HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH APAKAH PENGATU

1

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
APAKAH PENGATURAN OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DI
INDONESIA MENCERMINKAN CIRI DESENTRALISASI ASIMERTIS
(kajian atas D.I Yogyakarta, D.I Aceh, dan Daerah Otonomi
Khusus Papua dan Papua Barat)

Abdul Rauf Alauddin Said
NIM. 14/371881/PHK/08233
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

A. Latar Belakang
Permasalahan pemerintahan daerah, sudah sejak dahulu dibahas dan
dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Pemerintahan daerah adalah
elemen penting dalam penyelenggaraaan pemerintahan, negara Indonesia akan
kuat dan kokoh jika daerahnya atau pemerintahan daerahnya kuat. Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kedaulatan tertinggi terletak
pada pemerintah pusat, namun seluruh urusan penyelenggaraan pemerintahan
Indonesia, tidak semuanya dapat dilakukan oleh pemrintah pusat. Oleh karena
itu sejak dahulu Indonesia menerapakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Hanya saja makna desentralisasi dan otonomi daerah yang baik dalam tataran
teoritik dan konsep, selalu berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan atau
praktik.
Semenjak runtuhnya era Orde Baru, Indonesia mengalami perkembangan
pesat mengenai pola hubungan pusat dan daerah. Perkembangan selanjutnya
dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah ialah penerapan
desentralisasi asimetris, yang sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang baru
dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Sudah sejak dahulu, terdapat
daerah yang diperlakukan berbeda oleh pemerintah pusat dengan dasar hak
asal-usul yang terdapat dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 sebelum
amandemen. Perkembangan pemerintahan daerah saat ini, memperjelas daerah
yang diberikan kekhususan dan keistimewaan dengan diberikannya undangundang khusus atau istimewa terhadap daerah tertentu.

2

Permasalahan yang terjadi ialah apakah penerapan desentralisasi asimetris
sesuai bagi Indonesia yang berbentuk negara kesatuan, sebab banyak lahirnya
konsep desentralisasi asimetris berasal dari negara berbentuk federal. Menurut
Ni’matul Huda1, desentralisasi asimetris sesuai atau tidak kembali pada
konstitusi Indonesia, hanya perlu diperjelas mengenai makna atau parameter

pasal 18B itu, karena hingga saat ini perihal tersebut tidak ditegaskan.
Pemerintah atau DPR selaku pembuat UU harus membuat parameter atau
indikator yang jelas, sebuah daerah diberikan istimewa atau kekhususan.
Masih menurut Ni’matul huda, dalam risalahnya Pasal 18B hanya untuk
memberikan dasar Aceh dan Papua untuk diberikan otsus, namun tidak bisa
menggantung karena harus jelas pemaknaannya dalam bentuk UU. Pemberian
status istimewa dan khusus jangan hanya alasan politis, melainkan harus jelas
derajatnya apa dan seperti apa.2
Untuk mengetahui dan memahami apakah penerapan desentralisasi
asimetris sesuai bagi NKRI, terdapat hal-hal yang perlu dikaji dalam
konstitusi negara Indonesia, kemudian peraturan pelaksana dari konstitusi
berupa undang-undang tentang pemerintahan daerah perlu dijabarkan. Berikut
analisis kesesuaian penerapan desentralisasi asimetris dengan melihat
konstitusi negara Indonesia dan aturan mengenai pemerintahan daerah.
B. Bentuk Penerapan Desentralisasi Asimetris di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, penerapan
desentralisasi asimetris dalam bentuk daerah istimewa dan otonomi khusus
telah lahir dan berjalan sejak dahulu. Salah satunya ialah Yogyakarta diberikan
keistimewaan dalam Undang-Undang (UU) No. 30 Tahun 1950 tentang
Pembentukan daerah Istimewa Yogyakarta, yang disempurnakan dengan UU

No. 13 Tahun 20012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), selanjutnya di Provinsi Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) melalui UU
No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh yang terakhir disempurnakan dengan UU No. 11 Tahun 2006
1 Tesis Helmy Boemiya, 2014, Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Hasil wawancara dengan Dr. Ni’matul Huda pakar HTN dan dosen FH UII, pada tanggal 22 Mei
2014.
2 Ibid.

