FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN WHISTLE-BLOWING (STUDI PADA PNS BPK RI) Rizki Bagustianto

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN WHISTLE-BLOWING (STUDI PADA PNS BPK RI)

Rizki Bagustianto

rizki.bagustianto@yahoo.com

Nurkholis

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

ABSTRACT

This research aims to examine the influence of attitude towards whistle-blowing, organizational commitment, personal cost,and seriousness of wrongdoing on the whistle-blowing intentions among civil servants in the Supreme Audit Board of the Republic of Indonesia (BPK RI). This research used primary data collected from online questionnaire survey. Using a sample of 107 BPK RI’s civil servants from 35 different units, this research shows that three of the four determinants significantly affect whistle blowing intention. The three affecting determinants are attitude towards whistle-blowing, organizational commitment, and seriousness of wrongdoing. This research has implications on literatures by confirming the theory of Prosocial Organizational Behavior; Theory of Planned Behavior; and The Concept of Organizational Commitment, and is expected to help the government, particularly BPK-RI, in designing strategies to increase their employees whistle-blowing intention or in designing or enhancing the institution’s whistle-blowing system. The results have limitations on the aspects of generalization, selection bias in data collection, and the sensitivity of research’s theme which is potentially biased with real condition. We suggest the next researcher to explore other whistle-blowing intention’s determinants, design spesific research on channels and forms of whistle-blowing, re-examine the consistency of personal cost’s effect, avoid data collection methods that potentially cause selection bias, and expand the sample.

Key words: whistle-blowing intention, attitude towards whistle-blowing, organizational commitment, personal cost, seriousness of wrongdoing.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh faktor sikap terhadap whistle-blowing, komitmen organisasi, personal cost, dan tingkat keseriusan kecurangan terhadap minat whistle-blowing pegawai negeri sipil di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data primer yang dikumpulkan melalui survei kuesioner secara online. Menggunakan sampel 107 orang pegawai BPK RI yang berasal dari 35 induk unit kerja yang berbeda, hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga dari empat determinan secara signifikan berpengaruh terhadap minat whistle-blowing PNS BPK-RI. Ketiga determinan yang dimaksud adalah sikap terhadap whistle-blowing, komitmen organisasi, dan tingkat keseriusan kecurangan. Penelitian ini memberikan implikasi pada literatur dengan mengonfirmasi Teori Prosocial Organizational Behavior, Theory of Planned Behavior , dan konsep Komitmen Organisasi serta diharapkan dapat membantu pemerintah, khususnya BPK RI, dalam merancang strategi peningkatan minat whistle blowing pegawainya maupun dalam mendesain atau menyempurnakan whistle-blowing system pada institusinya. Hasil penelitian memiliki keterbatasan pada aspek generalisasi, selection bias dalam pengumpulan data, dan sensitifitas tema penelitian yang berpotensi menimbulkan bias dengan kondisi nyata. Melalui penelitian ini kami menyarankan peneliti berikutnya untuk mengeksplorasi determinan minat whistle-blowing lainnya, mendesain penelitian yang spesifik pada saluran dan bentuk whistle-blowing, menguji kembali konsistensi pengaruh variabel personal cost, menghindari metode pengumpulan data yang memunculkan selection bias, dan memperluas sampel.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil ... – Bagustianto, Nurkholis

Kata kunci: minat whistle-blowing, sikap terhadap whistle-blowing, komitmen organisasi, personal cost, tingkat keseriusan kecurangan

PENDAHULUAN

Maraknya tindak kecurangan yang terungkap beberapa tahun belakangan ini baik di sektor privat maupun di sektor pemerintahan mendapat perhatian yang serius dari publik. Khususnya yang terjadi di sektor publik di Indonesia, tipologi fraud yang paling sensitif dan menjadi perhatian adalah Korupsi. Berdasarkan Indeks Per- sepsi Korupsi (IPK) tahun 2015 yang di- terbitkan oleh Transparency International, Indonesia memperoleh nilai 36 atau berada pada peringkat 88 dari 168 negara yang disurvei. Hasil tersebut menunjukkan bah- wa persepsi korupsi di Indonesia masih tinggi. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 dan 2013 IPK Indonesia juga mendapat nilai yang tidak jauh berbeda yaitu 34 dan

32, sehingga dapat ditafsirkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai belum signifikan.

Korupsi selalu menimbulkan kerugian, untuk itu korupsi perlu diberantas. Se- berapapun kecilnya dana yang dikorupsi, pemberantasan korupsi kecil sama strategis- nya dengan pemberantasan korupsi besar (Diniastri, 2010). Bibit korupsi kecil jika dibiarkan dapat menjadi sebuah kebiasaan buruk yang berbuah korupsi besar. Untuk memberantas korupsi yang terjadi dalam suatu organisasi, tentu korupsi tersebut harus dideteksi terlebih dahulu. Salah satu alat yang efektif digunakan untuk men- deteksi korupsi adalah dengan member- dayakan Whistle-blower.

Whistle-blower adalah seseorang (pe- gawai dalam organisasi) yang memberi- tahukan kepada publik atau kepada pejabat yang berkuasa tentang dugaan ketidak- jujuran, kegiatan ilegal atau kesalahan yang terjadi di departemen pemerintahan, organi- sasi publik, organisasi swasta, atau pada suatu perusahaan (Susmanschi, 2012). Pe- ngaduan dari whistle-blower terbukti lebih efektif dalam mengungkap fraud dibanding- kan metode lainnya seperti audit internal,

pengendalian internal maupun audit ekster- nal (Sweeney, 2008). Pendapat tersebut se- jalan dengan Report to The Nation yang diterbitkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) setiap dua tahun sekali (terakhir tahun 2014) yang senantiasa me- nempatkan tips dalam peringkat teratas sumber pengungkap kecurangan. Pemaha- man terhadap efektifitas whistle-blowing tersebut kemudian memicu beragam organi- sasi untuk mulai proaktif mendeteksi ke- curangan dengan mengimplementasikan hotline whistle-blowing system melalui ber- bagai sarana komunikasi seperti melalui pengaduan telepon atau jaringan website/ internet.

Menjadi whistle-blower bukanlah suatu perkara yang mudah. Seseorang yang berasal dari internal organisasi umumnya akan menghadapi dilema etis dalam me- mutuskan apakah harus “meniup peluit” atau membiarkannya tetap tersembunyi. Sebagian orang memandang whistle-blower sebagai pengkhianat yang melanggar norma loyalitas organisasi, sebagian lainnya me- mandang whistle-blower sebagai pelindung heroik terhadap nilai-nilai yang dianggap lebih penting dari loyalitas kepada organi- sasi (Rothschild dan Miethe, 1999). Pandang- an yang bertentangan tersebut kerap men- jadikan calon whistle-blower berada dalam dilema kebimbangan menentukan sikap yang pada akhirnya dapat mendistorsi minat whistle-blowing.

Memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi minat pegawai untuk me- lakukan tindakan whistle-blowing penting dilakukan agar organisasi dapat merancang kebijakan dan sistem whistle-blowing yang paling efektif. Partisipasi whistle-blower krusial terhadap efektifitas sistem whistle- blowing, karena sistem akan percuma jika tidak seorangpun yang menggunakannya untuk melaporkan adanya tindakan fraud.

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan minat whistle-blowing telah meng-

278 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 2, Juni 2015 : 276 – 295

ungkap beberapa determinan dari minat Keuangan Republik Indonesia, yaitu sikap whistle-blowing . Penelitian yang dilakukan

terhadap whistle-blowing, komitmen organi- oleh Park dan Blenkinsopp (2008) dan

sasi, personal cost, dan tingkat keseriusan Winardi (2013) menggunakan kerangka

kecurangan. Penelitian ini juga dirancang theory of planned behavior dari ajzen (1991)

dengan maksud untuk mengonfirmasi hasil untuk menjelaskan faktor-faktor individual

penelitian sebelumnya. Penggunaan respon- yang membentuk minat whistle-blowing.

den yang berasal dari lingkungan BPK RI Salah satu faktor individual tersebut adalah

dan tambahan pengujian pengaruh faktor sikap terhadap whistle-blowing (attitude to-

komitmen organisasi dalam model peneliti- wards whistle-blowing ) yang menurut dua

an diharapkan dapat memperkaya hasil pe- penelitian tersebut memiliki pengaruh posi-

nelitian sejenis di sektor publik di Indonesia tif terhadap minat whistle-blowing. Selain

yang merupakan negara berkembang de- faktor individual, beberapa penelitian juga

ngan karakteristik tingkat korupsinya yang mengaitkan faktor situasional seperti ting-

masih tinggi.

kat keseriusan kecurangan (Kaplan dan Whitecotton, 2001; Sabang, 2013; Winardi,

TINJAUAN TEORETIS

2013)dan personal cost (Kaplan dan White-

Prosocial Organizatinal Behavior Theory

cotton, 2001; Winardi, 2013) sebagai faktor Brief dan Motowidlo (1986) mendefinisi- yang turut mempengaruhi minat whistle-

kan prosocial organizational behavior sebagai blowing .

perilaku/tindakan yang dilakukan oleh Tindakan whistle-blowing juga dapat

anggota sebuah organisasi terhadap indi- dikaitkan dengan prosocial organizational

vidu, kelompok, atau organisasi yang dituju behavior theory . Menurut Brief dan Moto-

kan untuk meningkatkan kesejahteraan widlo (1986), tindakan whistle-blowing me-

individu, kelompok, atau organisasi ter- rupakan salah satu bentuk tindakan pro-

sebut. Perilaku prososial bukanlah perilaku sosial anggota organisasi untuk menyampai

altruistik. Menurut Staub (1978) yang di- kan arahan, prosedur, atau kebijakan yang

kutip oleh Dozier dan Miceli (1985) bahwa menurutnya mungkin tidak etis, ilegal atau

perilaku prososial adalah perilaku sosial membawa bencana bagi tujuan jangka

positif yang dimaksudkan untuk memberi- panjang organisasi kepada individu atau

kan manfaat pada orang lain. Namun tidak badan lainnya yang memiliki posisi untuk

seperti altruisme, pelaku prososial juga da- melakukan tindakan korektif. Sehingga de-

pat memiliki maksud untuk mendapatkan ngan mengacu pada prosocial organizational

manfaat/keuntungan untuk dirinya juga. behavior theory , dapat disimpulkan bahwa

Prosocial behavior menjadi teori yang tindakan whistle-blowing seorang pegawai

mendukung terjadinya whistle-blowing. Brief menunjukkan bentuk komitmen pegawai

dan Motowidlo (1986) menyebutkan whistle- tersebut untuk melindungi organisasinya

blowing sebagai salah satu dari 13 bentuk dari ancaman hal-hal yang tidak etis atau

prosocial organizational behavior . Hal tersebut ilegal. Faktor komitmen organisasi tersebut

sejalan dengan pendapat Dozier dan Miceli telah digunakan pula dalam penelitian ter-

(1985) yang menyatakan bahwa tindakan dahulu (Somers dan Casal, 1994; Mesmer-

whistle-blowing dapat dipandang sebagai Magnus dan Viswesvaran, 2005; Ahmad et

perilaku prososial karena secara umum al. , 2012), hanya saja belum ada penelitian

perilaku tersebut akan memberikan manfaat yang mengujinya di Indonesia khususnya di

bagi orang lain (atau organisasi) disamping sektor publik.

juga bermanfaat bagi whistle-blower itu Penelitian ini memiliki tujuan untuk

sendiri.

menguji empat determinan minat whistle- Prosocial behavior theory memiliki be- blowing Pegawai Negeri Sipil (PNS) di

berapa variabel anteseden yang di- Indonesia pada lingkup Badan Pemeriksa

kelompokkan ke dalam dua kelompok

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil ... – Bagustianto, Nurkholis

besar. Pertama, Individual anteseden, merupakan aspek yang berasal dari indi- vidu pelaku tindakan prososial seperti kemampuan individu menginternalisasi standar keadilan, tanggung jawab individu terhadap lingkungan sosial, cara penalaran moral dan perasaan empati terhadap orang lain. Kedua, Kontekstual anteseden, me- rupakan aspek dari konteks organisasi dan lingkungan kerja seperti faktor norma, kohesivitas kelompok, panutan, gaya ke- pemimpinan, iklim organisasi, tekanan, komitmen organisasi, dan hal-hal lain yang dapat memengaruhi suasana hati, rasa kepuasan atau ketidakpuasan (Brief dan Motowidlo, 1986).

Theory of Planned Behavior

Theory of Planned Behaviour (TPB) adalah teori psikologi yang dikemukakan oleh Ajzen (1991) yang berusaha menjelaskan hubungan antara sikap dengan perilaku. TPB muncul sebagai jawaban atas ke- gagalan determinan sikap (attitude) dalam memprediksi tindakan/perilaku aktual (ac- tual behavior ) secara langsung. TPB mem- buktikan bahwa minat (intention) lebih akurat dalam memprediksi perilaku aktual dan sekaligus dapat sebagai proxy yang menghubungkan antara sikap dan perilaku aktual.

