LAPORAN PATI DAN GULA LILIS RATNASARI Q1A1 15 270

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PATI DAN GULA
"Pembuatan Gula Cair dari pati sagu"

OLEH :
KELOMPOK 1 KELAS Q1A1-C
NAMA
NIM
KELAS
KELOMPOK

: LILIS RATNASARI
: Q1A1 15 270
: GENAP
: 1 (Ganjil)

JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI

2018

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki luasan sagu paling luas di dunia, lebih dari 50%
populasi sagu dunia dan 90% dari populasi tersebut ditemukan di Papua dan
Papua Barat (Bintoro 2008). Luas lahan sagu di Provinsi Papua dan Papua Barat
mencapai 5.2 juta ha dan dari luasan tersebut 1.1 juta ha sudah diizinkan untuk
dikonversi menjadi lahan non sagu (Djoefrie et al. 2014). Sekitar 40% dari
vegetasi sagu di Papua merupakan areal produksi yang potensial dan siap untuk
dipanen (Yumte, 2008).Tanaman sagu yang ditemukan di Provinsi Papua lebih
dari 60 jenis aksesi dan Papua dianggap sebagai sentra keragaman genetik sagu
terbesar di dunia (Limbongan, 2007). Tanaman sagu dapat tumbuh baik di lahan
sub optimal seperti daerah rawa. Tanah masam atau bersalinitas tinggi yang
tanaman lain belum tentu mampu tumbuh baik (Flach dan Schuiling, 1989).
Sistem perakaran yang kuat menjadikan pohon sagu sangat kuat dan mampu
menahan banjir, goncangan angin, agen bioremediasi untuk menghilangkan
kontaminan logam berat maupun mikroorganisme (Stanton, 1991).
Gula merupakan sumber bahan


pemanis paling dominan, baik untuk

keperluan konsumsi rumah tangga maupun untuk bahan baku industri makanan
dan minuman. Tingkat konsumsi gula di Indonesia masih relatif rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain, sehingga diperkirakan konsumsi gula
akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
pendapatan masyarakat. Pada tahun 2014, kebutuhan gula nasional mencapai 5,7

juta ton yang terdiri dari 2,8 juta ton untuk konsumsi langsung masyarakat dan 2,9
ton untuk memenuhi kebutuhan industri (BPS, 2015).
Dalam upaya memenuhi kebutuhan gula dapat digunakan beberapa sumber
pemanis alternatif pengganti gula tebu seperti siklamat, aspartam, stevia, dan gula
hasil hidrolisis pati. Industri makanan dan minuman saat ini memiliki
kecenderungan untuk menggunakan sirup glukosa. Di Indonesia bahan baku untuk
pembuatan sirup glukosa adalah pati, tersedia banyak baik jumlah maupun
jenisnya, misalnya tapioka, pati jagung, pati umbi-umbian dan pati sagu (Triyono,
2008). Pati sagu memiliki potensi yang besar sebagai bahan dasar pembuatan
gula cair, hingga mencapai 20–40 ton ha-1 tahun, maka kebutuhan gula akan
tercukupi dari pengolahan pati sagu (Bintoro et al. 2010). Pati sagu dapat
dijadikan gula cair dengan cara menghidrolisis pati menggunakan enzim.

Pembuatan Gula cair dengan cara penggunaan enzim, konsentrasi
merupakan salahsatu faktor yang menjadi penentu kualitas dan tingkat kesukaan
gula cair, sehingga diperlukan konsentrasi enzim yang tepat pada pembuatan gula
cair dari pati sagu ini. Berdasarkan uraian tersebut maka dibuatlah praktikum ini
agar dapat menentukan konsentrasi enzim yang tepat yang disukai panelis.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menentukan tingkat kesukaan
terhadap gula cair yang diproduksi dari pati sagu.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Istilah sagu telah digunakan secara luas untuk pati atau tepung yang
dihasilkan oleh batang tumbuhan palma, pakis atauumbi akar. Selama ini nama
pati dan tepung disamakan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pengertian pati
dan tepung disamakan baik sebagai hasil ekstrasi dari pokok batang palma
maupun hasil penghancuran (penggilingan) umbi atau bijibijian seperti ubi kayu,
gandum dan padi. Menurut Louhenapessy et al (2010) pati adalah hasil ekstrasi
secara mekanik dalam keadaan basah dari empulur pohon, sedangkan tepung
adalah hasil yang didapat dari penggilingan kering dari suatu bahan, yang tetap
mengandung serat dan bahan kasar lainnya.

