Fiqih Muamalat dalam Perspektif Empat Ma

MAKALAH
Fiqih Muamalat dalam Perspektif Empat Madhab
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : H. Fakhruddin, Lc. PgD. MSi.

Disusun Oleh :
Febryan Hidayat (124211045)

Prodi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG

2013
I.

Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna, tepat dalam semua aspek kehidupan di setiap
zaman dan peradaban: dahulu, sekarang, dan yang akan datang, di antaranya dalam
bidang muamalah dan perekonomian.
Sehingga para ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah

mereka tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari
fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya.
Yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum permasalahan tersebut
supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya dan setelahnya.
Oleh karena itu, pemakalah akan membahas masalah-masalah tentang fiqih
muamalat baik yang sudah dikaji oleh Imam Madhab mapun yang belum.

II.

III.

Rumusan Masalah
1. Wilayah Kajian Fiqih Muamalat
2. Contoh Hasil Ijtihad Keempat Madhab beserta Dalilnya
3. Munaqasyah dan Tarjih
4. Fenomena Kontemporer yang Belum Dikaji Para Imam Madhab
Pembahasan
1. Wilayah Kajian Fiqih Muamalat
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut pengertian lughawi adalah saling menukar (pertukaran). Dan

kata

‫البيع‬

(jual) dan

‫الشراء‬

(beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian

yang sama. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama
lain bertolak belakang.
Menurut pengertian syara’/istilah, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar
saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama’ berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya, antara lain:
Menurut Madhab Hanafiah, jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan
harta berdasarkan cara khusus yang dibolehkan.
Menurut Madhab Malikiyah, jual beli ada dua macam yaitu jual beli yang
bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus.

Jual beli yang bersifat umum ialah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang
bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua
belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran
atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat

ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai
objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan
kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik,
penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan
ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada
dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya
atau sudah diketahui terlebih dahulu. 1
Menurut Madhab Syafi’i, jual beli dalam arti bahasa adalah tukar menukar
yang bersifat umum sehingga masih bisa ditukar dengan barang yang lain, seperti
menukar uang dengan pakaian atau berupa barang yang bermanfaat suatu benda.
Seperti akad ijarah, dengan demikian akad ijarah termasuk dalam arti jual beli
menurut bahasa atau juga berupa sikap dan tindakan tertentu. 2
B. Hukum Jual Beli
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau

dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah: dasarnya
hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan
dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah
shalallahu alahi wasalam. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang oleh
beliau shalallahu alahi wasalam. 3
C. Syarat-syarat Jual Beli
a. Sama-sama ridha baik penjual maupun pembeli, kecuali orang yang dipaksa
dengan kebenaran.
b. Bahwa boleh melakukan transaksi, yaitu dengan syarat keduanya orang yang
merdeka, mukallaf, lagi cerdas.
c. Yang dijual adalah yang boleh diambil manfaatnya secara mutlak (absolut).
Maka tidak boleh menjual yang tidak ada manfaatnya, seperti nyamuk dan
jangkerik. Dan tidak boleh pula yang manfaatnya diharamkan seperti arak dan
babi. Dan tidak boleh pula sesuatu yang mengandung manfaat yang tidak
dibolehkan kecuali saat terpaksa, seperti anjing dan bangkai kecuali belalang
dan ikan.
d. Bahwa yang dijual adalah milik sang penjual, atau diijinkan baginya
menjualnya saat transaksi.
1


e-Book Jual Beli dalam Hukum Islam, hal 1-2
e-Book Transaksi Jual Beli dalam Hukum Islam, hal 24-25
3
Ahmad Sarwat, e-Book Fiqih Muamalat, 2009, hal 10
2

