GARDEN CITY DAN KONSEP PEMBANGUNAN KOTA

GARDEN CITY
DAN KONSEP PEMBANGUNAN KOTA IDEAL

By :
Hery Prastowo
Magister Pembangunan Wilayah Pedesaan
Universitas Tadulako

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan sejarah peradaban kota keinginan untuk mewujudkan sebuah
kota impian terkait erat dengan pengertian “Kota Ideal“. “Kota Ideal“ yang dimaksud itu bias
mempunyai wujud fisik tertentu bisa juga tidak. Peradaban kota Yunani kuno pada jaman Plato
dan peradaban Asia Timur dan Selatan selalu mengkaitkan pengertian “Kota Ideal“ dengan
sebuah wujud fisik tertentu. Sesungguhnya pengertian istilah “Kota Ideal“ tidak bisa dilepaskan
dari sosok fi losof Plato, bukan saja dia memperkenalkan “Kota Ideal“ Atlantis, tetapi karena
dalam filsafat Plato ide dan form merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Plato juga yang pertama mengajarkan bahwa antara kebahagiaan dan kesehatan badan

dan jiwa terdapat sebuah hubungan yang erat. Dalam karyanya Critias dan Timaeus Plato
memaparkan bahwa di benua Atlantis pada mulanya terdapat sebuah peradaban yang sangat
maju dan brilian yang hancur karena korupsi dan keserakahan. Terlepas dari sifat spekulatif dari
karya Plato tersebut, ide bahwa sebuah masyarakat urban yang ideal adalah yang diperintah
dengan prinsip berkeadilan dan mempunyai prinsip kehidupan bersama berdasarkan etika tetap
melekat pada ide-ide “Kota Ideal“ yang lahir sesudah itu. Pada masa revolusi industri abad ke19 di Eropa Barat, pengertian “Kota Ideal“ dikaitkan dengan wujud fisik dari sebuah
masyarakat urban yang mampu mengintegrasikan berbagai kelas sosial dalam sebuah
lingkungan yang baik.
Jadi lahirnya ide kota impian pada waktu itu, seperti ide Garden City dari Howard
adalah sebuah reaksi terhadap kondisi sosial dan lingkungan yang buruk dari pusat-pusat
pertumbuhan industri seperti London, Paris atau Berlin. Pada periode ini pengertian “Kota
Ideal“ selain dikaitkan dengan lingkungan hidup yang layak juga dikaitkan dengan prinsip
dasar dari revolusi Perancis yang mendeklarasikan persamaan hak bagi semua manusia. Prinsip
itu mengangkat hak-hak dasar manusia untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan
diperlakukan sama di depan hukum. Juga prinsip hidup dalam kebersamaan masyarakat urban
sangat digarisbawahi oleh tokoh-tokoh sosialis seperti Owen, Prodhon, Saint Simon.
Pada periode selanjutnya yaitu pada masa pembangunan masyarakat modern di abad
ke-20, prinsip-prinsip yang diperjuangkan pada abad ke-19 di sebagain besar Negara Eropa
Barat telah diterima sebagai acuan bagi pengembangan setiap kota. Dalam berbagai deklarasi
(a.l. CIAM atau Bauhaus) pengertian “Kota Ideal“ pada waktu itu didefi nisikan sebagai sebuah

