Kata Kunci: Mitos, Sosiologi Karya Sastra, Novel Isinga PENDAHULUAN - MITOS MASYARAKAT PAPUA DALAM NOVEL ISINGA KARYA DOROTHAE ROSA HERLIANY

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

MITOS MASYARAKAT PAPUA DALAM NOVEL ISINGA KARYA DOROTHAE
ROSA HERLIANY
IRMAWATI
Abstrak
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana mitos masyarakat Papua dalam
novel Isinga. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data dalam
penelitian ini adalah data tertulis berupa teks novel yang menggambarkan mitos yang
terdapat dalam novel Isinga. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
baca dan catat. Kemudian, data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra, khususnya teori sosiologi karya sastra Wellek dan Werren.
Hasil penelitian yang berupa mitos masyarakat Papua dalam novel Isinga, diantaranya:
(1) mitos dua bersaudara, (2) mitos tentang perempuan, (3) mitos babi purba, (4) mitos
lemak babi, (5) mitos tentang roh, (6) mitos buah larangan, (7) mitos bayi kembar, (8)
mitos tentang asap, (9), mitos tentang orang sakit, (10) mitos darah persalinan.
Kata Kunci: Mitos, Sosiologi Karya Sastra, Novel Isinga
PENDAHULUAN

Sastra merupakan tiruan kehidupan nyata. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut
penganut teori mimesis yang menganggap karya seni sebagai pencerminan, peniruan,
ataupun membayangkan realitas, Teeuw (2015:172). Salah satu bentuk sastra adalah
novel. Rampan (2013:278) menjelaskan bahwa novel atau roman adalah cerita fiktif
yang panjang.
Salah satu novel yang menarik perhatian penulis adalah novel Isinga karya Dorothae
Rosa Herliany. Kata Isinga dalam bahasa Papua berarti mama atau perempuan. Sama
seperti judulnya novel ini memfokuskan diri menceritakan perjalanan hidup seorang
perempuan. Novel Isinga merupakan novel yang berintikan tentang kisah cinta.
Namun, hal yang sebenarnya menjadikan novel ini menarik adalah bukan tentang
kisah cintanya. Namun lebih pada keadaan sosial di mana kisah cinta itu terjadi.
Keadaan sosial yang dimaksud adalah kebudayaan masyarakat tempat di mana tokohtokoh di dalam novel ini hidup. Kehidupan yang masih terbalut berbagai mitos yang
dipercayai dan menjadi dasar mereka melakukan atau memutuskan sesuatu.
Mitos merupakan unsur kebudayaan yang hampir ada di setiap kelompok masyarakat
di seluruh dunia, baik pada kelompok yang sudah maju sehingga mulai meninggalkan
hal-hal semacam itu atau pada kelompok yang sampai detik ini masih memegang
teguh mitos itu sebagai pengangan hidup mereka. Penelitian yang akan dilakukan
adalah penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi karya sastra yang berasal
dari Wellek dan Werren. Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang
mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang

terkandung di dalam karya sastra.
Berdasarkan uraian yang telah paparkan, maka dapat disimpulkan bahwa pada
penelitian kali ini akan dilakukan penelitian pada novel Isinga karya Dorothae Rosa
Herliany dengan menggunakan pendekatan Sosiologi Karya Sastra, sebuah teori yang
berasal dari Wellek dan Werren. Penelitian akan berfokus pada isi karya yang
bermaksud untuk mengetahui mitos yang terdapat dalam kelompok masyarakat Papua
seperti yang terkandung dalam novel Isinga karya Dorothae Rosa Herliany.
Masalah dalam penelitian ini adalah apa sajakah mitos masyarakat Papua yang
terdapat dalam novel Isinga karya Dorothae Rosa Herliany?

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 1

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan mitos yang ada di dalam
kehidupan masyarakat Papua berdasarkan novel Isinga karya Dorothae Rosa
Herliany.

Manfaat dalam penelitian ini. Pertama, Peneliti dan pembaca dapat mengetahui mitos
yang ada di kehidupan masyarakat Papua seperti yang diceritakan pada novel Isinga.
Kedua, Pembaca dapat mengambil nilai-nilai positif dan pelajaran hidup dari
kehidupan masyarakat Papua sebagaimana yang telah diceritakan pada novel Isinga.
KAJIAN PUSTAKA
Sastra
Menurut Tasai (2003:2), ia menjelaskan bahwa dalam sastra orang dapat membaca
sejarah, filsafat, pandangan hidup, adat-istiadat, kepercayaan, politik, cita-cita, dan
lain-lain yang berhubungan dengan kegiatan manusia sepanjang masa.
Novel
Novel adalah sebuah karya fiksi berbentuk prosa yang tertulis dan naratif. Biasanya
dalam bentuk cerita. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) sehingga
membuatnya lebih kompleks dari cerpen dan tidak dibatasi keterbatasan struktural
dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya, sebuah novel bercerita tentang tokohtokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, Redaksi PM (2012:42).
Sosiologi Karya Sastra
Pada pendekatan sosiologi karya sastra, masalah-masalah yang akan dikaji adalah;
isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra yang
berkaitan dengan masalah sosial. Pada pendekatan ini isi karya dianggap memiliki
ikatan dengan masalah sosial, dalam hal ini sering kali dipandang sebagai dokumen
sosial, atau sebagai potret kenyataan sosial, Wellek dan Warren (2014:110).

