PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KINESTETIK UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS ANAK AUTIS
PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KINESTETIK
UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN DAN
KOMUNIKASI MATEMATIS ANAK AUTIS
ARTIKEL PENELITIAN
OLEH:
ERVA SURIYANTI
F03212001
PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015
PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KINESTETIK
UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI
MATEMATIS ANAK AUTIS
Erva Suriyanti, Sugiatno, Dede Suratman
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplanasi perbedaan proses pembelajaran rutin
dan dengan pendekatan kinestetik untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi matematis
anak autis dalam materi sudut dan bangun datar, dengan tujuan untuk mengetahui proses
pembelajaran seperti apa yang baik. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pendidikan Rumah
Mtaematika dan Sains Pontianak dengan sampel purposive. Peneliti meneliti satu anak autis
dimulai dari tanggal 17 April 2014 sampai dengan 20 November 2014 dengan sistem tatap
muka. Instrumen yang digunakan adalah instrumen non tes berupa: angket, wawancara,
lembar observasi, observasi, dokumentasi, analisis dokumen, diskusi terfokus.
Pengembangan instrumen telah terlebih dahulu melalui tahap validasi. Teknik dan prosedur
pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Prosedur
analisis data menggunakan analisis data penelitian kualitatif. Penelitian ini tidak bertujuan
untuk menguji suatu hipotesis, melainkan bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses
pembelajaran anak autis dan penalaran serta komunikasi matematisnya. Hasil penelitian ini
menunjukkan penalaran dan komunikasi matematis anak autis akan menjadi lebih baik jika
dikombinasikan dengan gerakan. Dengan adanya proses pembelajaran dengan pendekatan
kinestetik ini, penalaran dan komunikasi matematis anak autis lebih meningkat. Dengan
menggunakan gerakan, penalaran mereka lebih baik dan mereka mampu mengkomunikasikan
dengan lebih lancar.
Kata Kunci: Proses Pembelajaran, Pendekatan Kinestetik, Penalaran Dan Komunikasi
Matematis, Anak Autis
Abstract: The purpose of this research is to explain the difference between daily learning
process and kinesthetic approach to increase the reasoning and mathematical communication
of an autistic child in angle material and plane figure, with greatly intention to know what
kind of learning process will be better to apply. This research was conducted at Educational
Institution of Rumah Matematika and Sains Pontianak which took purposive sample.
Researcher investigated one autistic child, started on 17th of April 2014 to 20th of November
2014 by using face-to-face way. The instruments used are non-test instruments in the form of;
questionnaire, interview, observation sheets, observation, documentation, document analysis,
focused discussion. The development of the instrument had successfully passed the validation
stage. Technique and procedure of data collection used qualitative research of data analysis.
This research is not intended to test the hypothesis;however, it is to know how the learning
process and reasoning of an autistic child as well as his mathematical communication. This
research finding showed that the reasoning and mathematical communication of an autistic
child will be better if they are integrated with the movement. The reasoning and mathematical
communication of an autistic child are significantly increased by applying the learning
process with kinesthetic approach. Morever, by using movement, his reasoning is better and
he is able to communicate fluently.
Keywords: Learning Process, Kinesthetic Approach, Reasoning And Mathematical
Communication, An Autistic Child
P
roses belajar memegang peranan yang sangat strategis dalam pembangunan
pendidikan, dengan melalui pendidikan yang berkualitas diharapkan dapat
menghasilkan manusia yang cerdas komprehensif dan mampu hidup mandiri
di masyarakat menjadi insan yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan negara.
Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional no.20 tahun 2003 bahwa setiap
peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, artinya setiap
peserta didik harus mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan adil tanpa
terkecuali (Melinda,2013: 1).
Harapan untuk keadilan dalam proses belajar yang layak, menjadi persoalan
yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. “Kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi setiap anak Indonesia merupakan hak dasar yang harus dipenuhi
negara sebagai pemegang kendali segala kebijakan dan berkewajiban untuk
merangkul semua anak dari berbagai kalangan, tidak terkecuali bagi anak yang
memiliki kebutuhan khusus karena mereka juga merupakan bagian dari generasi
penerus bangsa”(Ilahi,2013: 16). Didukung juga oleh NCTM (National Council of
Teacher of Mathematics), 2000 hal 12 (dalam Walle,2008: 2) menyatakan bahwa
keunggulan dalam pendidikan membutuhkan kesetaraan - harapan yang tinggi dan
dukungan yang kuat untuk semua siswa. Semua siswa harus mempunyai
kesempatan dan dukungan yang cukup untuk belajar “tanpa memandang
karakteristik personal, latar belakang, ataupun hambatan fisik”.
Harapan proses belajar yang sesuai bagi anak yang berkebutuhan khusus
menjadi sangat penting karena pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia
yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun
nasional. Dokumen pendidikan untuk semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin
memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali berhak memperoleh pendidikan
dengan tidak memandang latar belakang kehidupan dan ketidaknormalan dari segi
fisik maupun mental (Ilahi,2012: 17). Jika pendidikan di Indonesia tidak
memperhatikan masa depan anak berkebutuhan khusus, bisa dipastikan anak
berkebutuhan khusus akan selalu dan semakin termarginalkan (Koswara,2013: 3).
Tidak hanya instrumen internasional yang menjamin hak dasar anak dalam
memperoleh pendidikan, pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alenia ke- 4 juga
menyatakan bahwa negara bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni dengan
memfasilitasi hak dasar untuk memperoleh pengajaran. Dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, termasuk warga negara yang
memiliki kesulitan belajar, seperti kesulitan membaca (disleksia), menulis
(disgrafia), dan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan (tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras) maupun anak berkebutuhan
khusus seperti anak asperger, autis, ADHD(Attention Deficit Hyperactivity
Disorder), ADD(Attention Deficit Disorder), PDD-NOS (Pervasive Developmantal
Disorder – Not Otherwise Specified), dan LD (Learning Disabilities). (UUD 1945,
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan).
Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus autis berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam
pendidikan, mengingat mereka juga merupakan bagian dari warga negara dan
mereka juga merupakan bagian dari generasi penerus bangsa. Dalam menghadapi
kenyataan hidup demikian, anak autis perlu mendapatkan akses dan fasilitas
pendidikan yang memungkinkan mereka menyerap dan memahami materi pelajaran
ketika memasuki dunia pendidikan.
Pada kenyataannya, dunia pendidikan bagi anak autis kurang mendapat
perhatian yang maksimal dari birokrat pendidikan (Bahrun. Cara Belajar
Matematika Anak Autis”. http://bahruninfo.blogdetik.com/?p=236. diakses tanggal
12 Januari 2013) dan (Koswara,2013: 3). Didukung pula dari hasil wawancara
peneliti dengan sampel 50 pengajar yang berasal dari berbagai sekolah yang
tersebar di Pontianak, bahwa 20% guru menyatakan bersedia menerima dan
mengajar anak autis, 64% menolak dengan alasan terlalu berat dan tidak mengerti
cara penanganannya, 16% merespons menunggu peraturan pemerintah. Menurut
Imanuel Hitipieuw, dalam artikelnya autis dan penanganan kependidikannya
(Imanuel Hitipeuw. 1999. autis suatu gangguan dan penanganan. Jurnal Ilmu
Pengetahuan (No.I Tahun xx VI). Hal 17-28. Malang: FIP IKIP Malang. Tanggal 2
April 1999), penanganan anak autis sebaiknya tidak dipandang dari satu sisi sebagai
hal yang memberi beban. Sebab tanpa penanganan khusus, anak autis tidak mampu
mengembangkan kemampuannya secara maksimal. Diperlukan keseriusan dari
pemerintah untuk menangani permasalahan anak-anak ini, seperti dengan cara
menambah fasilitas yang mendukung, memperbanyak penelitian mendalam, bahan
ajar, metode pengajaran, media pembelajaran adaptif, dan memperbanyak
perancangan hingga pengembangan proses belajar untuk anak-anak autis
(Meimulyani dan Caryoto,2013: 3).
Semua anak autis pasti mengalami kelemahan dalam penalaran dan
komunikasi matematis dan cenderung termasuk pembelajar kinestetik, (Doman,
2002; Kidd, 2013; Koswara, 2013). Jika tidak segera diatasi, anak autis dengan gaya
belajar kinestetik sering disalah artikan sebagai Hyperactive atau ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder). Dari hasil pengamatan peneliti, anak-anak autis
dengan tipe pembelajar kinestetik mudah stres ketika mereka hanya disuruh duduk
diam, membaca, dan mendengarkan di lingkungan kelas. Untuk meredakan stres
yang mereka alami, mereka akan melakukan beberapa tindakan seperti berulangulang ke belakang, membentur-benturkan kepala ke dinding, meraut pensil di kelas,
menggeliatkan kaki di kursi,bergoyang-goyang atau bersandar di kursi mereka.
Ketika perilaku ini tidak dapat diterima guru, pengasuh, atau orangtua anak – anak
tersebut, mereka sering disalahkan dan dianggap nakal, tidak bisa diatur atau
mengganggu konsentrasi belajar teman lainnya. Karena mereka dianggap nakal dan
tidak bisa diatur, anak-anak autis cenderung diperlakukan dengan kasar dan
seringkali di nasehati dengan cara dibentak.
Berdasarkan pengamatan peneliti pada April 2014 di Lembaga Pendidikan
Rumah Matematika dan Sains Pontianak dan didukung oleh penelitian Larson Kidd
pada tahun 2011, anak autis mempunyai kemampuan dalam bidang visual spasial
yang lebih baik daripada kemampuan yang berhubungan dengan sesuatu yang
abstrak. Mereka lebih mudah memahami hal konkret (dapat dilihat dan dipegang)
daripada hal abstrak. Salah satu kesulitan yang dihadapi anak autis dalam
mempelajari matematika adalah mereka tidak mampu mengorganisasikan
pengetahuan yang dipelajarinya. Maksudnya, mereka belum mampu
menghubungkan pengetahuan yang sudah di pelajari dengan pengetahuan yang baru
dipelajari, meskipun itu masih dalam satu pokok bahasan. Mereka dapat belajar
matematika bila diberikan pendekatan yang aktif dan terstruktur. Teori proses
mengajar matematika bagi anak autis dalam prakteknya dianjurkan meliputi 3 tahap,
yaitu penanaman konsep dengan objek konkret, penanaman konsep dengan
pengertian dan pengajaran melalui keterampilan atau latihan soal-soal dalam upaya
mengembangkan penalaran dan komunikasi matematisnya (Kidd,2013: 34) dan
(Brower,2010: 93).
