POTENSI PELUANG DAN KENDALA PENGEMBANGAN

POTENSI, PELUANG DAN KENDALA PENGEMBANGAN SAPI MENDUKUNG
PENGEMBANGAN JAGUNG DI KABUPATEN PONTIANAK
L. M. Gufroni1) dan Tatang M. Ibrahim1)
ABSTRAK
Propinsi Kalimantan Barat mencanangkan 25.000 ha areal penanaman jagung.
Sumberdaya Kabupaten Pontianak diarahkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan
kebutuhan penduduk Kota Pontianak. Termasuk dalam penyediaan ternak sapi sehingga
perlu diketahui bagaimana potensi kendala dan peluang pengembangan ternak sapi di
Kabupaten Pontianak dalam rangka menunjang pengembangan tanaman jagung. Terdapat
287.954 ha areal potensi sumberdaya lahan jagung di Kabupaten Pontianak. Biomasa
jagung dari areal tanam jagung di Kabupaten Pontianak sejumlah 14.268,30 ton dapat
mendukung 7.818,25 unit ternak per tahun per musim tanam. Jika 25 % potensi areal
pengembangan jagung seluas 71.988,50 ha akan menghasilkan 18,50 kali biomasa/musim
tanam dari pertanaman jagung saat ini, maka mampu menyediakan pakan untuk 144.637,60
unit ternak. Sejumlah 58,68 % penduduk Kabupaten Pontianak bekerja di bidang pertanian
merupakan potensi untuk pengembangan ternak sapi. Iklim Kabupaten Pontianak sangat
sesuai untuk pengembangan bangsa sapi Bos indicus dan Bos sondaicus. Keperluan sapi
bakalan untuk Kabupaten Pontianak sejumlah 22,19 % dari jumlah populasi per tahun,
merupakan peluang dalam usaha pembibitan sapi bakalan. Satu hektar jagung menghasilkan
7-10 ton pupuk organik per tahun dari 4 – 6 ekor sapi yang menunjang kebutuhan pupuk
organik dua kali tanam setahun untuk 1 – 2 hektar. Konsumsi protein hewani penduduk

Kalimantan Barat khususnya daging, masih kurang sebesar 6,26 kg/kapita/tahun atau
sebesar 60,78 % merupakan pangsa pasar bagi pengembangan ternak sapi. Pola
penggemukan sapi selama 3 bulan memberikan keuntungan yang paling maksimal
dibandingkan penggemukan setahun dan pembibitan, pemilihan pola pemeliharaan sangat
ditentukan oleh kapasitas sumberdaya modal dan sumber pakan tersedia. Pemerintah perlu
menggerakkan para petani, pemodal, pengusaha dan lembaga penunjang lainnya untuk
bersama-sama merumuskan struktur dan mekanisme sistem agribisnis ternak sapi yang
operasional dan terarah.
Kata Kunci: potensi, peluang, kendala, pengembangan sapi dan pengembangan jagung.

PENDAHULUAN
Potensi lahan kering dan lahan
gambut di Kalimantan Barat sebagai
areal pengembangan jagung masih
belum termanfaatkan. Untuk itu Gubernur Kalimantan Barat telah mencanangkan 25.000 ha areal penanaman
jagung di Propinsi Kalimantan Barat.

Program pengembangan areal tanam
ini tentu perlu ditindaklanjuti dengan
mempersiapkan rencana operasional

di tingkat kabupaten. Kondisi tanah
secara umum di Kalimatan Barat
mengalami kekurangan bahan organik
yang
tersedia
bagi tanaman,
sehingga diperlukan bahan organik
yang memadai untuk tanaman jagung.
Salah satu jalan keluar yang mudah

1) Staf Peneliti BPTP Kalimantan Barat

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

86

dan
ekonomis
adalah

dengan
memelihara ternak ruminansia terutama sapi pada kawasan pengembangan jagung sebagai penghasil
bahan
organik
dari
kotorannya
sekaligus dapat memanfaatkan limbah
jagung sebagai pakan ternak.
Kebutuhan
jagung
di
Kalimantan
Barat
selain
untuk
kebutuhan konsumsi juga untuk
memenuhi kebutuhan bahan pakan
ternak, terutama ternak ayam petelur
dan pedaging. Kebutuhan jagung di
Kalimantan Barat perlu didukung

produksi jagung dari daerah sendiri
mapun dari luar daerah. Kabupaten
Pontianak
yang
memiliki
posisi
strategis dengan dukungan sumberdaya lahan yang tersedia sangat
potensial untuk dikembangkan sebagai
kawasan
penghasil
jagung
di
Kalimatan Barat.
Jagung merupakan proporsi
terbesar dalam peyusun ransum
unggas
(>50%),
sehingga
jika
konsumsi pakan unggas pada tahun

2003 mencapai lebih dari 7 juta ton,
maka diperlukan jagung sedikitnya 3,5
juta ton. Dari jumlah itu sekitar 40%
masih harus diimpor dari berbagai
negara, seperti USA, Brasil dan
lainnya. Pada tahun 2010 dan tahun
2020 impor jagung diproyeksikan
dapat mencapai 4 juta dan 8 juta ton,
jika produksi jagung nasional tidak
tumbuh (GPMT, 2004 dalam Dwiyanto,
dan Priyanti, 2004).
Pembangunan
sub
sektor
peternakan Kalimantan Barat dilaksanakan dalam rangka peningkatan
pembangunan sistem dan usaha
agribisnis yang bertujuan mengembangkan usaha seluruh subsistem
agribisnis mulai dari hulu, on farm, hilir
dan jasa penunjang.
Semua sub

sistem tersebut harus dikembangkan
secara simultan, serasi dan seimbang

(Diswannak Kalbar, 2005). Pengembangan peternakan unggas secara
langsung perlu didukung pengembangan sarana produksinya termasuk
penyediaan jagung sebagai bahan
pakan, sarana pengolahan hasil
unggas hingga pemasaran, agroindustri
hilir
serta
subsistem
pendukungnya.
Mulai tahun 2005 Pembangunan Sub Sektor Peternakan Kalimantan
Barat dilaksanakan melalui 2 program
utama yaitu Program Peningkatan
Ketahanan Pangan dan Program
Pengembangan
Agribisnis
serta
terdapat satu program khusus yaitu

Program Ketercukupan (Swasembada)
Daging Sapi Tahun 2010 Propinsi
Kalimantan Barat (Diswannak Kalbar,
2005). Integrasi tanaman jagung
dengan ternak sapi merupakan salah
satu kegiatan yang sangat mendukung
kedua program utama dan program
khusus dalam pembangunan Sub
Sektor Peternakan tersebut.
Program peningkatan ketahanan
pangan
dimaksudkan
untuk
mengembangkan sistem ketahanan
pangan dalam arti luas. Program
pengembangan Agribisnis dimaksudkan untuk mengarahkan seluruh
subsistem agribisnis yang produktif
dan efisien menghasilkan berbagai
produk dengan nilai tambah yang
berdaya saing tinggi. Untuk program

khusus ketercukupan (swasembada)
daging sapi 2010 dimaksudkan untuk
mengeliminasi masuknya sapi bakalan
dari luar dan menyediakan daging sapi
yang aman, sehat, utuh dan halal atau
ASUH (Diswannak Kalbar, 2005).
Kabupaten Pontianak merupakan satu-satunya Kabupaten dengan
wilayah mengelilingi Kota Pontianak
sebagai Ibu Kota Propinsi Kalimantan
Barat,
sekaligus
menjadikannya
sebagai wilayah penyangga kota.