2

kota dengan wujud fisik yang modern dan industrialis tetapi sekaligus bersifat human. Terkait
erat dengan ide kota impian atau “Kota Ideal“ adalah ide kota baru: Ebenezer Howard berusaha
mewujudkan ide Garden City-nya dengan membangun kota baru di Letchworth. Di Indonesia,
penguasa kolonial Belanda pernah bermaksud mendirikan sebuah “Kota Ideal“ yang nantinya
akan dijadikan ibukota Hindia Belanda yaitu Bandung. Tetapi pembangunan “Kota Ideal”
dalam Konteks Pengembangan Kota Berkelanjutan ibukota baru itu harus dihentikan karena
datangnya krisis ekonomi dunia 1930. Ide membangun ibukota sebuah Negara yang ideal di
sebuah lokasi baru terus ada, dengan alasan yang berbeda-beda. Brasilia ibukota baru negara
Brasil, Islamabad ibukota baru Pakistan, Putrajaya ibukota persekutuan Malaysia, dan tentu
yang paling mengesankan adalah pembangunan kembali ibukota negara Jerman, Berlin. Pada
saat sekarang,“Kota Ideal“ yang menjadi impian paling sering dikaitkan pada dua hal. Yang
pertama adalah dikaitkan dengan pengertian kota sebagai sebuah sistem ekologis perkotaan
yang berkelanjutan, dan yang kedua adalah dengan pengertian kota yang mampu berkembang
secara berkelanjutan bukan hanya dalam pengertian ekologis (Eco-City), tetapi juga yang
berkembang secara berkeadilan (Just-City), dan kota yang ekonominya tumbuh secara
berkelanjutan (Growth-City) dan yang secara kultural mampu mengembangkan identitas local
yang kuat (Urban Cultural Identity). Sebagai kesimpulan pertama kita bisa ambil adalah
sebagai berikut: Ide Garden City dari Howard berhasil bukan karena ide itu diikuti oleh banyak

kota, tetapi karena contoh Garden City seperti yang dibangun di Letchworth berhasil menjadi
inspirasi bagi sebuah gerakan yang memperjuangkan peningkatan dari Livability dari kota-kota
di Eropa pada umumnya. Dalam skala yang lebih kecil ide Tropical Garden City dari Thomas
Karsten menjadi inspirasi bagi kota-kota di Hindia Belanda untuk meningkatkan kualitas
lingkungan urban secara menyeluruh. Jadi, “Kota Ideal“ yang diimpikan oleh sebagian (tokoh)
masyarakat pada sebuah jaman di sebuah tempat adalah wujud dari sebuah harapan akan
kehidupan yang lebih baik yang menjadi acuan bagi mereka yang menginginkan perbaikan.
Dan bila wujud itu bisa terlaksana pada sebuah lokasi, maka walaupun tidak selalu sempurna,
dia kemudian tetap bias menjadi acuan bagi yang lainnya. Yang aneh adalah bahwa gambaran
mengenai “Kota Ideal“ itu bisa saja lalu ditiru oleh mereka yang berada di luar konteks asal ide
tersebut. Dan anehnya, walaupun sebenarnya di negara asalnya pun dia sudah tidak berhasil,
ide itu selalu diulang-ulang kembali. Ide pembangunan sebuah ibukota baru yang ideal
merupakan contoh semacam itu. Walaupun dalam pelaksanaannya ide itu selalu gagal, karena
pada kenyataannya ibukota baru seperti Chandigarh, Islamabad, atau Brasilia tidak berkembang
3

menjadi “Kota Ideal“ yang diharapkan, tetapi ide membangun sebuah ibukota baru seolah-olah
tidak pernah mati.
Dalam skala yang lebih kecil, Sukarno pun pernah tertarik dengan ide kota baru ini
yang kemudian melahirkan kota


Palangka Raya di Kalimantan. Bagaimana pun impian

mengenai “Kota Ideal“ dari sebuah masyarakat selalu terikat pada tempat dan waktu. Kota yang
menjadi impian sebuah masyarakat disatu pihak selalu berkaitan dengan sistem nilai yang
berlaku pada saat itu, dan di lain pihak sangat erat terkait dengan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat pada saat itu. Pertanyaan mengenai kota impian bagi kita di Indonesia tidak bisa
lepas dari kriteria tersebut. Ada dua pertanyaan yang terkait dengan hal itu; pertanyaan pertama
adalah masalah-masalah pokok mana yang sedang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia,
sedangkan pertanyaan kedua adalah mengenai sistem nilai yang akan jadikan dasar untuk
mendefi nisikan “Kota Ideal“ yang kita impikan. Dari sistem nilai inilah sebenarnya yang akan
menjiwai “roh“ dari kota impian kita. Berangkat dari sistem nilai tersebut akan lahir prinsipprinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam usaha mengantisipasi ke-empat masalah pokok
yang dihadapi oleh kota-kota kita saat ini. Jadi, sistem nilai inilah juga yang akhirnya akan
sangat menentukan wujud fisik, ekonomi, social dan budaya sebuah kota yang dianggap ideal.
Kota-kota yang direncanakan dengan baik, biasanya langsung dikenali orang. Aspek
penting Garden City adalah denah yang fleksibel dan kepercayaan yang tinggi pada potensi
tapak. Untuk mewujudkannya, memang bukan pekerjaan mudah. Demikian pula saat
melestarikannya, yang bisa mengakomodir kebutuhan jaman. Meningkatnya jumlah bangunan
akibat pertambahan penduduk serta hadirnya kendaraan bermotor terbukti menyebabkan
penyimpangan desain di Letchwoth dan Welwyn, juga kota-kota yang menerapkan Garden

