BIAS BIAS BIAS BIAS GENDER GENDER GENDER

BIAS GENDER DALAM BAHAN AJAR SEKOLAH DASAR DI
JAWA TIMUR
Retnani
Darni
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Abstrak
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan wawasan gender
yang tercermin
dalam bahan ajar Sekolah Dasar (SD) di Jawa Timur. Hasil penelitian ini bermanfaat
sebagai rekomendasi kebijakan dalam penyusunan buku ajar yang responsif gender di SD.
Dalam jangka panjang, penelitian ini akan mendukung pengarusutamaan gender terutama
dalam bidang pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sumber data
penelitian adalah bahan ajar SD yang digunakan di Jawa Timur tahun 2013. Data
penelitian berupa kata dan gambar dalam bahan ajar yang mencerminkan kondisi bias
gender. Pengumpulan data menggunakan teknik pustaka. Analisis data menggunakan
metode deskriptif yang dilandasi oleh konsep gender. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bias gender tampak dominan dalam bahan ajar di SD. Peran-peran penting dalam keluarga
dan masyarakat ditampilkan secara stereotip. Perempuan banyak berperan di ranah
domestik dan mengerjakan pekerjaan yang halus dan mementingkan perasaan, seperti
memasak, mencuci piring, menyeterika, menjadi guru, dan penyanyi. Sedangkan laki-laki

banyak berperan di ranah publik, seperti bekerja di luar, mulai dari bertani, mencari ikan,
menjalankan rakit, bekerja bakti, dan menjadi dokter. Permainan juga masih dikonstruksi
secara stereotip. Perempuan ditampilkan dalam permainan-permainan yang berkaitan
dengan domestik dan halus, seperti bermain tali, bermain boneka, dan masak-masakan.
Sedangkan laki-laki dilibatkan dalam permainan yang beresiko dan keras, seperti bermain
layang-layang dan sepak bola. Sikap anak laki-laki dan perempuan juga dibedakan dengan
jelas. Anak perempuan menangis, sedangkan laki-laki riang gembira.
Kata Kunci
Kunci: peran, stereotip, permainan, pekerjaan, sikap

Abstract
Abstract: This study aims to describe gender insight that is reflected in teaching materials
of Elementary School in East Java . The results of this study can be beneficial as
recommendations for government policy in the preparation of gender-responsive textbooks
in primary school. In the long run, this research will support gender mainstreaming,
especially in the field of education. This study is a qualitative research. Source of research
data is the primary instructional materials used in East Java in 2013 . Research data are
in the form of words and images in teaching materials that reflect the gender bias.
Literature techniques were used in the data collection. The data analysis used descriptive
method that is based on the concept of gender. The results show that gender bias is

dominant in the teaching materials in elementary school. Important roles in the family and
society are stereotypically displayed. Women have many roles in the domestic sphere and
subtle homework and the importance of feelings, such as cooking, washing dishes, ironing,
1

being a teacher, and singer . While many men participate in public life, such as working
outside of the house ranging from farming, fishing, running rafts,doing community service,
and being a doctor . The game was also constructed stereotypically. Women are featured
in games related to domestic and smoothness, like a skipping rope , playing with dolls, and
cooking. While the men are involved in risky and violent games, such as kite-flying and
football. The attitude of boys and girls are also clearly differentiated. Girls cry, whereas
men merry.
Keywords : roles , stereotypes , games , employment , attitude
Pendahuluan
Laki-laki sampai saat ini masih merupakan jenis kelamin yang paling diharapkan di
Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh sebagian
masyarakat, yakni sistem patriarkhi. Tatanan kehidupan tersebut memberikan ruang dan
kewenangan yang sangat luas kepada laki-laki. Namun, laki-laki juga harus memberikan
konsekuensi atas dominasi peran yang dimiliki. Laki-laki wajib memberikan nafkah dan
perlindungan kepada perempuan.