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

Dengan demikian seluruh sumberdaya
yang dimiliki Kabupaten Pontianak
selain untuk memenuhi kebutuhan

sendiri juga diarahkan untuk secara
langsung
menunjang
kebutuhan
termasuk bidang pertanian bagi
penduduk Kota Pontianak. Kabupaten
Pontianak juga berperan penting
dalam penyediaan ternak sapi bagi
Kota
Pontianak
sehingga
perlu
diketahui bagaimana potensi, peluang
dan kendala pengembangan ternak
sapi di kabupaten ini.
POTENSI PENGEMBANGAN
TERNAK SAPI
Potensi Lahan Pengembangan
Jagung
Kabupaten Pontianak terletak

di pesisir barat, di tengah pulau
Kalimantan
yang
dilalui
garis
Khatulistiwa. Posisi ini berpengaruh
terhadap kondisi iklim tropis dengan
penyinaran matahari yang maksimal.
Secara
administratif
Kabupaten
Pontianak setelah terjadi pemekaran

wilayah
administrasi,
berbatasan
langsung
dengan
Kabupaten
Bengkayang

di
sebelah
utara,
Kabupaten Ketapang di sebelah
selatan, Kabupaten Landak di sebelah
timur, Laut Natuna di sebelah barat
dan mengelilingi Kota Pontianak di
wilayah selatannya.
Kabupaten Pontianak terdiri
dari 14 kecamatan dengan luas
wilayah seluruhnya seluas 8.262,10
km2 atau sekitar 5,63 % dari luas
wilayah Kalimantan Barat. Penggunaan lahan di Kabupaten Pontianak pada
tahun 2002 disajikan pada Tabel 1.
Lahan-lahan yang potensial
untuk dikembangkan sebagai areal
penanaman jagung adalah pekarangan, tegal/kebun dan ladang/huma
seluas 973.355 ha. Dengan asumsi
seperti pada lahan perkebunan
sebesar 16 % lahan yang dapat dimanfaatkan untuk ditanami jagung dan diintegrasikan dengan ternak sapi maka
tersedia lahan seluas 155.736,8 ha.
Potensi lahan pekarangan, tegal/kebun

Tabel 1. Penggunaan Lahan di Kabupaten Pontianak Tahun 2002.
Kalimantan Barat
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Pengunaan Lahan
Sawah
Pekarangan
Tegal/kebun
Ladang/huma
Padang Rumput
Rawa-rawa
Tambak
Tanah tidak diusahakan
Kayu rakyat
Perkebunan
Hutan negara dan lainnya

Luas (ha)

Persentase
(%)

442.738
255.843
455.986
261.526
22.771
354.088
22.893
1.723.174
1.345.168
1.692.159
8.104.354

Kab. Pontianak
Luas
(ha)

Persentase
(%)

86.213
3.02
1.74
3.11
1.78
0.16
2.41
0.16
11.74
9.16
11.53
55.20

32.926
41.851
16.014
4.571
5.715
241
51.826
19.413
95.817
429.995

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

10.99
4.20
5.33
2.04
0.58
0.73
0.03
6.61
2.47
12.21
54.81

Jumlah
14.680.700
100.00
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalbar (2003a)

dan ladang/huma secara teknis dapat
dimanfaatkan hijauan atau rumputnya
sebagai
pakan
ternak,
dengan
demikian dapat dikembangkan sebagai
areal pemeliharaan ternak.
Lahan sawah, perkebunan dan
tanah
tidak
diusahakan
yang
berpotensi
untuk
pengembangan
jagung harus dikoreksi dari luas riilnya.
Tidak semua lahan sawah dapat
dimanfaatkan sebagai areal tanam
jagung, terutama lahan yang tergolong
lahan basah dan tergenang khususnya
lebak. Kabupaten Pontianak memiliki
potensi lahan areal sawah untuk
pengembangan jagung seluas 21.153
ha dari lahan tadah hujan. Masih
terdapat 12.334 ha areal yang dapat
dikembangkan sebagai areal tanam
jagung di musim kering dari sawah
setengah teknis, irigasi sederhana dan
irigasi desa. Lahan perkebunan di
Kabupaten Pontianak seluas 15.331
ha
merupakan
potensi
lahan
pengembangan jagung dengan pola
integrasi pada areal peremajaan kebun
setiap tahunnya. Potensi lahan yang
dapat dikembangkan sebagai areal
penanaman jagung yang diintegrasikan dengan ternak pada lahan
sementara tidak diusahakan masih
sangat luas yaitu 51.826 ha.
Jagung merupakan komoditas
penting kedua setelah padi yang
banyak ditanam di lahan pasang surut,
baik pada saat musim kemarau
maupun musim hujan. Pada saat
musim hujan tanaman jagung banyak
diusahakan pada lahan yang bertipe
luapan B yakni lahan yang hanya
terluapi air pasang besar dan saat
musim hujan. Selain itu jagung dapat
ditanami pada bagian surjan, gulugan
surjan dan pada lahan yang bertipe
luapan C atau lahan yang tidak terluapi

784.582

100.00

air pasang besar maupun kecil,
kedalaman air tanah 50cm, dengan
pembuatan saluran kemalir dan
saluran cacing. Pada musim kemarau
jagung dapat ditanam pada lahan yang
bertipe luapan B, C dan D baik pada
bagian tabukan surjan maupun bagian
guludan (Widjaja Adhi dan Alamsyah,
1998 dalam Isbandi, 2004).
Informasi
ini
menunjukkan
bahwa potensi lahan pasang surut
masih dapat dikembangkan sebagai
lahan pengembangan jagung dengan
teknis budidaya yang sesuai. Dengan
demikian
Kabupaten
Pontianak
memiliki tambahan potensi areal
pengembangan jagung dari lahan
pasang surut seluas 52.726 ha.
Tentunya luas areal pasang surut
untuk pengembangan jagung ini
secara riil dapat diperhitungkan jika
luas masing-masing tipe luapan untuk
Kabupaten Pontianak sudah tersedia.
Secara kasar rekapitulasi potensi areal
pengembangan jagung yang dapat
diintegrasikan dengan ternak di
Kabupaten Pontianak disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2.

No
1.
2.
3.
4.

Potensi
Pengembangan
Jagung Ternak Berdasarkan Kelompok Lahan di
Kabupaten Pontianak.

Kelompok Lahan
Pekarangan/
kebun/ huma
Irigasi ½ teknis,
sederhana, desa
Peremajaan
kebun
Lahan tidak
diusahakan

Luas
(ha)

Persentase(%)

155.737

54

12.334

4

15.331

5

51.826

18

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

5.

Lahan pasang
surut

52.726

18

Berdasarkan jumlah potensi
areal pengembangan jagung dan
ternak sapi di Kabupaten Pontianak
pada Tabel 2, terdapat 287.954 Ha
areal yang berpotensi sebagai areal
pengembangan
jagung.
Demikian
luasnya potensi sumberdaya lahan
yang dapat dimanfaatkan untuk
memproduksi jagung di Kabupaten
Pontianak memerlukan penanganan
secara operasional yang sesuai seperti
dengan
melakukan
ekstensifikasi
penanaman jagung yang diintegrasikan dengan ternak sapi. Mengingat
sangat
terbatasnya
sumberdaya
manusia untuk menangani lahan yang
demikian luas, perlu dipertimbangkan
secara
mendalam
penggunaan
mekanisasi pertanian untuk mengolah
potensi lahan yang ada.
Biomasa Limbah Jagung Sebagai
Pakan Ternak
Tanaman palawija terutama
jagung sudah banyak diusahakan dan
menyediakan pakan yang dibutuhkan
oleh
ternak
ruminansia
berupa
biomasa tanaman jagung. Limbah
pertanian maupun vegetasi yang
merupakan gulma bagi tanaman dapat
digunakan sebagai pakan ternak
sedangkan ternak maupun hasil
produksinya
dapat
meningkatkan
pendapatan petani. Konversi sisa hasil
pertanian tanaman jagung dapat
mencapai 5 ton biomasa. Produksi
jerami jagung bagian atas saja dapat
mencapai 0,86 ton per hektar
(Targast;1960, Anonimus; 1982 dalam
Isbandi, 2004). Bobot biomasa jagung
pada tingkat hasil panen yang berbeda
disajikan pada Tabel 3.

