SEJARAH RINGKAS PAHAM MU TAZILAH DAN I T

MAKALAH AGAMA ISLAM V

SEJARAH RINGKAS PAHAM MU’TAZILAH DAN I’TIQAD
KAUM MU’TAZILAH YANG BERTENTANGAN DENGAN
I’TIQAD KAUM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

OLEH:
KELOMPOK 3 KELAS V C
M. TURMIDZI JAMIL
NURIL FIRDAUS
SOFAN AFANDI
ZAHRO ROFIATUL R.

NIM 2120730132
NIM 2120730105
NIM 2120730097
NIM 2120730122

JURUSAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG

NOVEMBER 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan
makalah Agama Islam ini tepat pada waktunya. Kami sangat berharap makalah
ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai sejarah ringkas paham Mu’tazilah dan i’tiqad kaum Mu’tazilah yang
bertentangan dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan dimasa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Malang, 23 November 2014

Kelompok 3


2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................... i
BAB I...................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1.

Latar Belakang............................................................................... 1

1.2.

Rumusan Masalah...........................................................................1

1.3.

Tujuan......................................................................................... 1


1.4.

Manfaat........................................................................................ 2

BAB II..................................................................................................... 3
PEMBAHASAN......................................................................................... 3
2.1.1. Paham Mu’tazilah.............................................................................3
2.1.2. Asal-Usul Mu’tazilah.........................................................................3
2.1.3. Gerakan Kaum Mu’tazilah..................................................................4
2.1.4.

Kedudukan Aqal Bagi Mu’tazilah.....................................................4

2.1.5.

Filsafat Yunani............................................................................ 5

2.1.6.


Suka Berdebat.............................................................................5

2.1.7.

Dasar – dasar pokok pengajian Mu’tazilah..........................................5

2.1.8.

Aliran-Aliran Dalam Kaum Mu’tazilah..............................................6

2.2.
I’tiqad Kaum Mu’tazilah Yang Bertentangan Dengan I’tiqad Ahlussunnah Wal
Jama’ah................................................................................................. 6
2.2.1. Buruk Dan Baik Ditentukan Oleh Aqal...................................................6
2.2.2. Tuhan Allah Tidak Punya Sifat.............................................................7
2.2.3. Qur’an Makhluk...............................................................................8
2.2.4.

Pembuat Dosa Besar...................................................................10


2.2.5.

Tuhan Tidak Dapat Dilihat...........................................................12

2.2.6.

Mi’raj Nabi Muhammad..............................................................13

2.2.7.

Manusia Menjadikan Pekerjaannya.................................................15

2.2.8.

Arsy Dan Kursi.........................................................................15

2.2.9.

Malaikat Kiraman Katibin............................................................17


2.2.10.

Yang Kekal..............................................................................18

2.2.11.

Tidak Ada Timbangan, Hisab, Titian, Kolam, Dan Syafa’at...................19

2.2.12.

Azab Kubur..............................................................................20

2.2.13.

Soal Shilah Wal Ashlah...............................................................21

BAB III.................................................................................................. 23
PENUTUP............................................................................................... 23
3.1. Kesimpulan..................................................................................... 23
3.2. Saran............................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 24

2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Setelah wafatnya nabi Muhammad SAW. Timbullah persoalan tentang siapa

yang berhak memegang khalifah (pimpinan umat Islam).

Karena semasa

Rasulullah masih hidup tidak memberikan ketentuan yang kongkrit bagaimana
kepemimpinan umat Islam setelah beliau wafat.
Pertama kali yang diperselisihkan adalah masalah imamah dan syaratsyaratnya, serta siapa yang berhak memegangnya. Kemudian dari persoalan ini
berkembang ke masalah-masalah lain yang terkait, misalnya soal imam apa

pengertian imam itu dan bagaimana batasan-batasannya, serta hubungannya
dengan amal perbuatan yang lain.

Akibat dari masalah dosa besar ini

menimbulkan golongan-golongan Khawarij, Murji’ah, dan kemudian disusul
golongan Mu’tazilah. Semula masalah tersebut hanyalah tendesi politik tetapi
kemudian mengembang menjadi tendesi agama.
Dari sekian jumlah firqah-firqah dalam Islam, dalam makalah ini kami akan
mnjelaskan sejarah ringkas paham Mu’tazilah dan i’tiqad kaum Mu’tazilah yang
bertentangan dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dengan begitu
pembaca makalah ini dapat memahami sejarah Mu’tazilah dan i’tiqad kaum
Mu’tazilah yang bertentangan dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
1.2.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sejarah ringkas paham
Mu’tazilah dan i’tiqad kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan i’tiqad
kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.


1.3.

Tujuan
Tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Agama Islam V.

1.4.

Manfaat
Pembaca dapat mengetahui sejarah ringkas paham Mu’tazilah dan i’tiqad
kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah Wal
Jama’ah.

2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Ringkas Paham Mu’tazilah
2.1.1. Paham Mu’tazilah


Kaum mu’tazilah adalah kaum yang membikin heboh dunia islam selama
300 tahun pada abad permulaan islam. Kaum mu’tazilah juga pernah membunuh
ulama – ulama islam. Salah satu diantaranya ulama besar yang menjadi pengganti
Imam Syafi’i yaitu Syeikh Buwaithi. Selain itu Imam Ahmad Bin Hambal
pembangun madzhab Hambali juga mengalami siksaan selama 15 tahn akibat
peristiwa tersebut. Dalam sejarah munculnya paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah
yang di ketuai oleh Imam Abu Hasan Al As’ari karena hendak melawan paham
Mu’tazilah yang salah dan sesat.

Oleh karna itu paham Mu’tazilah sudah

selayaknya mendapat sorotan dananalisa yang jelas agar supaya umat islam tidak
terperosok ke dalam i’tiqodnya.
2.1.2. Asal-Usul Mu’tazilah

Perkataan Mu’tazilah berasal berasal dari kata patizal yang artinya
menyisihkan. Kaum Mu’tazilah berarti kaum yang mengasingkan diri. Ada
beberapa sebab yang di namai kaum Mu’tazilah :


1. Pada suatu hari seorang Guru Besar di Bagdad yang bernama Syeikh
Hasan Basri sedang menerangkan kepada muridnya bahwa orang islam
yang telah beriman kepada Allah dan Rosulnya, tetapi kebetulan ia
mengerjakan dosa yang besar, maka orang itu tetap muslim tapi durhaka.
Sebelum dia bertaubat di akhirat nanti dia di masukkan keneraka terlebih
dahulu dan setelah masa hukumannya selesai dia di keluarkan dan di
masukkan kedalam surga karna dia adalah termasuk orang muslim yang
beriman. Akan tetapi Wasil bin ‘Atha’ tidak sependapat dengan keterangan

3

gurunya dan kudian dia keluar untuk mendirikan majlis lain di suatu pojok
dari masjid basroh itu. Oelh karna itu Wasil bin ‘Atha’ dinamai kaum
Mu’tazilah karena pengasingannya.

