DEMOKRASI NEOLIBERALISME DAN KEPEMIMPINA (1)

DEMOKRASI, NEOLIBERALISME
DAN KEPEMIMPINAN NASIONAL INDONESIA

SUYATNO Ph.D
School of Government
COLGIS – UNIVERSITI UTARA MALAYSIA
Email:
yatno.ladiqi @gmail.com

Pendahuluan
Demokrasi sudah menjadi pilihan sistem politik sejak berdirinya Negara Indonesia. Meski
dengan berbagai ragam kualitas, tetap saja demokrasi menjadi sentra utama dalam mengatur
kehidupan politik Indonesia sejak tahun 1945 hingga di masa sekarang, khususnya mengatur
hubungan masyarakat dan negara. Hanya saja kepemimpinan yang mengelola bekerjanya sistem
demokrasi memberikan bobot kualitas demokrasi yang berbeda-beda mulai dari kepemimpinan
Soekarno, Soeharto hingga ke masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan antara kepemimpinan dan demokrasi sangatlah erat karena kepemimpinan bisa
menentukan derajat kualitas demokrasi yang diusung oleh sebuah negara, termasuk Indonesia.
Tentu semua itu tergantung kepada tantangan yang dihadapi oleh negara sehingga seorang
pemimpin memerlukan jenis atau gaya kepemimpinan yang dirasa efektif untuk menggerakkan
roda negara mencapai tujuan yang dicita-citakan. Tantangan yang dihadapi Soekarno tentunya

berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh Soeharto, demikian juga dengan tantangan yang
dihadapi oleh SBY. Namun begitu kepemimpinan yang efektif tentunya juga ditentukan oleh
sejauh mana seorang pemimpin mampu meracik tantangan luar dan tuntutan dari dalam negara
itu sendiri. Untuk itu seorang pemimpin akan memberikan tekanan yang berbeda ketika mencoba
usaha racikan mengataso problema guna mencapai skala prioritas tujuan negara.
Soekarno barangkali lebih menitik beratkan kepada pembangunan bangsa (nation building)
karena kemerdekaan Indonesia memerlukan pemantapan kebangsaan yang layak dipromosikan
ke tatanan kehidupan internasional agar tidak saja dikenali tetapi juga bisa menggapai martabat
berbangsa dunia. Soeharto barangkali lebih memikirkan pentingnya stabilitas ekonomi politik
untuk mampu menggapai tujuan bersama yaitu pembangunan nasional di sektor ekonomi dan
kestabilan politik yang efektif. Belajar dari berbagai kelemahan Soekarno yang abai terhadap
pembangunan ekonomi dan politik yang stabil, titik berat rezim Soeharto menjadi berbeda secara
drastis jika dibandingkan dengan rezim sebelumnya.
Lagi-lagi tuntutan zaman dan pengaruh luar sangat kuat mempengaruhi kepemimpinan nasional.
Pada akhirnya globalisasi menjadi tuntutan dan tantangan kepimimpinan Soeharto sehingga
berdampak kepada kegagalan ekonomi ketika strategi pembangunan nasional yang dicanangkan

gagal merespon perubahan zaman akibat meruyaknya korupsi yang menggerogoti struktur
ekonomi nasional. Kejatuhan Soeharto menandai era baru dimana demokrasi menjadi media
penting untuk memberikan jalan kepada masyakarat agar terlibat dalam proses pengambilan

