PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM LINGKUP M

PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM LINGKUP
MASYARAKAT INTERNASIONAL
Oleh:
Syaputra, S. H.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pidana mati dalam lingkup masyarakat internasional telah sekian
lama digunakan. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian sejarah yang
menyebutkan bahwa pidana mati telah digunakan pada abad 18 Sebelum
Masehi (SM) dalam hukum yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari
Babilonia. Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan
di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet).
Tidak hanya itu, penggunaan pidana mati juga telah diterapkan dibawah
naungan hukum kerajaan Inggris pada abad ke 10. Beberapa negara juga
menerapkan pidana mati untuk menghukum pelaku kejahatan-kejahatan
yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa hingga tahun 1989.1
Anggapan atas kesadisan dan kekejian penggunaan pidana mati
terhadap pelaku kejahatan, memang menyebabkan sebagian masyarakat
internasional tidak memberikan pengakuan dan tempat kepada sanksi
pidana mati karena ketidaksesuaian dengan kehidupan demokratis dan

berbudaya yang dianut dalam kehidupan masyarakat internasional.
Pengakuan yang tidak diberikan kepada sanksi pidana mati ini tertuang
dengan dikeluarkannya tanggapan berupa Protokol Opsional Kedua pada
International Convenant On Civil And Political Rights (Konvenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) oleh komisi PBB
dibawah pengawasan Human Rights Committee yang ditujukan untuk
penghapusan hukuman mati pada tahun 1989.
1

Ayub Tory S. K., 2002, Hukuman Mati Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Hak
Asasi
Manusia
Internasional,
Diakses
di
Laman
www.ayub.staf.hukum.uns.ac.id Pada Tanggal 18 April 2015.

1


Hingga Juni 2006 terdapat 68 negara yang masih menerapkan
praktek pidana mati, termasuk Indonesia, meskipun terdapat 88 negara
yang telah menghapuskan pidana mati untuk seluruh kategori kejahatan,
11 negara menghapuskan pidana mati untuk kategori kejahatan pidana
biasa, 30 negara melakukan moratorium pidana mati, dan total 129 negara
yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap pidana mati.2
Pidana mati telah lama diterapkan di Indonesia sebagai pidana
pokok dan sebagai hukuman yang paling berat terhadap tindak pidana
tertentu yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime). Penerapan pidana mati dimulai ketika Belanda menerapkan asas
konkordansi pada tanah jajahannya, yaitu Indonesia pada tahun 1918
melalui Wetboek van Strafrecht dengan turunannya Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang dikhususkan untuk masyarakat
pribumi di Indonesia yang kemudian diberlakukan melalui UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana sebagaimana kita
kenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Secara yuridis, pidana mati sebagai instrumen hukum nasional
termaktub dalam Pasal 10 KUHP sebagai bagian dari pidana pokok di
hierarki teratas dan beberapa undang-undang khusus di luar KUHP yang
juga menyebutkan mengenai sanksi pidana mati. Penempatan pidana mati
pada heirarki teratas dimaksudkan bahwa ancaman pidana mati merupakan

ancaman serius dan yang paling berat yang ditujukan hanya untuk
kejahatan-kejahatan tertentu.
Meskipun pidana mati diterapkan dan telah dilaksanakan terhadap
beberapa terpidana mati, tetap saja keputusan ini menuai pro kontra di
kalangan publik, baik secara nasional maupun dalam lingkup masyarakat
internasional. Pelaksanaan pidana mati dianggap bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia (HAM), seperti hak untuk hidup. Melalui pengakuan hak
untuk hidup tersebut, seseorang memiliki kebebasan untuk melanjutkan
kehidupannya tanpa ada batasan-batasan yang dapat mengurangi hak
2

Ibid.

2

tersebut. Tidak hanya itu, beberapa pandangan menyatakan bahwa pidana
mati dapat menyebabkan ketidakadilan, dan bukan merupakan upaya
efektif untuk memasyarakatkan karena sering kejahatan dilakukan karena
panas hati dan emosi (di luar jangkauan kontrol manusia), sehingga tidak
sepantasnya dijatuhi hukuman yang berlebihan dari apa yang dia perbuat. 3