Dominasi laki-laki terhadap perempuan akan menimbulkan ketidakseimbangan
dalam hak. Laki-laki pada umumnya selalu di depan atau didahulukan dalam meraih
berbagai kesempatan. Akibatnya perempuan banyak kehilangan kesempatan dan waktu
untuk meraih keberhasilan.
Dominasi laki-laki atas perempuan sebenarnya tidak selalu menimbulkan masalah.
Menurut penelitian Darni (2012:213) dominasi laki-laki tidak menimbulkan masalah
apabila laki-laki memberikan konsekuensinya dan tidak berlaku sewenang-wenang.
Apabila laki-laki bertindak sewenang-wenang, maka akan menimbulkan kekerasan
terhadap perempuan.
Masalah peran atau gender merupakan masalah yang sangat berpengaruh kepada
pembentukan kepribadian anak. Selama ini, dalam masyarakat kita, masyarakat Jawa
khususnya terjadi kondisi bias gender atau kepincangan gender. Perempuan selalu
dianggap sebagai kelompok subordinat.
Penanaman wawasan kesetaraan gender harus dilakukan sejak dini, sejak anak duduk
di bangku sekolah. Jenjang Sekolah Dasar merupakan waktu yang tepat untuk membentuk
kepribadian anak. Aspek-aspek penting dalam kurikulum, seperti guru dan bahan ajar
merupakan sarana yang tepat dalam mengimplementasikan wawasan kesetaraan gender
kepada anak didik. Bahan ajar yang memiliki wawasan kesetaraan
2


gender akan

menghasilkan anak didik yang memiliki wawasan yang positif terhadap gender dan
perempuan.
Patriarkhi dalam sistem kekeluargaan kita yang telah berurat berakar lama di
masyarakat membawa pengaruh yang dalam terhadap cara pandang mereka tentang
perempuan. Meskipun secara teoritis di undang-undang maupun di peraturan daerah tidak
ada diskriminasi terhadap perempuan, namun secara praktis terdapat banyak kepincangan
dan bahkan kekerasan menimpa perempuan. Peran perempuan di dunia domestik masih
dianggap kodrat oleh sebagian masyarakat (Darni, 2012:6).
Kondisi tersebut sangat riskan terjadi dalam pembelajaran di Sekolah Dasar. Seperti
hasil pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Darni dkk (2010:23) menunjukkan
bahwa para guru Sekolah Dasar sebagian besar masih bersikap konsumtif atau pengguna
terhadap bahan ajar. Mereka belum bisa menyikapi bahan ajar yang bias gender, karena
pengetahuan dan kesadaran mereka terhadap kesetaraan gender belum membudaya.
Dibutuhkan buku ajar yang responsif gender untuk mencapai kesetaraan gender. Analisis
bahan ajar Sekolah Dasar terhadap wawasan kesetaraan gender harus segera dilakukan
untuk mengawali aksi pengarusutamaan gender di bidang pendidikan. Diperlukan data
yang akurat untuk melakukan tindakan perbaikan yang sistematis.
Ada delapan mata pelajaran pokok dan satu muatan lokal di SD. Tujuh


mata

pelajaran pokok tersebut adalah Bahasa Indonesia, IPS, IPA, PKn, Matematika, Olah raga,
Seni Budaya Ketrampilan (SBK) dan Agama. Satu mata pelajaran muatan lokal adalah
Bahasa Daerah. Dari sembilan mata pelajaran tersebut delapan diantaranya akan diteliti.
Satu mata pelajaran yang tersisa adalah Agama.
Analisis terhadap bahan ajar di SD ini secara ideal dilakukan di seluruh pulau Jawa.
Namun dalam tahap ini penelitian akan dilakukan terhadap bahan ajar di Jawa Timur dan
Tengah. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa kedua wilayah tersebut banyak
memiliki kesamaan. Jawa Timur dan Jawa Tengah memiliki budaya yang sama, yakni
budaya Jawa. Sedangkan Jawa Barat memiliki latar sosio budaya dan bahasa yang berbeda
dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penelitian pada kesempatan ini dipusatkan pada
bahan ajar di Jawa Timur.
Bias gender dalam bahan ajar SD dalam penelitian ini akan dianalisis meggunakan
konsep gender. Secara harafiah gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis
kelamin (Echols, 1983:265). Namun menurut Saptari pengertian gender tidak identik
dengan perbedaan seksual secara biologis saja, melainkan merupakan perbedaan simbolis
3


dan sosial yang berpangkal pada perbedaan seks (1997:89). Perbedaan seksual bersifat
alami dan kodrati dengan cirri-ciri fisik yang jelas serta

tidak dapat dipertukarkan.

