PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PENINGKAT

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Juni, 2012

PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SAWAH DATARAN TINGGI
BERIKLIM BASAH
Ida Bagus Aribawa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai, Denpasar
E mail : idabagusaribawa@yahoo.co.id

ABSTRAK
Tanaman padi merupakan tanaman pangan utama di Indonesia, karena sebagian
besar penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai sumber makanan pokok.
Sementara itu, kebutuhan beras setiap tahun makin bertambah, seiring dengan laju
pertambahan penduduk. Dengan laju pertambahan penduduk 1,7 % per tahun dan
kebutuhan per kapita sebanyak 134 kg, maka pada tahun 2025 pemerintah harus
menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton GKG untuk mencukupi kebutuhan beras
nasional. Inovasi teknologi diperlukan untuk dapat meningkatkan produktivitas padi,

diantaranya dengan penggunaan varietas padi unggul (VUB), benih bermutu dan
berlabel, penanaman bibit umur muda, peningkatan populasi tanaman dan lainnya yang
termasuk dalam komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan dalam pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Peninglatan populasi tanaman dapat dilakukan
dengan penerapan sistem tanam legowo, baik legowo 2 : 1; 4 : 1; 6 : 1 dan 12 : 1. Kajian
untuk melihat pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan
sawah dataran tinggi beriklim basah telah dilakukan di lahan sawah petani dengan
ketinggian ≥ 700 dpl, di Desa Kerta, Kecamatan Payangan Gianyar Bali pada MT.
2011. Kajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat
perlakuan diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah sistem (cara) tanam yang
dilakukan petani, yaitu sistem tanam legowo 2 : 1 (s1); sistem tanam legowo 4 : 1 (s2);
sistem tanam legowo 6 : 1 (s3) dan sistem tanam legowo 12 : 1 (s4). Luas petak yang
digunakan disesuaikan dengan luas petak alami petani, dimana petani kooperator (8
orang) digunakan sebagai ulangan. Parameter tanaman padi yang diamati : tinggi
tanaman, jumlah anakan, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi dan hampa per
malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen (GKP) per hektar. Hasil kajian
menunjukkan perlakuan sistem tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan,
jumlah gabah hampa per malai dan bobot 1000 biji, tapi berpengaruh nyata terhadap
parameter tanaman lainnya. Hasil gabah kering panen tertinggi dihasilkan oleh sistem
tanam legowo 2 : 1 (s1), yaitu 8,84 t GKP ha-1.

Kata kunci : sistem tanam, produktivitas dan padi sawah
PENDAHULUAN
Tanaman padi merupakan tanaman pangan utama di Indonesia karena lebih dari
setengah penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai sumber makanan pokok.
Sementara itu, kebutuhan beras setiap tahun makin bertambah, seiring dengan laju
pertambahan penduduk. Pada tahun 2012, penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah

$ UWLNHOLQLWHODKGLSUHVHQWDVLNDQSDGD6HPLQDU1DVLRQDO. HGDXODWDQ3DQJDQGDQ(QHUJL
)DNXOWDV3HUWDQLDQ8QLYHUVLWDV7UXQRMR\R0DGXUD- XQL

Juni, 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

244,69 juta jiwa dan jumlah konsumsi beras mencapai 33,60 juta ton (Badan Litbang
Pertanian, 2011).
Dengan laju pertambahan penduduk rata-rata 1,7 % per tahun dan kebutuhan per
kapita sebanyak 134 kg, maka pada tahun 2025 Indonesia harus mampu menghasilkan
padi sebanyak 78 juta ton GKG untuk mencukupi kebutuhan beras nasional (Abdullah,