Pada level tersebut, tujuan pidana idealnya adalah untuk memperbaiki atau
meresosialisasi individu pelaku dari sifat-sifat jahatnya agar kembali
normal dan menjadi individu yang baik dan diterima dalam masyarakat.4
Berbeda dengan alasan di atas, beberapa pandangan menyatakan
bahwa pelaksanaan dan penerapan sanksi pidana mati sangat dibutuhkan
karena pidana mati ditujukan untuk menjerakan dan menakutkan penjahat,
dan relatif tidak menimbulkan sakit jika dilaksanakan dengan tepat.5
Tujuan pidana sebagai tujuan untuk membalaspun tersampaikan, karena
pada dasarnya sifat-sifat manusia itu tidak dapat diperbaiki dan merupakan
faktor biologis yang telah dibawa sejak lahir.6 Kemudian, selama
perbuatan-perbuatan

itu

melanggar

perikemanusiaan

dan


sangat

mengancam kehidupan masyarakat luas tentu saja pidana mati harus
dilaksanakan dan diancamkan kepada pelaku sebagai bagian dari
pertanggungjawaban atas perbuatannya yang harus diterima olehnya.7
Bertolak dari adanya pertanggungjawaban pelaku terhadap
perbuatannya yang harus dibalas, maka pidana mati dianggap sangat
penting untuk beberapa tindak pidana tertentu. Urgensitas sanksi pidana
mati bagi tindak pidana tertentu, tentu saja seperti disebutkan sebelumnya
ditujukan hanya pada ketentuan-ketentuan kejahatan yang luar biasa, yang
mengakibatkan efek yang meluas dan efek yang berkelanjutan terhadap
korbannya baik korban sebagai indvidu, ataupun masyarakat bahkan
negara sekalipun. Sehingga dengan adanya efek yang berdampak sangat
3

Muladi et al, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, Hlm.
63.
4
Ibid, Hlm. 32.
5

Andi Hamzah et al, 1985, Pidana Mati di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Hlm. 27.
6
Ibid.
7
Ibid, Hlm. 28.

3

hebat terhadap korbannya dan menimbulkan kerugian yang mendalam
tentu saja tidak dapat berimbang jika pidana mati tidak diterapkan karena
mengingat ancaman yang sangat berbahaya untuk kelanjutan kehidupan
korbannya.
Telah banyak kasus-kasus kejahatan di teritorial hukum nasional
Indonesia yang menerapkan sanksi pidana, di mana di antaranya
diterapkan terhadap warga negara asing. Beberapa kasus tersebut di
ataranya adalah tindak pidana narkotika dengan terpidana mati ekspatriat
asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran 2006, tindak pidana
terorisme dengan terpidana mati Amrozi cs tahun 2003, tindak pidana
pembunuhan dengan terpidana mati Gunawan Santoso tahun 2004 dan

masih 133 terpidana mati lagi yang belum dilaksanakan eksekusi mati.8
Indonesia, meskipun sebagai bagian dari masyarakat internasional
yang turut menandatangani dan tunduk konvenan Human Rights, tetap
bertahan dengan pendiriannya untuk menerapkan pidana mati dengan
penafsiran dan alasannya sendiri. Seperti yang baru-baru ini kita saksikan
bagaimana Presiden Jokowi tak gentar menerapkan sanksi tersebut
meskipun pihak Australia terus menerus melakukan berbagai lobi tertentu
agar warga negaranya mendapat pengampunan. Atas dasar latar belakang
di atas, pembahasan terkait konsistensi pemerintah Indonesia dalam
menerapkan pidana mati beserta landasan yuridis serta sosiologisnya
dalam mempertahankan eksistensi pidana mati menjadi menarik untuk
dikaji.
B. Rumusan Masalah
Atas latar belakang singkat di atas, penulis menarik sebuah
rumusan masalah yaitu bagaimana urgensitas penerapan sanksi pidana
mati di Indonesia dalam lingkup masyarakat internasional?

8

Qur’anul Hidayat, 2015, 133 Terpidana Mati Belum Dieksekusi, Diakses di

Laman news.okezone.com Pada Tanggal 18 April 2015.

4

PEMBAHASAN
A. Landasan Yuridis Pidana Mati
Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
memberikan definisi pidana mati yaitu pidana yang dijalankan oleh algojo
di tempat gantungan dengan menjeratkan tali gantungan pada leher
terpidana, kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Pasal ini
tidak memberikan penjelasan secara harfiah apa yang dimaksud dengan
pidana mati melainkan menjelaskan teknis dari pelaksanaan pidana mati
itu sendiri.
Tidak ada pendapat ahli yang secara eksplisit menjelaskan apa
yang dimaksud dengan pidana mati karena pada dasarnya definisi pidana
mati dianggap tidak perlu dituangkan secara tegas. Hal ini dikarenakan
kata-kata pidana mati itu sendiri telah dapat menjelaskan apa yang
dimaksud dengan pidana mati. Tetapi disini penulis berkesimpulan bahwa
pidana mati adalah sanksi atau hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana tertentu dengan melenyapkan atau mengambil nyawanya

sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya dan mengakibatkan
efek yang meluas dalam jangka panjang dengan tujuan untuk memberikan
kejeraan terhadap pelaku maupun calon pelaku dengan eksekusinya yang
dilakukan melalui berbagai cara.
Pidana mati dalam masyarakat internasional memang telah hilang
pengakuannya dan beberapa negara telah menghapuskan pidana mati ini.
Hal ini terkait dengan adanya intevensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
mengupayakan menghilangkan pidana mati dengan dibentuknya komite
terhadap instrumen HAM. Komite ini yang bertugas dalam mengawasi
perjanjian-perjanjian

dalam

hukum

internasional

yang

berbentuk


konvenan. Dengan adanya konvenan sebagai produk yang dihasilkan oleh
masyarakat internasional bertujuan untuk membatasi dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak individu internasional.
5

Beberapa konvenan yang dihasilkan oleh komite-komite pengawas
instrumen Hak Asasi Manusia beberapa diantaranya telah diratifikasi dan
diaksesi oleh pemerintah Indonesia, yaitu:9
1. Konvensi

Internasional

Pennghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminasi Rasial (CERD) yang telah diratifikasi melalui

Undnag-Undang Nomor 20 Tahun 1999;
2. Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (CCPR)
yang telah diratifikasi Oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005;
3. Protokol Opsional Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik (CCPR);
4. Protokol Opsional Kedua Konvenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik, Untuk Penghapusan Hukuman Mati (CCPR);
5. Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(CESCR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005;
6. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi menjadi UndnagUndang No 7 Tahun 1984;
7. Protokol opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) ditanda tangani;
8. Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Manusia (CAT) yang telah diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;
9. Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT);

9

Syaldi Sahude, 2008, Status Ratifkasi Indonesia Untuk Instrumen
Internasional Ham, diakses pada laman www.syaldi.web.id pada tanggal 20
April 2015.

6

10. Konvensi Tentang Pelindungan Terhadap Semua Orang dari
Tindak Penghilangan Secara Paksa;
11. Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi melalui
Undnag-Undang No. 36 Tahun 1990;
12. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan
Anak dalam Konflik Bersenjata (CRC) ditandatangani;
13. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan
Anak,

Prostitusi

Anak

dan

Pornografi

Anak

(CRC)

ditandatangani;
14. Konvensi Internasional Perlindungan Untuk Buruh Migran dan
Keluarganya (CMW) ditandatangani;
15. Konvensi Hak-Hak Penyandang Cacat (CRPD) ditandatangani;
dan
16. Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Penyandang Cacat
(CRPD).
Begitu banyaknya pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam
masyarakat internasional pada akhirnya menyurutkan eksistensi pidana
mati karena dianggap bertentangan keras dengan sifat-sifat kemanusiaan
yang berlandaskan pada hak-hak asasi manusia. Konvensi-konvensi
tersebut mengikat negara-negara yang menjadi anggota dalam perjanjian,
tetapi tidak serta merta perjanjian tesebut menundukkan hukum nasional
dalam suatu negara. Hal itu dikarenakan hukum internasional yang
sifatnya sebagai compelementary law (hukum pelengkap).
Beberapa konvenan yang telah disebutkan di atas ada yang
diratifikasi dan ada pula yang diaksesi oleh pemerintah Indonesia sehingga
pada dasarnya Indonesia terikat dalam perjanjian-perjanjian internasional.
Oleh karena itu, terhadap pidana mati yang diberlakukan di Indonesia
mendapat pertentangan yang hebat dari masyarakat internasional.
Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan
Martabat Manusia (CAT) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang
7

Nomor 5 Tahun 1998 tentu saja menjadi tolak ukur masyarakat
internasional dalam menyikapi pidana mati di Indonesia. Ratifikasi
terhadap konvensi ini telah memperlihatkan bahwa Indonesia juga ikut
serta dalam dalam mengakui dan menentang penghukuman yang kejam
(dalam hal ini pidana mati dianggap kejam dan tidak manusiawi) sehingga
pidana mati sangat bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini. Begitu
juga Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi oleh Indonesia yang pada dasarnya mengakui hak-hak setiap
orang untuk hidup sekalipun itu adalah pelaku kejahatan yang tidak bisa
dimaafkan

perbuatannya.