keputusan politik karena partisipasinya bisa merepresentasikan tingkat tuntutan dari bawah
secara efektif berbanding dengan model hubungan masyarakat dan negara di masa
kepemimpinan Soeharto yang bersifat “top-down”. Hal ini dikarenakan globalisasi mendorong
pemerintah untuk rela menggandeng masyarakat terlibat aktif memberikan masukan dalam
proses pengambilan keputusan dalam rangkaian persoalan yang kian kompleks yang cukup berat
bagi pemerintah dihadapi sendiri.
Di era yang serba terbuka pengaruh revolusi informasi, komunikasi dan teknologi, mendorong
seorang pemimpin dituntut untuk senantiasa transparan, akuntabel dan partisipatif dalam
memenuhi tuntutan dalam dan luar negara. Titik tekan ini sangatlah berbeda dialami oleh
pemimpin nasional pada era sebelumnya. Tidak hanya lebih kompleks tetapi juga lebih massif
dan memerlukan keterlibatan masyrakat secara intensif dalam menerjemahkan keperluan guna
mencapai tujuan bersama.
Dengan argumen pendahulan diatas, makalah ini mau mencoba memetakan hubungan demokrasi
dan kepemimpinan nasional yang bagaimana yang semestinya dikembangkan di Indonesia. Ini
penting untuk menemukan kepemimpinan nasional yang mampu menjawab tuntutan masyarakat
dan sekaligus sanggup merespon tantangan dunia luar yang mengintai sepanjang masa.
Tantangan dunia luar tak lain adalah neoliberalime. Sejarah membuktikan kegagalan
kepemimpinan nasional merespon neoliberalisme dengan baik maka membuahkan krisis nasional
dan berimbas kepada kegagalan kepemimpinan nasional itu sendiri, yaitu jatuhnya rezim
Soeharto tahun 1998. Untuk itu menguraikan tantangan neoliberalisme juga akan diketengahkan

dalam tulisan ini. Kepemimpinan yang efektif sangat diperlukan tidak saja sebagai wujud
pengelakkan kegagalan mencapai tujuan bersama tetapi juga memanfaatkan peluang yang ada
baik dari potensi dalam negeri maupun luar negeri agar bersama-sama sukses menggapai citacita nasional, yaitu kesejahteraan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Demokrasi dan Kepemimpinan
Sudah sejak lama disadari hubungan simbiotik mutualisma antara demokrasi dan kepemimpinan
menjadi sangat penting karena tidak saja demokrasi memberi jalan kepada bekerjanya
kepemimpinan yang efektif tetapi juga kepemimpinan akan mencorakkan dan menentukan
derajat kualitas demokrasi sesebuah negara. Demokrasi dan kepemimpinan menjunjung tinggi
kebebasan individu akan tetapi mengakui perlunya hikmah pimpinan kebijaksanaan untuk
digunakan apabila perlu untuk ketertiban dan keselamatan masyarakat untuk melindungi
kebebasan individu. Demokrasi tanpa kepemimpinan akan menimbulkan anarki yang dapat
menimbulkan bahaya terhadap masyarakat. Sebaliknya kepemimpinan tanpa demokrasi akan
menimbulkan penindasan antar manusia. Matthew Trachman menyatakan bahwa di satu sisi
wacana kepemimpinan dibentuk oleh munculnya demokrasi modern. Di sisi lain demokrasi
modern itu sendiri juga dibentuk oleh munculnya wacana kepemimpinan. Keduanya memiliki
ruang yang sama untuk saling mempengaruhi satu sama lain dan berkembang secara bersamaan
(Trachman, 2000:1-7).

Lebih jauh Mohtar Pabottingi menjelaskan hubungan demokrasi dan kepemimpinan dengan
memberikan argument asas bahwasanya demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang: 1)

berpatokan kepada kolektivitas politik bernama bangsa atau nasion, sebab memang ada simbiosis
antara nasion dan demokrasi; 2) menekankan prinsip-prinsip kemerdekaan dan/atau kebebasan
(independence, freedom, liberty), keadilan dan/atau kesetaraan (justice, equality, fairness); 3)
menerapkan prinsip keabsahan cara /prosedur dan keabsahan tujuan/substansi di dalam segenap
mekanisme atau penyelenggaraan kenegaraan; 4) menghormati keberagaman atau pluralitas
dalam nasion; 5) menjunjung hak-hak perorangan dan komunitas/masyarakat di dalam
keberagaman senasion(mengindahkan rangkaian hajat material dan hajat nilai setiap warga
negara); 6) melaksanakan pemerintahan menurut ketentuan prinsip saling-imbang –saling
control, yang dipergilirkan secara berkala melalui pemilihan umum; dan 7) bersandar
sepenuhnya pada patokan-patokan konstitusi sebagai sebuah bangunan politik/hukum yang
progresif dan komprehensif. Pada ketujuh persyaratan demokrasi di atas jelas terbaca
komplementaritas kepemimpinan, yaitu dalam rangkaian membawa masyarakat sebangsa kea
lam kemamuran dan kebahagaiaan (Prisma, 2013:7-8).
Argumen tersebut jelas menunjukkan betapa hubungan keduanya sangatlah erat sehingga
perubahan yang terjadi tentu amat berbeda dengan masa sesudahnya. Indonesia sedari awal
sudah menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang resmi, hanya derajat kualitas
demokrasi yang diusung sangat dipengaruhi oleh corak kepemimpinan yang ada. Hal ini bisa
dilihat bagaimana Soekarno di awal kemerdekaan memimpin Indonesia dengan begitu kuat
mencorakkan warna demokrasi parlementer yang berbeda dengan negara lain maupun dengan
rezim-rezim sesudahnya. Perkembangan wacana kepemimpinan Soekarno dan perkembangan

