Studi tentang Islam Aboge di Desa Pajaran Saradan Madiun.

(1)

STUDI TENTANG ISLAM ABOGE

DI DESA PAJARAN SARADAN MADIUN

Skripsi:

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Ushuluddin Dan Filsafat

Oleh:

Mutsabbitatul Imania NIM: E72213053

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Dari sekian banyak Agama yang diakui di Indonesia, Islam merupakan Agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia. Awal pertumbuhan Islam di Indonesia diawali dengan adanya pertemuan antara ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh para pendatang dengan tradisi lokal masyarakat Indonesia. Pertemuan antara kedua unsur tersebut menyebabkan munculnya sebuah akulturasi budaya antara ajaran Islam dengan tradisi lokal. Dalam hal ini, Islam Aboge merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia.

Masyarakat Islam Aboge senantiasa mengamalkan dan melestarikan ajaran dan tradisi yang diajarkan oleh para leluhurnya. Salah satu tradisi yang paling mencolok dan masih dilestarikan oleh masyarakat Islam Aboge adalah penggunaan Kalender Almanak dan upacara selametan yang dilakukan disetiap tahap peralihan kehidupan. Penilitian tentang masyarakat Islam Aboge ini dianggap penting karena dengan penelitian ini kita dapat mengenal masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Kecamtan Saradan Kabupaten Madiun dengan lebih dekat dan mendalam.

Untuk bisa memahami bagaimana praktek dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif agar bisa memberikan sebuah gambaran yang lebih rinci mengenai masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran. Data yang diperoleh berasal dari hasil observasi dan wawancara dengan tokoh-tokoh Aboge dan beberapa penganut Aboge. Selanjutnya, penulis melakukan validitasi data dengan menggunakan metode triangulasi yaitu validasi data melalui sumber di luar objek penelitian.

Dari beberapa data tersebut dapat disimpulkan bahwa komunitas Islam Aboge di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun masih menggunakan Almanak atau Kalender Jawa yang disusun oleh Sultan Agung. Sedangkan mayoritas penganut Islam di desa Pajaran saat ini menggunakan kalender Hijriyah sebagai pedoman dalam menentukan hari-hari suci. Perbedaan inilah yang kadang kala memicu ketegangan antara penganut Islam Aboge dengan penganut Islam lainnya.

Selain menggunakan Almanak, para penganut Aboge juga masih melestarikan tradisi dan petuah dari nenek moyang mereka, seperti halnya mengamalkan sistem petungan dan melakukan ritual-ritual mistik bagi yang mampu. Sayangnya, regenerasi ajaran Islam Aboge hanya dilakukan secara turun temurun. Mereka tidak melakukan dakwah yang ditujukan agar orang lain menjadi pengikut Aboge. Dilain sisi mereka juga tidak melarang penganutnya untuk keluar dari Aboge. Kata Kunci: Islam, Tradisi Lokal.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...…i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..……ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI………..…iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN………..…..iv

HALAMAN MOTTO……….…………..……….v

HALAMAN PERSEMBAHAN……….………...vi

HALAMAN KATA PENGANTAR……….………...viii

HALAMAN ABSTRAK……….………..…xi HALAMAN DAFTAR ISI……….….xii HALAMAN TRANSLITERASI………xiv HALAMAN DAFTAR TABEL………xvi HALAMAN DAFTAR GAMBAR……….………..xvii

HALAMAN DAFTAR DIAGRAM……….………xviii BAB I : PENDAHULUAN………...…1

A.Latar Belakang Masalah……….1

B.Rumusan Masalah………5

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian……….5

D.Kajian Teori……….6

E. Tinjauan Pustaka………..8

F. Sumber Penelitian………..11

G.Metode Penelitian………..12

H.Sistematika Pembahasan………17

BAB II : ISLAM DAN BUDAYA JAWA……….……….…19

A.Agama dan Budaya dalam Definisi………...19

B.Varian Masyarakat Jawa………22

C.Typologi Islam Jawa………..84

BAB III : DATA PENELITIAN……….……….…………....89

A.Profil Lokasi Penelitian……….…89

1. Keadaan Geografis……….…...…...…...89

2. Keadaan Demografis………....……….…………90

3. Keadaan Penduduk……….………....91

4. Keadaan Tempat Ibadat……….………...93

5. Keadaan Lembaga Sosial Keagamaan………..101


(8)

7. Keadaan Ekonomi……….110

B. DATA TENTANG MASYARAKAT ISLAM ABOGE DI DESA PAJARAN SARADAN MADIUN………..…114

1. Diskursus Masyarakat Islam Aboge……...………114

2. Sistem Kalender Islam Aboge……...…..………...117

3. Kepercayaan Terhadap Makhluk Halus……...……...134

4. Sistem Petungan………...………...…...136

5. Upacara Siklus kehidupan Masyarakat Islam Aboge...138

BAB IV: ANALISIS DATA TENTANG MASYARAKAT ISLAM ABOGE DI DESA PAJARAN……….…….148

A.Praktek Keagamaan Masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun………..150

B.Perilaku Keaagamaan Masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun………..157

BAB V: PENUTUP A.Kesimpulan………..………163

B.Saran-Saran………...………...164

DAFTAR PUSTAKA………..……...165


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Secara etimologi Agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu “a” yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau. Jadi Agama mengandung arti tidak kacau.1 Dalam bahasa Arab Agama disebut diin

yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan.2 Sedangkan menurut Harun Nasution, ada delapan definisi Agama, yaitu:3 1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. 2) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. 3) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. 4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 5) Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib. 6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. 7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. 8) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Dari delapan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Agama adalah sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat

1Taib Thahir Abdul Mu’in,

Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992), 112. 2

Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 1.

3

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985), 10.


(10)

2

dalam menginterpretasi tanggapan terhadap apa yang dirasakan sebagai yang ghaib maupun yang suci, sehingga agama dapat menjadi pengontrol atau pedoman bagi penganutnya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran keagamaannya.

Salah satu Agama yang telah ada dan berkembang sangat pesat di Indonesia adalah Agama Islam. Perkembangan agama Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kegiatan dakwah Islāmiyyah yang dilakukan oleh para ulama dan pedagang Muslim pada masa awal masuknya agama Islam di Indonesia. Saat itu kondisi masyarakat Indonesia masih menganut kepercayaan-kepercayaan seperti animisme dan dinamisme sehingga Islam tidak serta merta diterima di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Pada akhirnya Islam sebagai sebuah doktrinatau teks suci dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat, khususnya orang-orang Jawa pada masa itu, disebabkan karena adanya budaya lokal yang mempunyai kesamaan dengan ajaran yang dibawa oleh para pendakwah pada saat itu. Sehingga ketika Islam dipahami dan kemudian diwujudkan dalam tindakan-tindakan oleh masyarakat, hasilnya tidak terlepas dari kemampuan pemahaman tiap masyarakatnya.4

Masyarakat Islam di tanah Jawa memiliki karakter yang sangat unik dan kompleks terkait dengan ekspresi keberagamaannya. Hal ini dikarenakan penyebaran agama Islam di Jawa dipengaruhi oleh proses akulturasi dan asimilasi ajaran agama Islam dengan tradisi budaya lokal masyarakat itu sendiri. Di karenakan kebudayaan lokal yang telah mengakar kuat pada

4


(11)

3

kehidupan masyarakat Jawa, maka tradisi-tradisi Jawa tersebut masih tetap dilestarikan meskipun mereka telah masuk ke dalam agama Islam.

Proses akulturasi budaya ini membuat Islam sebagai ajaran Agama dan Jawa sebagai entitas budaya menyatu dan membentuk suatu budaya yang berbeda. Pembentukan ini disebabkan karena adanya kompromi nilai atau simbol dengan budaya asal, sehingga menghasilkan bentuk baru yang berbeda dengan asalnya.5 Menurut Clifford Geertz, pembentukan akibat percampuran dua nilai ini telah membentuk pola keberagaman yang sangat dipengaruhi oleh status sosial dan tingkat kehidupan masyarakat. Geertz membedakan pola keragaman masyarakat dengan tiga kategori, yaitu Abangan, Santri, dan Priyayi.6

Abangan merupakan kelompok masyarakat yang mengamalkan ajaran Islam secara sinkretik karena pengamalan keagamaan mereka lebih menekankan pada aspek animistik dari kebudayaan Jawa. Abangan lebih diasumsikan sebagai religiousitas masyarakat desa yang dihubungkan dengan golongan petani. Sedangkan Santri merupakan kelompok masyarakat yang mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam secara teratur dan bersifat murni. Pemahaman golongan Santri terhadap Islam cukup mendalam, sehingga pengamalan keagamaan mereka lebih menekankan pada

5

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, cet. 2, (Bandung: Penerbit PT Remajarosdakarya, 2002), 74.

6

Clifford Geertz, The Religion Of Java, Terj. Aswab Mahasin: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981), 8.


(12)

4

aspek keislaman. Dalam hal ini, Santri diasumsikan sebagai bentuk keberagamaan kaum pedagang.7

Sementara itu, varian Priyayi diasumsikan sebagai golongan bangsawan yang dekat dengan kekuasaan. Gologan Priyayi cenderung menekankan pada penggabungan ajaran Agama dengan tradisi kejawen.8 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa varian Abangan lebih menekankan pada aspek animistik kebudayaan Jawa, Santri lebih menekankan pada aspek ajaran Islam, sedangkan Priyayi cenderung menggabungkan ajaran Islam dengan tradisi Jawa. Dari sini dapat terlihat secara jelas bahwa keberagaman masyarakat Jawa dipengaruhi oleh perpaduan budaya pendatang dengan budaya lokal.