City.
Pelebaran jalan telah memangkas jarak yang diperlukan untuk mengagumi keindahan
deretan bangunan yang ada untuk dirajut dalam memori kita. Apalagi merobohkannya sama
sekali. Desain kota memang sangat rentan pada pengaruh luar dan respon itu tak perlu mirip
pada kondisi sama. Kita harus tetap melirik aspek lokal sehingga kota kita mempunyai ciri khas
yang membuat kita selalu rindu untuk pulang ke ‘kampung halaman’.
Konsep Ruang Terbuka Hijau terdapat dalam konsep Garden City yang memadukan
kawasan permukiman, Kawasan Industri dan kawasan Pertanian. Konsep Garden City berusaha
menjaga keserasian antara bangunan huni dan permukiman dengan keberadaan lahan yang
digunakan untuk bangunan taman lingkungan yang berada di sekitar lokasi huniansehingga
4

suatu permukiman harus memiliki area khusus untuk perletakan pertamanan. Konsep ini di
Indonesia dikenal dengan konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tercantum dalam Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataaan Ruang.
B. SEJARAH GARDEN CITY
Ruang Terbuka Hijau (RTH) aatau dalam istilah asing disebut Garden City, pada
mulanya sebuah novel utopis tahun 1888 karya pengarang Amerika, Edward Bellamy,
“Looking Backward” ( kisah futuristik tentang Boston tahun 2000 ), Ebenezer Howard
mengawali mimpinya memperbaiki kondisi hidup masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Terinspirasi visi kota dan masyarakat masa depan yang dilibatkan untuk membawa peradaban

baru yang lebih baik dalam buku itu, Howard bertekad melahirkan garden city.
Howard, putra seorang pramuniaga, lahir di Fore Street, London tahun 1850. Waktu
sekolah ia banyak diajari soal lingkungan pedesaan. Menyadari tak berbakat menjadi petani,
Howard pindah ke Chicago, menjadi reporter koran dan pengadilan. Ia tiba saat kota sedang
memulihkan diri dari kebakaran besar tahun 1871, yang menghancurkan sebagian besar
kawasan bisnis/ CBD. Howard melihat regenerasi kawasan tersebut, juga daerah pinggiran
yang sedang tumbuh pesat. Sejak itu Howard mulai memikirkan cara-cara meningkatkan
kualitas hidup penduduk.
Tahun 1876 Howard kembali ke Inggris, bekerja memproduksi rekaman resmi
parlemen. Melalui rekaman debat komite dan komisi itu, Howard tersadar sekaligus frustasi,
betapa sulitnya parlemen mencari solusi masalah buruh dan perumahan. Howard mengamati
semua partai, tak peduli berseberangan secara politis, sosial atau keyakinan, sebenarnya bersatu
dalam satu isu, yaitu arus migrasi yang terus berlanjut dari kawasan pedesaan ke kota-kota
yang sudah penuh sesak.
Industrialisasi telah menarik banyak penduduk masuk ke dalam kota, dengan daya tarik
upah lebih baik, kesempatan kerja dan aktivitas sosial. Akibatnya kota penuh sesak, perumahan,
persediaan air dan drainase tidak memadai lagi, sewa dan harga-harga barang melambung
tinggi. Di sisi lain, desa menjadi gundul, tak sanggup menopang populasi. Karena tekanan
ekonomi, kampung menjadi sepi ditinggalkan penduduknya yang berbondong-bondong masuk
ke dalam pemukiman berkualitas rendah di kota. Tekanan ini diperhebat dengan berkurangnya

akomodasi hidup para petani. Bekerja dengan upah rendah dan waktu panjang membuat warga
5