2004). Dengan produksi beras nasional yang rendah, sebanyak ± 2 juta ton beras
diimpor selama tahun 2001 sehingga langsung menjadikan Indonesia sebagai negara
pengimpor beras terbesar di dunia (Anonim, 2002). Oleh karenanya usaha peningkatan
produksi beras melalui peningkatan produktivitas padi dan peningkatan pendapatan
petani selalu dimasukkan dalam agenda kebijakan pemerintah di bidang pertanian.
Sejak awal tahun 2007, pemerintah bertekad untuk meningkatkan produksi beras
2 juta ton dan selanjutnya meningkat 5 % per tahun hingga tahun 2009 melalui Program
Peningkatan Beras Nasional (P2BN). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah
mengimplementasikan empat strategi, yaitu : (1) peningkatan produktivitas, (2)
perluasan areal, (3) pengamanan produksi, dan (4) penguatan kelembagaan dan
pembiayaan serta peningkatan koordinasi (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Peningkatan produktivitas memerlukan dukungan inovasi teknologi seperti
peningkatan indek panen, varietas unggul, penggunaan benih bermutu dan berlabel,
pengendalian OPT, pengelolaan hara, pengaturan populasi tanam, melalui perbaikan
sistem tanam dan lainnya (Anon, 2000). Perbaikan sistem tanam, melalui penerapan
sistem tanam jajar legowo merupakan salah satu inovasi teknologi yang telah
diperkenalkan dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas padi. Pada prinsipnya
sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan populasi tanaman dengan cara
mengatur jarak tanam. Selain itu, sistem tanam tersebut juga memanipulasi lokasi
tanaman sehingga seolah-olah tanaman padi dibuat menjadi taping (tanaman pinggir)

lebih banyak. Tanaman padi yang berada dipinggir umumnya akan menghasilkan
produksi lebih tinggi dan kualitas gabah yang lebih baik.
Ada beberapa tipe sistem tanam jajar legowo: (1) jajar legowo 2 : 1, dimana
setiap dua baris diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak dalam barisan.
Namun jarak tanam dalam barisan yang memanjang dipersempit menjadi setengah jarak
tanam dalam barisan, (2) jajar legowo 3 : 1, setiap tiga baris tanaman padi diselingi satu
barisan kosong dengan lebar dua kali jarak dalam barisan. Jarak tanam tanaman padi
yang dipinggir dirapatkan dua kali dengan jarak tanam yang ditengah, (3) jajar legowo 4
: 1, setiap empat baris tanaman padi diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali
jarak dalam barisan, dan (4) jajar legowo 12 :1 atau sering disebut cara tanam petani,
yaitu setiap 12 baris tanaman padi diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali
jarak dalam barisan. Jarak tanam yang dipinggir setengah dari jarak tanam yang di
tengah (Wahyu, 2012).
Hasil penelitian Abdulah (2004) mendapatkan hasil padi dengan sistem tanam
legowo lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara petani (sistem tegel). Hal yang lebih
spesifik dikemukakan oleh Triny et al. (2004) yang menyatakan dengan perbaikan
teknologi budidaya, penerapan sistem tanam berbeda dengan kebiasaan petani seperti
penerapan sistem legowo 2 : 1, dapat meningkatkan produktivitas padi. Hasil penelitian
$ UWLNHOLQLWHODKGLSUHVHQWDVLNDQSDGD6HPLQDU1DVLRQDO. HGDXODWDQ3DQJDQGDQ(QHUJL
)DNXOWDV3HUWDQLDQ8QLYHUVLWDV7UXQRMR\R0DGXUD- XQL


Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Juni, 2012

sistem tanam legowo 2 : 1 memberikan hasil gabah tertinggi sebesar 6,25 ton per hektar,
meningkat sebesar 18,1% bila dibandingkan sistem tanam tegel 20 x 20 cm. Variasi
peningkatan produktivitas padi ini dengan sistem tanam yang berbeda tergantung juga
dengan varietas padi yang digunakan.
Penerapan sistem tanam legowo, yaitu dengan pengaturan jarak tanam yang
tepat dan teknik yang benar diharapkan produktivitas padi meningkat melalui
peningkatan populasi tanaman, dan disamping itu, efisiensi dan efektifitas pertanaman
padi di tingkat petani dapat tercapai. Kajian ini bertujuan untuk melihat pengaruh sistem
tanam yang berbeda terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan sawah dataran
tinggi beriklim basah
METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah pupuk anorganik dan pupuk
organik, seperti pupuk urea, phonska, pukan sapi dan bahan lainnya. Selain itu