Jumlah
287.954
Sumber : Analisis Data (2004).

100

Luas panen tanaman jagung di
Kabupaten Pontianak seluas 3.891 Ha
dengan jumlah produksi sebesar 7.135
ton. Rata-rata produksi jagung per
hektar
di
Kabupaten
Pontianak
sebesar 1,834 ton per hektar pada
tahun 2003, sedangkan rata-rata
produksi jagung per hektar selama 5
tahun (1999-2003) sebesar 1,72 ton
per hektar (BPS, 2004). Berdasarkan
luas panen jagung di Kabupaten
Pontianak seluas 3.891 Ha dengan
asumsi produksi biomasa jagung
sesuai dengan Tabel 3, sebesar 3,667
ton/ha akan tersedia biomasa jagung
sejumlah 14.268,30 ton. Ketersediaan
biomasa
jagung
tersebut
dapat
mendukung 7.818,25 unit ternak per
tahun untuk sekali musim tanam
dengan asumsi kebutuhan pakan
berserat seekor sapi sekitar 5-6 kg/unit
ternak/hari/tahun. Jika tanaman jagung
dapat ditanam 2 kali setahun, maka
akan tersedia biomasa dari jagung
saja bagi 15.636,50 unit ternak per
tahun yang sudah melebihi kebutuhan
jumlah populasi sapi di Kabupaten
Pontianak sejumlah 13.076 ekor.
Permasalahannya apakah daerah
penyebaran sapi juga sekaligus
merupakan areal penanaman jagung,
Tabel 3. Biomasa Hasil Panen Jagung
Per Hektar.
No.

Hasil Panen Jagung
(ton pipilan/ha)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

1,343
1,810
2,143
3,30
3,57
3,97
4,70

Biomasa
Jagung
(ton/ha)
3,0481
3,6671
3,9761
6,322
6,602
7,642
7,922

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

8.
5,15
8,132
9.
5,72
8,612
1
Sumber : Puslitbangtanak (2004),
2
Widiastuti et al. (2002).

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

sehingga dapat terjadi
diantara keduanya.

integrasi

Jika 25 % saja potensi areal
pengembangan jagung seluas 287.954
ha di Kabupaten Pontianak dapat
ditanami
jagung,
yaitu
seluas
71.988,50 ha maka biomasa yang
akan dihasilkan dalam satu musim
tanam sekitar 18,50 kali biomasa yang
dihasilkan dari areal pertanaman
jagung saat ini. Biomasa sebesar itu
mampu menyediakan pakan untuk
144.637,6 unit ternak dalam setahun
yang hampir sama dengan populasi
sapi di Kalimantan Barat saat ini.
Besarnya potensi areal pengembangan jagung yang belum dimanfaatkan ini
bagaikan raksasa agribisnis yang
sedang tidur menanti investasi konkrit
untuk menggerakkannya.
Sumberdaya Ternak
Ternak
disamping
dapat
menyediakan pangan berupa daging
dan susu bagi petani ataupun sebagai
tabungan yang dapat dijual sewaktuwaktu, kotorannya dapat dimanfaatkan
oleh tanaman yang diusahakan
sebagai pupuk kandang. Selain itu
ternak ruminansia seperti sapi dan
kerbau dapat dimanfaatkan tenaganya

untuk mengolah lahan. Pada beberapa
daerah, terutama daerah transmigrasi
lahan kering, lahan basah, rawa, air
tawar dan pasang surut faktor tenaga
kerja
mengolah
tanah
masih
merupakan kendala. Apalagi dengan
keterbatasan sarana transportasi lokal,
tenaga ternak juga dapat dimanfaatkan
untuk menarik beban, untuk mengangkut sarana produksi pertanian dan
mengangkut hasil panen (Isbandi,
2004). Profil sumberdaya ternak sapi
di Kabupaten Pontianak disajikan pada
Tabel 4.
Berdasarkan kepadatan ternak
sapi, sapi di Kabupaten Pontianak
lebih padat dibandingkan Kalimantan
Barat, yaitu 0,017 banding 0,010 ekor/
ha. Sangat berbeda bila dibandingkan
dengan Propinsi Bali yang luas
wilayahnya hanya 68,18 % dari luas
wilayah Kabupaten Pontianak, memiliki kepadatan ternak 0,945 ekor/ha atau
55,59 kali lebih padat dengan jumlah
ternak 37,33 kali jumlah ternak sapi di
Kabupaten Pontianak. Keadaan ini
menunjukkan bahwa potensi lahan di
Kabupaten Pontianak yang dapat
dimanfaatkan untuk ternak sapi masih
sangat besar. Ditunjang dengan
tingginya curah hujan di Kalimantan
Barat dibandingkan di Bali yang
cenderung beriklim lebih kering, akan

Tabel 4. Komparasi Keragaan Sumberdaya Ternak Sapi.
No.

Sumberdaya

1.

Kabupaten
Pontianak1

2.

Kalimantan Barat1

3.

Propinsi Bali2
1

Luas Wilayah
(ha)

Populasi
Ternak Sapi

Kepadatan Ternak
Sapi (ekor ha 1)

826.210

14.258

0,017

14.680.700

148.303

0,010

563.300

532.300

0,945

2

Sumber : Diswannak Kalbar (2005), Santoso dan Enggis Tukerih (2004)
LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

sangat berpengaruh terhadap potensi
produksi
hijauan
bagi
ternak
ruminansia. Sehingga potensi produksi
sapi yang tinggi di Kabupaten
Pontianak adalah suatu hal yang
rasional. Penyebaran ternak sapi di
Kabupaten Pontianak berdasarkan
kecamatan disajikan pada Tabel 5.
Berdasarkan
penyebaran
ternak sapi di Kabupaten Pontianak
dapat diketahui bahwa kecamatan
dengan kepadatan ternak yang
tertinggi adalah Kecamatan Rasau
Jaya sebesar 0,149 ekor per hektar,
diikuti Kecamatan Sungai Kakap,

Mempawah Hilir dan Sungai Kunyit.
Daerah dengan kepadatan ternak
sapinya terrendah adalah Kecamatan
Batu Ampar sebesar 0,002 ekor per
hektar, kemudian Kecamatan Kubu,
Teluk Pakedai, Terentang dan Sungai
Raya yang kepadatan ternak sapinya
dibawah kepadatan 0,010 ekor per
hektar
untuk
Kalimantan
Barat.
Kenyataan ini menunjukkan sangat
tidak meratanya penyebaran ternak
sapi di Kabupaten Pontianak.
Penyebaran ternak sapi yang
tidak merata berdasarkan kecamatan
dapat disebabkan berbagai faktor

Tabel 5. Penyebaran Ternak Sapi di Kabupaten Pontianak.
Populasi Ternak Sapi
No.
1.

Kecamatan
Batu Ampar

Jumlah

Persentase

363

Luas
Wilayah
200.270

2.55%
2.

Terentang

498

0.002
78.640

3.49%
3.

Kubu

386

0.006
121.160

2.71%
4.

Teluk Pakedai

157

0.003
29.190

1.10%
5.

Sungai Kakap

2.875

0.005
45.313

20.16%
6.

Rasau Jaya

1.650

0.063
11.107

11.57%
7.

Sungai Raya

915

0.149
92.930

6.42%
8.

Sungai Ambawang

2.598

0.010
72.610

18.22%
9.