hanya mampu menyewa kamar murah, sehingga tak cukup dana untuk membangun rumah
baru.
Urbanisasi menimbulkan petaka bagi kota maupun desa. Kesengsaraan bagi mereka
yang tak punya cukup uang. Kemiskinan, kepadatan permukiman, polusi industri, minimnya
drainase dan air bersih, kekumuhan, praktek penguburan yang buruk, menjadi penyebab
timbulnya penyakit. Wabah kolera membunuh ratusan ribu jiwa antara tahun 1831-1854.
Tragedi ini menjadi perhatian nasional.Sejak itu, secara bertahap diperkenalkan peraturan
kesehatan publik dan pengawasan perencanaan bangunan. Namun disadari Howard, semua
pedoman ini hanya mengatur pembangunan yang sudah ada di sekitar kota, bukan mengatasi
masalah migrasi yang menjadi asal muasal kekumuhan kota.Ayah empat anak ini melihat
bermacam upaya yang dibuat para industrialis untuk mengupayakan kesehatan, model
komunitas yang terencana baik bagi para pekerja mereka.
Tahun 1884-5, komisi kerajaan melaporkan kondisi terburuk di permukiman kumuh.
Tahun 1888 sebuah studi mengungkapkan bahwa lebih 300.000 dari 900.000 jiwa warga
London Timur hidup dalam kemiskinan ekstrim. Catatan Howard waktu itu mencakup banyak
ragam pekerjaan pada bermacam politik dan teori ekonomi.
Howard tinggal di Letchworth Garden City tahun 1905. Ia dipilih sebagai ketua Garden

Cities and Town Planning Federation yang baru terbentuk tahun 1913. Howard menjadi sosok
internasional yang berpengaruh, menjadi anggota kehormatan Town Planning Institute tahun
1914.Ia pindah ke Welwyn Garden City pada tahun 1921, dimana ia memulai Garden City
keduanya. Ia menghabiskan sisa hidupnya di sini hingga wafat 1 Mei 1928, setelah didiagnosa
menderita infeksi dada dan kanker perut. Howard dianugerahi gelar bangsawan Inggris tahun
1927.
C. KONSEP PENGEMBANGAN KOTA DI INDONESIA
Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari
aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari
aktifitas masyarakat suatu wilayah perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang
dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari
kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya
konsep pengembanan wilayah perkotaan yang harus mampu meningkatkan efisiensi
6

penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk
berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep
tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada
penataan ruang.Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep pengembangan

wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan
desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999).
Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besarbesaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur
yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses
tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan
adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara
sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer.
Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan
relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan
untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini muncullah
beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lainpeople
center approach yang menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia,natural resourcesbased development yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan,
serta technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan
pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang
berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa
penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih
dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi,

keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma
dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat
dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada
konsep-konsep yang dijelaskan di atas.
Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah
untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri. Pembangunan ekonomi yang hanya
7

mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan
alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena
terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut
telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi berkembangnya
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi
terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999).
Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk
melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar
pengembangan Wilayah (1999) keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan
teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang
bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya
inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat

hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan
besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya
yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi.
Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi
membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu
wilayah. Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong
terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar
wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun
pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah didalam mengelola
spatial network tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus
diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan
dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan
keserasian pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan penerapan insentif-insentif kepada
wilayah perkotaan yang kurang berkembang.
D. KONSEP RUANG TERBUKA HIJAU (GARDEN CITY) DI INDONESIA
Ruang terbuka hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam. (Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007).
8