Mitos
Menurut J. Van Baal mitos adalah cerita di dalam kerangka suatu sistem religi yang
di masa lalu atau kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan.
Kemudian menurut Van Peursen yang mengatakan bahwa mitos adalah sebuah
ceritera pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu
berintikan lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia. Mitos
memberikan arah pada kelakuan manusia untuk bertindak bijaksana (dalam Daeng,
2012:81).
Menurut Barthes (2006:151-154) mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia
adalah sebuah pesan. Oleh sebab itu, mitos tidak bisa dibatasi hanya wicara lisan saja.
Pesan bisa terdiri dari berbagai bentuk tulisan atau representasi. Bukan hanya dalam
bentuk wacana tertulis, Namun juga berbentuk fotografi, sinema, reportase, olahraga,
pertunjukkan, publikasi, yang semuanya bisa berfungsi sebagai pendukung wicara
mistis. Mitos tidak dapat dijelaskan oleh objek maupun oleh materinya, sebab materi
apapun secara arbitrer bisa didukung oleh makna.
Mitos adalah satu sistem khusus, karena dia terbentuk dari serangkaian rantai
semiologis yang telah ada sebelumnya. Mitos adalah sistem semiologis tingkat kedua.
Tanda (yakni gabungan total antara konsep dan citra) pada sistem pertama, menjadi
penanda pada sistem kedua. Dalam konteks ini kita tidak boleh lupa bahwa materimateri wicara mistis (bahasa, fotografi, lukisan, poster, ritual, objek-objek, dan yang
lainnya) meskipun pada awalnya berbeda, direduksi menjadi fungsi penandaan murni

begitu mereka ditangkap oleh mitos. Mitos melihat mereka (materi-materi wicaranya)

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 2

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

hanya sebagai bahan mentah. Sehingga kesatuannya adalah bahwa mereka semua
berubah status hanya menjadi bahasa. Mitos pada kenyataanya memiliki fungsi
ganda. Menunjukkan dan memberitahu, membuat kita bisa memahami sesuatu dan
membebankan sesuatu itu kepada kita. Barthes (2006:161-165)
Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh
sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh pesannya, Namun oleh cara dia
mengutarakan pesan itu sendiri. Barthes (2006:152) menjelaskan, segala sesuatu bisa
menjadi mitos. Sebab alam semesta ini begitu subur dugaan dan saran. Segala objek
di dunia ini dapat pindah dari keberadaan yang diam dan tertutup kepada keberadaan
oral, yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat, sebab tak ada hukum, alamiah
atau tidak, yang melarang orang berbicara tentang berbagai hal.

Mitos adalah sebuah nilai, kebenaran bukan merupakan jaminan baginya. Tak ada
yang bisa mencegah berubahnya mitos menjadi alibi abadi, cukuplah dikatakan
bahwa penanda mitos memiliki dua sisi karena mitos selalu menggunakan “sesuatu
yang ada ditempat lain” sesuai kehendaknya. Kini kita tahu bahwa mitos adalah tipe
wicara yang lebih banyak ditentukan oleh maksud ketimbang oleh makna literalnya.
Barthes (2006:176-177)
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
Metode dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan mengambarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dikatakan kualitatif karena
datanya dinyatakan dalam keadaan yang sewajarnya atau sebagaimana adanya
(natural setting), dengan tidak diubah-ubah dalam bentuk simbol-simbol dan
bilangan-bilangan. Penelitian ini mendeskripsikan data yang dianalisis berupa mitos
masyarakat Papua dalam novel Isinga karya Dorothae Rosa Herliany.
Jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan. Dikatakan penelitian
kepustakaan karena penelitian ini didukung oleh referensi baik berupa novel maupun
sumber buku penunjang lainnya berhubungan dengan masalah penelitian ini.
Data dan Sumber Data

Data penelitian ini adalah isi teks novel Isinga yang memuat tentang mitos yang
hidup dan mengikat di dalam kelompoknya. Sumber data berupa data tertulis yakni
teks novel Isinga karya Dorothae Rosa Herliany yang diterbitkan oleh Gramedia
Pustaka Utama di Jakarta, cetakan pertama Januari 2015, dengan 210 halaman.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca-catat. Teknik baca
maksudnya adalah membaca dan menelaah teks novel Isinga. Teknik catat adalah
mencatat data-data yang berhubungan dengan mitos masyarakat Papua, yang
diperoleh dari hasil pembacaan novel tersebut. Teknik tersebut dilakukan dengan
urutan sebagai berikut:
1. Membaca novel Isinga karya Dorothae Rosa Herliany.
2. Mencatat seluruh data hasil pembacaan yang berisikan tentang mitos yang
sudah diberi kode dengan cara menempelkan kertas nota pembatas warnawarni pada halaman tempat data tersebut tertulis.
3. Mengidentifikasi data berdasarkan hasil penelitian.

