Analisis tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa dibedakan dari gaya kognitif Reflektif dan Impulsif.

(1)

ANALISIS TINGKAT

SELF-EFFICACY

DALAM MENYELESAIKAN MASALAH

MATEMATIKA SISWA DIBEDAKAN DARI

GAYA KOGNITIF REFLEKTIF DAN

IMPULSIF

SKRIPSI

Oleh:

NUR QOMARIYATUS SHOLIKHAH

NIM D04212024

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ANALISIS TINGKATSELF-EFFICACYDALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA SISWA DIBEDAKAN DARI GAYA

KOGNITIF REFLEKTIF DAN IMPULSIF

Oleh:

NUR QOMARIYATUS SHOLIKHAH ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat self-efficacy

dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif, serta untuk mendeskripsikan perbedaan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IX-A SMP Islam Al-Amin Suko-Sukodono-Sidoarjo. Subjek pada penelitian ini berjumlah 4 siswa, masing-masing 2 siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif. Subjek-subjek ini dipilih berdasarkan tes MFFT (Matching Familiar Figure Test). Untuk memperoleh data penelitian, keempat subjek tersebut diberi tes pemecahan masalah. Kemudian subjek diwawancarai. Setelah itu, peneliti menguji kredibilitas dan kevalidan data menggunakan triangulasi sumber.

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat self-efficacy

dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif tergolong tinggi, yaitu siswa yakin memahami permasalah, membutuhkan waktu yang lama, tidak mudah putus asa, strategis dan berhati-hati dalam menentukan cara yang tepat, yakin terhadap usaha kerasnya, menghasilkan penyelesaian

yang benar, memberikan upaya yang tinggi untuk mengatasi

kebingungan/kesulitan, tidak mengecek kembali hasil pekerjaan sebelum dikumpulkan, memberi kesimpulan yang benar dan sesuai dengan yang ditanyakan, dan dapat mengatasi stres dengan baik serta cenderung tenang saat menyelesaikan masalah. Sedangkan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif impulsif sedang, yaitu siswa yakin dapat memahami permasalahan dan menyebutkan informasi penting namun kurang lengkap, menggunakan waktu yang relatif singkat, kurang strategis dalam menentukan cara yang tepat, berusaha memberi upaya yang tinggi untuk mengatasi kebingungan/kesulitan yang dialami, tidak mengecek kembali hasil pekerjaan sebelum dikumpulkan, memberi kesimpulan dengan benar namun kurang sesuai dengan yang ditanyakan, dan dapat mengatasi stres dengan baik namun cenderung bekerja secara tergesa-gesa dalam menyelesaikan permasalahan. Kemudian, perbedaan tingkatself-efficacydalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif terjadi pada tahap memahami masalah, menyusun rencana, melaksanakan rencana, dan melihat kembali.


(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Matematika merupakan ilmu mengenai pola-pola abstrak yang memiliki karakteristik sebagai alat untuk memecahkan masalah, sebagai pondasi kajian ilmiah dan teknologi, serta dapat memberikan cara-cara untuk memodelkan situasi dalam kehidupan nyata1. Cornelius dalam Abdurrahman menyatakan beberapa alasan perlunya belajar matematika yaitu (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana untuk meningkatkan kreativitas, (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya2. Hal tersebut mengindikasikan bahwa matematika merupakan mata pelajarang yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas pemecahan masalah.

Evans menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan jalan keluar atau cara yang cocok bagi tindakan atau pengubahan tindakan menuju situasi yang diharapkan3. Devis & MCKillip dalam Haryani juga menyatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu tujuan yang paling penting dalam matematika4. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah adalah “jantung” dari matematika (heart of mathematics)5. Namun pada kenyataannya masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah matematika.

Kesulitan dalam memecahkan masalah matematika yang dialami siswa disebabkan beberapa faktor salah satunya adalah

1Novferma, Tesis: “Analisis Kesulitan dan Self-Efficacy Siswa SMP dalam Pemecahan Masalah Matematika Berbentuk Soal Cerita”. (Yogyakarta: Universitas Negeri

Yogyakarta, 2015), 2.

2

M. Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan Remidialnya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 204.

3Suherman, Psikologi Kognitif, (Surabaya: Srikandi, 2005), 289.

4 D. Haryani, “Pembelajaran Matematika dengan Pemecahan Masalah untuk Menumbuhkembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa”, (paper presented at Seminar

Nasional Pendidikab dan Penerapan MIPA, Yogyakarta, 2011), 122.


(8)

2

faktor intern, yaitu keyakinan dan persepsi. Siswa satu dengan siswa yang lain masing-masing memiliki keyakinan dan persepsi yang berbeda. Perbedaan tersebut berupa perbedaan kogitif, afektif, psikologis, dan sebagainya serta perlu diketahui dan diperhatikan oleh guru6. Didukung dengan pendapat Yates dalam Novferma bahwa guru perlu mengetahui apa yang siswa rasakan, pikirkan dan lakukan sehubung dengan matematika. Pengaruh dari sikap, nilai, karakteristik kepribadian terhadap partisipasi dalam pembelajaran matematika penting untuk menjadi pertimbangan bagi para pendidik7.

Adapun aspek-aspek afektif dalam diri siswa dapat berupa self-efficacy, motivasi, emosi, dan sebagainya. Beberapa aspek tersebut masih kurang diperhatikan oleh guru, terutama self-efficacy siswa. Padahal menurut NRC (Netherland Red Cross), bahwa keyakinan siswa tentang kemampuan belajar mempengaruhi kesuksesan pembelajaran siswa8. Mengenai keyakinan diri atau biasa disebut self-efficacy, Bandura mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan-tindakan guna mencapai tujuan yang ditetapkan9. Bandura juga menjelaskan dalam pernyataannya yang lain bahwaself-efficacyseseorang akan menentukan bagaimana perilakunya dalam menghadapi tantangan, seberapa banyak usaha yang dilakukan, dan berapa lama seseorang tersebut akan bertahan dalam menghadapi kesulitan10.

Pada hasil penelitian yang dilakukan Novferma menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah matematika yang berbentuk soal cerita, yaitu siswa merasa waktu yang diberikan tidak cukup untuk mengerjakan soal, siswa cepat mudah menyerah saat melihat soal 6Novferma, Op. Cit. hal 10.

7Ibid, halaman 10.

8 Mendikbud, Peraturan Mentri dan Kebudayaan Nomor 58, tahun 2014, tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah, (Jakarta: Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), 335.

9A. Bandura, “Self-Efficacy: The Exercise of Control”, (New York: W. H. Freeman and

Company, 1997), 85.

10A. Bandura, “Cultivate Self Efficacy for Personal and Organizational Effectiveness”,In E. A. Locke (Ed)., Handbook of principles of organization behafior. (2ndEd.), (pp. 179-200). (New York: Wiley, 2009), 180. Diakses dari https://www.uky.edu, pada tanggal 21 April 2016.


(9)

3

cerita, siswa kurang teliti, siswa sering lupa, siswa merasa cemas dan siswa tergesa-gesa saat mengerjakan soal11. Hal tersebut membuat citra matematika menjadi mata pelajaran yang sulit bagi sebagian siswa.

Citra matematika sebagai mata pelajaran yang sulit menunjukkan bahwa self-efficacy siswa terhadap tugas mata pelajaran matematika cenderung rendah. Padahal Schunk mengemukakan bahwa self-efficacy berpengaruh erat terhadap prestasi belajar12. Faktanya yang dialami oleh siswa pada saat dihadapkan dengan soal atau masalah matematika adalah adanya prasangka negatif, keyakinan yang rendah, tidak ingin mencoba menyelesaikan soal yang lebih rumit, cenderung cepat menyerah juga merupakan beberapa hal yang sering dialami siswa. Seperti halnya dijumpai oleh Kurniawati dan Siswono saat melakukan penelitian, terdapat beberapa siswa yang tetap bersikeras untuk menyelesaikan seluruh soal pemecahan masalah meskipun waktu yang diberikan telah usai, akan tetapi juga dijumpai beberapa siswa lain yang segera menghentikan usahanya untuk menyelesaikan soal tersebut saat dia mengalami kesulitan yang tidak mampu segera dia selesaikan13. Berdasarkan fakta tersebut, maka keyakinan siswa untuk dapat berhasil memecahkan masalah (self-efficacy) agar lebih diperhatikan supaya siswa lebih mengerti dan yakin atas apa yang dia pelajari.

Kaitannya dengan pemecahan masalah matematika, selain aspek afektif, ada juga aspek psikologi berupa gaya kognitif yang sangat penting dan berpengaruh terutama terhadap pencapaian prestasi belajar siswa14. Slameto dalam Lestari menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan variabel penting yang mempengaruhi pilihan-pilihan siswa dalam bidang akademik, cara siswa siswa belajar serta cara siswa dan guru berinteraksi dalam kelas15. Disamping itu, kemampuan memecahkan masalah matematika dengan berbagai cara yang berbeda juga dipengaruhi oleh gaya

11

Novferma, Op. Cit. hal 238.

12D. H. Schunk,Learning Theories: An Educational Perspective (5thed), (Upper Saddle

River, NJ: Pearson Educational Inc, 2008), 147.

13A. D. KurniawatiT. Y. E Siswono, Op. Cit., hal 39.

14 A. Darmono, “Identifikasi Gaya Kognitif (Cognitive Style) Peserta Didik dalam Belajar”,(Paper Presented at Sekolah Tinggi Agama Islam Ngawi, 1.


(10)

4

kognitif seperti yang dikemukakan Ulya bahwa gaya kognitif sangat diperlukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal atau memecahkan masalah sebab karakteristik matematika adalah abstrak dan masalah matematika memerlukan pemecahan dan penyelesaian secara mendetail untuk mendapatkan hasil yang benar16.

Gaya kognitif merupakan cara individu dalam menerima, menganalisis dan merespon suatu tindakan kognitif yang diberikan. sedangkan Woolfolk dalam Lestari mengemukakan bahwa di dalam gaya kognitif terdapat suatu cara yang berbeda untuk melihat, mengenal dan mengorganisasi informasi17. Hal tersebut membuat siswa akan memilih cara yang disukai dalam memproses dan mengorganisasi informasi sebagai respon terhadap stimulus lingkungannya.