Namun dalam prakteknya di lapangan, berdasarkan pengalaman peneliti
sebagai pengajar anak autis dan berdasarkan pengamatan peneliti, terdapat
kesenjangan di mana proses belajar yang dilakukan oleh pengajar autis cenderung
bersifat rutin dan umum, serta kurang menopang penalaran dan komunikasi
matematisnya. Jika proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru hanya
mengandalkan aktivitas yang bersifat rutin dan umum tanpa menekankan pada
kecakapan penalaran dan komunikasi, maka akan sukar bagi anak autisme yang
dominan memiliki gaya belajar kinestetik dengan gaya belajar per-individu untuk
dapat menerima materi dan mencapai tujuan pembelajaran (Doman,2002: 74).
Dengan mempertimbangkan hasil penelitian terdahulu dan fakta di lapangan,
jalan keluar yang ditawarkan melalui penelitian ini adalah dengan cara merancang
proses belajar dengan pendekatan kinestetik yang sesuai dengan per-individu anak
autis untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi matematis mereka. Penelitian
ini dilakukan di Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains Unit Pontianak
dengan alasan karena bimbingannya yang fokus per-individu anak autis sehingga
memudahkan pengamatan sehingga diperoleh hasil yang terbaik. Alternatif
rancangan proses belajar ini diajukan dengan harapan agar para pengajar anak autis
hendaknya mengurangi cara pembelajaran matematika yang membuat anak autis
yang dominan dengan gaya belajar kinestetik memahami matematika hanya dengan
duduk diam dan manghafal. Proses belajar dengan pendekatan kinestetik diyakini
dapat memunculkan penalaran dan komunikasi anak autis. Dengan adanya proses
belajar dengan pendekatan pembelajaran kinestetik, dilakukan prosedur sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai penalaran dan
komunikasi anak autis.
Pendekatan pembelajaran kinestetik dilakukan dengan berbagai kegiatan
bermakna yang diaplikasikan dengan gerakan dan penekanan pada komunikasi dan
penalaran per individu sehingga membantu anak-anak autis dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang sesuai dengan individualitas mereka.
Dari studi pendahuluan peneliti terhadap proses belajar yang digunakan pengajar
autis, terindikasi bahwa proses belajar tersebut kurang menopang penalaran dan
komunikasi anak autis. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti
memandang perlu melakukan penelitian yang berjudul “Rancangan Proses Belajar
Dengan Pendekatan Kinestetik Untuk Meningkatkan Penalaran dan Komunikasi
Matematis Anak Autis Dalam Materi Susut Pandang dan Bangun Datar”.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode penelitian model Miles dan Huberman.
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini dijelaskan dengan tahapantahapan yang akan dilakukan untuk mengidentifikasi dan memecahkan
permasalahan dengan jelas pada objek penelitian. Adapun tahapan-tahapan tersebut
terdiri dari:
Observasi
Pada langkah observasi ini, peneliti melihat keadaan lapangan secara langsung.
Dengan melihat keadaan lapangan secara langsung, peneliti dapat menjabarkan
langkah-langkah apa yang selanjutnya yang akan dilakukan. Observasi dalam
penelitian ini dilakukan di Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains
Pontianak
Rumusan masalah
Dari harapan dan fakta yang ada di lapangan, ditemukan kesenjangan yang
teridentifikasi selama observasi yang sudah peneliti paparkan pada bagian latar
belakang. Penelitian ini menarik salah satu permasalahan yang ada dan kemudian
menarik rumusan masalah untuk diteliti dan dilakukan analisis terhadap pengolahan
data yang ada. Adapun masalah umum yang dirumuskan dalam penelitian ini
adalah bagaimana dan seperti apa proses belajar dengan pendekatan kinestetik yang
dapat menumbuh kembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis
anak autis di Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains Pontianak tahun
ajaran 2014/2015.
Studi Pustaka
Studi pustaka adalah proses penelusuran/ usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau
sedang diteliti. Studi kepustakaan merupakan langkah yang sangat penting dalam
metode ilmiah untuk mencari sumber data yang akan mendukung penelitian dan
untuk mengetahui sejauh apa pemahaman terhadap ilmu yang berhubung dengan
penelitian telah berkembang, dan sejauh apa terdapat kesimpulan dan generalisasi
yang pernah dibuat. Dengan adanya studi pustaka, diharapkan pihak lain dapat
memahami keseluruhan isi dari laporan penelitian ini, terkait pemahaman mengenai
topik pembahasan dan tujuan dari penulisan laporan penelitian ini. Studi pustaka di
penelitian ini dilakukan melalui referensi journal, artikel, website, buku, dan
internet.
Merancang Instrumen
Instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk mengumpulkan,
memeriksa, meyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan, mengolah,
menganalisa, dan menyajikan data-data secara sistematis serta objektif dengan
tujuan untuk memecahkan suatu persoalan. Jadi semua alat yang bisa mendukung
suatu penelitian bisa disebut instrumen penelitian. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini berupa angket, wawancara, lembar observasi, observasi, dokumentasi,
analisis dokumen, diskusi terfokus. Semua instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini telah melalui tahap validasi, diskusi ahli, dan ujicoba kelayakan untuk
menghasilkan belajar dengan pendekatan kinestetik untuk meningkatkan penalaran
dan komunikasi matematis anak autis.
Pelaksanaan pengamatan dan uji coba
Setelah instrumen dirancang dan divalidasi oleh ahli, peneliti melakukan perbaikan
sesuai dengan masukan yang diberikan oleh ahli ketika validasi dan diskusi ahli.
Ketika isntrumen siap, maka dilakukan pelaksanaan untuk pengamatan kebutuhan
awal. Pengamatan kebutuhan awal dilakukan sebagai dasar perancangan proses
belajar. Rancangan proses belajar yang dibuat dalam penelitian ini adalah rancngan
proses belajar dengan pendekatan kinestetik untuk menumbuh kembangkan
kemampuan penalaran dan komunikasi anak autis. Setelah rancangan proses belajar
selesai dibuat, dilakukan ujicoba terbatas. Ujicoba terbatas dilakukan untuk
mengetahui kelayakan proses belajar yang telah dirancang. Setelah ujicoba terbatas
dilakukan peneliti melakukan diskusi dengan ahli untuk memperoleh masukan dan
perbaikan yang kemudian digunakan untuk penyempurnaan disaat ujicoba lanjutan.
Uji coba lanjutan dilakukan agar diperoleh hasil akhir yang lebih baik. Setelah
ujicoba lanjutan dilakukan, peneliti melakukan penelitian dan pengolahan data yang
kemudian menarik kesimpulan dan saran dari hasil rangkuman pengolahan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Hasil Penelitian
Gambaran umum anak autis yang diteliti merupakan penderita syndrom yang
berumur 13 tahun dan masih duduk di kelas 3 sekolah dasar yang bernama Ahlun
Nazar. Berdasarkan data yang diperoleh, pada observasi awal proses pembelajaran
berlangsung dengan metode flash card dan alat peraga, memiliki prosedur yang
tetap pada setiap pertemuan. Sebagai gambaran : Pada pertemuan pertama setelah
kegiatan apersepsi dengan sesi tanya jawab, kemudian guru menjelaskan tentang
definisi sudut, sifat-sifat sudut, karakteristik sudut, jenis-jenis sudut berdasarkan
sifat-sifatnya. Setelah itu disketsakan di papan tulis dan dijelaskan kembali secara
visualisasi dengan flash card dan alat peraga, walaupun dalam teorinya, dan secara
umum visualisasi baik dan disukai anak autis, namun masih terlihat anak autis yang
terus bergerak dan kurang tertarik ketika guru menjelaskan didepan kelas.
Sejak awal pertemuan dalam membahas materi sudut dan bangun datar, guru
dan siswa menggunakan mistar, busur derajat dan jangka. Mistar dan busur derajar
digunakan sejak pertemuan pertama hingga pertemuan terakhir. Selain ketiga alat
tersebut, alat lain yang dimanfaatkan dalam menjelaskan konsep sudut adalah flash
card dan alat peraga. Guru memberikan soal-soal untuk tugas dan latihan. Di sini
terlihat, sebagian anak-anak autis kebingungan dan enggan untuk mengerjakannya.
Penalaran dan komunikasi matematis anak-anak masih rendah, hal itu diindikasikan
dengan, kesulitan berpikir dan kesulitan ketika mencoba menjawab setiap
pertanyaan yang diajukan guru, serta kurang memiliki kemampuan untuk
menunjukkan dan mengkomunikasikan hasil berpikirnya.
Berdasarkan hasil observasi awal pada proses pembelajaran awal yang tanpa
menggunakan pendekatan kinestetik, peneliti menemukan bahwa walaupun pada
teorinya anak autis menyukai pembelajaran secara visual. Sehingga peneliti
mengambil tindakan untuk merancang proses belajar dengan pendekatan kinestetik.