Disebutkan

pula

bahwa

dalam

hukum

internasional terdapat asas civitas maxima, apanila dikaitkan dengan teori
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional maka merek
adalah satu kesatuan sistem dengan menempatkan hukum internasioanal
diaas hukum nasional.10
Terlepas dari hal itu, Indonesia tetap memiliki peraturan-peraturan
pidana mati yang diberlakukan secara tegas dalam hukum positifnya.
Pengaturan mengenai pidana mati di Indonesia dapat kita jumpai di
berbagai produk undang-undang di Indonesia. KUHP (Kitab UndangUndnag Hukum Pidana) merumuskan beberapa pasal yang di dalamnya
tercantum mengenai ancaman pidana mati, yaitu:
1. Pasal 104 KUHP mengenai perbuatan makar terhadap Presiden
dan Wakil Presiden.
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP mengenai upaya untuk membujuk
negara asing supaya bermusuhan atau berperang (dalam hal ini
jika upaya tersebut terealisasi).
3. Pasal 124 ayat (1) KUHP mengenai perbuatan membantu
musuh saat perang.
4. Pasal 124 bis KUHP mengenai perbuatan yang menyebabkan
atau memudahkan atau menganjurkan terjadinya huru hara.
10

Eddy Os Hiariej, 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga,
Jakarta, Hlm. 25-26.

8

5. Pasal 140 ayat (3) KUHP mengenai perbuatan makar terhdap
raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncakan dan
berakibat maut.
6. Pasal 340 KUHP mengenai tindak pidana pembunuhan
berencana.
7. Pasal 365 ayat (4) KUHP mengenai tindak pidana pencurian
dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati.
8. Pasal 444 KUHP mengenai pembajakan di laut, da pesisir dan
di sungai yang mengakibatkan kematian.
9. Pasal 479k ayat (2) KUHP mengenai perampasan atau
pembajakan dengan kekerasan dan menyebabkan matinya
seseorang atau hancurnya pesawat udara dengan melanggar
ketentuan Pasal 479i dan Pasal 479j.
10. Pasal 479o ayat (2) mengenai perbuatan yang dilakukan
berdasarkan Pasal 479i, Pasal 479m dan Pasal 479n sehingga
menyebabkan kematian seseorang atau hancurnya pesawat
udara.
Kemudian pengaturan mengenai pidana mati juga tertuang di
berbagai undang-undang di luar KUHP, beberapa diantaranya adalah:
1. Undang-Undang No. 2 (Pnps) Tahun 1964 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yang ditetapkan
menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969.
2. Pasal per pasal dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, diantaranya:
a. Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi:
“Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
9

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).”
b. Pasal 114 ayat (2) yang berbunyi:
“Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”
c. Pasal 116 ayat (2) yang berbunyi:
“Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).”
d. Pasal 118 ayat (2) yang berbunyi:
“Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).”
e. Pasal 119 ayat (2) yang berbunyi:
“Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
10

(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).”
f. Pasal 121 ayat (2) yang berbunyi:
“Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan
oranglain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkannorang lain mati atau cacat permanen,
pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
palinglama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3(sepertiga).”
g. Pasal 133 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu,
memberikan
kesempatan,
menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau
membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111,
Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal
117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).”
3. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan.”
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentdang Pemberantasan Tindak Pidana
11

Terorisme yang diantara pasal-pasalnya mengancamkan pidana
mati, yaitu:
a. Pasal 6 yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
b. Pasal 9 yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke
Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke
dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau
sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang
berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana
terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
c. Pasal 10 yang berbunyi:
“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau
komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau
rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan
korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap
kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan,
keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan,
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis,
lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas
internasional.”
d. Pasal 14 yang berbunyi:
12

“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan
orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.”
e. Pasal 15 yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat,
percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak
pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidananya.”
f. Pasal 16 yang berbunyi:
“Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia
yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.”
g. Pasal 19 yang berbunyi:
“Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16
dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana
terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.”
Dapat dilihat

dalam

beberapa

undang-undang yang telah

disebutkan di atas dengan secara tegas merumuskan perbuatan-perbuatan
yang dapat diancamkan pidana mati terhadap pelakunya dengan
menjadikan sanksi pidana mati sebagai sanksi alternatif dengan hierarki
teratas. Sangat jelas bahwa perbuatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal
diatas merupakan perbuatan yang sangat merugikan dan berdampak secara
sistematis terhadap korban, baik individu maupun negara sehingga pidana
mati menjadi ancaman yang paling utama dalam pasal-pasal tersebut.
Meskipun pada akhirnya kewenangan hakimlah untuk memutus suatu
13