Demikian pula dengan masyarakat Desa Pajaran, kebudayaan Jawa sudah melekat dalam masyarakat Desa Pajaran sebelum Islam datang. Ketika Islam datang, terjadilah proses akulturasi budaya antara kebudayaan Jawa dan ajaran Islam. Dalam hal ini, Islam Aboge merupakan salah satu bentuk akulturasi kebudayaan Jawa dengan ajaran Islam. Tradisi dan ritual keagamaan yang dilestarikan oleh masyarakat Islam Aboge nampaknya berasal dari warisan para leluhur yang dimodifikasi dengan ajaran Islam namun masih mengandung unsur-unsur animistik.

Berdasarkan fakta tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran dalam penelitian yang

7

Mahli Zainuddin Tago, Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz, Artikel, Vol. VII, no 1, (Yogyakarta: Universitas Muhammiyah, 2013), 83-84.

8


(13)

5

berjudul “Studi Tentang Islam Aboge Di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan

Kabupaten Madiun”.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana Praktik Keagamaan Islam Aboge di Desa Pajaran?

2. Bagaimana Perilaku Keagamaan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk megetahui tentang praktik dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Saradan Madiun, serta untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Program Studi Studi Agama-Agama.

2. Manfaat Penelitian a) Secara Teoritik

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan informasi tentang ragam kebudayaan Islam yang ada di Indonesia khusunya Islam Aboge, serta dapat memberikan tambahan referensi atau sumbangsih kepada mahasiswa Studi Agama-Agama, khususnya dalam bidang studi Islam dan Budaya Lokal, Antropologi, dan Sosiologi.


(14)

6

b) Secara Praktis

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersinggungan dengan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun.

D.Kajian Teori

Clifford Geertz merupakan salah seorang ilmuan yang melakukan sebuah penelitian di Mujokuto, Jawa Timur. Dari hasil penelitiannya, ia memberikan ilustrasi tentang masyarakat Jawa denga varian Abangan, Santri dan Priyayi. Dalam kategoriasi Geertz, Abangan merupakan sekelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan keagamaan yang rendah, mereka cenderung acuh terhadap doktrin keagamaan, mereka lebih terpesona dengan hal-hal yang berbau ritual dan keupacaraan. Sehingga pengamalan keagamaan mereka lebih menekankan pada aspek animistik. Sedangkan kalangan Santri adalah mereka yang mempunyai perhatian dan ketaatan terhadap ajaran agama, dan hampir seluruh ritualnya berdasarkan doktrin islami karena mereka memiliki pengetahuan keagamaan yang mumpuni.

Sementara itu, orientasi keagamaan kelompok masyarakat priyayi sulit dibedakan dari kalangan Abangan maupun Santri, Namun yang lebih menonjol adalah latar belakang status sosial mereka. Priyayi berasal dari kalangan masyarakat yang melakukan pekerjaan "halus" yakni bekerja di pemerintahan, tidak seperti Abangan yang melakukan pekerjaan "kasar" yakni bekerja sebagai


(15)

7

petani. Abangan mewakili penekanan pada aspek animistik dari Jawa dan secara luas dihubungkan dengan golongan petani, Santri mewakili penekanan pada aspek Islam murni, dan umumnya dihubungkan dengan golongan pedagang, sedangkan Priyayi menekankan pada penggabungan budaya Jawa dengan ajaran Islam yang dalam hal ini golongan Priyayi dihubungkan dengan elemen birokratik. Menurut Geertz, tiga varian tersebut merupakan tiga subtradisi utama dalam masyarakat Jawa.9

Dalam pengamatan Clifford Geertz, antara ketiga varian; abangan, santri dan priyayi, di samping terjadi ketegangan juga sering terjadi kohesi sosial yang cukup intens. Faktor- faktor yang mempertajam ketegangan diantara ketiga varian tersebut adalah; Pertama, Konflik ideologis yang mendasar karena rasa tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok lain. Kedua, Sistem stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak di antara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit banyak berubah. Ketiga, Perjuangan mencapai kekuasan politik yang semakin tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, yang cenderung mencampuradukkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik.

Keempat, Kebutuhan mencari kambing hitam untuk memusatkan ketegangan

akibat perubahan sosial yang begitu cepat.10

9

Roland Robensons, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, cet. 4, (Yogyakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 205-206.

10

Mahli Zainuddin Tago, Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz, 86-87.


(16)

8

Masyarakat Islam Aboge yang berada di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun ini merupakan salah satu masyarakat yang masih melestarikan tradisi dan budaya para leluhurnya. Mereka mempunyai ciri khas tersendiri, baik berupa praktek maupun perilaku keagamaan. Fenomena tersebut nampaknya bisa dipotret melalui teorinya Clifford Geertz tentang varian masyarakat di Jawa karena masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran masih terikat dengan tradisi-tradisi lokal yang tidak pernah dilakukan oleh masyarakat Islam pada umumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa karya tulis yang membahas tentang Islam Aboge, namun karya-karya tersebut tidak membahas tentang praktek dan prilaku masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran. Adapun karya-karya tersebut adalah:

Skripsi Mundalifah yang berjudul “Penentuan Awal Bulan Kamariah

Dalam Perspektif Aboge(Studi Terhadap Kegiatan Keagamaan Dan Rutinitas

Sehari-Hari Bagi Komunitas Aboge Di Wilayah Kabupaten Jati Jawa

Tengah)”. Skripsi Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015. Skripsi ini membahas tentang metode penetapan awal bulan Kamariyah terutama yang berhubungan dengan penetapan awal bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Dalam karya tulis ini, Mundalifah mencoba untuk mengorelasikannya dengan metode penanggalan Islam yang memakai hilal


(17)

9

dan rukyat.11 Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan terletak pada metode penanggalan Aboge yang masih menggunakan kalender Jawa. Meski demikian, penelitian Mundalifah ini hanya terfokus pada penentuan awal bulan Kamariyah saja.

Skripsi M. Alfatih Husain yang berjudul “Komunitas Islam Aboge (Penerapan Antara Sistem Kalender Dengan Aktivitas Keagamaan Di Desa

Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga)”. Skripsi Fakultas Adab

dan Ilmu Budaya Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015. Dalam karya tulis ini Husain mencoba mengorelasikan kalender Aboge dengan ritual-ritual peribadatan dan aktivitas keagamaan. Masyarakat Aboge biasanya menggunakan kalender Jawa dalam memilih hari dan tanggal baik untuk merayakan pernikahan, bekerja, membangun rumah, dan lain sebagainya.12 Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah adanya persamaan pembahasan mengenai relasi kalender Jawa dengan aktivitas keagamaan masyarakat Aboge. Akan tetapi, penelitian yang peneliti lakukan tidak hanya terfokus pada kalender Jawa dan aktivitas Aboge saja melainkan juga terdapat pembahasan mengenai hubungan internal dan eksternal masyarakatnya.

11

Mundalifah, Penentuan Awal Bulan Kamariah dalam Perspektif Aboge, (Studi Terhadap Kegiatan Keagamaan dan Rutinitas Sehari-hari bagi Komunitas Aboge di Wilayah Kabupaten Jati Jawa Tengah), Skripsi, (Jakarta: Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015), 2-3.

12

M. Alfatih Husain, Komunitas Islam Aboge (Penerapan Antara Sistem Kalender dengan Aktivitas Keagamaan di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga).

Skripsi, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga, 2015), 3.


(18)

10

Artikel Pandu Wicaksono yang berjudul “Strategi Adaptasi Penganut Aliran Aboge Dalam Menjaga Toleransi Keagamaan Di Desa Onje

Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga”. Program Studi Pendidikan

Pancasila Dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta. Artikel ini menjelaskan tentang hubungan eksternal masyarakat Aboge. Dalam artikel ini Pandu menjelaskan tentang strategi yang dilakukan oleh masyarakat Aboge dalam menjalin hubungan dengan masyarakat diluar Aboge. Pandu juga menjelaskan bahwa untuk meminimalisir konflik antar keyakinan di Desa Onje, pemerintah setempat mengadakan beberapa kegiatan positif yang diikuti oleh setiap elemen masyarakat tanpa memandang status keyakinan mereka.13 Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah adanya pembahasan tentang hubungan eksternal masyarakat Aboge dengan masyarakat diluar Aboge. Perbedaannya terletak pada objek penelitian yang dikaji. Penelitian ini mengkaji tentang masyarakat Aboge di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan bertempat di Dusun Bakalan, Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun.

Dari beberapa karya tersebut dapat diketahui bahwa penelitian yang berjudul “Studi Tentang Islam Aboge Di Desa Pajaran Kecamatan Saradan

Kabupaten Madiun” masih belum pernah dilakukan. Penelitian terdahulu

13

Pandu Wicaksono, Strategi Adaptasi Penganut Aliran Aboge Dalam Menjaga Toleransi Keagamaan Di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga, Artikel,

(Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Yogyakarta, 2015), 2.


(19)

11

hanya memberikan informasi dan pengetahuan tentang masyarakat Aboge di Pati, Jawa Tengah dan di Purbalingga, Jawa Timur. Penelitian ini dianggap penting untuk dikaji karena setiap penganut Aboge di wilayah tertentu mempunyai ciri khas dan keunikan sendiri. Hal ini bergantung pada tradisi dan budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya.

F. Sumber Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber, yaitu sumber primer dan sumber sekunder:

1. Sumber Primer

Sumber primer dalam penelitian ini merupakan data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dengan beberapa tokoh penting yang mempunyai keterkaitan dengan kajian penelitian. Sumber penelitian ini di dapat dari tokoh Aboge, Pujangga14 Aboge, dan beberapa penganut Aboge. Dalam penelitian ini, data yang dibutuhkan oleh peneliti berkisar tentang sejarah, praktek, dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Aboge di Pajaran.

2. Sumber Sekunder

Sumber Sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui data pustaka yang relevan dengan kajian yang diteliti serta wawancara dengan

14


(20)

12

masyarakat diluar Aboge. Hal ini dilakukan karena mereka berada di lingkungan masyarakat Islam Aboge dan sedikit banyak mengetahui kehidupan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif yang menjadikan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun sebagai objek penelitian. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan diuraikan pembahasan mengenai pendekatan penelitian, Metode pengumpulan data, dan Metode Analisis data.

