DEFINISI DAN KONSEP Masyakat Madani

DEFINISI DAN KONSEP Masyakat Madani
Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berbudaya, maju dan modern. Di dalamnya, setiap
warganya menyadari dan mengetahui hak-hak dan kewajibannya terhadap negara, bangsa dan agama
serta terhadap sesama, dan tentunya juga menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Masyarakat madani selalu menjadi tipe masyarakat yang didambakan oleh banyak orang, bahkan
oleh masyarakat di dunia. Tipe masyarakat ini adalah gambaran masyarakat yang diidealkan oleh Islam
dan pernah menjadi bagian dari sejarah Rasulullah saw ketika beliau memimpin negara Islam pertama di
Madinah.
Adanya istilah masyarakat madani pada prinsipnya bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw.
beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah
refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita
membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pasca hijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan
struktur masyarakat di Madinah yang cukup beragam, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan
sosial. Salah satu di antaranya adalah melakukan perjanjian-perjanjian terkait solidaritas untuk
membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai
suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga
termasuk Yahudi dan Nasrani.
Konsep-konsep solidaritas yang dibangun saat itu cukup berhasil membangun suatu masyarakat yang
pluralistik, memiliki sikap toleran terhadap perbedaan yang ada, serta dapat memberikan iklim
kebebasan yang kondusif, untuk mengemukakan pendapat dan mengekspresikan sikap dan pemikirannya

serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang
yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh
Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan
bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Pada masa-masa sekarang ini, makna masyarakat lebih mengarah kepada masyarakat sipil atau
terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan
masyarakat. Cicero adalah orang barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam
filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis,
istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang
ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan
monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara masyarakat madani dan civil society, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, sedikit
berbeda konteks walaupun sangat mirip secara substansi. Masyarakat madani adalah istilah yang

dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi islami. Menilik dari subtansi civil society lalu
membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas
pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus
perbedaan di antara keduanya.

Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan hasil dari
proses modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaissance (gerakan masyarakat
sekuler yang meminggirkan Tuhan). Ini membuat konsep civil society sempat diindikasi mempunyai
aspek moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir
dari dalam suatu proses agama. Dari alasan ini, masyarakat madani kemudian diidentifikasi sebagai
sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental
yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang sangat majemuk, memiliki banyak arti atau sering diartikan
dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau
masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997),
masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes
place outside of government and the market (suatu aktivitas sosial yang terbentuk secara sukarela tanpa
adanya intervensi pemerintah/pasar)” Merujuk pada Bahmueller (1997).
Di Indonesia, konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk
meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari
proses demokratisasi di Indonesia yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian
memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan
seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat
Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih
jelasnya, rasanya perlu ada analisa lebih jauh dan secara historis terkait kemunculan masyarakat madani

dan kemunculan istilah masyarakat sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam
membangun masyarakat bangsa Indonesia.
Dalam kutipan yang lain, masyarakat sipil diterjemahan dari istilah Inggris civil society yang mengambil
dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal
penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat
Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis
(sekuler). Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan
pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang
menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil,
memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang
secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti ahli sosiologi Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat,
dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding
konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga

tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua
partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang/militer saat itu), padahal dia
memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih
sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di
mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.

Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di
antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin
secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang
saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat
komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan
masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson
menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme
mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik
dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai
penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat
sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan
dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung mengacu kepada konsep
masyarakat menurut Ibnu Khaldun. Deskripsi beliau justru banyak mengandung muatan-muatan moralspiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya.
Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk
kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil
merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas, seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al
Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat
Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din
(diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota

Yatsrib berubah menjadi Medinah bermakna disanalah agama berlaku (lih. Alatas, 2001:7).
Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali.
Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah
masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa
menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia
merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu.
Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.