Berdasarkan Undang-undang tersebut proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah 30 % (tiga
puluh persen) dari luas wilayah perkotaan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdiri atas Ruang
Terbuka Hijau (RTH) Publik dan Ruang Terbuka Hijau RTH) Privat, dimana luas untuk RTH
Publik minimal 20 % (dua puluh persen) dari luas wilayah kota. (UU No. 26 Tahun 2007, pasal
28).
Dengan mempedomani Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut, maka setiap Kota
wajib mengalokasikan wilayahnya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dituangkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.
Konsep tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) ini merupakan wujud dari penerapan Garden City
pada negara-negara maju.
E. PERMASALAHAN POKOK KOTA BESAR DI INDONESIA
Dalam rangka untuk mendapatkan rumusan awal tentang konsep “Kota Ideal“, pertama-tama
kita berangkat dari masalah pokok apa yang dihadapi oleh kota-kota kita saat ini. Masalah
pokok yang dimaksud terdiri dari (4) empat masalah, yaitu:
1) Masalah pokok pertama dan juga yang paling utama yang harus dihadapi oleh kota-kota di
Indonesia pada saat ini adalah menemukan cara terbaik untuk mengatasi proses Urbanisasi
yang sedang berlangsung.
Masalah urbanisasi ini mempunyai dua karakteristik yang menjadikan dia sangat sulit untuk
diatasi, yang pertama adalah kecepatannya dan yang kedua adalah dimensinya. Secara
dimensional, penduduk daerah urban Indonesia akan menjadi dua kali lipat dalam 25 tahun
yang akan datang dan dalam kurun waktu tersebut jumlahnya bertambah dari sekitar 85 juta
menjadi lebih dari 170 juta jiwa. Walaupun proses urbanisasi sebenarnya adalah proses
yang sudah sejak lama kita kenal, tetapi dari segi dimensinya dan kecepatannya yang
sekarang belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban urban di Indonesia maupun di
dunia. Tahun 2008 lalu untuk pertama kali jumlah penduduk dunia di perkotaan telah
melampaui batas magis 50% dari penduduk dunia.
“Kota Ideal“ yang menjadi impian kita harus mempunyai kemampuan mengantisipasi
proses urbanisasi ini. Yang pertama harus diselesaikan adalah masalah distribusi
penggunaan tanah yang tidak seimbang, dimana sebagian kecil anggota masyarakat
menggunakan atau mengontrol sebagian besar sumber daya tanah di perkotaan.
Praktekpraktek spekulasi tanah turut memperburuk situasi tersebut. Kota-kota besar kita
pada saat ini tidak mampu menyediakan tanah untuk menyediakan perumahan dan
9

membangun berbagai fasilitas sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Lebih jauh dari
itu daerah perkampungan penduduk

dan daerah hunian lainnya secara terus menerus

semakin terdesak oleh ekspansi dari proses komersialisasi lahan. Ini menyebabkan turunnya
jumlah unit hunian rumah di pusat kota dan mendorong terjadinya urban sprawl dalam
bentuk hunian sub-urban di pinggiran kota. Dampak dari semua ini adalah terjadinya
desintegrasi fungsi kota yang menghancurkan koherensi dari sistem perkotaan yang ada dan
semakin tidak efi siennya sistem urban kota-kota di Indonesia
2) Masalah pokok kedua yang dihadapi kota-kota kita adalah bahwa proses urbanisasi tersebut
berlangsung dibawah tekanan struktur kekuasaan ekonomi dan politik global. Sebagai
akibat lebih terbukanya hubungan lintas Negara satu dengan lainnya maka kompleksitas
dari masalah yang kita hadapi akan meningkat, terutama dalam hal-hal yang terkait dengan
arus komunikasi, barang dan manusia. Pengaruh globalisasi sistem ekonomi dan
komunikasi akan berdampak kuat terhadap perubahan struktur ekonomi dan sistem nilai
kultural di kota-kota kita. Intensifi kasi hubungan antara kota-kota besar di Indonesia
dengan pusat-pusat ekonomi di dunia bisa berakibat melemahnya hubungan kota-kota di
Indonesia dengan daerah belakangnya. Kondisi ini akan menyebabkan kota-kota Indonesia
lebih berfungsi sebagai

bridgeheads

bagi ekonomi global

dan menjadi agen-agen

pemasaran dan mediasi demi kepentingan ekonomi global. Semua itu di satu pihak akan
memperlemah ekonomi lokal setempat secara structural dan memicu sebuah perubahan
sistem nilai kultural yang kontradiktif dengan nilai-nilai kultural setempat.
3) Masalah ketiga yang dihadapi oleh kota-kota Indonesia terkait dengan fungsi kota-kota kita
sebagai