Demikian juga yang dikemukakan oleh Humm (2002:178) bahwa jenis kelamin bersifat
biologis sedangkan perilaku gender merupakan konstruksi sosial. Lebih lanjut Mosse
(1996:3) mengemukakan bahwa gender merupakan seperangkat peran yang, seperti halnya
kostum atau topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin
atau maskulin. Perangkat yang memoles gender tersebut mencakup penampilan, pakaian,
sikap, kepribadian, pekerjaan, seksualitas, tanggung jawab keluarga, dll.
Gender memang berpangkal pada perbedaan seks, namun gender merupakan
konstruksi sosial. Namun demikian masih banyak orang yang menafsirkan gender sebagai
suatu kodrat Tuhan yang tidak dapat dihindari. Mengenai hal itu lebih lanjut Mufidah
(2004:9) menjelaskan bahwa gender terbentuk melalui proses yang panjang. Pembentukan
gender ditentukan oleh sejumlah faktor, kemudian disosialisasikan, diperkuat bahkan
dikonstruk melalui sosio budaya, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos, seolaholah sudah menjadi suatu keyakinan. Proses selanjutnya perbedaan gender dianggap
menjadi suatu ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah, sehingga perbedaan gender
dianggap kodrati. Oleh karena itu perlu adanya pemaknaan melalui kesadaran sosial bahwa
gender terbentuk melalui proses sejarah dan budaya yang panjang.

Berkaitan dengan pembentukan gender yang ditentukan oleh sosio budaya, maka
perbedaan gender pada dua masyarakat yang berbeda akan berbeda pula. Perbedaan gender
pada masyarakat Jawa akan berbeda dengan perbedaan gender dalam masyarakat Bali atau
Minang. Hal itu berkaitan dengan adanya perbedaan struktur sosial masyarakat tersebut.
Di masyarakat kita, masyarakat Jawa khususnya, gender masih dianggap sebagai
suatu kodrat dari Tuhan. Hal tersebut berakar dari struktur masyarakat kita yang patriarkal.
Feodalisme dan sistem kerajaan yang berlaku sebelum kemerdekaan melegalisasi hal itu.
Hasil pengamatan beberapa ahli sosiologi seperti Koentjaraningrat (1984) dan Geertz
(1989) mencatat adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam segala bidang
seperti pekerjaan, pendidikan, perkawinan, dan pergaulan.
Bidang pekerjaan, pekerjaan yang membutuhkan tantangan, seperti mencangkul,
memanjat, mengangkat beban, dan sebagainya dilakukan oleh laki-laki. Sedangkan
pekerjaan yang ringan dan tidak banyak resiko diserahkan kepada perempuan. Pekerjaanpekerjaan perempuan cenderung berurusan dengan pekerjaan rumah tangga, seperti

4

memasak, mencuci piring, menyapu, belanja, menjahit dan mengasuh anak (Darni,
2013:68).
Stereotip peran tersebut telah disosialisasikan sejak anak masih dalam usia dini,
bahkan sejak anak dalam kandungan. Saat anak-anak masih dalam tahap bermain, laki-laki