2. Ada pula orang mengatakan, bahwa sebabnya mereka di namai Mu’tazilah
karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang – orang Mu’tazilah ini
orang – orang syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya khalifah Hasan
Bin Ali Bin Abi Tholib kepada khalifah Bani Umayah.

3. Ada penulis lain yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah itu adalah
kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan, akan tetapi pendapat ini
sangat lemah karena kenyaataanya kemudian mereka menjadi orang yang
gagah dan berumah mewah.

Mereka menyisihkan pahamnya dan i’tiqodnya dai paham dan i’tiqod ummat
islam yang banyak. Pendapat ini di kuatkan oleh pengarang kitab “al Farqu bainal
Firoq” bahwa Syeikh Hasan Basri mengatakan ketika kedua orang itu
menyisihkan diri maka mereka telah menjauhkan diri dari pendapat umum.
2.1.3. Gerakan Kaum Mu’tazilah

1. Cabang Basroh (Iraq) yang di pimpin oleh wasil bin Atha’ (meninggal
131 H.) dan Umar Bin Ubeid (meninggal 144 H) dengan murid –
muridnya.

2. Cabang Bagdad (Iraq). Cabang ini didirikan oleh Basyar bin al
Mu’tamar, dan kemudian di sokong oleh pembantunya, yaitu Abu Musa
al Murdar, Ahmad bin Abi Daud, Ja’fan bin Mubassyar, dan Ja’far bin
hafb al Hamdani.

4

2.1.4. Kedudukan Aqal Bagi Mu’tazilah

Dalam sejarah, cara mereka membentuk madzhabnya lebih menggunakan
Aqal dari pada Al Qur’an dan Al Hadits. Aqal bagi kaum Mu’tazilah di atas
Qur’an dan Hadits sebaliknya dari kaum Ahlu Sunah wal Jama’ah berpendapat
bahwa Qur’an dan Hadits lebih tinggi dari Aqal. Sebagai contohnya kaum
Mu’tazila menolak adanya bankit dari kubur dan siksa kubur. Hal itu katanya
bertentangan dari Aqal, karena menurut mereka mustahil orang yang sudah mati
bisa bangkit kembali, walaupun ada hadits shohih yang menyatakan hal ini.

2.1.5. Filsafat Yunani

Sejarah menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayyah (tahun
40 H – 232 H) daerah islam sudah berkembang luas, dari Jazirah arab sampai
Persia, India, Afghanistan, Khurasan bahkan sampai Indonesia dan Tiongkok.
Banyak orang masuk islam dari orang Nasrani, Buda, Majusi dan juga ahli filsafat
Yunani, penganut faham Aristoteles dan Plato. Pendeta – pendeta, Robih – rohib,
guru – guru injil juga tak sedikit yang masuk islam.

Setelah mereka masuk islam merekalantas ikut membicarakan soal – soal
i’tiqod, Ke-Tuhanan, dan hukum, pada hal otak dan pikiran mereka masihdi
pengaruhi oleh kepercayaan – kepercayaan kuno yang mereka anut dulu. Mereka
belum banyak mengetahui Hadits dan Qur’an. Dan ketika itu masuklah ke dalam
islam filsafat Yunani, Aristoteles dan Plato. Ilmu mantik, ilmu logika yang
semuanya mengangkat aqal menjadi raja.
2.1.6. Suka Berdebat

Ciri – ciri kaum Mu’tazilah ialah suka berdebat, terutama di hadapan umum.
Hampir 200 tahun umat islam di goncangkan oleh perdebatan – perdebatan dari
5

kaum Mu’tazilah dengan tujuan untuk mengalahkan kaum Ahlu Sunah wal
Jama’ah. Melihat kaum Mu’tazilah yang suka berdebat ini maka Imam Hasan Al
As’ari, imam Ahlu Sunah wal Jama’ah meneladeni kaum Mu’tazilah dengan lisan
dan tulisan, dengan cara – cara perdebatan pula.
2.1.7. Dasar – dasar pokok pengajian Mu’tazilah
Dasar – dasar pokok pengajian mu’tazilah berkisar 5 soal :
1. Tauhid (ke Esaan Tuhan).
2. Al ‘Adl (keadilan Tuhan).
3. Al Wa’du wal Wa’id (janji baik dan janji buruk).
4. Manzilah baina Manzilatain (tempat di antara dua tempat).
5. Amar ma’ruf nahi munkar.
2.1.8. Aliran-Aliran Dalam Kaum Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah akhirnya terpecah belah menjadi beberapa aliran karena setiap
aliran menggunakan akalnya masing – masing, sedangkan akal mereka itu tidak
sama, tetapi dalam satu hal yang mereka semua telah sepakat bahwa perbuatan
manusia, geraknya, diamnya, perkataannya, semuanya tidak di jadikan oleh Allah.
Sebagian mereka memfatwakan bahwa pekerjaan manusia di ciptakan oleh
manusia itu sendiri.

2.2. I’tiqad Kaum Mu’tazilah Yang Bertentangan Dengan I’tiqad
Ahlussunnah Wal Jama’ah
2.2.1. Buruk Dan Baik Ditentukan Oleh Aqal

Kaum Mu’tazilah berpendapat, bahwa baik dan buruk ditentukan oleh
aqal. Tetapi kepercayaan seperti ini tidak di benarkan oleh kaum ahlusunnah wal
jamaah. Bagi Ahlusunnah, aqal di pakai untuk meneliti sesuatu, sebagai alat

6

pelaksana, bukan untuk menentukan hukum sesuatu. Yang sebenar – benarnya
berhak menentukan hukum – hukum adalah Al Qur’an dan As Sunnah.