Dalam penelitian ini, anak autis dengan proses belajar dengan pendekatan
kinestetik banyak menggunakan benda disekitar dan bagian tubuh seperti badan,
kaki, tangan dan jari dan kurang dalam penggunaan mistar, busur derajat maupun
jangka dalam mempelajari topik bangun datar dan sudut.. Peran guru di dalam
penelitin ini banyak berperan sebagai fasilitator, diskusi, pemberi arahan, pemberi
pertanyaan baik dengan tujuan sebagai pemantik ataupun umpan balik. Seharusnya
siswa dapat lebih mandiri dalam menyelesaikan masalah yang diberikan guru,
namun karena keterbatasan siswa, sehingga masih membutuhkan arahan dan
bantuan dari guru terlebih dahulu selama awal proses pembelajaran dengan
pendekatan kinestetik ini.
Berikut ini diagram pencar hasil pantauan dan tes lisan penalaran dan
komunikasi dari anak autis yang bernama Ahlun Nazar di Lembaga Pendidikan
Rumah Matematika dan Sains unit Pontianak sebelum dengan proses belajar
dengan pendekatan kinestetik dan setelah.
Hasil Pantauan
8
NILAI
6
4
Hasil pantauan
2
0
0
5
10
15
20
BULAN KE-
NILAI
Diagram Pencar Hasil Pantauan Aspek
Penalaran dan Komunikasi Setelah Proses
Belajar Dengan Pendekatan Kinestetik
10
9.5
9
8.5
8
7.5
Hasil pantauan
17.5
18
18.5
19
19.5
BULAN KE-
Dari hasil wawancara terhadap anak autis yang diteliti bernama Ahlun Nazar.
Diperoleh kesimpulan bahwa Ahlun Nazar kurang menikmati proses belajar rutin
dan umum yang selama ini diaplikasikan. Guru di sekolahnya sering memarahi,
menghukum dan memukul dia jika dia melakukan kesalahan ataupun bergerak
ketika proses belajar berlangsung. Di kelas, proses belajar dilakukan dengan
terstruktur, rapi, tenang, mendengarkan dan posisi duduk harus diam rapi dengan
posisi tangan terlipat diatas meja. Ketika diuji mengenai bahan yang telah dipelajari,
ternyata masih ditemukan miskonsepsi terpola pada waktu anak autis tersebut
diminta menjawab soal mengenai bangun datar. Rumus untuk keliling persegi
adalah 4 kali sisi, dan ketika diberikan soal sebuah persegi panjang, Ahlun Nazar
juga menjawab keliling persegi panjang adalah 4 kali sisi, dan sisi yang diambilnya
berasal dari panjang dari persegi panjang tersebut. Rutinitas merupakan harga mati
bagi anak autis, dan sangat diyakini bahwa bila proses belajar rutin tersebut terus
dilakukan, hanya akan mematikan imajinasi, penalaran dan komunikasi anak autis.
Mereka senang dan gembira ditunjukkan dengan mereka bergerak. Proses belajar
dengan pendekatan gerak (kinestetik) merupakan alternatif yang tepat. Berdasarkan
pantauan secara fokus yang dilakukan oleh peneliti selama 19bulan, kasus serupa
bukan hanya dialami oleh Ahlun nazar, namun juga dialami oleh anak-anak autis
pada umumnya.
Dari hasil wawancara terhadap pengajar autis di Lembaga pendidikan rumah
matematika dan sains unit Pontianak bernama Wahid, hasil wawancara dapat
disimpulkan sebagai berikut : Pak Wahid menanggapi bahwa kondisi pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih kurang maksimal karena masih
sulitnya mencari referensi bahan ajar dan bahan bacaan, buku paket khusus yang
masih tidak ada, dan masih sedikit tenaga peneliti pendidikan yang tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai pengembangan pembelajaran untuk anak autis.
Diwawancarai terkait penalaran dan komunikasi anak autis, Pak wahid mengatakan
bahwa anak autis selalu bermasalah pada komunikasi dan penalarannya dan selalu
ditemui kesulitan-kesulitan pribadi untuk setiap anak autis, penanganan yang baik
untuk satu anak autis tidak dapat menjadi jaminan baik dan sukses untuk anak autis
lainnya, sehingga Pak Wahid sangat bingung dengan kesulitan tersebut, walaupun
telah disediakan flash card, media, dan berbagai teori dan hasil penelitian bahwa
dengan visualisasi ampuh, tetap saja ada hambatannya dengan karakter anak autis
yang berubah-ubah. Lantas, dengan apa karakter dan gaya belajar mereka dapat
disatukan? Setelah ditawarkan solusi proses belajar dengan pendekatan kinestetik,
menurut Pak wahid diberikan angin segar karena dengan pendekatan kinestetik
menyentuh tingkatan dasar dan menyeluruh bagi perwakilan segala keragaman
mereka. Dari hasil wawancara dengan Pak Wahid, Pak Wahid mengatakan bahwa
anak autis menjadi lebih bergairah dan bersemangat ketika belajar dan hasil belajar
jauh lebih baik ketika diajar dengan pendekatan kinestetik.
Berdasarkan hasil observasi menggunakan instrumen, diketahui bahwa anak
autis tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, kurang kontak
mata dan fisik dengan rekannya, tidak bisa bermain dengan teman sebaya dan tidak
dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Selain itu anak autis akan
mengalami gangguan kualitatif berupa tidak berkembang cara berbicara, cara
bermain kurang variatif, bahasa aneh dan diulang-ulang. Anak autis akan
mempertahankan suatu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan,
terpaku pada suatu kegiatan rutinitas dan gerakan yang aneh.
Data penelitian berupa juornal proses pembelajarn menunjukkan informasi
kekuatan dan kelemahan anak berkebutuhan khusus yang berkaitan dengan aspek
kinestetikyang dipaparkan secara deskriptif. Peneliti mendapatkan seluruh jadwal
pembelajaran anak di Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains mulai dari
hanya sebatas observasi sampai kepada tahap mendeteksi anak autis.
Data pendukung yang diambil dalam penelitian ini adalah melalui Inventori.
Inventori merupakan skala psikologi yang dipakai untuk mengungkapkan sikap,
minat, emosi, motivasi, hubungan antar pribadi dan persepsi peserta didik terhadap
suatu objek psikologi yang dapat dilakukan melalui wawancara dan pemberian
angket. Angket inilah yang memberikan data tentang minat anak autis yang bernama
Ahlun Nazar terhadap pembelajaran matematika yang memberikan respon positif
terhadap pelajaran matematika.
Pembahasan Penelitian
Dosen PLB FIP Unesa dan Guru SDLB Keramat Mulia Kepung Kediri
Wiwik Widajati dan Blitsivictoria Alfinina, melakukan penelitian terhadap anak
autis dengan hasil penelitian; “Setiap anak autis perlu memperoleh pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhannya. Salah satunya mendapatkan pembelajaran
individual untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya” (widajati dan
Alfinina, 2011), Sependapat dengan hasil penelitian diatas, peneliti melakukan
penelitian pada anak autis dengan jalur tatap muka per-anak autis untuk
mengoptimalkan hasil penelitian.
Pembelajaran umum yang rutin dengan metode yang tersedia begitu beragam
dan semua terlihat baik, namun tidak semua metode atau pendekatan bisa memenuhi
dan cocok dengan setiap anak autis, cocok dengan yang satu belum tentu cocok
dengan yang lain, terkait pengalaman tersebut peneliti mencoba merancang proses
pembelajaran dengan pendekatan kinestetik, kinestetik karena sifat universal semua
anak autis adalah pada gerakannya, senada dengan penelitian tersebut, penelitian
Koswara pada tahun 2013 mengatakan “Pembelajaran tebaik bagi anak autis adalah
pembelajaran yang sangat sesuai dengan kebutuhan belajar anak. Setiap program,
metode, strategi yang baik dan berhasil untuk seorang anak autis belum dapat
menjadi jaminan baik dan akan berhasil bila diimplementasikan bagi anak autis
yang lain”
Anak autis cenderung mengalami masalah pada kemampuan komunikasi dan
penalaran, hal ini relevan dengan penelitian Melinda (2013:100) yang mengatakan
bahwa “peserta didik dengan gangguan autistic cenderung dan pasti mengalami
hambatan pendengaran dan akan mengalami hambatan dalam bahasa sehingga akan
berdampak untuk mereka berkomunikasi dan berinteraksi sehingga diperlukan
adaptasi cara berkomunikasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Bahasa verbal
sangat sulit sekali jika tidak dibarengi dengan gerakan mereka, dikarenakan cara
berkomunikasi mereka yang cenderung merupakan pembelajar dengan gerak tangan
dan tubuh untuk mengungkapkan keinginannya. Jika sudah mengalami masalah
dalam komunikasi, penalaran mereka juga tentu berpengaruh, anak-anak autis sulit
membuat penalaran, khususnya yang menghubungkan dari premis umum ke
khusus.”
Terkait pula hasil penelitian Rachmayana (2013:106) yang menyatakan
bahwa kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah selalu pada komunikasinya.
Dimana perkembangan komunikasi pada anak autis sangat berbeda, terutama pada
anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam penguasaan bahasa dan
bicara. Kesulitan dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis mengalami gangguan
dalam berbahasa (verbal dan non verbal),padahal bahasa merupakan media utama
dalam komunikasi. Mereka sering kesulitan untuk mengkomunikasikan
keinginannya baik secara verbal (lisan/bicara) maupun nonverbal (isyarat/ gerak
tubuh dan tulisan).
Didukung pula dari hasil penelitian Desertasi Sumarti pada tahun 2012
mengatakan bahwa “Guru diharapkan bersikap konsisten dan tegas mengajari anak
autis berbagai teknik menyampaikan keinginan sehingga mereka memahami
berbagai cara untuk mendapatkan kebutuhannya. Orang tua perlu memperkenalkan
kosakata baru dan mengajak anak autis berbicara menggunakan bahasa yang
sederhana tetapi bermakna sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya dengan
berbagai teknik dan gaya belajar anak-anak mereka.”.