Siantan

592

0.036
32.430

4.15%
10. Sungai Pinyuh

633

Kepadatan
Ternak Sapi
(ekor/ha1)

4.44%

0.018
18.470

0.034

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

11. Mempawah Hilir

1.353

25.440
9.49%

12. Sungai Kunyit

807

0.053
15.660

5.66%
13. Toho

1.060

0.052
35.690

7.43%
14. Kuala Mandor Besar

371

0.030
47.300

2.60%
Jumlah

14.258

100 %

0.008
826.210

Sumber : BPS Kabupaten Pontianak (2004)

seperti
jumlah
penduduk
yang
berprofesi sebagai petani, jarak relatif
dengan pasar, tersedianya sarana dan
prasarana pendukung seperti jalan dan
kondisi sosial budaya masyarakat.
Program pembangunan khususnya di
bidang peternakan yang masih belum
dapat menjangkau ke seluruh wilayah,
keterbatasan sumberdaya manusia
dan sumber dana yang terbatas
merupakan faktor pembatas yang perlu
dikelola secara optimal.
Potensi Sumberdaya Manusia
Penduduk
Kabupaten
Pontianak tahun 2003 berjumlah
691.920 jiwa yang terdiri dari
penduduk laki-laki 353.188 jiwa (51,12
%) dan penduduk perempuan 338.232
jiwa
(48,88
%).
Pertambahan
penduduk dari tahun 2002 sebesar
33.198 jiwa (5,04 %). Penyebaran
penduduk di Kabupaten Pontianak
tidak merata, Kecamatan Sungai Raya
dengan jumlah penduduk 186.399 jiwa
merupakan yang terbanyak penduduknya dan Kecamatan Terentang dengan
jumlah
penduduk
8.069
jiwa
merupakan
yang
paling
sedikit
penduduknya. Kondisi ini disebabkan
karena Kecamatan Sungai Raya
berbatasan langsung dengan Kota

Pontianak
(Ibukota
Propinsi
Kalimantan Barat) serta merupakan
sentra industri kayu yang banyak
menyerap tenaga kerja sehingga
banyak
terjadi
imigrasi.
Jumlah
penduduk yang cukup besar ini juga
merupakan peluang pasar bagi produk
ternak termasuk ternak sapi.
Berdasarkan data penduduk
usia 10 tahun ke atas yang bekerja di
bidang pertanian untuk Kabupaten
Pontianak, adalah 158.717 orang dari
270.499 orang yang bekerja, atau
sekitar 58,68 % dari jumlah penduduk
yang bekerja (BPS, 2004). Kadaan ini
menunjukkan bahwa bidang pertanian
masih
menjadi
sumber
mata
pencaharian
yang
utama
bagi
penduduk di Kabupaten Pontianak.
Besarnya jumlah penduduk yang
bekerja di bidang pertanian ini
merupakan
potensi
yang
dapat
dikembangkan untuk pengembangan
ternak sapi di Kabupaten Pontianak.
KENDALA PENGEMBANGAN
TERNAK SAPI
Populasi ternak ruminansia
yang relatif sedikit dan pertumbuhannya lambat saat ini merupakan
masalah
besar
sehingga
perlu
dicermati dan segera ditanggapi

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

karena dapat mengganggu ketahanan
pangan (Santoso dan Enggis Tukerih,
2004). Kendala dalam pembuatan
kebijakan pengembangan ternak sapi
di Kabupaten Pontianak seperti juga
pada tingkat Propinsi Kalimantan Barat
adalah masih belum tersedianya
database mengenai ternak yang
memadai. Database yang sangat
diperlukan
dalam
pengembangan
ternak sapi meliputi data dinamika
populasi ternak sapi yang dapat
menggambarkan tingkat kelahiran dan
proyeksi populasi ternak pada tahun
berikutnya. Data sumberdaya lahan
yang meliputi kesesuaian lahan untuk
peternakan, data produksi dan kualitas
hijauan makanan ternak aktual, tingkat
produksi spesifik ternak sapi dan
kinerja reproduksi ternak sapi di
Kalimantan Barat.
Lambatnya
pertumbuhan
ternak ruminansia besar di Indonesia
saat ini berhubungan erat dengan akar
permasalahannya di bidang pengelolaan
lahan
yaitu
banyak
lahan
penggembalaan
terdegradasi
dan
lahan-lahan lain yang dapat ditanami
HMT banyak yang miskin unsur-unsur
hara, serta status lahan dalam tata
ruang daerah belum jelas (Santoso
dan Enggis Tukerih, 2004).
Untuk Kalimantan Barat belum
tersedia pusat pembibitan hijauan
makanan ternak yang sesuai kondisi di
Kalimantan Barat. Perlu realisasi yang
operasional pewilayahan peternakan
sehingga tidak terjadi kompetisi
penggunaan lahan yang tidak sesuai
peruntukannya. Limbah atau hasil
samping produk dan pengolahan hasil
pertanian seperti limbah sawit, bungkil
sawit, bungkil kelapa, bungkil jagung,
limbah pengolahan ikan dan udang
belum secara optimal dimanfaatkan
dan tersedia sebagai bahan pakan
ternak. Produk ternak memerlukan

prasarana dan sarana pemasaran
sehingga diperlukan pasar ternak yang
memadai di lokasi yang strategis.
Dengan adanya pasar diharapkan
dapat menciptakan kondisi pemasaran
yang memenui syarat secara teknis
dan
berdampak
besar
dalam
pengembangan ternak di Kalimantan
Barat.
PELUANG PENGEMBANGAN
TERNAK SAPI
Posisi Strategis Kabupaten
Pontianak
Letak geografis Kabupaten
Pontianak yang terletak di pesisir barat
pulau
Kalimantan
memberikan
kemudahan akses ke luar melalui lalulintas pelayaran antar pulau bahkan
antar negara, sebab di sebelah Barat
pesisir Propinsi Kalimantan Barat
adalah Laut Cina Selatan
yang
merupakan
lalu-lintas
pelayaran
internasional. Kabupaten Pontianak
juga memiliki pelabuhan udara yang
melayani transportasi udara ke daerah
atau
negara
lainnya.
Wilayah
Kabupaten
Pontianak
yang
mengelilingi Kota Pontianak menjadikan wilayah ini merupakan daerah
penyangga untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota. Sebaliknya Kota
Pontianak merupakan penyedia sarana
dan
prasarana
penunjang
bagi
pembangunan Kabupaten Pontianak
dengan biaya yang relatif lebih murah
dibandingkan biaya yang diperlukan
Kabupaten lain di Kalimantan Barat.
Untuk pengembangan ternak
sapi dalam mendukung pengembangan tanaman jagung di Kalimantan
Barat, posisi strategis ini memberi
dampak pada kemudahan akses
permodalan, prasarana dan sarana
pendukung, kecepatan informasi teknis