Di dalam al Qur’an banyak sekali ayat yang menyuruh manusia
mempergunakan aqalnya dan mengejek orang – orang yang tidak mau memakai
aqalnya. Akan tetapi dalam menetapkan hukum, ini halal ini haram, ini pahala ini
dosa, ini semua hanya di tetapkan oleh Syari’at Tuhan, karena agama itu milik
Tuhan bukan milik aqal. Oleh kerena itu, menurut paham Ahlu sunnah wal jamaah
aqal tidak bisa di pakai untuk menentukan dan menetapkan baik buruk sesuatu.
Yang dapat di pakai ilalah firman Allah dan sabda Nabi. Dalam syari’at islam,
bahwa barang sesuatu pada mulanya boleh di kerjakan, tetapi ada syariat yang
melarang sesuatu itu di karenakan akibatnya yang menjadikan semakin buruk,
maka sesuatu tersebut tidak boleh di kerjakan lagi. Umpamanya minum khamar
(tuak) mulanya boleh di kerjakan, kemudian di larang oleh Tuhan karena merusak
aqal. Maka minuman khamar itu tidak boleh di kerjakan lagi.

Akan tetapi, di tegaskan sekali lagi bahwa kaum ahlu sunnah wal jamaah
bukan berarti menbuang aqal, aqal di pakai juga, akan tetapi di gunakan untuk
meneliti bubukan untuk mengadakan hukum. Di dalam al Qur’an banyak sekali
ayat – ayat yang menyuruh kita untuk memakai aqal tersebut. Tetapi banyak juga
ayat – ayat yang berarti “Tidakkah kamu berfikir tentang itu?”.oleh karena itu
kaum ahlu sunah wal jamaah biasa juga menemukan dalil – dalil, bukan saja
menurut naqal (Qur’an dan Sunnah) tapi juga menurut aqal, sekedar alat peneliti
dan alat penguat dalil, bukan untuk menetapkan hukum.

7

2.2.2. Tuhan Allah Tidak Punya Sifat

Hal ini dikatakan oleh kaum Mu’tazilah, mereka juga mengatakan bahwa
Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, melihat dengan Zat-Nya, dan berkata dengan
Zat-Nya.

Paham ini bertentangan dengan paham Ahlussunnah Wal jamaah bahwa tuhan
bersifat, bukan satu bukan dua, tetapi banyak. Ada sifat Wajib, Mustahil da nada
yang harus ada pada Tuhan. Dalam Al-Quran termaktub :

‫ الحشر‬. ‫هوالله الذى لاله الهوعا لم الغيب واشها دة هوالرحمن الرحيم‬
.

Artinya:

“Dialah Tuhan, tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang hal tersembunyi,
Dia yang pengasih dan penyayang” (Al-Hasyar:22)

Dalam ayat lain Allah berfirman :

‫ الحشر‬. ‫هوالله الخلق البا رئ المصور‬
.

Artinya:

“Dialah Tuhan, yang mengadakan sesuatu, pencipta dan pembentuk rupa” (AlHasyar:24).

8

Dalam tata bahasa arab, Al khaliq, Al Bariu, dan Al Musawwiru merupaka sifat
Allah.

Imam Ghazali mererengkan dalam kitab Ihya Ulumuddin yang isinya membantah
paham Mu’tazilah, yaitu :

“kalau tuhan tidak mempunyai sifat(sebagai I’tiqad kaum mu’tazilah), sama
halnya Tuhan dengan orang kaya tapi tak punya harta. Hal ini mustahil tak masuk
akal”. (Ihya Ulumuddin, Juz 1, hal 109-110).
2.2.3. Qur’an Makhluk

Kaum Mu’tazilah pada abad ke II dank e III Hijriah telah menggoncangkan
ummat islam dengan keterangan yang mengatakan bahwa Al-Quran itu Makhluk,
bukan sifat Allah yang qadim. Ini kelanjutan dari paham mereka bahwa Allah
tidak punya sifat.

Kaum ahlussunnah waljamaah berpendapat bahwa Alquran yang karim itu
kalam. Allah dan sifat Allah yang qadim, bukan makhluk yang baru.

Kalau yang dikatakan makhluk itu huruf dan suara yang yang tertulis di atas
kertas maka itu masuk akal, tetepi kalam allah yanh berdiri di atas Zat ysng qadim
dikatakan mahkluk maka hal itu adalah penyelewengan besar.

Dalam ilmu bahasa yang modern sekarang dikatakan juga bahwa ‘bahasa’ ialah
ucapan pikiran manusia dengan teratur dengan memakai alat bunyi atau alat
tulisan.

Dalam bahasa itu dibagi dua:

9

1. Bagian madi atau isi, yaitu pikiran dan persaan manusia yang terletak
dalam diri manusia.

2. Bagian lahir atau bentuk, yaitu bunyi atau tulisan yang teratur.

Dalam paham Ahlussunah wal jamaah, ada “kalam nafsi”, yaitu bahasan dalam
pikiran dan perasaan tadi. Ia tidak punya huruf dan tidak punya suara. Adapun
yang tertulis atau yang dibunyikan dari suara itu adalah “nadlullnya” yaitu
kelahiran dari bahasa “kalam nafsi” tadi.

Dalam sebuah syair bahasa arab klasik, tersebut:

‫ جعل اللسا ن على الفؤ اد‬# ‫ان الكل م لفى الفؤاد وانما‬
‫دليل‬

Artinya:

“bahwasnya yang dikatakan kalam adalah yang dalam hati, sedang suara yang
keluar dari lisan itu hanyalah bentuk yang lahir dari apa yang ada dalam hati
itu”.

Oleh karena itu tidak layak dan tidak pantas atau tidak boleh mengatakan bahwa
Quran itu mahkluk. Cobalah perhatikan ayat ini:

. ‫انما قو لنا لشىء اذذا ارد ناه ان نقو ل له كن فيكو ن‬
‫الخل‬:

Artinya :

10

“sesungguhnya bila kami menghendaki sesuatu, kami hanya mengatakan
kepadanya “kun” (jadilah), lalu jadilah ia” (An Nahl: 40).

Imam Baihaqi berkata : “kalau Al-Quran itu mahkluk(sebagai paham
Mu’tazilah) tentulah yang menjadikan alam ini mahkluk, bukan khaliq, karena
“kun” itu adalah Quran. Ini mustahil, kata imam baihaqi bagaimana perkataanNya dijadikan oleh perkataan-Nya? Waktu sebelum “kun” dijadikan, siapakah
yang menjadikan alam. Yang benar ialah i’tiqad Ahlussunnah wal jamaah yaitu
tuhan bersama sifat-Nya adalah satu, tunggal dan ialah yang menjadika alam itu.