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 3

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa

Herliany]

Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis Sosiologi
Karya. Analisis sosiologi karya merupakan suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang
cara kerjanya menganalisis kehidupan sosial budaya sebuah masyarakat yang
berdasarkan pada satu karya yang telah tercipta.
Selengkapanya teknik analisis yang akan dilakukan adalah dengan menggunakan
tahap-tahap sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi, yaitu membaca keseluruhan isi novel kemudian
mengindentifikasi mitos yang berada di dalamnya.
2. Mengkaji/menganalisis, yaitu menafsirkan isi cuplikan yang diambil dari
novel yang telah diidentifikasi dengan kaitannya atau hubungannya dengan
mitos yang tengah diteliti.
3. Mendeskripsikan, yaitu data hasil analisis ditafsirkan kedalam bentuk
paparan kebahasaan.
Mitos-Mitos yang Terkandung dalam Novel Isinga
Mitos Dua Bersaudara
Mitos pertama yang ditemukan dalam novel Isinga ini adalah mitos tentang dua
bersaudara. Mitos tentang dua bersaudara adalah sebuah mitos yang dipercayai oleh

masyarakat Papua dalam novel Isinga ini sebagai hal yang mendasari perselisihan dan
peperangan yang terjadi secara turun-temurun, antara perkampungan Aitubu dan
perkampungan Hobone.
Mitos tentang dua bersaudara adalah mitos yang menceritakan dua orang kakak
beradik yang tinggal di dusun Walei. Sang kakak adalah seorang perempuan dan
memiliki anak. Sedangkan adiknya adalah seorang laki-laki yang belum kawin. Suatu
hari, persedian makanan menipis, sang kakakpun berencana pergi ke kebun untuk
mengambil sayur dan betatas untuk dimakan oleh mereka bertiga. Perjalanan yang
akan dilewati sang kakak sangat jauh dan sulit, maka ia pun menitipkan anaknya yang
sedang tertidur saat itu pada adiknya. Belum lama ibunya pergi, anak itu terbangun.
Kemudian menangis. Si adikpun langsung memberikan makanan pada anak sang
kakak, berharap dia berhenti menangis. Namun sayangnya, anak tersebut menolak dan
terus saja menangis karena yang si anak itu inginkan adalah susu. Jengkel merasuki
sang adik. Tanpa berpikir panjang, sang adik langsung membunuh anak sang kakak
tersebut. Kemudian dibakar dan akhirnya sang adik memakan daging anak kakaknya
sendiri. Saat sang kakak pulang, ia langsung mencari anaknya. Namun, anaknya tak
kunjung ditemukannya. Dia bertanya pada sang adik, tapi dia tidak menjawab. Sampai
akhirnya sang kakak tahu bahwa anaknya telah dibakar dan dimakan oleh adiknya.
Sang kakak yang marah, lalu mengambil sebuah tongkat kayu untuk memukul sang
adik. Tetapi sang adik mampu menghindar dengan berlindung di tiang-tiang rumah.

Sang adik berlarikan diri melalui celah atap. Di atas atap, tiba-tiba sang adik berubah
menjadi burung temti. Begitulah mitos tentang dua bersaudara dalam novel Isinga ini.
Bukti tentang adanya mitos tentang dua bersaudara dalam novel Isinga ini dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Ceritanya adalah tentang dua kakak adik yang tinggal di perkampungan Walei.
Si kakak adalah seorang perempuan yang sudah punya anak. Adiknya seorang
laki-laki yang masih belum kawin. Si kakak akan pergi berkebun mengambil
sayur dan betatas untuk dimakan bersama anaknya dan si adik. Persediaan yang
ada sudah hampir habis.
Karena jauh dan jalannya sulit, melewati sungan besar, si kakak meminta
adiknya menjaga anaknya yang saat itu sedang tidur. Selain itu si kakak pergi