MASYARAKAT MADANI DALAM SEJARAH

Ada dua masyarakat dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakt madani, yaitu :
a. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. Nama Saba’ yang terdapat dalam Al
Qur’an itu bahkan dijadikan nama salah satu surat Al Qur’an, yaitu surat ke-34. Keadaan masyarakat
Saba’ yang dikisahkan dalam Al Qur’an itu mendiami negeri yang baik, yang subur dan nyaman. Di
tempat itu terdapat kebun dengan tanamannya yang subur, yang menyediakan rizki, memenuhi
kebutuhan hidup masyarakatnya. Negeri yang indah itu merupakan wujud dari kasih sayang Allah yang
disediakan bagi masyarakat Saba’. Allah juga Maha Pengampun apabila terjadi kealpaan pada masyarakat
tersebut. Karena itu, Allah memerintahkan masyarakat Saba’ untuk bersyukur kepada Allah yang telah
menyediakan kebutuhan hidup mereka. Kisah keadaan masyarakat Saba’ ini sangat populer dengan

ungkapan Al Qur’an Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur.

b. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Rasulullah SAW beserta umat Islam dengan
penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Madinah
adalah nama kota di Negara Arab Saudi , tempat yanag didiami Rasulullah SAW sampai akhir hayat beliau
sesudah hijrah. Kota itu sangat populer, karena menjadi pusat lahir dan berkembangnya agama Islam
setelah Mekkah. Di kota itu pertama kali Rasulullah SAW membangun masjid yang dikenal dengan nama
masjid Nabawi.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ke tiga unsure masyarakat untuk saling tolong-menolong,
menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan
Rasulullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan
memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
Masyarakat Madinah

Yahdian Abu Zaki
Madinah adalah nama pengganti dari Yatsrib yang diberikan oleh Rasulullah saw, secara etimologis
Madinah sendiri merupakan kata benda yang menunjukkan tempat yang artinya adalah tempat yang
dikuasai. Nama Yatsrib sendiri diberikan oleh orang-orang Jahiliyyah, sedangkan Allah swt menamainya
Thayyibah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Samurah yang mengatakan "Orang Jahiliyyah dulu

menyebut Madinah dengan Yatsrib, kemudian Rasulullah saw menyebutnya Thayyibah."

Perubahan nama tersebut dilakukan Rasulullah saw segera setelah beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib.
Hijrah itu sendiri merupakan langkah awal proses terbentuknya Daulah Islamiyah pertama di muka bumi
pada saat itu. Hijrah itu merupakan pernyataan berdirinya Negara Islam Madinah di bawah pimpinan
Rasulullah Muhammad saw. Sistem yang dibangun Rasulullah saw di Madinah memenuhi syarat-syarat
nominal untuk disebut sebagai sebuah negara.
Tulisan ini bermaksud memotret bagaimana kondisi masyarakat Madinah pasca hijrah Rasulullah saw;
yang dimaksud dengan masyarakat Madinah dalam tulisan ini adalah masyarakat yang dibangun oleh
Rasulullah saw dalam satu ikatan Tauhid dengan sistem pemerintahan Islam. Secara umum masyarakat
Madinah pasca hijrah dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu:
1) Periode pertama dari mulai hijrahnya Rasulullah saw sampai masa Qital membela diri.
2) Periode kedua dari mulai masa qital membela diri sampai dengan teratifikasinya Perjanjian
Hudaibiyah.
3) Periode ketiga dari mulai diratifikasinya naskah Perjanjian Hudaibiyah sampai dengan terjadinya
pembukaan kota Makkah (futuh Makkah).
4) Periode keempat keadaan masyarakat Madinah pasca futuh.
Sesuai dengan judul tulisan ini, maka yang akan dibahas adalah keadaan masyarakat Madinah dalam
dua periode pertama.