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dan pendekatan historis. Pendekatan etnografi merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk menguraikan suatu budaya secara menyeluruh yang meliputi semua aspek budaya, baik yang bersifat materiil (alat-alat, pakaian, bangunan, dan sebagainya) maupun yang bersifat abstrak seperti pengalaman, kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang dimiliki.15

Selain menggunakan pendekatan etnografi, penelitian ini juga menggunakan pendekatan historis yang meneliti sejarah dengan menggunakan sumber data primer berupa kesaksian pelaku sejarah yang

15

M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 54.


(21)

13

masih ada, catatan atau rekaman, peninggalan-pennggalan sejarah, dan dokumen-dokumen tertentu.16

2. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan suatu penelitian lapangan yang dilakukan dengan cara mengamati objek penelitian secara langsung. Untuk menjamin validitas data, pengumpulan data dilakukan melalui tiga hal, yaitu:

a. Observasi

Observasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengamati hal-hal yang berkaitan dengan tempat, ruang, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan, dan perasaan. Dalam melakukan pengamatan, peneliti memilih untuk melakukan observasi partisipatif yang megharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada, sesuai dengan makna yang dipahami oleh masyarakat yang ditelitinya. Metode ini digunakan untuk mengetahui secara langsung praktek dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun.

Adapun teknik observasi yang peneliti lakukan adalah dengan cara melakukan pendekatan dengan beberapa penganut Islam Aboge,

16


(22)

14

melakukan survei ke masjid Masyarakat Aboge, dan mengikuti beberapa tradisi masyarakat Aboge.

b. Interviu

Interviu merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengajuan pertanyaan kepada beberapa informan yang bisa menambah pemahaman peneliti terhadap objek yang dikaji.17 Penggunaan metode interviu ini didasarkan pada dua alasan, yaitu:

Pertama, dengan interviu peneliti dapat menggali apa saja yang

diketahui dan dialami oleh subjek yang diteliti. Kedua, apa yang ditanyakan pada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu, baik masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Dengan kedua alasan tersebut, metode interviu dapat memudahkan penelti dalam menggali data dan informasi.18 Penggunaan metode interviu dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah dan ajaran-ajaran masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun.

c. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, dokumentasi diperoleh melalui fakta-fakta yang telah ada baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang mengandung petunjuk-petunjuk yang relevan dengan objek penelitian.

17

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Praktek, (Jakarta: Bineka Aksara, 1985), 231.

18


(23)

15

Baik berupa fotografi, video, film, memo, surat, rekaman, dan lain sebagainya.19 Pennggunaan metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan fakta-fakta terkait dengan masyarakat Islam Aboge di Pajaran.

3. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif yaitu suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran tentang objek yang diteliti melalui data atau informan yang telah memberikan informasi sebagaimana adanya, kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.20 Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan aktivitas masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran.

Adapun teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan tiga tahapan yaitu:21

a) Reduksi Data

Data yang telah terkumpul diseleksi dan disesuaikan dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan. Kemudian data dikelompokkan berdasarkan pada kategori dari rumusan masalah yang telah ditentukan. Pada tahapan ini peneliti menyeleksi data-data dari hasil observasi,

19

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, 199.

20

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009), 29. 21

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, 306-311.


(24)

16

wawancara, dan dokumentasi agar tetap terfokus pada masyarakat Islam Aboge di Pajaran.

b) Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang akan memberikan gambaran penelitian secara menyeluruh dengan cara mengaitkan hubungan antara kategori satu dengan kategori lainnya agar dapat membentuk suatu rangkaian informasi yang bermakna sesuai dengan kajian yang diteliti. Pada tahapan ini peneliti menyajikan seluruh data tentang masyarakat Islam Aboge yang telah direduksi, kemudian mencari pola hubungan antara kategori satu dengan kategori yang lain.

c) Kesimpulan dan verifikasi

Kesimpulan disini merupakan suatu tahapan mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi. Kesimpulan ini disusun secara singkat, jelas, dan mencakup keseluruhan tentang masyarakat Islam Aboge di desa Pajaran.

Kemudian data yang telah tersusun diperiksa kembali keabsahannya dengan menggunakan beberapa teknik. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi yang merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data melalui sesuatu yang lain atau berada di


(25)

17

luar objek penelitian, baik untuk pengecekan data maupun sebagai pembanding data.22 Pada tahapan ini, peneliti melakukan verifikasi data melalui wawancara dengan beberapa masyarakat diluar penganut Islam Aboge, kemudian membandingkan hasil wawancara tersebut dengan hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat Islam Aboge.

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan laporan penelitian ini terdiri dari lima bab dengan rancangan sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian teori, tinjauan pustaka, sumber penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II merupakan pembahasan tentang Islam dan budaya Jawa, yang meliputi Agama dan budaya dalam definisi, varian masyarakat Jawa, dan tipologi Islam Jawa.

Bab III merupakan pembahasan tentang gambaran umum lokasi penelitian, yang dalam hal ini adalah Desa Pajaran Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun. Baik mencakup keadaan geografis, keadaan demografis, keadaan penduduk, keadaan tempat ibadat, keadaan lembaga keagamaan, keadaan sosial keagamaan, dan keadaan ekonomi masyarakat.

22

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, 306-322.


(26)

18

Bab IV merupakan penyajian data tentang diskursus masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran, sistem kalender Aboge, kepercayaan mereka terhadap makhluk halus, sistem petungan, serta upacara siklus kehidupan masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran.

Bab V merupakan analisis data tentang masyarakat Islam Aboge yang meliputi praktik dan perilaku masyarakat Islam Aboge di desa Pajaran.

Bab VI, merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.


(27)

19

BAB II

ISLAM DAN BUDAYA JAWA

A.Agama dan Budaya dalam Definisi

Pada dasarnya Agama merupakan aktualisasi dari kepercayaan manusia terhadap kekuatan gaib dan supranatural yang biasa mereka sebut sebagai Tuhan. Pokok dari semua Agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan atau suatu Dzat yang mempunyai kekuasaan di atas segalanya. Menurut Muklti Ali, Agama sangat sulit untuk didefinisikan. Hal ini dikarenakan tiga alasan yaitu; Pertama, pengalaman Agama adalah soal baṭiniyyah, bersifat subjektif dan individualistik.

Kedua, pembahasan tentang arti Agama senantiasa didasari oleh emosional yang

tinggi, sehingga sulit untuk memberikan definisi “murni” tentang arti Agama.

Ketiga, konsepsi tentang agama dapat dipengaruhi oleh tujuan orang yang

memberikan pengertian agama itu sendiri.1

Pendapat lain mengatakan bahwa kata agama berasal dari dua suku kata yaitu “a” yang berarti tidak, dan “gam” yang berarti pergi. Jadi agama mempunyai arti tidak pergi, tetap ditempat, dan diwarisi secara turun temurun. Adapula yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Hal ini disandarkan pada banyaknya agama-agama di dunia yang menjadikan kitab sucinya sebagai pedoman dan tuntunan dalam menjalani hidup.2

Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan diin dalam bahasa arab, kata diin mempunyai arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan

1

Endang Syaefudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 2002), 117-118.

2

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 29.


(28)

20

kebiasaan. 3 Meski secara etimologis terdapat perbedaan makna, diin secara umum diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan agama.

Sedangkan menurut Clifford Geertz, Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara menformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada. 4

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa Agama merupakan suatu sistem yang tidak bisa terlepas dari simbol-simbol. Disinilah nampak begitu jelas bahwa secara tidak langsung Geertz mengatakan bahwa Agama mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia, dan dari agama tersebut muncul suatu kebudayaan-kebudayaan baru yang tercermin dari lingkungan yang menciptakan kebudayaan tersebut.

Merujuk pada definisi kebudayaan, secara bahasa kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yang merupakan bentuk jamak dari kata buddi (budi atau akal). Menurut Koentjaraningrat, budaya merupakan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri

3

Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), 1.

4


(29)

21

manusia dengan belajar.5 Menurut James Spradley, budaya merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekitar.6

Sedangkan menurut Clifford Geertz, budaya adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya, dan memberikan penilaian-penilaiannya yang kemudian diwujudkan dalam bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang mengomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuannya. Karena kebudayaan merupakan sistem simbolik, maka proses budaya harus dibaca, diterjemahkan dan diinterpretasikan.7

Dengan demikian budaya merupakan sistem ide atau gagasan yang ada pada diri manusia. Sedangkan perwujudan dari budaya tersebut adalah benda-benda, perilaku, pola-pola, bahasa dan segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Selain itu, kebudayaan juga tidak bisa hanya dilihat dari isi kebudayaan itu sendiri karena keberadaannya tidak bisa terlepas dari faktor lingkungan dan masyarakat yang ada pada lingkungan tersebut. sama halnya dengan Indonesia yang konsep kebudayaannya dibangun oleh para pendahulu. Konsep kebudayaan Indonesia disini mengacu pada nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut ada dalam sistem budaya etnik

5

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 180.

6

James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa E., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), 5-11.

7

Tasmuji dkk, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Cet 6, (Surabaya: UINSA Press, 2016), 171.


(30)

22

Indonesia yang kemudian dianggap sebagai nilai luhur yang diikat dalam satu konsep persatuan dan kesatuan yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

B.Varian Masyarakat Jawa

Jawa merupakan wilayah yang lebih dulu mengalami peradaban dari pada Inggris, yang selama lebih dari seribu lima ratus tahun telah menyaksikan orang-orang India, Arab, Cina, Portugis, dan Belanda datang dan pergi. Dengan fakta tersebut, tidak mudah memberikan satu cap atau satu ciri yang dominan untuk mencerminkan masyarakat Jawa yang sangat variatif.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz di Mujokuto, Geertz merumuskan tipologi kebudayaan masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Ketiga tipe ini berasal dari tiga inti struktur sosial yang ada di Jawa yaitu desa, pasar, dan birokrasi.