Pati sagu diperoleh dari hasil ekstraksi inti batang sagu atau empulur sagu
dengan bantuan air sebagai perantara (Haryanto dan Pangloli, 1992) Salah satu
pati umbi-umbian yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi
sirup glukosa adalah pati sagu. Sirup glukosa adalah cairan kental dan jernih
dengan komponen utama glukosa yang diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara
kimia atau enzimatik.
Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel
hidup, dan mempunyai fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia yang
secarakolektif membentuk metabolism perantara(intermediary metabolism) dari
sel (Wirahadikusumah, 2008). Kerja enzimdipengaruhi oleh beberapa faktor,
terutamaadalah substrat, suhu, keasaman, aktivatoratau inhibitor.

Hidrolisis

secara enzimatis memilikiperbedaan mendasar dengan hidrolisis secaraasam.

Hidrolisis secara asam memutus rantai pati secara acak, sedangkan hidrolisis
secaraenzimatis memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu.
Sirup glukosa adalah adalah cairan kental dan jernih dengan komponen
utamaglukosa yang diperoleh dari hidrolisis patidengan cara kimia atau enzimatik

(SNI 012978-1992). Sirup glukosa merupkan hasilhidrolisis pati menggunakan
enzim a-amilase dan enzim amiloglukosidase. Pemecahan partikel besar
mengurangi kekentalan larutan pati tergelatinisasi. Prosesini disebut likuifikasi.
Tahap

akhir

depolimerisasi

pembentukan

mono-,di-,trisakarida

disebut

sakarifikasi (Wang, 2006).
Proses produksi glukosa melalui hidrolisis enzimatis terdiri atas tahap
likuifikasi dan tahap sakarifikasi. Proses likuifikasi merupakan proses pencairan
gel pati dengan menggunakan enzim a-amilase yang menghidrolisis pati menjadi
molekulmolekul yang lebih sederhana dari oligosakarida atau dekstrin yang

memutus ikatan a-(1,4) glikosidik pada amilosa dan amilopektin (Maksum et al.
2001). Hasil penelitian Wibisono (2004) pH optimum aamilase sebesar 5.2 dengan
suhu optimum 95°C. Budiyanto et al .(2006) waktu optimum tahap likuifikasi 60
menit.
Tahap selanjutnya dari proses produksi sirup glukosa yaitu sakarifikasi.
Proses tersebut merupakan proses pemecahan pati menjadi gula reduksi
menggunakan enzim amiloglukosidase, dengan memutus ikatan pati menjadi
molekul-molekul pada ikatan a-1,4 maupun a-1,6. Kisaran pH optimum proses
sakarifikasi sebesar 4.5, dengan suhu 50°C (Budiyanto et al. 2006).

III. METODE PRAKTIKUM
III.1.

Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas

Teknologi dan Industri Pertanian, Universitas Halu Oleo Kendari, Pada hari
Jumat, 08 Juni 2018, Pukul 10.0 WITA sampai selesai
III.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum ini ialah Tepung sagu, enzim ɑ

-Amilase, enzim glukoamilase, air dan aquades. Sedangkan alat yang digunakan
pada praktikum ini ialah erlenmeyer, gelas ukur, panci, baskom, timbangan
analitik, botol, dan kompor gas.
III.3. Prosedur kerja
3.3.1. Prosedur Pembuatan gula cair
Pati sagu
- ditimbang 100 gram
- ditambahkan air 1000 ml (1 L)
- ditambahkan enzim ɑ -Amilase
sambil diaduk
- dipanaskan pada suhu 95ºC sambil
diaduk sampai berubah warna dan
mencair
- didinginkan dan ditambahkan enzim
glukoamilase
dimasukkan kedalam botol
- diingkubasi selama 24 jam
Gula Cair Pati sagu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
a. Foto Kualitas warna Gula cair
Tabel 1. Foto Kualitas warna Gula cair
No
Konsentrasi Enzim
1.

