TUGAS INDIVIDU HUKUM HUMANITER DAN KEJAH

TUGAS INDIVIDU HUKUM HUMANITER DAN KEJAHATAN
INTERNASIONAL

TEORI JUST WAR

ANNISA AMALIA SYUKUR
B111 16 509

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufk dan Hinayahnya sehingga saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam
profesi keguruan.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
saya

dapat

memperbaiki

bentuk

maupun

isi

makalah

ini

sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena

pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu
saya

harapkan

kepada

masukan-masukan

para

yang

pembaca

bersifat

untuk

memberikan


membangun

untuk

kesempurnaan makalah ini.

Makassar,
2018

03

April

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Just

war


adalah

konsep

normatif

yang

cenderung

mengarah pada upaya untuk mencegah agar jangan sampai
terjadi sebuah peperangan, Walaupun sesungguhnya konsep ini
menjelaskan tentang bagaimana negara harus bertindak dalam
melancarkan aksi perang. Just war pada prinsipnya merupakan
justifkasi dilakukannya sebuah peperangan terhadap negara lain
dengan aturan-aturan yang baku, yang setidaknya berupaya
untuk mengurangi kerugian-kerugian akibat perang.
Just war terdiri dari tiga buah kriteria. Pertama adalah jus
ad


bellum

atau

keadilan

alasan

atau

pernyataan

untuk

melancarkan perang. Kedua adalah jus in bello atau keadilan
dalam berperang (membatasi kerusakan dan kehancuran akibat
perang). Yang perlu diingat adalah, jus in bello bukanlah kriteria
untuk mencegah terjadinya perang. Ketiga adalah jus post
bellum atau keadilan seusai perang dilakukan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang teori just war?
2. Bagaimana contoh kasus just war?
C. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini ialah :
1. Menyelesaikan salah satu tugas yang diberikan

2. Mengetahui secara jelas dari teori just war atau perang
dengan cara yang adil

BAB II
PEMBAHASAN

Just

war

adalah

konsep


normatif

yang

cenderung

mengarah pada upaya untuk mencegah agar jangan sampai
terjadi sebuah peperangan, Walaupun sesungguhnya konsep ini
menjelaskan tentang bagaimana negara harus bertindak dalam
melancarkan aksi perang. Just war pada prinsipnya merupakan
justifkasi dilakukannya sebuah peperangan terhadap negara lain
dengan aturan-aturan yang baku, yang setidaknya berupaya
untuk mengurangi kerugian-kerugian akibat perang.
Just war terdiri dari tiga buah kriteria. Pertama adalah jus
ad

bellum

atau


keadilan

alasan

atau

pernyataan

untuk

melancarkan perang. Kedua adalah jus in bello atau keadilan
dalam berperang (membatasi kerusakan dan kehancuran akibat
perang). Yang perlu diingat adalah, jus in bello bukanlah kriteria
untuk mencegah terjadinya perang. Ketiga adalah jus post
bellum atau keadilan seusai perang dilakukan.
Berikut adalah aturan-aturan dalam kriteria jus ad bellum,
yakni: pertama, just cause. Adalah aturan yang mengatur
tentang penyerangan yakni, suatu negara melakukan atau
melancarkan perang harus karena mendapat serangan atau

invasi terlebih dulu dari pihak lain. Motivasi dari kekuatan

bersenjata

yang

dikerahkan

sesungguhnya

hanya

untuk

mempertahankan diri dari serangan pihak lawan.
Kedua,

legitimate

authority.


Maksudnya

adalah

pengambilan keputusan untuk melakukan peperangan mutlak
dihasilkan dari sebuah kekuasaan yang sah dalam negara. Ini
berarti perang yang dilakukan atau dilancarkan adalah atas
nama kepentingan negara, bukan atas dasar kepentingan
individu atau pun kelompok-kelompok tertentu semata. Ketiga,
proportionality. Penggunaan kekuatan bersenjata adalah jalan
pilihan ketika memang ada sebuah tindakan provokasi yang
berarti dari pihak lain.
Keempat,

probability

of

succsess.


Dalam

poin

ini

menitikberatkan, bahwasannya harus terdapat keyakinan yang
menjamin sebuah kesuksesan dengan jalan perang yang diambil.
Jangan sampai terjadi hal yang sia-sia ketika negara sudah
mengorbankan harta, jiwa, raga dan hal-hal lainnya dengan
massif. Kelima, niat dalam melancarkan peperangan harus
berada dalam ranah just cause, artinya alasan semisal untuk
mendapat

keuntungan-keuntungan

material

tidak

dapat

dibenarkan.
Sedangkan dalam kriteria jus in bello Ni Suryani dkk
(2012a) menjelaskan, bahwa jus in bello adalah aturan-aturan
yang mengatur mengenai bentuk-bentuk perlakuan terhadap
pihak

lawan.