Cara-cara siswa merespon stimulus yang berkaitan dengan sikap dan kualitas personal dalam gaya kognitif dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Salah satunya adalah gaya kognitif reflektif dan impulsif. Menurut Kagan, anak yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang singkat dalam memecahkan masalah, tetapi kurang cermat sehingga jawaban cenderung salah, disebut anak bergaya kognitif impulsif. Sedangkan anak yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang lama dalam menjawab masalah tetapi cermat/teliti sehingga jawaban yang diberikan cenderung benar, disebut anak bergaya kognitif reflektif18.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Analisis Tingkat Self-Efficacy

dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Siswa Dibedakan dari Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif”.

16 H. Ulya, “Hubungan Gaya Kognitif dengan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika Siswa”, Jurnal Konseling GUSJIGANG, 1: 2, (2015), 10.

17 Yuly Dwi Lestari, “Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika

Berdasarkan Gaya Kognitif”,E-Jurnal UNESA, 1: 1, (2012), 5.

18

J. Kaga–Cynthya Lang,Psichology and Education, an Introduction, (New York: Harcourt Inc)


(11)

5

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat self-efficacydalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif?

2. Bagaimana tingkat self-efficacydalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif impulsif?

3. Bagaimana perbedaan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif.

2. Mendeskripsikan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif impulsif.

3. Mendeskripsikan perbedaan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Bagi Pendidik: penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai tingkat self-efficacy siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif dalam menyelesaikan masalah matematika.

2. Bagi Peserta Didik: penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: (a) mengetahui tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika, (b) mengetahui jenis gaya kognitif yang ada pada dirinya.

3. Bagi Peneliti: penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk mengembangkan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika pada siswa dengan gaya kognitif reflektif dan impulsif sebagai bekal untuk menjadi pendidik yang profesional.


(12)

6

E. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tingkat self-efficacy merupakan klasifikasi dari keyakinan diri seseorang atas kemampuan atau kompetensi dirinya sendiri untuk berhasil dalam menyelesaikan tugas.

2. Pemecahan masalah merupakan suatu proses atau cara yang dilakukan secara terstruktur dan harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan penyelesaian dari masalah tersebut.

3. Gaya kognitif adalah cara individu dalam menerima, menganalisis dan merespon suatu tindakan kognitif yang diberikan.

4. Gaya kognitif reflektif merupakan kecenderungan individu untuk menunjukkan penggunaan waktu yang lebih lama dalam merespon serta keakuratan jawaban yang diberikan dalam menjawab suatu masalah. Sedangkan gaya kognitif impulsif merupakan kecenderungan anak untuk menunjukkan penggunaan waktu yang cepat dalam merespon, tetapi tidak/kurang cermat sehingga jawaban yang diberikan dalam menjawab suatu masalah cenderung salah.


(13)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. TingkatSelf-Efficacydalam Menyelesaikan Masalah 1. TingkatSelf-Efficacy

Tingkat dapat didefinisikan sebagai pangkat; derajat; taraf; kelas; tingkat juga berarti sebagai klasifikasi atas adjektiva (kata benda) dan adverbia (kata yang memberikan keterangan) yang menendai tingkat dari proses, sifat, ukuran, hubungan, dsb1. Sedangkan definisi dari self-efficacy adalah sebagai judgement seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu2. Pada sumber yang lain, Bandura juga mendefinisikan self-efficacy sebagai defined as people’s beliefs about their copabilities to produce designated magnitudes of performance that exercise inluence over events that effect their lives3. Pendapat tersebut memberi pengertian bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang mengenai kemampuan mereka untuk berhasil atas pengeruh latihan yang mempengaruhi hidup mereka.

Banyak ilmuan lain yang juga mendefinisikan self-efficacy. Berikut adalah beberapa definisi self-efficacy menurut beberapa ahli, yaitu: 1) Zimmerman, Bonner & Kovach mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan suatu tingkat (kadar) yang menunjukkan perasaan seseorang untuk mampu dalam menyelesaikan tugas dengan berhasil, seperti memecahkan masalah dalam permasalahan ilmu pengetahuan4. 2) Menurut R. A. Baron & D. Byrne, self-efficacyadalah keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari http://kbbi.kata.web.id/tingkat/, pada

tanggal 20 Juli 2017.

2 A. Bandura, Social Foundation of Thought and Action A Social Cognitive Theory

(Englewood Cliffs, NJ: Prectice Hall, 1986), 397.

3A. Bandura, 1994,Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.),Encyclopedia of human behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press. (Reprinted in H. Friedman [Ed.],Encyclopedia of mental health. San Diego: Academic Press, 1998), 2.

4Zimmerman, B. J., Bonner, S., & Kovach, R.,Developing self-regulated leaners: beyond achievement to self-efficacy, (Wasington, DC: American Psychological Association, 1996), 140.


(14)

8

diberikan, mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan5. 3) Alwisol menyebutkan bahwa efikasi diri (self-efficacy) adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan6. 4) Asrori mengungkapkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu menemukan cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan serta keyakinan bahwa cara-cara itu dapat mengantarkannya kepada tercapainya tujuan7.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pengertian dari tingkatself-efficacymerupakan klasifikasi dari keyakinan diri seseorang atas kemampuan atau kompetensi dirinya sendiri untuk berhasil dalam menyelesaikan tugas.

Zimmerman manyatakan bahwa self-efficacy dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menentukan tingkat tujuan yang akan dicoba untuk dirinya sendiri, jumlah usaha yang akan dilakukan dan ketekunan atau kegigihan dalam menghadapi kesulitan. Self-efficacy juga mempengaruhi tujuan yang dirancangkan oleh seseorang akan dirinya sendiri, hal ini mempengaruhi pencapaian prestasi secara langsung maupun tidak langsung8. J. E. Ormrod mengungkapkan ada empat faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy, yaitu: 1) Keberhasilan dan kegagalan pembelajaran sebelumnya, 2) Pesan dari orang lain, 3) Kesuksesan dan kegagalan orang lain, dan 4) Kesuksesan dan kegagalan dari kelompok yang lebih besar9. Sedangkan menurut Bandura, keempat faktor tersebut adalah: pengalaman dalam penguasaan (mastery experirnce), pengalaman orang lain (vicarious experience), persuasi verbal (verbal persuasion) dan, kondisi fisik dan emosional (somatic and emotional state)10.

Berikut adalah penjelasan dari beberapa sumber di atas: 5R. A. Baron & D. Byrne,Psikologi Sosial, (Jakarta: ERLANGGA, 2003), 183. 6Alwisol,Psikologi Kepribadianedisi revisi (Malang: UMM Press, 2009), 287.

7 Suwanjal, Usep., Tugas Akhir Program Magister (TAPM): “Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematis Siswa SMP”.(Jakarta: Universitas Terbuka, 2013), hal 14.

8B. J. Zimmerman, et.al., Developing Self-Regulated Leaners: Beyond achievement to Self-Efficacy, (Washington, DC: American Psychology Association, 1996), 232.

9J. E. Ormrod, Op. Cit., hal 22 10

A. Bandura, 1997, “Self-Efficacy: The Exercise of Control”, New York: W. H. Freeman


(15)

9

a. Pengalaman dalam penguasaan, yaitu merupakan cara yang paling efektif untuk membentuk self-efficacy yang kuat. Keberhasilan yang diperoleh dapat membangun suatu keyakinan yang kuat akan kepercayaan dirinya. Sedangkan kegagalan akan melemahkan, terutama jika kegagalan tersebut terjadi sebelum keyakinan pada diri terbentuk. b. Pengalaman orang lain, merupakan pengalaman yang di

berikan oleh model sosial. Self-efficacy seseorang dapat meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain yang memiliki kemampuan sama dengan dirinya. Begitu juga sebaliknya, self-efficacy seseorang dapat menurun ketika melihat kegagalan seseorang yang memiliki kemampuan sama dengan dirinya.

c. Persuasi verbal, yaitu informasi tentang kemampuan seseorang yang disampaikan secara verbal oleh orang yang berpengaruh sehingga dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan.

d. Kondisi fisik (sakit, lelah dan lain-lain) dan emosi (suasana hati, stres dan lain-lain), yaitu keadaan yang dapat mempengaruhi keyakinan dan kemampuan dirinya dalam menghadapi tugas.

Secara garis besar self-efficacy dibedakan menjadi dua tingkatan yaitu, self-efficacy tinggi dan self-efficacy rendah. Siswa denganself-efficacytinggi akan membangun lebih banyak kemampuan-kemampuan malalui usaha-usaha mereka secara terus-menerus, sedangkan siswa denganself-efficacyrendah akan menghambat dan memperlambat perkembangan dari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan seseorang11.

Menurut Schunk dalam Novferma mengemukakan bahwa siswa dengan self-efficacy tinggi cenderung tertarik dalam mengerjakan soal yang diberikan dengan berbagai tingkat kesulitan dan ketika ada yang salah, dia akan mencoba untuk mengerjakan kembali. Sedangkan siswa dengan self-efficacy rendah cenderung menghindari usaha untuk menyelesaikan soal

11Novferma, Tesis: “Analisis Kesulitan dan Self-Efficacy Siswa SMP dalam Pemecahan Masalah Matematika Berbentuk Soa Cerital”. (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2015), 82.


(16)

10

yang diberikan, apalagi jika tingkat kesulitannya semakin kompleks12.

2. DimensiSelf-Efficacy

Menurut Bandura,self-efficacypada diri setiap orang akan berbeda antara satu dengan yang lain berdasarkan tiga dimensi, yaitu magnitude, strength dan generality13. Ketiga dimensi tersebut digunakan sebagai dasar dalam pengukuranself-efficacy pada individu.

a. Dimensimagnitude(tingkat kesulitan)

Dimensi ini mengacu pada bagaimana seseorang dapat menyelesaikan tugas-tugas berdasarkan tingkat kesulitan yang semakin kompleks, misalnya meningkatkan penyelesaian masalah matematika yang lebih kompleks14. Apabila individu dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, makaself-efficacy individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau pada tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan dapat memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang akan dicoba atau dihindari. Individu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu dilakukan dan menghindari tingkah laku yang berada di luar batas kemampuan yang dirasakannya15.

b. DimensiStrength(kekuatan)

Dimensi ini mengacu pada bagaimana tingkat kekuatan individu terhadap keyakinan yang dimiliki untuk dapat menyelesaikan masalah yang diberikan16. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan usaha individu ketika menghadapi kegagalan, keyakinan individu dalam melakukan dan menyelesaikan tugas dengan baik, ketenangan dalam 12Ibid, halaman 84-85.