1. Abangan

Evolusi desa Jawa sampai bentuknya pada saat ini, pada setiap tahapnya diatur dan diutarakan oleh sistem keagamaan yang mengalami perkembangan. Sebelum Hindhu datang, sekitar tahun 400 SM. Nampaknya ketika itu jenis sistem keagamaan yang berbau animisme sudah melekat pada masyarakat Jawa. Sistem tersebut telah mampu menyerap unsur-unsur Hinduisme dan Islam, sehingga terbentuklah suatu perpaduan sinkretis antara animisme, Hindu, dan Islam.


(31)

23

Sinkretisme utama orang Jawa pada dasarnya merupakan tradisi rakyat dari masyarakat di tempat itu sendiri. tidak hanya petani yang mengikuti sinkretisme ini, tapi juga orang-orang diperkotaan. Salah satu bentuk sinkreisme yang paling mencolok adalah pesta keupacaaan yang biasa disebut dengan selametan. Selametan merupakan suatu wadah integrasi masyarakat yang mempertemukan berbagai kelompok sosial seperti para petani dan proletariat (lapisan sosial yang paling rendah). Mereka inilah yang biasa disebut dengan golongan abangan. Adapun ciri-ciri khusus yang dikemukakan Geertz untuk mencerminkan varian abangan adalah sebagai berikut:8

a. Percaya Terhadap Makhluk Halus

Golongan Abangan mempercayai adanya roh-roh halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, dan danyang.9 Memedi merupakan roh yang biasanya suka menakut-nakuti manusia. Dengan kata lain, mereka dapat disebut sebagai hantu. Memedi laki-laki disebut genderuwo, sedangkan memedi perempuan disebut wewe gombel. Memedi dapat ditemukan saat malam hari. Biasanya mereka berada pada tempat-tempat yang gelap dan sepi. Selain gendruwo dan wewe gombel, ada juga jerangkong dan sundal bolong. Jerangkong dipercaya sebagai hantu yang berbentuk kerangka manusia tanpa daging, sedangkan sundal bolong merupakan hantu wanita yang memiliki lubang besar ditengah punggungnya. Semua itu merupakan jenis memedi yang suka

8

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa, 11.

9


(32)

24

nakuti manusia. Namun, meski memedi suka menakut-nakuti manusia, menurut kepercayaan kaum abangan mereka tidak terlalu berbahaya.

Berbeda dengan lelembut yang merupakan roh yang biasanya menyebabkan orang kesurupan, sakit, gila, bahkan meninggal. Biasanya roh-roh tersebut adalah roh penjaga yang bertempat tinggal disuatu tempat tertentu seperti jembatan, sumur tua, dan pohon-pohon.

Dalam konteks ini, masyarakat abangan membagi jenis-jenis kesurupan yang disebabkan oleh lelembut ke dalam beberapa kategori, yaitu;10 Pertama, jenis kesurupan itu sendiri. kesurupan disini mempunyai arti masuk atau memasuki sesuatu. Ada pula yang mengartikan kesurupan sebagai waktu matahari terbenam. Nampaknya arti yang kedua tersebut berasal dari keprcayaan bahwa roh-roh halus suka berkeliaran atau keluar dari tempat persembunyiannya pada saat matahari terbenam. Kadangkala roh-roh tersebut merasuki orang yang ditemuinya di jalan. Sehingga orang yang dirasuki tadi berperilaku aneh dan mempunyai suara yang berbeda dengan suara yang dimiliki oleh orang yang dirasuki. Kejadian seperti inilah yang disebut dengan kesurupan. Biasanya, kesurupan dapat disembuhkan dengan cara meminta bantuan dukun atau orang yang mempunyai kekuatan supranatural.

Kedua, Kampir-kampiran. Kampir-kampiran disini berarti mampir

yang mengandung makna mampir sebentar mengunjungi seseorang atau singgah sebentar di rumah orang sebelum melanjutkan perjalanan ke

10


(33)

25

tempat lain lagi. Hal ini menunjukkan bahwa roh yang merasuki berasal dari tempat yang jauh. Sehingga orang yang dirasuki hanya akan berperilaku aneh seperti mondar-mandir tidak tentu arah atau marah-marah pada keluarganya tanpa alasan yang jelas. Jenis kerasukan seperti ini dianggap ringan dan dapat disembuhkan dengan cara mandi saja.

Ketiga, Kesetanan. Kesetanan hampir sama dengan kampir-kampiran

hanya saja lebih serius. Orang yang kerasukan mungkin masih bisa pergi ke sana-sini dan tidak terlalu parah sakitnya. hanya saja berperilaku agak aneh seperti banyak makan, sering pergi lama tanpa makan selama beberapa hari, atau kadang ia menjadi lebih pintar dari manusia pada umumnya. Selain itu, agak sulit untuk mengeluarkan roh yang merasukinya. Biasanya diperlukan bantuan dukun untuk bisa mengeluarkan roh tersebut. Dukun tertentu akan berusaha membujuk roh yang merasuki orang tersebut dengan beberapa sesajen. Biasanya sesajen yang diberikan adalah kembang, kemenyan, dan daun-daunan atau makanan-makanan tertentu yang diminta oleh roh tersebut. kemudian, sesajen tersebut diletakkan ditempat orang tadi kerasukan.

Keempat, Kemomong yang merupakan jenis perjanjian suka rela

dengan iblis. Contohnya seperti seseorang yang ingin mendapatkan kekuatan atau kemampuan khusus, ia akan pergi ke tempat-tempat keramat untuk melakukan persekutuan dengan roh yang tinggal di tempat tersebut. Biasanya orang yang melakukan hal semacam itu meski mempunyai kekuatan khusus, tapi mereka juga mempunyai perilaku yang “aneh”.


(34)

26

Selain lelembut, ada pula roh halus yang dipercaya mampu membuat seseorang yang awalnya miskin menjadi kaya. Biasanya orang-orang menyebutnya dengan nama Tuyul. Menurut kepercayaan masyarakat, wujud makhluk ini seperti anak laki-laki kecil yang tidak mempunyai rambut di kepalanya. Untuk mendapatkan tuyul, seseorang harus melakukan tirakat dan bersemedi di salah satu tempat keramat. Di tempat keramat itu seseorang melakukan kesepakatan dan perjanjian dengan makhluk yang menghuni tempat tersebut. makhluk penghuni tempat keramat biasanya dipanggil dengan sebutan demit. Makhluk ini dipercaya dapat mengabulkan hajat manusia yang melakukan tirakat dan semedi di tempatnya. Baik berupa pesuguhan maupun untuk mendapatkan kekuatan. Biasanya orang yang melakukan tirakat dan semedi untuk pesugihan melakukan perjanjian seperti jika makhluk tersebut mau memberikan tuyul kepadanya, maka ia akan memberikan sesajen setiap hari atau mempersembahkan korban manusia sebagai tumbal.

Meski banyak roh-roh halus yang suka mengganggu manusia, ada pula satu jenis roh halus yang suka membantu manusia. Roh ini sejenis roh pelindung yang biasanya disebut sebagai Danyang. Roh ini memang mempunyai kemampuan untuk mengabulkan permohonan manusia, akan tetapi berbeda dengan demit, danyang dianggap sebagai roh dari tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal. contohnya seperti roh dari leluhur desa yang senantiasa menjaga dan melindungi desa tersebut.


(35)

27

b. Penggunaan Petungan: Sistem Numerologi Orang Jawa

Pada siklus kehidupan masyarakat Abangan penetapan upacara khitanan dan perkawinan, serta pergantian tempat tinggal harus dilakukan dengan menggunakan sistem ramalan numerologi atau yang biasa disebut dengan petungan. Sejak dulu masyarakat Jawa sudah mempunyai sistem “perhitungan” tentang hari, pasaran, bulan, dan sebagainya.11

Petungan

tersebut diwariskan secara turun temurun dan dilestarikan oleh masyarakat abangan. Di dasar sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep metafisis orang Jawa yang fundamental seperti dalam hal kecocokan. Cocok berarti sesuai, sebagaimana kunci dengan gembok.

Jika seseorang bermaksud pindah tempat, ia tidak bisa secara tiba-tiba membuat keputusan lalu pindah. Ada dua variabel penting yang harus ia perhatikan, yaitu arah perpindahannya dan waktu pindahan. Untuk mengetahui kedua variabel tersebut, seseorang harus mengtahui naga dino

dan naga wulan. Menurut kepercayaan masyarakat, jika seseorang berjalan

pada arah yang salah dan hari yang salah, maka orang tersebut akan digigit naga hari itu, bahkan bisa jadi dimakan oleh naga tersebut. Dengan kata lain, ia akan mendapatkan kesulitan atau kecelakaan.

Adapun cara perhitungan naga dino adalah dengan cara menghitung weton. Weton merupakan gabungan dari salah satu hari dalam sepekan

11

Samudera Hening, Mitologi Pasaran dan Hari,

https://kyaimbeling.wordpress.com/mitologi-pasaran-dan-hari, diakses pada tanggal 12 April 2016, 09:12.


(36)

28

dengan salah satu hari dalam pasaran.12 Menurut kepercayaan orang Jawa, setiap hari dan pasaran mempunyai neptu13 masing-masing, yaitu hari Rabu neptu 7, hari Kamis neptu 8, hari Jum’at neptu 6, hari Sabtu neptu 9, hari Ahad neptu 5, hari Senin neptu 4, hari Selasa neptu 4. Sedangkan untuk pasaran yaitu; Wage neptu 4, Kliwon neptu 8, Legi neptu 5, Pahing neptu 9, dan Pon neptu 7. Sehingga jika menghitung weton hari Senin Kliwon, maka jumlah neptu Senin (4) ditambahkan dengan jumlah neptu Kliwon (8). Dari perhitungan tersebut diperoleh angka 12, maka hal ini menandakan bahwa weton orang tersebut adalah 12.