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 4

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

jauh, anaknya bangun. Lalu menangis. Si adik memberikan makanan yang ada,

tapi si anak menolak. Betatas, pisang ditolaknya. Si adik mengambil sepotong
daging yang tersisa. Ternyata juga tetap ditolak si anak. Si anak minta susu. Susu
dari ibunya. Si anak terus menangis.
Si adik menjadi jengkel, lalu membunuh si anak. Daging si anak diletakkan di
bawah abu seperti kalau mereka memasak betatas, lalu dibakar. Setelah itu, si
adik memakan daging si anak. Tulang-tulangnya di simpan di Yowi keramat yang
tidak jauh dari rumah mereka. Ketika si kakak pulang, ia menanyakan anaknya.
Si adik tidak mengaku. Si kakak mencari kemana-mana. Tidak ketemu.
Akhirnya si kakak tahu, si adik telah membakar dan memakan anaknya. Ia lalu
mengambil tongkat kayu. Si adik dipukul dengan tongkat itu. Adiknya bisa
menghindar berlindung di tiang-tiang kayu di dalam rumah.Si kakak terus
mengejar. Akhirnya si adik melarikan diri lewat celah atap. Di atas atap, ia
berubah menjadi burung temti.
Kakaknya berhenti mengejar. Ia lalu menangisi kematian anaknya. (Herliany,
2015:49)
Sebenarnya apa hubungan perkampungan Aitubu dan Hobone dengan mitos dua
bersaudara ini sehingga menjadi latar belakang permusuhan antara perkampungan
Aitubu dan Hobone? Jika itu pertanyaan ini yang muncul maka jawabannya adalah
karena masyarakat perkampungan Aitubu dan Hobone merupakan keturunan dari dua
bersaudara itu, yang dengan kata lain sebenarnya masyarakat perkampungan Aitubu
dan Hobone adalah saudara. Melalui mitos dua bersaudara itu juga, kedua masyarakat
perkampungan itu percaya bahwa mereka tidak akan pernah akur atau berdamai karena
permusuhan yang terjadi jauh di awal sebelum kedua perkampungan itu lahir. Kutipan
mengenai hubungan perkampungan Aitubu dan Hobone, kemudian tentang pernyataan
yang menyatakan bahwa kedua perkampungan ini terus-menerus bermusuhan dapat
dilihat pada tiga kutipan di bawah ini.
Anak turun-temurun dari kakak dan adik inilah yang kemudian menjadi
masyarakat di perkampuangan Aitubu dan Hobone. Mereka sebetulnya satu
keluarga tapi sejak dulu bermusuhan. Orang Hobone masih menyimpan tulang
tangan anak itu dalam noken keramat. Apa yang dilakukan dulu oleh leluhur
mereka, mereka lakukan juga sekarang. Inilah yang menyebabkan perang yang
tak pernah selesai antara dua perkampungan itu. (Herliany, 2015:50)
Bapar Labobar ingin menutup sejarah, tentang perang yang terus-menerus
berulang turun-temurun. (Herliany, 2015:50)
Perkampungan Hobone dan perkampungan Aitubu sudah lama saling
bermusuhan. (Herliany, 2015:34)
Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
dalam novel Isinga ini, memiliki mitos tentang dua bersaudara yang menjadi dasar
permusuhan dan peperangan yang terus-menerus terjadi antara orang dari
perkampunagan Aitubu dan Hobone. .
Mitos tentang Perempuan
Mitos tentang perempuan dalam novel Isinga ini, yaitu mitos berhubungan dengan
pantangan bagi kaum laki-laki sebelum melakukan perburuan. Mitos ini melarang bagi
laki-laki yang akan melakukan perburuan untuk tidak melakukan hubungan dengan
perempuan. Apabila melakukan persetubuhan pada malam sebelum kegiatan berburu
tersebut, maka akan menghilangkan kesuksesan dalam melakukan perburuan. Bukan
hanya bersetubuh, bahkan menyentuh dan berbicara saja tidak diperbolehkan. Kencing
anak juga termasuk. Apabila seorang perempuan menyentuh alat berburu maka

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 5

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

perempuan tersebut akan terkena penyakit, misalnya saja muntah darah. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Suatu hari Malom sudah berangkat pergi berburu. Berburu harus dilakukan
sebelum orang-orang bangun dari tidur. Selain itu juga ada beberapa
pantangan. Yaitu tidak berhubungan badan dengan istri. Tidak berkomunikasi
dengan perempuan. Tidak terkena air kencing anak. Alat-alat berburu tidak
boleh tersentuh perempuan. Semua itu agar pemburu bisa mendapatkan hasil
buruan. Bila seorang perempuan menyentuh alat berburu, masyarakat Hobone
percaya, si perempuan bisa kena penyakit misalnya muntah darah. (Herliany,
2015:61)
Jadi, dalam novel Isinga ini masyarakat Papua memiliki mitos yang berhubungan
dengan perempuan. Sebuah mitos yang melarang laki-laki yang akan melakukan
perburuan untuk berhubungan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan perbuatan
tersebut akan membawa kegagalan dalam perburuan. Tidak hanya sebatas pada
hubungan badan saja tetapi berkomunikasi saja dengan perempuan, juga tidak
diperbolehkan.
Mitos Babi Purba
Mitos babi purba merupakan mitos yang menceritakan kisah seorang perempuan dan
anak laki-lakinya. Si perempuan memutuskan untuk merubah wujudnya menjadi
seekor babi. Saat si anak mencari ibunya, ia hanya bertemu dengan seekor babi yang
memang adalah wujud ibunya yang baru. Babi tersebut mampu berbicara dan meminta
pada anaknya untuk membunuh lalu memasaknya. Setelah itu baru anaknya bisa
memakan dirinya. Tetapi, babi tersebut memberi syarat. Tulang-tulangnya harus
dikumpulkan di satu tempat. Setelah si anak mengumpulkannya di satu tempat, tulangtulang itupun menjelma menjadi banyak perempuan dan laki-laki. Mitos babi purba
dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Dahulu kala ada seorang perempuan dan anaknya, laki-laki. Si perempuan
memutuskan untuk menjadi seekor babi. Ketika anaknya mencari, ia tak
menemukan ibunya. Yang ada hanya babi itu. Binatang itu bisa bicara dan
meminta agar dia dibunuh dan dimasak. Nanti dagingnya boleh dimakan. Setelah
itu tulang harus dikumpulkan di sebuah tempat. Dari tulang-tulang itu menjelma
banyak perempuan dan laki-laki. (Herliany, 2015:141)
Keputusan sang perempuan yang rela berkorban dan akhirnya membunuh dirinya
sendiri, demi sebuah kehidupan yang baru dalam mitos tersebut, seolah
menghilangkan anggapan buruk masyarakat Papua dalam novel Isinga ini tentang
perbuatan bunuh diri. Kemudian mitos tentang babi purba inilah yang menjadi dasar
sebuah kepercayaan yang memperbolehkan seorang perempuan untuk melakukan
perbuatan bunuh diri.
Bukti tentang penjelasan di atas, dapat dilihat pada kutipan berikut.
Di wilayah pegunungan Megafu, bunuh diri memang bukan hal baru bagi para
perempuan. Bunuh diri biasa dilakukan para perempuan. Bahkan ini merupakan
senjata terakhir atau cara yang banyak dipakai para perempuan untuk
mengancam suami. Biasanya suami takut. Sebab kalau itu terjadi, maka suami
harus memberikan sejumlah babi ke keluarga istri. Jika tidak, maka perang yang
harus terjadi, selain itu, bunuh diri para perempuan juga seperti mendapat
dukungan dari nenek moyang. Hal ini berkaitan dengan cerita lama di Aitubu