Pentingnya komunikasi dan penalaran anak autis juga diungkapkan dalam
penelitian (Oshomdijah,2012) Oshomdijah mendapatkan hasil penelitian sebagai
berikut : “Anak autis memiliki hambatan dalam interaksi dan komunikasi sosial, tapi
mereka memiliki kekuatan dalam kemampuan visual, kinestetik dan belajar hafalan,
oleh karena itu ketika mengajar anak autis, yang penting guru harus memahami
kekuatan yang dimiliki oleh anak. Banyak model dan strategi pembelajaran yang
digunakan untuk mengajar mereka diantaranya adalah menggunakan dukungan
visual, kinestetik, modelling, prompting, fading, shaping dan chainning. Seseorang
akan belajar lebih baik apabila seorang guru memiliki keteraturan, konsisten dan
positif. Anak Autis cenderung mempertahankan gaya belajarnya dan memiliki gaya
belajar persetiap anak yang berbeda-beda namun mereka cenderung dan pasti
dominan pada visual dan gerak.
Dari pengamatan Glen Doman dan stafnya selama bertahun-tahun, serta
didukung oleh neurolog konsultan dari yayasan pelangi harapan Jakarta, Dr Lily dan
Prof. Dr Sidiarto (Doman,2010: 14), mereka menyimpulkan bahwa terapi yang
harus dilakukan terhadap anak-anak yang mengalami cedera otak autisme adalah
dengan memperbaiki fungsi otak yang terganggu dengan merangsang susunan saraf
pusat atau otak anak, bukan saraf tepi atau ototnya. Prinsip penanganan adalah
dengan gerakan. Setiap gerakan adalah peristiwa sensori-motor yang terkait dengan
pemahaman bahwa rangsang yang diterima melalui kelima indera dari dunia sekitar
membuat mampu memperoleh informasi dan pembelajaran baru.
Sejalan dengan penelitian tersebut, menurut Paul E Dennison, pakar EduKinesthetics (dalam Doman, 2010), menyatakan “Movement is the door to
learning”. Gerakan akan mengintegrasi masuknya informasi baru dan pengalaman
ke dalam jaringan saraf kita. Setiap kali kepala atau anggota tubuh yang digerakan
dengan koordinasi yang baik, akan merangsang otak manusia menjadi aktif
sepenuhnya dan terintegrasi, sehingga pintu untuk belajar akan terbuka secara alami.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Rumah
Matematika dan Sains Pontianak, pembelajaran berlangsung dengan metode flash
card dan alat peraga, memiliki prosedur yang tetap pada setiap pertemuan. Pada
pertemuan pertama setelah kegiatan apersepsi dengan sesi tanya jawab, kemudian
guru menjelaskan tentang definisi sudut, sifat-sifat sudut, karakteristik sudut, jenis-
jenis sudut berdasarkan sifat-sifatnya. Setelah itu disketsakan di papan tulis dan
dijelaskan kembali secara visualisasi dengan flash card dan alat peraga.
Proses belajar yang dilakukan oleh pengajar Lembaga Pendidikan Rumah
Matematika dan Sains dalam meningkatkan penalaran matematis anak autis,
diajukan beberapa pertanyaan untuk menggali kemampuan penalaran anak autis
seperti mengajak anak bermain kegunaan dari jangkar dan busur. Guru mengajak
anak bernalar kguanaan penggaris selain untuk menggaris. Guru mengajak anak
autis menjawab kalimat yang menggunakan kata tanya : apa, siapa, dimana dan
bagaimana. Anak autis diajak berpikir dan mengelompokkan kata pada objek
berdasarkan fungsinya.
Peningkatan komunikasi matematis anak autis dilakukan oleh pengajar
Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains. Selain itu, anak juga diarahkan
untuk mengamati alat peraga berbentuk bangun-bangun datar dan diminta untuk
menceritakannya. Anak autis diminta untuk menceritakan nama bangun secara rinci
dan diarahkan untuk menjawab soal-soal yang disediakan oleh pengajar. Siswa juga
diajak untuk membedakan bangun datar berdasarkan jumlah sisi dan sudutnya,
siswa ditunjukkan contoh bangun segi empat dan diajak mencari bangun segi empat
lainnya.
Pada posisi tertentu, guru mengambil beberapa bingkai foto dengan
berbagai bentuk bangun datar yang berbeda – beda dan mengajak anak autis untuk
melakukan penalaran dengan menjawab pertanyaan dengan kata apa, siapa, dimana,
dan bagaimana. Anak diajak melakukan penalaran nama dan jenis sudut dengan
menggerakkan tangannya. Anak diajak untuk mentransformasikan bentuk soal ke
dalam gerakan. Guru mengejar penalaran anak autis dengan menjawab pertanyaan
disertai dengan penalaran yang sifatnya umum dan bersumber dari lingkungan
sekitar.
Dalam penelitian ini, anak diarahkan untuk melakukan komunikasi
ekspresif, pengajar mengoptimalkan fungsi pendengaran melalui stimulus langsung
dari guru/benda, guru membisikan nama bangun datar ke telinga anak, mulai dari
kalimat yang paling sederhana hingga yang kompleks dengan suara yang lembut
sampai suara yang agak keras, guru menunjukkan gambar bangun datar kepada
anak autis dan membisikkan namanya. Disini anak diarahkan untuk mengikuti
gerakan yang dicontohkan guru, guru mengajak anak autis menggerakkan otot
mulut dan lidah dimulai dengan membuka dan menutup mulut, menjulurkan lidah,
meletakkan lidah ke gigi bagian atas, guru lalu memberiathu ulang kepada anak
bangun berbentuk PER-SE-GI sambil memperagakan dengan tangan bentuk
bangunan persegi.
Guru mengarahkan anak untuk mengucapkan A,I,U,E,O dalam kata
sekaligus memahami dengan mengucapkan vocal yang paling dominan, misalnya
sudut “U” sambil menggerakkan flash card gambar sudut. Guru mengarahkan untuk
anak untuk membentuk berbagai bentuk bangun datar dengan jari dan tangan
sambil meneriakkan dengan jelas nama bangunnya, dan memberikan tepuk tangan
setelah anak mengucapkan dengan benar. Guru mengajak anak melompat-lompat
sambil mengkomunikasikan makna gerakannya ketika menghitung keliling bangun
datar. Guru membimbing anak untuk menceritakan kembali materi yang tealh
dipelajari sesuai dengan stimulus yang telah diberikan sambil anak memperagakan
ulangan dengan gerakan-gerakan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
dengan pendekatan kinestetik untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi
matematis anak autis yaitu terdiri dari: (1) metode pembelajaran menggunakan
flash card dan alat peraga tergolong sudah cukup baik, namun masih memiliki
banyak kelemahan seperti terlihat monoton dan kurang variasi sehingga
mengurangi ketertarikan anak autis untuk belajar; (2) Anak autis terus
menunjukkan ketidaktertarikan ketika guru mengajak anak untuk berpikir dan
mengelompokkan kata pada objek berdasar fungsi; (3) Anak autis terlihat cemas
ketika guru meminta anak menceritakan bangun secara rinci; (4) Anak autis
menjadi lebih fokus dan paham serta dapat mengerjakan soal secara mandiri,
penalaran mulai meningkat, serta anak mampu merubah bentuk soal yang tadinya
sulit dimengerti menjadi lebih mudah dikerjakan dengan mentransformasikan
dalam bentuk gerak. Penalaran anak autis menjadi jauh lebih baik, mengalami
peningkatan, dan bahkan anak autis menjadi lebih kritis; (5) Gerakan guru untuk
menunjukkan beberapa contoh bangun datar dengan menggunakan tangan dan jari
dilakukan kontinu sehingga dapat dimaknai dan ditiru oleh anak. (6) Proses belajar
dengan pendekatan kinestetik untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi
matematis anak autis dalam materi sudut pandang bangun datar dapat disimpulkan
mencapai keberhasilan.
Saran
Berdasarka hasil penelitian dan kesimpulan ini, maka disarankan kepada
pengajar autis untuk mempertimbangkan hasil penelitian ini dan dijadikan sebagai
salah satu acuan dalam pembelajaran. Disarankan kepada pengajar untuk
melakukan pendekatan kinestetik sebagai alternatif dalam menyampaikan materi
dengan mempersiapkan tema dan media yang lebih terencana. Pengajar hendaknya
membuat soal-soal penyelesaian masalah yang potensial untuk memunculkan
abstraksi yang lebih beragam untuk meggali penalaran dan komunikasi anak autis
terkait dengan kemampuan abstraksi mereka. Pengajaran kepada anak autis lebih
disarankan menggunakan proses belajar rutin hanya pada topik-topik tertentu dan
diharapkan kepada pengajar untuk jangan pernah merasa malu dalam mengajar
anak autis.
DAFTAR PUSTAKA
Brower,F . (2010). 100 Ide Membimbing Anak Autis. Jakarta : Penerbit Erlangga
Doman, Glenn. (2002). Apa Yang Dapat Dilakukan Pada Anak Anda Yang Cedera
Otak (What To Do About You Brain-Injured Child. America : The Institutes
for the Achievement of Human Potential
Ilahi, M.T. (2013). Pendidikan Inklusif. Yogyakarta : Ar- Ruzz Media
Kidd, S.L. (2013). Anakku Autis, Aku Harus Bagaimana?. Jakarta : PT Bhuana
Ilmu Populer
Koswara, D. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Berkesulitan Belajar
Spesifik. Bandung : Luxima Metro Media.
Koswara,D (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autis. Bandung :
Luxima Metro Media.
Munir,F
(2013).
Komunikasi
anak
Autis.
[Online].
Tersedia
:
http://fatinahmunir.blogspot.com/2013/05/komunikasi-anak-autis.html [10
maret 2014]
Melinda, E.S. (2013). Pembelajaran Adaptif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung : Luxima Metro Media.