1 mL

2.

1,5 mL

3.

2 mL

4.

2,5 mL


b. Nilai Total Padatan Terlarut
Tabel 2. Nilai Total Padatan Terlarut

Gambar/Foto

No
Konsentrasi Enzim
1. 1 mL
2. 1,5 mL
3. 2 mL
4. 2,5 mL
c. Hasil Uji Organoleptik

Total Padatan terlarut (TPT)
12 mg/L
11,7 mg/L
11 mg/L
10,3 mg/L


1. Hasil Penilain Sensorik

Tingkat kesukaan (%)

Tabel 3. Penilaian Sensorik (Kualitas) Aroma
No Konsentrasi
Sangat
Berbau
Netral
.
enzim
Berbau
sagu (%)
(%)
sagu (%)
1.
1 mL
0
80
20

2.
1,5 mL
0
30
50
3.
2 mL
0
70
30
4.
2,5 mL
0
0
10
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Tidak
Berbau
sagu (%)
0
20
0
90

Sangat tidak
Berbau sagu
(%)
0
0
0
0

sangat berbau sagu
berbau sagu
netral
tidak berbau sagu
sangat tidak berbau
sagu
1 ml

1.5 ml

2 ml

2.5 ml

Konsentrasi enzim

Grafik 1. Penilaian Sensorik (Kualitas) Aroma
Tabel 4. Penilaian Sensorik (Kualitas) Warna
No Konsentrasi
Sangat
Menarik Netral
Tidak
.
enzim
Menarik
(%)
(%)
Menarik
(%)
(%)
1.
1 mL
0
0
70
30
2.
1,5 mL
0
0
100
0
3.
2 mL
0
0
0
100
4.
2,5 mL
0
10
90
0

Sangat Tidak
Menarik (%)
0
0
0
0

Tingkat kesukaan (%)

120
100
80
sangat menarik
menarik
netral
tidak menarik
sangat tidak menarik

60
40
20
0

1 ml

1.5 ml

2 ml

2.5 ml

Konsentrasi enzim

Grafik 2. Penilaian Sensorik (Kualitas) warna
Tabel 5. Penilaian Sensorik (Kualitas) Kekentalan
No Konsentrasi
Sangat
Menarik Netral
.
enzim
Menarik
(%)
(%)
(%)
1.
1 mL
0
0
0
2.
1,5 mL
0
0
0
3.
2 mL
0
0
0
4.
2,5 mL
0
0
0

Tidak
Menarik
(%)
100
100
100
100

Sangat Tidak
Menarik (%)
0
0
0
0

Tingkat kesukaan (%)

120
100
80
sangat menarik
menarik
netral
tidak menarik
sangat tidak menarik

60
40
20
0

1 ml

1.5 ml

2 ml

2.5 ml

Konsentrasi enzim

Grafik 3. Penilaian Sensorik (Kualitas) Kekentalan
Tabel 6. Penilaian Sensorik (Kualitas) Rasa
No Konsentrasi
Sangat
Menarik

Netral

Tidak

Sangat Tidak

.

enzim

1.
2.
3.
4.