Periode Pertama

Periode pertama ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun, dimulai dari bulan Rabi'ul awal tahun
1H sampai dengan bulan Rajab tahun 2H. Selama rentang waktu ini Rasulullah saw menerapkan asasasas penting dari Negara Islam Madinah.
Asas yang pertama adalah pembangunan masjid.
Pembangunan masjid merupakan langkah pertama Rasulullah saw untuk menegakkan masyarakat Islam
yang kokoh dan terpadu yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin. Hal ini dikarenakan masyarakat
Muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapih kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem,
aqidah, dan tatanan Islam. Tujuan ini dapat tercapai dengan menumbuhkan 'semangat masjid'.
Di antara sistem dan prinsip Islam ialah tersebarnya ikatan ukhuwah dan mahabbah sesama kaum
Muslimin. Ikatan ini akan tercapai dengan bertemunya kaum Muslimin setiap hari dan berkali-kali dalam
rumah Allah swt sampai terhapusnya perbedaan pangkat, kedudukan, kekayaan serta status dan atribut
lainnya. Semangat persamaan dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan akan terwujud dengan
tersusunnya kaum Muslimin berkali-kali dan setiap hari dalam satu shaff di rumah Allah swt. Kesatuan

kaum Muslimin hanya akan terwujud dengan disatukannya mereka dalam tali Allah swt yang terbentuk
dengan kebersamaan mereka dalam berdiri, ruku, dan sujud di rumah Allah swt, dengan mempelajari
dan menerapkan syari'at-Nya secara sempurna.
Asas kedua adalah ukhuwah sesama kaum Muslimin.
Negara manapun tidak akan berdiri tegak tanpa adanya kesatuan dan dukungan ummatnya, sedangkan

kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai. Suatu jama'ah yang tidak
disatukan dengan persaudaraan dan saling mencintai tidak akan mungkin dapat bersatu dalam suatu
prinsip. Persaudaraan semacam ini harus didahului oleh aqidah yang menjadi ideologi dan faktor
pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah dan ideologi adalah mimpi yang semu,
dan karena itulah Rasulullah saw menjadikan aqidah sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati
para sahabatnya dan menempatkannya dalam satu barisan ubudiyah hanya kepada Allah swt tanpa
perbedaan apapun kecuali iman dan amal shaleh. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa asas ukhuwah
ialah ikatan Islam.
Asas ketiga adalah perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang di luar Islam.
Perjanjian atau dalam istilah modern disebut 'dustur' yang dibuat Rasulullah saw berdasarkan kepada
wahyu Allah yang dijadikan sebagai Qanun Azasi yang disepakati menunjukkan bahwa masyarakat Islam
sejak awal masa pertumbuhannya tegak berdasarkan perundang-undangan yang sempurna. Hal ini
merupakan satu bukti bahwa Negara Islam sejak awal berdirinya telah ditopang oleh perangkat
perundang-undangan dan manajemen yang diperlukan oleh setiap negara.
Perangkat ini merupakan asas yang diperlukan bagi setiap pelaksanaan hukum-hukum syari'at Islam
dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, hukum-hukum syari'at tersebut secara umum didasarkan
kepada pemikiran kesatuan ummat Islam dan masalah-masalah struktural lainnya yang berkaitan
dengannya. Negara tidak akan terwujud manakala sistem perundang-undangan tersebut tidak ada.
Negara Islam Madinah yang dibangun oleh Rasulullah saw dari semenjak berdirinya sudah dihadapkan
pada situasi konfrontatif dengan kekuasaan kafir Quraisy di Makkah. Para pendukung Darun Nadwah

tidak rela melihat Daulah Islam yang dibangun Rasulullah saw tampil menjadi satu kekuatan yang bisa
mengancam eksistensi mereka. Mereka kemudian mengeluarkan keputusan bersama untuk menggalang
dan mengerahkan seluruh kekuatan bersenjata untuk menghancurkan Madinah, sebagaimana yang
kemudian diinformasikan Allah melalui surat al-Anfal (8):30 kepada Nabi-Nya saw.
Menyadari kenyataan seperti itu Rasulullah saw tidak tinggal diam, beliau segera mempersiapkan
masyarakat Madinah untuk memiliki kesiapan dalam menahan dan menggagalkan setiap usaha invasi
Makkah ke Madinah. Dalam Piagam Madinah sudah diatur bagaimana kewajiban setiap warga untuk
mempertahankan eksistensi Madinah dari setiap kemungkinan serbuan kekuatan Makkah. Bahkan
semenjak sebelum hijrah ke Madinah Rasulullah saw sudah mempersiapkan kekuatan militer dengan
melakukan bai'at aqabah kedua yang menuntut kesiapan dan kesanggupan Anshar untuk membela
Rasulullah saw seperti membela anak dan isterinya, dalam satu peristiwa dramatik ketika Rasulullah saw
didampingi Abbas bin Abdul Muthalib menemui 74 orang delegasi Madinah di Aqabah. Apalagi pada saat