e. Bahwa yang dijual sudah diketahui bagi kedua belah pihak yang melakukan
transaksi dengan melihat atau dengan sifat.
f. Bahwa harganya sudah diketahui.
g. Bahwa yang dijual itu sesuatu yang bisa diserahkan, maka tidak boleh menjual
ikan yang ada di laut, atau burung yang ada di udara, dan semisal keduanya,
karena adanya unsur penipuan. Dan syarat-syarat ini untuk menampik
kedzaliman, penipuan, dan riba dari kedua belah pihak. 4
2. Contoh Hasil Ijtihad Keempat Madhab beserta Dalilnya
Dalam pembahasan masalah ijtihad para imam, pemakalah mengambil tema
tentang, "Jual Beli dengan Uang Muka". Salah satu sistem jual-beli yang kini
berkembang, yaitu pemberlakuan uang panjar sebagai tanda pengikat kesepakatan.
Istilah ini dikenal dengan DP (Down of Payment), atau uang muka. Biasa pula
disebut dengan istilah "tanda jadi". Bagaimanakah tinjauan syari'at terhadap sistem
panjar ini?

Gambaran bentuk jual beli ini yaitu, sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh
seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka
uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang
yang dibayarkan di muka menjadi milik si penjual. Secara ringkas, sistem jual beli
seperti ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi.
dalam istilah jawa disebut panjer, Wallahu A'lam.
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan dikalangan para ulama tentang jual
beli dengan uang muka, yang terbagi dalam beberapa pendapat:
Pendapat Pertama, berpendapat bahwa jual-beli dengan uang muka ini tidak sah,
ini adalah pendapat mayoritas ulama di kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan
Syafi'iyyah.
Al Khathabi mengatakan: Para ulama berselisih pendapat tentang boleh tidaknya
jual beli ini, Malik, Syafi'I menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits dan
karena terdapat syarat fasad (rusak) dan Al-gharar (spekulasi), Juga, jual-beli seperti
ini termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Demikian
juga Ash-habul Ra'yu (madzhab Abu Hanifah) menilainya tidak sah”
Ibnu Qudamah mengatakan: Demikianlah pendapat Imam Maalik, As-Syafi'i dan
Ash-hab Ra'yu dan juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri.
Yang menjadi argumentasi pendapat ini, di antaranya sebagaimana berikut ini:
a. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:

4

Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijri, e-Book Ensiklopedia Islam Al-Kamil, Bab Fiqih
Muamalat, hal 6

‫سسسوُ ل‬
‫ن ب هي يسسهع‬
‫ه ع هل هي يسسهه وه ه‬
‫ن هههىَ هر ل‬
‫سسسل ل ه‬
‫صسسللىَ الل لسس ل‬
‫ل الل لسسهه ه‬
‫م ع هسس ي‬
‫ك فيمسساَ نسسرىَ والل لسسه أ هع يل هسس ه‬
‫ماَل ه ك‬
‫ن هقاَ ه‬
‫ن‬
‫مأ ي‬
‫ل‬
‫ل‬

‫ل ه‬
‫ه‬
‫ك وهذ هل هسس ه ه ه ه ه‬
‫ال يعليرهباَ ه‬
‫ه‬
‫قسسوُ ل‬
‫جسس ل‬
‫يه ي‬
‫ل‬
‫م يه ل‬
‫داب لسس ه‬
‫ل ال يعهب يسسد ه أوي ي هت هك هسساَهرىَ ال ل‬
‫شسست هرهيه اللر ل‬
‫ة ث لسس ل‬
‫ك ديناَرا ع ههلىَ أ هنيِّ إن ترك يت السسسل يع ه ه‬
‫ل‬
‫كسسهراهء‬
‫ة أو ي ال ي ه‬
‫أع ي ه‬
‫ن ه‬

‫ن ه ي هه ل‬
‫طي ه ه ه ر‬
‫ك له ه‬
‫ماَ أ هع يط هي يت ل ه‬
‫ك‬
‫فه ه‬

Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan
sistem uang muka. Imam Maalik berkata: “Dan inilah adalah yang kita lihat –
wallahu A'lam- seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan
kemudian berkata: ‘Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan
apabila saya membatalkan (tidak jadi) membeli atau tidak jadi menyewanya,
maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu”
b. Jenis jual beli dengan uang muka, termasuk dalam kategori memakan harta
orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan oleh si penjual tanpa ada
kompensasinya. Adapun memakan harta orang lain, hukumnya haram
sebagaimana firman Allah:

      
         

