FIQH TATA CARA MENJADI IMAM DAN MAKMUM

MAKALAH
TATA CARA MENJADI IMAM DAN MA’MUM
Dosen Pembimbing : Drs.H.A.Aziz Ardabli

Disusu Oleh :
 M.Syarif
 Moona Maghfirah
 Widya Astuti

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
Jurusan Bahasa Dan Sastra Inggris
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI

1

BAB I
PENDAHULUAN

Allhamdulilahi Rabbil ‘Alamin. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb alam semesta yang

telah begitu banyak memberi kenikmatan kepada kita semua, makhluk-Nya yang lemah ini.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungab teladan umat islam, yaitu Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga,sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir
zaman.
Suatu kebanggaan bagi kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah kami ini dan
dapat menyajikan kehadapan pembaca pada umumnya. Didalam makalah ini, kami membahas
tentang Bab Shalat yaitu tata cara menjadi imam dan ma’mum. Semoga pembahasan kami dalam
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Jambi, 28 November 2014

Pemakalah

2

BAB II
PEMBAHASAN

Apabila dua orang solat bersama-sama dan salah seorang di antara mereka mengikuti
yang lain, keduanya dinamakan shalat berjamaah.

Orang yang diikuti (yang di hadapan ) dinamakan imam, sedangkan yang mengikuti di
belakang dinamakan makmum.
Firman Allah Swt :

102 : ‫ النساء‬. ‫وا ذا كنت فيهم فاقمت لهم الصلواة فلتقم طا ئفة منهم معك‬
“ Dan apabila kamu berada di tengah tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak
mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(salat) bersamamu “ (An-Nisa :102)
A. Syarat – syarat sah mengikuti imam
1. Makmum hendaklah berniat mengikuti imam. Adapun imam tidak disyaratkan berniat
menjadi imam, hal itu hanyalah sunat, agar ia mendapat ganjaran berjama’ah.
Sabda Rasulullah Saw :
‫ رواه البخاري‬. ‫انما العمال باالنيات‬
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat.” (Riwayat Bukhari )

1.

2. Makmum hendaknya mengikuti gerakan imamnya dalam segala pekerjaannya.
Maksudnya, makmum hendaknya membaca takbiratul ihram sesudah imamnya, begitu
juga permulaan segala perbuatan makmum hendaklah terkemudian dari yang dilakukan

oleh imamnya.
( ‫انما جعل المام ليؤتم به فاذا كبر فكبروا واذا ركع فاركعوا )رواه البخاري مسلم‬
3. Mengetahui gerak-gerik perbuatan imam Umpamanya dari berdiri keruku’ dari ruku’ ke
i’tidal, dari i’tidal ke sujud,dan seterusnya, baik yang diketahui dengan melihat imam
sendiri, melihat saf (barisan) yang dibelakang imam, mendengar suara imam atau suara
mubalighnya, agar makmum dapat mengikuti imamnya.
4. Keduanya (imam dan makmum) berada dalam satu tempat, umpamanya dalam satu
rumah. Setengah ulama berpendapat bahwa shalat di satu tempat itu tidak menjadi syarat,
hanya sunat karena yang perlu ialah mengetahui gerak-gerik perpindahan imam dari
rukun ke rukun atau dari rukun ke sunat, dan sebaliknya agar makmum dapat mengikuti
imamnya.
3

5. Tempat berdiri makmum tidak boleh lebih depan dari imamnya. Yang dimaksud disini
ialah lebih depan kepihak kiblat. Bagi orang shalat berdiri diukur tumitnya dan bagi
orang duduk, diukur dari pinggulnya. Adapun apabila berjamaah di masjid al-Haram,
hendaklah saf mereka melengkung sekeliling Ka’bah dari imam di lain fihak.
B. Susunan makmum :
1) Kalau makmum hanya seorang, hendaklah ia berdiri disebelah kanan imam agak kebelakang
sedikit; dan apabila datang orang yang lain, hendaklah ia berdiri disebelah kiri imam Sesudah ia