“agent

of development”,

terutama dalam kaitannya dengan

transformasi

masyarakat Indonesia secara keseluruhan dari masyarakat tradisional menjadi modern, dan
dari rural menjadi industrial. Perlu digarisbawahi di sini bahwa seiring dengan semakin
majunya kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan akan ruang secara kuantitas dan secara
kualitas di dalam kota akan semakin meningkat. Hal ini akan berlangsung terus bahkan bagi
kota-kota yang jumlah penduduknya relatif stabil. Ini bisa mempertajam ketimpangan
antara desa dan kota. Karena itu “Kota Ideal“ adalah kota yang bisa berperan sebagai agent
of development. Sebuah “Kota Ideal“ harus bisa menjadi lokomotif yang ikut mendorong
perkembangan Indonesia secara keseluruhan disatu pihak, dan sebagai sebuah kesatuan
urban (urban entity). “Kota Ideal“ harus mampu berkompetisi dengan kota-kota lain dalam
kerangka global.
10

4) Masalah keempat yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia adalah ancaman yang datang
dari perubahan sistem ekologis global maupun lokal. Pada saat ini kota-kota di Indonesia
belum mempunyai kemampuan

untuk mengatasi atau menjinakkan berbagai dampak

negatif yang diakibatkan oleh kenaikan suhu bumi seperti perubahan iklim, kenaikan
permukaan air laut, kekeringan, banjir, dan seterusnya. Apalagi kalau kita menuntut bahwa
cara mengatasi hal-hal tersebut tidak boleh bersifat parsial sebatas kepentingan sebagian
dari penghuni kota yang mampu tetapi harus bersifat menyeluruh. Kecenderungan pada
saat ini adalah bahwa selain meningkatnya kerusakan lingkungan urban secara umum, juga
telah terjadi

ketidakadilan pada pendistribusian sumberdaya alam demi

keuntungan

mereka yang menguasai sistem produksi urban dan ketidak adilan pada pendistribusian
beban lingkungan

(environmental burden) atas kerugian mereka yang berstatus sosial

rendah.

11

BAB II. GARDEN CITY KOTA PALU
A. RENCANA TATA RUANG KOTA PALU 2011
Merujuk pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan
berkaitan dengan kewajiban pengembangan Garden City/ Ruang Terbuka Hijau (RTH),
Pemerintah Kota Palu telah merencanakan pembangunan dan pengembangan ruang terbuka
hijau sebagaimana tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu berdasarkan
PERDA Nomor 16 Tahun 2011, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu 2010-2030.
Rencana kawasan RTH di Kota Palu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 PERDA 16 Tahun
2011,huruf c, terdiri atas :
a. RTH publik ; dan
b. RTH privat.
RTH publik publik yang telah ada di Kota Palu sebagaimana dimaksud meliputi kawasan seluas
kurang lebih 1.833 hektar atau sekitar kurang lebih 4,64 persen dari luas wilayah Kota Palu
yang meliputi:
a. taman

kota yang terdistribusi di Kecamatan Palu Timur, Palu Selatan, dan Palu Barat,

dengan luas kurang lebih 7,39 hektar;
b. hutan kota kurang lebih seluas 395,56 hektar yang meliputi wilayah Kecamatan Palu
Timur;
c. pemakaman umum dan Taman Makam Pahlawan seluas kurang lebih 91,39 hektar yang
terdistribusi di Kecamatan Palu Utara, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Selatan dan
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Kecamatan Palu Barat;
arboretum di Kelurahan Talise, Kecamatan Palu Timur seluas kurang lebih 95 hektar;
daerah penyangga Tahura di Kelurahan Poboya seluas kurang lebih 21,64 hektar;
daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Barat seluas kurang lebih 208,40 hektar;
daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Timur seluas kurang lebih 134,41 hektar;
daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Utara seluas kurang lebih 327,69 hektar;
daerah penyangga kawasan industri hilir di Kecamatan Palu Timur seluas kurang lebih