digunakan varietas unggul baru (VUB) Inpari 6. Sedangkan alat yang digunakan adalah
alat untuk bercocok tanam, meteran, timbangan dan alat-alat yang lainnya.
Rancangan Percobaan
Kajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat
perlakuan diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah sistem (cara) tanam yang
dilakukan petani, yaitu sistem tanam legowo 2 : 1 (s1); sistem tanam legowo 4 : 1 (s2);
sistem tanam legowo 6 : 1 (s3) dan sistem tanam legowo 12 : 1, atau sering disebut
sistem tanam cara petani (s4). Luas petak yang digunakan disesuaikan dengan luas petak
alami petani, dimana petani kooperator (8 orang) digunakan sebagai ulangan.
Lokasi dan Waktu Kajian
Kajian untuk melihat pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas
padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah telah dilakukan di lahan sawah petani
dengan ketinggian ≥ 700 dpl, di Desa Kerta, Kecamatan Payangan Gianyar Bali pada
MT. 2011.
Pendekatan
Kegiatan untuk melihat tampilan tanaman dengan penggunaan sistem tanam
yang berbeda, berdasarkan jenisnya termasuk kegiatan pengembangan. Oleh karena itu,
untuk mensukseskan kegiatan ini diperlukan kerjasama antar instansi terkait di daerah
(dari tingkat propinsi sampai tingkat desa) serta partisipasi aktif dari kelompok tani
(subak) untuk mengikuti kegiatan ini.

Tahapan Kegiatan
Kegiatan dimulai dengan penentuan lokasi dan petani kooperator sebagai lokasi
pelaksanaan dan pelaksana kegiatan. Pada tahap persiapan juga dilakukan koordinasi ke
$ UWLNHOLQLWHODKGLSUHVHQWDVLNDQSDGD6HPLQDU1DVLRQDO. HGDXODWDQ3DQJDQGDQ(QHUJL
)DNXOWDV3HUWDQLDQ8QLYHUVLWDV7UXQRMR\R0DGXUD- XQL

Juni, 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

tingkat pusat (Balit dan Balai Besar Padi) guna mencari informasi inovasi teknologi
untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di tingkat lapangan.
Sosialisasi dilakukan dengan instansi terkait (Distan, BPSB, BPTPH) mulai dari
tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, serta desa/kelompok tani untuk mencari
masukan dari tingkat lapangan guna penyempurnaan kegiatan. Sosialisasi dimaksudkan
untuk menyamakan persepsi kegiatan mulai dari persiapan, pelaksanaan dan pelaporan
guna penyempurnaan kegiatan di tingkat lapangan.
Pelaksanaan Kegiatan
Kajian untuk melihat tampilan tanaman dengan sistem tanam yang berbeda,

menggunakan pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). Model PTT adalah
suatu metodologi atau strategi, bahkan filosofi untuk meningkatkan produksi melalui
cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur hara serta organisme pengganggu tanaman
secara holistik dan berkelanjutan. Keberhasilann PTT sangat ditentukan oleh
pendekatan yang ditempuh dalam penerapan komponen PTT yaitu harus bersifat
partisipatif, dinamis, spesifik lokasi, keterpaduan dan sinergis antar komponen. Oleh
karena itu pendekatan yang ditempuh dalam menerapkan teknologi PTT di tingkat
lapangan diharapkan didasarkan pada karakteristik lingkungan biofisik, kondisi sosial
ekonomi dan budaya di suatu wilayah yang menjadi lokasi kegiatan. Adapun komponen
PTT yang digunakan dalam kegiatan ini disajikan pada Tabel 1.
Pengumpulan dan Analisis Data
Parameter tanaman padi yang diamati : tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah
malai, panjang malai, jumlah gabah isi dan hampa per malai, bobot 1000 biji dan hasil
gabah kering panen (GKP) per hektar. Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik
ragam. Uji rata-rata pengaruh kombinasi perlakuan apabila berinteraksi dilakukan
dengan uji DMRT pada taraf 5 %. Apabila hanya perlakuan tunggal yang berpengaruh,
dalam hal ini perbedaan sistem tanam dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5% (Gomez
dan Gomez, 1984).
Tabel 1. Teknologi Budidaya Padi Model PTT Yang Digunakan Di Lapangan
No.