Menurut Ajzen (1991), minat diasumsi- kan untuk menangkap faktor motivasi yang mempengaruhi sebuah perilaku, yang di- tunjukkan oleh seberapa keras usaha yang direncanakan seorang individu untuk men- coba melakukan perilaku tersebut. Lebih lanjut TPB mempostulatkan bahwa secara konsep minat memiliki tiga determinan yang saling independen. Determinan per- tama adalah sikap terhadap perilaku (atti- tude towards behaviour ), yaitu tingkatan di- mana seseorang mengevaluasi atau menilai apakah perilaku tersebut menguntungkan (baik untuk dilakukan) atau tidak. Prediktor kedua adalah faktor sosial yang disebut norma subjektif (subjective norm), yang mengacu pada persepsi tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak

melakukan perilaku. Prediktor yang ketiga adalah persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral control ), yang mengacu pada kemudahan atau kesulitan yang dihadapi untuk melakukan perilaku. Tingkatan relatif dari ketiga determinan tersebut dapat berbeda-beda dalam berbagai perilaku dan situasi sehingga dalam pengaplikasiannya mungkin ditemukan bahwa hanya sikap yang berpengaruh pada minat, pada kondi- si lain sikap dan persepsi kontrol perilaku cukup untuk menjelaskan minat, atau bah- kan ketiga-tiganya berpengaruh. Dalam pe- nelitian ini tidak semua determinan tersebut digunakan dalam pengujian, melainkan hanya sikap terhadap perilaku saja yang digunakan karena menurut peneliti faktor ini paling menonjol perannya apabila di- kaitkan dengan minat whistle-blowing.

Faktor yang Mempengaruhi Minat Whistle-blowing

Bouville (2007) mendefinisikan whistle- blowing sebagai tindakan, dari seorang pegawai (atau mantan pegawai), untuk mengungkap apa yang ia percaya sebagai perilaku ilegal atau tidak etis kepada manajemen yang lebih tinggi/manajemen puncak (internal whistle-blowing) atau ke- pada otoritas/pihak berwenang di luar organisasi maupun kepada publik (external whistle-blowing ). Banyak penelitian yang telah dilakukan guna mencari faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk me- lakukan whistle-blowing dengan mengguna- kan minat whistle-blowing sebagai proxy-nya. Minat whistle-blowing berbeda dengan tinda- kan whistle-blowing aktual karena minat muncul sebelum tindakan whistle-blowing aktual, atau dengan kata lain diperlukan adanya minat whistle-blowing untuk mem- buat tindakan whistle-blowing aktual terjadi (Winardi, 2013).

Penelitian terdahulu sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan telah me- nguji faktor-faktor seperti sikap terhadap whistle-blowing (Park dan Blenkinsopp, 2009; Winardi, 2013), komitmen organisasi (So- mers dan Casal, 1994; Mesmer-Magnus dan

280 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 2, Juni 2015 : 276 – 295

Viswesvaran, 2005; Ahmad et al., 2012), personal cost (Kaplan dan Whitecotton, 2001;

dengan konsep TPB yang menyatakan Winardi, 2013) dan tingkat keseriusan ke-

bahwa sikap individu terhadap suatu peri- curangan (Kaplan dan Whitecotton, 2001;

laku/tindakan dipengaruhi oleh persepsi/ Sabang, 2013; Winardi, 2013). Faktor-faktor

keyakinannya terhadap konsekuensi/dam- tersebut telah diuji dengan menggunakan

pak dari perilaku (salient belief) dan penilai- berbagai responden penelitian seperti

an subjektif terhadap pentingnya konse- Petugas Kepolisian di Korea Selatan (Park

kuensi/dampak tersebut (subjective evalua- dan Blenkinsopp, 2009), Pegawai Negeri

tion ) oleh individu (Ajzen, 1991; Park dan Tingkat Bawah di Indonesia (Winardi,

Blenkinsopp, 2009; serta Winardi, 2013). 2013), Anggota dari National Association of

Sikap seorang PNS terhadap whistle- Accountants (NAA) (Somers dan Casal,

blowing akan mempengaruhi minat whistle- 1994), internal auditor di Malaysia (Ahmad

blowing PNS tersebut. Seorang PNS untuk et al. , 2012), audit senior dari kantor akuntan

dapat menjadi whistle-blower harus memiliki publik internasional (Kaplan dan White-

komponen kognitif atau keyakinan (salient cotton, 2001), dan auditor internal (Inspek-

belief ) bahwa whistle-blowing adalah suatu torat) di lingkungan Pemerintah Provinsi

tindakan yang memiliki konsekuensi positif Sulawesi Selatan (Sabang, 2013). Pada pe-

misalnya untuk melindungi organisasi, nelitian ini faktor-faktor tersebut akan coba

memberantas korupsi, memunculkan efek digunakan dalam model penelitian di sektor

jera, menumbuhkan budaya antikorupsi, publik dengan menggunakan responden

menghasilkan manfaat pribadi seperti repu- PNS yang berasal dari lingkungan BPK RI.

tasi, reward dan sebagainya. Selanjutnya keyakinan terhadap konsekuensi positif

Sikap Terhadap Whistle-Blowing

tersebut dievaluasi (subjective evaluation) Sikap adalah perasaan positif atau

oleh sistem nilai individu bersangkutan dan negatif atau keadaan mental yang selalu

menghasilkan reaksi emosional. Hanya re- disiapkan, dipelajari, dan diatur melalui

aksi emosional positiflah yang kemudian pengalaman, yang memberikan pengaruh

akan mampu memicu kecenderungan se- khusus pada respon seseorang terhadap

seorang untuk melakukan whistle-blowing. orang, objek-objek atau keadaan (Gibson et

Semakin besar kecenderungan sikap sese- al. , 2012). Park dan Blenkinsopp (2009)

orang untuk melakukan whistle-blowing se- mendefinisikan sikap sebagai penilaian

harusnya akan semakin besar pula ke- seorang individu atas seberapa setuju atau

mungkinan meningkatnya minat whistle- tidak setujunya individu tersebut terhadap

blowing orang tersebut.

suatu perilaku/tindakan tertentu. Menurut Sejalan dengan konsep yang diungkap- theory of planned behavior (TPB), sikap adalah

kan di atas, penelitian terdahulu menemu- salah satu variabel yang mempengaruhi

kan bahwa sikap terhadap whistle-blowing minat perilaku seseorang.

memang berpengaruh terhadap minat Secord dan Backman (1964) membagi

whistle-blowing petugas kepolisian di Korea sikap menjadi tiga komponen. Pertama

Selatan (Park dan Blenkinsopp, 2009) dan komponen kognitif yang berhubungan de-

pegawai negeri tingkat bawah di Indonesia ngan pengetahuan dan keyakinan. Kedua

(Winardi, 2013). Berdasarkan penjelasan di komponen afektif, yaitu komponen emosi-

atas dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, onal yang berhubungan dengan perasaan

hipotesis pertama yang diajukan dalam senang atau tidak senang, sehingga bersifat

penelitian ini ialah:

evaluatif. Ketiga komponen konatif, yaitu

H 1 : Sikap terhadap whistle-blowing berpe- kesiapan dan kecenderungan untuk ber-

ngaruh positif terhadap minat pegawai tingkah laku terhadap objek sikap. Konsep

negeri sipil untuk melakukan tindakan Secord dan Backman (1964) tersebut sejalan

whistle-blowing .