demokrasi Indonesia itu sendiri mengalami proses saling mempengaruhi hingga membentuk
demokrasi yang berbeda dan tuntutan kepemimpinan yang berbeda seperti sekarang ini. Tentu
saja SBY tidak akan mudah menggalang rakyat dengan corak kepemimpinan a la Soekarno yang
sentralistik dan otoriteristik karena perkembangan demokrasi Indonesia dewasa ini menuntut
transparansi dan kemitraan yang kuat antara pemerintah dan masyarakat dalam proses berbangsa
dan bernegara. Kepemimpinan dewasa ini juga dituntut untuk lebih memberikan ruang
partisipasi masyarakat lebih luas ketimbang bersifat dari atas ke bawah (top-down approach)
seperti dulu.
Pada masa sebelumnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang sanggup melihat kepentingan
masyarakat dan bertindak atas nama masyarakat. Ini yang dipahami selama ribuan tahun bahwa
sudah semestinya pemimpin bertindak demikian. Apa yang dilakukan Soekarno dan Soeharto
juga berdasarkan keyakinan ini dan secara umumnya disetujui oleh masyarakat. Namun kini apa
yang terjadi dalam perubahan hubungan kepemimpinan di Amerika juga berdampak kepada
kepemimpinan yang semestinya dan malahan sudah menjadi tuntutan masyarakat yaitu
kepemimpinan yang mampu mendorong usaha pemberdayaan masyarakat sebagai wacana
mutakhir kepemimpinan nasional (Wranp, 2007:162). Penglibatan masyarakat dalam partisipasi
aktif proses pengambilan keputusan adalah sebuah kebutuhan yang sulit dielakkan oleh
pemimpin. Termasuk Indonesia juga sulit menghindar dari tuntutan dewasa ini. Demokrasi yang
berkembang di Indonesia juga menuntut kepemimpinan yang mampu memberikan titik tekan
kepada konsep pemberdayaan masyarakat melalui ruang partisipasi.


Ini yang menjelaskan kenapa dewasa ini banyak kisah sukses pengelolaan daerah yang dilakukan
oleh pemimpin lokal di Indonesia menjadi ilham bagi pembuat keputusan di tingkat nasional.
Kabupaten Jembrana, Solok, Tanah Datar, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya dan lain lainnya
sudah menunjukkan bagaimana hubungan demokrasi lokal dan kepemimpinan lokal memiliki
hubungan yang besifat simbiotik mutualisma dimana interaksi demokrasi dan kempimpinan lokal
mampu mewujudkan kebaikan bersama dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan lapisan
masyarakat. Perekembangan ini tentu akan jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa
sebelumnya, seperti masa Orde Baru.
Jika demokrasi sudah menjadi sistem yang disepakati sejak lama di Indonesia dan memiliki
hubungan simbiotik mutualisma dengan kepemimpinan nasional, maka tantangan yang mutakhir
dewasa ini yang tentu berbeda dengan tantangan yang harus dihadapi oleh pemimpin sebelumnya
adalah tak lain berupa tantangan neoliberalisme. Untuk itu penjelasan dibawah bisa membantu
pemahaman yang baik untuk menemukan hubungan kepemimpinan nasional dengan tuntutan
ataupun tantangan neoliberalisme dewasa ini.
Tantangan Neoliberalisme
Fenomena neoliberalisme begitu menakjubkan dewasa ini karena tidak hanya merupakan
fenomena yang menghasilkan perubahan drastik dunia tetapi juga sebuah fenomena yang
dibincangkan sangat intens dengan semangat kebencian dan semangat kerinduan yang tumbuh
menjadi satu. Dibenci karena dampak negatifnya sangat merugikan masyarakat, seperti

ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan sebagainya. Dirindui karena menjadi medium efektif
untuk menggapai kemakmuran dalam masa singkat, seperti peningkatan pendapatan per kapita,
penumpukan kapital dan pembangunan ekonomi yang tinggi. Semangat yang menggelora
memuja ‘kekuatan pasar’ seolah meyakini tidak hanya produksi, distribusi dan konsumsi yang
tunduk kepadanya tetapi juga seluruh kehidupan. Bukan hanya mekanisme pasar harus
digunakan untuk mengatur ekonomi sebuah negara, tetapi juga untuk mengatur ekonomi global.
Friedrich Hayek bersama Milton Friedman, George Stigler, Karl Popper, Lionel Robbins,
Wilhem Ropke, Ludwig von Mises, Michael Polanyi, Salvador di Madariga, Walter Euchen dan
lain-lain adalah pakar-pakar yang memelopori neoliberalisme global. Dalam bukunya yang
sangat terkenal The Road to Serfdom (1944), Hayek (dalam Deliarnov, 2002) mengatakan,
“Dengan membiarkan jutaan individu melakukan reaksi terhadap harga pasar yang terbentuk
secara bebas, akan terjadi optimalisasi alokasi modal, kreatifitas manusia dan tenaga kerja
dengan cara yang tak mungkin ditiru oleh perencanaan terpusat, sehebat apapun perencanaan
itu”. Sedangkan Friedman menambahkan bahwa optimalisasi itu sendiri hanya akan terjadi bila
barang, jasa dan modal dimiliki sekaligus dikuasai oleh orang-perorangan yang akan digerakkan
untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Ada satu, dan hanya satu, tanggung jawab sosial
perusahaan atau bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk
mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya (Friedman dalam Capitalism and Freedom, 1962).
Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya neoliberalisme (Wibowo, 2003:3-5). Pertama,
munculnya perusahaan multinasional sebagai kekuatan yang nyata dan bahkan memiuliki asset

kekayaan yang lebihbesar daripada negara-negara kecil didunia. Kedua, munculnya organisasi
atau ‘rezim internasional’ yang berfungsi sebagai surveillance system. Ketiga, sebagai variable

independen dari semuanya ini adalah revolusi di bidang teknologi, komunikasi dan transportasi
yang amat dahsyat selama 20 tahun terakhir ini. Dan keempat, bagaimana negara-negara kuat
(umumnya negara-negara maju) memakai kekuatan yang dimilikinya untuk menaklukkan negara
yang lebih lemah (umumnya negara-negara berkembang).
Sudah menjadi perbincangan yang jamak bahwa neoliberalisme menimbulkan implikasi negatif
yang serius mengancam kehidupan masyarakat. Pakar seperti Noreena Hertz, Paul Krugman
maupun Joseph Stiglitz mengkritisi bahwa dunia bukannya semakin makmur karena
neoliberalisme, tetapi justru sebaliknya ketimpangan malahan menjadi realita baru yang tidak
hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang dan miskin, tetapi justru kini dihadapi oleh
negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat. Kebijakan pemulihan krisis ekonomi di AS,
baik kebijakan talangan (bail out) saat krisis kredit perumahan (subprime mortgage) 2009
maupun kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing) pada krisis kali ini, hanya
dinikmati 1 persen penduduk dan 99 persen selebihnya tak mendapat faedah (Stiglitz, 2012).
Tantangan terberat yang harus dihadapi oleh pemimpin nasional adalah kenyataan bahwa
neoliberalisme adalah sebuah keniscayaan. Fenomena yang tidak bisa dihindari karena akan
dihadapi dan dijalani oleh semua negara di dunia karena keterikatannya dengan struktur
internasional dalam sekotr ekonomi, politik dan social serta budaya. Hidup secara global