13A. Bandura, Op. Cit., halaman 194. 14

A. Bandura, Self-Efficacy in Changing Socialities (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2009), 203.

15Annis D. K., Tatag Y. K. S., “Pengaruh Kecemasan danSelf-EfficacySiswa Terhadap

Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segi Empat Siswa Kelas VII MTs Negeri

Ponorogo”,MATHEdunesa; Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 3: 2, (Agustus, 2014), 37.


(17)

11

menghadapi tugas yang sulit, dan komitmen dari individu tersebut dalam pencapaian target. Dimensi ini biasanya berkaitan dengan dimensi magnitude, yaitu semakin tinggi tingkat kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.

c. DimensiGenerality

Dimensi generality mengacu pada bagaimana dapat menggunakanself-efficacyyang dimiliki dan diterapkan pada situasi lain17. Aspek ini dapat dinilai baik, jika individu dapat yakin bahwa aktivitas terdahulu dalam berbagai situasi dan variasi dapat membantu pekerjaannya yang sekarang, mampu menyikapi situasi yang berbeda dengan baik, dan menjadikan pengalaman sebagai jalan menuju sukses.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka disimpulkan bahwa self-efficacy pada setiap individu adalah berbeda yang terbagi dalam beberapa dimensi, yaitu tingkat kesulitan tugas, kekuatan dan keyakinan seseorang untuk menyelesaikan suatu tugasnya, dan kemampuan mengembangkan dirinya.

3. Masalah Matematika

Kegiatan memecahkan/menyelesaikan masalah merupakan aktivitas dasar yang pasti terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan menuntut seseorang tersebut untuk dapat menyelesaikannya. Setiap saat seseorang akan dihadapkan pada masalah, baik berupa masalah kompleks yang membutuhkan keterampilan dan waktu yang cukup untuk mencari penyelesaiannya ataupun masalah yang dapat dicari penyelesaiaannya dengan mudah.

Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab dan direspon, namun mereka juga menyatakan bahwa tidak semua pertanyaan secara otomatis menjadi masalah. Russeffendi mengemukakan bahwa pertanyaan yang merupakan suatu masalah adalah, (1) Pertanyaan yang tidak dikenal atau dengan kata lain orang tersebut belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya. (2) Seseorang tersebut harus mampu menyelesaikannya, baik dengan kesiapan mental maupun kesiapan pengetahuan untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. (3) Sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, 17A. Bandura, Op. Cit., halaman 203.


(18)

12

apabila ada niat untuk menyelesaikannya18. Beberapa ahli juga mendefinisikan masalah sebagai berikut:

1. Menurut Hermanto masalah adalah soal yang tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang sudah diketahui siswa19.

2. Dindyal mengungkapkan bahwa pertanyaan disebut masalah jika terdapat beberapa kendala pada kemampuan pemecahan masalahnya20. Kendala tersebutlah yang menyebabkan seorang tidak dapat memecahkan suatu masalah secara langsung.

3. Cooney, et all dalam Arifin menyatakan bahwa “…for a question to be a problem, it must present challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to the student”21

. Artinya sebuah pertanyaan menjadi masalah, ketika pertanyaan tersebut harus mendatangkan tantangan yang tidak dapat diselesaikan oleh beberapa prosedur rutin yang diketahui oleh siswa.

4. Menurut Polya dalam E. Suherman menyatakan bahwa suatu persoalan atau soal matematika akan menjadi masalah bagi siswa, jika: (1) Mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan, ditinjau dari segi kematangan mental dan ilmunya, (2) belum mempunyai algoritma/prosedur untuk menyelesaikannya, dan (3) berkeinginan untuk menyelesaikannya22.

Polya dalam Nasriadi mengemukakan bahwa terdapat dua macam masalah dalam matematika, yaitu: (1) masalah untuk 18E, T. Russeffendi,Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA(Bandung: Tarsito, 2006), 326.

19 Hermanto, D., Tesis: “Efikasi Diri dan Kecemasan Siswa Kelas V SD dalam Pemecahan Masalah Pecahan Ditinjau dari Kemampuan Matematika”. (Surabaya:

UNESA. 2013),6.

20 J. Dindyal, “Emphasis on Problem Solving in Mathematics Textbooks from Two Different Reform Movements”,The Mathematics Education into the 21st CenturyProject Universiti Teknologi Malaysia, Reform, Revolution and Paradigm Shifts in Mathematics Education, Johor Baru, Malaysia,(Nov 25th–Dec 1st, 2005), 70.

21

Arifin, Z, Disertasi Doktor: “Meningkatan Motivasi Berprestasi, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Melalui Pembelajaran Matematika Realistik Dengan Strategi Kooperatif di Kabupaten Lamongan”. (Bandung:

PPs UPI. 2008), 25.

22

E. Suherman, U. S. Winataputra, Strategi Belajar Mengajar Matematika, (Jakarta: Universitas terbuka Depdikbud, 1992), 17.


(19)

13

menemukan, bertujuan untuk membantu menemukan objek yang pasti atau masalah yang ditanyakan. Masalah tersebut berupa masalah teoritis atau praktis, abstrak atau konkret dan masalah serius atau sekedar teka-teki. (2) Masalah untuk membuktikan, bertujuan untuk menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah, sehingga perlu dijawab “Apakah pernyataan tersebut benar atau salah?” dan kita memiliki kesimpulan jawaban dengan membukutikan itu benar atau salah23.

Masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masalah untuk menemukan. Menurut Polya masalah menemukan itu lebih penting dalam matematika elementer24. Berdasarkan uraian di atas maka disimpulkan bahwa masalah matematika adalah suatu persoalan atau pertanyaan yang sulit dipahami sehingga mendorong siswa untuk mencari solusi jawaban atau respon yang tepat.

Berikut adalah syarat-syarat dari suatu masalah bagi seorang siswa25:

1. Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa harus dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan tersebut harus berupa tantangan baginya untuk menjawab. 2. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur

rutin yang telah diketahui siswa, karena itu faktor waktu untuk menyelesaikan masalah janganlah dipandang sebagai hal yang esensial.

4. Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas mental yang tinggi. Sebab, suatu pertanyaan disebut masalah bergantung pada individu dan waktu. Artinya, suatu pertanyaan bisa menjadi suatu masalah bagi seorang siswa, tetapi bisa juga bukan menjadi masalah untuk siswa yang lain. Dengan kata lain pertanyaan yang diberikan kepada siswa harus dapat dipahami oleh siswa tersebut. Jadi pertanyaan itu harus sesuai dengan struktur kognitif siswa. Demikian juga pertanyaan bisa menjadi masalah untuk seorang

23

Ahmad Nasriadi, Tesis: “Profil Pemecahan Masalah Matematika Siswa Smp Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif”. (Surabaya: Pascasarjana Unesa, 2014), 8. 24Ibid, halaman 9.

25Ilham Rizkianto, “Kemampuan Pemecahan Masalah Topik Aljabar Bagi Guru SMP di Kabupaten Sleman Yogyakarta”. (Paper presented at workshop guru SMP Kabupaten


(20)

14

siswa pada suatu saat, tetapi bisa juga bukan menjadi masalah untuk siswa tersebut di saat yang berikutnya, apabila siswa tersebut sudah mengetahui proses atau cara mendapatkan penyelesaian dari masalah tersebut.

Pemecahan masalah didefinisikan oleh Polya sebagai satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah untuk segera dicapai. Sedangkan menurut Harmanto pemecahan masalah merupakan rangkaian aktivitas atau cara yang dilakukan secara terstruktur untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang berkaitan dengan bidang ilmu26. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses atau cara yang dilakukan secara terstruktur yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan penyelesaian dari masalah tersebut.

Menurut Polya, dalam pemecahan masalah ada empat tahapan yang harus dilakukan, yaitu: 1) memahami masalah (understanding the problem), 2) menyusun rencana (devising a plan), 3) melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan 4) melihat kembali (looking back)27. Berikut adalah penjelasan dari tahapan tersebut:

1. Memahami masalah

Pada langkah ini seseorang harus membaca soal dengan seksama sehingga benar-benar memahami masalah yang disajikan dalam bentuk soal, menentukan apa yang diketahui, apa yang ditanya, apa syaratnya, apakah cukup atau belum syarat tersebut untuk memecahkan masalah yang diberikan. 2. Menyusun rencana penyelesaian masalah

Pada langkah ini seseorang harus menemukan hubungan antara data dengan hal-hal yang belum diketahui dengan mempertimbangkan masalah tambahan. Berikut adalah beberapa strategi dalam proses pemecahan masalah28:

26

Hermanto, D.,Tesis: “Efikasi Diri dan Kecemasan Siswa Kelas V SD dalam Pemecahan Masalah Pecahan Ditinjau dari Kemampuan Matematika”. (Surabaya: UNESA. 2013), 6. 27G. Polya,How To Solve It; A New Aspect Mathematical Method; Second Edition, (New

York: Princeton University Press, 1957), xvii.

28 Didi Suryadi, 2011, “Bab 4; Pemecahan Masalah Matematika”, diakses dari

https://www.google.com/url/didi-suryadi.staf.upi.edu/Bab-4-Pemecahan-Masalah-Matematika.pdf, pada tanggal 27 Oktober 2016.