dan perempuan dibedakan dalam hal jenis permainan. Laki-laki dikenalkan dengan
bermain layang-layang dan sepak bola. Sedangkan anak perempuan diperkenalkan dengan
bermain masak-memasak dan mengasuh anak. Bahkan di saat anak dalam kandungan
sudah dikudang dengan kata-kata yang bernuansa stereotip gender. Misalnya, kalau calon
bayinya perempuan, sang ibu selalu mendiamkannya apabila si orok menendang-nendang
perutnya. Sebaliknya, kalau calon bayinya laki-laki, sang ibu merasa senang apabila si
orok bergerak-gerak mendendang-nendang perut.
Stereotip gender tersebut akan dibawa anak sampai besar. Banyak kemungkinan
stereotip gender tersebut menyebabkan anak perempuan cenderung diam dan tidak banyak
inisiatip serta senang bergantung. Kondisi tersebut menyebabkan anak perempuan tidak
dapat mengembangkan diri secara maksimal. Perempuan lebih suka di belakang dan
bergantung kepada laki-laki. Sebaliknya, laki-laki akan senang pekerjaan yang menantang
dan bekerja keras, sehingga dapat mencapai sukses dalam segala usahanya. Peran-peran
yang dikonstruksi secara stereotip tersebut yang dimaksud bias gender.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah
bahan ajar SD yang digunakan pada tahun 2013 di Jawa Timur. Bahan ajar yang dijadikan
sumber data penelitian ini adalah bahan ajar yang berbentuk buku. Buku yang digunakan di
setiap mata pelajaran di SD digunakan sebagai sumber data penelitian. Ada delapan mata
pelajaran yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini, yakni bahan ajar bahasa

Indonesia, Bahasa Jawa, IPS, PKn, SBK, Matematika, IPA, dan Olah Raga. Daftar delapan
buku teks tersebt sebagai berikut.
No.

Mata Pelajaran

Judul Buku

1

Bahasa Indonesia

1. Bahasa Indonsia Kelas 2

Bahasa Jawa

2. Saya
Senang
Indonesia Kelas 4
1. Marsudi Basa Jawa Kelas 1. Lasmirin, dkk.

4
2. Ngudi Kawruh Basa Jawa 2. Djuri E. Warsito

2

Penulis
1. Marnoto dan H.
Mafrukhi
Bahasa 2. Hanif Nurcholis

5

3

4

Ilmu
Pengetahuan
Sosial
Pendidikan

Kewarganegaraan

1.
2.
1.
2.

5

Seni Budaya dan
Ketrampilan

1.
2.

6

Olah Raga

1.

2.
7

Ilmu
Pengetahuan
Alam

1.
2.

8

Matematika

1.
2.

kelas 5
Horizon IPS Kelas 4
IPS kelas 2
Pendidikan
Kewarganegaraan Kelas 3
Pendidikan
Kewarganegaraan Kelas 1
Seni
Budaya
dan
Ketrampilan Kelas 4
Seni
Budaya
dan
Ketrampilan Kelas 5
Pendidikan
Jasmani,
Olahraga, dan Kesehatan
Kelas 6
Asyiknya
Berolahraga
Kelas 5
Sains Kelas 3
Senang Belajar Ilmu
Pengeahuan Alam Kelas
4
Matematika Kelas 1
Gemar Matematika Kelas
5

1. Sudjatmoko
Adikusumo
2. Asy’ari, dkk.
1. Dyah Sri Wilujeng

2. Nana Suparna, dkk.
1. Tim Bina Karya
Guru
2. Tri Handayani dan
Sri Murtono
1. Sri Sumarsih dan
Aminarmi
2. Tri Minarsih,dkk
1. Haryanto
2. S. Rositawati dan
Aris Muharam
1. M. Khafid
2. YD. Sumanto, dkk.

Data penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan (Sunarto, 2001:135). Katakata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kata-kata yang digunakan dalam bahan
ajar yang menggambarkan adanya bias atau stereotip gender. Tindakan yang dimaksud
adalah tindakan yang tergambar dari orang-orang yang dilukiskan dalam buku ajar.
Tindakan tersebut berupa kata-kata maupun gambar.
Jenis metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi,
tepatnya dokumentasi pustaka. Pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pustaka berupa bahan ajar pada delapan mata pelajaran di SD.
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif. Pada tahap ini dilakukan deskripsi
dan penafsiran terhadap data yang telah diklasifikasikan berdasarkan konsep gender.
Analisis data sudah dilakukan sejak pengumpulan data, yakni pada tahap identifikasi dan
klasifikasi data. Pada saat melakukan identifikasi dan klasifikasi dilakukan pula penafsiran

6

terhadap data. Penafsiran dilakukan dengan panduan konsep gender, khususnya konsep
bias gender.
Hasil dan Pembahasan
Bias gender tampak dalam setiap bahan ajar di SD. Muatan bias gender lebih banyak
dibandingkan dengan kesetaraan gender. Bias gender tampak mulai dari permainan anakanak sampai pekerjaan orang dewasa.
1.