Menarik
(%)
0
20
0
0

1 mL
1,5 mL
2 mL
2,5 mL

(%)

(%)

0
80
0
0

80
0
50
10

Menarik
(%)
20
0
50
90

Menarik (%)
0
0
0
0

Tingkat kesukaan (%)

90
80
70
60
sangat menarik
menarik
netral
tidak menarik
sangat tidak menarik

50
40
30
20
10
0

1 ml

1.5 ml

2 ml

2.5 ml

Konsentrasi enzim

Grafik 4. Penilaian Sensorik (Kualitas) Rasa
4.2. Pembahasan
Pada praktikum ini Produksi gula cair dari pati sagu dengan konsentrasi
enzim amilase yang berbeda yaitu 1 ml, 1,5 ml, 2 ml, 2,5 ml. dilakukan uji Total
padatan terlarut (TPT). Prinsip TPT (Total Padatan Terlarut) yaitu ukuran dari
jumlah material yang dilarutkan dalam air. Pengukuran total padatan terlarut
dilakukan untuk menunjukkan total padatan dalam suatu larutan. Pada analisis
TPT menggunakan alat hand refactometer. Pada penelitian menggunakan suhu
kamar ± 25 º C. Pada hand refactometer indeks bias sudah dikonversikan
sehingga dapat langsung dibaca kadarnya. Terjadinya pembiasan karena cahaya
menembus median yang lebih rapat indeks bias dipengaruhi oleh temperatur dan
tekanan. Semakin tinggi temperatur atau semakin rendah tekanan maka kerapatan

median semakin kecil. Pada tabel 2. diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi enzim yang dihasilkan maka TPT yang semakin rendah Pula TPT nya.
Hal ini disebabkan karena seiring bertambahnya konsentrasi enzim menyebabkan
hidrolisis pati semakin banyak, yang menghasilkan molekul-molekul larut air
seperti maltosa dan molekul yang lebih sederhana lainnya. Sehingga dengan
meningkatnya molekul yang terlarut akan menurunkan total padatan dalam
dekstrin.
Uji organoleptik pada gula cair dari pati sagu dilakukan uji aroma, warna,
rasa dan kekentalan. Aroma pada gula cair Pada tabel 3. menunjukkan semakin
banyak konsentrasai enzim yang ditambahkan maka aroma sagunya semakin
hilang, Hal ini diduga karena penambahan konsentrasi enzim yang tinggi dapat
munutupi aroma sagu. Menurut Winarno (1997), aroma menentukan kelezatan
dari suatu produk. Aroma terjadi karena adanya sejumlah komponen volatil yang
berasal dari produk tersebut yang dapat terdeteksi oleh indera

pembau

(Rachmawati, 2001), gula cair parameter gula cair yang bagus ialah gula tidak
memiliki aroma yang khas.
Warna merupakan parameter yang menentukan tingkat penerimaan
konsumen terhadap suatu produk. warna pada gula cair Coklat. Warna coklat dari
gula cair dipengaruhi oleh protein yang terdapat dalam pati akan bereaksi dengan
gula pereduksi melalui reaksi maillard yang menyebabkan terjadinya pencoklatan
non enzimatis (Murtias et al, 2016). Pada tabel 4. diatas menunjukkan bahwa
semakin banyak konsentrasi enzim yang ditambahankan maka warna yang
dhasilkan lebih disukai panelis hal ini karena gula cair ang dihasilkan tidak terlalu

coklat. Warna coklat yang memudar ini diduga karena aktivitas enzim mampu
menghambat reaksi mailard meskipun tdk signifikan. Warna yang terbaik adalah
yang tidak mengubah warna asli dari gula cair yaitu perlakuan konsentrasi 2,5 ml
dengan warna coklat muda.
Kekentalan gula cair pada tabel 5. menunjukkan bahwa semua perlakuan
konsentrasi enzim pada gula cair tidak menarik karena tidak memberikan
kekentalan. Gula cair yang baik adalah gula cair yang tidak kental atau cair.
Kesamaan ini diduga karena kurang akuratnya panelis dalam menilai kekentalan
suatu cairan.
Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis,
asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang mudah terlarut dalam mulut
(Meilgaard, et al., 1999). Pada tabel 6. diatas menunjukkan bahwa gula cair
dengan penambahan enzim 1,5 ml memiliki rasa yang paling disukai. penambahan
dengan konsentrasi yang lebih akan menyebabkan kesukaan panelis terhadap rasa
gula cair semakin menurun. hal ini diduga karena konsentrasi enzim yang berlebih
dapat menyebabkan penurunan kemampuan menghidrolisis pati menjadi glukosa
sehingga rasa gula cair yang dinilai menjadi menurun. sementara untuk
konsentrasi yang lebih rendah yaitu 1 ml memiliki rasa yang kurang menarik
diduga karena konsentrasi enzim tersebut belum mampu memberikan rasa yang
menarik.