3

tentang Pemerintahan Aceh, selanjutnya diberlakukannya otonomi khusus di
provinsi Papua, yaitu melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua. Kemudian dikembangkan lagi dengan keluarnya
UU No. 35 Tahun 2008 yang menjadikan Papua Barat diberlakukan otonomi
khusus. Setelah itu Jakarta juga menyandang status Daerah Khusus Ibukota
melalui UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan praktik ketatanegaraan dan dasar hukum tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa otonomi asimetris/desentralisasi asimetris di

Indonesia perwujudannya berbentuk “Daerah Khusus dan Daerah Istimewa”.3
a. Daerah Khusus
Daerah khusus, yakni satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus
yang diberikan otonomi khusus, sementara otonomi khusus adalah
kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada daerah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat daerah.4 Dasar hukum
daerah khusus diatur dalam UUD NRI 1945 setelah amandemen pasal 18A
ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1). Latar belakang pemberian otonomi khusus
lebih didasarkan pada pertimbangan non sejarah dan hak asal-usul. Pemberian
otonomi khusus lebih dititik beratkan pada kondisi dan kebutuhan riil daerah
sehingga diperlukan penyelenggaraan wewenang yang bersifat khusus, seperti
Provinsi Papua, Papua Barat, dan DKI Jakarta.5
Sedikit berbeda mengenai DKI Jakarta yang diberikan kekhususan karena
sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Dilihat dari model
pengembangan desentralisasi asimetris, Aceh, Papua dan Papua Barat
termasuk dalam model kombinasi antara otonomi khusus dan otonomi
reguler, yang mana otonomi khusus diberikan sebagai solusi untuk

3 DPD RI, 2013, Kajian Desentralisasi Asimetris Dan Otonomi Khusus di Indonesia (studi kasus

Provinsi Bali dan Provinsi Kepulauan Riau), Sekjen DPD RI, Jakarta, hlm. 2.
4 Ibid.,
5 Ibid.,

4

menyelesaikan ketegangan antara pemerintah nasional dan daerah yang mau
memisahkan diri.
b. Daerah Istimewa
Daerah istimewa ialah daerah yang mempunyai keistimewaan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik

Indonesia

(NKRI),

keistimewaan

yang


dimaksud

ialah

keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh daerah berdasarkan
sejarah dan hak asal-usul menurut UUDNRI 1945 setelah amandemen.6 Dasar
hukum istimewa diatur dalam Pasal 18B ayat (1).
Contoh konkrit penerapan desentralisasi asimetris berbentuk daerah
istimewa ialah Provinsi Aceh dan DIY, namun Aceh semenjak disahkan UU
No. 11 Tahun 2006 menjadi otonomi khusus bukan daerah istimewa seperti
yang disebutkan dalam UU No. 44 tahun 1999. Daerah istimewa dalam
beberapa penelitian, dikatakan termasuk dalam kekhasan daerah berbasis
sosio-budaya. Maksud sosio-budaya disini ialah suatu daerah menjadi khas
karena memiliki sistem sosial budaya yang sudah terbentuk sebelum negara
tersebut lahir. Dalam hal ini DIY seudah ada sebelum Indonesia merdeka.
DIY memiliki nilai historisitas yang kuat hal ini yang menjadi dasar kuat
diberikannya keistimewaan DIY, yang mana DIY berbentuk kerajaan.
Sebelum DIY.DIY semenjak UU No. 3 Tahun 1950 hingga UU No. 13 tahun
2012 tetap disebut darah istimewa yang memiliki kewenangan urusan

istimewa yakni: mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan wakil
gubernur, kelembagaan daerah, pertanahan, tata ruang dan kebudayaan.
Untuk lebih memahami penerapan desentralisasi asimetris terhadap
pemerintahan daerah (pemda) dalam NKRI, dapat dilihat dari daerah-daerah
atau pemda yang telah memiliki payung hukum atau dasar yuridis berupa
Undang-Undang mengenai kekhususan dan keistimewaan daerah. Beberapa
pemda yang memiliki undang-undung khusus atau istimewa, antara lain
sebagai berikut.
1. Pemerintahan Aceh
6 Ibid., hlm 4.

5

Pemberian otonomi khusus pada Aceh, merupakan jalan panjang
perjuangan masyarakat daerah Aceh. Sebelumnya pada tahun 1953, Aceh
bergejolak menuntut keistimewaan yang dipimpin oleh Daud Beureuh, yang
pada intinya menginginkan syariat islam diterapkan di daerah Aceh,
kemudian perjuangan selanjutnya ialah perjuangan, yang lebih menekankan
pada kesejahteraan masyarakat Aceh, yang mana Aceh memiliki sumber daya
alam melimpah, namun masyarakat Aceh tidak merasakannya dan hidup tidak

sejahtera.
Landasan

filosofis

pengaturan

Pemerintahan

Aceh

ialah

sistem

Pemrintahan NKRI mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus dan istimewa, kemudian berdasarkan perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau istimewa, salah satu karakternya ialah
masyarakat Aceh memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Ketahanan dan

daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang
berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat,
sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan NKRI.7
Landasan

sosiologis

pengaturan

pemerintahan

Aceh

ialah

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum
dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta
pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) sehingga
pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsipprinsip kepemerintahan yang baik. Selain hal tersebut, bencana alam gempa

bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2006, telah
menumbuhkan

solidaritas

seluruh

potensi

bangsa

Indonesia

untuk

membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan
konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam
kerangka NKRI.
7 Lihat Konsideran UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4633.