Perhatikan lagi ayat berikut ini :

‫ الر‬. ‫ خلق النسان‬. ‫ علم القرآن‬. ‫الر حمن‬
‫ حمن‬.

Artinya:

“Tuhan yang pemurah, dia telah mengajarkan Al-quran dan telah menjadikan
insan” (Arroahman, 1-3).

.‫وان احدد من المشركن استجارك فاجره حتى يسمع كل م الله‬
‫التوبة‬.

Artinya:

“dan jika datamg salah seorang dari orang musyrik minta perlindungan kepada
engkau maka berikanlah perlindungan, sampai ia mendengar kalam Allah”
(Attaubah :6).

11

Jelas dan nyata dalam ayat ini bahwa Quran itu dinamai Kalam Allah,
bukan mahkluk Allah. Dan tersebut dalam Kitab Hadits Sunan Abu Daud, pada
juz k 4, pagina 235:

‫ كان النبى صلى الله عليه وسلم يعود الحسن والحسين »اعيذ كما بكلمات الله‬: ‫عن ابن عبس قل‬
‫ كان ابوكم ابراهيم بعوذ بهما اسماعيل‬: ‫التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين ل مة « ثم يقول‬
‫ سنن ابوداودالجزءالرابع‬. ‫ رواه ابوداود‬.‫ هاذا دليل على ان القرآن ليس بمخلوق‬:‫ قال ابوداود‬.‫واسحاق‬
‫ صحيفة‬:

Artinya:

“Dari Abu Abbas beliau berkata: Adalah Nabi Muhammad Saw. meminta
perlindungan bagi HAsan dan Husein “saya meminta perlindungan untukmu
keduanya dengan Kalimah Allah yang sempurna dari tipu daya syetan dan
sekalian yang berbisa, dan dari sekalian mata yang dengki”. Lalu Nabi berkata:
“Adalah bapak kamu (Nabi Ibrahim) minta perlindungan untuk Ismail dan Ishaq
dengan doa itu”. Berkata Abu Daud: ini adalah dalil yang kuat untuk
menetapkan bahwa Qur’an itu bukan mahluk.” (H.S. dirawikan Imam Abu
Daud˗lihat Sunan Abu Daud Juz IV hal. 235)

Di dalam doa itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Nabi berkata
hendaknya kita meminta perlindungan dengan Kalimat Allah yang sempurna,
yaitu Al-Qur’an. Nabi tidak akan meminta perlindungan dengan Qur’an jika
Qur’an merupakan mahluk. Sehingga hadits tersebut menjelaskan kepada kita
bahwa Qur’an adalah Kalam Allah, bukan mahluk.

Imam Ghazali meyakinkan kita dalam ucapannya di kitab Ihya’
Ulumuddin, bahwa “Kalam Nafsi” dari Tuhan itu adalah sifat Tuhan yang qadim.
Adapun huruf-huruf yang tertulis dalam Mashaf, atau suara-suara yang
kedengaran dari mulut seseorang ketika membaca Al-Qur’an adalah “madlul”,

12

dan Qur’an yang qadim berdiri di atas Zat Tuhan itu. Karena itu yang hadits
(baru) adalah hanya huruf-huruf atau suara-suara, tetapi Kalam Tuhan yang
ditunjukkan oleh huru-huruf dan suara tersebut adalah qadim, bukan suara dan
bukan mahluk.

Banyak tokoh Islam yang disiksa dalam penjara bertahun tahun bahkan
sampai mati karena tidak mau mengakui bahwa Al-Qur’an itu mahluk. Jika AlQur’an dikatakan sebagai mahluk, berarti kita meniadakan sifat Tuhan dan
menjadikan sifat yang qadim menjadi hadits. Hanya golongan Mu’tazilah berkeras
kepala mengatakan bahwa Qur’an adalah mahluk.

2.2.4. Pembuat Dosa Besar

Pangkal masalah yang memisahkan Washil bin ‘Atok dengan gurunya
Syeh Hasan Bashri ialah “Masalah orang Mu’min yang mengerjakan dosa besar
tetapi tidak taubat sebelum mati.” Imam Hasan Bashri berpendapat bahwa orang
Mu’min yang mengerjakan dosa besar tidak menjadi kafir, ia tetap orang Mu’min
tetapi Mu’min yang berdosa.

Sedangkan Washil bin ‘Atok yang merupakan Imam Mu’tazilah
berpendapat lain: Orang Mu’min yang mengerjakan dosa besar, tidak lagi mu’min
dan tidak pula kafir tetapi diantara kafir dan mu’min. hukumannya ia dimasukkan
kedalam neraka selama-lamanya seperti orang kafir, namun hukumannya ringan.
Inilah yang dinamakan oleh kaum Mu’tazilah “Man zilah bainal Manzilatain” atau
tempat diantara dua tempat”.

Fatwa ini tidak sesuai dengan faham Ahli Sunnah waljamaah yang
menurut mereka tempat diakhirat hanya ada dua yaitu syurga dan neraka.

13

Orang mu’min yang berdosa besar menurut keyakinan Ahlussunnah wal
Jamaah akan mendapat beberapa kemungkinan, diantaranya:

1) Dosanya diampuni dan masuk surge

2) Mendapat syafaat Nabi Muhammad Saw dan dibebaskan dosanya serta
tidak mendapat hukuman

3) Jika yang dua diatas tidak didapat, maka ia akan dimasukkan kedalam
neraka untuk menebus dosanya yang kemudian dia akan masuk surge

I’tiqad ini berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits-hadist yang shahih. Tuhan
berfirman:

‫ان الله يغفر ان يشرك به ويغفر مادون ذلك لمن يشآء ومن يشرك بالله فقد افترى اثما‬
‫عظيما‬.

Artinya:

“Bahwasanya Tuhan tidak mengampuni dosa seseorang kalau ia dipersekutukan,
tetapi diampuninya selain dari pada itu bagi siapa yang dikehendakiNya siapa
yang mempersekutukan Tuhan sesungguhnya ia telah memperbuat dosa yang
sangat besar”(An Nisa’:48)

I’tiqad ini berbeda dengan I’tiqad kaum Mu’tazilah yang mengatakan
bahwa tidak ada ampunan dosa besar bagi seseorang yang melakukannya.

Didalam sebuah hadits diterangkan:

14

‫ لإله‬:‫ وعزتى وجل لى وكبرياءى وعظمتى لخرجن منها من قال‬:‫فيقول‬
‫إلالله‬.

