perilaku, maka mereka semakin
percaya bahwa derajat dan pangkat tersebut semakin dekat untuk dicapai. Namun hal ini
ternyata berbenturan dengan wacana baru yang masuk dalam aturan normative negara.
Wacana baru aturan normative tersebut terwujudkan dengan sebuah kodifikasi hukum yang
bertujuan melindungi masyarakat dari perilaku perampasan hak sesama masyarakat. Seperti
misalkan dikeluarkanya mekanisme perundang-undang tentang HAM, Perlindungan Anak,
Ketenagakerjaan dan sebagainya. Namun ternyata langkah tersebut tidak diselaraskan dengan
konstruksi dalam masyarakat yang sedang berlaku. Dampaknya usaha tersebut terkesan hanya
sebagai langkah yang semu. Tujuan perlindungan yang dilakukan tidak lain hanya
memunculkan masalah baru. Dari sini maka perlulah dilakukan peninjauan ulang mengenai
universalisme perlindungan HAM dengan relativisme budaya lokal.

Page 13 of 15

Journal Outlook

Referensi

American Anthropologist Association. “Statement on Human Rights.” American Anthropogist,
New Series, Vol. 49, No.4, Part 1. (Oct. – Dec. 1947), pp. 539 – 543.
Badan Pusat Statistik dan International Labour Organisation. Pekerja Anak di Indonesia 2009.
Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2009.
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948.
Eidenmuller, Michael E. “Franklin Delano Roosevelt:The Four Freedoms.” American Rethoric
.com, 2008.
Human Rights Watch. Pekerja di Dalam Bayang-bayang: Pelecehan dan Eksploitasi terhadap
Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia. New York: Human Rights Watch, 2009.
International Labour Irganisation – International Program on the Elimination of Child Labour.
Bunga-bunga di Atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga anak di Indonesia. Jakarta:
Kantor Perburuhan International, 2004.
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 2000 tentang Pengengesahan Konvensi Hak Anak.
Koalisi NGO dkk. Laporan Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak di Indonesia 1997 –
2009. Jakarta: koalisi NGO, 2010.
Piagam PBB 1945.
Ravindran, D. J. Human rights praxis: A resource book for study, action and reflection.
Bangkok, Thailand: The Asia Forum for Human Rights and Development, 1998.
Rumpun Tjut Nyak Dien. “PERGUB DIY NO 31 TAHUN 2010 ttg Pekerja Rumah
Tangga.” Rumpun Tjut Nyak Dien, 10 Desember 2010 http://www.rtnd.org/v3/pergub-diy-no31-tahun-2010-ttg-pekerja-rumah-tangga.html (Diakses 30 Mei 2011).
Sieghart Paul. The International Law of Human Rights…..: Oxford, 1992.
Sindusastra, Raden Ngabehi. Terj. Hadisutjipto, S.H. Sumantri Ngenger: Seri Arjunosasrabau
Jilid IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Sudadi. “Memburu Punggawa Praja Lewat Laku Ngenger.” Koran Suara Merdeka, 14 Agustus
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2006/08/14/47/Memburu2006,
Punggawa-Praja-lewat-Laku-Ngenger (Diakses 22 Mei 2011)
Sudjarwo.
“Ngenger.”
Suara
Merdeka
Cyber
News,
22
Januari
2008,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2008/01/22/282/Ngenger (Diakses 22
Mei 2011).

Page 14 of 15

Bagus Yaugo Wicaksono

Undang-undang No 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.
Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang No. 19 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 mengenai Kerja
Paksa.
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen.
Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk
Anak.
Weissberg, Kelley. Evolution of the Concept of the Rights of the Child in the Western World. ICJ
Review No. 21, December 1978.
Wignjosoebroto, Soetandyo. “Hak Asasi Manusia Konsep Dasar Dan Erkembangan
Pengertiannya Dari Masa Ke Masa.” Elsam, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara
X Tahun 2005.

Page 15 of 15