        
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu’.
(An Nissa': 29)
c. Dalam jual beli dengan sistem uang muka tersebut, terdapat dua syarat batil:
syarat yang menunjukkan kebatilannya. Pertama, syarat memberikan uang
panjar. Kedua, syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah
satu pihak tidak ridha.
Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (khiyaar
al-majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa

disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan: Saya
mempunyai hak memilih. (Terserah) kapan saya ingin mengembalikan dengan
tanpa dikembalikan uang pembayarannya”. Menurut Ibnu Qudamah, demikian
ini menunjukkan Qiyas (analogi).
Pendapat Kedua, berpendapat bahwa jual beli dengan uang muka hukumnya
boleh, ini adalah pendapat madzhab Hambaliyyah. Dan diriwayatkan bolehnya jual
beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa'id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.

Al Khathabi mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau
memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar.
Imam Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan
menyatakan. Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini pendapat
Umar radhiyallahu‘anhu yaitu bolehanya jual-beli dengan uang muka. Imam Ahmad
juga mendhoifkan hadits larangan jual-beli yang seperti ini, disebabkan terputus.
Argumentasi pendapat yang membolehkan ini, yaitu sebagaimana berikut ini:
1. Atsar yang berbunyi:

‫ه‬
‫ها ي‬
‫ن‬
‫ن نه ه‬
‫سسس ي‬
‫مسسهر هداهر ال ن‬
‫شسست ههرىَ ل هعل ه‬
‫ أن لسس ل‬,‫ن الحاَرث‬
‫عه ي‬
‫ج ه‬
‫فهع ب ي ه‬
‫فوُان ب ل‬
‫ه كه ه‬
‫ذا‬
‫مي ل ه‬
‫ن هر ه‬
‫ه‬
‫ فهإ ه ي‬,‫ة‬
‫ وه إ هل ل فهل ه ل‬, ‫ملر‬
‫يِّ ع ل ه‬
‫نأ ه‬
‫ن ه‬
‫ض ه‬
‫م ي‬
‫ص ي ه ه ي ه‬
‫وه ك ه ه‬
‫ذا‬
Dari Nafi bin Al-Harits, sesungguhnya ia pernah membelikan sebuah
bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan)
Apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang
sekian dan sekian.
Al-Atsram berkata: “Saya bertanya kepada Ahmad: "Apakah Anda
berpendapat demikian?" Beliau menjawab: "Apa yang harus kukatakan? Ini
Umar radhiyallahu ‘anhu (telah berpendapat demikian)”
2. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah, sehingga tidak dapat dijadikan
sandaran dalam melarang jual beli dengan sistem uang muak ini.
3. Uang muka adalah kompensasi yang diberikan kepada penjual yang menunggu
dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Dia tentu saja akan
kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Dengan demikian, maka tidaklah

benar pandangan yang mengatakan, bahwa uang muka telah dijadikan syarat
oleh penjual tanpa ada imbalannya.
4. Tidak sahnya qiyas (analogi) jual beli ini dengan al-khiyar al majhul (hak pilih
terhadap barang yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya uang
muka ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu
pembayaran, batal analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual
beli tersebut.
3. Munaqasyah dan Tarjih
Jual beli dengan uang muka hukumnya ini sah, baik telah menentukan batas
waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya. Dan secara syar’i, penjual
memiliki hak menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual
beli dan terjadi serah terima barang. Dibolehkannya jual beli 'urbuun ini ditunjukkan
oleh perbuatan Umar bin Al Khathab. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli
seperti ini boleh dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga membolehkannya.
Sa'id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin mengatakan: “Diperbolehkan bila
ia tidak ingin, untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya
sejumlah harta.”.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berbunyi:

‫سسسوُ ل‬
‫ن ب هي يسسهع‬
‫ه ع هل هي يسسهه وه ه‬
‫ن هههىَ هر ل‬
‫سسسل ل ه‬
‫صسسللىَ الل لسس ل‬
‫ل الل لسسهه ه‬
‫م ع هسس ي‬
‫ن‬
‫ال يعليرهباَ ه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan uang muka,
ini merupakan hadits yang lemah (dhaif), Imam Ahmad dan selainnya telah
mendhaifkannya, sehingga (hadits ini) tidak bisa dijadikan sandaran.
Majlis Fikih Islam, dalam seminar ke-8 berkesimpulan dibolehkannya jual beli
dengan uang muka. Berikut ini ketetapan-ketetapan yang telah disepakati:
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli dengan uang muka adalah, menjual
barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila
pembeli jadi mengambil barang tersebut, maka uang muka tersebut masuk dalam
harga yang harus dibayar. Namun kalau si pembeli tidak jadi jadi membelinya, maka

sejumlah uang (muka yang dibayarkan) tersebut menjadi milik penjual. Transaksi ini
selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa
berarti membeli fasilitas.
Di antara jual beli yang tidak diperbolehkan dengan sistem uang muka adalah jual
beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi
di lokasi akad (jual beli as-salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba
fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku
bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun
hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli dengan uang muka dibolehkan bila waktu menunggunya dibatasi
secara pasti, uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah
dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan
transaksi pembelian.
Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka tersebut kepada
pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, maka itu lebih baik dan lebih
besar pahalanya disisi Allah sebagaimana Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:

‫ل مسل ه ه‬
‫م ه‬
‫ه‬
‫ه ع هث يهرت ه ل‬
‫ه الل ل ل‬
‫ماَ أهقاَل ه ل‬
‫ن أهقاَ ه ل ي ر‬
‫ه ي‬
“Barangsiapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim
maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya”
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan, seseorang membeli sesuatu dari
seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya. Karena menegtahui
sangat rugi atau sudah tidak membutuhkan lagi, atau tidak mampu melunasinya, lalu
pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan si penjual menerimanya
kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli). 5
Wallahu a’lam
4. Fenomena Kontemporer yang belum Dikaji Para Imam Madhab
Disini saya akan mengambil masalah yang belum dikaji oleh para Imam madhab
yakni Bursa Saham. Prinsip dasarnya, sebuah pasar modal itu adalah tempat dimana
bertemunya para pemilik modal (investor) dan para manager investasi (fund
manager). Investasi sendiri sebenarnya adalah menanamkan modal para sektor
5

http://almanhaj.or.id/content/2648/slash/0/hukum-jualbeli-dengan-uang-muka/

tertentu baik sektor keuangan maupun sektor real pada periode waktu tertentu untuk
mendapatkan keuntungan yang diharapkan (expected return).
Dalam pandangan syariah Islam, pada dasarnya sebuah investasi itu hukumnya
halal dan syah, selama dalam teknisnya tidak terkandung hal-hal yang mengalahi
prinsip dasar dari transaksi yang halal. Dalam Islam dikenal istilah mudharabah
yaitu dua pihak yang melakukan kerja sama menguntungkan.
Prinsip Dasar yang harus Dipenuhi
1. Bebas Bunga
Dari sisi akad dan perjanjian, harus ada kepastian tidak adanya unsur riba
atau bunga. Sebagai gantinya, yang digunakan adalah sistem bagi hasil yang
adil atau dikenal dengan akad mudharabah.
Bila sebuah investasi disepakati dengan cara memberikan biaya dalam
bentuk bayaran tertentu yang berujud bunga atas besarnya nilai dana yang
diinvestasikan, maka jelaskan letak keharamannya. Seperti yang terjadi pada
obligasi karena merupakan salah satu bentuk riba.
2. Sektor Investasi
Investasi yang ditanamkan harus dipastikan pada barang-barang yang halal,
bukan pada hal yang haram. Maka Islam tidak membenarkan bila investasi itu
pada perusahaan minuman keras, peternakan babi, barang najis dan juga dunia
hiburan, kasino, perjudian dan sejenisnya. Begitu juga investasi pada bidang
perdangan drugs dan obat terlarang tentu juga haram menurut Islam.
Yang sering kecolongan adalah investasi pada industri makanan yang tidak
bisa dipastikan kehalalannya. Selain pada jenis produk dari industri itu,
penting juga diperhatikan pola mekanisme operasional yang tidak sesuai
dengan syariah. Seperti yang melanggar kesopanan dan etika Islam, seperti
industri hiburan yang bersifat hura-hura dan melanggar batas pergaulan lakilaki dan wanita. Termasuk di dalamnya dunia pornografi dengan derivasinya.
3. Tidak Spekulatif
Islam sangat memperhatikan masalah hak milik seseorang, sehingga
menjauhkan setiap orang dari berspekulasi yang hanya akan menimbulkan
kerugian. Sebab yang sering terjadi adalah sifat gambling ketimbang
perhitungan masak dalam sebuah analisa untung rugi.
Tindakan yang Sering Dilakukan yang Menyalahi Prinsip Muamalat Islam
Selain itu dilarang untuk berinvestasi dengan cara yang merugikan orang lain.
Misalnya dengan melakukan short selling, margin trading atau option. Sebab hal itu
bertentangan dengan prinsip dasar jual-beli dalam islam yang melarang seseorang
menjual sesuatu yang tidak dimilikinya.

