KONFLIK PERKAWINAN DAN KEMAMPUAN MARITAL

KONFLIK PERKAWINAN DAN KEMAMPUAN MARITAL
ADJUSTMENT
1. Konsep Perkawinan
Di Indonesia, agar hubungan pria dan wanita diakui secara hukum maka
perkawinan

diatur dalam suatu undang-undang. Dalam Undang-Undang

Republik Indonesia (UU RI) No. 1/ 1974 pasal 1 tentang perkawinan, dijelaskan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam UndangUndang tersebut definisi perkawinan tidak hanya bersatunya pria dan wanita
secara lahir, namun juga secara batin dan juga mempunyai nilai yang luhur
karena dilandasi nilai ke-Tuhanan pada proses pembentukannya.
Dyer (dalam Rahadi, 2011), mendefinisikan perkawinan sebagai suatu
subsistem dari hubungan yang luas dimana dua orang dewasa dengan jenis
kelamin berbeda membuat sebuah komitmen personal dan legal untuk hidup
bersama sebagai suami dan istri. Terruwe (dalam Maramis & Yuwana, 2003),
menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu persatuan. Persatuan itu
diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh seorang pria pada
isterinya, dan wanita pada suaminya. Kemudian menurut Goldberg (dalam

Williams, dkk, 2006), perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat
populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang
tahan uji. Perkawinan sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang
bertahan lama dan bahkan abadi serta pelestarian kebudayaan dan terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan interpersonal.
Menurut Kartono (2003), pengertian perkawinan merupakan suatu institusi
sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna
perkawinan berbeda-beda, tetapi pada prakteknya perkawinan dihampir semua
kebudayaan cenderung sama, perkawinan menunjukkan pada suatu peristiwa
saat sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan ketua
agama, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi
dengan upacara dan ritual-ritual tertentu.

1

2

Melalui beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
perkawinan adalah hubungan antara wanita dan pria yang membuat sebuah
komitmen personal dan legal untuk hidup sebagai suami dan istri dengan

menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah
menikah, dimana didalamnya terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai
anak dan menetapkan pembagian tugas antara suami istri.
Sebagaimana definisi dan kesimpulan tentang perkawinan, diketahui pula
bahwa kehidupan perkawinan memiliki proses dan tahapan (Sadarjoen,2005),
bahwa setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran
dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga saling

meninggal yang

disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers dalam Sadarjoen, 2005).
Anderson, dkk (dalam Pradipta dan Prihanto, 2011), membagi tahapan
perkawinan menjadi tahap sebelum kehadiran anak pertama, kehadiran anak dan
setelah keluarnya anak dari rumah. Cole (dalam Sadarjoen, 2005), membagi
tahapan perkawinan menjadi awal perkawinan, kelahiran dan mengasuh anak
dan emptynest sampai usia tua. Tahap perkawinan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
2. Konflik Perkawinan
a. Pengertian Konflik Perkawinan
Finchman (Giudici, dkk, 2011), mendefinisikan konflik perkawinan

sebagai keadaan suami istri yang sedang menghadapi masalah dalam
perkawinannya dan hal tersebut nampak dalam perilaku mereka yang
cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik. Sprey (dalam
Gottman dan Driver, 2005), menyatakan bahwa konflik dalam perkawinan
terjadi dikarenakan masing-masing individu membawa kebutuhan, keinginan
dan latar belakang yang unik dan berbeda.
Papalia and Old’s (dalam Heffner, dkk, 2004), menyatakan bahwa
konflik perkawinan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri di
mana konflik tersebut memberikan efek atau pengaruh yang signifikan
terhadap relasi kedua pasangan. Lebih lanjut Sadarjoen (2005); dan Hawadi
(2010), menyatakan bahwa konflik tersebut muncul karena adanya persepsi,
harapan yang berbeda serta ditunjang oleh keberadaan latar belakang,