Meimulyani, Yani dan Caryoto . (2013). Media Pembelajaran Adaptif Bagi Anak
Berkebutuhan Khusus. Bandung : Luxima Metro Media
Walle, J.A.V.D (2008). Sekolah Dasar dan Menengah Matematika Pengembangan
Pengajaran Jilid 1. Jakarta : Erlangga
UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN DAN
KOMUNIKASI MATEMATIS ANAK AUTIS
ARTIKEL PENELITIAN
OLEH:
ERVA SURIYANTI
F03212001
PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015
PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KINESTETIK
UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI
MATEMATIS ANAK AUTIS
Erva Suriyanti, Sugiatno, Dede Suratman
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplanasi perbedaan proses pembelajaran rutin
dan dengan pendekatan kinestetik untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi matematis
anak autis dalam materi sudut dan bangun datar, dengan tujuan untuk mengetahui proses
pembelajaran seperti apa yang baik. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pendidikan Rumah
Mtaematika dan Sains Pontianak dengan sampel purposive. Peneliti meneliti satu anak autis
dimulai dari tanggal 17 April 2014 sampai dengan 20 November 2014 dengan sistem tatap
muka. Instrumen yang digunakan adalah instrumen non tes berupa: angket, wawancara,
lembar observasi, observasi, dokumentasi, analisis dokumen, diskusi terfokus.
Pengembangan instrumen telah terlebih dahulu melalui tahap validasi. Teknik dan prosedur
pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Prosedur
analisis data menggunakan analisis data penelitian kualitatif. Penelitian ini tidak bertujuan
untuk menguji suatu hipotesis, melainkan bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses
pembelajaran anak autis dan penalaran serta komunikasi matematisnya. Hasil penelitian ini
menunjukkan penalaran dan komunikasi matematis anak autis akan menjadi lebih baik jika
dikombinasikan dengan gerakan. Dengan adanya proses pembelajaran dengan pendekatan
kinestetik ini, penalaran dan komunikasi matematis anak autis lebih meningkat. Dengan
menggunakan gerakan, penalaran mereka lebih baik dan mereka mampu mengkomunikasikan
dengan lebih lancar.
Kata Kunci: Proses Pembelajaran, Pendekatan Kinestetik, Penalaran Dan Komunikasi
Matematis, Anak Autis
Abstract: The purpose of this research is to explain the difference between daily learning
process and kinesthetic approach to increase the reasoning and mathematical communication
of an autistic child in angle material and plane figure, with greatly intention to know what
kind of learning process will be better to apply. This research was conducted at Educational
Institution of Rumah Matematika and Sains Pontianak which took purposive sample.
Researcher investigated one autistic child, started on 17th of April 2014 to 20th of November
2014 by using face-to-face way. The instruments used are non-test instruments in the form of;
questionnaire, interview, observation sheets, observation, documentation, document analysis,
focused discussion. The development of the instrument had successfully passed the validation
stage. Technique and procedure of data collection used qualitative research of data analysis.
This research is not intended to test the hypothesis;however, it is to know how the learning
process and reasoning of an autistic child as well as his mathematical communication. This
research finding showed that the reasoning and mathematical communication of an autistic
child will be better if they are integrated with the movement. The reasoning and mathematical
communication of an autistic child are significantly increased by applying the learning
process with kinesthetic approach. Morever, by using movement, his reasoning is better and
he is able to communicate fluently.
Keywords: Learning Process, Kinesthetic Approach, Reasoning And Mathematical
Communication, An Autistic Child
P
roses belajar memegang peranan yang sangat strategis dalam pembangunan
pendidikan, dengan melalui pendidikan yang berkualitas diharapkan dapat
menghasilkan manusia yang cerdas komprehensif dan mampu hidup mandiri
di masyarakat menjadi insan yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan negara.
Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional no.20 tahun 2003 bahwa setiap
peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, artinya setiap
peserta didik harus mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan adil tanpa
terkecuali (Melinda,2013: 1).
Harapan untuk keadilan dalam proses belajar yang layak, menjadi persoalan
yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. “Kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi setiap anak Indonesia merupakan hak dasar yang harus dipenuhi
negara sebagai pemegang kendali segala kebijakan dan berkewajiban untuk
merangkul semua anak dari berbagai kalangan, tidak terkecuali bagi anak yang
memiliki kebutuhan khusus karena mereka juga merupakan bagian dari generasi
penerus bangsa”(Ilahi,2013: 16). Didukung juga oleh NCTM (National Council of
Teacher of Mathematics), 2000 hal 12 (dalam Walle,2008: 2) menyatakan bahwa
keunggulan dalam pendidikan membutuhkan kesetaraan - harapan yang tinggi dan
dukungan yang kuat untuk semua siswa. Semua siswa harus mempunyai
kesempatan dan dukungan yang cukup untuk belajar “tanpa memandang
karakteristik personal, latar belakang, ataupun hambatan fisik”.
Harapan proses belajar yang sesuai bagi anak yang berkebutuhan khusus
menjadi sangat penting karena pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia
yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun
nasional. Dokumen pendidikan untuk semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin
memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali berhak memperoleh pendidikan
dengan tidak memandang latar belakang kehidupan dan ketidaknormalan dari segi
fisik maupun mental (Ilahi,2012: 17). Jika pendidikan di Indonesia tidak
memperhatikan masa depan anak berkebutuhan khusus, bisa dipastikan anak
berkebutuhan khusus akan selalu dan semakin termarginalkan (Koswara,2013: 3).
Tidak hanya instrumen internasional yang menjamin hak dasar anak dalam
memperoleh pendidikan, pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alenia ke- 4 juga
menyatakan bahwa negara bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni dengan
memfasilitasi hak dasar untuk memperoleh pengajaran. Dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, termasuk warga negara yang
memiliki kesulitan belajar, seperti kesulitan membaca (disleksia), menulis
(disgrafia), dan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan (tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras) maupun anak berkebutuhan
khusus seperti anak asperger, autis, ADHD(Attention Deficit Hyperactivity
Disorder), ADD(Attention Deficit Disorder), PDD-NOS (Pervasive Developmantal
Disorder – Not Otherwise Specified), dan LD (Learning Disabilities). (UUD 1945,
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan).
Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus autis berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam
pendidikan, mengingat mereka juga merupakan bagian dari warga negara dan
mereka juga merupakan bagian dari generasi penerus bangsa. Dalam menghadapi
kenyataan hidup demikian, anak autis perlu mendapatkan akses dan fasilitas
pendidikan yang memungkinkan mereka menyerap dan memahami materi pelajaran
ketika memasuki dunia pendidikan.
Pada kenyataannya, dunia pendidikan bagi anak autis kurang mendapat
perhatian yang maksimal dari birokrat pendidikan (Bahrun. Cara Belajar
Matematika Anak Autis”. http://bahruninfo.blogdetik.com/?p=236. diakses tanggal
12 Januari 2013) dan (Koswara,2013: 3). Didukung pula dari hasil wawancara
peneliti dengan sampel 50 pengajar yang berasal dari berbagai sekolah yang
tersebar di Pontianak, bahwa 20% guru menyatakan bersedia menerima dan
mengajar anak autis, 64% menolak dengan alasan terlalu berat dan tidak mengerti
cara penanganannya, 16% merespons menunggu peraturan pemerintah. Menurut
Imanuel Hitipieuw, dalam artikelnya autis dan penanganan kependidikannya
(Imanuel Hitipeuw. 1999. autis suatu gangguan dan penanganan. Jurnal Ilmu
Pengetahuan (No.I Tahun xx VI). Hal 17-28. Malang: FIP IKIP Malang. Tanggal 2
April 1999), penanganan anak autis sebaiknya tidak dipandang dari satu sisi sebagai
hal yang memberi beban. Sebab tanpa penanganan khusus, anak autis tidak mampu
mengembangkan kemampuannya secara maksimal. Diperlukan keseriusan dari
pemerintah untuk menangani permasalahan anak-anak ini, seperti dengan cara
menambah fasilitas yang mendukung, memperbanyak penelitian mendalam, bahan
ajar, metode pengajaran, media pembelajaran adaptif, dan memperbanyak
perancangan hingga pengembangan proses belajar untuk anak-anak autis
(Meimulyani dan Caryoto,2013: 3).
Semua anak autis pasti mengalami kelemahan dalam penalaran dan
komunikasi matematis dan cenderung termasuk pembelajar kinestetik, (Doman,
2002; Kidd, 2013; Koswara, 2013). Jika tidak segera diatasi, anak autis dengan gaya
belajar kinestetik sering disalah artikan sebagai Hyperactive atau ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder). Dari hasil pengamatan peneliti, anak-anak autis
dengan tipe pembelajar kinestetik mudah stres ketika mereka hanya disuruh duduk
diam, membaca, dan mendengarkan di lingkungan kelas. Untuk meredakan stres
yang mereka alami, mereka akan melakukan beberapa tindakan seperti berulangulang ke belakang, membentur-benturkan kepala ke dinding, meraut pensil di kelas,
menggeliatkan kaki di kursi,bergoyang-goyang atau bersandar di kursi mereka.
Ketika perilaku ini tidak dapat diterima guru, pengasuh, atau orangtua anak – anak
tersebut, mereka sering disalahkan dan dianggap nakal, tidak bisa diatur atau
mengganggu konsentrasi belajar teman lainnya. Karena mereka dianggap nakal dan
tidak bisa diatur, anak-anak autis cenderung diperlakukan dengan kasar dan
seringkali di nasehati dengan cara dibentak.
Berdasarkan pengamatan peneliti pada April 2014 di Lembaga Pendidikan
Rumah Matematika dan Sains Pontianak dan didukung oleh penelitian Larson Kidd
pada tahun 2011, anak autis mempunyai kemampuan dalam bidang visual spasial
yang lebih baik daripada kemampuan yang berhubungan dengan sesuatu yang
abstrak. Mereka lebih mudah memahami hal konkret (dapat dilihat dan dipegang)
daripada hal abstrak. Salah satu kesulitan yang dihadapi anak autis dalam
mempelajari matematika adalah mereka tidak mampu mengorganisasikan
pengetahuan yang dipelajarinya. Maksudnya, mereka belum mampu
menghubungkan pengetahuan yang sudah di pelajari dengan pengetahuan yang baru
dipelajari, meskipun itu masih dalam satu pokok bahasan. Mereka dapat belajar
matematika bila diberikan pendekatan yang aktif dan terstruktur. Teori proses
mengajar matematika bagi anak autis dalam prakteknya dianjurkan meliputi 3 tahap,
yaitu penanaman konsep dengan objek konkret, penanaman konsep dengan
pengertian dan pengajaran melalui keterampilan atau latihan soal-soal dalam upaya
mengembangkan penalaran dan komunikasi matematisnya (Kidd,2013: 34) dan
(Brower,2010: 93).