itu telah turun wahyu kepada beliau saw yang isinya izin dari Allah untuk mengangkat senjata bagi orang
yang diperangi (al-Hajj (22):39).
Allah swt berfirman dalam ayat tersebut, "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa
menolong mereka."
Kenyataan ini semakin dipertegas dengan diturunkannya surat al-Baqarah (2):216, "Diwajibkan atas
kamu berperang...". Dengan turunnya ayat tersebut Rasulullah saw dan para sahabatnya di kalangan

Muhajir dan Anshar memiliki landasan wahyu untuk melakukan upaya perlawanan dalam rangka
membela diri dan mempertahankan eksistensi Negara Islam Madinah dari setiap agresi militer pihak kafir
Quraisy. Ayat tersebut juga mengakhiri periode pertama masyarakat Madinah. Masa yang penuh dengan
langkah persiapan Rasulullah saw dalam membina masyarakat Madinah, meletakkan asas-asas
masyarakat Muslim, membina kesiapan dan ketangguhan mereka untuk mempertahankan eksistensi
Madinah sebagai wujud dari zhohirnya Mulkiyah Allah swt.

Periode Kedua

Periode kedua masyarakat Madinah dihiasi dengan berbagai perisitwa heroik ummat Islam dalam
mempertahankan Daulah Islam dari setiap agresi militer pihak kuffar. Masing-masing peperangan ini
merupakan tindak balasan atau counter attack terhadap persekongkolan atau permusuhan yang
dilancarkan pihak kuffar dan musyrik. Pembahasan periode kedua masyarakat Madinah dalam tulisan ini
akan ditekankan kepada beberapa peristiwa penting saja. Bahasan tersebut untuk menunjukkan
bagaimana gigihnya usaha Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam mempertahankan eksistensi
Madinah dan sebagian besar pasukan pemanah yang turun membantu kawan-kawannya ke kancah
pertempuran dengan meninggalkan posnya.
Kejadian ini dimanfaatkan Khalid bin Walid dan Ikrimah untuk mengadakan serangan balik terhadap
kaum Muslimin yang mengakibatkan terdesaknya pasukan kaum Muslimin. Rasulullah saw sendiri
sampai terperosok ke dalam lubang dan menderita luka di bagian wajahnya oleh hantaman batu dan
lemparan tombak musuh. Para sahabat seperti Abu Dujanah, Ziyad bin Sakkan dan Ali bin Abi Thalib
menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah saw. Abu Dujanah syahid, Ziyad
bin Sakan syahid bahkan menghembuskan nafas terakhirnya di kaki Rasulullah saw. Hamzah syahid
dengan perut terbelah dan hidung serta telinga putus.
Keadaan tersebut diperkeruh dengan desas-desus yang muncul dari kaum Munafiq yang mengatakan
Rasulullah saw wafat dan mereka menghasut sahabat lain untuk lari dari peperangan. Mereka
mengatakan, "Buat apa kalian berperang untuk mencari kematian, toh Muhammad sudah mati?"
Anas bin Nadhar yang mendengar seruan tersebut berteriak, "Buat apa kalian hidup jika Rasulullah saw
sudah wafat?" Lalu dia kemudian menghumus pedangnya dan menghambur ke tengah pasukan Quraisy