perbuatan itu dapat dijatuhi pidana yang diancamkan sesuai dengan isi
pasal yang dilanggar.
Diadopsinya pidana mati dalam beberapa pasal yang terdapat
dalam beberapa undang-undang tersebut tentu saja secara tegas ingin
menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak ingin melepaskan dan
menghapuskan pidana mati untuk memidana pelaku tindak pidana yang
sangat membahayakan dan berdampak sistematis terhadap kehidupan
korban. Seperti yang katakan oleh Oemar Senoadji bahwa selama negara
masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang
terancam oleh bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan
dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal prikemanusiaan,
maka negara masih memerlukan pidana mati.11
B. Penerapan Sanksi Pidana Mati di Indonesia
Pelaksanaan pidana mati yang telah dilegitimasi dalam berbagai
aturan dalam hukum positif Indonesia sudah acapkali diterapkan.
Penerapan sanksi pidana mati ditujukan pada tindak pidana khusus yang
sifatnya menyebar dan meluas. Pidana mati yang menjadi sorotan
masyarakat internasional hanyalah pada kasus-kasus yang sifatnya lintas
negara (transnational crime). Salah satu contoh kasus yang menjadi
penerapan sanksi pidana mati adalah kasus “bali nine”. Kasus “bali nine”
merupakan kasus penyelundupan narkoba 8,2 kg dari Australia ke
Indonesia dengan dinahkodai oleh Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Mereka divonis hukuman mati

pada tanggal 14 Februari 2006 oleh

Pengadilan Negeri Denpasar.
Berdasarkan hierarki kejahatan internasional yang didasarkan atas
281 Konvensi Internasional Tahun 1918, penyelundupan narkotika
termasuk dalam international delicts (tindak pidana internasional) karena
berkaitan dengan kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih

11

Oemar Senoadji dalam Andi Hamzah et al, Op. Cit, hlm. 28.

14

dari satu negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal lebih dari
satu negara.12
Dilihat dari kasus “bali nine”, penyelundupan narkotika termasuk
dalam karakteristik kejahatan internasional secara materiil. Ini dikarenakan
kejahatan tersebut merupakan kejahatan lintas batas teritorial suatu negara
dan

kejahatan

tersebut

telah

dikualifikasikan

dalam

konvensi

internasional.13 Sehingga berdasarkan prinsip universal, pelaku kejahatan
dapat dihukum berdasarkan hukum positif nasional.14
Prinsip universal ini juga didukung oleh asas aut dedere aut
judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban menuntut dan
mengadili pelaku kejahatan internasional serta berkewajiban melakukan
kerja sama dengan negara lain dalam rangka menahan, menuntut, dan
mengadili pelaku kejahatan internasional.15 Pelaku kejahatan internasional
diadili berdsarkan hukum di tempat ia melakukan kejahatan (locus delicti)
yang berdasarkan asas aut dedere aut punere.16 Berlandaskan atas asasasas yang telah disebutkan maka menjadi hak sepenuhnya pemerintah
Indonesia untuk menerapkan hukum nasionalnya.
Penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan terutama
dalam kasus “bali nine” juga didasarkan atas asas legalitas hukum nasional
yang dicantumkan dalam Pasal 1 KUHP Indonesia dan asas teritorial yang
dicantumkan dalam Pasal 2 KUHP Indonesia. Legitimasi pidana mati
dalam perundang-undangan mempertegas bahwa tidak ada celah untuk
menyurutkan eksistensi pidana mati agar tetap diterapkan dalam tindak
pidana tertentu.
Pertanggungjawaban pelaku yang pada akhirnya menerima
ancaman pidana mati didasari atas adanya kehendak dan mengetahui
(willen en wetens) bahwa pelaku menghendaki akibat dari tindak pidana
dan mengetahui apakah tindak pidana tersbut dapat dilaksanakan atau
12
13
14
15
16

Eddy OS Hiariej, Op. Cit, Hlm. 57.
Ibid, Hlm. 54.
Ibid.
M. Cherif Bassiouni dalam Eddy OS Hiariej, Ibid, Hlm. 26.
Hugo de Groot dalam Eddy OS Hiariej, Ibid.