Permainan

Anak laki-laki bermain dengan permainan-permainan yang berbeda dengan anak
perempuan. Anak laki-laki bermain kelereng, sepak bola, layang-layang seperti kutipan di
bawah ini.
Amri : Apa yang kamu lakukan saat istirahat?
Elan : Aku membaca buku cerita. Bagaimana dengan kamu?
Amri : Aku jajan di kantin.
Elan : Aku jajan di kantin.
Amri : Setelah itu apa yang kamu lakukan?
Elan : Biasanya, aku bermain kelereng dengan Tedi dan Sagi.
(Marnoto, 2006:69)
Dodi sudah lama tidak bermain layangan
Ramli sudah lama tidak bermain kelereng (Nurcholis, 2007:105)
Permainan-permainan tersebut dilakukan oleh anak-anak laki-laki. Tidak ada seorang
anak perempuan pun yang ikut bermain di dalamnya. Kondisi tersebut memberi gambaran
bahwa anak laki-laki dikondisikan dengan permainan-permainan yang menantang dan
mengandung resiko. Permainan sepak bola (Marnoto, 2006:29) mengandung resiko cedera
atau patah tulang. Permainan layang-layang apabila layang-layangnya putus dan tersangkut
di pohon, maka si anak harus mengambilnya dengan memanjat pohon. Memanjat pohon
suatu pekerjaan yang mengandung resiko, yaitu bisa jatuh dan cedera. Permainan yang
menantang akan membentuk pribadi yang berani mengambil resiko.
Sebaliknya, anak perempuan bermain dengan permainan seperti lompat tali (Marnoto,
2006:7), dakon (Wilujeng, 2007:84), dan bertepuk tangan sambil menyanyi (Nurcholis,
2006:126). Permainan-permainan tersebut merupakan permainan yang tidak menuntut
tenaga atau kekuatan fisik yang besar dan mengandung resiko. Permainan tersebut
dilakukan di dalam rumah dan di sekitar rumah. Berbeda dengan permainan sepak bola
atau bermain layang-layang yang mengandung resiko dan dilakukan jauh di luar rumah.
2. Pembagian Pekerjaan Anak-anak
7

Pembagian pekerjaan antara anak laki-laki dan anak perempuan juga didasarkan pada
jenis kelamin. Anak laki-laki banyak terlibat pada pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat
dibandingkan anak perempuan seperti cuplikan berikut ini. Anak permepuan bekerja di
rumah, khususnya di dapur seperti memasak dan mencuci piring (Rositawaty, 209:125),
mencuci baju (Khafid, 2006:87), dan menyapu lantai (Khafid, 2006:86).
Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan oleh anak perempuan tersebut merupakan pekerjaan
domestik, dikerjakan di rumah. Pembagian pekerjaan seperti itu sesuai dengan kedudukan
yang dilekatkan kepada perempuan yaitu di dapur. Gambaran bias gender dalam pekerjaan
anak perempuan juga dapat dilihat pada cuplikan dialog di bawah ini.

Siti dikongkon ibu tuku gula
Bu, kembange (tandur) neng pot sing endi?
Saben esuk latare disapu dik Arini (Lasmirin, 2009:83)
Artinya: Siti disuruh Ibu membeli gula.
Bu, bunganya ditanam di pot yang mana?
Halamannya disapu dik Arini setiap hari.
Kalimat-kalimat di atas memberi gambaran pekerjaan yang dilakukan oleh anak
perempuan. Siti, seorang anak perempuan, melakukan pekerjaan belanja, yaitu membeli
gula. Belanja merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan masak-memasak. Menyapu
juga merupakan pekerjaan domestik, yakni mengurus rumah tangga. Kutipan tersebut
justru menggambarkan bahwa menyapu tersebut hanya dilakukan oleh anak perempuan,
karena pekerjaan menyapu dilakukan oleh Arini setiap hari. Tidak ada kewajiban bagi lakilagi untuk menyapu maupun belanja.
Sebaliknya, anak laki-laki digambarkan melakukan pekerjaan yang tidak berkaitan
dengan urusan rumah tangga. Gambar di bawah ini menunjukkan pekerjaan anak laki-laki
yang berbeda dengan pekerjaan anak perempuan. Anak laki-laki bekerja bakti di
lingkungan sekolah dan membuat layang-layang (Lasmirin, 2009:79). Kegiatan kerja bakti
tersebut tidak melibatkan anak perempuan sama sekali. Kerja bakti memerlukan tenaga
yang besar dan berada di luar rumah. Anak laki-laki membuat layang-layang menunjukkan
suatu kreatifitas seorang anak laki-laki. Berbeda dengan pekerjaan mencuci yang dilakukan
anak perempuan. Kegiatan mencuci tidak mendorong adanya kreatifitas.
3. Pembagian Pekerjaan Orang Dewasa
Pekerjaan laki-laki dan perempuan dibedakan. Laki-laki bekerja di luar rumah untuk
mencari