takbir, imam hendaklah maju, atau kedua orang itu (makmum) mundur.
2) Kalau jamaah itu terdiri dari beberapa saf, terdiri atas jamaah laki-laki dewasa, kanak-kanak
dan perempuan, maka hendaklah di antara saf sebagai berikut: dibelakang imam ialah saf lakilaki dewasa, saf kanak-kanak, kemudian saf perempuan.
3) Saf hendaklah lurus dan rapat, berarti jangan ada renggang antara yang seorang dengan yang
lain.
4 ) Imam hendaklah jangan mengikuti yang lain. Imam itu hendaklah berpendirian tidak
terpengaruh oleh yang lain; kalau ia makmum tentu ia akan mengikuti imamnya.
5 ) Hendaklah sama aturan shalat makmum dengan shalat imam Artinya, tidak sah shalat fardlu
yang lima mengikuti shalat fardlu mengikuti shalat gerhana atau shalat mayat karena aturan
(cara) kedua shalat itu tidak sama; tetapi tidak berhalangan orang shalat fardlu yang lima
mengikuti orang shalat sunah yang sama aturannya, sepeti orang shalat isya’ mengikuti orang
shalat tarawih dan sebaliknya, karena aturan dua shalat tersebut sama.
6) Laki-laki tidak sah mengikuti perempuan. Berarti laki-laki tidak boleh menjadi makmum,
sedangkan imamnya perempuan. Adapun perempuan yang menjadi imam bagi perempuan pula,
tidak beralangan.
7) Keadaan imam tidak ummi, sedangkan makmum qori’ artinya, imam itu adalah orang yang
baik bacaannya.
8) Jangan makmum berimam kepada orang yang diketahuinya bahwa shalatnya tidak sah (batal).
Seperti mengikuti imam yang diketahui oleh makmum bahwa ia bukan orang Islam, atau ia
berhadats atau bernajis badan, pakaian dan tempatnya. Karena imam yang seperti itu hukumnya

tidak sah dalam shalat.

C. Yang lebih berhak menjadi imam.
Adapun yang lebih berhak menjadi imam, ialah :
1. Orang – orang yang lebih baik bacaanya (fasih).
4

Rasulullah Saw bersabda :

‫قالرسول الله صلي الله عليه وسلم اذا كانوا ثلثة فليؤمهم احدهم‬: ‫عن ابي سعيد رضي الله عنه قال‬
‫ رواه مسلم‬. ‫ واحقهم بالمامة اقرؤهم‬.
Artinya : “ Dari Abu Said r.a berkata : Rasulullah Saw bersabda bila mereka ada tiga
orang,maka hendaklah dijadikan imam salah seorang diantara mereka, dan yang lebih berhak
diantara mereka menjadi imam ialah yang lebih baik bacaanya”(H.R.Muslim)

2. Orang yang lebih paham, dan yang lebih mengetahui akan hukum-hukum agama menurut AlQur’an dan Hadits Nabi.

Rasulullah Saw Bersabda :
Yang paling berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak
hafalan Al-Qur’annya, yang mengetahui hukum-hukum shalat. Kalau kemampuannya setara,

maka dipilih yang paling dalam ilmu fiqhnya. Kalau ternyata kemampuannya juga setara, maka
dipilih yang paling dulu hijrahnya. Kalau ternyata dalam hijrahnya sama, maka dipilih yang lebih
dulu masuk Islam. Dasarnya adalah hadits berikut,
,

‫ب الل لفإه ففإإنن‬
‫عل فينإه فوفسل لففم يفهؤ لهم ال نفقنوفم أ فنقفرهؤههنم لإإكفتا إ‬
‫عنن أ فإبي فمنسهعودد ال نأ فن نفصاإرإلي فقافل فقافل فرهسوهل الل لفإه فص لفلى ال لفله ف‬
‫ف‬
‫ف‬
‫ف‬
‫إ‬
‫إ‬
‫إ‬
‫إ‬
‫إ‬
‫إ‬
‫إ‬
‫إ‬
‫جفرإة فسفواءء‬

‫ه‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ا‬
‫في‬
‫نوا‬
‫كا‬
‫ن‬
‫إ‬
‫ف‬
‫ة‬
‫ر‬
‫ج‬
‫ه‬
‫م‬
‫ه‬
‫م‬
‫د‬
‫ق‬
‫أ‬