Artinya:

“Maka Tuhan berfirman: Demi kegagahanKu, demi kebesaranKu, demi
ketinggihanKu, dan demi keagunganKu, AKU akan keluarkan dari neraka kalian
orang yang mengucapkan ‘Tiada Tuhan yang berhak disembah meainkan
Allah’.”(HSR. Bukhori ˗Shahih Bukhari IV halaman 211).

Dapat diambil kesimpulan dari ayat-ayat dan hadits-hadits diatas,
bahwasanya orang yang mengerjakan dosa tidak kekal dalam neraka˗sebagai
I’tiqad kaum Mu’tazilah˗tetapi akan keluar pada suatu waktu sesudah menjalani
hukuman. Inilah I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah.

2.2.5. Tuhan Tidak Dapat Dilihat

Kaum Mu’tazilah menfatwakan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat walaupun
dalam surge, karena hal itu akan menimbulkan tempat seolah-olah Tuhan ada
dalam surge atau dimana DIA bisa dilihat. Imam Kaum Mu’tazilah, Zamakhsyari,
berkata dalam Tafsir Kasyaf Juzu’ I hal. 179 bahwa yang ber-i’tiqad Tuhan bisa
dilihat walaupun dalam surge, adalah kafir, keluar dari Islam. Paham ini
berlawanan dengan paham Ahlussunnah Waljamaah yang berpendapat bahwa
Tuhan akan dilihat oleh penduduk surge, oleh hamba-hambanya yang saleh yang
banyak mengenal Tuhan ketika hidup di dunia.

Paham Ahlussunah Waljamaah terkait Tuhan dapat dilihat di dalam surge
terbukti dan tertera dalam

15

1. Al-Qur’an, diantaranya:

a. Qur’an surat Al Qiyamah ayat 22-23

Allah berfirman bahwa Tuhan dapat dilihat dalam surge jannatunna’im.

b. Yunus ayat 26

Dalam surat ini diterangkan bahwa orang orang yang membuat amal saleh
akan mendapatkan pahala yakni upah atas usaha mereka dan akan diberi
pula suatu tambahan. Menurut tafsir “Jalalein” yang dimaksud ‘tambahan’
adalah melihat Tuhan dengan mata kepala sebagai yang diterangkan dalam
hadits-hadits Imam Bukhari dan Muslim.

c. Al Ahzab ayat 44

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa orang mu’min dalam surge pada saat
menemui Tuhan berkata ‘salam’ sebagai kata penghormatan. Berkata Imam
Asafarani dalam kitab Tabsbir: Kalimat “liqa” (bertemu) dalam bahasa
Arab berarti melihat dan bertemu antara dua yang tak bisa bersentuh
zatnya. Jadi, arti ayat ini ialah ketika orang mu’min melihat Tuhan dalam
surge mereka memberi salam kepada Tuhan dengan ucapan Salam.

2. Hadits, diantaranya:

a. Riwayat Imam Bukhori, Sahih Bukhari juzu’ IV pagina 200

b. Hadits Riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Sahih Bukhari juzu’ IV pagina
200

16

c. H.R. Imam Muslim‒Sahih Musli Juz 1 hal.97

Menurut hadits hadits tersebut sudah jelas bahwa penduduk surge akan
melihat Tuhan dan itulah nikmat yang paling tinggi dan yang paling mereka
sukai.

Dunia Islam seluruhnya menganggap fatwa kaum Mu’tazilah salah karena
menentang hadits-hadits tersebut dan itu pulalah sebabnya maka kaum ini
dinamakan Mu’tazilah, yaitu kaum yang menyisihkan diri dari faham dan
kepercayaan umat Islam yang banyak.

Kaum Mu’tazilah telah tersesat dalam mengartikan ayat Qur’an surat Al An’am:
103:

١٠٣:‫ النعام‬.‫لتدركه البصاروهويدرك البصار‬

Mereka mengartikan: “Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dengan mata kepala
dengan mata kepala dan Ia (Tuhan) melihat mata kepala.” Dengan kata lain,
penglihatan tidak bisa mencapai kepada-Nya tetapi Ia mengetahui gejala
penglihatan.

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata
kepala dengan mengemukakan selain dalil akal. Sedangkan kaum Ahlussunnah
mengatakan bahwa setiap yang ada bisa dilihat, tidak mustahil menurut akal.
Karena Tuhan itu ada, maka Ia bisa dilihat. Hadist-hadist Nabi yang Sahih pun
mengatakan bahwa Ia bisa dilihat.

17

2.2.6. Mi’raj Nabi Muhammad

Kaum mu’tazilah tidak meyakini adanya Nabi Muhammad melakukan
Mi’raj (naik) ke langit pada tanggal 27 Rajab, yang di akui dan di yakini kaum
mu’tazilah hanyalah Isra’ saja (berjalan malam daridari Makah ke Masjid
Aqsha/Baitul Maqdis).

Fatwa tersebut dilawan oleh Ahlussunnah Waljamaah yang berpendapat
bahwa Nabi Muhammad SAW pada malam itu melakukan Isra’ dari Makah ke
Baitul Maqdis dan setelah itu naik dengan tubuh dan ruhnya ke langit sampai
langit ke tujuh, naik lagi sampai ke Mustawa sampai ke Sidratulmuntaha, di mana
ketika itu beliau menerima perintah dari Allah berupa sholat 5 waktu sehari
semalam. Dan pada malam itu juga beliau kembali ke dunia dan pagi harinya
menerangkan kepada umum. Orang kafir seketika itu pula berteriak-teriak
mengatakan bahwa Muhammadd berbohong,tak masuk akan dan lain sebagainya.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Isra’ ayat 1 yang artinya:

Maha Suci Tuhan yang telah membawa hambaNya malam hari (Isra’) dari
masjid haram (Makkah) sampai masjid Aqsa (Yerussalam) yang telah kami berkati
sekelilingnya, supaya kami perlihatkan keterangan-keterangan Kami kepadanya,
sesungguhnya Dia(Tuhan) mendengar lagi melihat.