Sebenarnya praktek berikut ini bukan hanya dilarang dalam Islam, tetapi etika
bisnis secara umumnya pun tidak membenarkan hal itu terjadi. Bahkan regulasi di
pasar modal itu sendiri telah melarangnya. Pelaku dari praktek yang menyalahi
aturan ini bisa saja investornya sendiri. Atau mungkin juga sang plialang saham. Dan
bisa juga dilakukan oleh akuntan publik, konsultan atau internal emitment itu
sendiri. Bisa juga merupakan kerjasama atau makar yang dilakukan secara kolektif
di antara mereka, walau pun ada juga kemungkinan dilakukan secara sendiri-sendiri.
Semua itu tentu diharamkan dalam Islam, sebab termasuk cara mendapatkan harta
dengan cara yang batil. Diantaranya adalah prkatek berikut ini sebagaimana yang
dituturkan oleh Dr. Setiawan Budi Utomo dalam Fiqh Kontemporernya mengutip
bukunya Smith Skousen : Akuntansi Intermediate ; 207.
a. Margin trading
Margin trading adalah perdagangan saham melalui pembelian saham
dengan uang tunai dan meminjam kepada pihak ketiga untuk membayar
tambahan saham yang dibeli. Pembeli margin berharap menadapatkan
keuntungan yang berlipat ganda dengan modal yang sedikit.
b. Short Selling
Short Selling adalah penjualan saham yang dimiliki oleh penjual short,
saham yang dijual secara short tersebut diperoleh dengan meminjam dari pihak
ketiga. Penjual short meminjam saham dengan harapan membeli saham
tersebut

nantinya

pada

harga

yang

rendah.

Dan

secara

simultan

mengembalikan saham yang dipinjam, juga memperoleh keuntungan atas
penurunan harganya.
c. Insider Trading
Insider Trading adalah perdangan saham yang dilakukan dengan
menggunakan informasi dari orang dalam, dapat dilakukan oleh orang dalam
(insider) atau pihak yang menerima, mendapatkan serta mendengar informasi
tersebut.
d. Corner
Corner adalah sejenis manipulasi pasar dalam bentuk menguasai pasokan
saham yang beredar di pasar sehingga pelakunya dapat menentukan harga
saham di bursa. Dengan adanya corner ini, harga dapat direkayasa dengan cara
melakukan transaksi fiktif atau transaksi semu.
e. Window Drassing
Window Drassing adalah praktek tertentu dalam laporan keuangan yang
didisain untuk menyajikan kondisi keuangan yang lebih baik dari pada
keadaan yang sebenarnya. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai penipuan,