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil ... – Bagustianto, Nurkholis

Komitmen Organisasi

tidak mampu untuk menjelaskan minat Mowday et al. (1979) mendefinisikan

perilaku whistle-blowing internal auditor di komitmen organisasi sebagai kekuatan

Malaysia.

relatif identifikasi dan keterlibatan individu Berdasarkan penjelasan di atas dan dalam organisasi tertentu yang dapat di-

hasil-hasil penelitian sebelumnya, hipotesis tandai dengan tiga faktor terkait yaitu:

ke dua yang diajukan ialah: pertama, keyakinan yang kuat dan pe-

H 2 : Komitmen organisasi berpengaruh nerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai

positif terhadap minat pegawai negeri organisasi; kedua, kesediaan untuk me-

sipil untuk melakukan tindakan whistle- ngerahkan usaha yang cukup atas nama

blowing .

organisasi; dan ketiga, keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan da-

Personal Cost

lam organisasi (loyalitas). Karyawan yang Personal cost of reporting adalah pan- berkomitmen terhadap organisasi akan me-

dangan pegawai terhadap risiko pembalas- nunjukkan sikap dan perilaku positif ter-

an/ balas dendam atau sanksi dari anggota hadap lembaganya, karyawan akan me-

organisasi, yang dapat mengurangi minat miliki jiwa untuk tetap membela organi-

pegawai untuk melaporkan wrongdoing sasinya, berusaha meningkatkan prestasi,

(Schutlz et al., 1993). Anggota organisasi dan memiliki keyakinan yang pasti untuk

yang dimaksud dapat saja berasal dari mewujudkan tujuan organisasi (Kuryanto,

manajemen, atasan, atau rekan kerja. Be- 2011). Pegawai yang memiliki komitmen

berapa pembalasan dapat terjadi dalam organisasi yang tinggi di dalam dirinya

bentuk tidak berwujud (intangible), misalnya akan timbul rasa memiliki organisasi (sense

penilaian kinerja yang tidak seimbang, of belonging ) yang tinggi sehingga ia tidak

hambatan kenaikan gaji, pemutusan kon- akan merasa ragu untuk melakukan whistle-

trak kerja, atau dipindahkan ke posisi yang blowing karena ia yakin tindakan tersebut

tidak diinginkan (Curtis, 2006). Tindakan akan melindungi organisasi dari kehancur-

balasan lainnya mungkin termasuk lang- an.

kah-langkah yang diambil organisasi untuk Beberapa penelitian terdahulu meng-

melemahkan proses pengaduan, isolasi hasilkan temuan yang berlawanan berkaitan

whistle-blower , pencemaran karakter dan dengan pengaruh komitmen organisasi

nama baik, mempersulit atau memper- terhadap minat whistle-blowing. Hasil pe-

malukan whistle-blower, pengecualian dalam nelitian Somers dan Casal (1994) me-

rapat, penghapusan penghasilan tambahan, nyimpulkan bahwa komitmen organisasi

dan bentuk diskriminasi atau gangguan berpengaruh terhadap minat whistle-blowing

lainnya (Parmerlee et al.,1982). Sabang pada anggota dari National Association of

(2013) juga menambahkan bahwa personal Accountant (NAA). Pada penelitian tersebut

cost bukan hanya dampak tindakan balas responden yang diklasifikasikan dalam

dendam dari pelaku kecurangan, melainkan tingkatan berkomitmen organisasi moderat

juga keputusan menjadi pelapor dianggap memiliki kecenderungan untuk melaporkan

sebagai tindakan tidak etis, misalnya me- wrongdoing paling tinggi dibandingkan

laporkan kecurangan atasan dianggap se- yang memiliki komitmen organisasi rendah

bagai tindakan yang tidak etis karena ataupun tinggi. Hasil berbeda diperoleh

menentang atasan.

pada penelitian Mesmer-Magnus dan Vis- Semakin besar persepsi personal cost wesvaran (2005) yang menemukan bahwa

seseorang maka akan semakin berkurang komitmen organisasi tidak memiliki kore-

minat orang tersebut untuk melakukan lasi/keterkaitan dengan minat whistle-

tindakan whistle-blowing. Personal cost dapat blowing . Penelitian Ahmad et al. (2012) juga

saja didasarkan pada penilaian subjektif menunjukkan bahwa komitmen organisasi

(Curtis, 2006), yang artinya persepsi/

282 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 2, Juni 2015 : 276 – 295

ekspektasi personal cost antar pegawai dapat serius dibandingkan dari wrongdoing yang saja berbeda bergantung penilaian masing-

kurang serius (Winardi, 2013). masing. Namun menurut Miceli dan Near

Persepsi tiap anggota organisasi ter- (1985) keseragaman peran pembalasan tetap

hadap tingkat keseriusan kecurangan dapat dapat ditelusuri. Anggota organisasi yang

saja berbeda antara satu dengan yang kehilangan pekerjaannya atau mendapatkan

lainnya. Pembentuk persepsi tingkat ke- gangguan setelah melaporkan wrongdoing

seriusan kecurangan selain berkaitan de- mungkin akan memandang pelaporan se-

ngan besaran nilai kecurangan, juga tidak bagai tindakan yang harus dibayar mahal

dapat dipisahkan dari jenis kecurangan dan dihukum. Oleh karena itu, tindakan

yang terjadi. Miceli, Near dan Schwenk whistle-blowing akan merupakan fungsi per-

(1991) mengatakan bahwa anggota organi- sepsi (ekspektasi) individu bahwa ke-

sasi mungkin memiliki reaksi yang berbeda mungkinan tindakan whistle-blowing akan

terhadap berbagai jenis kecurangan. Walau- menghasilkan outcome seperti perhatian

pun jenis kecurangan berhubungan dengan manajemen terhadap keluhan, upaya peng-

pembentukan persepsi, namun tingkat ke- hentian wrongdoing, serta tidak ada pem-

seriusan kecurangan tidak dapat diukur balasan.