6

Dasar yuridis (hukum) pijakan Aceh diberikan perbedaan perlakuan oleh
pemerintah pusat ialah Pasal 18A dan 18B ayat (1). Dalam UU No. 11 Tahun
2006, terdapat beberapa hal substansi yang membedakan Aceh dari daerah
lainnya ialah sebagai berikut8 :
1) Aceh disebut daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakatnya.
2) Pemerintahan Aceh dan kab/kota berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan, meliputi : urusan
pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,

pertahanan,

keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu di
dalam agama.
3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Aceh dibedakan menjadi
dua yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK).
4) Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di Aceh disebut Komisi
Independen Pemilihan (KIP), yang tugasnya menyelenggarakan pemilihan
umum Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI,
anggota DPRA, dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
5) Penduduk Aceh diberikan hak untuk membuat partai politik lokal yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di
Aceh. Partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945.
6) Aceh dapat melaksanakan syari’at Islam meliputi aqidah, syar’iyah dan
akhlak, yang terdiri dari ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga),

8 Lihat Pasal 1 angka 2, Pasal 7 ayat (1) dan (2), Pasal 56, Pasal 78, 96, 125 ayat (1) dan (1), Pasal
128, 179 dan 181 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh , Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4633.

7

muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
7) Aceh terdapat Mahkamah Syar’iyah Aceh, mahkamah ini bagian dari
sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama.
8) Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang merupakan
majelis yang terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan
mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA
9) Lembaga Wali Nanggroe, merupakan kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang
membina dan mengawasi penyelenggaan kehidupan lembaga-lembaga
adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat
lainnya.
10) Pemerintahan Aceh berhak membuat Qanun, hal ini khusus yang berkaitan
dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kab/kota.
11) Mengenai

perekonomian

dan

pengelolaan

sumber

daya

alam,

pemerintahan Aceh diberikan kewenangan untuk mengurus sendiri sesuai
aturan.
2. Provinsi Papua dan Papua Barat
Papua adalah salah satu provinsi diujung timur NKRI yang dulunya selama
masa orba dinamakan Irian Jaya. Papua memiliki sumber daya alam (SDA)
melimpah daripada daerah lainnya, hanya saja kualitas sumber daya manusia
(SDM) sangat lemah, hal ini dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia
(IPM) yang sangat rendah dari daerah lainnya.
Landasan filosofis Papua dan diberikan kekhususan atau otonomi khusus
ialah NKRI memiliki cita-cita atau tujuan negara yang membangun
masyarakat Indonesia adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945, dan Papua adalah salah satu provinsi dalam sistem
NKRI. Kemudian integrasi bangsa dalam wadah NKRI harus tetap
dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan
sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus.

8

hal yang perlu diperhatikan juga ialah penduduk asli di Provinsi Papua adalah
salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku
bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat
istiadat, dan bahasa sendiri.9
Landasan filosofis Provinsi Papua Barat diberikan kekhsusan yang sama
seperti Papua ialah keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian
berubah menjadi Provinsi Papua Barat, dalam kenyataannya telah
menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan
pelayanan kepada masyarakat sejak Tahun 2003, namun belum diberlakukan
Otonomi Khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Landasan sosiologis pemberian otonomi khusus bagi provinsi Papua
adalah penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di
Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum
sepenuhnya

memungkinkan

tercapainya

kesejahteraan

rakyat,

belum

sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Kemudian permasalahan selanjutnya ialah pengelolaan dan pemanfaatan
hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan
terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta
merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.
Oleh karena itu pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada
nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika
dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, HAM, supremasi hukum, demokrasi,
pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga
negara. Telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak9 Lihat Konsideran UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4151.