sehingga menemukan kesyahidan. Peristiwa ini semakin menunjukkan karakteristik dan figur-figur
Munafiq di kalangan penduduk Madinah di sekitar Rasulullah saw. Sepulangnya dari Uhud kaum Munafiq
semakin gencar menghina dan mengejek kaum Muslimin dengan ungkapan yang menghinakan.
Celotehan mereka dikomentari al-Qur'an dengan ungkapan, "Dan orang-orang yang tidak turut dalam
berperang itu berkata: 'Sekiranya mereka mengikuti kita tentulah mereka tidak terbunuh'. Katakanlah:
'Tolaklah kematian itu darimu jika kamu orang-orang yang benar'." (Qs.Ali-'Imran (3):168)
Sikap bermusuhan orang Munafiq semakin kentara dengan terjadinya fitnah terhadap Siti Aisyah ra,
yang dalam sejarah dikenal dengan peristiwa Haditsul Ifki. Dalam peristiwa ini Siti Aisyah ra difitnah
terlibat perselingkuhan dengan Shafwan bin Mu'athal seorang sahabat Rasulullah saw setelah
peperangan Bani Musthaliq. Berita bohong tersebut disebarkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul seorang
gembong Munafiq di zaman Nabi. Peristiwa tersebut ditegaskan dalam surat an-Nur (24):11-21.
Puncak permusuhan kalangan kufar Quraisy dan Musyrikin Makkah dengan kalangan Munafiq Madinah
serta Yahudi terjadi dalam peristiwa peperangan Ahzab atau Khandaq. Menurut Ibnu Ishaq dan Jumhur
Ulama sirah peperangan ini berlangsung pada bulan Syawal tahun 5H, ada juga yang mengatakan tahun
4H. Peristiwa Ahzab sendiri diawali dengan pengkhianatan Yahudi Bani Nadhir yang berangkat ke Makkah
dan mendorong Quraisy untuk melancarkan perang terhadap Rasulullah saw. Dalam peristiwa ini
pasukan Ahzab yang terdiri dari kufar Quraisy dan Musyrikin Makkah mengepung Madinah selama lima
hari, karena mereka tidak bisa berlanjut menyerbu Madinah akibat terhalang parit yang digali kaum
Muslimin di sekeliling Madinah. Pengepungan pasukan Ahzab sendiri akhirnya bubar setelah terjadi
perpecahan intern yang disebabkan muslihat 'adu domba' Rasulullah saw. Muslihat tersebut dilakukan
oleh Nu'aim bin Mas'ud, seorang Muslim yang tidak diketahui keislamannya, untuk memecah belah
persatuan pasukan Ahzab. Pertolongan Allah berupa topan memporak-porandakan pasukan tersebut,
kemah-kemah mereka runtuh, sarana dan prasarana mereka porak-poranda dilanda topan yang besar.
Kesemuanya memaksa mereka untuk angkat kaki dari Madinah.
Dari peristiwa tersebut nampak beberapa ibrah, antara lain bahwa:
1) Kaum Muslimin tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikiran yang cermat untuk
mengatasi hambatan. Mereka harus fathonah sepanjang cara tersebut tidak melanggar syar'i. Hal ini
ditunjukkan dengan syiasah perang yang dilakukan dengan penggalian parit yang merupakan usulan
Salman al-Farisi. Satu bentuk taktik perang yang saat itu belum dikenal oleh bangsa Arab. Sehingga Abu
Sufyan mengatakan "Demi Allah, ini bukan cara berperang bangsa Arab" ketika pasukannya menemui
hambatan berupa parit.
2) Kaum Muslimin adalah satu ikatan komunitas tauhid yang sederajat, yang ditunjukkan dengan
kebersamaan mereka dalam penggalian parit. Rasulullah saw sendiri sebagai seorang pimpinan turun
tangan untuk bersama-sama menggali parit, bahkan ketika kaum Muslimin terhambat penggaliannya
dengan adanya batu besar yang tidak bisa dihancurkan, Rasulullah saw yang turun menghancurkannya.
3) Dalam peristiwa tersebut juga terlihat bagaimana sikap Rasulullah saw yang melakukan test case
untuk mengetahui kesiapan para sahabatnya dengan menawarkan kepada para sahabat untuk mencari
jalan damai dengan suku Ghataffan. Sikap para sahabat yang menolak usulan tersebut menjadikan