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 6

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

tentang babi purba. Babi purba rela mati demi hadirnya kehidupan lain, yaitu
manusia. (Herliany, 2015:140-141)
Jadi, masyarakat Papua dalam novel Isinga ini memiliki mitos tentang babi purba
yang menjadi dasar bagi masyarakat percaya bahwa perbuatan bunuh bukan
merupakan hal yang buruk. Sama halnya seperti babi purba yang rela mati demi
menghadirkan kehidupan yang baru.
Mitos Lemak Babi
Mitos tentang lemak babi adalah mitos yang mengatakan bahwa lemak babi
merupakan minyak yang dianggap sebagai pengantara yang mengokohkan.
Menghidupakan kembali hubungan antara manusia yang hidup saat pada ini dengan
masa lalu atau masa purba dan alam semesta. Akibat dari adanya kepercayaan pada
mitos lemak babi ini, membuat masyarakat dalam novel Isinga ini hampir selalu
menggunakan lemak babi dalam upacara adat. Hal ini dapat dibuktikan dengan dua
kutipan berikut.
Lemak babi hampir selalu dipakai dalam berbagai upacara tradisional di Aitubu.
Minyak itu dianggap sebagai pengantara yang mengokohkan. Menghidupkan
kembali hubungan antara manusia saat ini dengan masa purba. Dengan dunia
masyarakat. Dengan alam semesta. (Herliany, 2015:10)
Sama dengan ketika upacara Wit, tubuh mereka diolesi lemak babi. (Herliany,
2015:20)
Jadi, masyarakat Papua dalam novel Isinga ini memiliki sebuah mitos yang dipercayai
yaitu mitos lemak babi. Adanya mitos lemak babi ini, membuat masyarakat Papua
dalam novel Isinga ini hampir selalu menggunakan lemak babi dalam upacara adat.
Mitos tentang Roh
Bagi masyarakat Papua dalam novel Isinga karya ini, mereka masih memercayai
adanya roh sehingga mitos-mitos tentang keberadaan rohpun hadir untuk mendukung
kepercayaan akan roh tersebut. Bagi masyarakat Papua dalam novel Isinga ini terdapat
sebuah mitos tentang adanya roh palimoun. Roh palimoun digambarkan sebagai roh
yang berada di atas, ukurannya besar, berkuasa, dan berbahaya. Roh palimoun ini
mampu membuat manusia celaka. Roh-roh yang termasuk roh palimoun adalah roh
gunung, roh kampung, dan roh hutan. Kemudian ada roh apmon. Roh ini adalah roh
yang berada di bawah. Ukurannya kecil dan tidak terlalu berbahaya bagi manusia
karena mudah hilang. Roh-roh yang termasuk roh apmon adalah roh air dan roh
sungai.
Tidak hanya ada mitos tentang roh palimoun dan roh apmon saja yang terdapat dalam
novel Isinga ini, mitos yang dimaksud adalah mitos tentang roh orang yang sudah
meninggal. Baik itu meninggal karena terbunuh atau roh yang merupakan jiwa leluhur
mereka. Roh orang meninggal ini terdiri atas beberapa jenis. Jenis pertama adalah roh
yang ada dan hidup di tengah-tengah mereka. Roh jenis ini terkadang menampakkan
diri dalam bentuk binatang. Keberadaan roh jenis ini terkadang bisa membuat celaka
tetapi juga bisa membawa untung. Kedua adalah roh yang tidak kelihatan dan sering
muncul dalam bentuk seorang perempuan dan roh ini suka mengganggu para pemuda
yang ditemuinya.. Mitos tentang roh ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Masyarakat di bawah pegunungan Megafu percaya adanya roh yang tanggal di
mana-mana. Ada roh palimuon, roh yang berada di atas. Roh ini besar,
berkuasa, dan berbahaya. Bisa membuat celaka manusia. Misalnya roh gunung,
roh kampung, roh hutan. Ada roh apmon, roh yang berada dibawah. Roh ini
kecil dan tidak terlalu berbahaya. Mudah hilang. Misalnya roh air, roh sungai.