tentunya menjadi konskuensi kehidupan modern dewasa ini. Kenyataan yang riil di depan mata
adalah erosi terhadap peran negara dalam melindungi kepentingan masyarakat di level bawah.
Sinyalemen Fukuyama tentang pentingnya mengetengahkan peranan negara ditengah terpaan
neoliberalisme sudah dikabarkan sejak lama. Dalam bukunya State-Building: Governance and
World Order (2004), Fukuyama menyatakan bahwa kehadiran negara yang kuat sangat
diperlukan terutama dalam membuat dan memberlakukan aturan dan menjaga efisiensi birokrasi
untuk menghindari terjadinya penyuapan, korupsi, kolusi, dan sebagainya serta menjamin adanya
transparansi dan akuntabilitas sektor publik maupun swasta.
Untuk itu Erhad Erppler meyakini bahwa kehadiran negara pada tingkat “necessary” (sebatas
diperlukan) semakin penting. Gagasan “necessary state” menurut Eppler menampilkan negara
dalam wajah yang lembut dan mengembakan nilai-nilai kenegaraan yang esensial seperti
demokrasi, konstitusionalisme, penegakan hukum, dan penghargaan terhadap hak azasi manusia
(hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan budaya). Dengan merujuk pada sistem negara federal
Jerman, Eppler menyatakan bahwa “necessary state” hendaknya menjalankan sekurangkurangnya empat macam peran. Pertama, negara harus memegang monopoli pemungutan pajak
kepada rakyat dalam rangka distribusi kesejahteraan, terutama untuk melakukan subsidi silang
dari kelompok kaya kepada kelompok yang miskin. Kedua, negara harus menegakkan
kedaulatan hukum di dalam wilayah teritorialnya tanpa harus mencampuri wilayah hokum dan
teritori negara lain untuk menjaga ketertiban internasional. Ketiga, negara harus membentuk dan
terus mengembangkan identitas nasional sehingga penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu dan berada dalam suatu entitas bangsa menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari

komunitas negara-bangsa yang berdaulat. Keempat, negara harus terus-menerus berupaya untuk
mencapai tujuan kesejahteraan bersama bagi seluruh warganya dan melakukan intervensi
seperlunya dalam kerangka “social interventionist state” untuk menjamin terjadinya keadilan
sosial dan politik bagi seluruh warga (Hadiwinata, 2009:xi-xii).

Dengan begitu tantangan neoliberalisme menjadi penting untuk dihadapi oleh pemimpin nasional
karena tidak saja ia memang sebuah keniscayaan kehidupan modern, melainkan juga
berimplikasi serius terhadap perkembangan ekonomi dan stabilitas politik. Krisis moneter tahun
1997 sudah menjadi bukti sejarah ketika pemimpin nasional masa itu gagap merespon dampak
neoliberaslisme, sehingga krisis ekonomi berbuntut delegitimasi politik sebagai harga yang harus
dibayar. Kejatuhan Soeharto boleh disederhanakan karena implikasi negatif neoliberalisme yang
merusak pembangunan nasional dan meruntuhkan legitimasi politik yang sudah dibangunnya
selama 32 tahun lamanya.
Kepimimpinan Nasional Masa Kini
Demokrasi sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia sejak merdeka, dan menjadi medium
perkembangan kepemimpinan nasional yang beragam corak dan pengaruhnya. Suka atau tidak
demokrasi adalah gagasan politik yang paling sukses pada abad 20 sebagaimana Freedom House
melaporkan. Karena kini mayoritas negara di dunia mengamalkan demokrasi dengan berbagai
kualitas yang beragam. Setidaknya pemilihan umum menjadi instrumen yang wajib dalam
penyelenggaraan negara di dunia. Namun begitu berharap dengan demokrasi sepenuhnya akan