Sahabat-sahabat Nabi banyak yang beri’tiqad atau berkeyakinan
bahwasannya Mi’raj itu adalah dengan tubuh dan ruh, sesuai dengan hadist-hadist
yand diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Dia antara sahabat Nabi yang
meriwayatkan peristiwa Mi’raj adalah

1. Malik Bin Sha’sha’ah

18

2. Abu Dzar al Ghaffari

3. Anas Bin Malik(bujang Rosulullah)

4. Abu Hurairah dll

Dalam kitab As-Shifa , pengarang Reda menerangkan: Tidak ada arti
orang mengatakan bahwasanya Isra’ dan Mi’raj hanya ada dalam mimpi, karena
secara jelas dalam hadist diterangkan bahwa Beliau melakukan Isra’ dan Mi’raj
dengan kendaraan “Buroq” yaitu “Dabbah” (hewan).kalau dengan mimpi
mengapa mengendarai dengan hewan,sedangkan hewan itu membawa tubuh
bukan membawa ruh.

Dan juga kalau dengan mimpi,tidak mungkin dijadikan dalil atas kerasulan
beliau dan mu’jizat beliau, karna mimpi itu bukan mu’jizat.Namun banyak kaum
kafir yang tidak percaya akan adanya kejadian tersebut. Begitu pula dengan kaum
mu’tazilah yang tidak percaya dengan adanya Mi’raj karna di anggapnya kejadian
ini tidak masuk akal. Kaum mu’tazilah hanya mengukur sesuatunya dengan
akalnya saja bukan dengan ke imanan dan bukan dengan syariat.

2.2.7. Manusia Menjadikan Pekerjaannya

Kaum mu’tazilah berkeyakinan bahwa pekerjaan manusia diadakan oleh
manusia itu sendiri bukan oleh Tuhan. Tuhan sama sekali tidak tahu apa yang
sedang dan yang akan dibuat oleh manusia. Bagi kaum mu’tazilah , khaliq itu ada
2 yaitu yang pertama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi dan yang lain
manusia menjadikan perbuatananya sendiri.

19

Tetapi Al Jahiz imam mu’tazilah berfatwa agak lain:yang dijadikan
manusia adalah perbuatannya yang buruk dan yang berdosa,sering perbuatannya
yang baik di jadikan oleh Tuhan juga. Jadi 50% berlawanan dengan I’tiqad
Ahlusunnah Waljamaah yang menyatakan bahwa sekalian yang terjadi, baik yang
di buat manausia sekalipun di jadikan oleh Tuhan.

Allah berfirman: Dan Tuhan yang menjadikan kamu dan sekalian
pekerjaan kamu (As Shaffat 96) dan (An Nisa’ 78): katakanlah (hai
Muhammad)”sekaliannya dari Tuhan.”

2.2.8. Arsy Dan Kursi

Kaum mu’tazilah tidak meyakini dan tidak percaya adanya Arsy dan kursi,
mereka bertanya sebagai cemooh dimana ditaruhnya kursi itu? Sedang kursi itu
menurut sebuah ayat lebih besar dan lebih luas dari langit dan bumi. Di atas apa
Arsy diletakkan dan kenapa tidak jatuh ke bawah.

Di dalam tafsir Al Kasy-Syaf, karangan imam mu’tazilah mengatakan sebai
hinaan: kursi tuhan tidak akan termuat dalam langit dan bumi, maka di mana
letaknya? Itu hanya gambaran kebesaran Tuhan dan hanya “khayal” fantasi saja,
tidak ada kursi di sana, tidak ada duduk dan tidak ada orang yang duduk (Juz 1 hal
153-154)

Kaum mu’tazilah sebagai orang Islam percaya kepada Qur’an akan tetapi
kata-kata Arsy dan Kursi yang termaktub dalam Al Qur’an mereka putar balikkan
artinya yang berarti menurut mereka Arsy adalah Kerajaan dan kursi yaitu
pengetahuan. Kepercayaan ini berlawanan dengan keyakinan Ahlusunnah
Waljamaah yang harus mempercayai seyakin-yakinnya bawa Arsy dan Kursi itu
ada.

20

Dalam hal ini Allah berfirman (Al Baqoroh 255) yaitu Kursi Tuhan itu luas
meliputi langit dan bumi.

Kalau kata kursi dalam ayat ini di artikan sebagai “ilmu” atau pengetahuan
sebagai tafsir kaum mu’tazilah maka akan terasa janggalnya dan tak sesuai lagi
dengan yang benar,

Cobalah kit abaca umpamanya ilmu tulisan itu luas meliputi langit dan bumi
maka timbullah suatu pertanyaan: apakah di luar langit dan bumi tidak di ketahui
oleh Tuhan?

Dan kalaupun Arsy d artikan sebagai kerajaan sebagai tafsir kaum mu’tazilah
bertanyalah kita: kenapakah di pukul oleh oleh malaikat, apakah kerajaan bisa di
pukul oleh delapan malaikat?

Dalam surat Al Haqqoh ayat 171: dan malaikat berada pada tiap-tiap
penjurunya,dan delapan malaikat pada hari itu memukul arsy.

Yang hak ialah I’tiqod Ahlussunnah Waljamaah bahwa arsy dan kursi itu ada,
dan yang member tahu akan adanya hal itu adalah Al Quran suci yang tidak
pernah bohong dan mendusta, adapun hakikat zatnya, bentuknya,rupanya,
warnanya dan besarnya kita tidak tahu dan tidak diwajibkan tahu. Menurut
hakikat hkum islam: yang di wajibkan ialah wajib mempercayai adanya.

Kaum mu’tazilah tidak meyakini dan tidak percaya adanya Arsy dan kursi,
mereka bertanya sebagai cemooh dimana ditaruhnya kursi itu? Sedang kursi itu
menurut sebuah ayat lebih besar dan lebih luas dari langit dan bumi. Di atas apa
Arsy diletakkan dan kenapa tidak jatuh ke bawah.

21

Di dalam tafsir Al Kasy-Syaf, karangan imam mu’tazilah mengatakan sebai
hinaan: kursi tuhan tidak akan termuat dalam langit dan bumi, maka di mana
letaknya? Itu hanya gambaran kebesaran Tuhan dan hanya “khayal” fantasi saja,
tidak ada kursi di sana, tidak ada duduk dan tidak ada orang yang duduk (Juz 1 hal
153-154)

Kaum mu’tazilah sebagai orang Islam percaya kepada Qur’an akan tetapi
kata-kata Arsy dan Kursi yang termaktub dalam Al Qur’an mereka putar balikkan
artinya yang berarti menurut mereka Arsy adalah Kerajaan dan kursi yaitu
pengetahuan. Kepercayaan ini berlawanan dengan keyakinan Ahlusunnah
Waljamaah yang harus mempercayai seyakin-yakinnya bawa Arsy dan Kursi itu
ada.