dari jenis kecurangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Mes- Ukuran keseriusan kecurangan dapat mer-Magnus dan Viswesvaran (2005) me-

bervariasi. Beberapa penelitian terdahulu nunjukkan bahwa ancaman pembalasan

menggunakan perspektif kuantitatif untuk memiliki hubungan/korelasi negatif de-

mengukur keseriusan kecurangan seperti ngan minat untuk melakukan whistle-

yang dilakukan oleh Schultz et al. (1993) dan blowing . Penelitian Kaplan dan Whitecotton

Menk (2011) yang menerapkan konsep (2001) juga menunjukkan bahwa personal

materialitas dalam konteks akuntansi se- cost merupakan prediktor signifikan ter-

hingga keseriusan kecurangan diukur ber- hadap minat auditor untuk melaporkan

dasarkan variasi besarnya nilai wrongdoing/ auditor lainnya yang melakukan pelanggar-

kecurangan/kerugian akibat kecurangan. an aturan profesional (dalam bentuk client

Perspektif kuantitatif tersebut merupakan employment ). Temuan mengejutkan datang

pendekatan yang paling mudah dilakukan dari penelitian Winardi (2013) yang me-

karena indikatornya yang jelas, terukur dan nyimpulkan bahwa ternyata variabel per-

mudah diamati. Penelitian yang dilakukan sonal cost of reporting tidak mampu menjadi

oleh Curtis (2006) menggunakan pendekat- faktor yang menjelaskan minat whistle-

an kualitatif seperti kemungkinan wrong- blowing pada pegawai negeri tingkat bawah.

doing dapat merugikan pihak lain, tingkat Berdasarkan penjelasan di atas dan

kepastian wrongdoing menimbulkan dam- hasil-hasil penelitian sebelumnya, hipotesis

pak negatif dan tingkat keterjadian wrong- ke tiga yang diajukan ialah:

doing .

H 3 : Personal Cost berpengaruh negatif ter- Hasil penelitian yang dilakukan oleh hadap minat pegawai negeri sipil untuk

Menk (2011) menghasilkan bukti bahwa melakukan tindakan whistle-blowing.

faktor materialitas permasalahan berpe- ngaruh positif terhadap posisi etis dan sifat

Tingkat Keseriusan Kecurangan

kepribadian, dan melalui keduanya secara Anggota organisasi yang mengamati

konsisten menciptakan perbedaan signifi- adanya dugaan wrongdoing /kecurangan

kan pada minat melaporkan permasalah akan lebih mungkin untuk melakukan

tersebut. Hasil penelitian yang menyimpul- whistle-blowing jika wrongdoing/kecurangan

kan bahwa tingkat keseriusan wrongdoing tersebut serius (Miceli dan Near, 1985).

secara signifikan berpengaruh positif ter- Organisasi akan terkena dampak kerugian

hadap minat whistle-blowing juga ditemukan yang lebih besar dari wrongdoing yang lebih

pada penelitian

yang menggunakan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil ... – Bagustianto, Nurkholis

responden auditor internal (Inspektorat) mencurigakan (questionable behaviour) dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

rekan kerjanya.

(Sabang, 2013) dan pegawai negeri tingkat Berdasarkan penjelasan di atas dan bawah (Winardi, 2013). Hasil berbeda di-

hasil-hasil penelitian sebelumnya, hipotesis tunjukkan dari penelitian Kaplan dan

terakhir yang diajukan ialah: Whitecotton (2001), bahwa persepsi penilai-

H 4 : Tingkat keseriusan kecurangan ber- an keseriusan tidak berhubungan dengan

pengaruh positif terhadap minat pe- minat auditor untuk melaporkan perilaku

gawai negeri sipil untuk melakukan tindakan whistle-blowing.

Sikap terhadap Whistle-Blowing

Komitmen Organisasi

Minat Melakukan Whistle-

H 3 Blowing Personal Cost

Tingkat Keseriusan Kecurangan

Gambar 1 Rerangka kerja penelitian

Sumber: Analisis Penulis

Berdasarkan hipotesis yang telah uji reliabilitas terhadap data primer yang dibuat, maka secara umum rerangka kerja

dikumpulkan dari responden. Setelah lolos penelitian ini dapat dilihat pada gambar

uji validitas dan reliabilitas maka dapat diagram 1 di atas.

dilanjutkan ke langkah analisis regresi untuk memperoleh persamaan matematis

METODE PENELITIAN

model regresi. Terhadap persamaan regresi

Metode Analisis Data

yang dihasilkan kemudian dilakukan pe- Analisis data dalam penelitian ini

ngujian asumsi klasik terlebih dahulu yang menggunakan alat statistik regresi linier

meliputi uji normalitas, uji non-multi- berganda (Multiple linier regresion). Alat

kolinieritas, dan uji non-heterokedastisitas. statistik ini dipilih dengan pertimbangan

Pengujian asumsi klasik dilakukan untuk bahwa hipotesis penelitian dikembangkan

memperoleh keyakinan bahwa persamaan menggunakan empat (>3) variabel inde-

regresi yang telah dihasilkan memiliki penden, sehingga diharapkan melalui ana-

ketepatan dalam estimasi, tidak bias dan lisis regresi linier berganda mampu men-

konsisten. Model persamaan regresi yang jelaskan hubungan linier antara variabel

telah lulus uji asumsi klasik kemudian akan independen dengan variabel dependen

digunakan lebih lanjut dalam pengujian dalam pengujian hipotesis. Analisis statistik

hipotesis.

dilakukan dengan bantuan perangkat lunak statistik SPSS versi 17.

Populasi dan Sampel

Sebelum melakukan analisis regresi Populasi dalam penelitian ini adalah linier berganda, peneliti melakukan uji

seluruh pegawai negeri sipil yang bekerja validitas terhadap instrumen kuesioner dan

pada berbagai unit kerja di Instansi BPK.