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

dan informasi pasar serta merupakan
daerah
penghubung
dengan
Kabupaten lain di Kalimantan Barat.
Dengan
demikian
keunggulan
komparatif geografis ini harus secara
optimal dimanfaatkan dalam rangka
mengembangkan ternak sapi di
Kalimantan Barat.
Kesesuaian Iklim
Iklim merupakan komponen
penting
dan
penentu
dalam
keberhasilan pengembangan suatu
komoditas. Suhu lingkungan untuk
pemeliharaan sapi di Indonesia adalah
18–28 0C. Kisaran suhu dan kelembaban yang nyaman bagi Bos indicus
adalah 10-26,67 0C dan 95 %, sedangkan bagi Bos taurus di bawah 15 0C
dan 80%. Pada kisaran suhu di atas
normal akan berpengaruh langsung
dan
tidak
langsung
terhadap
produktivitas
ternak.
Pengaruh
langsung adalah perubahan tingkah
laku, penurunan konsumsi pakan dan
peningkatan konsumsi minum serta
terjadi penurunan efisiensi pakan.
Pengaruh tidak langsung adalah
menurunnya kualitas hijauan, serta
meningkatnya penyakit dan parasit
pada ternak (Kusnadi et al., 1992;
Campbell dan Lasley, 1985 dalam
Prayugo et al., 2004).
Suhu lingkungan di Kabupaten
Pontianak berdasarkan data BPS
(2004) berada pada kisaran 22,90C
hingga 33,30C dengan rata-rata
temperatur udara sebesar 26,850C.
Kelembaban relatif antara 82% hingga
89% dengan rata-rata kelembaban
relatif sebesar 85,79%. Curah hujan
bulanan di Kabupaten Pontianak
berkisar dari 72-836 mm. Berdasarkan
informasi ini maka wilayah Kabupaten
Pontianak masih berada pada kisaran
temperatur udara dan kelembaban

relatif yang nyaman bagi Bos indicus,
sedangkan bagi Bos taurus tidak
merupakan daerah yang nyaman,
sehingga
tidak
direkomendasikan
untuk dikembangkan di wilayah ini.
Sehingga jenis-jenis sapi seperti sapi
ongole, peranakan onggole dan jenis
sapi asli Indonesia, seperti sapi bali
yang terkenal mudah beradaptasi
dapat dengan mudah hidup di dalam
wilayah Kabupaten Pontianak. Curah
hujan yang tinggi cukup memberikan
jaminan ketersediaan pakan hijauan
makanan ternak yang tersedia cukup
dan teratur sepanjang tahun.
Sebagai
komparasi
iklim,
wilayah Propinsi Bali memiliki kisaran
temperatur udara antara 21,25-34,80
0
C,
dengan
kelembaban
relatif
78,7–86,8 % dan curah hujan 14,7-469
mm
(Direktorat
Pengembangan
Peternakan, 2004). Dapat diamati
bahwa wilayah Propinsi Bali memiliki
kisaran temperatur udara yang lebih
lebar daripada kisaran temperatur
udara di Kabupaten Pontianak, bahkan
temperatur udara tertinggi yang terjadi
lebih tinggi dari wilayah Kabupaten
Pontianak yaitu 34,8 0C dengan 33,3
0
C. Hal ini memperkuat asumsi
kesesuaian temperatur udara di
Kabupaten
Pontianak
bagi
pengembangan ternak sapi. Untuk
kelembaban relatif di Kabupaten
Pontianak justru lebih sesuai dengan
kelembaban yang diinginkan oleh Bos
indicus, yaitu mendekati 95%. Telah
kita ketahui bahwa sapi yang
berkembang baik di Bali merupakan
sapi asli Indonesia yaitu sapi Bali yang
termasuk Bos sondaicus. Kondisi ini
menunjukkan tingkat kesesuaian iklim
Kabupaten Pontianak yang tinggi
terhadap ternak untuk bangsa sapi
Bos indicus dan Bos sondaicus.
Untuk menciptakan iklim mikro
yang lebih nyaman bagi ternak sapi di

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

wilayah
Kabupaten
Pontianak
disarankan
untuk
menyediakan
kandang
dengan
memperhatikan
kebutuhan ventilasi dan ketinggian
atap kandang. Selain itu di sekitar
kandang sapi juga dapat ditanami
tanaman pohon atau hijuan makanan
ternak seperti gamal, turi, lamtoro dan
sebagainya yang dapat menciptakan
iklim mikro yang lebih sejuk bagi sapi.
Integrasi ternak sapi di dalam lahan
perkebunan merupakan pilihan yang
ideal dalam pengembangan ternak
sapi
yang
dipadukan
dengan
pengembangan
tanaman
jagung
sebagai tanaman sela.
Dukungan Teknis Pengembangan
Ternak Sapi
Nasrullah et al. (1997) dalam
Santoso dan Enggis Tukerih (2004)
menyatakan
bahwa
tumpangsari
tanaman leguminosa dengan tanaman
jagung meningkatkan produksi HMT
pakan sebesar 50 – 75 % lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem monokultur. Faktor pakan sangat menentukan pertumbuhan bila kualitasnya baik
dan diberikan dalam jumlah yang
cukup maka pertumbuhannya akan
menjadi cepat (Tillman et al., 1998).
Daya cerna sapi terhadap
pakan
hijauan
adalah
65-85%
sedangkan bila konsentrat ditingkatkan, kecernaannya menjadi 70 %.
Pemberian garam dapur (NaCl) pada
sapi berfungsi untuk menstimulasi
sekresi
saliva
dan
membantu
berfungsinya enzim diastatik, sehingga
konsumsi pakan meningkat. Batas
aman konsumsi garam dapur bagi sapi
adalah 0,3 % dari total ransum. Bila
konsumsi garam dapur terlalu tinggi
akan
menimbulkan
peningkatan
sekresi sodium chlorida sehingga
konsumsi air munum meningkat dan

retensi air meningkat sehinga terjadi
oedema (Prayugo et al., 2004).
Intensifikasi pemeliharaan sapi
pada padang penggembalaan memiliki
beberapa keuntungan dibandingkan
dengan cara dilepas bebas, yaitu
mudah pengontrolan waktu birahi,
perkawinan terarah, energi ternak sapi
tidak
terkuras
untuk
berjalan,
perbaikan mutu padang penggembalaan dengan pemupukan dan introduksi
HMT unggul, daya tampung lahan
makin meningkat (Santoso dan Enggis
Tukerih, 2004).
Program inseminasi buatan (IB)
merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu genetik dan
meningkatkan produktifitas ternak yang
saat ini mulai dikenal dan membudaya
di kalangan petani ternak. Kegiatan IB
di Kabupaten Pontianak ditunjang
dengan adanya 2 pos IB yaitu di Sei
Kunyit dan Rasau Jaya. Pada tahun
2003 telah dilaksanakan kegiatan
GEMA INSAN (Gerakan Massal
Inseminasi Buatan) sebagai salah satu
upaya
Dinas
Kehewanan
dan
Peternakan dalam mengoptimalkan
kegiatan IB. Bentuk kegiatannya
adalah IB secara masal dan serempak,
introduksi
penggunaan
preparat
hormon
PGF
2
alpha
dalam
penyerentakan
birahi
(Diswannak
Kalbar, 2004).
Permintaan Pasar Terhadap Bibit
Ternak Sapi
Dalam lima tahun ke depan
permintaan terhadap pangan dan
produk pangan yang makin berkualitas
mengalami
peningkatan
sejalan
dengan
peningkatan
pendapatan
masyarakat.
Sejalan
dengan
peningkatan
produk
pertanian,
permintaan terhadap bahan baku
produk pertanian primer juga akan

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

mengalami pergeseran ke arah
pasokan yang kontinyu dan homogen
untuk memenuhi tuntutan permintaan
yang lebih berkualitas dan tepat waktu.
Kontinuitas dan homogenitas produk
pertanian penting untuk masa yang
akan datang karena tanpa kontinuitas
dan homogenitas tersebut mustahil
produk pertanian mampu bersaing di
pasar domestik sekalipun (Badan
Litbang Pertanian, 2004).
Berdasarkan jumlah pemotongan sapi tahun 2003 sebesar 25.395
ekor sapi dengan jumlah populasi sapi
sebesar 148.303 ekor, maka dapat
diketahui keperluan bibit sapi bakalan
per tahun sebesar 14,62 % yang akan
dipotong
setiap
tahun.
Angka
kebutuhan sapi bakalan ini hampir
sama dengan keperluan bibit secara
Nasional yaitu sebesar 14,6 %
(Santoso dan Enggis Tukerih, 2004).
Jika tidak dilakukan impor daging sapi,
sapi bibit dan sapi bakalan maka
populasi sapi di Kalimantan Barat akan
sangat cepat berkurang.
Untuk Kabupaten Pontianak
sendiri, dari data BPS (2004), diketahui
populasi ternak sapi sebesar 13.076
ekor dengan jumlah pemotongan
sebesar
3.730
ekor,
sehingga
keperluan
sapi
bakalan
untuk
Kabupaten Pontianak sejumlah 22,19
% dari jumlah populasi yang menjadi
sapi potong. Tingkat persentase
kebutuhan sapi bakalan di Kabupaten
Pontianak adalah sebesar 1,51 kali
dibadingkan kebutuhan sapi bakalan di
Kalimantan
Barat.
Keadaan
ini
merupakan tekanan yang sangat berat
terhadap pertumbuhan populasi ternak
sapi di Kabupaten Pontianak jika tidak
diimbangi program pengembangan
ternak
yang
memadai
selain
memasukkan sapi bakalan dari luar
daerah. Oleh karena itu investasi
dalam pengembangan ternak di