Pertama,

senjata-senjata

yang

dilarang

penggunaannya oleh hukum internasional mutlak tidak boleh
digunakan dalam sebuah peperangan. Kedua, tawanan perang
(prisoner) harus diperlakukan dengan baik (manusiawi), karena
setelah tertangkap prisoner bukan lagi menjadi sebuah ancaman
bagi keamanan.

Ketiga, tidak ada senjata jahat atau alat jahat yang berada
dalam dirinya sendiri yang diperbolehkan untuk digunakan,
sebagai contoh adalah weapon mass Destruction (WMD) atau
pun

melakukan

pemerkosaan

masal.

Keempat,

pasukan

bersenjata tidak dibenarkan untuk melanggar aturan-aturan
tersebut, tetapi dimaksudkan sebagai respon terhadap pihak
lawan

yang

golongan

melanggar.

yakni,

Kelima,

combatant

atau

membedakan
pejuang

antara

atau

dua

pasukan

bersenjata dengan non-combatant (sipil).
Kriteria jus in bello menegaskan bahwa golongan sipil
bukanlah objek dari sebuah peperangan yang terjadi. Untuk itu,
dalam melakukan serangan maka harus membedakan dua target
serangan. Pertama, counterforce target. Penyerangan berfokus
pada pusat-pusat militer yang antara lain adalah formasi tentara,
tank, pesawat tempur, kapal perang dan instalasi-instalasi militer
lain yang dapat melemahkan kekuatan militer lawan.
Kedua, countervalue target. Disini penyerangan berfokus
pada sarana dan prasarana yang berdekatan dengan sebuah
kota yang dapat mendukung kapabilitas perang secara umum
seperti pabrik, rel kereta, bandara sipil dan pembangkit listrik.
pada countervalue target meskipun bukan masyarakat atau sipil
yang menjadi target, namun sangat berpeluang besar untuk
menciderai atau melukai sipil bahkan bukan suatu hal yang tidak
mungkin peluang jatuhnya korban jiwa dari pihak sipil pun tak
terelakkan.
Seperti halnya Jus ad bellum dan jus in bello, jus post
bellum juga memiliki aturan-aturan tersendiri. Pertama, hak-hak
prisoner yang pelanggarannya dapat dibenarkan oleh bukti dan
fakta yg otentik harus dikembalikan. Kedua, ketika peperangan

dideklarasikan oleh sebuah otoritas kekuasaan yang sah, maka
ketika perang berakhir otoritas kekuasaan yang sah pun harus
mendeklarasikan kembali perang yang telah usai. Ketiga, dalam
hal

penyusunan

penyelesaian

dengan

ketetapan

dalam

persyaratan, harus dilakukan dengan proporsional. Keempat,
peradilan

internasional

terhadap

kejahatan

perang

harus

diadakan dengan terbuka dan diskriminasi perlakuan antara
combatant dan non-combatant tetap diberlakukan saat vonis
hukuman dijatuhkan terhadap yang terbukti bersalah.
CONTOH KASUS
Terorisme antara Amerika Serikat dengan Afganistan
Pada 11 September 2001, menjadi hari yang tidak pernah
akan terlupakan oleh masyarakat New York. Sekitar pukul 09.00
waktu setempat (pukul 20.00 WIB), sebuah pesawat jumbo jet
menabrak menara World Trade Center (WTC) di New York. Belum
hilang kejutan di saat denyut kehidupan bisnis kota ini baru saja
dimulai, sekitar 18 menit kemudian pesawat kedua menabrak
gedung kembarnya (sebelah Selatan) dengan ledakan yang lebih
dahsyat. Hanya dalam selang waktu satu sampai dua jam kedua
bangunan tertinggi di dunia yang menjadi monumen kota New
York dan pusat fnansial dunia itu runtuh (HotCopy, 2001).
Peristiwa yang terjadi pada 11 September 2001, benarbenar menandai dimulainya suatu babak baru. Alasannya bukan
pada skala serangannya, akan tetapi disebabkan oleh terjadinya
pergeseran fundamental berskala dunia yang datang sebagai
respons yang diambil oleh pemerintahan Amerika Serikat dengan
apa yang disebut sebagai perang terhadap terorisme (Mahajan,
2005: 4).