284 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 2, Juni 2015 : 276 – 295

Teknik sampling yang digunakan adalah terdahulu. Kuesioner yang digunakan akan pemilihan sampel menggunakan metode

mengukur satu variabel dependen dan purposive sampling dengan berdasarkan per-

empat variabel independen sesuai model timbangan (judgement) yaitu pemilihan sam-

penelitian yang telah ditetapkan. Skala yang pel yang didasarkan pada tujuan dan masa-

digunakan untuk pengukuran adalah skala lah penelitian. Dalam penelitian ini sampel

likert yang dinyatakan dengan rentang diambil dari pegawai baik di unit kerja

angka 1 sampai dengan angka 5. utama (pemeriksa) maupun di unit kerja

Minat melakukan tindakan whistle- penunjang dan pendukung dengan kriteria

blowing (variabel dependen) diukur dari tingkat pendidikan minimal D3 dan peng-

seberapa keras usaha yang direncanakan alaman bekerja minimal satu tahun sehing-

PNS BPK untuk mencoba melakukan

ga diharapkan memiliki pengetahuan yang whistle-blowing (Ajzen, 1991). Usaha yang memadai, pemahaman terhadap kondisi

dilakukan oleh calon whistle-blower dapat lingkungan kerja yang cukup, dan memiliki

berupa rencana melakukan whistle-blowing persepsi dan pertimbangan yang kompre-

baik melalui saluran internal maupun hensif terhadap minat whistle-blowing. Jum-

saluran eksternal. Model pengukuran varia- lah pegawai BPK yang memenuhi kriteria

bel minat tersebut mengikuti model kuesi- sampling tersebut adalah sebanyak 5.389

oner penelitian Ajzen (2002), Park dan orang dari total 6.205 pegawai aktif BPK

Blenkinsopp (2009) dan Winardi (2013) yang (data per 1 Oktober 2014). Dari jumlah ter-

dimodifikasi. Terdapat total lima item per- sebut, responden yang menjadi sampel

nyataan kuesioner untuk menilai apakah adalah sebanyak 107 orang. Jumlah sampel

responden memiliki kecenderungan minat tersebut masih masuk dalam rentang sam-

yang tinggi untuk melakukan whistle blow- pel untuk penelitian korelasional yaitu >

ing . Item pertanyaan tersebut meliputi niat/ dari 30 atau < dari 500 (Sekaran dan Bougie,

minat untuk melakukan tindakan whistle- 2010).

blowing , keinginan untuk mencoba melaku- kan tindakan whistle-blowing, rencana untuk

Teknik Pengumpulan Data

melakukan tindakan whistle-blowing, usaha Data yang digunakan dalam penelitian

keras untuk melakukan internal whistle- ini merupakan data primer yang diperoleh

blowing dan usaha keras untuk melakukan langsung dari sumbernya. Data yang di-

external whistle-blowing jika internal whistle- gunakan berupa opini dari subjek penelitian

blowing tidak memungkinkan. yang dikumpulkan dengan menggunakan

Instrumen pengukuran sikap terhadap metode survei yaitu melalui kuesioner.

whistle-blowing dalam penelitian ini meng- Pengumpulan data dilakukan secara online

ikuti model kuesioner yang digunakan (internet based) dengan bantuan layanan

dalam penelitian Park dan Blenkinsopp aplikasi survei online bernama kwiksurveys

(2009) dan Winardi (2013). Pertanyaan kuesi- (kwiksurveys.com). Proteksi terhadap link/

oner dirancang untuk mendapatkan respon alamat website untuk pengisian kuesioner

atas seberapa yakin responden terhadap dilakukan dengan pengaplikasian kode

lima konsekuensi/dampak positif yang sandi (password) pada link website kuesioner,

menonjol (salient belief) dari whistle-blowing sehingga hanya responden BPK saja yang

yang meliputi melindungi organisasi dari dapat mengakses website kuesioner tersebut.

dampak negatif yang lebih besar akibat perilaku fraud/korupsi, memberantas korup-

Desain Kuesioner

si, melindungi kepentingan umum, men- Peneliti tidak mengembangkan sendiri

jalankan kewajiban sebagai seorang pe- model pertanyaan dalam kuesioner melain-

gawai negeri sipil, dan menegakkan ke- kan menggunakan model pertanyaan yang

wajiban etis dan keyakinan moral. Kemudi- telah ada dan digunakan pada penelitian

an pertanyaan juga dirancang untuk

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil ... – Bagustianto, Nurkholis

mendapatkan respon atas seberapa penting lima konsekuensi/dampak positif tindakan whistle-blowing tersebut menurut penilaian responden (evaluation of importance).

Instrumen pengukuran

komitmen

organisasi dalam penelitian ini mengikuti model kuesioner OCQ (The Organizational Commitment Questionnaire ) dari Mowday et al. (1979). OCQ digunakan untuk mengukur tiga faktor komitmen organisasi sebagai- mana dijelaskan pada bagian tinjauan teore- tis yang meliputi keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi, dan keinginan yang kuat untuk memper- tahankan keanggotaan dalam organisasi (loyalitas). OCQ menggunakan 15 item per- nyataan, enam diantaranya berbentuk kali- mat negatif dan diukur terbalik (reverse scored ). Penggunaan pernyataan kalimat negatif dilakukan sebagai upaya me- ngurangi kemungkinan respon yang bias dan mendeteksi responden yang asal men- jawab atau tidak konsisten.

Pengukuran persepsi personal cost dan tingkat keseriusan kecurangan mengguna- kan model kuesioner dan manipulasi dalam bentuk kasus cerita yang telah digunakan oleh Winardi (2013) dan Sabang (2013) dalam penelitiannya, namun dimodifikasi sesuai dengan kondisi di BPK. Dua kasus diceritakan dalam skenario yang realistis dan memungkinkan responden untuk me- nempatkan diri dalam posisi karakter yang digambarkan dalam skenario. Kasus per- tama digambarkan sebagai kasus kecurang- an belanja fiktif yang umum terjadi di lingkup pemerintahan di Indonesia dengan nilai materialitas 9%. Tipe personal cost yang digambarkan pada kasus pertama adalah hambatan karir/promosi dan pengasingan pegawai melalui mutasi. Kasus kedua di- gambarkan sebagai kasus kecurangan mark- up realisasi belanja yang juga umum terjadi di Indonesia dengan nilai materialitas ke- curangan yang sama dengan kasus pertama yaitu 9%. Tipe personal cost yang di- gambarkan pada kasus kedua ini adalah

rusaknya hubungan kerja dengan rekan kerja. Pada kedua kasus tersebut, responden akan ditanyakan penilaiannya terhadap tingkat keseriusan kecurangan dan persepsi risiko personal cost yang digambarkan dalam kasus. Pada bagian akhir, ditanyakan bagai- mana penilaian responden apabila materia- litas kecurangan diturunkan (menjadi 0,2%). Pertanyaan berulang terhadap penilaian tingkat keseriusan kecurangan ditujukan untuk menilai konsistensi penilaian tingkat keseriusan kecurangan antara kasus per- tama dengan kasus kedua dan menghindari bias yang disebabkan perbedaan jenis ke- curangan yang digambarkan.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Karakteristik Responden

Jumlah kuesioner terjawab yang masuk ke dalam aplikasi kwiksurveys adalah se- banyak 131 kuesioner, dari jumlah tersebut hanya sebanyak 107 kuesioner yang dapat diproses dalam penelitian ini, sedangkan sebanyak 24 kuesioner tidak dapat diguna- kan dengan rincian sebanyak 17 kuesioner tidak terisi secara lengkap dan sebanyak 7 kuesioner dikeluarkan dari analisis karena dianggap mengganggu reliabilitas ke- seluruhan data.