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 7

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

Ada lagi roh yang sudah meninggal. Baik itu mati terbunuh atau roh yang
merupakan jiwa leluhur mereka. Roh yang hidup di tengah-tengah mereka.
Kadang bisa menampakkan diri dalam bentuk binatang, kadang membuat celaka.
Kadang membuat untung. Ada roh yang tidak kelihatan dan sering muncul dalam
bentuk seorang perempuan. Biasanya roh ini menganggu para pemuda.
(Herliany, 2015:111)
Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, masyarakat Papua dalam novel Isinga ini
memiliki mitos tentang berbagai macam jenis roh yang menghuni sekitar mereka
beserta dengan pengaruhnya bagi manusia. Tak hanya itu adanya mitos tentang roh
yang mengganggu manusia membuat masyarakat dalam novel Isinga ini selalu
mengaitkan sebuah penyakit dengan roh dan yang bisa mengobati adalah seorang
dukun
Mitos Buah Larangan
Pandan merah dalam novel Isinga ini merupakan buah yang dikonsumsi oleh
masyarakat baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam upacara-upacara adat.
Meski pandan merah merupakan makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat,
tetapi pandan merah ini merupakan buah larangan bagi perempuan. Khususnya
perempuan yang telah dewasa, atau perempuan yang telah menstruasi. Larangan
tersebut terjadi akibat adanya sebuah mitos yang mengatakan bahwa pandan merah
merupakan simbol dari seorang perempuan, dan warna merah pandan merah
merupakan darah menstruasi, sehingga perempuan yang sudah menstruasi dilarang
memakan buah pandan merah. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Mulai sekarang kamu tidak boleh makan pandan merah, Irewa,” jelas Mama
Kame memberi tahu tentang buah larangan. “karena warna merah dari buah
pandan merah adalah darah mentruasi,” kata Mama Kame ketika melihat
anaknya akan membuka mulut, mau bertanya. (Herliany, 2015:53)
Tidak hanya karena mitos warna merah dari buah pandan merah yang menjadikannya
terlarang, tetapi dibalik itu, pandan merah merah memiliki makna yang lebih dalam.
Makna dari pandan merah dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Suami-istri baru bisa melakukan hubungan persetubuhan kalau pandan merah
di pohon sudah matang. Pandan itu adalah manusia, perempuan. Sudah merah
berarti perempuan itu sudah dewasa,” tambah Mama Kame. (Herliany, 2015:54)
Jadi, masyarakat Papua dalam novel Isinga ini memiliki sebuah mitos tentang pandan
merah yang merupakan buah larangan yang tidak bisa dimakan oleh perempuan.
Menurut mitos tanaman pandan merah tidak hanya sebagai tanaman saja tetapi sebagai
simbol dari proses pertumbuhan khususnya pertumbuhan seorang perempuan.
Perempuan yang belum menstruasi tidak bisa menikah dan melakukan persetubuhan,
tetapi ketika sudah mengalami menstruasi maka perempuan itupun sudah boleh
melakukannya. Sama halnya seperti pandan merah. Saat pandan merah di pohon sudah
benar-benar masak baru bisa dimakan. Oleh karena itu perempuan yang sudah
menstruasi dilarang makan pandan merah, karena pandan merah adalah dirinya.
Perempuan.
Mitos tentang Bayi Kembar
Bayi kembar bagi masyarakat Papua dalam novel Isinga ini dipercaya sebagai sesuatu
yang buruk sehingga harus segera disingkirkan. Masyarakat percaya bahwa apabila

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 8

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

terjadi kelahiran kembar di dalam keluarga maka salah satu dari bayi kembar itu harus
dibuang ke sungai atau dibunuh. Tidak boleh dibiarkan hidup. Hal ini dikarenakan
adanya mitos yang mengatakan bahwa salah satu dari bayi kembar tersebut merupakan
anak setan. Oleh sebab itu, bayi kembar tersebut harus dipisahkan. Jika tidak
dipisahkan, salah satunya akan meninggal. Mitos tentang bayi kembar yang sudah
dijelaskan dapat dibuktikan dengan dua kutipan di bawah ini.
Menurut kepercayaan masyarakat di pegunungan Megafu, kalau ada bayi
kembar, salah satu harus dibuang ke sungai atau dibunuh. (Herliany, 2015:86)
Pegunungan Megafu tampak angkuh berdiri tegak di luar. Begitulah, masyarakat
penghuni di bawahnya percaya kalau ada bayi kembar maka salah satunya harus
dibuang atau dibunuh. Tidak boleh dibiarkan hidup. Sebab salah satunya adalah
anak setan. Karena itu, bayi kembar harus dipisah. Kalau tidak dipisah, salah
satunya bisa mati (Herliany, 2015:88)
Kepercayaan membunuh salah satu bayi kembar dalam novel Isinga ini memiliki
mitos lain yang melatarbelakanginya . Mitos lain tersebut adalah masyarakat percaya
bahwa bayi kembar itu lahir dari kesalahan seorang suami ketika istrinya sedang
hamil. Sang suami melanggar sebuah larangan. Sang suami melakukan hubungan
badan dengan perempuan lain saat sang istri sedang hamil. Sehingga, apabila ada
seorang perempuan yang melahirkan bayi kembar maka masyarakat akan langsung
menuduh sang suami telah melakukan kesalahan. Melanggar sebuah larangan dan
tentu saja apabila hal ini terjadi, ayah dari bayi kembar tersebut akan merasa malu.
Menjadi aib bagi keluarga. Akhirnya salah satu bayipun harus dibunuh agar sang ayah
tidak menanggung malu. Penjelasan tentang mitos bayi kembar ini dapat dibuktikan
dengan kutipan di bawah ini.
Mereka juga percaya, bayi kembar itu terjadi karena seorang suami melakukan
hubungan badan dengan perempuan lain waktu istrinya sedang hamil. Itu
larangan yang tidak boleh dilanggar. Jadi kalau ada bayi kembar, bapak si bayi
akan merasa malu.
Bayi yang lemahlah yang harus dibuang. (Herliany, 2015:88)
Jadi, masyarakat Papua dalam novel Isinga ini khususnya masyarakat yang berada di
bawah pegunungan Megafu percaya bahwa salah satu dari bayi yang terlahir kembar
harus dibuang ke sungai atau dibunuh. Hal ini dikarenakan adanya mitos yang
mengatakan bahwa salah satu dari bayi kembar itu adalah anak setan dan bayi kembar
itu hadir karena sang ayah melakukan sebuah kesalahan saat sang ibu sedang
mengandung. Melanggar larangan.
Mitos tentang Asap
Pada novel Isinga ini, masyarakat memiliki sebuah mitos yang dipercayai mengenai
asap. Asap sangat bermanfaat bagi perempuan karena adanya mitos yang mengatakan
bahwa asap dapat memberikan kekuatan kepada seorang perempuan yang sedang
sakit atau pada perempuan yang baru saja melahirkan. Tidak hanya perempuan saja
tetapi bayi yang baru saja lahir dapat menerima kekuatan yang diberikan oleh asap.
Seperti yang dialami oleh tokoh Irewa dalam novel Isinga ini. Sesaat keluar tali pusar
bayi Irewa keluar, iapun duduk untuk beristirahat sebentar di depan sebuah perapian,
tempatnya melahirkan. Api di perapian sudah padam dan asapnya pun mulai
menyesakkan dada. Tetapi, Irewa tetap duduk di tempat itu karena mereka percaya
asap memberikan kekuatan pada dirinya dan juga anaknya. Kejadian tersebut dapat
dibuktikan dengan kutipan berikut ini.