yang berat dan ringannya tergantung dari tingkat dan jenis perkara yang
dilakukan. 6
Berikut saya nukilan fatwa dari Badan Fiqih Islam di bawah Organisasi Robithoh
Alam Islami / Liga Muslim Dunia (Muslim World League) :
Segala puji hanya milik Allah subhanahu wata'ala, sholawat dan salam semoga
terlimpahkan kepada Nabi yang tiada nabi setelahnya, yaitu pemimpin kita sekaligus
Nabi kita Muhammad shalallahu alahi wasalam dan kepada keluarganya, dan
sahabatnya radhiahu anhum
Amma ba'du: Sesungguhnya anggota rapat al-Majma' al-Fiqhi di bawah Robithoh
Alam Islami pada rapatnya ke-14 yang diadakan di kota Makkah al-Mukaromah dan
dimulai dari hari Sabtu tanggal 20 Sya'ban 1415 H yang bertepatan dengan tanggal
21 Januari 1995 M, telah membahas permasalahan ini (jual beli saham) dan
kemudian menghasilkan keputusan berikut:
1. Karena hukum dasar dalam perniagaan adalah halal dan mubah, maka
mendirikan suatu perusahaan publik yang bertujuan dan bergerak dalam hal
yang mubah adalah dibolehkan menurut syari'at.
2. Tidak diperselisihkan akan keharaman ikut serta menanam saham pada
perusahaan-perusahaan yang tujuan utamanya diharamkan, misalnya bergerak
dalam transaksi riba, atau memproduksi barang-barang haram, atau
memperdagangkannya.
3. Seorang muslim tidak boleh membeli saham perusahaan atau badan usaha
yang pada sebagian usahanya menjalankan praktek riba, sedangkan
pembelinya mengetahui hal itu.
4. Bila ada seseorang yang terlanjur membeli saham suatu perusahaan sedangkan
ia tidak mengetahui bahwa perusahaan tersebut menjalankan transaksi riba,
lalu di kemudian hari ia mengetahui hal tersebut maka ia wajib untuk keluar
dari perusahaan tersebut.
Keharaman membeli saham perusahaan tersebut telah jelas berdasarkan
keumuman dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah yang mengharamkan riba. Hal ini
dikarenakan membeli saham perusahaan yang menjalankan transaksi riba sedangkan
pembelinya telah mengetahui akan hal itu, berarti pembeli telah ikut ambil andil
dalam transaksi riba.
Yang demikian itu karena saham

merupakan bagian dari modal perusahaan

sehingga pemiliknya ikut memiliki sebagian dari aset perusahaan. Oleh karenanya,
seluruh harta yang dipiutangkan perusahaan dengan mewajibkan bunga atau harta
yang diutang oleh perusahaan dengan ketentuan membayar bunga, maka pemilik
6

Ahmad Sarwat, e-Book Fiqih Muamalat... hal 238-242

saham telah memiliki bagian dan andil darinya. Hal ini disebabkan orang-orang yang
mengutangkan atau menerima piutang dengan ketentuan membayar bunga,
sebenarnya adalah perwakilan dari pemilik saham, dan mewakilkan seseorang untuk
melakukan pekerjaan yang diharamkan hukumnya tidak boleh.
Semoga sholawat dan salam yang berlimpah senantiasa dikaruniakan kepada
Nabi Muhammad shalallahu alahi wasalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Dan
segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta Alam. 7
IV.

Kesimpulan
Jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela. Dan hukumnya adalah mubah,
adapun syaratnya mereka sama-sama ridho atas jual beli tersebut.
Memang terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah di bolehkan
atau tidak masalah uang muka dalam jual beli, akan tetapi pendapat yang paling kuat
adalah uang muka dalam jual beli hukumnya boleh.
Adapun masalah jual beli saham, hukumnya boleh selama tidak bertentangan dengan
syari'at.

V.

Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya susun. Saya menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan
maupun isinya. Karena sesungguhnya kesempurnaan adalah hanya milik Allah. Oleh
karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi
pengetahuan kita, terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwat, Ahmad. e-Book Fiqih Muamalat. Kampus Syariah. 2009.
E-Book Jual Beli dalam Hukum Islam.
E-Book Transaksi Jual Beli dalam Hukum Islam.
Dr. Muhammad Arifin Badri. e-Book Hukum Saham dalam Fiqih Islam. Gresik. 2009.
Syaikh Muhammad Ibrahim at-Tuwaijri. e-Book Ensiklopedia Islam Al-Kamil, Bab
Fiqih Muamalat. IslamHouse.com 2012.
http://almanhaj.or.id/content/2648/slash/0/hukum-jual-beli-dengan-uang-muka/

7

Dr. Muhammad Arifin Badri. e-Book Hukum Saham dalam Fiqih Islam. 2009. hal 9