(21)

15

a. Mencari pola;

b. Menguji masalah yang berhubungan serta menentukan apakah teknik yang sama bisa diterapkan atau tidak; c. Membuat sebuah tabel;

d. Membuat sebuah diagram; e. Menulis suatu persamaan;

f. Menggunakan strategi tebak periksa; g. Bekerja mundur;

h. Mengidentifikasi bagian dari tujuan keseluruhan. 3. Melaksanakan rencana penyelesaian masalah

Pada langkah ini seseorang harus menjalankan rencana penyelesaian masalah guna menemukan solusi, yaitu dengan memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum, bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar, melaksanakan perhitungan sesuai dengan rencana yang dibuat.

4. Melihat kembali

Pada langkah ini seseorang melakukan penilaian terhadap solusi yang didapat. Hal ini penting walaupun kadang sering dilupakan dalam menyelesaikan masalah. Memeriksa kembali dari penyelesaian masalah yang sudah ditemukan dapat menjadi dasar yang penting untuk penyelesaian masalah yang akan datang.

5. IndikatorSelf-Efficacydalam Menyelesaikan Masalah Matematika

Adapun indikatorself-efficacyyang diungkapkan oleh Brown dkk. dalam Manara merupakan indikator yang mengacu pada dimensi magnitude, strength,dan generalityyaitu, 1) yakin dapat menyelesaikan tugas tertentu, 2) yakin dapat memotovasi diri untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas, 3) yakin bahwa diri mampu berusaha dengan keras, gigih, dan tekun, 4) yakin bahwa diri mampu bertahan menghadapi hambatan dan kesulitan, 5) yakin dapat menyelesaikan permasalahan di berbagai situasi29.

29M. U. Manara, Skripsi: “Pengaruh Self-Efficacy terhadap Resiliensi pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang”. (Malang: UIN Malang,


(22)

16

Selanjutnya menurut Novferma indikator self-efficacy siswa meliputi keyakinan dengan kemampuan diri yang dimiliki, perasaan mampu untuk melaksanakan tugas, perasaan mampu untuk mencapai target prestasi belajar, dan yakin dengan usaha yang dilakukan30.

Sedangkan menurut Kartika, indikator self-efficacy yang diturunkan dari ketiga dimensi self-efficacy yaitu 1) dimensi magnitudeterdiri dari indikator merasa berminat, merasa optimis, dan merasa yakin dalam menyelesaikan dan menjawab soal atau pertanyaan matematika, 2) dimensi strength terdiri dari indikator meningkatkan upaya dan berkomitmen untuk menyelesaikan dan menjawab soal atau pertanyaan matematika, 3) dimensi generality terdiri dari indikator menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dengan positif dan berpedoman pada pengalaman belajar sebelumnya31.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka indikator digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari beberapa indikator yang dikembangkan oleh Eni Kartika dan deskripsi indikator yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi beberapa deskripsi indikator yang dikembangkan ileh Arif Widiyanto dan dari Eni Kartika, yaitu:

Tabel 2.1

Indikator TingkatSelf-Efficacydalam Menyelesaikan Masalah Matematika

Dimensi Indikator Kode Deskripsi Indikator Magnitude

(berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang harus diselesaikan)

Memiliki pandangan yang optimis dalam menyelesaikan masalah matematika.

A

Menentukan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

B Mengecek kembali hasilpekerjaan yang diperoleh. Gigih dalam

menyelesaikan

masalah matematika. C

Tidak mudah putus asa dalam menyelesaikan masalah meskipun terdapat kesulitan.

D Mengatasi kesulitan dengan baik dalam 30

Novferma, Op, Cit,. hal 95.


(23)

17

menyelesaikan masalah. Strength

(berkaitan dengan tingkat kekuatan/ kemantapan terhadap keyakinannya)

Yakin akan

kemampuan diri yang dimiliki dalam menyelesaikan masalah matematika.

E

Menyelesaikan masalah sesuai target yang diharapkan.

F

Merasa yakin terhadap usaha keras untuk menyelesaikan masalah. Generality

(berkaitan dengan keleluasaan bidang tugas yang dilakukan)

Menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dengan cara yang baik dan posistif dalam menyelesaikan masalah matematika.

G

Dapat menangani stres dengan baik saat menyelesaikan masalah.

Berikut penjelasan dari masing-masing indikator: 1. Magnitude

a. Memiliki pandangan yang optimis. Menurut Sugerestorm dalam Yusuf mendefinisikan optimis sebagai cara berpikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah32. Adapun pada dimensi ini, individu yang akan mendekati tugas-tugas yang sulit akan menganggap sebagai tantangan untuk dikuasai disbanding sebagai ancaman untuk dihindari. Individu tersebut mempunyai minat yang besar dalam melakukan aktivitas, dapat menetapkan tujuan, mempunyai komitmen yang tinggi dan mempertinggi usaha dalam menghadapi kegagalan33. Jadi, yang dimaksud dengan memiliki pandangan yang optimis dalam menyelesaikan masalah matematika adalah cara pandang seseorang yang positif dan realistis dalam menjawab atau menyelesaikan masalah matematika.

b. Gigih merupakan sikap yang tidak mudah menyerah, kerja keras dan percaya akan hasil positif dari segala usaha yang 32

Muhammad Yusuf, Skripsi: “Analisis Deskriptif Self-Efficacy Berpikir Kritis Matematis Siswa dalam Pembelajaran Socrates Kontekstual”. (Bandarlampung: Universitas Lampung, 2015), 30.

33 Arif Widiyanto, Skripsi: “Pengaruh Self-Efficacy dan Motivasi berprestasi siswa Terhadap kemandirian Belajar Mata Pelajaran K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di SMK Depok”. (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013). 21.


(24)

18

telah dilakukan. Adapun pada dimensi ini, individu diarahkan pada peningkatan prestasi, yang akhirnya menaikkan semangat dan keyakinannya34. Jadi, yang dimaksud dengan gigih dalam menyelesaikan masalah adalah sikap kerja keras dengan mempercayai hasil yang positif saat menyelesaikan masalah.

2. Strength

Menurut Kamus Besar Indonesia, yakin adalah percaya, sungguh-sungguh, merasa pasti. Menurut Kartika siswa yang merasa yakin dalam menjawab persoalan matematika memiliki beberapa perilaku berikut, yaitu 1) dapat membedakan informasi yang merupakan fakta atau opini, 2) dapat memahami setiap rumus yang digunakan, 3) dapat memilih informasi penting pada soal, 4) dapat berpikir secara masuk akal dalam mengidentifikasi argumen, 5) dapat berpikir secara mandiri untuk meneliti ide-ide pada soal, 6) dapat mencari tahu kebenaran dari setiap informasi yang ada, 7) dapat mengabaikan informasi yang kurang sesuai pada soal35. Jadi, merasa yakin pada kemampuan diri yang dimiliki dalam menyelesaikan masalah matematika merupakan rasa percaya bahwa dirinya dalam menyelesaikan masalah matematika. 3. Generality

Menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dengan cara yang baik dan positif merupakan suatu kesiapan mental atau emosional dalam beberapa tindakan pada saat situasi yang tepat. Pada dimensi ini, individu akan menggunakan cara-cara yang dapat mencegah dari sumber stress dan cemas, yaitu dengan merencanakan terlebih dahulu bebankerja agar supaya dapat menghindari dari kebingungan dan bekerja dalam batas waktu yang singkat36. Jadi, menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dengan cara yang baik dan positif dalam menyelesaikan masalah matematika merupakan kesiapan mental atau emosional seseorang secara baik dan positif dalam berbagai macam keadaan pada saat menyelesaikan masalah matematika.

34Arif Widiyanto, Op. Cit., Hal 21. 35

Eni Kartika, Op. Cit., Hal 34.


(25)

19

B. Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif 1. Gaya Kognitif

Gaya (Style) adalah cara seseorang menggunakan kemampuannya. Secara umum kognitif diartikan sebagai potensi intelektual yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi. Sehingga pengertian Gaya kognitif adalah gaya yang mengacu pada proses kognitif yang menyatakan bagaimana isi informasi itu diproses37. Proses kognitif tersebut merupakan proses berpikir, di dalamnya termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi.

Secara umum, gaya kognitif merupakan karakteristik seseorang dalam menerima, menganalisis dan merespon suatu tindakan kognitif yang diberikan38. Kebanyakan tindakan kognitif seseorang bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Semakin seseorang mempersiapkan dirinya mampu maka orang tersebut akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu tersebut terhadap tujuannya39.

Beberapa ahli telah mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian gaya kognitif. Menurut Kogan, gaya kognitif adalah variasi individu dalam cara memandang, mengingat dan berpikir atau sebagai cara tersendiri dalam hal memahami, menyimpan, mentransformasi, dan menggunakan informasi40. Woolfolk menjelaskan bahwa gaya kognitif adalah cara individu mempersepsi dan menyusun maklumat mengenai persekitarannya41. Sedangkan Borich & Tombari menjelaskan 37Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik(Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Offset, 2012), hal 145.

38

Siti Rahmanita, dkk, “Tingkat Berpikir Kreatif Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif”, Jurnal Didaktif Matematika ISSN: 2355-4185, 1: 1, (April, 2014), 6.

39Aprilia Putri Rahmadini, Skripsi: Stydi Deskriptif Mengenai Self-Efficacy Terhadap Pekerjaan pada Pegawai Staf Bidang Statistika Sosisal di Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat”. (Bandung: Universitas Bandung, 2011), 17.

40

Abdul Rahman, “Analisis Hasil Belajar Matematika Berdasarkan Perbedaan Gaya

Kognitif Secara Psikologis dan Konseptual Tempo pada Siswa Kelas X SMA Negeri 3

Makasar”,Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 14: 072, (Mei, 2008), 455.

41Shahabuddin HasyimMahani RazaliRamlah Jantan, Psikologi Pendidikan(Kuala

Lumpur: PTS Professional Pub, 2007), 183. Diakses dari https://books.google.co.id/, pada tanggal 30 Mei 2016.


(26)

20

bahwa gaya kognitif merupakan cara individu memproses dan berfikir perkara yang dipelajarinya42.