Namun dalam prakteknya di lapangan, berdasarkan pengalaman peneliti
sebagai pengajar anak autis dan berdasarkan pengamatan peneliti, terdapat
kesenjangan di mana proses belajar yang dilakukan oleh pengajar autis cenderung
bersifat rutin dan umum, serta kurang menopang penalaran dan komunikasi
matematisnya. Jika proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru hanya
mengandalkan aktivitas yang bersifat rutin dan umum tanpa menekankan pada
kecakapan penalaran dan komunikasi, maka akan sukar bagi anak autisme yang
dominan memiliki gaya belajar kinestetik dengan gaya belajar per-individu untuk
dapat menerima materi dan mencapai tujuan pembelajaran (Doman,2002: 74).
Dengan mempertimbangkan hasil penelitian terdahulu dan fakta di lapangan,
jalan keluar yang ditawarkan melalui penelitian ini adalah dengan cara merancang
proses belajar dengan pendekatan kinestetik yang sesuai dengan per-individu anak
autis untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi matematis mereka. Penelitian
ini dilakukan di Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains Unit Pontianak
dengan alasan karena bimbingannya yang fokus per-individu anak autis sehingga
memudahkan pengamatan sehingga diperoleh hasil yang terbaik. Alternatif
rancangan proses belajar ini diajukan dengan harapan agar para pengajar anak autis
hendaknya mengurangi cara pembelajaran matematika yang membuat anak autis
yang dominan dengan gaya belajar kinestetik memahami matematika hanya dengan
duduk diam dan manghafal. Proses belajar dengan pendekatan kinestetik diyakini
dapat memunculkan penalaran dan komunikasi anak autis. Dengan adanya proses
belajar dengan pendekatan pembelajaran kinestetik, dilakukan prosedur sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai penalaran dan
komunikasi anak autis.
Pendekatan pembelajaran kinestetik dilakukan dengan berbagai kegiatan
bermakna yang diaplikasikan dengan gerakan dan penekanan pada komunikasi dan
penalaran per individu sehingga membantu anak-anak autis dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang sesuai dengan individualitas mereka.
Dari studi pendahuluan peneliti terhadap proses belajar yang digunakan pengajar
autis, terindikasi bahwa proses belajar tersebut kurang menopang penalaran dan
komunikasi anak autis. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti
memandang perlu melakukan penelitian yang berjudul “Rancangan Proses Belajar
Dengan Pendekatan Kinestetik Untuk Meningkatkan Penalaran dan Komunikasi
Matematis Anak Autis Dalam Materi Susut Pandang dan Bangun Datar”.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode penelitian model Miles dan Huberman.
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini dijelaskan dengan tahapantahapan yang akan dilakukan untuk mengidentifikasi dan memecahkan
permasalahan dengan jelas pada objek penelitian. Adapun tahapan-tahapan tersebut
terdiri dari:
Observasi
Pada langkah observasi ini, peneliti melihat keadaan lapangan secara langsung.
Dengan melihat keadaan lapangan secara langsung, peneliti dapat menjabarkan
langkah-langkah apa yang selanjutnya yang akan dilakukan. Observasi dalam
penelitian ini dilakukan di Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains
Pontianak
Rumusan masalah
Dari harapan dan fakta yang ada di lapangan, ditemukan kesenjangan yang
teridentifikasi selama observasi yang sudah peneliti paparkan pada bagian latar
belakang. Penelitian ini menarik salah satu permasalahan yang ada dan kemudian
menarik rumusan masalah untuk diteliti dan dilakukan analisis terhadap pengolahan
data yang ada. Adapun masalah umum yang dirumuskan dalam penelitian ini
adalah bagaimana dan seperti apa proses belajar dengan pendekatan kinestetik yang
dapat menumbuh kembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis
anak autis di Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains Pontianak tahun
ajaran 2014/2015.
Studi Pustaka
Studi pustaka adalah proses penelusuran/ usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau
sedang diteliti. Studi kepustakaan merupakan langkah yang sangat penting dalam
metode ilmiah untuk mencari sumber data yang akan mendukung penelitian dan
untuk mengetahui sejauh apa pemahaman terhadap ilmu yang berhubung dengan
penelitian telah berkembang, dan sejauh apa terdapat kesimpulan dan generalisasi
yang pernah dibuat. Dengan adanya studi pustaka, diharapkan pihak lain dapat
memahami keseluruhan isi dari laporan penelitian ini, terkait pemahaman mengenai
topik pembahasan dan tujuan dari penulisan laporan penelitian ini. Studi pustaka di
penelitian ini dilakukan melalui referensi journal, artikel, website, buku, dan
internet.
Merancang Instrumen
Instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk mengumpulkan,
memeriksa, meyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan, mengolah,
menganalisa, dan menyajikan data-data secara sistematis serta objektif dengan
tujuan untuk memecahkan suatu persoalan. Jadi semua alat yang bisa mendukung
suatu penelitian bisa disebut instrumen penelitian. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini berupa angket, wawancara, lembar observasi, observasi, dokumentasi,
analisis dokumen, diskusi terfokus. Semua instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini telah melalui tahap validasi, diskusi ahli, dan ujicoba kelayakan untuk
menghasilkan belajar dengan pendekatan kinestetik untuk meningkatkan penalaran
dan komunikasi matematis anak autis.
Pelaksanaan pengamatan dan uji coba
Setelah instrumen dirancang dan divalidasi oleh ahli, peneliti melakukan perbaikan
sesuai dengan masukan yang diberikan oleh ahli ketika validasi dan diskusi ahli.
Ketika isntrumen siap, maka dilakukan pelaksanaan untuk pengamatan kebutuhan
awal. Pengamatan kebutuhan awal dilakukan sebagai dasar perancangan proses
belajar. Rancangan proses belajar yang dibuat dalam penelitian ini adalah rancngan
proses belajar dengan pendekatan kinestetik untuk menumbuh kembangkan
kemampuan penalaran dan komunikasi anak autis. Setelah rancangan proses belajar
selesai dibuat, dilakukan ujicoba terbatas. Ujicoba terbatas dilakukan untuk
mengetahui kelayakan proses belajar yang telah dirancang. Setelah ujicoba terbatas
dilakukan peneliti melakukan diskusi dengan ahli untuk memperoleh masukan dan
perbaikan yang kemudian digunakan untuk penyempurnaan disaat ujicoba lanjutan.
Uji coba lanjutan dilakukan agar diperoleh hasil akhir yang lebih baik. Setelah
ujicoba lanjutan dilakukan, peneliti melakukan penelitian dan pengolahan data yang
kemudian menarik kesimpulan dan saran dari hasil rangkuman pengolahan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Hasil Penelitian
Gambaran umum anak autis yang diteliti merupakan penderita syndrom yang
berumur 13 tahun dan masih duduk di kelas 3 sekolah dasar yang bernama Ahlun
Nazar. Berdasarkan data yang diperoleh, pada observasi awal proses pembelajaran
berlangsung dengan metode flash card dan alat peraga, memiliki prosedur yang
tetap pada setiap pertemuan. Sebagai gambaran : Pada pertemuan pertama setelah
kegiatan apersepsi dengan sesi tanya jawab, kemudian guru menjelaskan tentang
definisi sudut, sifat-sifat sudut, karakteristik sudut, jenis-jenis sudut berdasarkan
sifat-sifatnya. Setelah itu disketsakan di papan tulis dan dijelaskan kembali secara
visualisasi dengan flash card dan alat peraga, walaupun dalam teorinya, dan secara
umum visualisasi baik dan disukai anak autis, namun masih terlihat anak autis yang
terus bergerak dan kurang tertarik ketika guru menjelaskan didepan kelas.
Sejak awal pertemuan dalam membahas materi sudut dan bangun datar, guru
dan siswa menggunakan mistar, busur derajat dan jangka. Mistar dan busur derajar
digunakan sejak pertemuan pertama hingga pertemuan terakhir. Selain ketiga alat
tersebut, alat lain yang dimanfaatkan dalam menjelaskan konsep sudut adalah flash
card dan alat peraga. Guru memberikan soal-soal untuk tugas dan latihan. Di sini
terlihat, sebagian anak-anak autis kebingungan dan enggan untuk mengerjakannya.
Penalaran dan komunikasi matematis anak-anak masih rendah, hal itu diindikasikan
dengan, kesulitan berpikir dan kesulitan ketika mencoba menjawab setiap
pertanyaan yang diajukan guru, serta kurang memiliki kemampuan untuk
menunjukkan dan mengkomunikasikan hasil berpikirnya.
Berdasarkan hasil observasi awal pada proses pembelajaran awal yang tanpa
menggunakan pendekatan kinestetik, peneliti menemukan bahwa walaupun pada
teorinya anak autis menyukai pembelajaran secara visual. Sehingga peneliti
mengambil tindakan untuk merancang proses belajar dengan pendekatan kinestetik.
Dalam penelitian ini, anak autis dengan proses belajar dengan pendekatan
kinestetik banyak menggunakan benda disekitar dan bagian tubuh seperti badan,
kaki, tangan dan jari dan kurang dalam penggunaan mistar, busur derajat maupun
jangka dalam mempelajari topik bangun datar dan sudut.. Peran guru di dalam
penelitin ini banyak berperan sebagai fasilitator, diskusi, pemberi arahan, pemberi
pertanyaan baik dengan tujuan sebagai pemantik ataupun umpan balik. Seharusnya
siswa dapat lebih mandiri dalam menyelesaikan masalah yang diberikan guru,
namun karena keterbatasan siswa, sehingga masih membutuhkan arahan dan
bantuan dari guru terlebih dahulu selama awal proses pembelajaran dengan
pendekatan kinestetik ini.