3

kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk
menjalin ikatan perkawinan.
An-Nuaimin (2006), menjelaskan bahwa perselisihan, pertentangan dan
konflik dalam suatu rumah tangga merupakan sesuatu yang terkadang tidak
bisa dihindari, tetapi harus dihadapi. Hal ini karena dalam suatu perkawinan

terdapat penyatuan dua pribadi yang unik dengan membawa sistem keyakinan
masing-masing berdasar latar belakang budaya serta pengalaman yang
berbeda-beda. Perbedaan yang ada tersebut perlu disesuaikan satu sama lain
untuk membentuk sistem keyakinan baru bagi keluarga mereka. Proses inilah
yang seringkali menimbulkan ketegangan, ditambah lagi dengan sejumlah
perubahan yang harus mereka hadapi, misalnya perubahan kondisi hidup,
perubahan kebiasaan atau perubahan kegiatan sosial.
Menurut Mubarok (2004), dan penelitian Sriningsih (2005), bahwa
munculnya konflik perkawinan membawa individu pada suatu pilihan untuk
menyesuaikan diri. Apabila suami-istri menemui konflik tipe personality
based dan situational conflict, yaitu konflik yang didasari oleh situasi dan
latar belakang kepribadian, sehingga penyesuaian diri dapat dilakukan dengan
memulai aksi, memahami sebab-sebab terjadinya konflik, atau dengan
berusaha mengerti keadaan pasangan.
Chaerani (2005); Maramis dan Yuwana (2003), Dagun (2002); Kuntaraf
dan Kuntaraf (1999), menyatakan bahwa masalah sering timbul dalam
kehidupan perkawinan akan mempengaruhi tingkat konflik perkawinan, di
antaranya adalah masalah :
1) Komunikasi. Salah satu hal yang sampai saat ini diyakini sebagai
penyebab utama konflik atau masalah adalah komunikasi yang buruk. Ini

bisa berupa verbalisasi yang tidak jelas, cara bicara yang menyakitkan,
penggunaan kata-kata yang kurang baik, ekspresi wajah yang tidak
menyenangkan, nada suara yang merendahkan atau melecehkan pihak
lain, dan sebagainya.
2) Pembagian peran. Pembagian peran dalam kehidupan rumah tangga
penting. Kalau pembagian itu tidak seimbang, maka dapat dipastikan
konflik akan muncul. Sejak awal pernikahan, setiap pasangan suami-istri
melakukan peran dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam pernikahannya.

4

Pembagian peran bisa dijelaskan berdasarkan jenis kelamin atau
berdasarkan kemampuan dan keterampilan masing-masing.
3) Perbedaan inidividual. Potensi sumber masalah terbesar

dalam

perkawinan adalah perbedaan individu suami-istri, terutama yang
bersumber pada sistem nilai dan ciri kepribadian masing-masing suamiistri. Nilai-nilai yang berbeda sangat mudah menimbulkan masalah,
apalagi pada saat mengambil keputusan.

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konflik
perkawinan adalah pergumulan mental antara suami istri yang disebabkan
oleh keberadaan dua pribadi yang memiliki pandangan, temperamen,
kepribadian dan tata nilai yang berbeda dalam memandang sesuatu dan
menyebabkan pertentangan sebagai akibat dari adanya kebutuhan, usaha,
keinginan atau tuntunan dari luar dalam yang tidak sesuai atau bertentangan.
b. Aspek Konflik Perkawinan
Skala konflik perkawinan
mengacu pada aspek-aspek konflik
perkawinan yang dikemukakan oleh Gottman dan Declaire (dalam Miga, dkk,
2011); dan Dagun (2002), serta aspek yang digunakan dalam penelitian Dewi
dan Basti, (2008); dan Driver dan Gottman (2004), yaitu:
1) Partner violence, yakni kekerasan fisik pada pasangan, yang ditandai
dengan adanya perilaku yang menunjukkan kekerasan fisik dari salah
satu pasangan kepada pasangannya; atau kedua pasangan tersebut
menunjukkan kekerasan fisik. Contohnya menampar pasangannya atau
saling memukul.
2) Verbal aggression, yakni kekerasan secara verbal, menurut penelitian
Driver dan Gottman (2004), ditandai dengan adanya perilaku yang
menunjukkan penghinaan, kecaman atau ancaman yang dilontarkan oleh

salah satu pasangan kepada pasangannya; atau kedua-duanya saling
menyerang secara verbal yang berakibat menyakiti atau melukai perasaan
pasangannya saat konflik terjadi (dalam Dewi dan Basti, 2008).
3) Unbending stance, yaitu sikap bertahan sebagai bentuk upaya membela
diri saat konflik terjadi atau upaya mempertahankan diri atas serangan
umpatan dari pasangannya. Sikap ini bisa terjadi secara verbal dan tidak
verbal. Contohnya sikap secara verbal, yaitu dengan sikap yang keras