menuai kekecewaan jika tidak disetai kepemimpinan nasional yang merawat dan menjaga
sekaligus mengembangkan lebih baik. Sudah banyak contoh kasus betapa demokrasi dapat
melahirkan pemimpin yang otoriter, sektarian, korup, atau inkompeten, yang pada gilirannya
melemahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara (Karman, 2013), bahkan pemimpin fasis
sekalipun. Hitler adalah salah satu pemimpin fasis yang dipilih melalui proses yang demokratis.
Kini perkembangan demokrasi dan kepemimpinan ditantang sepenuhnya untuk sukses
berhadapan dengan implikasi neoliberalisme global. Fukuyama (2011) mengingatkan bahwa di
masa sekarang demokrasi modern baru bisa tumbuh kalau mempunyai tiga unsur, yaitu negara
kuat, rule of law, dan pemerintahan yang akuntabel. Sementara Hertz (2002) menyoratkan hal
senada yaitu dibutuhkan pemimpin yang cerdas secara politik untuk menjinakkan kapitalisme
agar manfaat demokrasi tidak diambil alih oleh para kapitalis. Rangkaian kritikan para pakar
sebagaimana penulis jelaskan diatas, baik itu Stiglitz, Erppler, Fukyama mahupun Hertz menjadi
penting untuk meletrakkan kepemimpinan nasional yang menyadari pentingnya menempatkan
negara ke posisi “necessary” (sebatas diperlukan). Memang perlu kuat tetapi negara juga perlu
menjalankan akuntabilitas yang tentunya memerlukan keterlibatan partisipasi masyarakatnya
secara aktif yang diperlukan untuk mengawal demokrasi agar tidak dibajak oleh para kapitalis
yang bergerak dengan perusahaan multinasionalnya. Terlebih penilaian rezim internasional
terhadap Indonesia yang menggembirakan hati para pemimpin nasional bisa menjerumuskan
ekonomi sekiranya tidak ditanggapi secara cerdas.
International Monetary Fund/IMF (2011) memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi jawara di
dunia, di mana pada tahun 2050 “kue” ekonomi Indonesia akan mencapai US $ 7 Milyar dan
berada pada ranking ke-7 dunia, setelah Amerika Serikat dan BRIC (Brazil, Russia, India,
China). World Bank (2011) pun tidak ketinggalan, mereka memperkirakan bahwa hingga 2025,
Indonesia akan menjadi satu dari 6 negara yang mempunyai kontribusi terbesar bagi
pertumbuhan ekonomi dunia. McKinsey (2012) lebih optimis dengan memproyeksikan bahwa
pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara terbesar ke-7 serta akan menggeser posisi