1
2
3
4
5
6
7
8.
9.
10.
11.

Perlakuan
Varietas
Persemaian
Seleksi benih
Tanam bibit
Jumlah bibit/lubang
Jarak tanam
Dosis pupuk anjuran

Pengendalian
hama/penyakit
Pengelolaan gulma
Pengairan
Penangan pascapanen

Komponen Teknologi PTT
Varietas unggul baru (VUB)
Pesemaian basah diaplikasi kompos, sekam dan pupuk
Pemilihan benih bernas dengan air garam.
15 HSS.
1-3 bibit untuk tanam pindah
Sesuai perlakuan sistem tanam
Sesuai Kepmen Pertanian No.1, 2006. pukan sapi.
Prinsip PHT
Cara mekanis (penyiangan).
Pengairan berselang
Gebot sesuai dengan kondisi petani

$ UWLNHOLQLWHODKGLSUHVHQWDVLNDQSDGD6HPLQDU1DVLRQDO. HGDXODWDQ3DQJDQGDQ(QHUJL

)DNXOWDV3HUWDQLDQ8QLYHUVLWDV7UXQRMR\R0DGXUD- XQL

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Juni, 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lahan
Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, lahan sawah dataran tinggi
beriklim basah, di desa Kerta, kecamatan Payangan, Gianyar berada pada ketinggian ≥
700 m dari permukaan laut sehingga lahan sawah di desa Kerta mempunyai struktur
permukaan tanah landai, bergelombang hingga berbukit. Dengan pembuatan terasering
petani dapat memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian dalam arti luas, terutama padi
sawah. Dilihat dari kesuburan tanah yang disajikan pada Tabel 2, maka secara umum
tanah di desa Kerta yang digunakan mempunyai karakteristik sifat kimia, yaitu : pH
(kemasaman tanah) normal dengan DHL sangat rendah, C-organik dan N-total rendah,
P-tsd sangat tinggi dan K-tsd dengan kriteria tinggi (Hardjowigeno, 1987).
Dari elaborasi data wilayah, maka rata-rata pemilikan lahan sawah petani di desa
Kerta berkisar 0,30-0,50 ha dan beberapa diantaranya memiliki sapi bali dengan kisaran
pemilikan rata-rata 2 ekor/KK. Menurut pendapat petani setempat, bila hendak
menerapkan sistem integrasi padi-ternak maka peran ternak akan sangat membantu
terutama sebagai tenaga kerja, sumber energi, sumber pupuk organik dan tabungan.
Tabel 2. Sifat kimia tanah awal di lokasi pengkajian
Kode contoh

pH (H2O)

DHL (mmhos
cm-1)
AG01
6,76
0,96
N
SR
Sumber : Duwijana dan IB. Aribawa (2010).

C-org. (%)

N-total (%)

P-tsd (ppm)

1,25
R

0,16
R

144,28
ST

K-tsd
(ppm)
382,62
T

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi
Hasil analisis statistik terhadap tinggi tanaman disajikan pada Tabel 3. Pada
Tabel 3, terlihat perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman.
Tinggi tanaman tertinggi dihasilkan oleh perlakuan s4, yaitu 106,98 cm dan berbeda
nyata bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tinggi tanaman terrendah dihasilkan
oleh perlakuan s1, yaitu 102,40 cm. Pertumbuhan tanaman yang tinggi belum menjamin
produktivitas tanaman juga tinggi. Pertumbuhan tanaman yang optimal mempunyai
pengaruh yang besar terhadap hubungan antara panjang malai dengan hasil. Tanaman
yang tumbuh baik mampu menyerap hara dalam jumlah banyak. Ketersediaan hara
dalam tanah berpengaruh terhadap aktivitas tanaman termasuk aktivitas fotosintesis,
sehingga dengan denikian tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan dan komponen
hasil tanaman (Yosida, 1981).
Tabel 3. Rata-Rata Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan, Jumlah Malai Dan Panjang Malai
Pada Kajian Perbedaan Sistem Tanam Di Desa Kerta, Kabupaten Gianyar,
MT. 2011
Perlakuan
s1
s2
s3
s4
BNT 5 %
KK 5 %
Keterangan :