9

hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan
pelanggaran dan perlindungan HAM penduduk asli Papua.10
Landasan Sosiologis otonomi khusus bagi Papua Barat ialah Provinsi
Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan
segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan
khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi
Papua Barat.11
Landasan yuridis diberikannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua terdiri
dari Pasal 18, 18A, dan 18B, Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tap MPR
Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 19992004, Tap MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.12
Landasan yuridis pemberian Papua Barat sebagai otonomi khusus ialah
Pasal 18B dan Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 sesudah amandemen, UU No.
21 Tahun 2001, UU No. 23 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Bagi Provinsi Papua dan UU No. 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Papua merupakan contoh penerapan desentralisasi asimetris terhadap
pemda berupa pemberian otonomi khusus, berikut beberapa hal substansi
Provinsi Papua yang berbeda dari daerah lain :
10 Ibid.,
11 Lihat Konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Bagi Provinsi Papua, Lembran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 57 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4842
12 Lihat Konsideran UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4151.

10

1) Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat
2) Provinsi Papua adalah provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus
dalam NKRI, otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan
diberikan kepada provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
3) DPRD di Provinsi Papua disebut dewan perwakilan rakyat Papua (DPRP)
4) Dalam provinsi Papua terdapat Majelis Rakyat Papua (MRP), merupakan
representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu
dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan
pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan,
dan pemantapan kerukunan hidup beragama
5) Pemerintahan Daerah provinsi Papua berhak membuat peraturan daerah
khusus (perdasus), dalam rangka melaksanakan kekhususan yang dimiliki
oleh Provinsi Papua.
6) Provinsi Papua mempunyai pengaturan mengenai adat, masyarakat adat,
hukum adat dan masyarakat hukum adat tersendiri.
7) Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam

seluruh

bidang

pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, moneter, dan fiskal, agama dan peradilan.
8) Gubernur dan Wakil Gubernur provinsi Papua harus orang asli Papua
9) Dalam hal Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari
perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk
menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh
rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan
pemerataan.
3. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Daerah Istimewa Yogayakarta (DIY) merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda, serta mempunyai akar sejarah
yang kuat dengan Indonesia. DIY merupakan gabungan dari dua daerah yang
dahulu dinamakan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Paku
Alaman.

11

Landasan filosofis Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diberikan
keistimewan adalah NKRI mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa. Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah mempunyai wilayah,
pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan
sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.13
Landasan Sosiologisnya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta belum mengatur secara lengkap
mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Landasan Yuridisnya
ialah Pasal 18, 18A dan 18B UUD NRI Tahun 1945 sesudah amandemen, UU
No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta jo UU
No 19 Tahun 1950 tentang Perubahan Pembentukan Daerah Istimewa
Yogayakrta dan UU 23 Tahun 2014.14
DIY merupakan contoh penerapan desentralisasi asimetris yang bentuknya
disebut daerah istimewa. DIY memiliki beberapa kewenangan istimewa yang
berbeda dengan daerah lainnya. Hal-hal substansial tersebut anatara lain :
1) DIY adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI.
2) Penerapan desentralisasi asimetris terhadap DIY bentuknya berupa daerah
istimewa yang memiliki keistimewaan, keistimewaan adalah keistimewaan
kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak
asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.

13 Lihat Konsideran UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339.
14 Ibid.,

12

3) Kewenangan istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki
DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang
tentang pemerintahan daerah
4) Pemerintahan DIY diberikan kewenangan untuk membuat Peraturan
Daerah Istimewa (perdais) dalam hal mengatur urusan keistimewaan.
5) Keistimewaan DIY berada di Provinsi, kewenangan dalam urusan
keistimewaan meliputi: a) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas,
dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; b) kelembagaan Pemerintah
Daerah DIY, c) kebudayaan, d) pertanahan; dan e) tata ruang.
C. Kesimpulan
Dari uraian singkat yang telah dikemukakan di atas, maka penulis menarik
sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya, pemberian status khusus maupun
istimewa pada suatu daerah, dalam hal ini pada ke tiga daerah yakni
D.I.Yogyakarta, D.I.Aceh, dan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang
menjadi objek kajian, selain dari pada landasan filosifis dan sosisologisnya
adalah juga lebih didasarkan atas pertimbangan politik oleh pemerintah pusat.
Hal ini dikarenakan tidak adanya parameter yang mengatur secara jelas dan
tegas dalam menentukan status daerah khusus maupun keistimewaan bagi
suatu daerah. Pemberian status kekhususan maupun keistimewaan bisa
dikatakan lebih bergantung pada kepentingan politik pemerintah pusat dan
adanya tekanan politik dari masyarakat yang berasal dari daerah tersebut di
atas, olehnya penulis berkesimpulan bahwa pemberian kekhususan maupun
keistimewaan terhadap daerah-daerah tersebut belum mencerminkan ciri
desentralisasi asimetris secara utuh seperti yang diatur dalam Pasal 18B
UUDNRI 1945 dalam konteks negara kesatuan.