12,79 hektar;
j. daerah penyangga kawasan industri hilir di Kecamatan Palu Selatan seluas kurang lebih
135,81 hektar;
k. daerah penyangga kawasan perkandangan ternak di Kecamatan Palu Selatan seluas kurang
lebih 94,25 hektar;
l. daerah penyangga KKOP di sekitar Bandara Mutiara Kelurahan Birobuli Utara Kecamatan
Palu Selatan seluas 127,17 hektar;
m. jalur hijau pada sepanjang ruas jalan di Kota Palu seluas 2,15 hektar; dan
12

n. lapangan terbuka hijau terdapat di Kecamatan Palu Utara, Kecamatan Palu Timur,
kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan Palu Barat seluas kurang lebih 79,34 hektar. RTH
privat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pekarangan rumah tinggal

dan halaman perkantoran.
Rencana pengembangan RTH Kota Palu untuk mencapai 30,10 persen dari luas wilayah kota
yaitu seluas 11.889,74 hektar, yang terdiri dari 20,00 persen RTH Publik dan 10,10 persen RTH
Privat meliputi:
a. pengembangan taman RT dan RW yang akan didistribusikan pada pusat unit-unit
pengembangan perumahan;
b. pemanfaatan halaman depan perkantoran pemerintahan dan swasta sebagai taman publik;
c. pengembangan taman kota yang akan diditribusikan di setiap kelurahan dan kecamatan
pada wilayah Kota Palu;
d. pengembangan median dan pedestrian ruas jalan di Kota Palu sebagai ruang terbuka hijau;
e. pengembangan ruang terbuka hijau pada Kawasan Industri Palu di Kecamatan Palu Utara
berupa taman lingkungan, taman pada pedestrian dan median jalan kurang lebih seluas
kurang lebih 300 hektar;
f. pengembangan agro wisata di Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara seluas kurang
lebih 150 hektar;
g. pengembangan hutan kota di Kelurahan Kawatuna Kecamatan Palu Selatan seluas kurang
lebih 100 hektar dan kebun raya di Kecamatan Palu Utara seluas kurang lebih 200 hektar;
h. Pengembangan daerah sempadan SUTT di Kecamatan Palu Utara dan Palu Timur seluas
kurang lebih 55,18 hektar;
i. Pengembangan Hutan Kota di Kecamatan Palu Timur seluas kurang lebih 612 hektar;
j. Pengembangan daerah KKOP disekitar Bandara Mutiara Palu menjadi Ruang Terbuka
Hijau seluas kurang lebih 165,3 hektar;
k. pengembangan fungsi-fungsi kawasan lindung lainnya menjadi ruang terbuka hijau yang
meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar mata air, sempadan Saluran Udara
Tegangan Tinggi (SUTT), kawasan rawan bencana dan lindung geologi kota Palu.
B. IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN GARDEN CITY
Sebagaimana uraian Rencana Pembangunan RTH Publik di Kota Palu, maka arah
pengembangannya adalah pengembangan RTH yang sudah ada saja, sebagaimana yang
tercantum dalam PERDA Nomor 16 Tahu 2011 tersebut.
Pembangunan RTH yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Palu yang dilaksanakan
selama ini, dan nyata dilihat dilapangan adalah pada lokasi di sekitar Pantai Talise, dan jalur
13

hijau pada jalan protokol yang ada di Kota Palu, seperti misalnya Jl. Moh Yamin, Jl. Sam
Ratulangi dan Jl. Abdurahman Saleh.
Pembangunan RTH Privat berdasarka pengamatan di Kota Palu masih sangatlah rendah.
Pembangunan RTH Privat di lingkungan Pemukiman yang dibangun oleh Pengembang kurang
mendapat perhatian. Pembangunan Perumahan yang dilakukan Pengembang tidak disertai
dengan aturan pembangunan ruang terbuka hijau. Masih banyak ditemukan perumahan yang
kurang menekankan konsep City Garden.