‫ف‬
‫ء‬
‫وا‬
‫س‬
‫ة‬
‫ن‬
‫س‬
‫ال‬
‫في‬
‫نوا‬
‫كا‬
‫ن‬
‫إ‬
‫ف‬
‫ة‬
‫ن‬
‫س‬
‫بال‬
‫م‬
‫ه‬

‫م‬
‫ل‬
‫ع‬
‫أ‬
‫ف‬
‫ء‬
‫وا‬
‫س‬
‫ة‬
‫ء‬
‫را‬
‫ق‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ا‬
‫في‬
‫نوا‬
‫كا‬
‫ف‬
‫ف‬

‫ف‬
‫ف‬
‫ن‬
‫ف‬
‫ف‬
‫ف‬
‫ف‬
‫ف‬
‫ف‬
‫إ‬
‫إ‬
‫ء‬
‫ن‬
‫إ‬
‫ن‬
‫إ‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ف ف ف ف ء ن ه ه ن له ل‬

‫ن‬
‫له ل ف ف ء ف ه ه ن ن ف‬
‫ف‬
‫عفلى تفك نإرفمإتإه إإ لفلا إبإإنذإنإه‬
‫ففأنقفدهمههنم إسل نءما فوفلا يفهؤ لفم لفن ال لفرهجهل ال لفرهجفل إفي هسل نفطاإنإه فوفلا يفنقهعند إفي بفينإتإه ف‬
Dari Abu mas’ud Uqbah bin Amru Al Anshari Radhiallahu Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda, ”Yang mengimami sebuah kaum adalah orang yang paling bisa
membaca (aqra’) Al Qur’an. Jika mereka sama dalam hal bacaan Al Qur’an, maka yang
mengimami adalah orang yang lebih tahu tentang as sunah. Jika mereka sama dalam hal as
sunah, maka yang mengimami adalah orang yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka sama dalam
hal hijrah, maka hendaklah yang mengimami adalah yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah
seorang (tamu) mengimami orang lain (tuan rumah dll) yang berkuasa (di rumahnya, di
masjidnya, di majlisnya dll-edt), dan janganlah seorang (tamu) duduk di kursi yang dikhususkan
untuk tuan rumah kecuali bila tuan rumah mengizinkannya”. (HR. Muslim, Kitab Al Masaajid,
Bab Man Ahaqqu Bil Imamah)
Dalam lafazh yang lain,

5

‫جفرإة فسفواءء ففل نيفهؤ لفمههنم أ فك نبفهرههنم إس ل ءنا‬
‫ففإإنن فكاهنوا إفي ال نإه ن‬
“ …Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka hendaklah yang mengimami adalah yang lebih
tua usianya”. (HR. Muslim)
Dalam kitab Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Al-Zuhaili (Dekan Fakultas
Syariah Universitas Damaskus, alumni Doktoran Universitas Al-Azhar, Mesir) disebutkan bahwa
ada 9 (sembilan) syarat utama menjadi imam dalam shalat, yaitu:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh (mumayyiz)
4. Laki-laki
5. Suci dari hadas
6. Bagus bacaan dan rukun-nya
7. Bukan makmum (disepakati 3 mazhab)
8. Selamat, sehat (tidak sakit), tidak uzur
9. Lidahnya fasih, dapat mengucapkan bahasa Arab dengan tepat.
Andai saat berkumpul ummat Islam untuk shalat, lalu semua yang hadir memiliki 9 syarat diatas,
maka yang lebih layak menjadi imam shalat adalah (syarat ini dipenuhi secara ber-urutan):
1. Wali (pemimpin)
2. Imam ratib (yang diangkat oleh wali)
3. Orang yang paling memahami tentang fiqih
4. Orang yang paling banyak hafalan dan bagus bacaannya
5. Orang yang paling wara’
6. Di zaman Rasulullah, orang yang terlebih dahulu hijrah
7. Lebih dahulu masuk Islam
8. Nasabnya baik