V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa Semakin besar konsentrasi enzim pada pembuatan gula cair
maka kualitas organoleptik semakin baik, namun jika konsentrasi enzim yang
ditambahkan melibihi konsentrasi optimun maka kualitas organoleptik menjadi
menurun.
5.2. Saran

Saran untuk praktikum selanjutnya agar pengujian kekentalan dilakukan
uji viskositas bukan uji organileptik karena penilaian panelis terhadap kekentalan
tidak akurat.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Tebu Indonesia 2013. Jakarta (ID):
Badan Pusat Statistik.
Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Mutu Sirup Glukosa SNI 0129781992. Standar Nasional Indonesia: Jakarta.
Bintoro M.H, Purwanto MYP, Amarillis S. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB
Press. Bogor (ID).hlm 169.
Bintoro MH. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor (ID). 71 hlm.
Djoefrie HMHB, Herodian S, Ngadiono, Thoriq A, Amarillis S. 2014. Sagu
Untuk Kesejahteraan Masyarakat Papua : Suatu Kajian dalam Upaya
Pengembangan Sagu sebagai Komoditas Unggulan di Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat. Laporan Penelitian. Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Jakarta. 192 hlm.

Flach M, Schuilling DL. 1989. Revival of an ancient starch crop: a review of the
agronomy of the sago palm. J Agroforestry Systems. 7(1):259–281.
Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius:
Yogyakarta (ID).
Hastuti.S, S. Suryawati dan I. Maflahah. Pengujian Sensoris Nugget Ayam
Fortifikasi Daun Kelor. AGROINTEK Volume 9, No.1 Maret 2015.
Limbongan J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. J Litbang
Pertanian. 26(1):16-24.
Louhenapessy, J. E., M. Luhukay, S. Talakua, H. Salampessy dan J Riry. 2010.
Sagu Harapan Dan Tantangan. PT. Bumi Aksara: Jakarta
Murtias. K.D, A.H. Mulyati dan A. Budiyanto.2016. Optimasi Produksi Gula
Cair Dari Pati Sagu (Metroxylon Spp.) Asal Sulawesi Tenggara.
Universitas Pakuan, Bogor.
Rahmawati, A. 2010. Pemanfaatan Limbah Kulit Ubi Kayu (Manihot utilissima
Pohl.) dan Kulit Nanas (Ananas comosus L.) pada Produksi Bioetanol
Menggunakan
Stanton WR. 1991. Long-Term and Ancillary Environmental Benefits from Sago
Agroforestry Systems. Di dalam: Ng Thai-Tsiung, Tie Yiu-Liong, Kueh
Hong-Siong. Proceedings of the Fourth International Sago Symposium:
1991 Aug 6-9; Kuching, Malaysia. Kuching (KL): The Internasional Sago
Palm Society. hlm 24-35.
Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta.
Triyono, A. 2008. Karakteristik Gula Glukosa Dari Hasil Hidrolisa Pati Ubi
Jalar (Ipomea Batatas, L.) Dalam Upaya Pemanfaatan Pati Umbiumbian.
Prosiding Seminar Nasional Teknoin Bidang Teknik Kimia dan Tekstil:
Yogyakarta.
Wang,

N. N. 2006. Starch Hidrolysis byAmilase.
www.glue.umd.edu/diakses tanggal 8 Desember 2015.

Di

dalam

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Yumte Y. 2008. Penyusunan model penduga berat basah tepung sagu duri
(Metroxylon rumphii) di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Papua Barat
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

LAMPIRAN

Pengamatan Total Padatan Terlarut