15

tidak.17 Oleh karena itu,

dengan adanya kehendak dan pengetahuan

tersebut, unsur kesengajaan terpenuhi sehingga kesalahan yang dilakukan
pelaku kejahatan dapat dimintai pertanggungjawaban.18 Sekalipun
ancaman pidana mati melanggar hak-hak individu pelaku, perbuatan yang
telah dilakukan merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat secara
luas dan sangat merugikan secara sistemis sehingga sangat perlu sanksi
pidana yang setimpal atas perbuatannya yang ditujukan pada pelaku dan
calon pelaku.19
C. Beberapa Pendapat Terhadap Pro dan Kontra Pidana Mati
Hadirnya pidana mati tentu saja mendattangkan perdebatan
panjang antar pendukung dan penolak sanksi ini. Penolakan sanksi pidana
mati ini bagi sebagian kalangan dianggap sangat bertentangan dengan
aliran modern pemidanaan.
Cesarie Beccaria memandang bahwa pidana mati itu hanya
menyia-nyiakan sumber daya manusia yang merupakan modal utama bagi
negara karena alasan utama penjatuhan pidana adalah untuk menjamin
kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan
kejahatan. Oleh karena itu, pidana mati hanyalah akan membangun
sentimen moral.20
Jeremy Bentham memberikan pandangan bahwa pemidanaan itu
bersifat memperbaiki dan digunakan bukan untuk pembalasan pelaku
melainkan untuk mencegah kejahatan.21
Selanjutnya dalam pandangan Roeslan Saleh mengemukakan
bahwa pemidanaan itu bertujuan untuk memperahankan kelestarian hidup
besrsama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan sekaligus sebagai

17

Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm.
118.
18
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 155.
19
Muladi et al, Op. Cit, Hlm. 27.
20
Ibid, Hlm. 30.
21
Ibid, Hlm. 31.

16

penentuan hukum yang merupakan koreksi dari reaksi atas sesuatu yang
bersifat hukum.22
J. E. Sahetapy berpandangan bahwa tujuan pemidanaan bukanlah
semata-mata untuk oenderitaan agar pelaku menjadi jera dan merasa
menderita akibat perbuatannya yang dibalaskan melainkan derita itu harus
sebagai obat untuk pelaku bertobat.23 Dalam hal ini merupakan beliau
menggunakan paham determinisme yang berarti bahwa perbuatan jahat
seseorang bukan karena keinginannya melainkan adanya faktor luar yang
mempengaruh dan mendukung perbuatan it dilakukan.
Flinterman, anggota Komite HAM asal Belanda menyampaikan
ketidaksetujuannnya terhadap pidana mati karena Komite HAM PBB
menganggap kejahatan narkotika tak termasuk kejahatan serius. Meskipun
Kovenan Sipol memang tidak melarang praktik hukuman mati masih
diterapkan oleh negara pihak tapi syarat-syaratnya ketat. Diantaranya,
hukuman mati hanya untuk kejahatan yang tergolong serius.24
Anggota Komite HAM PBB asal Kosta Rika, Victor Manuel
Rodriguez, menegaskan secara umum lembaga HAM internasional
memandang kejahatan narkotika bukan kejahatan serius. Kejahatan
narkotika lebih disepakati sebagai masalah besar yang perlu diselesaikan
dengan solusi yang besar dan komprehensif. Sehingga tidak tepat jika
hukuman mati dianggap sebagai solusi dalam memberantas kejahatan
narkotika. Butuh perbaikan menyeluruh dan meliputi berbagai bidang
seperti akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak.25
Dapat diihat bahwa munculnya pandangan yang menentang
keberadaan pidana mati itu hanya didasarkan pada anutan teori
pemidanaan modern dan gabungan yang memberikan pandangan bahwa
tujuan pemidanaan itu hanya bersifat rehabilitasi dan reintegrasi sosial
demi mengembalikan keseimbangan.
22

Ibid, Hlm. 22.
Ibid, Hlm. 23.
24
Ady, 2015, Komite Ham Pbb Sesalkan Rencana Eksekusi Mati, diakses di
laman www.hukumonline.com pada tanggal 20 April 2015.
25
Ibid.
23