6

9. Perjalanan hidupnya lebih baik
10. Lebih bersih pakaiannya
11. Badannya bersih
12. Memiliki kepakaran
13. Suaranya bagus
14. Lebih tampan
15. Sudah menikah.
D. Yang Makruh Menjadi Imam
Adapun orang yang makruh baginya menjadi imam,ialah seperti yang tersebut dalam
keterangan dibawah ini :
1. Imam yang Tidak Disukai Kebanyakan Jamaah Shalat
Paling tidak hukumnya adalah makruh, berdasarkan hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Ada tiga jenis orang yang shalatnya hanya sampai ke batas telinganya saja: Hamba sahaya
(yang minggat) hingga ia pulang. Wanita yang tidur sementara suaminya dalam keadaan marah
kepadanya. Imam shalat yang dibenci oleh jamaahnya.”
Dari Amru bin Al-Harits bin Al-Mushthaliq diriwayatkan bahwa ia menceritakan: “Ada
diriwayatkan bahwa orang yang berat siksanya di hari Kiamat nanti ada dua: wanita yang
membangkang terhadap suaminya dan imam yang dibenci oleh jamaahnya.” [2]
At-Tirmidzi rahimahullahu menandaskan: “Sebagian ulama menganggap makruh seseorang
menjadi imam bila jamaahnya tidak menyukainya. Kalau imamnya sendiri tidak berbuat zhalim,
dosanya ditanggung oleh orang yang membencinya.” Ahmad dan Ishaq menegaskan: “Bila yang
membencinya hanya satu, dua atau tiga orang saja, boleh saja ia tetap menjadi imam. Kecuali
bila yang membencinya adalah mayoritas jamaah shalat.”
Imam Asy-Syaukani menyatakan: “Sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya (imam yang
tidak disukai jamaahnya) adalah haram, sementara sebagian ulama lain menyatakan makruh.
Namun sebagian ulama membatasi bila ketidaksukaan itu adalah dalam persoalan agama,
berdasarkan alasan yang disyariatkan. Adapun ketidaksukaan yang bukan karena faktor agama
tidaklah dijadikan ukuran. Demikian juga mereka membatasi bahwa ketidaksukaan satu orang,
dua atau tiga orang, tidak bisa dijadikan ukuran kalau jumlah makmumnya banyak. Namun kalau
jumlah makmumnya memang hanya dua atau tiga orang saja, maka ketidaksukaan mereka sama

7

dengan ketidaksukaan mayoritas jamaah sehingga bisa dijadikan ukuran. Akan tetapi yang
dijadikan ukuran tetap ketidaksukaan dalam hal agama saja.”
At-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan: Hannad berkata: Ibnu Jarir berkata: Al-Manshur
menceritakan: Kami pernah bertanya tentang imam dalam hadits itu. Jawabannya: bahwa yang
dimaksud dalam hadits itu adalah para imam yang zhalim. Adapun orang yang menjadi imam
dengan menegakkan sunnahnya dosa membencinya ditanggung oleh orang yang membencinya
tersebut.”
Syaikh kami Imam Ibnul Baz rahimahullahu menyatakan: “Para ulama rahimahumullahu
menjelaskan bahwa ketidaksukaan para makmum dalam hadits itu perlu dirinci: Yang dimaksud
oleh Nabi dengan ketidaksukaan para makmum itu adalah pada tempatnya yang dibenarkan.
Tetapi kalau mereka tidak menyukainya karena ia menjalankan sunnah, atau karena ia
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada tempat bagi mereka untuk membencinya.
Kesimpulan ini diambil dari berbagai dalil syar’i. Sementara kalau mereka tidak menyukainya
karena kedengkian di antara mereka, atau karena si imam fasik, memberatkan mereka, atau tidak
memperhatikan shalat atau tidak rutin melaksanakan shalat jamaah, maka tidak layak ia menjadi
imam mereka, karena itu termasuk dalam ancaman yang tersebut dalam hadits-hadits yang ada.”
2. Imam yang Berkunjung
Ia dilarang menjadi imam, kecuali dengan izin para makmumnya berdasarkan hadits Malik bin
Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan: Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa yang datang berkunjung ke satu tempat, janganlah ia mengimami mereka.
Hendaknya yang menjadi imam adalah salah seorang di antara mereka saja.”
Imam at-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan: “Pendapat ini diamalkan oleh para ulama dari
kalangan para sahabat Nabi dan yang lainnya. Mereka menyatakan: “Pemilik rumah atau tempat
tinggal lebih berhak menjadi imam daripada tamunya.” At-Tirmidzi melanjutkan: “Sebagian
ulama berpendapat: Kalau diizinkan, boleh saja tamu menjadi imam.” Sementara Abul Barakat
Ibnu Taimiyah menegaskan: “Sebagian besar ulama berpendapat boleh saja seorang tamu
menjadi imam bila diizinkan oleh pemilik tempat tinggal.” Dasarnya adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “…kecuali bila diizinkan
oleh para makmum…”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam
bahwa beliau bersabda:
“Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk shalat dalam keadaan
menahan buang air, sehingga keinginan buang airnya mereda.”
Dalam riwayat lain disebutkan:

8

“Dan tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk mengimami
sekelompok orang tanpa izin mereka. Dan janganlah ia mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri
tanpa melibatkan orang lain…. Kalau ia melakukan hal itu juga berarti ia telah berkhianat kepada
mereka.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Arti yang tersebut dalam hadits: “..kecuali
dengan izin mereka,” menunjukkan diperbolehkannya seorang tamu menjadi imam bila diizinkan
pemilik tempat yang dikunjungi.
Al-Iraqi menegaskan: Namun syaratnya bahwa orang yang dikunjungi memang layak menjadi
imam. Tetapi kalau tidak, misalnya ia seorang wanita dalam kasus tamunya laki-laki. Atau tuan
rumahnya buta aksara, sementara tamunya pandai membaca Al-Qur’an. Dalam kedua kasus
tersebut, tuan rumah memang tidak berhak menjadi imam.”
Kami juga pernah mendengar Syaikh Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu
menegaskan: “Dalam hadits Abu Mas’ud disebutkan pada akhirnya:
“Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya, dan janganlah ia
duduk di rumah orang lain itu di tempat duduk khususnya (kehormatannya) tanpa seizinnya.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang berkunjung ke sekelompok orang, tidak boleh
mengimami mereka dalam shalat, sebagaimana dalam hadits Malik bin Al-Huwairits, meskipun
sanadnya mengandung kelemahan, karena hadits Abu Mas’ud ini shahih. Tamu tidak berhak
menjadi imam kecuali dengan izin tuan runah (para makmumnya), di masjid atau di rumah
mereka. Bila datang waktu shalat, maka yang berhak menjadi imam adalah tuan rumah. Kalau
dilakukan di masjid, maka orang yang diangkat adalah yang imam rutin. Tidak boleh dilangkahi
oleh siapapun, meskipun tamu yang datang lebih alim dan lebih tua usianya, kecuali kalau tuan
rumah mengizinkan dan mengajukannya sebagai imam. Bila demikian, maka boleh-boleh saja.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Kecuali dengan izinnya…”
Adapun hadits: “Barangsiapa yang mengunjungi sekelompok orang,” kalaupun memang shahih,
maka ditafsirkan bila itu dilakukan tanpa izin tuan rumah. Hadits tersebut didukung oleh
berbagai hadits lain. Sebagian orang terkadang memberikan izin karena malu atau segan. Oleh
sebab itu, hendaknya si tamu tidak terburu-buru maju menjadi imam, sampai tuan rumah betulbetul mendesaknya atau bahkan memaksanya.”
3. Orang yang Mengimami Jamaah Sebelum Datang Imam Rutinnya
Hukumnya tidak boleh, kecuali bila imam rutinnya terlambat datang dari waktu yang ditentukan,
atau dengan izinnya. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:

‫عفلى تفك نإرفمإتإه إإ لفلا إبإإنذإنإه‬
‫فوفلا يفهؤ لفم لفن ال لفرهجهل ال لفرهجفل إفي هسل نفطاإنإه فوفلا يفنقهعند إفي بفينإتإه ف‬
“Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya…”