Setelah mencari jumlah weton, selanjutnya adalah mengambil biji jagung dan melemparnya sesuai dengan bagan berikut:

Diagram 1. Rumus Arah Hari14

Senin Jum’ah Minggu

Rabu

Selasa Sabtu Kamis

Sedangkan untuk naga wulan, masyarakat Abangan menggunakan kalender qomariyah dengan bagan sebagai berikut:

12

Muhammad Kalimullah, Primbon Dalam Budaya Jawa: Studi Tekstual Komprehensif Kitab Betal Jemur Adam Makna dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Surabaya, Skripsi, (Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Ilmu Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel, 2016), 29.

13

Nilai numerik dari suatu hal, biasanya berhubungan dengan waktu dan huruf.

14


(37)

29

Diagram 2. Rumusan Arah Bulan15 Utara : Syawwal

Dzulqa’dah, Dzulhijjah

Barat: Rojab, Timur: Muharrom,

Sya’ban, Romadhon Sofar, Robi’ul Awwal

Selatan: Robi’ul Akhir, Jumadil awwal, Jumadil Akhir

Selain digunakan untuk mencari hari baik, sistem petungan juga dapat digunakan untuk menentukan dari arah mana orang harus masuk rumah orang lain untuk mencuri tanpa ketahuan, atau bisa juga untuk menentukan di sebelah mana orang harus duduk saat mengadu ayamnya agar dapat memenangkan taruhan, atau bisa juga untuk meramalkan apakah orang akan untung atau rugi dalam perdagangan di hari tertentu, untuk menentukan obat yang tepat bagi suatu penyakit, dan lain sebagainya.16

c. Adanya Selametan

Nakamura, seorang antropolog Jepang berpendapat bahwa kata “selamet” yang jadi asal istilah slametan adalah berasal dari bahasa Arab

15

Ibid., 41.

16


(38)

30

yakni “salima” yang berarti damai, menjadi baik, dan selamat. Nakamura

kemudian mengutip tulisan Sir Thomas Raffles yang menyebut bahwa sebutan bagi ritual selametan masyarakat Jawa berasal dari kata

salamatan dalam bahasa Arab. Itulah sebabnya mengapa dalam

selametan do’a untuk kesejahteraan dan kemakmuran selalu dibacakan.17 Selametan merupakan sebuah acara komunal religious dimana para tetangga dan beberapa kerabat akan ikut serta di dalamnya. Tujuan diadakannya selametan adalah untuk mencapai keadaan yang selamat, mulus, dan tidak ada halangan apapun. Kegiatan ini tidak ditujukan untuk kehidupan yang lebih baik tetapi lebih pada pemeliharaan tatanan dan pencegah datangnya bala.18

Pola selametan biasanya dilakukan pada malam hari setelah melakukan salat maghrib. Adapun yang mengadakan selametan biasanya adalah orang yang akan panen, ganti nama, khitanan, atau pernikahan. Salah satu alasan mengapa mereka melakukan selametan adalah untuk menjaga diri dari gangguan roh-roh halus. Dengan mengadakan selametan, mereka percaya bahwa Tuhan akan memberikan mereka keselamatan.

Acara selametan tersebut dibuka dengan sambutan dari tuan rumah, yang mana isi sambutan tersebut adalah ucapan terimakasih kepada para tamu undangan atas kehadiran mereka, serta penyampaian hajat yang

17

Moh. Khairuddin, Tradisi Selametan Kematian Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Budaya, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol II, No. 2, (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), 177.

18

Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi Indonesia, cet V, (Yogyakarta: LKiS, 2011), 136.


(39)

31

diinginkan oleh tuan rumah sampai-sampai ia melakukan selametan tersebut. setelah sambutan dari tuan rumah, acara selanjutnya adalah do’a bersama yang dipimpin oleh seorang tokoh agama dengan menggunakan bahasa Arab. Ada beberapa acara yang diharuskan melakukan selametan agar acara tersebut lancar. Dalam konteks ini, acara-acara yang dimaksud berhubungan langsung dengan tahapan-tahapan dalam kehidupan manusia, diantaranya adalah:

1) Siklus Selametan Kelahiran

Dalam siklus kelahiran ada beberapa selametan yang harus dilakukan, yaitu telonan, tingkeban, pitonan, babaran, pasaran,

selapan, dan tahunan. Telonan merupakan selametan yang dilakukan pada bulan ketiga masa kehamilan. Kemudian, pada bulan ketujuh masa kehamilan dilakukan selametan yang disebut dengan Tingkeban. Selametan ini merupakan selametan yang diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi seorang ibu, ayah, atau keduanya. Dalam hal ini tingkeban mencerminkan perkenalan seorang wanita Jawa kepada kehidupan seorang ibu.19

Setelah tingkeban, selanjutnya adalah babaran. Selametan babaran ini tergolong jenis selametan kecil yang hanya mengundang anggota-anggota keluarga. Biasanya, jika sudah terasa sakit menjelang kelahiran, dukun bayi akan dipanggil, lalu disamping ranjang tempat

19


(40)

32

tidur calon ibu dan kamar mandi diberi sesajen. Kemudian dukun tersebut akan mengembangkan tikar di lantai, menundukkan calon ibu di atasnya dan mulai memijatnya sambil mengucapkan beberapa mantra agar kelahiran bayinya lancar.

Setelah babaran, selanjutnya adalah pasaran. Dalam hal ini

pasaran merupakan selametan pertama yang dilakukan setelah bayi

dilahirkan. Pasaran ini diselenggarakan pada hari ke lima dari kelahiran. Kadang ada pula yang menunggu sampai lepasnya sisa tali pusar baru melakukan pasaran. Pelaksanaan pasaran sendiri bergantung pada adat dan tradisi setempat, yang jelas setiap selametan yang diselenggarakan setelah bayi dilahirkan membutuhkan sesajen sebagai salah satu tradisi yang wajib dilakukan.

Setelah selametan pasaran adapula selametan pitonan. Selametan ini dilakukan pada bulan ke tujuh dari kelahiran. Pitonan

ini biasanya ditandai dengan adanya tradisi anak turun tanah pertama kali. Selain pitonan, adapula beberapa selametan yang dilakukan sampai si anak mencapai umur satu tahun. Setelah itu, hanya dilakukan perayaan ulang tahun seperti anak-anak pada umunya, tanpa ada ritual-ritual khusus.


(41)

33

2) Siklus Selametan Khitanan dan Perkawinan

Secara etimologis, khitan berasal dari bahasa Arab khatana yang berarti “memotong”.20

Dalam Ensiklopedi Islam kata khatana berarti memotong atau “mengerat”.21

Menurut Ibnu Hajar al-khitan adalah

isim maṣdar dari kata khatana yang berarti “memotong”, khatn disini

mempunyai arti “memotong sebagian benda yang khusus dari anggota badan yang khusus pula”.22

Biasanya setalah melakukan khitan, ada sebuah acara selametan yang digelar. Selametan khitan sering juga disebut dengan selametan sunatan. Kebanyakan anak laki-laki di Jawa disunat saat mereka berusia sekitar sepuluh sampai lima belas tahun. Adapula yang sejak baru lahir langsung disunat. Menurut kebiasaan, proses penyunatan dikerjakan oleh seorang ahli yang disebut calak. Namun, dewasa ini kebanyakan orang menyunatkan anaknya di rumah sakit. Dalam hal ini proses penyunatan dirumah sakit dikerjakan oleh seorang perawat pria yang disebut mantri.

Biasanya sebelum melakukan sunatan, mereka menetapkan sistem petungan untuk menentukan hari yang baik dalam melangsungkan sunatan. Setelah hari baik ditentukan, barulah malam hari sebelum sunatan, diselenggarakan suatu selametan. Selametan ini

20 Louis Ma’luf,

Al Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Mashriq, 1986), 169.

21

Abdul Aziz Dahlan, Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 332.

22 Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail,

Khitan dan Aqiqah: Upaya


(42)

34

bertujuan untuk memperlancar proses penyunatan agar terhindar dari gangguan makhluk-makhluk halus. Biasanya orang tua si anak akan menaruh sesajen di pojokan-pojokan rumah untuk menangkal gangguan-gangguan tersebut.

Setelah melakukan selametan di malam hari, pagi harinya si anak akan di bawa ke calak untuk disunat. Proses penyunatan sendiri dilakukan dengan menggunakan sebilah pisau yang disebut wesi tawa, yang seacra harfiah berarti “besi yang tak terasa”. Kalau anak tersebut jatuh pingsan saat proses penyunatan, sang ibu akan mengusapkan sarungnya pada wajah si anak, lalu si anak akan sadar kembali.

Sedangkan dalam hal perkawinan, kebanyakan masih diatur oleh orang tua. Bahkan kalau ada seorang laki-laki yang memilih sendiri gadis yang akan dijadikan sebagai pengantinnya, ia akan melakukan maksudnya dengan bantuan orang tuanya. Hal yang demikian masih berlaku pada kalangan yang masih tradisional dan “kolot”. Dewasa ini kebanyakan anak-anak muda memilih pengantinnya sendiri dari pada perjodohan yang telah ditetapkan oleh orang tuanya.