George W. Bush menyebut kejadian 11 September 2001
sebagai serangan teroris. Konggres

Amerika

Serikat

telah

memberikan lisensi membunuh para teroris kepada pemerintah
George W. Bush sebagai reaksi terhadap tragedi WTC. Sasaran
utamanya adalah Osama bin Laden dan Afganistan, tempat
Osama

bin

Laden

bermukim

sebagai

tamu

kehormatan

pemerintah Taliban. Pemerintah negeri adikuasa ini sangat
geram dan mengerahkan kekuatan besar hanya untuk memburu
satu orang tertuduh saja yang dianggap sebagai penyebab
malapetaka pada 11 September 2001 (HotCopy, 2001).
Gerakan

Taliban,

atau Taliban

adalah

gerakan

nasionalis Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif
menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai
2001.

Kelompok

Taliban

dibentuk

pada

September

1994,

mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Pakistan. Dewan
Keamanan

PBB

kejahatannya

mengecam

terhadap

Taliban

tindakan

warga

melakukan

kelompok

ini

karena

negara Iran dan Afghanistan.
berbagai

aksi

pelanggaran HAM di Afghanistan
Kelompok ini mendapat pengakuan diplomatik hanya dari
tiga negara: Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Arab Saudi, serta
pemerintah Republik Chechnya Ichkeria yang tidak diakui dunia.
Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk
Mullah Mohammed

Omar,

pemimpin

gerakan

ini,

adalah mullahdesa (pelajar yunior agama Islam), yang sebagian
besar belajar dimadrasah di Pakistan. Gerakan ini terutama
berasal dari Pashtun di Afganistan, serta Provinsi Perbatasan
Barat Laut (North-West Frontier Province, NWFP) di Pakistan, dan
juga

mencakup

serta Asia Selatan.

banyak

sukarelawan

dari Arab, Eurasia,

Pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat
karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden
yang juga dituduh Washington mendalangi serangan terhadap
menara kembar WTC, New York pada tanggal 11 September
2001 bekerja sama dengan kubu Aliansi Utara. Invasi ini dimulai
pada bulan Oktober sampai dengan bulan November 2001
dengan secara mengejutkan sehingga pihak Taliban langsung
keluar dari ibukota Afganistan, Kabul sehingga pihak Amerika
relatif cepat dan mudah menguasainya. Akan tetapi beberapa
tahun

setelahnya American

Free

Press mengungkapkan

hal

sebaliknya, yaitu keterlibatan CIA dan agen intelijen Israel,
Mossad dalam peristiwa serangan 11 September 2001 hanyalah
skenario untuk mengakuisisi negara-negara arab, dalam hal ini
Irak dan Afghanistan
Pemerintah Amerika Serikat melihat sosok Osama bin
Laden sebagai satu-satunya orang yang tertuduh dan paling bisa
melakukan tindak terorisme. Apalagi ia pernah mengancam akan
menyerang Amerika Serikat dengan jaringan terorisnya yang
sudah tersebar luas. Sebenarnya sejak November 1998, Amerika
Serikat secara resmi menuduh Osama bin Laden sebagai
pemimpin sebuah jaringan teroris yang disebut Al-Qaeda, dan
bertanggung jawab atas berbagai tindakan yang melawan
kepentingan Amerika.
Pada

tanggal

13

November

2001,

Presiden

Amerika

Serikat, George W. Bush menandatangani Military Order atau
Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa Amerika Serikat berhak
untuk menahan, memperlakukan dan mengadili orang asing
tertentu yang terlibat dalam tindakan terorisme. Dekrit ini
dikeluarkan setelah penyerangan terhadap gedung World Trade
Centre (WTC),

dibuktikan

sebagai

tindakan

terorisme

yang

dilakukan oleh organisasi bernama Al-Qaeda yang dipimpin oleh
Osama Bin Laden, dan berada dibawah rejim Taliban di
Afghanistan. Alasan Pemerintah Amerika Serikat mengesahkan
dekrit tersebut adalah bahwa operasi militer merupakan tindakan
yang efektif dalam mencegah serangan militer, selain itu
penahanan warga negara asing tertentu merupakan hal yang
perlu, untuk kemudian mengadili mereka atas pelanggaran
terhadap hukum perang dan hukum lain oleh pengadilan militer
Amerika Serikat.
Kebijakan presiden George W. Bush terhadap teroris dan
penyerangan di Afghanistan mendapat dukungan dari kedua
partai Republik dan Demokrat, bahkan kongres dari partai
Republik dan Demokrat dengan suara bulat mendukung oprasi
militer di Afghanistan. Selain itu rakyat Amerika Serikat juga
mendukung kebijakan George W. Bush perang terhadap teroris.
George

W.