Jerman dan Inggris. PriceWaterhouseCooper (2013) mempunyai pandangan yang tak kalah
positif dan memperkirakan bahwa pada tahun yang sama Indonesia akan menjadi negara
ekonomi terbesar ke-8 dunia, dengan kekuatan ekonomi senilai US$ 6,3 Milyar
(Indonesiasetara.org, 2014).
Statistik menunjukkan bahwa di sela-sela prestasi gemilang itu, ketimpangan ekonomi di
Indonesia pun melebar dengan cepat. Sebagai gambaran, pada tahun 1990, 10% orang terkaya di
Indonesia mempunyai pendapatan setara dengan 5,9 kali pendapatan 10% orang termiskin; pada
tahun 2005 dan 2011, proporsi tersebut naik menjadi 7,8 kali dan 9,5 kali. Suatu fenomena yang
kurang menggembirakan. Apabila diukur menggunakan penguasaan aset (wealth) dan
penguasaan tanah, maka ketimpangan itu akan lebih mencolok lagi (Indonesiasetara.org, 2014).
Ketimpangan di Indonesia mengalami peningkatan pesat pada periode 2002–2013, seiring
dengan pertumbuhan ekonomi. Ada korelasi kuat antara pertumbuhan dan ketimpangan
ekonomi. Trend tersebut mengindikasikan adanya keterkaitan sistemik antara keduanya.
Terlepas dari perbaikan sederet indikator makro ekonomi, saat ini masih banyak rakyat yang
hidup dalam kemiskinan. Mereka tidak mendapatkan fasilitas dasar untuk bisa sekedar hidup
layak. Jika kita meluangkan waktu sejenak untuk melihat beberapa propinsi di Indonesia,
fenomena itu sangat kasat mata. Jalan yang rusak, angkutan umum tak layak, jembatan yang
membahayakan penyebrang, bangunan sekolah nyaris roboh, rumah sakit jauh dari memadai
merupakan contoh konkret. Fenomena yang sama semakin mudah ditemui ketika kita berkunjung
ke kawasan timur, atau di daerah terluar Indonesia.
Dengan realita demikian, kepemimpinan nasional Indonesia dituntut untuk melakukan beberapa
hal penting yang harus dilakukan oleh pemimpin sebagai berikut; pertama, haruslah sosok yang
bisa membuat perjalanan demokrasi di Indonesia berjalan mundur. Kasus demokrasi berjalan
mundur sudah terjadi dewasa ini di Libya, Mesir, Venezuela, Irak, dan Ukraina. Demokrasi
sudah terbuklti memberikan ruang yang memadai bagi keterlibatan masyarakat untuk terlibat
secara partisipatif dalam proses pengambilan keputusan, dan itu sudah berjalan baik di Indonesia
selama ini. Pemilu sudah terbukti berjalan damai dan lancar selama ini khususnya setelah tahun
2004. Keterlibatan masyarakat untuk mendukung kebijakan pemerintah sudah berjalan, baik
dalam tingkat nasional maupun tingkat lokal. Ini berarti kepemimpinan nasional benar-benar
dituntut untuk menjaga dan membangun demokrasi ke arah yang lebih baik.
Kedua, diperlukan pemimpin yang cerdas secara politik untuk memahami neoliberalisme secara
menyeluruh, baik implikasi positif maupun negatif. Implikasi positif neoliberalisme tentu saja
sepatutnya bisa diusahakan dengan baik. Invesatsi asing dan pertumbuhan ekonomi menjadi
kebutuhan mendesak agar masyarakat memiliki pendapatan per kapita yang lebih baik. Namun
begitu mengetengahkan implikasi negatif adalah hal yang mutlak harus disadari oleh pemimpin
nasional. Ketimpangan adalah buah neoliberalisme yang riil dan menjadi pekerjaan rumah
banyak pemimpin nasional di dunia. Amerika Serikat saja mengalami hal yang demikian, jika
pemimpin Indonesia mengabaikan hal ini maka akan dipastikan demokrasi akan ‘menghukum’
pemimpin tersebut untuk tidak dipilih kembali dalam pemilu berikutnya. Citra pemimpin yang
korup dan kurang peka serta terlalu elitis kini lebih mudah terpublikasi karena transparansi
menjadi keniscayaan akibat kemajuan teknologi media.