Kabupaten
Pontianak
sangat
dibutuhkan untuk mempertahankan
populasi sapi yang ada. Kondisi ini
merupakan peluang dalam usaha
pembibitan sapi sebagai sapi bakalan.
Permintaan Jagung Sebagai Bahan
Pakan Ternak
Jumlah
kebutuhan
pakan
ternak ayam petelur dan pedaging
untuk Kalimantan Barat pada tahun
2003 sebesar 106.557 ton (Diswannak
Kalbar, 2004). Sebesar 50 % dari
jumlah tersebut atau 53.278,5 ton
terdiri dari jagung yang dapat
dihasilkan dari 30.797 ha areal panen
jagung dengan asumsi produktifitas
jagung di Kalimantan Barat sebesar
1,73 ton /Ha. Dengan potensi lahan
untuk tanaman jagung di Kabupaten
Pontianak sebesar 287.954 Ha, maka
tidak sulit untuk memenuhi kebutuhan
jagung
Kalbar
dari
Kabupaten
Pontianak sendiri.
Selain menghasilkan jagung,
areal
penanaman
jagung
juga
berpotensi untuk menghasilkan bahan
pakan bagi ternak ruminansia berupa
biomassa tanaman jagung, rumput dan
gulma yang tumbuh di antara tanaman
jagung. Dengan demikian areal
tanaman jagung sangat berpotensi
untuk diintegrasikan dengan ternak
ruminansia, terutama ternak sapi.
Kualitas brangkasan jagung,
brangkasan kacang tanah dan rumput
olahan yang disimpan selama 5 hingga
7 bulan tidak menurun, bahkan kadar
N pada penyimpanan 7 bulan lebih
tinggi daripada 5 bulan. Hal ini terjadi
karena nitrogen sederhana dari hijauan
yang diawetkan terdapat dalam jumlah
yang lebih besar akibat sebagian dari
protein dalam hijauan tersebut diurai
ke dalam ikatan yang lebih sederhana.
Dengan demikian kualitas jerami padi

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

atau jagung yang tergolong rendah
dapat ditingkatkan. Jerami padi
tergolong berkadar protein rendah,
yaitu 4,5-1,01 % sehingga dalam
pemanfaatannya
perlu
pemberian
pakan supplemen (Moerdolelono et al.,
2000; Anggorodi, 1994 dalam Muzani
et al., 2004).
Peluang untuk meningkatkan
populasi ternak sapi masih terbuka
dengan memanfaatkan jerami padi dan
jagung untuk pakan. Pakan dari jerami
padi dan jagung atau dari limbah
pertanian lainnya dapat ditingkatkan
kualitasnya melalui proses fermentasi
dengan
Ruminobacillus
atau
Trichoderma sp. (Fagi dan Ketut
Karyasa, 2004).
Ketidaktersediaan pakan merupakan masalah utama peternakan
sapi rakyat di Indonesia. Persoalan ini
disebabkan manajemen ternak sapi
tidak sejalan dengan manajemen
pakan, padahal 60 – 70 % dari seluruh
biaya produksi terletak pada pakan.
Sejak tahun 1986 Pemerintah Jepang
bekerjasama dengan Dirjen Peternakan Departemen Pertanian RI telah
melakukan penelitian pakan ternak
sapi silase di Jawa Barat. Silase
dengan bahan pakan dari limbah
jagung dapat dijadikan pakan ternak
sapi unggulan. Penelitian pada ternak
sapi perah menunjukkan peningkatan
produksi 4 – 6 liter susu per ekor per
hari dicapai dengan pemberian silase.
Pemberian silase ditambah konsentrat
dan rumput alam dapat menghasilkan
susu 14 – 15 liter perekor per hari, dari
rata-rata produksi susu peternak
selama ini hanya 6 – 8 liter per hari
(Purwadi, 2004).
Keunggulan Pemeliharan Ternak
Sapi Dalam Usaha Tani Jagung

Sapi di lahan sawah dapat
dipandang sebagai faktor produksi dari
padi sawah, yaitu sebagai tenaga
pengolah tanah dan penghasil pupuk
kandang. Usaha agribisnis baru di
pedesaan
timbul
dari
proses
pengomposan limbah ternak menjadi
pupuk kandang dan fermentasi limbah
tanaman menjadi
pakan
ternak
berkualitas. Di Jawa Timur pemberian
pupuk kandang pada tanaman padi
dan jagung varietas unggul tidak
mengurangi takaran pupuk anorganik.
Pemberian pupuk kandang tampaknya
meningkatkan
efektivitas
pupuk
anorganik, tetapi unsur hara tidak
dapat mensuplesi unsur hara dalam
pupuk anorganik, karena unsur hara
yang
terkandung
dalam
pupuk
kandang tersedia secara lambat (slow
release). Peningkatan produktivitas
tanaman akibat pemberian pupuk
kandang dan pupuk anorganik pasti
menguntungkan
petani,
sehingga
mereka terus memberikan pupuk
kandang untuk mempertahankan atau
meningkatkan
produktivitas
lahan
dalam jangka panjang (Fagi dan Ketut
Karyasa, 2004).
Integrasi
antara
tanaman
pangan dan ternak menjadi sistem
usahatani yang terpadu merupakan
komponen penting dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan
petani.
Interaksi
terjadi
dengan
penyediaan pupuk kandang, tenaga
kerja, pendapatan dan produk hasilhasil ternak dari usaha ternak
ruminansia,
sedangkan
limbah
pertanian dan gulma dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan
(Isbandi, 2004)
Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8-10 kg per hari.
Apabila kotoran sapi ini diproses
menjadi
pupuk
organik
dapat
diharapkan menghasilkan 4-5 kg per