Bush

membuat

kebijakan

dalam

menggalang

kekuatan untuk menghancurkan negara yang tidak tunduk
kepada kebijakan Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat di
Afghansitan tidak hanya perang melawan teror dan teroris
namun juga memburu Osama bin Laden serta yang tidak kalah
pentingnya adalah menghancurkan pemerintahan Taliban.
Pada tahun 2001 Tentara Amerika Serikat menyerang kota
Kabul dan kota itu hancur lebur. Namun Osama bin Laden dan
Mullah Mohammad Omar tidak pernah ditemukan oleh Amerika
Serikat

pada

pertempuran

tersebut

.

George

W.

Bush

mengultimatum pemerintah Taliban agar menyerahkan Osama
bin Laden dalam waktu tujuh puluh dua jam, hidup atau
mati, dead or alive. Operasi pencariannya akan dilakukan secara
besar-besaran, termasuk pengerahan pasukan di negeri yang
dahulu

pernah

menjadi

sahabat

Amerika

melawan

Rusia.

Amerika Serikat benar-benar marah, dan melihat sosok Osama
bin Laden lebih berbahaya dibandingkan dengan Rusia yang
pernah

menjadi

musuhnya,

sehingga

harus

mengerahkan

kekuatan koalisi global melawan ekstermis Islam yang dituduh
berada dibalik serangan gedung World Trade Center (WTC).
Afghanistan secara geopolitik dikelilingi oleh negara lain
yang sekaligus berfungsi sebagai benteng penghalang masuk ke
Afghanistan, misalnya Pakistan, Iran, Uzbekistan, Tajikistan,
Turkmenistan, India dan Cina (HotCopy, 2001). Bahkan Pakistan
dan India yang semula diembargo akan mendapat kebebasan
apabila

bersedia

menangkap
penguasa

membantu

Osama
Pakistan

Afghanistan

dengan

bin

pihak

Laden.

yang
tegas

Amerika

Jendral

berbatasan
menyatakan

Serikat

Perves

untuk

Musharaf,

langsung
bersedia

dengan
untuk

membantu pihak Amerika Serikat, termasuk kemungkinan untuk
menjadikan Pakistan sebagai base camp tentara Amerika Serikat
(Mahajan, 2005).
Ancaman dari George W. Bush sungguh mengkhawatirkan.
Separuh dari penduduk Kandahar, benteng pertahanan dan
tempat tinggal Mullah Mohammad Omar, pemimpin tertinggi
Taliban, telah meninggalkan kota. Arus pengungsi juga terjadi di
Kabul, ibu kota Afganistan dan Jalalabad, benteng dan tempat
permukiman Mullah Mohammad Omar. Amerika Serikat telah
melakukan pengeboman di Afganistan namun tidak efektif,
karena negara ini tidak mempunyai banyak sasaran yang bernilai
untuk dihancurkan. Penggunaan pasukan elit dimaksudkan untuk
tegas penyergapan, menculik atau membunuh orang yang
dicurigai dan
Serikat

untuk

melumpuhkan

menggunakan Rambo yang

orang

Taliban.

mempunyai

Amerika

kemampuan,

keuletan, akurasi dan keberuntungan untuk melibas Osama bin
Laden dan pemerintah Taliban.
Skenario utama yang dipakai Amerika Serikat adalah
memanfaatkan pihak-pihak lain untuk keberhasilan serangan ini
agar dapat menaikkan kembali gengsi Amerika sebagai negara
adikuasa nomor satu di dunia. Skenario tersebut antara lain
adalah pertama, mendukung Aliansi Utara dari Uzbekistan dan
Tajikistan. Kekuatan anti-Taliban ini masih menguasai sekitar
10% wilayah Utara Afganistan. Kedua, menyerang dari Pakistan,
suatu celah masuk yang sudah lama dikenal dan sangat efektif.
Untuk itu kalau mau bekerja sama menghajar Taliban, Pakistan
mendapat

kompensasi

khusus

penghapusan

embargo

dan

keringanan hutang padahal Taliban adalah produk kesalahan dari
Pakistan dan Amerika juga. Ketiga, mencoba masuk dari Iran
yang selama ini kurang diperhatikan Taliban dalam sistem
pertahanannya. Walaupun medannya sulit, tetapi unsur kejutan
membuat jalur ini perlu diperhitungkan (HotCopy, 2001).
Pada perang melawan teroris ini, Pemerintah Amerika
Serikat