Biasanya jika ada seseorang yang mempunyai anak perempuan lebih dari dua, ia akan menikahkan anak-anak perempuannya berdasarkan urutan umur. Dengan demikian, yang tua akan dinikahkan terlebih dahulu dan yang paling muda dinikahkan paling akhir. Upacara perkawinan anak pertama disebut bubak, yang secara kasar mempunyai makna yang sama dengan babak membersihkan tanah dan


(43)

35

membuka suatu daerah perawan. Sedangkan upacara perakawinan anak perempuan terakhir disebut punjung tumplek yang berarti “penghormatan dalam penghabisan”.23

Jika melalui perjodohan, biasanya langkah pertama yang diambil adalah nontoni, yang berarti menonton. Maksudnya adalah sang laki-laki melihat perempuan yang akan dilamarnya dengan cara mendatangi rumahnya. Setelah itu barulah dilakukan acara lamaran resmi. Dalam lamaran ini, pihak laki-laki mengunjungi keluarga pihak perempuan. Inti dari pertemuan tersebut tidak lain adalah untuk menyatakan secara resmi bahwa mereka ingin menjadi besan dari pihak perempuan.

Setelah acara lamaran, kedua belah pihak akan merundingkan waktu pelaksanaan pernikahan melalui sistem petungan. Setelah hari pernikahan ditentukan, malam hari sebelum upacara pernikahan diadakan sebuah selametan yang disebut dengan midodareni. Selametan ini dimaksudkan agar pasangan ini tidak terpisahkan.

Kemudian, pada pagi harinya upacara pernikahan dilangsungkan. Pengantin laki-laki akan pergi dengan para pengiringnya ke kantor naib untuk melangsungkan akad nikah. Setelah itu pengantin laki-laki akan diantar ke rumah mempelai perempuan untuk dipertemukan dengan pengantinnya. Pertemuan tersebut disebut sebagai upacara panggih yang berarti pertemuan.

23


(44)

36

Pada acara tersebut pihak laki-laki akan memberikan dua hadiah kepada mempelai perempuan yaitu paningset yang berupa pakaian dan perhiasan serta seserahan yang berupa seekor kerbau atau sapi yang dilengkapi dengan beberapa perabotan rumah tangga. Disaat inilah pesta yang sebenarnya dimulai. Menurut tradisi pengantin perempuan akan didandani layaknya putrid ratu, sedangkan pengantian laki-laki akan didandani layaknya seorang pangeran.

Jika suatu saat kehidupan setelah perkawinan kurang begitu lancar, seperti suami istri tersebut sering bertengkar atau sering berbeda pendapat, maka upacara selametan kedua bisa dilakukan agar mereka dapat berdamai dan kehidupannya kembali tentram. Selametan kedua ini oleh masyarakat disebut dengan selametan bangun nikah yang artinya membangun perkawinan. Selametannya sendiri dilakukan sebagaimana upacara perkawinan. Hanya saja selametan ini dilakukan dalam ukuran kecil.

3) Siklus Selametan Kematian

Berbeda dengan siklus-siklus lainnya, upacara kematian biasanya dipimpin langsung oleh seorang modin, pejabat keagamaan resmi di desa. Kalau terjadi kematian di sebuah keluarga, maka hal yang pertama dilakukan oleh keluarga tersebut adalah memanggil modin. Setelah itu mereka akan menyebarkan berita kematian pada masyarakat sekitar.


(45)

37

Setelah mendengar berita kematian tersebut, para tetangga akan pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian. Para perempuan akan membawa sebaki beras. Sedangkan beberapa kaum pria menyiapkan prosesi pemakaman dengan membawa batu nisan dan usungan untuk membawa mayat ke makam.

Setelah pemakaman, pihak keluarga akan menghidangkan jenis makanan yang sangat disukai almarhum dan diletakkan di ruang tengah atau di samping tempat tidur almarhum selama 30 hari.24 Biasanya juga ada tambahan sesajen. Selain itu, beberapa selametan diselenggarakan pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, di tahun pertama dan kedua serta di hari ke seribu. Setelah itu akan dilakukan selametan setiap tahunnya. Rentetan selametan tersebut diharapkan akan membantu proses duka cita keluarga yang telah ditinggalkan agar mereka bisa tabah dan tidak mengalami kekalutan perasaan yang parah.

Pada hari ke seribu, masyarakat percaya bahwa saat itu jasad almarhum seluruhnya sudah menjadi debu. Karena sebab inilah selametan kematian di hari ke seribu diselenggarakan dengan sangat meriah. Keluarga akan menyembelih merpati, angsa, atau unggas lainnya yang nantinya akan dimandikan dalam air kembang, lalu diberi pencuci rambut, lalu dibungkus dengan kain kafan putih persis seperti jasad orang yang meninggal. Upacara seperti ini disebut kekah.

24


(46)

38

Kadang kala ada yang melakukan kekah pada selametan yang lebih awal.

Setelah upacara selesai, keluarga akan memberikan uang receh yang berbentuk logam kepada para tamu yang hadir dalam selametan tersebut untuk melambangkan berpalingnya seseorang dari yang mati kepada yang hidup untuk terakhir kalinya. Setelah selametan ini jurang pemisah antara yang mati dan yang hidup menjadi mutlak. Akan tetapi, setiap ulang tahun kematiannya, anggota keluarga harus berziarah ke makamnya untuk menaburkan bunga.

4) Siklus Selametan Desa

Selametan bersih desa berhubungan dengan pengudusan perhubungan dalam ruang. Dalam hal ini selametan dilakukan untuk membersihkan roh-roh yang berbahaya, yang menetap di desa. Biasanya selametan desa ini dilakukan pada bulan Sela atau bulan

Dzulqa’dah dalam tahun Qamariyah. Dalam selametan ini setiap

keluarga di desa harus menyumbangkan makanan untuk dipersembahkan kepada danyang desa atau roh pelindung desa. Biasanya para orang dewasa akan pergi ke tempat pemakaman

danyang. Jika tempat makamnya dirasa kurang baik, maka selametan

cukup dilakukan di rumah kepala desa.

Selain itu, setiap desa mempunyai kewajiban khusus tersendiri saat melakukan selametan desa. Hal ini bergantung pada kesukaan


(47)

39

danyang yang ada di desa tersebut. Jika danyang mereka menyukai wayang, maka saat selametan akan diadakan pertunjukan wayang. Jika danyang mereka menyukai tayuban, maka akan diadakan tayuban.

5) Selametan Menurut Penanggalan

Sebagai tambahan dari siklus selametan yang berhubungan dengan titik-titik tahap kehidupan seorang individu, ada siklus selametan lain yang berhubungan dengan kalender tahunan umat Islam. Diantaranya adalah:

a) Satu Sura

Tradisi Malam Satu Suroa merupakan adat istiadat yang dilaksanakan setiap bulan ‘Asyura atau Muharram dalam hitungan Islam, tradisi tersebut sudah melekat dan sudah mendarah daging pada masyarakat tertentu.25 Perayaan Satu Sura merupakan perayaan tahun baru dalam kalender Islam. Sura dalam kalender jawa berarti Muharrom dalam kalender Qamariyah. Akan tetapi disini lebih merupakan perayaan orang Buddha dari pada perayaan Islam karena di Mojokuto perayaan tersebut hanya dirayakan oleh mereka yang anti Islam.

25 Djihan Nisa’ Arini Hidayah, Persepsi Masyarakat Tehadap Tradisi Malam

Satu Sura, Jurnal Ilmiyah PPKN IKIP Semarang, (Semarang: Jurusan PPKN, IKIP Veteran Semarang), 12.


(48)

40

b) Sepuluh Sura

Perayaan ini merupakan sebuah penghormatan untuk mengenang cucu Nabi yaitu Hasan dan Husein. Menurut cerita kedua cucu tersebut ingin mengadakan selametan untuk kakeknya yang sedang berperang. Mereka membawa beras ke sungai untuk dicuci, tapi ditengah perjalanan kuda musuh menghampiri dan menendang beras itu. Beras tersebut jatuh dan kedua anak itu menangis sambil memunguti beras yang telah tercampur dengan pasir. Tapi meski demikian kedua anak tersebut tetap memasaknya menjadi bubur. Untuk itulah perayaan ini ditandai dengan dua mangkok bubur. Satu mangkok berisi bubur yang tercampur pasir di dalamnya untuk dimakan para cucu, dan satu mangkok lagi bubur yang diberi campuran kacang dan potongan ubi goring untuk melambangkan ketidakmurnian. Mangkuk yang satu ini akan dimakan oleh orang dewasa.26

c) Dua Belas Mulud

Kata mulud atau maulud berasal dari bentuk maṣdar mim dari kata walada, yaitu mauluudun.27 Menurut cerita, Nabi Muhammad dilahirkan dan meninggal dunia pada tanggal dua belas Robi’ul Awwal. Perayaan pada 12 Robi’ul Awwal ini lebih dikenal dengan

26

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa, 104-105.

27

Ahmad Awliya, Tradisi Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw Pada Komunitas Etnis Betawi Kebagusan, Skripsi, (Jakarta: Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 23.


(49)

41

Mauludan. Adapun selametannya ditandai dengan adanya ayam utuh sebagai bentuk sajian korban untuk nabi. Nampaknya selametan ini merupakan selametan yang secara teratur pasti dilakukan oleh masyarakat.

d) Dua Puluh Tujuh Rejeb

Selametan pada tanggal 27 Rejeb atau Rajab ini sering disebut dengan perayaan Rejeban. Perayaan ini merupakan peringatan atas perjalanan Nabi yang melakukan Isra’ dan Mi’raj pada malam hari untuk menghadap Tuhannya. Pada selametan ini pula nabi mendapatkan perintah untuk mengerjakan sholat lima waktu, yaitu Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’.28

e) Dua Puluh Sembilan Ruwah

Selametan ini sering disebut dengan Megengan yang berasal dari kata pegeng yang berarti “menyapih”. Perayaan ini

berlangsung pada tanggal 29 Sya’ban, namun orang Jawa menyebutnya 29 Ruwah. Dalam hal ini Ruwah merupakan asal kata dari kata arwah yang berarti jiwa orang yang telah meninggal. layaknya selametan kematian, selametan ini ditandai dengan pergi ke makam keluarga yang sudah meniggal untuk menaburkan bunga di atas kuburannya.