Sedangkan dalam penelitian yang telah ada, Inggrit mengungkapkan yang dimaksud gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam penggunaan fungsi kognitif (berpikir, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi, memproses informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan berlangsung lama43. Menurut Jangi Saryono, gaya kognitif adalah kecenderungan individu dalam menerima, mengolah dan menyusun informasi serta menyajikan kembali informasi tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki44. Sedangkan menurut Abdul Rahman, gaya kognitif adalah cara khas yang digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental di bidang kognitif45. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum yang dimaksud dengan gaya kognitif adalah cara individu dalam menerima, menganalisis dan merespon suatu tindakan kognitif yang diberikan.

Berikut adalah klasifikasi dari para pakar pendidikan mengenai gaya kognitif, antara lain: 1) Dibedakan berdasarkan psikologis, meliputi: gaya kognitif field dependentdan gaya kognitiffield independent; 2) Dibedakan berdasarkan konseptual tempo, meliputi gaya kognitif impulsive dan gaya kognitif reflexive; 3) Dibedakan berdasarkan cara berpikir, meliputi: gaya kognitif intuitif-induktif dan logik-deduktif46. Akan tetapi, dalam penelitian ini hanya difokuskan pada gaya kognitif reflektif dan impulsif.

2. Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

Gaya kognitif reflektif dan impulsif merupakan gaya kognitif yang didasarkan atas perbedaan konseptual tempo. Konseptual tempo tersebut merupakan perbedaan gaya kognitif 42Ibid, halaman 183

43Inggrit Tri Susanti, Skripsi: “Analisis Kreatifitas Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif”. (Purwokerto: Universitas

Muhammadiyah Purwokerto, 2015), 15.

44 Jangi Saryono, Skripsi: “Deskripsi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Berdasarkan Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif” (Purwokerto: Universitas

Muhammadiyah Purwokerto, 2015), 14.

45

Abdul Rahman, Op. Cit., hal 455.


(27)

21

berdasarkan atas waktu yang digunakan untuk merespon suatu stimulus atau kecepatan berpikir. Kagan mengemukakan dimensi reflektif impulsif yang menggambarkan kecenderungan anak yang tetap untuk menunjukkan singkat atau lamanya waktu dalam menjawab suatu masalah dengan ketidakpastian yang tinggi47. Philip mendefinisikan siswa impulsif adalah siswa dengan cepat merespon situasi, namun respon pertama yang diberikan sering salah. Sedangkan siswa reflektif mempertimbangkan banyak alternatif sebelum merespon, sehingga tinggi kemungkinan bahwa respon yang diberikan adalah benar48.

Siswa dengan gaya kognitif impulsif cenderung memberikan respon secara cepat, tetapi juga melakukan sedikit kesalahan dalam proses tersebut49. Selain itu, dia juga mengambil keputusan dengan cepat dan tanpa berpikir secara mendalam. Di sisi lain, Rozencwajg dan Corroyer mengatakan anak bergaya kognitif impulsif memiliki karakteristik menggunakan waktu yang singkat dalam menjawab masalah, tetapi tidak/kurang cermat sehingga jawaban cenderung salah50. Siswa impulsif mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkan secara mendalam dan bekerja dengan tergesa-gesa51.

Roynolds & Ewan memberikan karakteristik siswa impulsif, lebih memilih satu respon saja yang lebih cepat dalam memecahkan masalah. Kemudian Nasution menjelaskan bahwa anak impulsif akan mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkannya secara mendalam. Sedangkan Kagan dan Kogan mengemukakan bahwa gaya kognitif impulsif menggunakan alternatif-alternatif secara singkat dan cepat untuk menyelesaikan

47

C. R. Reynolds & Janzen,Conciese Encyclopedia of Special Education Arefence for The Education of The Handicapped and Other Exception Children and Aduls (Canada: Published Simultancosly, 2004), cet ke-2, hal 494.

48 Soffil Widadah, “Profil Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Soal Sistem

Persamaan Linier Dua Variabel Berdasarkan Gaya Kognitif”, Jurnal Pendidikan Matematika STIKIP PGRI Sidoarjo,1: 1, (April, 2013), 17.

49Desmita, Op. Cit., hal 147.

50 Puji Rahayu Ningsih, “Profilberpikir Kritis Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif”,Gramatika, 2: 2, (Mei, 2011), 123.

51 Nixon J. Gerung, Conceptual Learning and Learning Style, diakses dari

http://journal.uniera.ac.id/pdf_repository/juniera5-Zmiv7L6ep2ZJIvSZhtg1IT0GE.pdf. pada tanggal 20 januari 2017.


(28)

22

sesuatu. Siswa impulsif biasanya memilih alternatif yang sudah biasa digunakan dan lebih memilih cara yang lebih mudah dan singkat dalam menyelesaikan masalah52. Selain itu juga ada karakteristik siswa impulsif yang lain, yaitu tidak berpikir secara mendalam, memiliki tingkat ingin tahu yang biasa saja untuk menyelesaikan masalah berpikir kreatif, masalah yang sulit tidak menjadi tantangan bagi mereka dan lebih memilih untuk meninggalkannya, dan memberikan jawaban yang sederhana dan seminimal mungkin sesuai dengan permintaan soal53.

Dibandingkan dengan individu yang impulsif, individu yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas-tugas seperti: mengingat informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami, menginterpretasikan teks, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan lebih mungkin untuk menentukan sendiri tujuan belajar serta berkonsentrasi pada informasi yang relefan, sehingga biasanya individu reflektif memiliki standar kerja yang tinggi54. Rozencwajg dan Corroyer juga mengatakan hal yang serupa, yaitu anak yang bergaya kognitif reflektif adalah anak yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang lama dalam menjawab masalah, tetapi cermat/teliti sehingga jawaban yang diberikan cenderung benar55. Siswa reflektif mempertimbangkan segala alternatif sebelum mengambil keputusan dalam situasi yang tidak mempunyai penyelesaian yang mudah dan berpikir secara cermat56. Selain itu, siswa reflektif juga lebih mungkin untuk menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Biasanya siswa reflektif memiliki standar kerja yang tinggi57.

Berikut merupakan perbedaan sifat yang dimiliki siswa bergaya reflektif dan impulsif yang diungkapkan oleh Aziz Yahya dkk. Siswa reflektif butuh waktu yang lama untuk menjawab, jawaban lebih tepat (akurat), reflektif terhadap kesustraan, IQ tinggi, menyukai masalah analog (suatu masalah yang baru dengan dasar contoh masalah yang sudah ada),

52 Siti Rahmanita, Op. Cit., hal 68. 53Ibid, hal 69.

54Desmita, Op. Cit., hal 148.

55Puji Rahayu Ningsih, Op. Cit., hal 123. 56

Nixon J. Gerung, Op. Cit.


(29)

23

berpikir sejenak sebelum menjawab, kelainan dari segi kognitif, menggunakan paksaan dalam mengeluarkan berbagai kemungkinan, berargumen lebih matang, strategis dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan siswa impulsif memiliki sifat cepat memberikan jawaban tanpa mencermati terlebih dahulu, tidak menyukai jawaban masalah yang analog, menggunakan hypothesis-scaning (merujuk pada satu kemungkinan saja), pendapat kurang akurat, kurang strategi dalam menyelesaikan masalah58. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa siswa reflektif memiliki lebih banyak aspek positif dalam menunjang kesuksesan belajar dibandingkan dengan siswa impulsif.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif reflektif merupakan kecenderungan individu untuk menunjukkan penggunaan waktu yang lebih lama dalam merespon serta keakuratan jawaban yang diberikan dalam menjawab suatu masalah. Sedangkan gaya kognitif impulsif merupakan kecenderungan anak untuk menunjukkan penggunaan waktu yang cepat dalam merespon, tetapi tidak/kurang cermat sehingga jawaban yang diberikan dalam menjawab suatu masalah cenderung salah.

C. Keterkaitan AntaraSelf-Efficacydalam Menyelesaikan Masalah Matematika dengan Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

Setiap siswa memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya untuk berhasil menyelesaikan soal atau permasalahan matematika yang dihadapi. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilaksanakan serta usaha yang akan dilakukan untuk menyelesaikan soal atau permasalahan matematika tersebut. Keyakinan akan kemampuan diri untuk melakukan suatu tindakan disebut dengan self-efficacy. Self-efficacy adalah salah satu domain afektif yang sangat penting karena menunjukkan bagaimana kemampuan kognitif, afektif dan perilaku berkaitan, dan keyakinan (efficacy) itu sendiri adalah dasar utama dari suatu tindakan59.

Gaya kognitif merupakan cara berbeda yang dimiliki siswa dalam menerima, menganalisis dan merespon suatu tindakan kognitif yang diberikan. Kebanyakan tindakan kognitif seseorang bermula

58 Aziz Yahya, dkk.,Aplikasi Kognitif dalam Pendidikan, (Kuala Lumpur: PTS

PROFESIONAL, 2005), 95.


(30)

24

dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dulu. Semakin seseorang mempersiapkan dirinya maka seseorang tersebut akan membentuk usaha-usaha dan memperkuat komitmen orang tersebut terhadap tujuannya. Berdasarkan uaraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara self-efficacy siswa dalam menyelesaikan masalah dengan gaya kognitif, dimana tindakan yang dilakukan pada setiap gaya kognitif seseorang bermula dari suatu keyakinan (efficacy).

Tindakan yang dilakukan siswa dengan gaya kognitif refleksif cenderung akan mempertimbangkan segala alternatif sebelum mengambil keputusan dalam situasi yang tidak mempunyai penyelesaian yang mudah60. Selain itu, siswa reflektif akan mempertimbangkan banyak alternatif sebelum merespon, sehingga tinggi kemungkinan bahwa respon yang diberikan adalah benar61. Dengan kata lain siswa bergaya kognitif reflektif mempunyai kecenderungan merasa yakin akan kemampuannya untuk dapat merespon atau menyelesaikan masalah yang diberikan kepadanya dengan baik dan benar, walaupun membutuhkan waktu yang lama tetapi, siswa bergaya kognitif reflektif masih terus-menerus berusaha untuk menemukan soalusinya. Hal ini berarti siswa tersebut melandasi setiap tindakan yang dilakukan dengan keyakinan (efficacy) yang tinggi bahwa dia akan berhasil menemukan solusi yang benar meskipun membutuhkan waktu yang relatif lebih banyak. Siswa reflektif lebih mungkin untuk menentukan sendiri tujuan belajar serta berkonsentrasi pada informasi yang relefan, sehingga biasanya siswa reflektif memiliki standar kerja yang tinggi62. Selain itu siswa reflektif juga mempunyai IQ yang tinggi. Sehingga, dengan standart kerja tinggi serta IQ tinggi yang siswa reflektif miliki akan membuatnya yakin dan terus berusaha untuk meningkatkan upaya agar dapat menyelesaikan masalah dan menemukan solusi yang benar. Hal tersebut menyebabkan siswa dengan gaya kognitif reflektif lebih unggul dalam hal menyelesaikan masalah dan menemukan solusi yang benar.