14

BAB III. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
A. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian sebagaimana pada bab-bab terdahulu, permasalahan pembangunan
Ruang Terbuka Hijau (RTH/ Garden City pada beberapa kota besar di Indonesia pada pokoknya
adalah permasalahan kecukupan 30 % RTH dari luas wilayah Kota yang ada.
Permasalahan tersebut juga terjadi pada Kota Palu yang sedang berkembang. Dari Luas
wilayah yang ada yaitu seluas 1.844 Ha atau 4,64 % dari luas wilayah Kota Palu seluas
39.506,00 Ha. Dengan demikian ketersediaan RTH di Kota Palu masih sangat jauh dari luas
yang diamanatkan dalam undang-undang tata ruang. Apabila berdasarkan undang-undang tata
ruang maka Kota Palu harus membangun RTH seluas + 11.851 Ha dimana RTH Publik seluas +
7.901 Ha dan sisanya seluas + 3.950 Ha RTH Privat.
Kondisi tersebut bukan hanya terjadi di Kota Palu saja namun secara umum kota-kota di
Indonesia memiliki luas dari 30 %, terutama kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta,
Surabaya, Semarang dan Jogjakarta. Permasalahan pokok kota besar di Indoensia dalam
pembangunan RTH adalah sebagai berikut :
1. Kurangnya kepedulian dan ketaatan Pemerintah Daerah, dalam hal ini pemerintah Kota
untuk membangun ruang terbuka hijau.
2. Kurangnya lahan dalam rang pembangunan RTH disebabkan rata-rata kota di Indonesia
berkembang dengan sendirinya, sehingga alokasi lahan untuk pembangunan memerlukan
biaya yang mahal.
3. Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007, sehingga pembangunan RTH hanya sebatas wacana yang tercantum dalam RTRW
Kota.
4. Kesadaran masyarakat, terutama sektor swasta dalam turut serta mengembangkan
RTH/Garden City masih kurang. Pada beberapa kota kecil belum ada kewajiban bagi
pengembang perumahan untuk membangun 10 % dari pemukiman yang dibangun sebagai
ruang terbuka hijau.
B. PEMBAHASAN
Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) / Garden City sebagaimana amanat undangundang tata ruang sebenarnay merupakan suatu keharusan bagi setiap wilayah kota, dan
merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah setempat dan masyarakatnya. Hal ini
akan mewujudkan suatu kota yang ideal yang merupakan kota impian yang akan memberikan
kenyamanan bagi penduduk yang tinggal di dalamnya.
15

Konsep Garden City yang telah dilaksanakan di negara-negara maju sejak abad 19
tentunya sangat urgen untuk dilaksanakan di Indonesia, dimana kota-kota di Indoensia terus
berkembang dan bertransformasi menjadi kota industri yang memerlukan keseimbangan
dengan konsep pembangunan berwawasan lingkungan.
Sebagaimana kota lain din Indonesia, Kota Palu juga masih sangat jauh dalam hal
penyediaan/pengembangan Garden City/RTH. Tentunya hal tersebut segera menjadi perhatian
pemerintah Kota Palu untuk mengantisipasi perkembangan Kota Palu yang begitu pesat.
Dengan demikian apabila pembangunan RTH dilaksanakan sejak sekarang, dimana penduduk
dan ketersediaan lahan masih memungkinkan maka hal tersebut menjadi suatu yang lebih
mudah. Lain halnya apabila pembangunan RTH dilaksanakan pada masa nanti dimana
ketersediaan lahan sudah sangat kurang dan penduduk Kota Palu sudah sangat pada akan
menemui banyak kendala.

16

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian makalah mengenai Garden City/
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah sebagai berikut :
1. Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH)/ Garden City adalah merupakan amanat
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang harus dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah/Pemerintah Kota dalam rangka mewujudkan Kota sebagai tempat
tinggal yang nyaman bagi penghuninya.
2. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau merupakan tanggungjawab Pemerintah dan juga
tanggungjawab masyarakat dimana Ruang Terbuka yang harus ada sebesar 30 % dari luas
wilayah kota, 20 % merupakan ruang publik dan 10 % merupakan ruang privat.
3. Implemetasi penyediaan/pembangunan ruang terbuka hijau di kota-kota di Indonesia masih
sangat jauh dari amanat undang-undang teruma di Kota Palu hanya sebesar 4,64 %.
B. SARAN
Berdasarkan kseimpulan sebagaimana tersebut diatas, penulis memberikan saran
alternatif sebagai berikut :
1. Penerapan sanksi yang tegas terhadap pemerintah Kota yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, khususnya pasal 28 tentang
Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
2. Penerapan sanksi yang tegas terhadap pengembang perumahan yang tidak memperhatikan
ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kompleks perumahan yang dibangun.
3. Perlunya penegasan terhadap segenap komponen masyarakat untuk lebih peduli dalam
pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Privat, dengan penanaman pohon pada
halaman rumah.

17