17

Urgensitas sanksi pidana mati diperkuat oleh putusan yurisprudensi
(Mahkamah Konstitusi) dalam putusannya menyatakan hukuman mati
dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin
UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak
menganut asas kemutlakan. Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, hak
asasi yang dijamin dalam pasal 28A hingga 28I UUD 1945 sudah dikunci
oleh pasal 28J yang berfungsi sebagai batasan. Hak asasi dalam konstitusi
mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain
demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan
demikian, hak asasi manusia harus dibatasi melalui instrumen UndangUndang.26
Makamah Konstitusi menyatakan bahwa semua jenis kejahatan dan
kualitas kejahatan tidak dapat disamaratakan karena dasar filosofinya
bahwa tindakan (treatment) berupa rehabilitasi, reintegrasi sosial
(resosialsiasi) hanya berlaku pada kejahatan-kejahatan tertentu dengan
kualitas tertentu.27 Mahkamah Konstitusi berpendapat lagi

bahwa

Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk
Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan
penghapusan hukuman mati karena dalam pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri
membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara
peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.28
Pendapat lain mengatakan bahwa kejahatan itu menghendaki
adanya pembalasan, bila seseorang itu telah mencederai hak-hak individu
lain dan tidak menunjukkan rasa bersalahnya, maka negara berhak dan
berkewajiban untuk melenyapkan dia dari masyarakat.29

26

Putusan MK, 2007, Terikat Konvensi Internasional Hukuman Mati Mesti Jalan
Terus, diakses pada laman www.hukumonline.com pada tanggal 20 April
2015.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Andi Hamzah et al, Op. Cit, Hlm. 29.

18

Lambroso berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang
mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan invidu yang tidak
mungkin dapat diperbaiki lagi.30
Hartawi A.M mengemukakan bahwa ancaman dan pelaksanaan
pidana mati sebagai suatu social defence yang artinya bahwa pidana mati
itu merupakan perlindungan sosial untuk menhindarkan masyarakat calon
korban dari ancaman bahaya yang dapat mengakibatkan kesengsaraan dan
menganggu ketertiban serta keamanan masyarakat pada umumnya.31
Berdasarkan pandangan teori absolut yang dikemukan oleh Johan
Adenanes, tujuan pemidanaan adalah untuk memuaskan tuntutan
keadilan.32 Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kenapa orang yang melakukan kejahatan sehingga dasar
pembenaran dari pidana terletak pada perbuatan itu sendiri.33
John Kaplan adalah penganut teori retributif yang memandang
bahwa tujuan pemidanaan itu terbagi atas pembalasan dan penebusan dosa
yang artinya adalah pemidanaan itu harus berorientasi pada kualitas tindak
pidana

yang telah

dilakukan.34 Pemidanaan

itu tergantung

atas

kesepadanan kesalahan pelaku.35
Berdasarkan beberapa pandangan dan teori pemidanaan tersebut
dapat disempitkan bahwa tujuan dari pemidanaan itu mutlak sebuah
pembalasan, hanya saja orientasi pembalasan itu haruslah sepadan atau
berimbang dengan kualitas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh
pelaku kejahatan tertentu. Tindak pidana tertentu yang memberikan
ancaman

besar

yang

tersistematis

dan

berkepanjangan

terhadap

masyarakat secara luas dangat tentu juga harus dibarengi pemidanaan
dengan kualitas tertentu pula. Jika perbuatan itu melanggar ketetuan
hukum positif mengenai ancaman pidana mati, sudah sewajarnya sanksi
30
31
32
33
34
35

Ibid.
Hartawi A. M, dalam Andi Hamzah, Ibid, Hlm. 30.
Muladi et al, Op. Cit, Hlm. 11.
Ibid.
Ibid, Hlm. 13.
Ibid, Hlm. 12.

19

yang diberikan itu adalah pidana mati sebagai sanksi alternatif yang berat
dan melalui pertimbangan yang cermat tentunya.
D. Urgensitas Sanksi Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati sebagai pidana pokok dalam KUHP dan sebagai
sanksi pidana dengan ancaman terberat di luar KUHP memiliki posisi yang
vital. Kepentingan pidana mati dalam memberikan efek jera dan
pencegahan terhadap kejahatan berdampak signifikan meskipun tidak
secara menyeluruh. Pidana mati tidak dapat ditolak dan dihapuskan dalam
hierarki jenis-jenis sanksi pidana.
Telah disebutkan bahwa penjatuhan sanksi pidana mati memiliki
alasan yang jelas. Pidana mati tidak serta merta dijatuhkan pada semua
tindak pidana. Hanya pada tindak pidana jenis tertentu yang dalam hukum
positif Indonesia mengkategorikan sebagai tindak pidana luar biasa karena
dapat memberikan dampak yang berkepanjangan, sistemik dan massive.
Sehingga sewajarnyalah jika tindak pidana dengan kualitas tertentu (tindak
pidana luar biasa) harus dijatuhi sanksi pidana tertentu pula (pelakuan
yang luar biasa).
Bukan permasalahan pidana mati itu melenyapkan hak asasi dari
pelaku, tetapi harus dilihat pula dampak yang ditimbulkan oleh pelaku
yang mencederai hak-hak individu banyak orang. Oleh karena itu,
pembatasan hak dengan adanya instrumen pidana mati ditujukan untuk
melindungi hak-hak individu calon korban tersebut.
Jika