indikasi kesiapan mereka untuk bertempur habis-habisan yang menjadikan dasar objektif kesiapan
mereka. Karena seorang pimpinan tidak boleh membawa pengikutnya ke dalam kancah pertempuran
yang sengit tanpa pemahaman yang jelas dari pengikutnya akan resiko tindakan tersebut.
4) Pertolongan Allah akan senantiasa diberikan manakala ummat penegak risalah-Nya tetap konsisten,
sabar, ikhlas, dan tawakkal dalam menghadapi berbagai kendala dan hambatan dalam menegakkan
munculnya karakteristik Munafiq di Madinah serta pengkhianatan Yahudi terhadap naskah perjanjian
yang telah disetujui.
Dari peristiwa dalam Perang Badar dapat diambil satu ibrah penting, yaitu: Perang Badar merupakan
tarbiyah illallah bagi kaum Muslimin yang dengan jelas tergambar dalam firman Allah dalam surat alAnfal (8):7, "Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang
kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan
senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan
kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang Kafir."
Pada awalnya kaum Muslimin keluar dari Madinah untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan yang
datang dari Syam. Tetapi Allah menghendaki ghanimah dan kemenangan yang lebih besar lagi bagi
hamba-Nya, di samping merupakan tindakan yang jauh lebih mulia dan lebih sejalan dengan tujuan yang
harus dicapai kaum Muslimin. Allah meloloskan kafilah dagang Abu Sufyan dan justru menghadapkan
kaum Muslimin dengan peperangan yang tidak pernah mereka duga. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
harta kuffar adalah halal untuk dirampas oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu untuk
mengambilnya. Hukum ini telah disepakati para fuqaha. Akan tetapi kendatipun hal ini diperbolehkan,
Allah menghendaki langkah yang lebih mulia dengan cara berjihad dan berkorban harta bahkan jiwa di
jalan-Nya. Al-Maut ayyatu hubbi shadiq (Mati adalah bukti cinta yang paling tinggi).
Para sahabat yang terguncang hatinya dengan kondisi tiba-tiba yang dihadapinya ditenangkan Allah
dengan ungkapan Rasulullah saw yang menegaskan bahwa kemenangan telah diperoleh kaum Muslimin.
Bahkan Rasulullah saw menunjukkan tempat-tempat di mana dan siapa saja yang akan roboh terbunuh
dalam peperangan tersebut. Sekalipun demikian Rasulullah saw sepanjang malam menjelang
pertempuran tersebut berlangsung tetap berdiri dalam kemahnya untuk bermunajat kepada Allah
memohon kemenangan diberikan kepada kaum Muslimin. Satu sikap ubudiyah yang menghantarkan
manusia kepada kedekatan dengan Allah swt, sikap merendahkan diri di hadapan Allah yang
mengundang datangnya pertolongan Allah kepada hamba-Nya. Segala musibah yang diterima hanyalah
mengharuskan manusia berlari kepada Allah untuk menyerahkan diri dan mengakui kelemahan dirinya di
hadapan Khaliq yang Maha Perkasa. Itulah sikap ubudiyah Nabi yang merupakan harga yang harus
dibayar untuk sebuah pertolongan Allah, "Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu,
lalu diperkenankan-Nya bagimu. Sesungguhnya akan Aku datangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu Malaikat yang datang secara gelombang." (Qs.8:9)
Pada periode kedua ini kaum Muslimin dihadapkan pada sikap pengkhianatan Yahudi (Bani Qainuqa)
terhadap perjanjian di antara penduduk Madinah. Peristiwa ini menurut Ibnu Hisyam yang diriwayatkan
dari Abdullah bin Ja'far adalah diawali dengan penghinaan sekelompok Yahudi terhadap seorang wanita