5

kepala dan menggunakan logika, individu berusaha mempertahankan
pendapatnya dan merasa pendapatnyalah yang paling benar.
4) Withdraw from partner, yakni menarik diri dari interaksi pasangannya,
yaitu perilaku yang menunjukkan penghindaran dengan pasangannya dan
biasanya pasangannya menunjukkan perilaku diam seribu bahasa
daripada melontarkan kekecewaan terhadap pasangannya (dalam Miga,
dkk, 2011).
3. Penyesuaian Perkawinan (Marital Adjustment)
a. Pengertian Penyesuaian Perkawinan
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah

adjustment atau personal adjustment. Schneiders (dalam Hurlock, 2005)
berpendapat bahwa penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang,
yaitu: penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri
sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha
penguasaan (mastery). Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan
adaptasi (adaptation), padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah
pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya,
seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus
beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah dingin tersebut. Ada juga
penyesuaian diri diartikan sama dengan penyesuaian yang mencakup
konformitas terhadap suatu norma. Pemaknaan penyesuaian diri seperti ini
pun terlalu banyak membawa akibat lain. Menurut Desmita (2009), melalui
pengertian penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, menyiratkan bahwa
individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu
menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial,
maupun emosional. Sudut pandang berikutnya adalah bahwa penyesuaian diri
dimaknai sebagai usaha penguasaan (mastery), yaitu kemampuan untuk
merencanakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu
sehingga konflik-konflik, kesulitan dan frustrasi tidak terjadi.
Schneiders (dalam Semiun, 2005), menyatakan bahwa penyesuaian diri

di sini akan mengungkapkan seluruh kemampuan individu untuk mengatasi

6

lingkungan secara efektif, di dalam lingkungan masyarakat yang penuh
dengan aturan, individu harus bisa memelihara individualitas, pada saat yang
sama harus pula bisa mencocokkan diri dengan lingkungan masyarakat.
Schneiders (1964) dan Schneiders (dalam Hurlock, 2005), mengungkapkan
bahwa individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik (well adjustment
person) adalah mereka yang dengan segala keterbatasannya, kemampuannya
serta kepribadiannya telah belajar untuk bereaksi terhadap diri sendiri dan
lingkungannya dengan cara efisien, matang, bermanfaat dan memuaskan.
Efisien artinya bahwa apa yang dilakukan individu tersebut dapat
memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan tanpa banyak
mengeluarkan energi, tidak membuang waktu banyak, dan sedikit melakukan
kesalahan.
Matang artinya bahwa individu tersebut dapat memulai dengan melihat
dan menilai situasi dengan kritis sebelum bereaksi. Bermanfaat artinya bahwa
apa yang dilakukan individu tersebut bertujuan untuk kemanusiaan, berguna
dalam lingkungan sosial, dan yang berhubungan dengan Tuhan. Lebih l;anjut

dapat dijelaskan bahwa memuaskan berarti apa yang dilakukan individu
tersebut dapat menimbulkan perasaan puas pada dirinya dan membawa
dampak yang baik pada dirinya dalam bereaksi selanjutnya. Seseorang dapat
menyelesaikan konflik-konflik mental, frustasi dan kesulitan-kesulitan dalam
diri maupun kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya serta
tidak menunjukkan perilaku yang memperlihatkan gejala menyimpang.
Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang
kontinu dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda
(Desmita, 2009). Interaksi dengan diri sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari
apa yang telah ada pada seseorang: tubuh, perilaku, dan pemikiran serta
perasaaan dirisendiri adalah sesuatu yang dihadapi individu setiap detik.
Interaksi dengan orang lain, jelas berpengaruh pada individu, sebagaimana
individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Menurut Hurlock (2005),
penyesuaian juga merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang
mengatur atau memenuhi keinginan dan tantangan dalam kehidupan sehari-

7

hari, salah satu bentuk penyesuaian diri adalah penyesuaian terhadap
perkawinan.