Keseluruhan responden yang me- menuhi persyaratan untuk dianalisis lebih lanjut berasal dari 35 induk unit kerja yang berbeda di berbagai kantor BPK RI yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan letak wilayah kedudukan kantornya, responden yang berasal dari Kantor Pusat BPK RI menjadi penyumbang responden terbanyak yaitu sebesar 38,32%, disusul dengan BPK RI Perwakilan Provinsi Aceh sebesar 19,63%, dan sisanya berasal dari berbagai kantor perwakilan BPK RI lainnya. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (71,96%), berusia antara 25 tahun sampai dengan 35 tahun (85,98%), memiliki masa kerja antara 5 tahun sampai dengan 10 tahun (66,36%), dan merupakan pegawai fungsional pemeriksa (59,81%). Berdasarkan jenjang pendidikan terakhir yang telah di- tempuh, sebesar 31,78% responden ber-

286 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 2, Juni 2015 : 276 – 295

jenjang pendidikan Diploma III, 54,20%

Tabel 2

berjenjang pendidikan sarjana (S1) atau

Pengujian Ulang KMO

Diploma IV, dan 14,02% responden ber-

dan Bartlett pada Variabel Independen

jenjang pendidikan S2. Kaiser-Meyer-Olkin MSA

0,756 Bartlett’s Test of Sphericity

Validitas Instrumen Penelitian

Uji validitas dalam penelitian ini di-

lakukan dengan menggunakan prosedur

Sumber: Output SPSS

analisis faktor CFA (Confirmatory Factor Analysis ) dikarenakan peneliti mengguna-

Seluruh item pertanyaan juga telah kan model pertanyaan kuesioner yang telah

valid yang ditandai dengan seluruh nilai digunakan dalam penelitian terdahulu.

MSA yang lebih besar dari 0.3 (lihat Tabel Hasil pengujian validitas terhadap ke-

3). Sehingga seluruh item pertanyaan selain seluruhan variabel independen menghasil-

item KO_7 dapat digunakan untuk peng- kan nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of

ujian hipotesis.

SamplingAdequacy (KMO MSA) sebesar 0.744 (>0.5). Hasil pengujian Bartlett juga

Tabel 3

menunjukkan nilai Chi square adalah sebesar

Korelasi Anti Image

1893,339 dan signifikan pada p<0.01.

pada Uji Validitas Ulang

Kode Tabel 1

Item Pengujian Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) dan

Bartlett pada Variabel Independen

0.778 KO_8 0.850 Kaiser-Meyer-Olkin MSA

SWB_2

0.798 KO_9 0.742 Bartlett’s Test of Sphericity

SWB_3

0.738 KO_10 0.850 Chi-Square

Sumber: Data Primer Diolah (Output SPSS)

SWB_7

0.777 KO_13 0.850

0.811 KO_14 0.716 Terdapat satu item pertanyaan untuk

SWB_8

0.704 KO_15 0.856 pengukuran komitmen organisasi dengan

SWB_9

0.753 PC_1 0.474 kode KO_7 yang memiliki Korelasi Anti-

SWB_10

0.826 PC_2 0.402 Image dengan nilai MSA (Measures of

KO_1

0.810 TKK_1 0.710 Sampling Adequacy ) sebesar 0,252 atau

KO_2

0.684 TKK_2 0.416 kurang dari 0,3 (lihat tabel 4). Sehingga item

KO_3

0.521 TKK_3 0.556 pertanyaan KO_7 harus dikeluarkan ter-

KO_4

0.758 TKK_4 0.446 lebih dahulu dari analisis.

KO_5

Sumber: Data Primer Diolah (Output SPSS)

Hasil pengujian ulang validitas ter- hadap validitas instrumen penelitian varia-

Prosedur CFA yang telah dilakukan bel independen setelah item pertanyaan

pada variabel independen selain menguji KO-7 dikeluarkan diperoleh nilai KMO

validitas instrumen kuesioner, juga meng- MSA sebesar 0,756 atau naik 0,012 dari

hasilkan empat output komponen faktor sebelumnya yaitu 0.744, nilai tersebut sudah

yang merupakan ekstraksi dari item-item berada di atas 0.5 dan signifikan. Selain itu

pertanyaan kuesioner dan mewakili ke- hasil pengujian Bartlett juga menunjukkan

empat variabel independen. Keseluruhan nilai Chi square adalah sebesar 1867,153 dan

nilai komponen faktor telah berada di atas signifikan pada p<0.01 (lihat Tabel 2).

nilai 0,3.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil ... – Bagustianto, Nurkholis

Tabel 4 Korelasi Anti-ImageSebelum Item KO_7 Dikeluarkan

Variabel Independen

Kode

Ringkasan Item Pertanyaan MSA

Item

Berikan penilaian dan pendapat terhadap tiap manfaat whistle-blowing di bawah ini:

SWB_1 Melindungi organisasi dari dampak negatif 0.842 yang lebih besar akibat perilaku fraud/korupsi SWB_2 Memberantas Korupsi

SWB_3 Melindungi kepentingan umum

0.786 SWB_4 Menjalankan kewajiban sebagai seorang PNS

0.725 SWB_5 Menegakkan kewajiban etis dan keyakinan 0.834 Sikap Terhadap

moral

Whistle-Blowing (SWB)

Berikan penilaian seberapa penting tiap manfaat whistle-blowing di bawah ini:

SWB_6 Melindungi organisasi dari dampak negatif 0.867 yang lebih besar akibat perilaku fraud/korupsi SWB_7 Memberantas Korupsi

SWB_8 Melindungi kepentingan umum

0.780 SWB_9 Menjalankan kewajiban sebagai seorang PNS

0.698 SWB_10 Menegakkan kewajiban etis dan keyakinan 0.758

moral KO_1 Berusaha dan bekerja lebih keras untuk 0.815 membantu BPK mencapai tujuannya KO_2 Menyampaikan kepada teman bahwa BPK 0.811 adalah organisasi yang baik untuk bekerja KO_3 Loyalitas pada BPK tidak tinggi