Dalam hal ini Allah berfirman (Al Baqoroh 255) yaitu Kursi Tuhan itu luas
meliputi langit dan bumi.

Kalau kata kursi dalam ayat ini di artikan sebagai “ilmu” atau pengetahuan
sebagai tafsir kaum mu’tazilah maka akan terasa janggalnya dan tak sesuai lagi
dengan yang benar,

Cobalah kit abaca umpamanya ilmu tulisan itu luas meliputi langit dan bumi maka
timbullah suatu pertanyaan: apakah di luar langit dan bumi tidak di ketahui oleh
Tuhan? Dan kalaupun Arsy d artikan sebagai kerajaan sebagai tafsir kaum
mu’tazilah bertanyalah kita: kenapakah di pukul oleh oleh malaikat, apakah
kerajaan bisa di pukul oleh delapan malaikat?

Dalam surat Al Haqqoh ayat 171: dan malaikat berada pada tiap-tiap
penjurunya,dan delapan malaikat pada hari itu memukul arsy.

22

Yang hak ialah I’tiqod Ahlussunnah Waljamaah bahwa arsy dan kursi itu ada,
dan yang member tahu akan adanya hal itu adalah Al Quran suci yang tidak
pernah bohong dan mendusta, adapun hakikat zatnya, bentuknya,rupanya,
warnanya dan besarnya kita tidak tahu dan tidak diwajibkan tahu. Menurut
hakikat hkum islam: yang di wajibkan ialah wajib mempercayai adanya.
2.2.9. Malaikat Kiraman Katibin

Kaum mu’tazilah tidak mengakui adanya malaikat “ kiraman katibin”
yang disebut yaitu malaikat Raqib dan Atid yang bertugas menuliskan amalan
manusia sehari-hari.

Mereka mengatakan bahwa ilmu tuhan meliputi sesuatunya dan tak ada
yang tersembunyi bagi Tuhan dank arena itu Tuhan tidak membutuhkan penulispenulis yang akan menuliskan amal manusia sehari-hari.

Kaum Ahlusunnah Waljamaah berkeyakinan bahwa malaikat Raqib Atid
itu ada di kanan kiri setiap masing-masing manusia yang akan menuliskan amalan
manusia sehari-harinya.

Dan walaupun Tuhan mengetahui sekalian pekerjaan manusia tetapi
penulis-penulis itu perlu untuk di jadikan saksi di akhirat dihadapan Allah swt
apabila soal amalan-amalan manusia itu nantinya ditimbang.

Tuhan menyatakan dalam Al Qur’an dalam syrat Al Infithar Ayat 10-11
yang artinya: sesungguhnya untuk kamu ada penjaga-penjaga,penulis-penulis
yang mulia.

Ahlusunnah waljamaah percaya adanya nash-nash ayat ini, tidak ragu-ragu
dan meyakini bahwasannya di samping setiap manusia ada dua orang malaikat
yang menuliskan sekalian pekerjaannya.

23

2.2.10. Yang Kekal

I’tiqad yang ganjil dari sebagian kaum Mu’tazilah ialah tentang penduduk
neraka.

Umar bin al Bahar al Jahizh (meninggal 255 H.), Imam kaum Mu’tazilah,
memfatwakan:

a. Manusia yang dimasukkan ke dalam neraka tidak kekal dalam neraka,
tetapi menjadi bersatu dalam neraka dengan neraka, sehingga ia pada
akhirnya tak merasa lagi siksaan neraka, karena ia sudah menjadi neraka.

b. Manusia yang masuk neraka bukan dimasukkan ke dalam neraka, tetapi
neraka yang menariknya ke dalam, seperti besi berani menarik jarum ke
dekatnya.

c. Sebagian lagi kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa penduduk surga dan
neraka tidak kekal, tetapi setelah lama mereka menerima upah atau
menerima hukuman maka mereka dilenyapkan dan surga nerakapun
dilenyapkan. Pada akhirnya yang kekal hanya Tuhan sendiri.

Kesalahan pokok bagi mereka ialah karena terlalu memutar akalnya dalam
menimbang sesuatu, sehingga kesasar kesana kesini. Mereka tidak atau jarang
menggunakan Al-Qur’an dan hadist sebagai ukuran pokok.

Kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa surga dan neraka
bersama penghuninya dikekalkan Tuhan untuk selama-lamanya bukan kekal
24

dengan sendirinya tetapi dikekalkan Tuhan.

Yang kekal dengan sendirinya

hanyalah Tuhan.

Bukan hanya surga dan neraka tetapi benda-benda yang lain yang dikekalkan
Tuhan, yaitu: ‘Arsy, kursi, luh mahfuzh, qalam, surga dan penghuninya, neraka
dan penghuninya, dan arwah manusia.

Firman Allah tentang hal ini adalah berikut,

‫ اولئك اصحاب الجنةخالدين‬,‫ان الذين قا لواربنا الله ثم استقاموافلخوف عليهم ولهم يحزنون‬
14-13 :‫ الحقاق‬.‫فيهاجزاء بما كانوايعملون‬

Artinya:

“Bahwasanya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami itu Allah kemudian
mereka berdiri teguh dalam pendiriannya itu, mereka tidak akan merasa takut dan
tidak merasa duka cita. Merekalah yang menempati surga sebagai balsan dari
perbuatan mereka yang kekal di sana selama-lamanya” (Al-Ahqaf: 13-14).

Banyak sekali ayat Qur’an yang menerangkan bahwa penghuni surga dan neraka
akan kekal di alamnya selama-lamanya. Maka heranlah kita melihat jalan pikiran
al-Jahizh yang mengartikan “kekal” dengan menjadi “satu”, sehingga tak terasa
siksaan atau nikmat lagi.

Kesimpulannya, kaum Ahlussunnah wal Jama’ah beri’tiqad bahwa surga
dan neraka bersama penghuninya kekal buat selama-lamanya dan ahli-ahli neraka
bukan ditarik masuk ke dalam, tetapi dihalau.

25

2.2.11. Tidak Ada Timbangan, Hisab, Titian, Kolam, Dan Syafa’at.

Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa di akhirat tidak ada timbangan (mizan),
hisab (perhitungan), titian (shiratalmustaqim), kolam (haudh), dan tidak ada
syafa’at Nabi. Mereka menta’wilkan seluruh ayat yang bersangkutan dengan
timbangan dan hisab dengan “keadilan Tuhan”.