28


(50)

42

f) Satu Sawal

Selametan satu Sawal merupakan suatu perayaan bagi kaum muslimin untuk menandai berakhirnya kewajiban puasa di bulan Romadhon.29 Pada umumnya masyarakat menyebut perayaan tersebut sebagai Hari raya Idul Fitri. Perayaan ini ditandai dengan adanya nasi kuning dan sejenis telur dadar. Masyarakat percaya bahwa pada perayaan tersebut, roh-roh yang sudah meninggal akan turun ke bumi dan mengahadiri acara perayaan tersebut.

Hari raya ini merupakan wujud pesta klimaks dalam bulan puasa, karena sebelum melakukan hari raya tersebut, semua orang diwajibkan untuk berpuasa selama satu bulan. Adapun salah satu ritual pokok yang harus ada saat hari raya adalah tradisi permintaan maaf. Setiap orang akan meminta maaf kepada keluarga, kerabat, tetangga, dan orang-orang lainnya dengan cara mengunjungi rumah mereka.

Karena ritual tersebut dilakukan dengan cara berkunjung, maka setiap orang pasti menyiapkan hidangan untuk tamu-tamunya. Bahkan menjelang hari raya, orang-orang akan membeli pakaian baru dan membagikan zakat kepada masyarakat yang tidak mampu.

29


(51)

43

g) Tujuh Sawal

Selametan yang dilakukan pada tanggal tujuh Sawal disebut Kupatan. Pada selametan ini orang-orang akan membuat kupat yang merupakan sebuah anyaman dari daun kelapa yang diisi dengan beras lalu di masak, dan membuat lepet yang merupakan sejenis panganan dari beras ketan yang dibungkus dengan daun pisang. Kupat dan lepet tersebut digantungkan di depan pintu rumah agar para arwah anak-anak yang telah meninggal bisa pulang dan memakan gantungan tersebut.30

h) Sepuluh Besar

Selametan ini dilakukan sebagai penghormatan atas pengorbanan Nabi Ibrahim yang rela menyembelih putranya Nabi Ismail. Biasanya selametan sepuluh besar ini disebut juga dengan Hari Raya Idul Adha. Selametan ini ditandai dengan penyembelihan sapi dan kambing. Setelah disembelih, daging hewan kurban tersebut dibagikan pada fakir miskin. Selametan ini juga ditandai dengan banyaknya orang yang pergi menjalankan ibadah haji.31

30

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa, 106.

31


(52)

44

d. Pengobatan, Sihir, dan Magi

Kepercayaan mengenai roh dan berbagai selametan merupakan dua sub kategori yang paling umum dari varian abangan. Sedangkan kepercayaan terhadap konsep pengobatan, sihir, dan magi yang berpusat pada peranan dukun tidak hanya dimiliki oleh masyarakat abangan, tapi juga oleh santri dan priyayi. Akan tetapi, dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa perdukunan merupakan suatu fenomena yang paling dominan berada dikalangan abangan, sedangkan dukun-dukun dikalangan santri dan priyayi dianggap sebagai variasi sekunder.32

Dukun disini dapat berupa tabib, juru sihir, dan spesialis keupacaraan. Ada banyak sekali macam dukun di kalangan masyarakat Jawa, diantaranya adalah dukun bayi, dukun pijet, dukun perewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten (ahli perkawinan), dukun petungan (ahli sistem petungan), dukun sihir, dukun susuk (spesialis pengobatan yang mengobati dengan cara menusukkan jarum emas di bawah kulit), dukun japa (tabib yang mengandalkan mantra), dukun jampi (dukun yang menggunakan tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis obat asli), dukun siwer (spesialis mencegah kesialan seperti mencegah turunnya hujan saat pesta), dan dukun tiban (dukun yang mempunyai kekuatan karena kemasukan roh).

Dalam konteks ini, dukun yang mempunyai beberapa keahlian sekaligus disebut dukun saja tanpa ada keterangan khusus di

32


(53)

45

belakangnya. Dukun yang seperti ini biasanya adalah seorang spesialis umum dalam masyarakat tradisional. Dukun tersebut dipercaya mampu menyembuhkan penyakit fisik dan batin, mampu meramal kejadian masa depan, penmu barang-barang yang hilang, pemberijaminan tentang peruntungan yang baik, dan lain sebagainya.

Menjadi dukun dianggap dapat berbahaya bagi seseorang karena kekuatan luar biasa yang menjadi alatnya dapat menghancurkan dirinya sendiri jika dia tidak kuat secara spiritual. Kebanyakan orang yang tidak kuat akan menjadi gila. Akan sangat beruntung jika seseorang yang ingin menjadi dukun mempunyai darah keturunan dengan dukun pula karena hal itu dapat mendukung usahanya secara spiritual.

Meski kebanyakan kemampuan menjadi dukun diperoleh secara garis keturunan, pada dasarnya keahlian tersebut diperoleh lewat “belajar”. Akan tetapi, dalam konteks ini ada perbedaan cara belajar yang dilakukan oleh seorang dukun. Dukun-dukun priyayi cenderung menekankan disiplin pertapa yaitu melakukan puasa yang panjang disertai dengan meditasi dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan untuk kalangan santri, mereka biasanya menggunakan ayat-ayat al-Qur’an atau potongan-potongan tulisan Arab yang ditulis dengan hati-hati dan bersifat magis. Kemudian tulisan tersebut akan dikunyah dan ditelan, atau bisa juga dengan cara lain yang sejenis seperti dibakar lalu abunya dicampur denngan air dan diminum.


(54)

46

Berbeda dengan dukun yang memperoleh kemampuan dari hasil belajar, dukun tiban justru memperoleh kemampuan secara tiba-tiba tanpa ada persiapan dari pihaknya. Karena datang secara tiba-tiba, kemampuanya pun juga bisa hilang tiba-tiba. Kadang-kadang untuk menstabilkan kemampuannya, dukun tiban akan melakukan sebuah selametan yang mengundang beberapa pasien yang pernah berhasil dia obati.

Berdasarkan kebiasaan orang Jawa, biasanya masyarakat akan memberikan uang sebagai imbalan atas jasa yang telah diberikan oleh sang dukun. Dengan demikian, perdukunan di Jawa dapat menghasilkan uang dan bisa dijadikan sebagai profesi. Selain itu, menjadi dukun juga dapat membawa martabat bagi seseorang karena banyak orang yang percaya pada keahliannya. Hal ini hanya berlaku bagi dukun yang sudah terkenal. Untuk dukun yang biasa – keahliannya kurang begitu ampuh – juga memperoleh imbalan dari jasanya, akan tetapi imbalan tersebut tidak sama dengan dukun yang dianggap lebih sakti. Sakti disini berarti mampu melakukan pekerjaan yang hampir bersifat universal.

Secara umum metode pengobatan yang digunakan oleh para dukun mempunyai dua tahapan, yaitu tahap diagnosa untuk pemilihan metode pengobatan yang tepat dan tahap penerapan metode pengobatan itu sendiri. dalam hal ini, diagnosa dapat didasarkan pada tiga aspek inti yaitu;33 Pertama, numerologi (petungan) yang dilakukan dengan cara

33


(55)

47

melihat hari lahir orang yang bersangkutan dan dihubungkan dengan hari dia mulai sakit. Penghubungan tanggal lahir dan hari awal sakit tersebut pada akhirnya dapat menghasilkan sebuah angka yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan obat. Tumbuhan obat yang paling umum digunakan adalah kunyit untuk obat sakit perut, dan jahe untuk sakit kepala dan encok.

Kedua, pengetahuan dukun yang diperoleh melalui meditasi dan

bersifat intuitif. Sang dukun akan melakukan semedi untuk menemukan penyebab dan obat dari sakit yang diderita oleh pasiennya. Dukun itu bersemedi untuk membersihkan seluruh pikirannya dari segala macam bentuk “gambar” sampai dia memperoleh perasaan yang abstrak dan tak berbentuk yang memberitahukan kepadanya apa penyakit si pasien dan apa obatnya. Biasanya cara ini dilakukan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan makhluk halus seperti penyakit yang disebabkan oleh sihir. Ada banyak sekali jenis penyakit yang disebabkan oleh sihir, diantaranya adalah santet, gendam, guna-guna, nuraga, dan lain sebagainya.

Ketiga, penganalisaan melalui perubahan kondisi tubuh pasien.

Cara ketiga ini hanya bisa dilakukan pada orang-orang yang menderita penyakit-penyakit ringan dan umum seperti demam, pusing, mata merah, bisul, dan lain sebagainya. Dari sini dapat diketahui bahwa orang-orang Jawa meyakini adanya dua jenis penyakit, yaitu penyakit yang mempunyai gejala-gejala fisik dan dapat disembuhkan oleh dokter,


(56)

48

satunya lagi adalah penyakit yang secara medis tidak dapat diketahui dan hanya mampu disembuhkan oleh dukun.

2. Santri

Santri merupakan seorang murid yang belajar ilmu Agama kepada seorang guru. Menurut Zamakhsyari Dhofier, santri di bagi menjadi dua macam; Pertama, Santri Mukim yaitu murid-murid dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Kedua, Santri Kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren.34

Disisi lain, Geertz mendefinisikan santri sebagai masyarakat yang mempunyai pengetahuan agama mendalam dan tidak harus berada di pesantren. Menurutnya, kehidupan kaum santri diatur dalam lima waktu sembahyang setiap harinya, yaitu subuh, lohor, asar, magrib, dan isya. Kegiatan sembahyang tersebut biasanya dilaksanakan di rumah, langgar, dan masjid desa. Khusus untuk sholat jum’at, sembahyang dilakukan di masjid saja.35 Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan penulis uraikan beberapa aspek yang berhubungan dengan santri.36

a) Sembahyang

Sembahyang yang dimaksud disini berbeda dengan sembahyang yang dilakukan oleh orang Kristen, Hindhu, dan Agama lainnya. Sembahyang disini adalah kata lain dari lima sholat yang telah ditetapkan waktunya. Pada konteks ini, pola waktu sembahyang sesuai dengan

34

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2011), 89.