60S. Nasution,Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, (Jakarta: PT

Bumi aksara, 2008), 97.

61 Yuli Dewi Lestari, Skripsi: “Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif”. (Surabaya: UNESA, 2012), 41.


(31)

25

Menurut hasil penelitian Puji R. N. menyatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah siswa reflektif mengetahui situasi dengan baik, hal tersebut terlihat dari siswa mampu menggunakan semua informasi yang penting dengan baik dan mengesampingkan informasi yang tidak penting63. Dengan kata lain, siswa reflektif akan merasa mempunyai kesiapan mental dan emosional sehingga dapat menentukan beberapa tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang diberikan kepadanya. Hal tersebut dapat ditemukan pada siswa yang mempunyai self-efficacy tinggi dalam menyelesaikan masalah dengan menunjukkan bahwa siswa tersebut dapat menyikapi situasi yang beragam dengan positif. D. Tingkat Self-Efficacy dalam Menyelesaikan Masalah

Matematika Siswa Dibedakan dari Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

Tingkat Self-efficacy siswa yang diamati pada penelitian ini meliputi rasa memiliki pandangan yang optimis, gigih, yakin akan kemampuan yang dimiliki, menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dengan cara yang baik dan positif dalam menyelesaikan masalah matematika dibedakan dari gaya kognitif reflektif dan impulsif.

Berikut tabel prediksi tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif.

Tabel 2.2.

Prediksi TingkatSelf-Efficacydalam Menyelesaikan Masalah Matematika Siswa Dibedakan dari Gaya Kognitif Reflektif dan

Impulsif

Dimensi Kode Deskripsi Indikator

PrediksiSelf-Efficacydalam Menyelesaikan Masalah Matematika

Siswa dibedakan dari Gaya Kognitif

Reflektif Impulsif Magnitude A Menentukan

cara yang tepat untuk menyelesaikan

Siswa mempunyai strategi

penyelesaian yang tepat untuk

Siswa tidak mempunyai strategi penyelesaian yang tepat untuk 63Puji R. N., Op. Cit., hal 124.


(32)

26 masalah. menyelesaikan masalah. menyelesaikan masalah. B Mengecek kembali hasil pekerjaan yang diperoleh. Siswa membutuhkan waktu yang lama untuk mengecek kembali hasil pekerjaan yang diperoleh.

Siswa bekerja secara tergesa-gesa sehingga tidak mengecek kembali hasil pekerjaan yang diperoleh. C Tidak mudah

putus asa dalam menyelesaikan masalah meskipun terdapat kesulitan.

Siswa tidak mudah merasa putus asa dan cenderung menganggap masalah yang sulit sebagai tantangan.

Siswa mudah merasa putus asa dan tidak menganggap masalah yang sulit sebagai tantangan serta cenderung lebih memilih untuk meninggalkannya. D Mengatasi kesulitan dengan baik dalam menyelesaikan masalah. Siswa memberikan upaya yang tinggi untuk mengatasi kesulitan dengan baik dalam menyelesaikan masalah. Siswa tidak memberikan upaya yang tinggi untuk mengatasi kesulitan dengan baik dalam menyelesaikan masalah. Strength E Menyelesaika

n masalah sesuai target yang diharapkan. Siswa cermat/teliti dan membutuhkan waktu yang lama dalam menyelesaikan masalah sesuai target yang diharapkan. Siswa tidak cermat/teliti dan membutuhkan waktu yang relatif singkat dalam menyelesaikan masalah sesuai target yang diharapkan. F Merasa yakin

terhadap usaha keras untuk menyelesaikan masalah. Siswa membutuhkan waktu yang lama untuk

berkonsentrasi dengan baik pada informasi-informasi

Siswa membutuhkan waktu yang relatif singkat dan

cenderung tidak dapat berkonsentrasi dengan baik pada informasi-informasi


(33)

27

yang relevan saat menyelesaikan masalah.

yang relevan saat menyelesaikan masalah. Generality G Dapat

menangani stres dengan baik saat menyelesaikan masalah.

Siswa dapat menangani stres dengan baik dan cenderung bekerja secara tenang dalam menyelesaikan masalah.

Siswa tidak dapat menangani stres dengan baik dan cenderung bekerja secara tergesa-gesa dalam menyelesaikan masalah.

E. Materi

1. Bangun Datar Persegi panjang a. Pengertian persegi panjang

Persegi panjang adalah salah satu dari jenis bangun datar yang berbentuk segi empat. Kita sering melihat benda yang berada di sekitar kita yang berbentuk persegi panjang. Misalnya meja, bingkai foto, atau buku. Bagaimana panjang dengansisi benda-benda tersebut? Sekarang perhatikan gambar di bawah ini!

Gambar 2.1 Persegi Panjang ABCD

Jika kita mengamati persegi panjang ABCD pada gambar dengan tepat, kita akan mengetahui bahwa:

1) Sisi-sisi persegi panjang ABCD adalah AB, BC, CD, dan AD, dengan dua pasang sisi sejajarnya sama panjang, yaitu AB = DC dan BC = AD.

2) Sudut-sudut persegi panjang ABCD adalah DAB, ABC, BCD, dan CDA dengan DAB = ABC = BCD = CDA = 90°.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa persegi panjang adalah segiempat yang memiliki dua

A B

D C

└ ┘


(34)

28

pasang sisi sejajar yang berhadapan yang sama panjang dan sudutnya 90°.

b. Sifat-sifat persegi panjang

Berikut adalah sifat-sifat persegi panjang: 1) Memiliki empat sisi serta empat titik sudut.

2) Memiliki dua pasang sisi sejajar yang berhadapan dan sama panjang.

3) Keempat sudutnya sama besar yaitu 90° (sudut siku-siku). 4) Memiliki dua diagonal yang sama panjang.

5) Memiliki dua buah simetri lipat. 6) Memiliki dua semetri putar

c. Rumus luas dan keliling persegi panjang

Persegi panjang dengan ukuran panjng cm dan lebar cm mempunyai luas : L = × cm dan keliling K = 2 ×

+ cm. 2. Bangun Ruang Balok

a. Pengertian Balok

Balok merupakan bangung ruang tiga dimensi yang dibentuk dari enam buah persegi panjang yang saling tegak lurus dengan alas berbentuk persegi panjang. Contoh benda di sekitar kita yang menyerupai balok adalah lemari pakaian dan lemari es.

Gambar 2.2 Bangun Ruang Balok b. Rumus Balok

1) Luas Permukaan Balok= 2 × + × + × 2) Volume Balok= × ×

3. Bangun Ruang Tabung a. Pengertian Tabung

Tabung merupakan bangun ruang yang dibatasi oleh sisi lengkung dan dua buah lingkaran. Selain itu, tabung juga dapat diartikan sebagai bangun ruang tiga dimensi yang memiliki tutup dan alas yang berbentuk lingkaran dengan ukurang yang sama,

A B

C D

E F

G H

l

t


(35)

29

dan bagian selimutnya berbentuk persegi panjang. Contoh benda di sekitar kita yang menyerupai tabung adalah kaleng susu.

Gambar 2.3 Bangun Ruang Tabung

b. Rumus Tabung

1) Luas Permukaan Tabung= 2 ( + ) 2) Luas Selimut Tabung= 2

3) Volume Tabung=

Keterangan: = atau3,14 = jari-jari alas = tinggi tabung

t r


(36)

30


(37)

31

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini akan menggambarkan secara mendalam dan terperinci tentang tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa kelas IX SMP Islam Al-Amin Sukodono Sidoarjo yang dibedakan dari gaya kognitif reflektif dan impulsif. Data yang dideskripsikan berupa hasil tes dan hasil wawancara subjek penelitian.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di SMP Islam Al-Amin Sukodono Sidoarjo pada bulan Januari semester genap tahun ajaran 2016-2017. Berikut adalah jadwal pelaksanaan penelitian yang dilakukan di SMP Islam Al-Amin Sukodono Sidoarjo:

Tabel 3.1

Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No. Hari/Tanggal Waktu Kegiatan

1. Kamis/26 Januari 2017

09.40 WIB

–11.10

WIB

Tes MFFT

(Matching Familiar Figure Test)

2. Jumat/27 Januari 2017

09.00 WIB

–10.00

WIB

Tes Pemecahan Masalah 10.05 WIB

–10.35

WIB

Wawancara kepada subjek penelitian

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX-A SMP Islam Al-Amin Sukodono Sidoarjo. Penentuan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling

adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu1.

1

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 300


(38)

32

Pengambilan subjek penelitian berdasarkan perolehan hasil MFFT (Matching Familiar Figure Test) yang diberikan kepada siswa kelas IX-A SMP Islam Al-Amin Sukodono Sidoarjo dengan tujuan untuk mengelompokkan tipe gaya kognitif siswa dan juga berdasarkan pertimbangan guru kelas mengenai kemampuan berkomunikasi siswa. Tes ini diadopsi dari penelitian Warli yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya.

Pada MFFT, siswa ditunjukkan pada sebuah gambar standar dan delapan gambar variasi yang serupa dimana hanya ada satu dari gambar variasi tersebut yang sama dengan gambar standar. Tugas siswa adalah memilih salah satu gambar dari delapan gambar variasi tersebut yang sama dengan gambar standar. Siswa diminta untuk mengerjakan MFFT satu persatu dihadapan peneliti, kemudian peneliti mencatat waktu pengerjaan tiap siswa.