0.638 KO_4 Rela menerima berbagai jenis penugasan agar 0.510

tetap dapat bekerja di BPK KO_5 Nilai-nilai individu yang dianut memiliki 0.765 kesamaan dengan nilai-nilai organisasi di BPK KO_6 Bangga memberitahukan kepada orang lain 0.797

karena merupakan bagian dari BPK

Komitmen Organisasi KO_7 Merasa ingin dan bisa saja pindah bekerja di 0.252* (KO)

selama jenis pekerjaannya serupa dengan di BPK KO_8 BPK menginspirasi untuk meningkatkan 0.855

kinerja KO_9 Keluar dari BPK tidak akan banyak 0.735

mempengaruhi kehidupan KO_10 Senang dengan keputusan diri sendiri yaitu: 0.853 lebih memilih bekerja di BPK dibandingkan menerima tawaran pekerjaan lainnya yang dulu pernah datang

KO_11 Tidak banyak manfaat yang akan saya peroleh 0.817

dengan tetap bekerja di BPK

288 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 2, Juni 2015 : 276 – 295

Tabel 4 lanjutan

Variabel Independen

Kode

Ringkasan Item Pertanyaan MSA

Item

KO_12 Seringkali merasa sulit untuk setuju pada 0.551 kebijakan BPK mengenai hal-hal penting yang berkaitan dengan pegawainya

KO_13 Peduli pada nasib BPK

0.852 KO_14 BPK adalah yang terbaik dibandingkan dengan 0.702

organisasi lainnya KO_15 Memutuskan untuk bekerja di BPK adalah 0.857

sebuah kesalahan

PC_1

Penilaian seberapa besar resiko yang akan 0.445 dihadapi pada kasus 1

Personal Cost (PC)

PC_2

Penilaian seberapa besar resiko yang akan 0.416 dihadapi pada kasus 2

TKK_1 Penilaian tingkat keseriusan perilaku korupsi 0.682 yang dilakukan oleh pelaku pada Kasus 1

TKK_2 Penilaian tingkat keseriusan perilaku korupsi 0.392 yang dilakukan oleh pelaku pada Kasus 1 jika Tingkat Keseriusan

tingkat materialitas diturunkan

Kecurangan (TKK) TKK_3 Penilaian tingkat keseriusan perilaku korupsi 0.556 yang dilakukan oleh pelaku pada Kasus 2 TKK_4 Penilaian tingkat keseriusan perilaku korupsi 0.419 yang dilakukan oleh pelaku pada Kasus 2 jika tingkat materialitas diturunkan

Menurut Kline (1994) nilai factor loading Terhadap Whistle-Blowing (SWB), faktor 2 (korelasi antara variabel dengan faktor) di

mewakili variabel Komitmen Organisasi atas 0,6 menunjukkan korelasi yang tinggi,

(KO), faktor 3 mewakili variabel Tingkat di atas 0,3 berarti cukup tinggi, dan kurang

Keseriusan Kecurangan (TKK), dan faktor 4 dari 0,3 dapat di abaikan. Berdasarkan hasil

mewakili variabel Personal Cost (PC). Ke- dari analisis faktor konfirmatori (lihat tabel

empat faktor tersebut masing-masing mem-

5) dapat disimpulkan bahwa komponen punyai nilai eigenvalue yang lebih besar dari faktor 1 adalah mewakili variabel Sikap

Tabel 5 Hasil Analisis Faktor pada Variabel Independen

Komponen Faktor Variabel Independen

Kode Item

0.128 0.067 Sikap Terhadap

-0.005 0.046 Whistle-Blowing (SWB) SWB_4

SWB_3

-0.062 -0.052

SWB_5

0.020 -0.017

SWB_6

0.003 -0.037

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil ... – Bagustianto, Nurkholis

Tabel 5 lanjutan

Komponen Faktor Variabel Independen

Kode Item

0.143 0.070 Komitmen Organisasi (KO)

0.626 0.237 Tingkat Keseriusan

0.851 -0.075 kecurangan (TKK) TKK_3

0.106 0.812 Personal Cost (PC)

Sumber: Data Primer Diolah (Output SPSS)

Pengujian validitas juga dilakukan ter-

Tabel 6

hadap instrumen penelitian variabel de-

Pengujian Kaiser-Meyer-Olkin (KMO)

penden. Hasil uji KMO atas pengukuran

dan Bartlett pada Variabel Dependen

kecukupan sampling pada variabel de- Kaiser-Meyer-Olkin MSA

0,811 penden diperoleh nilai KMO MSA adalah Bartlett’s Test of Sphericity 0.811 atau sudah berada di atas 0.5 dan

444,361* signifikan. Selain itu hasil pengujian Bartlett

Chi-Square

* p< 0.01Sumber: Output SPSS

juga menunjukkan nilai Chi square adalah sebesar 444,361 dan signifikan pada p< 0.01

Hasil Pengujian Hipotesis

(lihat Tabel 6). Pada Tabel 7 terlihat bahwa Hasil analisis regresi linier berganda seluruh item pertanyaan variabel dependen

menggunakan komponen faktor yang se- telah valid, hal ini ditandai dengan seluruh

belumnya diperoleh dari hasil pengujian nilai MSA yang lebih besar dari 0.3.

validitas melalui prosedur CFA diperoleh Sehingga seluruh item pertanyaan dapat

hasil sebagaimana dapat dilihat pada Tabel digunakan untuk pengujian hipotesis.

290 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 2, Juni 2015 : 276 – 295

Tabel 7 Korelasi Anti-Image Variabel Dependen

Kode Item

Sumber: Data Primer Diolah (Output SPSS)

Tabel 8 Koefisien Reliabilitas Variabel Penelitian

Item yang Cronbach’s Variabel

Jumlah Item

Pertanyaan

Digugurkan Alpha

Sikap Terhadap Whistle-Blowing (SWB)

0,928 Komitmen Organisasi (KO)

15 1 0,841 Personal Cost (PC)

0,703 Tingkat Keseriusan Kecurangan (TKK)

0,753 Minat Melakukan Tindakan Whistle-Blowing

0,878 (MWB)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (Output SPSS)

Tabel 9 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

Unstandardized Coefficient Beta T

Konstanta

0,000 Sikap terhadap Whistle-Blowing

6.302E-17

6,639* Komitmen Organisasi

4,196* Personal Cost

-1,900** Tingkat Keseriusan Kecurangan

R 2 Disesuaikan

* p < 0,01 **p < 0

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (Output SPSS)

Berdasarkan nilai unstandardized regres- non-heterokedastisitas sehingga telah di- sion coefficient (B), dapat dirumuskan per-

anggap memiliki ketepatan dalam estimasi, samaan matematis model regresi sebagai

tidak bias, konsisten, dan dapat digunakan berikut: MWB = 6.302E-17 + 0,493 SWB +

lebih lanjut dalam pengujian hipotesis. 0,311 KO - 0.141 PC + 0,280 TKK

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24