German (2008), mendefinisikan penyesuaian perkawinan

sebagai

proses adaptasi antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat
mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui
proses penyesuaian diri. Lasswel & Lasswel (dalam Desmita, 2009),
mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan

adalah dua individu yang

belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masingmasing, ini berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan.
Penyesuaian perkawinan

bukan suatu keadaan absolut melainkan suatu

proses yang panjang karena setiap orang dapat berubah sehingga setiap waktu
masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian perkawinan (Marital
Adjustment).
Penyesuaian perkawinan juga merupakan suatu proses memodifikasi,
mengadaptasi, mengubah individu dan pola perilaku pasangan serta adanya
interaksi untuk mencapai kepuasan yang maksimum dalam perkawinan
(DeGenova, 2008). Atwater (dalam Koerner and Fitzpatrick, 2002), juga
menambahkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan perubahan dan
penyesuaian dalam kehidupan perkawinan yang meliputi beberapa aspek
dalam kehidupan perkawinan, seperti penyesuaian terhadap hidup bersama,
penyesuaian peran baru, penyesuaian terhadap komunikasi dan penyelesaian
konflik, serta penyesuaian terhadap hubungan seksual dalam perkawinan dan
penyesuaian terhadap kewarganegaraan.
Laswell & Laswell (dalam Jamabo and Ordu, 2012) Marital Adjustment
merupakan penyesuaian satu sama lain diantara dua individu terhadap
kebutuhan, keinginan dan harapan. Atau dengan kata lain, setiap pasangan
harus fleksibel dan mempunyai keinginan untuk berubah (Atwater dan
Duffy,dalam Jamabo and Ordu, 2012) agar dapat mencapai derajat
kenyamanan yang baik dalam hubungan tersebut.
Penyesuaian dalam perkawinan atau Marital Adjustment sebenarnya
mencakup sosialisasi secara sosial dan psikologis (dalam Sadarjoen, 2005).
Kurdek dan Smith (dalam Jamabo and Ordu, 2012; dan German, 2008)

8

menyebutkan ada tiga tahap yang dilalui pasangan suami-istri dalam usaha
membangun perkawinan mereka, yaitu fase percampuran (blending), fase
penjalinan hubungan (nesting), dan fase pemeliharaan (maintaining). Fase
pencampuran terjadi pada tahun pertama dimana suami dan istri belajar hidup
bersama dan memahami bahwa mereka saling tergantung sehingga perbuatan
seseorang akan mempunyai konsekuensi terhadap yang lain. Fase penjalinan
hubungan terjadi antara tahun kedua dan ketiga. Suami dan istri pada fase
kedua ini mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka sehingga mulai
timbul konflik dalam perkawinan. Fase pemeliharaan biasanya dimulai
setelah tahun keempat. Pada fase ini tradisi sudah mulai dapat teratasi,
sehingga kualitas dari perkawinan itupun sudah mulai terlihat.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian
perkawinan adalah suatu proses dimana dua orang yang memasuki tahap
perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami
istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan
keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan,
serta saling menyesuaikandiri di beberapa aspek perkawinan untuk mencapai
kepuasan maksimum dalam perkawinan.
Kurdek dan Smith (Indrawati dan Fauziah, 2012); dan Atwater dan
Duffy (dalam Machaty, 2013), serta Jamabo dan Ordu (2012), menyebutkan
beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu:
1) Persiapan yang terbatas untuk perkawinan. Persiapan yang terbatas dari
suami-istri dalam keterampilan rumah tangga, mengasuh anak, serta
manajemen uang membuat pasangan kesulitan dalam penyesuaian
perkawinannya.
2) Peran dalam perkawinan. Kecenderungan terhadap perubahan peran
dalam perkawinan bagi pria dan wanita, kemudian konsep yang berbeda
tentang peran yang dianut kelas sosial dan kelompok religious yang
berbeda, membuat penyesuaian perkawinan lebih sulit dari pada masa lalu
ketika peran-peran sudah ditentukan.
3) Kawin muda. Perkawinan dan kedudukan sebagai orang tua sebelum
pasangan muda menyelesaikan pendidikan dan belum mandiri secara