nafkah.

Sedangkan

perempuan

bekerja
8

di

dapur.

Marnoto

(2006:26)

menggambarkan seorang laki-laki bernama Pak Wisnu bekerja sebagai seorang pegawai
kantor, sedangkan seorang perempuan bernama Bu Ranti sebagai ibu rumah tangga yang
memakai clemek. Penampilan gambar laki-laki dan perempuan tersebut sangat berlawanan.
Dari segi pakaian, Pak Wisnu berpenampilan sangat rapi dengan dasi dan tas di tangannya.
Sedangan

Bu

Ranti

santai

dengan

memakai

clemek.

Penampilan

Bu

Ranti

menggambarkan bahwa perempuan tersebut sedang memasak. Pekerjaan memasak seakanakan sudah menjadi tugas pokok perempuan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini.
Kedudukan ibu penting dalam rumah tangga. Ia berkedudukan
sebagai ibu rumah tangga yang bertugas mengurus rumah tangga
dan keluarga. Ibu juga mempunyai kewajiban membimbing dan
mendidik anak-anak. Setiap jari ibu selalu menyediakan makanan
bergizi agar seluruh anggota keluarganya sehat. Ibu juga mencuci
pakaian kotor. (Asy’ari, 2007:54)
Kutipan di atas meletakkan peran penting perempuan dalam rumah tangga. Namun
peran penting tersebut juga tidak lebih dari mengerjakan pekerjaan dapur yakni memasak
dan mencuci. Tidak ada gambar yang menjelaskan adanya laki-laki yang membantu
memasak, atau mengasuh anaknya, atau membersihkan rumah.
Pekerjaan perempuan di sektor publik juga masih berkaitan dengan pengasuhan atau
mendidik anak, seperti guru dan perawat. Perempuan bekerja sebagai guru dan perawat
sedangkan laki-laki bekerja sebagai dokter. Guru dan perawat adalah pekerjaan yang
berhubungan dengan pengasuhan. Hal tersebut erat sekali dengan tugas stereotype
peremuan sebagai pengasuh anak di ranah domestic. Perempuan di dunia kerja juga asih
dikaitkan dengan perannya sebagai pegasuh anak. Tidak ada perkembangan peran bagi
perempuan.
4.

Sikap
Sikap anak laki-laki dan perempuan sudah dibedakan sejak anak di dalam kandungan.

Calon anak laki-laki diusap-usap dan dibisiki harapan agar menjadi anak yang perkasa dan
dapat menjunjung nama baik orang tua. Sedangkan calon

anak perempuan, diusap dan

dibisiki harapan agar menjadi anak yang manis dan cantik. Ketika sudah lahir dan masih
kecil, anak laki-laki dilarang menangis, dan apabila menangis disebut sebagai perempuan.
Hal tersebut memberi gambaran bahwa anak laki-laki harus kuat dan anak perempuan

9

boleh menangis atau cengeng. Perlakuan seperti itu akhirnya dibawa anak dan menjadi
sifat yang melekat kepada laki-laki dan perempuan, seperti gambar berikut ini.
Hal tersebut juga tergambar dalam bahan ajar SD. Anak laki-laki pada bahan ajar
Seni Budaya dan Ketrampilan digambarkan sedang bermain musik dengan gembira
(Handayani, 2009:17). Mereka bermain musik sambil bergerak lepas sebagai ekspresi
keceriaan mereka. Permainan musik tersebut tidak melibatkan anak perempuan dan tidak
dimunculkan perkumpulan musik anak perempuan.