Tinggi Tanaman
Jumlah anakan
Jumlah malai per
Panjang malai
(cm)
(batang/rumpun)
rumpun
(cm)
102,40a
24,10a
19,80a
24,98a
103,10a
24,70a
20,00a
24,50b
105,90b
25,10a
23,40b
24,24b
106,98c
25,30a
23,60b
24,12b
1,05
2,5
0,40
11,20
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji BNT 5 %.

$ UWLNHOLQLWHODKGLSUHVHQWDVLNDQSDGD6HPLQDU1DVLRQDO. HGDXODWDQ3DQJDQGDQ(QHUJL
)DNXOWDV3HUWDQLDQ8QLYHUVLWDV7UXQRMR\R0DGXUD- XQL

Juni, 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Hasil analisis statistik terhadap jumlah anakan dan jumlah malai per rumpun
disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3, terlihat perlakuan sistem tanam tidak berpengaruh
nyata terhadap jumlah anakan per rumpun. Sedangkan terhadap jumlah malai
berpengaruh nyata. Jumlah anakan pada perlakuan perbedaan sistem tanam bervariasi
dan berkisar antara 24,10-25,30 batang per rumpun. Untuk jumlah malai, perlakuan
sistem tanam s4, menghasilkan jumlah malai terbanyak, yaitu 23,60 batang per rumpun
dan perlakuan ini hanya berbeda nyata dengan perlakuan s1 dan s2. Jumlah malai
terrendah dihasilkan oleh perlakuan s1, yaitu 19,80 batang per rumpun.
Hasil analisis terhadap panjang malai disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3,
terlihat perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap panjang malai. Panjang
malai terpanjang dihasilkan oleh perlakuan s1, yaitu 24,98 cm dan berbeda nyata bila
dibandingkan dengan perlakuan sistem tanam lainnya. Panjang malai terpendek
dihasilkan oleh perlakuan s4, yaitu 24,12 cm.
Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, Bobot 1000 Biji Dan Hasil
Gabah Kering Panen Pada Kajian Perbedaan Sistem Tanam Di Desa Kerta,
Kabupaten Gianyar, MT. 2011
Perlakuan
s1
s2
s3
s4
BNT 5 %
KK 5 %
Keterangan :

Jumlah gabah isi
Jumlah gabah
Bobot 1000
Hasil GKP ha-1
-1
-1
malai
hampa malai
Biji (g)
130,25a
62,25a
25,10a
8,84a
125,15b
66,33b
24,90a
8,27b
124,80b
66,90b
8,08b
24,83a
120,20c
67,95c
7,57c
24,73a
4,50
1,04
9,20
0,50
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji BNT 5 %.

Hasil analisis jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa per malai disajikan
pada Tabel 4. Pada Tabel 4, terlihat perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap
jumlah gabah isi dan hampa per malai. Jumlah gabah isi per malai terbanyak dihasilkan
oleh perlakuan sistem tanam s1, yaitu 130,25 biji per malai dan berbeda nyata bila
dibandingkan dengan perlakuan sistem tanam lainnya. Jumlah gabah isi per malai
terrendah dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam s4, yaitu 120,20 butir per malai. Hal
yang sebaliknya terlihat pada jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah hampa per
malai terbanyak dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam s4, yaitu 67,95 butir per malai
dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan sistem tanam lainnya. Jumlah
gabah hampa per malai terrendah dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam s 1, yaitu 62,25
butir per malai.
Hasil analisis statistik terhadap bobot 1000 biji disajikan pada Tabel 4. Pada
Tabel 4, terlihat perlakuan sistem tanam tidak berpengaruh nyata terhadap bobot 1000
biji. Rata-rata bobot 1000 biji pada perlakuan sistem tanam yang berbeda berkisar
antara 24,73-25,10 gram. Hasil analisis statistik terhadap hasil gabah kering panen
disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4, terlihat perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata
terhadap hasil gabah kering panen. Hasil gabah kering panen tertinggi dihasilkan oleh
perlakuan s1, yaitu 8,84 t GKP ha -1 dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan

$ UWLNHOLQLWHODKGLSUHVHQWDVLNDQSDGD6HPLQDU1DVLRQDO. HGDXODWDQ3DQJDQGDQ(QHUJL
)DNXOWDV3HUWDQLDQ8QLYHUVLWDV7UXQRMR\R0DGXUD- XQL

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Juni, 2012

perlakuan lainnya. Hasil gabah kering panen terrendah dihasilkan oleh perlakuan sistem
tanam s4, yaitu 7,57 ton GKP ha -1.
Pertumbuhan tanaman dalam arti sempit berarti pembelahan sel (peningkatan
jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran) dan merupakan proses yang tidak
dapat berbalik. (Gardner et al., 1991). Menurut Hakim et al. (1986) pertumbuhan
merupakan suatu perkembangan yang progresif dari suatu organisme dan cara yang
dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan menyatakannya dalam
penambahan berat kering, panjang, tinggi ataupun diameter batang.
Dalam kajian ini, tinggi tanaman, jumlah anakan dan jumlah malai digunakan
untuk mengukur pertumbuhan tanaman padi. Secara visual pertumbuhan tanaman padi
kelihatan seragam, walaupun secara statistik tinggi tanaman dan jumlah malai berbeda
nyata. Tinggi tanaman tertinggi pada saat panen terlihat pada perlakuan s4 yaitu 105,98
cm. Hal ini diduga disebabkan karena dengan sistem tanam legowo 12 : 1 (cara petani),
sebagian besar populasi tanaman padi berada di tengah lahan, karena setelah baris
tanaman yang ke 12 baru ada lorong, tempat sinar matahari dan udara masuk. Sehingga
dengan demikian, terjadi kompetisi antara individu tanaman yang tumbuh dalam suatu
hamparan lahan dalam mencari sinar matahari menjadi sangat ketat. Dengan populasi
tanaman yang padat dalam satu hamparan, maka akan memicu terjadinya kompetisi
antar tanaman dalam hal pemanfaatan sinar matahari, sehingga memacu tanaman lebih
tinggi bila dibandingkan dengan populasi tanaman yang lebih rendah, karena adanya
perbedaan sistem tanam. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Aribawa dan
Kariada (2005) yang mendapatkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dihasilkan pada
populasi tanaman yang lebih padat dalam satu hamparan.
Banyaknya batang tanaman padi yang tumbuh dalam satu hamparan tanam
mempengaruhi jumlah anakan yang tumbuh. Hal ini terlihat dari jumlah anakan per
rumpun pada saat panen pada perlakuan s4 yang lebih banyak bila dibandingkan dengan
perlakuan lainnya (Tabel 2). Menurut Harjadi (1979), persaingan tanaman untuk
mendapatkan unsur hara akan terjadi apabila unsur hara tersebut tidak tersedia dalam
jumlah yang cukup atau apabila populasinya melebihi populasi yang seharusnya.
Perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah malai dan panjang
malai. Jumlah malai erat kaitannya dengan jumlah anakan tanaman padi. Umumnya
jumlah anakan berkorelasi positif dengan jumlah malai. Dimana, semakin banyak
jumlah anakan maka jumlah malai yang terbentuk juga semakin banyak. Hal ini terlihat
pada Tabel 3, dimana terlihat perlakuan s4 menghasilkan jumlah anakan dan jumlah
malai terbanyak. Panjang malai terpanjang terlihat pada perlakuan s1. Hal ini diduga
karena sistem tanam legowo 2 : 1 akan menjadikan semua rumpun tanaman berada pada
bagian pinggir, dengan kata lain seolah-olah semua rumpun tanaman berada di pinggir
galengan, sehingga semua tanaman mendapat efek samping (border effect), dimana
tanaman yang mendapat efek samping panjang malainya lebih panjang dari tanaman
yang tidak mendapat efek samping.
Komponen hasil yang lain seperti jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 biji
tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tabela legowo 2 : 1 (s1). Jumlah gabah isi per malai
merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh terhadap hasil padi. Umumnya
$ UWLNHOLQLWHODKGLSUHVHQWDVLNDQSDGD6HPLQDU1DVLRQDO. HGDXODWDQ3DQJDQGDQ(QHUJL
)DNXOWDV3HUWDQLDQ8QLYHUVLWDV7UXQRMR\R0DGXUD- XQL