9

ekonomi membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk
mempunyai pengalaman yang dipunyai teman-teman mereka.
4) Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan Orang dewasa yang
bekerja disekolah dan perguruan tinggi, dengan sedikit atau tanpa
pengalaman kerja, cenderung mempunyai konsep yang tidak realistis
tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan, deprivasi,
pembelanjaan uang atau perubahan dalam pola hidup.
5) Perkawinan campur. Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua
dan dengan para saudara dari pihak istri dan sebaliknya, jauh lebih sulit
dalam perkawinan antar agama daripada bila keduanya berasal dari latar
belakang budaya (agama) yang sama.
6) Masa pacaran yang singkat. Periode atau masa pacaran yang lebih singkat
berdampak pada setidaknya waktu bagi pasangan untuk memecahkan
banyak masalah tentang penyesuaian sebelum mereka melangsungkan
perkawinan. Grover (dalam Machaty, 2013) menyatakan ada pengaruh
yang sangat tinggi antara lamanya waktu pacaran dengan kepuasan
perkawinan yang merupakan indikator dari penyesuaian perkawinan yang
baik.
7) Konsep perkawinan yang romantis. Banyak orang dewasa yang
mempunyai konsep perkawinan yang romantis yang berkembang pada
masa remaja. Pada saat pacaran masing-masing pasangan merasakan
adanya suatu keadaan yang romantic dan mereka menganggap bahwa
keadaan itu akan selalu ada ketika mereka telah melangsungkan
perkawinan, namun banyak pasangan menemukan bahwa perkawinan
yang

romantis dan bulan madu tidak akan abadi selamanya (dalam

Machaty, 2013)
Menurut Santrock (2003), dan Willson (dalam Lawrence, dkk, 2008);
dan Lawrence (dalam Gerard, dkk, 2006); Woothward (dalam Graber, dkk,
2011), meliputi: konsep pasangan yang ideal, pemenuhan kebutuhan,
kesamaan latar belakang, minat dan kepentingan bersama, kesamaan nilai,
konsep peran, dan perubahan dalam pola hidup.
b. Aspek Penyesuaian Perkawinan

10

Kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan dari Hurlock (dalam
Pradipta dan Prihanto, 2011), dan Smith (dalam Parker, dkk, 2011), dan
German (2008), untuk mengungkapkan gambaran penyesuaian perkawinan
pada pasangan yaitu :
1) Dyadic consensus atau kesepakatan hubungan adalah kesepahaman atau
kesepakatan antar pasangan dalam berbagai masalah dalam perkawinan
seperti keuangan, rekreasi, keagamaan. Perkawinan mempertemukan dua
orang dengan ciri-ciri pribadi, nilai-nilai yang dianut, dan berbagai
karakteristik pribadi yang berbeda (dalam German, 2008). Dalam
hubungan perkawinan, pasangan juga akan menemukan berbagai
permasalahan yang harus diputuskan (Arnold & Parker dalam Parker,
et,al,2011).
2) Dyadic cohesion atau kedekatan hubungan adalah kebersamaan atau
kedekatan, yang menunjukkan seberapa banyak pasangan melakukan
berbagai kegiatan secara bersama-sama dan menikmati kebersamaan
yang ada (Miller dalam Hurlock, 2005). Jhonson dalam Pradipta dan
Prihanto, 2011) menyatakan bahwa sumber kedekatan yaitu berbagi
pengalaman di antara pasangan yang berlangsung selama bertahun-tahun,
baik itu pengalaman kegagalan atau pengalaman kesuksesan.
3) Satisfaction atau kepuasaan hubungan adalah derajat kepuasan dalam
hubungan. Atwater (dalam Pradipta dan Prihanto, 2011) dan Benokraitis
(dalam German, 2008) menyatakan bahwa peran (suami-istri) yang
dijalankan sangat berperan dalam kepuasan hubungan perkawinan.
Blumstein (dalamGerman, 2008) menyatakan bahwa pasangan yang baru
melakukan perkawinan melakukan proses identity bargaining dimana
pasangan saling menyesuaikan diri kembali sesuai harapan ideal masingmasing pasangan, yaitu menyesuaikan antara kenyataan (realities)
kehidupan perkawinan mereka dengan harapannya.
4) Affectional expression atau ekspresi afeksi adalah kesepahaman dalam
menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun masalah yang ada
mengenai hal-hal tersebut. Bagi beberapa orang tidak mudah untuk
membiarkan orang lain mengetahui siapa mereka, apa yang dirasakan