9

Maka tidak dibolehkan seseorang mengimami jamaah masjid yang memiliki imam rutin kecuali
dengan izin si imam, misalnya dengan mengatakan: “Imamilah jamaah masjid ini.” Atau dengan
mengatakan kepada jamaah: “Kalau saya terlambat dari waktu yang ditentukan, silakan shalat
terlebih dahulu.”
Kalau imam betul-betul terlambat sekali, boleh saja jamaah mengajukan orang lain sebagai imam
berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak hadir.
Maka beliau bersabda: “Sungguh bagus apa yang kalian lakukan..”
Adapun bila seseorang mengimami jamaah sebelum datang imamnya tanpa izin imam dan
kondisi imam tidak berhalangan, ada yang berpendapat bahwa shalatnya tidak sah sehingga
harus diulang bersama imam yang sesungguhnya. Ada juga yang berpendapat bahwa hukumnya
sah tetapi berdosa, dan inilah pendapat yang benar. Karena asal dari shalat jamaah itu sah,
kecuali bila ada dalil yang menegaskan kebatalannya.

E. Hukum Masbuq
Adapun makmum yang mengikuti di belakang imam, adakalnya ia muafik ‫ موافق‬, masbuq ‫مسبوق‬
Artinya muwafiq: yaitu makmum yang memulai didalam pendirian shalatnya bersama-sama
imam, dimana waktu yang yang didapat ma’mum cukup muat untuk membaca Al-Fatihah
seluruhnya.
Artinya Masbuk: yaitu ma’mum yang tidak mendapatkan waktu yang cukup membaca AlFatihah seluruhnya kecuali hanya takbiratul ihram atau mendapatkan imamnya lagi ruku’.
Ketentuan-ketentuan Masbuk:
1. Jika Masbuk mendapatkan imamnya lagi berdiri, maka sesudahnya ma’mum takbiratul
ihram harus segera ia membaca Al-Fatihah dengan tidak perlu membaca ‫عنوهذإباللإه إمفن‬
‫اف ه‬
‫ ال ل فشي نفطاإن ال لفرإجي نإم‬atau do’a istiftah lagi, karena apabila imam ruku’ sedangkan ma’mum
belum menyelesaikan Al-Fatihah, maka ia boleh langsung mengikuti imamnya untuk
ruku. Dan ma’mum mendapatkan raka’at itu.
10

2. Apabila Masbuk mendapatkan imam lagi ruku’, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram

ia langsung ruku’ mengikuti imam dengan sunnah membaca takbir intiqal (‫)فاللهه ا فك نبفهر‬, maka
jika ma’mum mendapatkan thuma’ninah (diam sekedar ‫حافن اللإه‬
‫ )هسبن ف‬bersama-sama imam
di dalam ruku’ itu, maka dapatlah ma’mum akan raka’at itu.

‫ قال رسول الله صلي الله عليه وسلم من ادرك ركعة من‬: ‫عن ابي هريرة رضي الله عنه قال‬
‫ رواه البخاري و مسلم‬. ‫ الصلة مع المام فقد ادرك الصلة‬.
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a berkata : Rasulullah Saw bersabda siapa yang
mendapati satu rakaat (rukuk) dari sembahyang beserta imam, maka sesungguhnya ia
telah mendapati sembahyang itu seluruhnya (.H.R Bukhari dan Muslim)
Yang di maksudkan ialah satu rakaat sembahyang yang sempurna,tetapi tidak berarti
bahwa ia boleh memutuskan (mengakhiri ) sembahyangnya bersama-sama dengan imam,
tetapi setelah imam memberi salam,hendaklah ia menuruskan sembahyangnya yaitu
mencukupkan rakaat yang masih tinggal.
Akan tetapi bilamana ma’mum tidak mendapatkan thuma’ninah itu bersama-sama imam
(misalnya ma’mum ruku’ bersamaan imamnya I’tidal) maka ma’mum tidak mendapatkan raka’at
itu.
1. Adapun jikalau Masbuk mendapatkan imam lagi sujud atau lagi duduk antara dua sujud

atau lagi tasyahhud, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram, dia langsung mengikuti
imam dimana adanya dengan tidak membaca takbir intiqal lagi. Dan ma’mum dalam hal
ini tidak mendapatkan raka’at itu.