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 9

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

Tak lama kemudian, keluarlah tali pusar. Darah yang menetes ditutup dengan
abu panas. Irewa lalu duduk. Beristirahat sebentar. Perapian sudah padam.
Asapnya menyesakkan napas. Tapi asap itu dipercaya memberi kekuatan bagi
perempuan yang sedang sakit. Perempuan yang sedang melahirkan. Juga bayi
yang baru lahir. (Herliany, 2015:71)
Jadi, masyarakat Papua dalam novel Isinga ini, khususnya masyarakat di bawah
pegunungan Megafu memercayai bahwa asap berguna bagi perempuan dan anak
karena adanya sebuah mitos yang mengatakan bahwa asap dapat memberi kekuatan
pada seorang perempuan yang sedang sakit atau melahirkan dan memberi kekuatan
pada bayi yang baru lahir.
Mitos tentang Orang Sakit
Pada masyarakat Papua khususnya yang berada di pedalaman Papua dalam novel
Isinga ini memiliki caranya sendiri ketika menghadapi orang sakit. Mereka percaya
bahwa orang sakit harus dijauhkan dari pemukiman. Dijauhkannya dari orang-orang
yang sehat. Hal ini dikarenakan adanya sebuah mitos yang mengatakan bahwa roh-roh
penyakit yang ada pada orang sakit akan menyerang orang yang sehat. Sehingga
mengakibatkan lebih banyak orang yang akan meninggal akibat roh penyakit tersebut.
Oleh karena, itu harus dijauhkan dari orang sehat. Adanya mitos tersebut dapat
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
Menurut kepercayaan orang Papua pedalaman, orang sakit harus dijauhkan dari
pemukiman. Sebab kata mereka, roh-roh penyakit itu juga akan menyerang orang
lain. Jadi banyak orang akan bisa meninggal. Karena itu, harus dijauhkan dari
orang yang tidak sedang sakit. (Herliany, 2015:103)
Hal ini dapat dilihat pada nasib yang dialami seorang perempuan dalam novel Isinga
ini. Perempuan tersebut diasingkan di dalam hutan. Penyakit yang menyerang
perempuan itu adalah suatu penyakit menular yang disebut malaria. Tubuhnya tinggal
kulit dan tulang-belulang karena tak ada daging yang tertinggal. Cacing di perutnya
memakan daging yang tersisa. Dia sendiri karena sudah ditinggalkan keluarganya.
Kondisi tentang perempuan tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
Suatu hari ada seorang pemuda melaporkan ia melihat ada perempuan sakit di
hutan sebelah utara. Meage dan Silak datang ke tempat yang diceritakan si
pemuda. Meage sangat kaget. Diperiksanya, perempuan itu terkena malaria.
Tubuhnya hanya tinggal kulit. Tak ada daging tertinggal. Hanya tulang-belulang.
Bau busuk tercium. Menjijikkan. Kakinya kurus kering karena diisap borok
(frambiosis). Cacing dalam perutnya memakan semua daging yang tersisa.
Perempuan itu kira-kira sudah lama ditinggalkan keluarganya. (Herliany,
2015:103)
Jadi, masyarakat Papua khususnya orang Papua pedalaman dalam novel Isinga ini
memiliki kepercayaan bahwa orang sakit harus dijauhkan dari orang sehat karena
adanya sebuah mitos yang mengatakan bahwa roh-roh penyakit yang ada pada orang
sakit akan menyerang orang sehat. Sehingga harus dijauhkan dari pemukiman, agar
tidak makin banyak orang yang sakit.
Mitos tentang Darah Persalinan
Mitos tentang darah persalinan dalam masyarakat Papua dalam novel Isinga ini adalah
sebuah mitos yang mengatakan bahwa darah bahkan kotoran persalinan dapat
menyebabkan penyakit yang mengerikan bagi laki-laki dan anak-anak. Tidak hanya
itu, darah yang mengalir dari rahim perempuan melahirkan mampu menghilangkan
keampuhan dan berkat dari alat-alat perang. Oleh sebab itu, perempuan melahirkan
harus jauh dari tempat yang terdapat anak-anak dan laki-laki atau melahirkan di