11

atau apa yang mereka fikirkan. Menurut Knox (dalam German, 2008)
rasa percaya terhadap orang lain merupakan keadaan dimana orang
mempunyai kemauan untuk terbuka satu sama lain. Pasangan suami-istri
harus merasa bahwa apapun perasaan atau informasi yang mereka
bagi/kemukakan (share) tidak akan dikritik dan merasa tetap aman
berada pada orang yang mereka percayai.
Referensi
An-Nuaimin, T.K. (2006) Psikologi suami istri: Memahami perbedaan tabiat dan
karakter seks laki-laki dan perempuan demi membangun keharmonisan hidup
berkeluarga. Yogyakarta: Mitra pustaka
Askari, M., Abbas, B., Noah, S.B.N., Hassan, SA., & Baba, M (2012).
Comparison the Effects of Communication and Conflict Resolution Skills
Training on Marital Satisfaction. International Journal of Psychological
Studies. Vol. 4, No. 1; p: 182-195
Chaerani, L. (2005). Psikologi Perempuan & Konseling keluarga. Yogyakarta:
penerbit Liberty
Dagun, M. (2002). Psikologi Keluarga, Jakarta: Rineka Citra
Dewi, E.M.P., &Basti, (2008). Marriage Conflict And Resolution Model Married
Couples. Jurnal Psikologi, Volume 2, No, hal: 42-51
Donna, Debby Faura dan Lengkong, Felix, (21012). Penyesuaian Perkawinan
Pada Pasangan yang Menikah Tanpa Proses Pacaran (ta’aruf). Thesis,
Fakultas Psikologi, Diambil tanggal 4 Januari 2015, dari
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/../Artikel_10503039.pdf
Driver, JL., &Gottman, JM (2004). Daily Marital Interactions and Positive Affect
During Marital Conflict Among Newlywed Couples. Family Process Journal,
Vol. 43, No. 3, p: 301-314
Farida, A. (2007). Perempuan dalam Cerai Gugat di Tanggerang, Perempuan
dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas dan Adat.
Jakarta: Balai Litbang Agama Depag RI.
Gerard, J.M., Krishnakumar, A., and Buehler, C (2006). Marital Conflict, ParentChild Relations, and Youth Maladjustment: A Longitudinal Investigation of
Spillover Effects. Journal of Family Issues, Volume: 27, Number 7, p: 951975

12

German, N.M (2008). Depression and Marital Adjustment. University of
Tennessee
Honors
Tesis
Projects.
Diambil
dari:
http://trace.tennessee.edu/utk_chanhonoproj/1182
Giudici, F., Widmer, E., and Ghisletta, P, (2011), A sociological assessment of
conjugal conflict. Sociologia, Problemas E Práticas Journal. No. 67, pp: 9-21
Gottman, J.M., &Driver, JL, (2005). Dysfunctional Marital Conflictand Everyday
Marital Interaction. Journal of Divorce & Remarriage, Vol. 43, p: 63-77
Graber, E.C., Laurenceau, JP., Chango, EMJ., and Coan, J (2011), Conflict and
Love : Predicting Newlywed Marital Outcomes From Two Interaction
Contexts. Journal of Family Psychology, Vol. 25, No. 4, p: 541–550
Gunarsa, S (2003). Sosiologi Keluarga. Cetakan ke-15. Bandung : Penerbit PT.
Rosdakarya.
Hashmi, HA., Khurshid, M., and Hassan, I (2007). Marital Adjustment, Stress and
Depression among Working and Non-Working Married Women. Internet
Journal of Medical Update, Vol. 2, No. 1, p: 19-26
Hawadi, L.F (2010). Perkawinan dan keluarga. Artikel ilmiah. Diambil dari
http://www.reni-akbar./2010/05/psikologi-perkawinan-dan-keluarga.html
Heffner, K.L., Kiecolt-Glaser, J.K., Loving, J.L., Glaser, R., & Malarkey, W.B,
(2004). Spousal Support Satisfaction as a Modifierof Physiological
Responses to Marital Conflictin Younger and Older Couples. Journal of
Behavioral Medicine, Vol. 27, No. 3, p: 233-254
Hurlock, B. E., (2005). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. Edisi keenam. (Pengalih bahasa : Istiwidayanti dan
Soejarwo). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Indrawati, ES., dan Fauziah, N, (2012), Attachment dan Penyesuaian Diri dalam
Perkawinan. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 11, No.1, Hal: 40-49
Jamabo, T and Ordu, SN (2012). Marital adjustment of working class and nonworking class women in Port Harcourt metropolis, Nigeria. International
Journal of Psychology and Counselling, Vol. 4(10), pp. 123-126,
Koerner, A.F., andFitzpatrick, MA (2002). Non Verbal Communication and
Marital Adjustmentand Satisfaction : The Role of Decoding Relationship
Relevantand Relationship Irrelevant Affect. Communication Monographs,
Journal.Vol.69,No.1,pp: 33–51