Berdasarkan hasil dari MFFT, kemudian siswa dikelompokkan sesuai kriteria tipe gaya kognitifnya. Kemudian dari kelompok tersebut dipilih dua orang siswa yang mempunyai gaya kognitif reflektif dan dua orang siswa yang mempunyai gaya kognitif impulsif, sehingga sabjek yang diperoleh berjumlah empat siswa. Untuk mencari siswa impulsif adalah dengan memilih siswa pada golongan cepat dalam mengerjakan semua soal MFFT dan yang mempunyai jawaban benar kurang dari tujuh soal (benar< 7).

Sedangkan untuk memilih siswa reflektif adalah dengan memilih siswa pada golongan lambat dalam mengerjakan semua soal MFFT dan yang mempunyai jawaban benar lebih dari sama dengan tujuh soal (benar 7). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat

kecenderungan tingkatself-efficacydalam menyelesaikan masalah matematika siswa.

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tes

Tes ini digunakan untuk mendapatkan data kualitatif tentang tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif. Tes ini diujikan kepada empat orang siswa yang telah dipilih oleh peneliti setelah tes MFFT.


(39)

33

Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan tanya jawab antara peneliti dengan siswa kelas IX SMP Islam Al-Amin Sukodono Sidoarjo yang menjadi subjek penelitian. Pelaksanaan wawancara ini dilakukan secara terstruktur sesuai dengan pedoman wawancara yang telah disiapkan untuk ditanyakan kepada subjek setelah mengerjakan TPM. Teknik ini dilakukan untuk mengetahui indikator tingkat

self-efficacy yang muncul pada proses kerja siswa dalam menyelesaikan masalah berdasarkan tahapan yang ada di polya.

Adapun langkah-langkah untuk melakukan wawancara adalah (1) peneliti memberikan pertanyaan kepada subjek berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat dan divalidasi, (2) siswa menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti sesuai dengan apa yang dikerjakan dan dipikirkan saat mengerjakan TPM, (3) peneliti merekam proses wawancara menggunakanrecorder.

E. Instrumen Penelitian

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tes Pemecahan Masalah (TPM)

Tes ini berupa masalah dalam bentuk esai yang disusun oleh peneliti. Penyusunan masalah berbentuk esai ini bertujuan untuk mengetahui tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa. Masalah ini disesuaikan dengan materi geometri, yang terdiri dari suatu permasalahan mengenai luas permukaan bangun datar, luas permukaan dan volume dari bangun ruang.

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan yang ditanyakan kepada subjek saat wawancara untuk mengetahui tingkat self-efficacy yang berkaitan dengan Tes Pemecahan Masalah (TPM) yang telah dikerjakan siswa bergaya kognitif reflektif dan impulsif. Sebelum didigunakan, kedua instrumen penelitian tersebut telah divalidasi oleh beberapa ahli, yaitu Ahmad Hanif Ashar, M. Si (Dosen Pendidikan Matematika UIN Sunan Ampel Surabaya), Fanny Adibah, S. Pd, M. Pd (Dosen Pendidikan Matematika UIN Sunan Ampel Surabaya), dan Minarto, S. Pd (Guru Matematika


(40)

34

SMP Islam Al-Amin). Instrumen ini telah melalui proses revisi sesuai saran maupun masukan dari validator tersebut.

F. Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan telaah teknik triangulasi. Arti dari triangulasi itu sendiri adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Menurut Sugiono, triangulasi data dibedakan menjadi tiga yaitu sumber, metode, dan waktu2.

Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi sumber, yaitu pengecekan derajat kepercayaan data penelitian berdasarkan beberapa subjek3. Artinya peneliti melakukan wawancara pada kedua subjek penelitian guna untuk membandingkan data yang diperoleh. Apabila terdapat banyak kesamaan data antara kedua subjek yang bergaya kognitif sama, maka bisa dikatakan data tersebut valid. Apabila tidak ditemukan kesamaan antara kedua subjek tersebut, maka tes dan wawancara dilakukan kembali kepada subjek yang berbeda dengan gaya kognitif yang sama, hingga ditemukan banyak kesamaan antara kedua subjek dengan gaya kognitif yang sama atau data valid. Selanjutnya, data valid tersebut dianalisis untuk mendeskripsikan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa.

G. Teknik Analisis Data

1. Teknik Analisis Data Tes Pemecahan Masalah (TPM)

Analisis data tes pemecahan masalah dalam penelitian ini bukan berupa hasil skor yang diperoleh dari pekerjaan subjek melainkan hasil yang berupa gambaran atau deskripsi hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan tes pemecahan masalah, karena data yang dianalisis adalah data kualitatif. Analisis tes ini akan diperkuat dengan hasil wawancara secara terstruktur dan mendalam.

2. Teknik Analisis Data Hasil Wawancara

Analisis data hasil wawancara ini berguna untuk mengetahui tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan

2

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010), 272.

3


(41)

35

masalah matematika siswa. Wawancara dilakukan kepada empat siswa yang dipilih sebelumnya sehingga diperoleh data hasil wawancara yang disimpan dalam sebuah rekaman.

Analisis data hasil wawancara ini secara keseluruhan mengacu pada pendapat Miles & Huberman, yaitu meliputi aktifitas reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification).4 Berikut penjelasan tahapan analisis dalam penelitian ini:

a. Reduksi Data

Reduksi data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rangkaian kegiatan yang mengacu pada pemusatan perhatian, dan penyederhanaan data mentah di lapangan tentang tingkatself-efficacydalam menyelesaikan masalah matematika siswa. Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan proses pengurangan data yang tidak perlu. Reduksi data dilakukan setelah membaca, mempelajari, dan menelaah hasil wawancara. Hasil wawancara tersebut kemudian dituangkan secara tertulis dengan cara sebagai berikut: 1) Memutar hasil rekaman beberapa kali agar dapat

menuliskan dengan tepat jawaban dari subjek

2) Mentranskip hasil wawancara dengan subjek penelitian yang diberi kode yang berbeda pada tiap subjek. Adapun pengkodean dalam hasil wawancara penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pa, b : Pewawancara

Ra, b : Subjek bergaya kognitif reflektif Ia, b : Subjek bergaya kognitif impulsif dengan,

a : Subjek ke-a, dengan a = (1 dan 2)

b : Pertanyaan atau jawaban ke-b, dengan b = (1, 2, 3, ..., 100)

berikut contohnya:

P1, 2 : Pewawancara untuk subjek ke-1 dan pertanyaan ke-2.

4

B. Miles, Mattew dan Huberman.Analisis Data Kualitatif.(Jakarta: UI-Press, 2009), 16.


(42)

36

R1,2: Subjek ke-1 bergaya kognitif reflektif dan jawaban/respon ke-2.

3) Memeriksa kembali hasil traskip tersebut dengan mendengarkan kembali hasil rekaman saat wawancara berlangsung, untuk mengurangi kesalahan pada transkip.

b. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan untuk mengorganisasikan hasil reduksi data dengan cara menyusun secara naratif kesimpulan dari data yang telah diperoleh dari hasil reduksi, sehingga dapat memberikan kemungkinan penarikan kesimpulan. Data yang dimaksud adalah analisis tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa yang dipaparkan dari setiap subjek menurut gaya kognitifnya.

c. Penarikan Kesimpulan Data Hasil Wawancara

Setelah data disajikan, maka tahap selanjutnya adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan pada penelitian ini mengacu pada setiap deskripsi indikator tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa yang dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 3.2 Rubrik Penilaian Deskripsi

Indikator

Skor

0 1 2

DimensiMagnitude a. Menentukan strategi yang tepat untuk menyelesai-kan masalah. Tidak mempunyai strategi penyelesaian yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Mempunyai strategi untuk menyelesaikan masalah namun masih kurang tepat. Mempunyai strategi penyelesaian yang tepat untuk menyelesaikan masalah. b. Mengecek kembali hasil pekerjaan yang Tidak mengecek kembali hasil pekerjaan yang telah diperoleh secara Mengecek kembali sebagian dari hasil pekerjaan yang telah diperoleh Mengecek kembali hasil pekerjaan yang telah diperoleh secara


(43)

37 diperoleh. keseluruhan sebelum dikumpulkan. sebelum dikumpulkan. keseluruhan sebelum dikumpulkan. c. Tidak mudah putus asa dalam menyelesai-kan masalah meskipun terdapat kesulitan. Mudah merasa putus asa dan cenderung lebih memilih untuk meninggalkan masalah yang sulit diselesaikan. Mudah merasa putus asa namun masih ingin menyelesaikan masalah yang sulit diselesaikan.

Tidak mudah putus asa dan merasa bersemangat untuk tetap menyelesaikan masalah yang sulit diselesaikan. d. Mengatasi kesulitan dengan baik dalam menyelesai-kan masalah Tidak berhati-hati dalam menentukan cara untuk menyelesaikan masalah sehingga tidak dapat mengatasi kesulitan dengan baik saat menyelesaikan masalah. Berhati-hati dalam menentukan cara untuk menyelesaikan masalah namun masih kurang tepat dan benar sehingga tidak dapat mengatasi kesulitan dengan baiak saat menyelesaikan masalah. Berhati-hati dalam menentukan cara yang tepat dan benar untuk mengatasi kesulitan dalam menyelesaikan masalah. Tidak memberikan upaya yang tinggi untuk mengatasi kesulitan/ kebingungan dengan baik dalam menyelesaikan masalah. Memberikan upaya yang tinggi namun masih tidak dapat mengatasi kesulitan/ kebingungan yang dirasakan saat menyelesaikan masalah. Memberikan upaya yang tinggi untuk mengatasi kesulitan/ kebingungan yang dirasakan saat menyelesaikan masalah.


(44)

38 DimensiStrength a. Merasa yakin terhadap usaha keras untuk menyelesai-kan masalah. Tidak yakin bahwa informasi penting yang telah diperoleh bernilai benar dan menggunakan waktu yang relatif singkat untuk membaca permasalahan. Tidak yakin bahwa informasi penting yang telah diperoleh bernilai benar namun menggunakan banyak waktu untuk membaca permasalahan. Merasa yakin pada informasi penting yang telah diperoleh bernilai benar setelah menggunakan banyak waktu untuk membaca permasalahan. Merasa tidak yakin dapat melakukan perbaikan dengan baik dan benar pada penyelesaian yang masih salah dan bekerja secara tergesa-gesa. Merasa tidak yakin dapat melakukan perbaikan dengan baik dan benar pada

penyelesaian yang masih salah namun

menggunakan waktu yang lama.