Muslimah. Akibat tindakan tersebut orang Yahudi tersebut dibunuh oleh seorang Muslim yang
mengetahui dan menyaksikan bagaimana aurat bagian belakang wanita Muslimah tersebut tersingkap
akibat perbuatan seorang tukang sepuh Yahudi yang mengkaitkan pakaian Muslimah tersebut. Laki-laki
kaum Muslimin tersebut kemudian dikeroyok oleh orang-orang Yahudi di pasar tersebut sehingga syahid.
Ketika Rasulullah saw akan menghukum kaum Yahudi tersebut Abdullah bin Ubay datang menghalangi
Rasul menjatuhkan hukuman sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Rasulullah kemudian mengusir
Yahudi Banu Qainuqa dari Madinah. Peristiwa ini dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5):51-52
tentang larangan mengambil orang Yahudi sebagai pemimpin.
Peristiwa ini hanyalah menunjukkan bagaimana kedengkian di kalangan orang Yahudi sudah berurat
berakar dalam hati mereka, sehingga ketika ummat Islam memperoleh kemenangan dalam peperangan
Badar kebencian tersebut mencuat ke luar. Kedengkian mereka terlihat dengan sikap pongah Yahudi yang
meremehkan kemenangan ummat Islam dan tindakan jahat mereka dalam peristiwa di atas. Peristiwa
tersebut di atas juga menunjukkan bagaimana sikap Munafiq yang menyimpan kedengkian dan
kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin. Tetapi kendati demikian peristiwa tersebut juga
mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap seorang Munafiq. Islam memiliki
dua aspek hukum, yaitu hukum syar'i yang diterapkan di dunia di bawah kendali seorang khalifah dan
hukum Allah kelak di Yaumul Akhir di hadapan mahkamah pengadilan Allah yang Maha Adil. Seorang
Munafiq seperti Abdullah bin Ubay tetap diperlakukan sebagai seorang Muslim, bahkan permintaannya
untuk membebaskan Yahudi Qainuqa yang melanggar perjanjian dengan Rasul diluluskan. Aspek hukum
pertama harus didasarkan kepada bukti empirik dan fakta nyata, sedangkan aspek ruhaniah Allah-lah
yang akan menghukumnya kelak di pengadilan Illahi di negeri Akhirat.
Peperangan Uhud adalah kejahatan pahit yang diderita oleh kaum Muslimin, akan tetapi peperangan ini
juga menunjukkan bagaimana kecintaan para sahabat terhadap pemimpinnya Nabiyullah Muhammad
saw. Ketika kemenangan kaum Muslimin berubah menjadi bencana akibat ketelodoran risalah-Nya. Sikap
tersebut di atas hanyalah akan wujud dengan adanya bekal aqidah yang benar dalam dada setiap
Muslim.
Periode kedua ini berakhir dengan ditanda-tanganinya naskah Perjanjian Hudaibiyah pada bulan
Dzulqaidah di penghujung tahun 6H. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan tadbir Illahi yang merupakan
rahasia Illahi. Oleh karena itu alangkah wajarnya jika kaum Muslimin yang hadir di peristiwa tersebut
sama terkejut dan terperanjat melihat peristiwa tersebut, dikarenakan mereka lebih banyak
mengandalkan pemikiran dan pertimbangan sendiri. Perdamaian ini hakekatnya adalah muqadimah
menuju kepada futuh Makkah. Segera setelah perdamaian tersebut ditanda-tangani dan diumumkan,
maka terjadilah gelombang da'wah yang luar biasa di kalangan penduduk Madinah dan sekitarnya.
Ummat Islam memiliki keleluasaan untuk menjelaskan tentang Islam dan melancarkan da'wah yang
universal. Sehingga ummat yang masuk ke dalam barisan Rasulullah saw bahkan lebih banyak dari
sebelum peristiwa itu terjadi. Oleh sebab itulah al-Qur'an menamai peristiwa ini sebagai fathan mubina
(Qs.48:1).
Hikmah lainnya adalah, dengan peristiwa tersebut Allah menunjukkan perbedaan yang sangat jelas
antara wahyu dan rekayasa pemikiran manusia, antara bimbingan Nabi dan pemikiran seorang jenial,

antara ilham Illahi yang datang dari alam luar sebab-akibat dan memperturutkan sebab-akibat.
Barangkali inilah salah satu bentuk ungkapan al-Qur'an: "Dan supaya Allah menolongmu dengan
pertolongan yang kuat" satu bentuk pertolongan yang unik, yang merupakan rekayasa Illahi, sehingga
menyentak setiap akal manusia, karena kesemuanya merupakan tadbir Illah yang hanya akan difahami
oleh manusia seperti Nabi saw yang berjalan, berucap, dan berbuatnya senantiasa di bawah bimbingan
wahyu. Wallahu'alam.