Juni, 2012

Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

jumlah gabah per malai berkorelasi positif dengan panjang malai. Semakin panjang
malai yang terbentuk, semakin banyak peluang jumlah gabah yang dapat ditampung
oleh malai yang bersangkutan. Sementara itu, jumlah gabah isi dan bobot 1000 biji yang
terbentuk dalam satu malai sangat tergantung dari proses fotosintesis (pengisian biji)
dari tanaman selama pertumbuhannya dan sifat genetis dari tanaman padi yang
dibudidayakan. Hal ini terlihat dari bobot 1000 biji dari masing-masing perlakuan
sistem tanam tidak berbeda nyata (Tabel 4).
Demkian juga halnya dengan hasil gabah kering panen per hektar. Hasil gabah
kering panen per hektar tertinggi dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam legowo 2 : 1.
Sistem tanam legowo 2 : 1 memberikan kondisi yang sama pada setiap tanaman padi
untuk mendapatkan ruang dan sinar matahari secara optimal. Disamping itu, jumlah
rumpun tanaman padi per hektar yang ditanam dengan sistem tanam legowo 2 : 1 lebih
tinggi bila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya.. Menurut Tryni et al. (2004),
sistem tanam legowo 2 : 1 akan menjadikan semua barisan rumpun tanaman berada
pada bagian pinggir, dengan kata lain seolah-olah semua rumpun tanaman berada di
pinggir galengan, sehingga semua tanaman mendapat efek samping (border effect),
dimana tanaman yang mendapat efek samping produksinya lebih tinggi dari yang tidak
mendapat efek samping. Tanaman yang mendapat efek samping, menjadikan tanaman
mampu memanfaatkan faktor-faktor tumbuh yang tersedia seperti cahaya matahari, air
dan CO2 dengan lebih baik untuk pertumbuhan dan pembentukan hasil, karena
kompetisi yang terjadi relatif kecil (Harjadi, 1979). Pada tanaman padi yang ditanam
secara beraturan dalam bentuk tegel, hasil tanaman bagian luar lebih tinggi 1,5–2 kali
dibanding hasil tanaman yang berada di bagian dalam (Suriapermana et al., 1990).
Demikian juga pemberian pupuk pada cara legowo akan lebih efektif dan efisien karena
distribusi pupuk lebih merata dan langsung ke pertanaman padi. Hasil penelitian yang
sama juga dikemukakan oleh Khairuddin (2005) yang mendapatkan hasil tertinggi pada
varietas Ciherang didapat dengan sistem tanam legowo 2:1 yaitu 5,5 t GKG ha-1,
kemudian diikuti oleh sistem tanam legowo 4:1, tandur jajar dengan jarak tanam 20 x 20
cm dan cara petani dengan hasil padi berturut-turut 5,4 t GKG ha-1; 5,3 t GKG ha-1 dan
5,2 t GKG ha-1.
KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian dan pembahasan yang dilakukan maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan diantaranya :
1. Perlakuan sistem tanam berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah anakan
menjelang panen dan bobot 1000 butir biji, tapi berpengaruh nyata (P