Merasa yakin dapat melakukan perbaikan pada penyelesaian yang masih salah dengan baik dan benar dan menggunakan waktu yang lama. b. Menyelesai-kan masalah sesuai target yang diharapkan. Merasa tidak yakin dengan usahanya dalam memperbaiki langkah penyelesaian yang masih salah dan bekerja secara tergesa-gesa. Merasa yakin dengan usahanya dalam memperbaiki langkah penyelesaian yang masih salah dan bekerja secara tergesa-gesa. Merasa yakin dengan usahanya dalam memperbaiki langkah penyelesaian yang masih salah namun membutuhkan waktu yang lama. Memberikan kesimpulan yang salah dan tidak

Memberikan kesimpulan dengan benar dan

Memberikan kesimpulan dengan benar


(45)

39

sesuai dengan yang ditanyakan.

sesuai dengan yang ditanyakan namun hanya suatu kebetulan karena salah dala langkah

penyelesaiannya.

dan sesuai dengan yang ditanyakan.

DimensiGenerality

a. Mengatasi stres dengan baik saat menyelesai-kan masalah.

Tidak dapat mengatasi stres dengan baik dan cenderung bekerja secara tergesa-gesa dalam

menyelesaikan masalah.

Dapat mengatasi stres dengan baik dan cenderung bekerja secara tergesa-gesa dalam

menyelesaikan masalah.

Mengatasi stres dengan baik dan cenderung bekerja secara tenang dalam menyelesaikan masalah.

Keterangan : Skor 0 = rendah Skor 1 = sedang Skor 2 = tinggi

Untuk menunjukkan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa, peneliti menjelaskan penarikan kesimpulan sebagai berikut:

Tabel 3.3

TingkatSelf-EfficacySiswa dalam Menyelesaikan

Masalah

Skor Tingkat

0 6 Rendah

7 13 Sedang

14 20 Tinggi

Keterangan : = jumlah skor yang diperoleh siswa H. Prosedur Penelitian

Adapun rencana penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, dari awal hingga akhir, yaitu:

1. Melakukan studi pendahuluan, yaitu mengidentifikasi, merumuskan masalah, dan melakukan studi literatur.


(46)

40

2. Membuat instrumen penelitian, yang terdiri dari Tes pemecahan masalah dan pedoman wawancara.

3. Meminta izin untuk melakukan penelitian kepada pihak SMP Islam Al-Amin Sukodono Sidoarjo.

4. Diskusi dengan guru dalam menentukan kelas yang menjadi subjek penelitian.

5. Memberikan tes MFFT (Matching Familiar Figure Test) pada kelas yang menjadi subjek penelitian.

6. Mengelompokkan hasil tes MFFT (Matching Familiar Figure Test) sesuai dengan tipe gaya kognitif reflektif dan impulsif. 7. Penentuan subjek penelitian, memilih siswa yang terdiri dari

masing-masing dua siswa dari tipe gaya kognitif reflektif dan impulsif. Pemilihan ini didasarkan atas kemampuan komunikasi yang baik sesuai dengan saran guru kelas.

8. Memberikan Tes Pemecahan Masalah (TPM) kepada subjek penelitian yang telah ditentukan.

9. Melakukan wawancara kepada empat siswa yang menjadi subjek penelitian.

10. Data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan teknik analisis data yang dituliskan sebelumnya.

11. Mendeskripsikan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif.

12. Mendeskripsikan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa yang memiliki gaya kognitif impulsif.

13. Membuat tabel perbandingan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif dan impulsif.

14. Menuliskan perbedaan tingkat self-efficacy dalam menyelesaikan masalah matematika siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif dan impulsif berdasarkan tingkatnya.


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

141

efficacydalam menyelesaikan masalah sebaiknya meninjau dari tipe gaya kognitif lain. Selain itu, hendaknya

melakukan penelitian yang lebih cenderung pada


(2)

142


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

141

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan

Remidialnya, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

Annis D. K., Tatag Y. K. S.,“Pengaruh Kecemasan dan Self-Efficacy

Siswa Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segi

Empat Siswa Kelas VII MTs Negeri Ponorogo”,

MATHEdunesa; Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, Vol. 3, No. 2. 2014.

Alwisol, Psikologi Kepribadian edisi revisi. Malang: UMM Press,

2009.

Bandura, A., 1994, Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.),

Encyclopedia of human behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press. Reprinted in H. Friedman [Ed.],

Encyclopedia of mental health. San Diego: Academic Press, 1998.

Bandura, A., 1997, “Self-Efficacy: The Exercise of Control”, New

York: W. H. Freeman and Company.

Bandura, A., 2009, “Cultivate Self Efficacy for Personal and

Organizational Effectiveness”,In E. A. Locke (Ed)., Handbook

of principles of organization behafior. (2nd Ed.), (pp. 179-200). New York: Wiley.

Bandura, A., Self-Efficacy in Changing Socialities Cambridge,

UK: Cambridge University Press, 2009

Bandura, A., Social Foundation of Thought and Action A Social

Cognitive Theory;Englewood Cliffs, NJ: Prectice Hall, 1986.

Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya Offset, 2012.

Dindyal, J.,“Emphasis on Problem Solving in Mathematics Textbooks

from Two Different Reform Movements”, The Mathematics

Education into the 21st CenturyProject Universiti Teknologi Malaysia, Reform, Revolution and Paradigm Shifts in


(4)

142

Mathematics Education, Johor Baru, Malaysia,Nov 25th–Dec

1st, 2005.

Haryani, D. “Pembelajaran Matematika dengan Pemecahan

Masalah untuk Menumbuh kembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa”, Paper presented at Seminar Nasional Pendidikab dan Penerapan MIPA, Yogyakarta, 2011.

Hasyim, S., dkk., Psikologi Pendidikan (Kuala Lumpur: PTS

Professional Pub, 2007). Accessed on 30 Mei 2016,

https://books.google.co.id/; internet.

Hermanto, D., Tesis: “Efikasi Diri dan Kecemasan Siswa Kelas V SD

dalam Pemecahan Masalah Pecahan Ditinjau dari Kemampuan Matematika”. Surabaya: UNESA. 2013.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, accessed on 18 Juli 2017,

http://kbbi.kata.web.id/tingkat/; internet.

K., Annis D., Tatag Y. K. S., “Pengaruh Kecemasan dan Self-Efficacy

Siswa Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segi

Empat Siswa Kelas VII MTs Negeri Ponorogo”,

MATHEdunesa; Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 3: 2, 2014.

Lestari, Y. D. “Metakognisi Siswa dalam Memecahkan

Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif”, E-Jurnal

UNESA, Vol.1, No. 1, 2012.

Mendikbud, Peraturan Mentri dan Kebudayaan Nomor 58, tahun

2014, tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.

Nasution, S., Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar &

Mengajar, (Jakarta: PT Bumi aksara, 2008

Ningsih, P. R., “Profil berpikir Kritis Siswa SMP dalam

Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

143

Novferma, Tesis: “Analisis Kesulitan dan Self-Efficacy Siswa SMP

dalam Pemecahan Masalah Matematika Berbentuk Soal Cerita”. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2015.

Ormrod, J. E.,Psikologi Pendidikan,Jakarta: ERLANGGA, 2008.

Rahman, A., “Analisis Hasil Belajar Matematika Berdasarkan

Perbedaan Gaya Kognitif Secara Psikologis dan Konseptual

Tempo pada Siswa Kelas X SMA Negeri 3 Makasar”,

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.14, No. 072, 2008.

Rahmanita,. Siti, dkk, “Tingkat Berpikir Kreatif Siswa dalam

Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya

Kognitif Reflektif dan Impulsif”, Jurnal Didaktif Matematika

ISSN: 2355-4185, Vol. l, No. 1, April, 2014.

Robert A. Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial, Jakarta:

ERLANGGA, 2003.

Roger D. Jensen Jr., Degree of Master of Science in Education: “The

Effectiveness of the Socratic Method in Developing Critical Thinking Skills in English Language Learners”.Grace University, 2015.

Russeffendi, E. T., Pengantar Kepada Membantu Guru

Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran

Matematika untuk Meningkatkan CBSA, Bandung: Tarsito, 2006.

Schunk, D. H. Learning Theories: An Educational Perspective (5th

ed), Upper Saddle River, NJ: Pearson Educational Inc, 2008.

Suwanjal, Usep., Tugas Akhir Program Magister (TAPM):“Pengaruh

Penerapan Pendekatan Kontekstual Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Self- Efficacy Matematis Siswa SMP”. Jakarta: Universitas Terbuka, 2013.

Ulya, H. “Hubungan Gaya Kognitif dengan Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematika Siswa”, Jurnal Konseling

GUSJIGANG, Vol. 1, No. 2, 2015. Yahya, A., dkk., Aplikasi

Kognitif dalam Pendidikan, Kuala Lumpur: PTS


(6)

144

Widadah, Soffil ,“Profil Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Soal

Sistem Persamaan Linier Dua Variabel Berdasarkan Gaya

Kognitif”, Jurnal Pendidikan Matematika STIKIP PGRI

Sidoarjo,Vol. 1, No. 1, April, 2013.

Widiyanto, Arif., Skripsi: “Pengaruh Self-Efficacy dan Motivasi

berprestasi siswa Terhadap kemandirian Belajar Mata Pelajaran K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di SMK Depok”. (Yogyakarta: UniversitasNegeri Yogyakarta, 2013).

Zimmerman, B. J., Bonner, S., & Kovach, R., Developing

self-regulated leaners: beyond achievement to self-efficacy, Wasington, DC: American Psychological Association, 1996.

Z., Arifin, Disertasi:“Meningkatan Motivasi Berprestasi, Kemampuan

Pemecahan Masalah, dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Melalui Pembelajaran Matematika Realistik Dengan Strategi Kooperatif di Kabupaten Lamongan”. Bandung: PPs UPI. 2008.