F. Di sunatkan Bagi Imam Membaca Surat Yang Pendek
Bila kita menjadi imam, sedang orang yang mengikuti banyak di belakang, maka
disunatkan membaca ayat yang pendek – pendek, karena orang-orang yang mengikuti itu, ada
yang lemah, tua, dan ada pula yang banyak keperluanya.
Rasulullah Saw bersabda :

‫ قال رسول الله صلي الله عليه وسلم قال اذا صلي احدكم للناس‬: ‫عن ابي هريرة رضي الله عنه قال‬
‫رواه البخاري ومسلم‬. ‫ فليخفف فان فيهم الضعيف والسقيم والكبير واذا صلي احدكم لنفسه فليطول ماشاء‬.

Artinya : “ Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : Bila seorang
daintara kamu sholat bersama-sam dengan manusia (berjama’ah) , maka hendaklah
diperpendek bacaan suratnya ( surat yang pendek),karena sesungguhnya diantara mereka ada
yang tak tahan lama berdiri (lemah), ada yang sakit, dan ada pula yang sudah tua, dan bila
seorang sholat untuk dirinya sendiri (munfarid) maka boleh diperpanjang sesuai keinginanya”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
G. Cara menanggulangi lupa dalam shalat ketika kita shalat berjamaah:
11

Ketika kita sholah berjamaah, keraguan dan atau kelupaan dalam sholat baik bacaan, gerakan
maupun jumlah rakaatnya diketahui oleh imam sholat sendiri atau juga kadang-kadang hanya
diketahui dan disadari oleh makmum.
Apabila keraguan atau kelupaan dalam sholat itu hanya diketahui dan disadari oleh imam dan
makmum tidak mengetahuinya maka cara menanggulanginya adalah dengan cara seperti ketika
sholat sendirian dan makmum wajib mengikuti gerakan imam shalat.
Sedangkan jika imam tidak menyadari dan mengetahuinya, namum makmum mengetahui adanya
lupa dalam shalat yang dipimpin imam, maka cara menanggulanginya adalah sebagai berikut :


Apabila imam salah bacaannya, maka makmum wajib menegurnya dengan cara
membetulkan bacaan yang salah [dengan cara melafadzkan bacaan yang salah secara
langsung].



Apabila imam salah dalam gerakannya, maka makmum wajib menegurnya dengan cara :

1. Bagi makmum pria, menegurnya dengan cara mengucapkan kalimat atau bacaan
"Subhanallah".
2. Bagi makmum wanita, menegurnya dengan cara cukup dengan menepuk tangan.


Semua keraguan dan atau kelupaan di dalam shalat ditutup dengan sujud sahwi.

BAB III
PENUTUP

Apabila dua orang solat bersama-sama dan salah seorang di antara mereka mengikuti yang lain,
keduanya dinamakan shalat berjamaah.
Orang yang diikuti (yang di hadapan ) dinamakan imam, sedangkan yang mengikuti di
belakang dinamakan makmum. Adapun dalam hukum sholat berjama’ah, dijelaskan siapa yang
berhak menjadi imam, siapa pula yang makruh untuk menjadi imam dan bagaimana peran
seorang imam dalam sholat. Begitu pula dengan peran seorang makmum, baginya ada syaratsyarat untuk mengikuti imam,bagaimana jika imam lupa dalam gerakan atau bacaan sholat, dan
hukum masbuk bagi makmum dalam sholat. Semuanya wajib untuk dipahami dan dimengerti

12

bagi kita yang beragama islam, karena sholat adalah suatu kewajiban. Maka beribadah lah kita
menurut aturan yang sebenarnya.

13

DAFTAR PUSTAKA
Al Ustadz Hidris Ahmad. Fiqh Menurut Mazhab Imam Syafi’i, Widjaya Djakarta, 1969
H. Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo,Bandung,2004
https://fadhlihsan.wordpress.com/2011/06/16/yang-tidak-berhak-menjadi-imam-shalat
http://salafytobat.wordpress.com/2009/08/23/fiqh-shalat-berjama%E2%80%99ah-dan-hukummakmum-masbuk-muwaffak
http://tafaqquhstreaming.com/9-syarat-menjadi-imam-shalat

14