dikembalikan

pada

kasus

penggelapan

narkotika,

penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana penggelapan
narkotika tidak salah di mata hukum internasional. Hal ini dikarenakan
Indonesia telah terikat dengan Konvensi Internasional Narkotika dan
Psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sehingga
Indonesia berkewajiban menjaga dan melindungi dari ancaman jaringan
penggelapan narkotika yang berskala internasional dengan salah satu
20

caranya adalah menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Efektif
dan maksimal telah disebutkan bahwa tindak pidana luar biasa haruslah
mendapat perlakuan luar biasa (khusus).
Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius (luar
biasa), Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun,
termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan
Protokol Opsional Kedua Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik
Untuk Penghapusan Hukuman Mati (ICCPR) karena dalam pasal 6 ayat 2
ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati
kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.
Perlu

diingat

bahwa

prinsip

universal

dalam

hukum

internasional yang dikemukan dalam pembahasan sebelumnya menyatakan
bahwa hukum nasional dapat mengadili pelaku tindak pidana yang
berskala internasional selama hukum positif nasional mengatur mengenai
tindak pidana tersebut. Meskipun pada perjanjian internasional memiliki
sifat yang mengikat layaknya undang-undang (asas pacta sunt servanda)
bagi negara yang ikut serta dalam perjanjian, namunhal tersebut tidak
menundukkan konstitusi sebagai hierarki perundang-undangan tertinggi
dalam sistem hukum Indonesia dibawahi oleh perjanjian internasional.
Tujuan pemidanaan yang hanya berorientasi pembalasan tidak
dapat disalahkan karena pembenaran terhadap perbuatan yang telah
dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, perbuatan itu
tentu saja harus dibarengi dengan sanksi yang luar biasa pula namun
dengan

pertimbangan-pertimbangan

hukum

yang

cermat

sebelum

menjatuhkan sanksi pidana mati tersebut.
Dengan demikian tidak ada alasan pertentangan terhadap pidana
mati dengan hanya memandang dari sisi pelaku berdasarkan hak
individunya, tepai harus melihat secara luas mengenai kesalahannya,
korban yang ditimbulkan dan tujuan pemidanaan.

21

KESIMPULAN

Dari pembahasan-pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
urgensitas pidana mati di Indonesia tidak dapat dihapuskan dalam jenis-jenis
pidana pokok karena urgensinya yang sangat vital dalam memberikan sanksi
terhadap kejahatan luar biasa. Kejahatan luar biasa pada prinsipnya haruslah
mendapatkan perlakuan khusus secara efektif dan maksimal. Maka dari itu, upaya
efektif dan maksimal adalah dengan memberikan hukuman berat terhadap
kejahatan luar biasa. Bahwa pidana mati bukanlah semata-mata mencabut hak
untuk hidup pelaku melainkan sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga hakhak korban sebagai akibat dari perlakuan jahat pelaku yang berdampak luas,
sistematik dan massive.

22

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah dan Sumangelipu, 1985, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika.

Eddy Os Hiariej, 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta:
Erlangga.
J. E. Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati
Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV. Rajawali.
Jan Rammelink, 2003, Hukum Pidana (Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double
Track System & Implemntasinya, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni.
Oentoeng Wahjoe, 2010, Hukum Pidana Internasional (Perkembangan Tindak
Pidana Internasional & Proses Penegakannya), Jakarta:
Erlangga.
Romli Atmasasmita, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional,
Bandung: CV. Utomo.
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stesel Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total
Media.
23

Ady, 2015, Komite Ham Pbb Sesalkan Rencana Eksekusi Mati, diakses di laman
www.hukumonline.com.
Ayub Tory S. K., 2002, Hukuman Mati Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Hak
Asasi Manusia Internasional, Diakses di Laman
www.ayub.staff.hukum.uns.ac.id
Putusan MK, 2007, Terikat Konvensi Internasional Hukuman Mati Mesti Jalan
Terus, diakses pada laman www.hukumonline.com pada
tanggal 20 April 2015.
Qur’anul Hidayat, 2015, 133 Terpidana Mati Belum Dieksekusi, Diakses di
Laman news.okezone.com.
Syaldi Sahude, 2008, Status Ratifikasi Indonesia Untuk Instrumen Internasional
Ham, diakses pada laman www.syaldi.web.id.

24