Ketiga, ditengah gugatan peranan negara oleh neoliberalisme dimana keberadaannya dianggap
mengganggu ‘hukum pasar’ maka dibutuhkan pemimpin yang mampu meracik tantangan ini
dengan kebutuhan yang paling mendasar yang diamanhkan demokrasi, yaitu melindungi
kepentingan rakyat. Peter Evans, Dietrich Rueschemeyer, dan Theda Skocpol mengedit sebuah
karya fenomenal berjudul Bringing the State Back In (1985) yang menunjukkan peran penting
negara dalam melakukan investasi sektor publik (infrastruktur, pendidikan, pelayanan publik,
sumberdaya alam, dll.), distribusi kesejahteraan melalui sistem perpajakan, dan membuat dan
mengimplementasikan kebijakan sosial (pelayananan kesehatan, tunjangan hari tua, jaminan
sosial, dll.) dengan merujuk pada pengalaman berbagai negara Eropa, Asia dan Amerika Latin.
Ini adalah peranan dasar negara yang tidak boleh digerus oleh neoliberalisme. Kecerdasan politik
pemimpin untuk tidak tergiur memperkuat negara dengan kepemimpinan otoriter dan tidak
lengah dan lemah akan tuntutan rakyat bawah yang anarkis menjadi taruhan penting
kepemimpinan nasional yang sukses menggerakkan negara ke posisi “necessary” (sebatas
diperlukan) atau akuntabel.
Keempat, diperlukan sosok pemimpin yang sukses membangun dan membentuk identitas
nasional sehingga penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu dan berada dalam suatu
entitas bangsa menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari komunitas negara-bangsa yang
berdaulat. Ini selari dengan gagasan Eppler yang mengingatkan kekuatan neoliberalisme yang
mampu menggerus identitas nasional dan melemahkan nasionalisme rakyat. Jika seorang
pemimpin gagal membangun kekuatan ini bisa dipastikan dukungan rakyat akan melemah dan
serbuan kapitalisme global menjadi mudah masuk karena hilangnya rasa nasionalisme dan
kebangsaan yang digantikan oleh pengejaran keuntungan ekonomi semata, yang pada gilirannya
meminggirkan posisi rakyat dalam menikmati kue pembangunan yang semestinya.
Penutup
Ini adalah konsekuensi logis jika menginginkan kempimpinan nasional yang kuat yang sukses
membawa peranan negara memenuhi kebutuhan raykat, yaitu kesejahteraan rakyat yang adil dan
makmur. Juga merupakan konsekuensi logis dari hubungan antara demokrasi dan kepemimpinan
nasional yang semestinya berlaku hubungan simbiosis mutualisma ditengah terpaan
neloiberalisme sebagai sebuah keniscayaan kehidupan modern dewasa ini.
Memilih pemimpin melalui mekanisme demokrasi telah berlangsung lebih dari satu dekade sejak
tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru. Demokrasi Indonesia bisa melahirkan pemimpin yang
kuat sekiranya rangkaian kebutuhan diatas terus disadari oleh para elit politik yang bersiap-siap
menjadi pemimpin nasional. Namun begitu diperlukan pemimpin dengan empat syarat diatas
yang bisa membawa negara ke arah posisi yang semestinya ditengah tuntutan neoliberalisme
yang wujud dewasa ini. Jika sukses dengan syarat-syarat diatas, demokrasi Indonesia akan
berkembang secara konsolidatif (matang), ekonomi tumbuh dengan daya reduksi ketimpangan
yang signifikan, kesejahteraan rakyat bisa dicapai dan kebanggaan nasional sebagai identitas
bangsa Indonesia yang disegani di dunia akan muncul secara membanggakan.

Daftar Pustaka
 Bob Sugeng Hadiwinata. (2009). “Refleksi Historis Kembalinya Peran ‘Negara’:
Pengantar”. Erppler, Erhard. (2009). Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal.
Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia. Jakarta.
 Deliarnov. (2002). Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Penerbit UI Press. Jakarta
 Erppler, Erhard. (2009). Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal. Friedrich-EbertStiftung Kantor Perwakilan Indonesia. Jakarta.
 Evans, Peter. Dietrich Rueschemeyer, dan Theda Skocpol. (1985). Bringing the State Back

In (eds.). University Press. Cambridge.
 Fukuyama, Francis. (2004). State-Building: Governance and World Order. Cornell
University Press. New York.
 Fukuyama, Francis. (2011). The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the
French Revolution. Farrar, Straus and Giroux.
 Hertz, Noreena. (2002). Silent Takeover and the Death of Democracy. William Heinemann.
London.
 I. Wibowo. (2003). “Pendahuluan”. I. Wibowo dan Francis Wahono. (eds.). Neoliberalisme.
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.Yogyakarta.
 Indonesiasetara.org. (2014).” Pertumbuhan Ekonomi Untuk Siapa?”.
http://indonesiasetara.org/mengurangi-ketimpangan-meluruskan-esensi-pembangunani.html. Muat turun 10 Juli 2014.
 Matthew Trachman. (2000). “Historicizing Leadership/Democratizing Leadership Studies”.
Paper delivered at the annual meeting of the International Leadership Association, Toronto,
Canada, November 2000), 1, 3, 7
 Milton Friedman. (1962). Capitalism and Freedom. University Chicago Press. Chicago.
 Mohtar Pabottingi (2013). “Kepemimpinan dan Demokrasi Kita: Akar-akar Kebangkrutan
Kepemimpinan di Era Reformasi dan Jalan Menuju Kebangkitan”. Prisma, Vol. 32, 2013.
 Stiglitz, Joseph E. (2012). The Price of Inequality. W.W. Norton & Company. New York.
 Yonki Karman. (2014). “Merawat Demokrasi”. Kompas, Sabtu, 12 Juli 2014.