memang

bersenjata

melakukan

terhadap

tindakan

Afghanistan,

dengan

dengan

serangan

tujuan

untuk

melakukan “self defense” atau bela diri. Akan tetapi, tindakan
bela diri yang dimaksud Amerika Serikat adalah tindakan bela
diri dari serangan teroris, bukan tindakan bela diri terhadap
serangan

angkatan

bersenjata

suatu

negara,

atau

suatu

kelompok yang terorganisir. Hanya saja serangan yang dilakukan
Amerika Serikat terhadap Afghanistan, berdasarkan pendapat
Oppenheim dan hukum perang11 merupakan perang, sehingga
hukum humaniter harus diberlakukan (Mark, 2003).
Kurang dari satu bulan, pasca tragedi 11 September 2001,
pasukan

Amerika

Serikat

mendarat

di

Afghanistan

untuk

menyerang Al-Qaeda dan pemerintah Taliban. Kehadiran militer
Amerika Serikat secara permanen tersebut di Afghanistan saja
jumlahnya sekitar 5.000 pasukan yang ditempatkan di bekas
pangkalan udara Rusia di Bagram dan sekitar 3.000- 4.000
personil

lainnya

di

Kandahar,

ditambah

lagi

di

beberapa

pangkalan lebih kecil lainnya (Mahajan, 2005). Pada awalnya
pemerintah Taliban berhasil dikalahkan, namun seiring dengan
berjalannya waktu kekuatan dari Taliban bertambah kuat.
Pemerintah

Taliban

nampaknya

agak

susah

untuk

dikalahkan oleh pihak Amerika Serikat. Adapun pertimbangan
mengapa sampai detik ini Amerika Serikat tidak menggunakan
senjata nuklir tentu bukan alasan kemanusiaan dan perlindungan
terhadap lingkungan sekitarnya terkait jejak bom nuklir yang
bisa

merusak

kemungkinan

alam
kecil

sekitarnya,

tetapi

ini

mencapai

kemenangan

berdasarkan
meskipun

menggunakan senjata nuklir melawan Taliban. Kenyataan ini
menjelaskan bahwa arsitek perang Amerika dan NATO melawan
Taliban juga tidak melihat ada kemenangan walaupun bom nuklir
dijatuhkan di Afghanistan.
Pertimbangan tersebut antara lain adalah pertama, senjata
bom

nuklir

hanya

mampu

mengalahkan

sasaran

yang

terkonsentrasi dalam satu lokasi seluas kurang lebih 50 mil.
Kedua, pasukan milisi Taliban merupakan pejuang yang sudah
mempertimbangkan kondisi adanya kemungkinan serangan bom
nuklir ini, sehingga sudah dipastikan akan membentuk kolonikoloni kecil dalam setiap radius 50 mil. Ketiga, serangan 20
megaton bom nuklir tidak mungkin dijatuhkan hanya untuk
membunuh sebuah koloni Taliban yang berisi milisi Taliban
dalam jumlah kecil.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perang adalah sesuatu yang salah, tetapi diperlukan. Begitu
pengertian ringkas ‘Just War’, menurut Peter S. Temes, penulis
buku ‘the Just War’. Berakar di ajaran agama-agama, teori
modern-sekuler

tentang

‘Just

War”,

menempatkan

negara

sebagai

aktor

dengan

legitimasi

memerintahkan

dan

melaksanakan perang. Kriteria melakukan sebuah just war,
pertama kali diringkas oleh seorang ahli flsafat Belanda Hugo
Grotius pada abad ke-17 dan bersumber pada ahli-ahli agama
Katolik

tua,

terdiri

atas

tujuh

elemen:

(1) bahwa ada penyebab yang dibenarkan;
(2) bahwa ada otoritas yang benar (penguasa yang sah) yang
memprakarsai perang tersebut;
(3) maksud yang benar dari pihak-pihak yang menggunakan
kekuatan;
(4) bahwa pilihan menggunakan kekuatan adalah proporsional;
(5) bahwa penggunaan kekuatan merupakan pilihan terakhir;
(6) bahwa perang ditempuh dengan kedamaian sebagai tujuan
akhirnya (bukan karena semata-mata ingin berperang);
(7) bahwa ada harapan yang masuk akal bahwa upaya perang
tersebut akan berhasil.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.academia.edu/4035509/

Cluster_Bombs_dan_Teori_Just_War_Perlindungan_Sipil_dal
am_Perang?auto=download

2. https://ferysetiawan09.wordpress.com/2015/06/09/just-

war-concept/
3. https://bintangmerahh.blogspot.co.id/2015/04/teori-just-

war-dan-contoh-kasusnya.html