Berikut ini diagram pencar hasil pantauan dan tes lisan penalaran dan
komunikasi dari anak autis yang bernama Ahlun Nazar di Lembaga Pendidikan
Rumah Matematika dan Sains unit Pontianak sebelum dengan proses belajar
dengan pendekatan kinestetik dan setelah.
Hasil Pantauan
8
NILAI
6
4
Hasil pantauan
2
0
0
5
10
15
20
BULAN KE-
NILAI
Diagram Pencar Hasil Pantauan Aspek
Penalaran dan Komunikasi Setelah Proses
Belajar Dengan Pendekatan Kinestetik
10
9.5
9
8.5
8
7.5
Hasil pantauan
17.5
18
18.5
19
19.5
BULAN KE-
Dari hasil wawancara terhadap anak autis yang diteliti bernama Ahlun Nazar.
Diperoleh kesimpulan bahwa Ahlun Nazar kurang menikmati proses belajar rutin
dan umum yang selama ini diaplikasikan. Guru di sekolahnya sering memarahi,
menghukum dan memukul dia jika dia melakukan kesalahan ataupun bergerak
ketika proses belajar berlangsung. Di kelas, proses belajar dilakukan dengan
terstruktur, rapi, tenang, mendengarkan dan posisi duduk harus diam rapi dengan
posisi tangan terlipat diatas meja. Ketika diuji mengenai bahan yang telah dipelajari,
ternyata masih ditemukan miskonsepsi terpola pada waktu anak autis tersebut
diminta menjawab soal mengenai bangun datar. Rumus untuk keliling persegi
adalah 4 kali sisi, dan ketika diberikan soal sebuah persegi panjang, Ahlun Nazar
juga menjawab keliling persegi panjang adalah 4 kali sisi, dan sisi yang diambilnya
berasal dari panjang dari persegi panjang tersebut. Rutinitas merupakan harga mati
bagi anak autis, dan sangat diyakini bahwa bila proses belajar rutin tersebut terus
dilakukan, hanya akan mematikan imajinasi, penalaran dan komunikasi anak autis.
Mereka senang dan gembira ditunjukkan dengan mereka bergerak. Proses belajar
dengan pendekatan gerak (kinestetik) merupakan alternatif yang tepat. Berdasarkan
pantauan secara fokus yang dilakukan oleh peneliti selama 19bulan, kasus serupa
bukan hanya dialami oleh Ahlun nazar, namun juga dialami oleh anak-anak autis
pada umumnya.
Dari hasil wawancara terhadap pengajar autis di Lembaga pendidikan rumah
matematika dan sains unit Pontianak bernama Wahid, hasil wawancara dapat
disimpulkan sebagai berikut : Pak Wahid menanggapi bahwa kondisi pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih kurang maksimal karena masih
sulitnya mencari referensi bahan ajar dan bahan bacaan, buku paket khusus yang
masih tidak ada, dan masih sedikit tenaga peneliti pendidikan yang tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai pengembangan pembelajaran untuk anak autis.
Diwawancarai terkait penalaran dan komunikasi anak autis, Pak wahid mengatakan
bahwa anak autis selalu bermasalah pada komunikasi dan penalarannya dan selalu
ditemui kesulitan-kesulitan pribadi untuk setiap anak autis, penanganan yang baik
untuk satu anak autis tidak dapat menjadi jaminan baik dan sukses untuk anak autis
lainnya, sehingga Pak Wahid sangat bingung dengan kesulitan tersebut, walaupun
telah disediakan flash card, media, dan berbagai teori dan hasil penelitian bahwa
dengan visualisasi ampuh, tetap saja ada hambatannya dengan karakter anak autis
yang berubah-ubah. Lantas, dengan apa karakter dan gaya belajar mereka dapat
disatukan? Setelah ditawarkan solusi proses belajar dengan pendekatan kinestetik,
menurut Pak wahid diberikan angin segar karena dengan pendekatan kinestetik
menyentuh tingkatan dasar dan menyeluruh bagi perwakilan segala keragaman
mereka. Dari hasil wawancara dengan Pak Wahid, Pak Wahid mengatakan bahwa
anak autis menjadi lebih bergairah dan bersemangat ketika belajar dan hasil belajar
jauh lebih baik ketika diajar dengan pendekatan kinestetik.
Berdasarkan hasil observasi menggunakan instrumen, diketahui bahwa anak
autis tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, kurang kontak
mata dan fisik dengan rekannya, tidak bisa bermain dengan teman sebaya dan tidak
dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Selain itu anak autis akan
mengalami gangguan kualitatif berupa tidak berkembang cara berbicara, cara
bermain kurang variatif, bahasa aneh dan diulang-ulang. Anak autis akan
mempertahankan suatu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan,
terpaku pada suatu kegiatan rutinitas dan gerakan yang aneh.
Data penelitian berupa juornal proses pembelajarn menunjukkan informasi
kekuatan dan kelemahan anak berkebutuhan khusus yang berkaitan dengan aspek
kinestetikyang dipaparkan secara deskriptif. Peneliti mendapatkan seluruh jadwal
pembelajaran anak di Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains mulai dari
hanya sebatas observasi sampai kepada tahap mendeteksi anak autis.
Data pendukung yang diambil dalam penelitian ini adalah melalui Inventori.
Inventori merupakan skala psikologi yang dipakai untuk mengungkapkan sikap,
minat, emosi, motivasi, hubungan antar pribadi dan persepsi peserta didik terhadap
suatu objek psikologi yang dapat dilakukan melalui wawancara dan pemberian
angket. Angket inilah yang memberikan data tentang minat anak autis yang bernama
Ahlun Nazar terhadap pembelajaran matematika yang memberikan respon positif
terhadap pelajaran matematika.
Pembahasan Penelitian
Dosen PLB FIP Unesa dan Guru SDLB Keramat Mulia Kepung Kediri
Wiwik Widajati dan Blitsivictoria Alfinina, melakukan penelitian terhadap anak
autis dengan hasil penelitian; “Setiap anak autis perlu memperoleh pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhannya. Salah satunya mendapatkan pembelajaran
individual untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya” (widajati dan
Alfinina, 2011), Sependapat dengan hasil penelitian diatas, peneliti melakukan
penelitian pada anak autis dengan jalur tatap muka per-anak autis untuk
mengoptimalkan hasil penelitian.
Pembelajaran umum yang rutin dengan metode yang tersedia begitu beragam
dan semua terlihat baik, namun tidak semua metode atau pendekatan bisa memenuhi
dan cocok dengan setiap anak autis, cocok dengan yang satu belum tentu cocok
dengan yang lain, terkait pengalaman tersebut peneliti mencoba merancang proses
pembelajaran dengan pendekatan kinestetik, kinestetik karena sifat universal semua
anak autis adalah pada gerakannya, senada dengan penelitian tersebut, penelitian
Koswara pada tahun 2013 mengatakan “Pembelajaran tebaik bagi anak autis adalah
pembelajaran yang sangat sesuai dengan kebutuhan belajar anak. Setiap program,
metode, strategi yang baik dan berhasil untuk seorang anak autis belum dapat
menjadi jaminan baik dan akan berhasil bila diimplementasikan bagi anak autis
yang lain”
Anak autis cenderung mengalami masalah pada kemampuan komunikasi dan
penalaran, hal ini relevan dengan penelitian Melinda (2013:100) yang mengatakan
bahwa “peserta didik dengan gangguan autistic cenderung dan pasti mengalami
hambatan pendengaran dan akan mengalami hambatan dalam bahasa sehingga akan
berdampak untuk mereka berkomunikasi dan berinteraksi sehingga diperlukan
adaptasi cara berkomunikasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Bahasa verbal
sangat sulit sekali jika tidak dibarengi dengan gerakan mereka, dikarenakan cara
berkomunikasi mereka yang cenderung merupakan pembelajar dengan gerak tangan
dan tubuh untuk mengungkapkan keinginannya. Jika sudah mengalami masalah
dalam komunikasi, penalaran mereka juga tentu berpengaruh, anak-anak autis sulit
membuat penalaran, khususnya yang menghubungkan dari premis umum ke
khusus.”
Terkait pula hasil penelitian Rachmayana (2013:106) yang menyatakan
bahwa kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah selalu pada komunikasinya.
Dimana perkembangan komunikasi pada anak autis sangat berbeda, terutama pada
anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam penguasaan bahasa dan
bicara. Kesulitan dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis mengalami gangguan
dalam berbahasa (verbal dan non verbal),padahal bahasa merupakan media utama
dalam komunikasi. Mereka sering kesulitan untuk mengkomunikasikan
keinginannya baik secara verbal (lisan/bicara) maupun nonverbal (isyarat/ gerak
tubuh dan tulisan).
Didukung pula dari hasil penelitian Desertasi Sumarti pada tahun 2012
mengatakan bahwa “Guru diharapkan bersikap konsisten dan tegas mengajari anak
autis berbagai teknik menyampaikan keinginan sehingga mereka memahami
berbagai cara untuk mendapatkan kebutuhannya. Orang tua perlu memperkenalkan
kosakata baru dan mengajak anak autis berbicara menggunakan bahasa yang
sederhana tetapi bermakna sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya dengan
berbagai teknik dan gaya belajar anak-anak mereka.”.