35

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 289.

36


(57)

49

siklus kehidupan para petani yang ada di desa. Waktu sembahyang subuh membuat seseorang terbangun pagi-pagi sekali dan berangkat kerja lebih awal pula. Tengah hari saat pekerjaan para petani selesai, sembahyang kedua yaitu waktu salat Dzuhur dapat dilaksanakan. Setelah itu, seorang petani dapat beristirahat dan akan bangun pada waktu salat asar untuk menunaikan sembahyang yang ketiga. Jika pekerjaannya sangat berat, kadang kala si petani akan kembali lagi ke sawah untuk melanjutkan pekerjaannya hingga senja datang. Jika tidak, ia akan bersantai atau bertandang ke tetangga.

Ketika waktu salat maghrib tiba, orang-orang akan berdatangan ke langgar atau masjid di dekat rumah untuk menjalankan sembahyang yang keempat. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah untuk makan malam. Kadang ada pula orang yang masih menetap di masjid sampai waktu salat isya tiba dan menjalankan sholat disana. Akan tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Orang-orang banyak yang lebih suka menjalankan salat isya di rumah lalu kemudian istirahat.

Jika dilingkungan kota, pola sembahyang sangat tidak sesuai dengan aktivitas senggang masyarakatnya karena kebanyakan pekerjaan masyarakat kota bersifat full time. Terutama bagi orang yang bekerja di warung-warung atau kafe, kebanyakan mereka hanya menyediakan waktu senggang beberapa menit untuk melaksanakan sembahyang karena waktu mereka tersita untuk melayani para pelanggan dan konsumen.


(1)

164

sesajen kepada roh-roh halus, dan dikatakan tradisionalis karena sampai saat ini mereka masih mengamalkan tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya.

B.Saran

1. Kepada Pemerintah

Dengan adanya berbagai macam aliran keagamaan yang terdapat di Desa Pajaran, alangkah baiknya pemerintah setempat melakukan sosialisasi pluralistic untuk meminimalisir ketegangan antar aliran dan menumbuhkan interaksi sosial. Kemudian, ketegangan yang disebabkan oleh perbedaan kepercayaan masih saja terjadi, pemerintah setempat harus mampu meredakan persitegangan tersebut dengan cara damai, suka sama suka, tanpa ada kerugian besar yang menimpa kedua belah pihak.

2. Kepada Masyarakat Islam Aboge di Desa Pajaran

Alangkah baiknya jika ada pengarsipan atau dokumentasi tentang sumber-sumber ajaran dan tradisi yang selama ini dilestarikan. Sehingga tidak hanya masyarakat Islam Aboge saja yang memahami sibstansi ajaran tersebut, tapi masyarakat di luar Islam Aboge juga bisa memahami dan mengenal ajaran tersebut. Dengan adanya pemahaman ini, diharapkan masyarakat di luar Islam Aboge dapat lebih toleran dan menghargai ajaran dan tradisi Islam Aboge yang selama ini dilestarikan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manaf, Mudjahid., 1994, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Alfatih Husain, Muhammad., 2015, Komunitas Islam Aboge (Penerapan Antara Sistem Kalender dengan Aktivitas Keagamaan di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga). Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga.

Amin Abdullah, Muhammad., 1996, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Amin, Darori., 2000, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media. Arikunto, Suharsimi., 1985, Prosedur Penelitian Suatu Praktek, Jakarta: Bineka

Aksara.

Asrohah, Hanun., Pelembagaan Pesantren: Melacak Asal-Usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa, Akademika, vol 18, (2006).

Ath- Thabari, 1998, Jami’ Al-Bayan An Ta’wil Al-Qur’an, Jilid 3, Beirut: Dar Al-Fikr. Azali, Kathleen ., 2012, Ludruk: Masihkah Ritus Modernisasi?, Jurnal Lakon, Vol

1, Surabaya: Universitas Erlangga Surabaya.

Aziz Dahlan, Abdul.,1996, Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Batik, Redaya., Mari Mengenal Batik (Bagan 1- Istilah dan Sejarah Batik, http://redayabatik.com/?p=173, diakses pada tanggal 12 April 2016, 12:57. Dhofier, Zamakhsyari., 2011, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai

dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Djunaidi Ghony, Muhammad., & Fauzan Almanshur, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Geertz, Clifford., 1981, The Religion Of Java, Terj. Aswab Mahasin: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Glase, Cyril, 1994, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hariwijaya, 2006, Islam Kejawen, Yogyakarta: Gelombang pasang.


(3)

Hasan Siswanto, Ali., 2014, Dialektika Tradisi NU Di Tengah arus Modernisasi, Surabaya: iQ_Media.

Hening, Samudera., Mitologi Pasaran dan Hari,

https://kyaimbeling.wordpress.com/mitologi-pasaran-dan-hari, diakses pada tanggal 12 April 2016, 09:12.

Jainuri, Achmad., 2004, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, Surabaya: LPAM. Kahmad, Dadang., Sosiologi Agama, cet. 2, Bandung: Penerbit PT Remaja Rosda

Karya.

Kaizer, Rolando., The Puritans Post-Reformation Era, http://Buletin Pillar.html, diakses tanggal 11 Oktober 2016.

Kalimullah, Muhammad., 2016, Primbon Dalam Budaya Jawa: Studi Tekstual Komprehensif Kitab Betal Jemur Adam Makna dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Surabaya, Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Ilmu Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel. Khairuddin, Moh., 2015, Tradisi Selametan Kematian Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Budaya, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol II, No. 2, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

K. Nottingham, Elizabeth., 1993, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi, Jakarta: Rajawali Press.

Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. Laporan Data Penduduk Desa Pajaran, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun

Tahun 2016.

Lembaga Javanologi Surabaya (Yayasan Panunggalan), Jambatan, No. 4, edisi Desember 1988.

Luthfi Muhammad, Miftahul., 2004, Quantum Believing, (Surabaya: Duta Ikhwana Salama Ma’had TeeBee.

Ma’luf, Louis., 1986, Al Munjid fi al-Lughah wa A’lam, Beirut: Daar al-Mashriq.

Ma’ruf Asrori, Ahmad., dan Suheri Ismail, 1998, Khitan dan Aqiqah: Upaya

Pembentukan Generasi Qur’ani, Surabaya: Al Miftah.


(4)

Mertosedono, Amir., 1994, Sejarah Wayang, Asal-Usul, Jenis, dan Cirinya, Semarang: Dahara Prize.

Mulder, Niels., 2011, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, Yogyakarta: LKiS. Mundalifah, 2015, Penentuan Awal Bulan Kamariah dalam Perspektif Aboge,

(Studi Terhadap Kegiatan Keagamaan dan Rutinitas Sehari-hari bagi Komunitas Aboge di Wilayah Kabupaten Jati Jawa Tengah), Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Nasution, Harun, 1985, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta: UI Press.

---, 1972, Teologi Islam, Jakarta; UI Press.

Nata, Abuddin., 2001, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada.

---, 2010, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. Patilima, Hamid., 2007, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.

Pratiwi, Ayu., 2015, Eksistensi Kesenian Tayub Lebdho Rini Di Dusun Badongan Desa Karang Sari Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

P. Spradley, James., 1997, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa E., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Qusyaeri, Ahmad., Mujarrobat Lengkap, Jakarta: Bintang Terang.

Rahyono, F. X., 2009, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Robensons, Roland., 1995, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, cet. 4, Yogyakarta: RajaGrafindo Persada.

Septianingtias, Veria., 2015, Pola Kalimat Pada Kumpulan Dongeng Gadis Korek Api Karya H. C. Andersen (Suantu Kajian Sintaksis), Jurnal Pesona, Vol 1, No 1, (Lampung: Program Studi Bahasa Sastra Indonesia, STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung.

Singgih Harianto, Moch., dkk., Optimalisasi Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs) Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Bank


(5)

Sampah, Laporan Narasi Riset Aksi Partisipatif Kuliah Kerja Nyata Transformatif UIN Sunan Ampel Tahun 2016 di Desa Pajaran Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun.

Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.

Sukinah, 2011, Seni Gamelan Jawa Sebagai Alternatif Pendidikan Karakter bagi Anak Autis Di Sekolah Luar Biasa, dalam Proceeding Seminar Nasional Ravitalisasi Nilai-Nilai Budaya Jawa dalam Membentuk Generasi yang Berkarakter, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Sutiyono, 2010, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Syaefudin Anshari, Endang., 2002, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.

Syah Mahfudz., 1996, Ilmu Hikmah Sejati Intisari Mujarrobat dan Kitab Bertuah Lainnya, cet.6, Pekalongan: Bahagia.

Tasmuji, dkk, 2016, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Cet 6, Surabaya: UINSA Press.

Thahir Abdul Mu’in, Taib., 1992, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya.

Van Bruinessen, Martin., 1999, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: Lkis.

Wicaksono, Pandu., 2015, Strategi Adaptasi Penganut Aliran Aboge Dalam Menjaga Toleransi Keagamaan Di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga, Artikel tidak diterbitkan, Program Studi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Yogyakarta.

Yudha Wijaya, Henry., 2015, Perancang Buku Apresiasi Kesenian Jaranan Senterewe Kediri Jawa Timur, Artikel, Surabaya: Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra Surabaya.

Yusuf, Mundzirin., dkk., 2005, Islam dan Budaya Lokal, Yogyakarta: Pokja UIN. Zainuddin Tago, Mahli., 2013, Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran

Clifford Geertz, Artikel, Vol. VII, no 1, Yogyakarta: Universitas Muhammiyah.


(6)