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

hari. Pada luasan jagung satu hektar
dapat diharapkan menghasilkan sekitar
7-10 ton pupuk organik per tahun dari
4 – 6 ekor sapi. Penggunaan kotoran
ternak yang sudah diolah dengan baik
dan benar pada lahan jagung adalah
2 – 3 ton per hektar setiap kali tanam.
Sehingga potensi pupuk organik dapat
menunjang kebutuhan pupuk organik
untuk 1 – 2 hektar dengan dua kali
tanam setahun. Sistem integrasi
jagung dan ternak diharapkan dapat
memanfaatkan potesi sumberdaya
wilayah dalam rangka mempertahankan kesuburan tanah (Diwyanto dan
Priyanti, 2004).
Kebutuhan Daging Sapi di Pasar
Lokal
Penduduk Indonesia dengan
jumlah 210 juta orang tahun 2000 dan
tingkat pertumbuhan yang tinggi (1,5 %
per tahun) memerlukan produk-produk
ternak ruminansia (daging, susu dan
lain-lain) dalam jumlah banyak.
Sementara populasi ternak ruminansia
hanya sedikit dan perkembangannya
lambat yaitu 11 juta ekor sapi potong
pada tahun 1999 dengan pertumbuhan
13,6 % per tahun dan 2,4 juta ekor
kerbau dengan pertumbuhan 6,4 % per
tahun. Hal ini mengakibatkan setiap
tahun perlu diimpor dalam jumlah
besar produk-produk ternak ruminansia seperti daging, susu, keju maupun
dalam bentuk hidup yaitu sapi bibit dan
sapi bakalan (Santoso dan Enggis
Tukerih, 2004).
Selama dua dasawarsa terakhir
pendapatan per kapita masyarakat
pedesaan secara absolut ataupun riil
mengalami
peningkatan.
Secara
absolut
pendapatan
masyarakat
pedesaan meningkat dari Rp 243.000
pada
tahun
1984
menjadi
Rp 2.024.000 pada tahun 2001,

sedangkan secara riil (setara beras)
pendapaan masyarakat pedesaan
meningkat dari sekitar 934,2 menjadi
979,9 setara beras untuk tahun 2002.
Dinamika pertumbuhan penduduk dan
peapatan masyarakat Indonesia yang
terjadi dalam lima tahun ke depan
akan menciptakan peluang pasar yang
besar bagi produk pertanian (Badan
Litbang Pertanian, 2004).
Rata-rata konsumsi protein
hewani
asal
ternak
penduduk
Kalimantan Barat baru mencapai 3,12
gram/kapita/hari setara dengan daging
4,04 kg/kapita/tahun,
telur
3,45
kg/kapita/tahun dan susu 0,002
kg/kapita/tahun. Konsumsi protein
hewani asal ternak ini hanya mencapai
52% apabila dibandingkan dengan
standar norma gizi nasional yang
ditetapkan rata-rata konsumsi protein
hewani asal ternak sebesar 6
gram/kapita/hari setara dengan daging
10,30
kg/kapita/tahun,
telur
6,5
kg/kapita/tahun
dan
susu
0,04
kg/kapita/tahun. Persentase kontribusi
produksi daging dibanding total
produksi daging yang utama di
Kalimantan Barat berasal dari daging
unggas (ayam buras, ayam ras dan
itik) sebesar 65,53%, daging babi
16,88 %, daging sapi 16,26 % dan
daging kambing 1,26 %. Jumlah sapi
yang dipotong sejumlah 25.395 ekor
dengan produksi daging sebesar 3.926
ton (Diswannak Kalbar, 2005).
Berdasarkan standar norma
gizi nasional, maka konsumsi protein
hewani
asal
ternak
penduduk
Kalimantan Barat, khususnya daging
masih
kurang
sebesar
6,26
kg/kapita/tahun atau sebesar 60,78 %.
Keadaan ini merupakan peluang pasar
bagi pengembangan ternak sapi di
Kabupaten Pontianak yang merupakan
wilayah
penyangga
kebutuhan
penduduk Kota Pontianak. Keunggulan

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

ternak ruminansia, seperti sapi dalam
memanfaatkan hijauan dengan serat
kasar
tinggi
terefleksikan
pada
komponen biaya pakan yang rendah
dibanding ternak monogastrik yaitu
sekitar 20 % dengan 70 %, sehingga
ternak sapi dapat memberikan nilai
tambah produk yang lebih tinggi.
Keadaan ini merupakan peluang yang
dapat diisi oleh produk daging,
khususnya
daging
sapi
yang
menguntungkan
secara
eknomis,
mendukung ketahanan pangan daerah
serta
sekaligus
mempercepat
pencapaian
standar
norma
gizi
nasional.
Peluang Investasi
Potensi
investasi
untuk
pengembangan
ternak
sapi
di
Kabupaten Pontianak sangat besar
mengingat daya dukung wilayah,
sumberdaya
manusia,
potensi
ketersediaan
pakan,
tersedianya
limbah pertanian untuk pakan ternak
dan dukungan Pemerintah Daerah
Propinsi dan Kabupaten. Berdasarkan
potensi Kabupaten Pontianak yang
besar tersebut, masih terbuka peluang
investasi dalam pengembangan ternak
sapi bagi petani maupun swasta yang
didukung
oleh
lembaga-lembaga
permodalan seperti perbankan, BUMN
dan sebagainya.
Berdasarkan
hasil
analisis
usaha pemeliharaan sapi di Ogan
Komering Ulu, Sumatera Selatan
(Penggemukan
12
bulan
dan
Pembibitan) dan di Wonogiri, Jawa
Tengah (Penggemukan 3 bulan)
diperoleh data keuntungan usaha
seperti pada Tabel 6.
Sapi
PO
dengan
pola
penggemukan dipelihara selama 12
bulan dengan pakan rumput alam
dengan pakan konsentrat dedak.

Bobot hidup penjualan adalah 350 –
400 kg. Untuk pola penggemukan 3
bulan diberikan pakan jerami padi dan
rumput unggul, konsentrat pabrik,
bekatul dan ampas tahu sebagai
penguat (komposisi 50%:25%:25%)
diberikan 5 kg/hari, dijual dengan
bobot badan 400 kg-425 kg Untuk
pembibitan, sapi PO dipelihara selama
7 – 10 tahun, pemberian pakan
dengan rumput alam dan jerami,
konsentrat dedak, perkawinan ternak
dilakukan dengan inseminasi buatan.
Sapi yang dijual dengan pembibitan
adalah sapi umur 2 tahun (Direktorat
Pengembangan Peternakan (2004).
Hasil analisis finansial oleh Tim IPB
dan
Direktorat
Pengembangan
Peternakan
(2004)
menyebutkan
bahwa pada umumnya usaha sapi
potong memiliki nilai IRR yang tinggi (>
50%), BC-Ratio sedang (1- 1,2) untuk
daerah Wonogiri dan tinggi untuk Ogan
Komering Ulu (> 1,5). Periode
pengembalian untuk usaha penggemukan umumnya relatif pendek (2-3
tahun), sedangkan untuk usaha
pembibitan umumnya relatif lama (> 5
tahun).
Berdasarkan tabel Analisis
usaha pemeliharaan sapi tersebut
dapat diketahui keuntungan dari
masing-masing pola pemeliharaan.
Pola penggemukan sapi selama 3
bulan memberikan keuntungan yang
paling maksimal dibandingkan dua
pola yang lain. Untuk menentukan
pilihan pola pemeliharaan yang akan
dikembangkan sangat ditentukan oleh
kapasitas sumberdaya yang tersedia.
Jika memiliki modal yang cukup dan
sumber pakan tersedia cukup dapat
dipilih pola penggemukan sapi 3 bulan
sedangkan
jika
modal
menjadi
pembatas, maka dapat dipilih pola
penggemukan 1 tahun atau pola
pembibitan.

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

Tabel 6. Analisis Usaha Pemeliharaan Sapi (Rp/ekor/tahun).
No

Pola

1. Biaya Tetap

Penggemukan
(12 bulan)
3.329.000

Penggemukan
(3 bulan)
14.088.148

Pembibitan/th
818.278

2. Biaya Operasional

208.333

1.579.866

302.166

3. Biaya Resiko

500.500

69.500

325.000

4.550.000

18.000.000

2.500.000

511.777

2.253.485

1.254.554

4. Nilai Penjualan
5. Keuntungan

Sumber: Direktorat Pengembangan Peternakan (2004).