Sebaliknya, anak perempuan

diindikasikan dengan ikon cengeng. Marnoto dalam bahan ajar Bahasa Indonesia (2006:72)
menggambarkan anak perempuan yang menangis karena tangannya tertusuk duri bunga
mawar. Di sebelah anak perempuan tersebut ada seorang ibu. Tampaknya mereka sedang
merawat bunga mawar dalam pot di rumahnya.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penulis buku Sekolah Dasar
belum menjadikan gender sebagai salah satu muatan dalam bahan ajar. Bahkan dapat
dikatakan bahwa penulis buku belum memahami gender. Bias gender sangat dominan
dalam bahan ajar SD. Permainan, pembagian pekerjaan, dan sikap laki-laki dan perempuan
dibedakan. Keduanya berlawanan, antara lemah dan kuat. Laki-laki diposisikan sebagai
mahluk yang kuat, sedangkan perempuan lemah.
Perempuan ditempatkan pada ranah domestik dengan pekerjaan seperti memasak,
mencuci baju dan piring, menyapu, menyiram bunga, dan pekerjaan-pekerjaan ringan
lainnya. Sebalikna laki-laki ditempatkan pada ranah publik dengan pekerjaan-pekerjaan
yang menantang. Pembagian pekerjaan dan penggambaran sikap seperti itu merupakan
pembagian peran yang bersifat stereotip, tidak berubah sejak dulu.

Daftar Pustaka
Adisukarjo, Sudjatmoko dkk. 2007. Horizon IPS. Bogor: Yudhistira.
Asy’ari, dkk. 2007. Ilmu Pengetahuan Sosial SD: untuk Kelas II. Jakarta: PT> Gelora
Aksara Pratama.
Darni. 2005. “Arah Perjuangan Perempuan dalam Fiksi Jawa Modern Menjelang Tahun”
dalam Jurnal Ilmiah Prasasti. FBS Unesa .Volume XV. No.2. Hal. 30-39.

10

Echolls, John dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Geertz, Cliffort. 1987. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Haryanto. 2007. Sains: untuk Sekolah Dasar Kelas III. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Humm, Maggie. 2001. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baru.
Khafid, M dan Suyati. 2006. Pelajaran Matematika Untuk Sekolah Dasar Kelas I. Jakarta:
PT Gelora Aksara Pratama.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Lasmirin, dkk. 2009. Marsudi Basa Jawa. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Marnoto dan H. Mafrukhi. 2006. Super Bahasa Indonesia: untuk Sekolah Dasar Kelas II.
Jakarta: PT. Gelora Aksara.
Minarsih, Tri, dkk. 2010. Asyiknya Berolahraga 5. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Anisa
Mufidah. 2004. Paradigma Gender. Malang: Bayu Media.
Nurcholis, Hanif dan Mafrukhi. 2006. Saya Senang Berbahasa Indonesia. Jakarta: PT.
Gelora Aksara Pratama.
Rositawaty, S. 2008. Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam: Untuk Kelas IV Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidayah. Surabaya: Nur Ilmu.
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1996. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial:
Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Grafiti Press.
Sriwilujeng, Dyah. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Sumanto, dkk. 2008. Gemar Matematika 5. Surabaya: UD. Utama Prima.
Sunarsih, Sri, dkk. 2009. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan: untuk SD/MI
Kelas VI. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Sunarto. 2001. Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Pendidikan. Surabaya: Unesa
University Press.
Suparna, Nana, dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan: untuk SD Kelas I. Jakarta: PT.
Gelora Aksara Pratama.
Tim Bina Karya Guru. 2007. Seni Budaya dan Keterampilan: untuk Sekolah Dasar Kelas
IV. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
11

Warsito, Djuri E. 2009. Ngudi Kawruh Basa Jawa. Surabaya: Edutama Mulia.

12