Mereka mengemukakan dalil aqal, bahwa Tuhan mengetahui semua pekerjaan
yang dikerjakan manusia. Maka karena itu tak perlu ada semuanya itu; yang
sholeh dimasukkan Surga dan yang jahat dimasukkan neraka, habis perkara. Bagi
mereka akal lebih berkuasa dari syari’at.

Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai bahwa nanti seluruh amal
manusia akan ditimbang, mana yang berat pahala atau dosa.

Salah satu contohnya adalah ayat tentang timbangan:

:‫ العرف‬.‫والوزن يومئذالحق فمن ثقلت موازينه فاولئك هم المفلحون‬
8

Artinya:

“Dan neraca (timbangan) pada hari akhir itu berjalan betul, siapa berat timbangan
kebaikannya itulah orang-orang yang beruntung” (Al A’raf: 8).

Teranglah dalam ayat ini bahwa aka nada “wazan” (timbangan). Kalau
“wazan” di sini diartikan dengan “keadilan Tuhan sebagai paham Mu’tazilah
maka arti ayat ini kacau balau.

Cobalah kita ikuti takwil Mu’tazilah: “Dan

keadilan Tuhan pada hari ini berjalan betul, maka barang siapa yang berat
keadilan Tuhannya maka ialah yang menang”. Apakah jadinya arti ayat ini kalau
26

ditakwilkan begitu? Selain dari pada itu, walaupun ditimbang dengan akal
sekalipun, hal ini tidak berlawanan dengan akal sehat. Apa salahnya kalau nanti
di akhirat diadakan timbangan untuk menimbang dosa dan pahala? Tidak ada
suatu yang mendorong agar kita mentakwilkan ayat ini pada arti yang lain dari
asalnya.

2.2.12. Azab Kubur

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa azab kubur tidak ada, karena
bertentangan dengan dengan akal, kata mereka.

Selanjutnya kaum Mu’tazilah berfilsafat: Kalau ada siksa (azab)
kuburlantas timbul pertanyaan, apakah yang disiksa itu tubuh saja, atau ruh saja
atau keduanya? Kalau tubuh saja tanpa ruh maka tubuh itu tak merasa apa-apa,
kalau ruh saja tanpa tubuh ruh itu taka da kubur dan kalau kedua-duanya apakah
mereka masih bisa hidup, duduk tegak dalam kubur?

Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, yang diilhami oleh Imam Abu Hasan al
Asy’ari yang berpegang teguh kepada sunnah-sunnah Nabi, meyakini bahwa azab
kubur itu ada, karena dalam hadist-hadist Nabi Muhammad Saw. Banyak sekali
dijumpai keterangan-keterangan tentang azab kubur itu. Salah satu contohnya:

:‫ التوبة‬.‫سنعذ بهم مرتين ثم يردون الى عذاب عظيم‬
101
Artinya:
“Nanti mereka (kaum munafik) akan Kami siksa dua kali, sesudah itu mereka
akan dikembalikan kepada hukuman yang berat” (At-Taubah: 101).

27

“Dua kali” yang dimaksud dalam ayat ini ialah azab dunia dan azab kubur.
Demikian dikatakan dalam Tafsir Khazen jilid III, pagina 115.
2.2.13. Soal Shilah Wal Ashlah
Imam kaum Mu’tazilah Abu ‘Ali Al Jubai menfatwakan bahwa Tuhan
tidak membuat dan tidak mentakdirkan sekalian yang jahat, tetapi wajib bagi
tuhan membuat yang shilah (baik) atau yang ashlah (yang lebih baik). Kalau
Tuhan membuat atau mentakdirkan yang buruk bagi seseorang dan sesudah itu
menghukum orang itu pula, maka hilanglah keadilan Tuhan dan bisa, dianggap
Tuhan itu aniaya, katanya.
Pendeknya Jubai meng’itiqadkan bahwa yang dibuat Tuhan hanya yang
baik atau yang lebih baik; Yang buruk sama sekali tidak dijadikan Tuhan. Kaum
Ahlussunah wal Jama’ah meng’itiqadkan bahwa, sekalian yang terjadi pada alam
raya ini semuanya ditakdirkan dan diciptakan oleh Tuhan, baik yang buruk atau
yang baik. Tidak ada, seorang pencipta selain Allah.
Tuhan memperbuat sekehendak hati-Nya pada milik-Nya, dan tidak dapat
dikatakan Tuhan itu aniaya kalau Ia membuat apa yang Ia sukai pada milik-Nya
dan kepunyaan-Nya.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Paham Mu’tazilah berkuasa pada masa-masa Khalifah Ma’mun bin Harun
Rasyid, Khalifah al Watsiq bin al Mu’tashim sekitar abad-abad ketiga, keempat,
dan kelima hijriah.
Paham Mu’tazilah sampai sekarang masih menyusup ke dalam masyarakat
ummat Islam di Barat dan di Timur dan bahkan sampai ke Indonesia.
28

Sepanjang sejarah , salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah ialah
cara mereka membentuk madzhabnya, banyak mempergunakan akal dan lebih
mengutamakan akal, bukan Al-qur’an dan hadist. Maka tidak dapat dipungkiri
i’tiqad kaum Mu’tazilah banyak memiliki perbedaan dengan i’tiqad Ahlussunah
wal Jama’ah.
3.2. Saran
Dengan banyaknya firqah-firqah dalam Islam, maka kita harus menyikapi
aliran tersebut dengan tetap berpegang teguh pada pedoman dasar berisikan ajaran
tauhid dan syari’at yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kita harus
menyikapi perbedaan aliran-aliran tersebut dengan cara-cara yang baik, bukan
anarki. Hal tersebut penting sebab, dalam konstitusi 1945 pasal 29 dan pasal 28
dengan jelas disebutkan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Bahwa kemudian dalam masyarakat ditemukan berbagai macam
aliran yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam (Qur’an dan Hadist) tidaklah
dibenarkan untuk melakukan tindakan yang anarki dan main hakim sendiri baik
oleh individu atau kelompok. Indonesia adalah Negara hukum, jadi sejatinya
dalam menyelesaikan masalah termasuk didalamnya masalah keyakinan haruslah
diselesaikan dengan aturan hukum pula.
DAFTAR PUSTAKA


Handbook (foto kopi) untuk kelas Agama V dari dosen pengajar.

29