Pentingnya komunikasi dan penalaran anak autis juga diungkapkan dalam
penelitian (Oshomdijah,2012) Oshomdijah mendapatkan hasil penelitian sebagai
berikut : “Anak autis memiliki hambatan dalam interaksi dan komunikasi sosial, tapi
mereka memiliki kekuatan dalam kemampuan visual, kinestetik dan belajar hafalan,
oleh karena itu ketika mengajar anak autis, yang penting guru harus memahami
kekuatan yang dimiliki oleh anak. Banyak model dan strategi pembelajaran yang
digunakan untuk mengajar mereka diantaranya adalah menggunakan dukungan
visual, kinestetik, modelling, prompting, fading, shaping dan chainning. Seseorang
akan belajar lebih baik apabila seorang guru memiliki keteraturan, konsisten dan
positif. Anak Autis cenderung mempertahankan gaya belajarnya dan memiliki gaya
belajar persetiap anak yang berbeda-beda namun mereka cenderung dan pasti
dominan pada visual dan gerak.
Dari pengamatan Glen Doman dan stafnya selama bertahun-tahun, serta
didukung oleh neurolog konsultan dari yayasan pelangi harapan Jakarta, Dr Lily dan
Prof. Dr Sidiarto (Doman,2010: 14), mereka menyimpulkan bahwa terapi yang
harus dilakukan terhadap anak-anak yang mengalami cedera otak autisme adalah
dengan memperbaiki fungsi otak yang terganggu dengan merangsang susunan saraf
pusat atau otak anak, bukan saraf tepi atau ototnya. Prinsip penanganan adalah
dengan gerakan. Setiap gerakan adalah peristiwa sensori-motor yang terkait dengan
pemahaman bahwa rangsang yang diterima melalui kelima indera dari dunia sekitar
membuat mampu memperoleh informasi dan pembelajaran baru.
Sejalan dengan penelitian tersebut, menurut Paul E Dennison, pakar EduKinesthetics (dalam Doman, 2010), menyatakan “Movement is the door to
learning”. Gerakan akan mengintegrasi masuknya informasi baru dan pengalaman
ke dalam jaringan saraf kita. Setiap kali kepala atau anggota tubuh yang digerakan
dengan koordinasi yang baik, akan merangsang otak manusia menjadi aktif
sepenuhnya dan terintegrasi, sehingga pintu untuk belajar akan terbuka secara alami.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Rumah
Matematika dan Sains Pontianak, pembelajaran berlangsung dengan metode flash
card dan alat peraga, memiliki prosedur yang tetap pada setiap pertemuan. Pada
pertemuan pertama setelah kegiatan apersepsi dengan sesi tanya jawab, kemudian
guru menjelaskan tentang definisi sudut, sifat-sifat sudut, karakteristik sudut, jenis-
jenis sudut berdasarkan sifat-sifatnya. Setelah itu disketsakan di papan tulis dan
dijelaskan kembali secara visualisasi dengan flash card dan alat peraga.
Proses belajar yang dilakukan oleh pengajar Lembaga Pendidikan Rumah
Matematika dan Sains dalam meningkatkan penalaran matematis anak autis,
diajukan beberapa pertanyaan untuk menggali kemampuan penalaran anak autis
seperti mengajak anak bermain kegunaan dari jangkar dan busur. Guru mengajak
anak bernalar kguanaan penggaris selain untuk menggaris. Guru mengajak anak
autis menjawab kalimat yang menggunakan kata tanya : apa, siapa, dimana dan
bagaimana. Anak autis diajak berpikir dan mengelompokkan kata pada objek
berdasarkan fungsinya.
Peningkatan komunikasi matematis anak autis dilakukan oleh pengajar
Lembaga Pendidikan Rumah Matematika dan Sains. Selain itu, anak juga diarahkan
untuk mengamati alat peraga berbentuk bangun-bangun datar dan diminta untuk
menceritakannya. Anak autis diminta untuk menceritakan nama bangun secara rinci
dan diarahkan untuk menjawab soal-soal yang disediakan oleh pengajar. Siswa juga
diajak untuk membedakan bangun datar berdasarkan jumlah sisi dan sudutnya,
siswa ditunjukkan contoh bangun segi empat dan diajak mencari bangun segi empat
lainnya.
Pada posisi tertentu, guru mengambil beberapa bingkai foto dengan
berbagai bentuk bangun datar yang berbeda – beda dan mengajak anak autis untuk
melakukan penalaran dengan menjawab pertanyaan dengan kata apa, siapa, dimana,
dan bagaimana. Anak diajak melakukan penalaran nama dan jenis sudut dengan
menggerakkan tangannya. Anak diajak untuk mentransformasikan bentuk soal ke
dalam gerakan. Guru mengejar penalaran anak autis dengan menjawab pertanyaan
disertai dengan penalaran yang sifatnya umum dan bersumber dari lingkungan
sekitar.
Dalam penelitian ini, anak diarahkan untuk melakukan komunikasi
ekspresif, pengajar mengoptimalkan fungsi pendengaran melalui stimulus langsung
dari guru/benda, guru membisikan nama bangun datar ke telinga anak, mulai dari
kalimat yang paling sederhana hingga yang kompleks dengan suara yang lembut
sampai suara yang agak keras, guru menunjukkan gambar bangun datar kepada
anak autis dan membisikkan namanya. Disini anak diarahkan untuk mengikuti
gerakan yang dicontohkan guru, guru mengajak anak autis menggerakkan otot
mulut dan lidah dimulai dengan membuka dan menutup mulut, menjulurkan lidah,
meletakkan lidah ke gigi bagian atas, guru lalu memberiathu ulang kepada anak
bangun berbentuk PER-SE-GI sambil memperagakan dengan tangan bentuk
bangunan persegi.
Guru mengarahkan anak untuk mengucapkan A,I,U,E,O dalam kata
sekaligus memahami dengan mengucapkan vocal yang paling dominan, misalnya
sudut “U” sambil menggerakkan flash card gambar sudut. Guru mengarahkan untuk
anak untuk membentuk berbagai bentuk bangun datar dengan jari dan tangan
sambil meneriakkan dengan jelas nama bangunnya, dan memberikan tepuk tangan
setelah anak mengucapkan dengan benar. Guru mengajak anak melompat-lompat
sambil mengkomunikasikan makna gerakannya ketika menghitung keliling bangun
datar. Guru membimbing anak untuk menceritakan kembali materi yang tealh
dipelajari sesuai dengan stimulus yang telah diberikan sambil anak memperagakan
ulangan dengan gerakan-gerakan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
dengan pendekatan kinestetik untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi
matematis anak autis yaitu terdiri dari: (1) metode pembelajaran menggunakan
flash card dan alat peraga tergolong sudah cukup baik, namun masih memiliki
banyak kelemahan seperti terlihat monoton dan kurang variasi sehingga
mengurangi ketertarikan anak autis untuk belajar; (2) Anak autis terus
menunjukkan ketidaktertarikan ketika guru mengajak anak untuk berpikir dan
mengelompokkan kata pada objek berdasar fungsi; (3) Anak autis terlihat cemas
ketika guru meminta anak menceritakan bangun secara rinci; (4) Anak autis
menjadi lebih fokus dan paham serta dapat mengerjakan soal secara mandiri,
penalaran mulai meningkat, serta anak mampu merubah bentuk soal yang tadinya
sulit dimengerti menjadi lebih mudah dikerjakan dengan mentransformasikan
dalam bentuk gerak. Penalaran anak autis menjadi jauh lebih baik, mengalami
peningkatan, dan bahkan anak autis menjadi lebih kritis; (5) Gerakan guru untuk
menunjukkan beberapa contoh bangun datar dengan menggunakan tangan dan jari
dilakukan kontinu sehingga dapat dimaknai dan ditiru oleh anak. (6) Proses belajar
dengan pendekatan kinestetik untuk meningkatkan penalaran dan komunikasi
matematis anak autis dalam materi sudut pandang bangun datar dapat disimpulkan
mencapai keberhasilan.
Saran
Berdasarka hasil penelitian dan kesimpulan ini, maka disarankan kepada
pengajar autis untuk mempertimbangkan hasil penelitian ini dan dijadikan sebagai
salah satu acuan dalam pembelajaran. Disarankan kepada pengajar untuk
melakukan pendekatan kinestetik sebagai alternatif dalam menyampaikan materi
dengan mempersiapkan tema dan media yang lebih terencana. Pengajar hendaknya
membuat soal-soal penyelesaian masalah yang potensial untuk memunculkan
abstraksi yang lebih beragam untuk meggali penalaran dan komunikasi anak autis
terkait dengan kemampuan abstraksi mereka. Pengajaran kepada anak autis lebih
disarankan menggunakan proses belajar rutin hanya pada topik-topik tertentu dan
diharapkan kepada pengajar untuk jangan pernah merasa malu dalam mengajar
anak autis.
DAFTAR PUSTAKA
Brower,F . (2010). 100 Ide Membimbing Anak Autis. Jakarta : Penerbit Erlangga
Doman, Glenn. (2002). Apa Yang Dapat Dilakukan Pada Anak Anda Yang Cedera
Otak (What To Do About You Brain-Injured Child. America : The Institutes
for the Achievement of Human Potential
Ilahi, M.T. (2013). Pendidikan Inklusif. Yogyakarta : Ar- Ruzz Media
Kidd, S.L. (2013). Anakku Autis, Aku Harus Bagaimana?. Jakarta : PT Bhuana
Ilmu Populer
Koswara, D. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Berkesulitan Belajar
Spesifik. Bandung : Luxima Metro Media.
Koswara,D (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autis. Bandung :
Luxima Metro Media.
Munir,F
(2013).
Komunikasi
anak
Autis.
[Online].
Tersedia
:
http://fatinahmunir.blogspot.com/2013/05/komunikasi-anak-autis.html [10
maret 2014]
Melinda, E.S. (2013). Pembelajaran Adaptif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung : Luxima Metro Media.
Meimulyani, Yani dan Caryoto . (2013). Media Pembelajaran Adaptif Bagi Anak
Berkebutuhan Khusus. Bandung : Luxima Metro Media
Walle, J.A.V.D (2008). Sekolah Dasar dan Menengah Matematika Pengembangan
Pengajaran Jilid 1. Jakarta : Erlangga