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 10

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

tempat yang hanya ada perempuan itu sendiri. Semua itu dilakukan agar darah
persalinan tidak mencelakai orang lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
berikut ini.
Mama bidan lalu membawa Irewa ke sebuah pondok. Masyarakat Megafu
percaya bahwa darah dan kotoran persalinan bisa menyebabkan penyakit yang
mengerikan bagi laki-laki dan anak-anak. Juga, darah yang mengalir dari rahim
perempuan melahirkan dapat menghilangkan keampuhan dan berkat dari alatalat perang yang tersimpan di rumah adat keramat. Karena itu, kalau perempuan
melahirkan, harus di tempat yang jauh atau di tempat yang hanya ada
perempuan itu sendiri. (Herliany, 2015:67)
Jadi, masyarakat Papua dalam novel Isinga ini, memiliki mitos tentang darah
persalinan yang dipercayai oleh masyarakat dapat menyebabkan penyakit mengerikan
untuk laki-laki dan anak-anak. Tidak hanya itu, darah persalinan juga dapat
menghilangkan keampuhan dan keberkatan alat-alat perang. Oleh sebab itu,
masyarakat Papua dalam novel Isinga ini menjauhkan perempuan yang melahirkan
dari laki-laki, anak-anak, dan peralatan perang.
Relevansi Penelitian dengan Pengajaran di Sekolah
Relevansi penelitian ini dengan pengajaran di sekolah terletak pada membangun
kembali kesadaran para pendidik dan calon pendidik tentang perbedaan yang ada di
sekelilingnya sehingga lebih memerhatikan keadaan dan kebudayaan di sekitarnya
untuk menyesuaikan pendekatan yang akan digunakannya atau menghadirkan sebuah
pendekatan baru yang akan membuat peserta didik dalam proses pengajaran menjadi
lebih efektif dan menarik mereka.
Kemudian, selain relevansi penelitian ini dengan pengajaran di sekolah yang dapat di
rasakan oleh pendidik. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai contoh oleh peserta
didik yang dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan materi ajar yang
berhubungan dengan aktivitas mengkaji novel
PENUTUP
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis berkesimpulan bahwa terdapat
sebelas mitos yang terkandung dalam novel Isinga ini. Mitos-mitos tersebut
diantaranya: 1) Mitos dua bersaudara, 2) Mitos tentang perempuan, 3) Mitos babi
purba, 4) Mitos lemak babi, 5) Mitos tentang roh, 6) Mitos buah larangan, 7) Mitos
bayi kembar, 8) Mitos tentang asap, 9) Mitos tentang orang sakit, 10) Mitos darah
persalinan.
DAFTAR PUSTAKA
Arie, Andre. 2008. Buah Merah Papua. Singosari: Situs Internet.
(http://zhandrixblog.blogspot.html) (diakses pada 5 Januari 2017)
Barthes, Roland. 2006. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Kencana
Daeng, Hans. J. 2012. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan (Tinjauan
Antropologis). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Damatubuan, A.E. 2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua dalam Persektif
Antopologi Kesehatan Vol.1. No.1 . E-Jurnal .Jayapura: Situs Internet.
(http://papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/jurnal.pdf) (diakses pada 22
Desember 2016)
Damatubuan. A.E. 2003. Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa Marind-Anim.
Vol.
1.
No.
3.
E-Jurnal.
Jayapura:
Situs
Internet

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 11

Jurnal Bastra

[Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa
Herliany]

(http://papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-03/jurnal.pdf) (diakses pada 24
Desember 2016)
Farhan, Afif. 2015. Suanggi, Hantu yang Paling Ditakuti Orang Papua. Situs Internet.
(http://detiktravel.com.html) (diakses pada 21 Februari 2017)
Herliany,Dorothae Rosa. 2015. ISINGA (Roman Papua). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Imron. 2016. Mitos Kutukan Kampung Lumpur di Papua, Semua Rumah Dibangun di
atas Papan. Situs Internet. (http://planetmerdeka.com.html) (diakses pada 21
Februari 2017)
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi (Pokok-pokok etnografi). Jakarta:
Rineka Cipta
Mansy.
2009.
Sang
Tuan
Tanah
dari
Papua.
Situs
Internet.
(http://antaranews.com.html) (diakses 21 Februari 2017)
Nasution, Muhammad Syukri Albani dkk, 2015. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rajawali
pers
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Redaksi PM. 2012. Sastra Indonesia paling Lengkap (Peribahasa, Majas, Puisi,
Pantun, Kata Mutiara). Depok: Pustaka Makmur
Rampan, Korrie Layun. 2013. Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern.
Yogyakarta: Narasi
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies (representasi fiksi dan
fakta). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: peranan unsur-unsur kebudayaan
dalam proses kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. 2014. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta:Pustaka
Sugihastuti. 2007. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Tasai, Amran. S. 2003. Bahan Penyuluhan: Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Welly. 2012. Mitos Manusia Menjelma Menjadi Hewan dari Yapen Waropen, Papua.
Situs Internet. (http://Planetmerdeka.com.html) (diakses 21 Februari 2017)
Wellek, Rene dan Austin Werren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
(Cetakan ke-5)

Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 12