IMPLIKASI KEBIJAKAN
Menurut Saragih (2000) dalam
Gunawan (2004), paradigma pembangunan peternakan yang mampu
memberikan peningkatan pendapatan
peternak yang relatif tinggi dan
menciptakan daya saing global produk
peternakan
adalah
pembangunan
agribisnis berbasis peternakan. Dalam
agribisnis peternakan tercakup empat
subsistem, yaitu (1) subsistem agribisnis hulu peternakan yakni kegiatan
ekonomi yang menghasilkan sapronak
(industri pembibitan, industri pakan
dan obat-obatan, (2) subsistem usaha
peternakan yakni usaha budidaya
ternak, (3) subsistem agribisnis hilir
peternakan yakni kegiatan ekonomi
yang mengolah komoditas primer
peternakan menjadi produk olahan
(industri pengolahan dan pemasaran
hasil ternak) dan (4) subsistem jasa
penunjang yakni kegiatan ekonomi
yang menyediakan jasa yang dibutuhkan oleh ketiga subsistem lain.

Demikian pula dalam pengembangan
peternakan
sapi
untuk
mendukung pengembangan jagung di
Kalimantan Barat, khususnya di
Kabupaten Pontianak perlu dirumuskan strategi untuk mengembangkan
sistem agribisnis sapi potong yang
terpadu. Integrasi antar subsistem
agribisnis akan sangat menentukan
keberhasilan sistem agribisnis ternak
sapi secara keseluruhan. Merupakan
tugas pemerintah untuk memfasilitasi
dan menginisiasi program pengembangan agribisnis ternak sapi di
Kalimantan Barat, khususnya di
Kabupaten Pontianak yang memiliki
banyak peluang untuk dikembangkan.
Pemerintah perlu menggerakkan para
petani, pemodal, pengusaha dan
lembaga penunjang lainnya untuk
bersama-sama merumuskan struktur
dan mekanisme sistem agribisnis
ternak sapi yang operasional dan
terarah.

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

PENUTUP
Sumberdaya
Kabupaten
Pontianak diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan
sendiri
dan
sebagai
penyangga kebutuhan penduduk Kota
Pontianak. Terdapat 287.954 ha areal
potensi sumberdaya lahan jagung di
Kabupaten Pontianak. Biomasa jagung
dari areal tanam di Kabupaten
Pontianak sejumlah 14.268,3 ton dapat
mendukung 7.818,25 unit ternak per
tahun per musim tanam. Jika 25 %
potensi areal pengembangan jagung
seluas 71.988,5 ha akan menghasilkan
18,5 kali biomasa/musim tanam dari
pertanaman jagung saat ini, maka
mampu menyediakan pakan untuk
144.637,6 unit ternak. Sejumlah 58,68
% penduduk Kabupaten Pontianak
bekerja di bidang pertanian merupakan
potensi untuk pengembangan ternak
sapi.
Iklim Kabupaten Pontianak
sangat sesuai untuk pengembangan
bangsa sapi Bos indicus dan Bos
sondaicus. Keperluan sapi bakalan
untuk Kabupaten Pontianak per tahun
sejumlah 22,19 % dari jumlah populasi,
merupakan peluang dalam usaha
pembibitan sapi bakalan. Satu hektar
jagung menghasilkan 7-10 ton pupuk
organik per tahun dari 4 – 6 ekor sapi
yang menunjang kebutuhan pupuk
organik dua kali tanam setahun untuk
1 – 2 hektar. Konsumsi protein hewani
penduduk Kalimantan Barat khususnya
daging, masih kurang sebesar 6,26
kg/kapita/tahun atau sebesar 60,78 %
merupakan
pangsa
pasar
bagi
pengembangan ternak sapi.
Pola
penggemukan
sapi
selama
3
bulan
memberikan
keuntungan yang paling maksimal
dibandingkan penggemukan setahun
dan pembibitan. Pemerintah perlu
menggerakkan para petani, pemodal,

pengusaha dan lembaga penunjang
lainnya
untuk
bersama-sama
merumuskan struktur dan mekanisme
sistem agribisnis ternak sapi yang
operasional dan terarah.
DAFTAR PUSTAKA
Badan

Litbang Pertanian. 2004.
Rencana Strategis Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian, Badan Litbang
Pertanian, Bogor.

BPS.

2004. Kabupaten Pontianak
Dalam Angka 2003. Biro
Pusat Statistik, Pontianak.

Dinas

Pertanian Tanaman Pangan
Propinsi
Kalbar.
2003.
Laporan Penggunaan Lahan
(SP-VA)
Propinsi
Kalbar
Tahun 2002.

Dinas

Pertanian Tanaman Pangan
Propinsi
Kalbar.
2003.
Laporan
Tahunan
Dinas
Pertanian Tanaman Pangan
Propinsi Kalbar Tahun 2003.

Direktorat Pengembangan Peternakan.
2004.
Informasi
Peluang
Investasi Agribisnis Peternakan. Direktorat Pengembangan
Peternakan, Jakarta.
Diswannak. 2005. Rencana Tahunan
Sub
Sektor
Peternakan
Kalimantan Barat Tahun 2005.
Dinas
Kehewanan
dan
Peternakan Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Diwyanto, K dan Atien Priyanti. 2004.
Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Ternak Untuk
Meningkatkan Daya Saing
dan
Pendapatan
Petani.
Dalam Makalah Lokakarya

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

Nasional Sistem Integrasi
Jagung-Ternak, Pontianak.

basis Peternakan. Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta.

Fagi, A.M. dan Ketut Karyasa. 2004.
Ulasan Makalah. Prosiding
Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani TanamanTernak.
Badan
Litbang
Pertanian, Bogor.

Puslitbangtanak.
2004.
Laporan
Tahunan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan
Agroklimat Tahun Anggaran
2003. Puslitbangtanak, Bogor.

Gunawan. 2004. Model dan Strategi
Kerjasama
Penelitian
Agribisnis Sapi Potong Dalam
Era Globalisasi. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan
dan
Veteriner.
Puslitbang
Peternakan, Bogor

Santoso, D. dan Enggis Tukerih. 2004.
Meningkatkan
Pengelolaan
Lahan
Untuk
Memacu
Pengembangan Ternak Ruminansia. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan
Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor.

Isbandi. 2004. Ketersediaan Biomasa
Tanaman Jagung di Desa
Sukajadi (P-6) Karang Agung
Tengah, Sumatera Selatan.
Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan, Bogor.

Tim IPB dan Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Analisa
Usaha Sapi Potong Dalam
Rangka Pengembangan Sistem
Informasi.
Direktorat
Pengembangan Peternakan,
Jakarta.

Muzani, A., Y. Geli Bulu, K. Puspadi,
TS Panjaitan. 2004. Potensi
Pakan Dalam Sistem Integrasi
Tanaman Ternak di Lombok
Nusa
Tenggara
Barat.
Prosiding Lokakarya Sistem
dan Kelembagaan Usahatani
Tanaman-Ternak.
Badan
Litbang Pertanian, Bogor.
Prayugo, S., E. Purbowati dan S. Dartosukarno. 2004. Penampilan
Sapi Peranakan Ongole dan
Peranakan Limousin yang
Dipelihara Secara Intensif.
Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan, Bogor.
Purwadi, R.M. 2004. Pemanfaatan
Limbah
Jagung
Sebagai
”Selase”. Makalah Dalam
Workshop
Pengembangan
Kawasan Agropolitan Ber-

LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004

Tillman A. D., Hari Hartadi, Soedomo
Reksohadiprodjo, S. Prawirousumo dan S. Lebdosoekojo.
1998. Ilmu Makanan Ternak
Dasar. UGM Press, Yogyaarta.
Widiastuti, D.P., M. Hatta dan Sih
Wiyono.
2002.
Pengujian
Kalibrasi
Tanah
Pada
Tanaman Jagung di Lahan
Kering. Prosiding Seminar
Loka Pengkajian Teknologi
Pertanian Pontianak, Pontianak.

103
LOKAKARYA NASIONAL SISTEM INTEGRASI JAGUNG DAN TERNAK, Pontianak, 22-24
September 2004