13

Laura C.F., Skibbe, LE., Bowles, PR., Blow, JA., and Gerde, KA., (2013). Marital
Satisfaction, Family Emotional Expressiveness, Home Learning
Environments, and Children’s Emergent Literacy. Journal of Marriage and
Family,Vol. 75, p: 42 – 55
Lucas,Richard E. (2007). Adaptation and the Set-Point Model of Subjective WellBeing: Does Happiness Change after Major Life Events?” Current Directions
in Psychological Science, diambil dari http://www.psychologicalscience.org.
Machaty, A (2013). Dispositional Optimism and Marital Adjustment. Family
Sciences. Paper 7.University of Kentucky, Knowledge diambil dari:
http://uknowledge.uky.edu/hes_etds/7
Maramis, W.F. & Yuwana, T.A. (2003). Dinamika Perkawinan Masa Kini.
Malang: Penerbit Diana
McNulty , J.K & Fincham, F.D (2011). Beyond Positive Psychology ? Toward a
Contextual View of Psychological Processes and Well-Being. American
Psychological Association, Vol. 67, No. 2, p: 101–110
Miga, EM, Gdula, JA & Allen, JP (2011). Fighting Fair: Adaptive Marital
Conflict Strategies as Predictors of Future Adolescent Peer and Romantic
Relationship Quality. Social Development Journal. Vol.4, isuue:8, p: 1-19
Moen, D.A (2011). Newlywed to Established Marriage: A Longitudinal Study of
Early Risk and Protective Factors that Influence Marital Satisfaction. All
Graduate Theses and Dissertations. Paper 1127, diambil dari: Utah State
University, diambil dari: http://digitalcommons.usu.edu/etd/1127
Mubarok, Ahmad. (2004).Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah Hingga
Keluarga Bangsa, Jakarta: PT Bina Rena Pariwana
Ngozi, O-Peter, N & Stella, A (2013). The Impact of Marital Conflicts on the
Psychosocial Adjustment of Adolescents in Lagos Metropolis, Nigeria.
Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies
(JETERAPS),Vol: 4(2), p: 320-326
Papalia, D. E., S. W., & Feldman, R.D. (2004). Human development. (9th ed).
USA: Mc Graw-Hilll Companies, Inc.
Pradipta, M dan Prihanto, S (2011). Newlywed Couples’ Marital Adjustment.
Anima, Indonesian Psychological Journal. Vol. 26, No. 3, 214-219
Pujiastuti, E., dan Retnowati, S (2004). Kepuasan Pernikahan dengan Depresi
pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan yang Tidak
Bekerja.Humanitas Indonesian Psychological Journal. Vol. p: 1: 1-9.

14

Robila, M & Krishnakumar, K (2005). Effects of Economic Pressure on Marital
Conflict in Romania. Journal of Family Psychology. Vol. 19, No. 2, p: 246–
251
Rowatt, G.W. & Rowatt, M.J. (1992). Bila suami-istri bekerja. Yogyakarta:
Kanisius
Sadarjoen, S.S (2005). Konflik marital. Pemahaman konseptual, aktual, dan
alternatif solusinya. Bandung: PT Refika Aditama.
Santrock, J.W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi
5, Jilid 1, alih bahasa, Juda Damanik & Ahmad Chusairi. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Waite, L.J. & Gallagher, M. (2003). Selamat menempuh hidup baru: Manfaat
perkawinan dari segi kesehatan, psikologi, seksual, dan keuangan. (alih
bahasa: Eva Yulia Nukman). Bandung: Mizan Media Utama.
Yanuarti, D& Sriningsih (2012), Penyesuaian diri terhadap konflik perkawinan
pada suami atau istri bekerja.Insight Psychology Journal, Vol. 2, hal: 142-152