dengan PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

Disusun oleh
INDAH PRAHITININGTIAS
YUNITA IKA SARI
KIKI REZEKI OKTAVIYANI
INTAN GANDINI
FERI ATMAJAYA
DENNY YOAN AFRIZAN
MITRA YUNI RATNA SARI

A. Pengertian Agresif
Secara Psikologis, agresif berarti cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang
sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat (KBBI: 1995: 12).
B. Pengertian Perilaku Agresif
Sebelum membicarakan tentang definisi perilaku agresif (aggressive behavior), perlu
dikemukakan bahwa ada beberapa konsep yang maknanya masih diperdebatkan mempunyai
perbedaan, atau persamaan, dengan perilaku agresif, konsep tersebut adalah bullying dan
violence.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa perilaku agresif sinonim dengan bullying dan violence,
sementara yang lain berpendapat bahwa bullying dan violence merupakan sub bagian (subset)

dari perilaku agresif. Perdebatan konsep tersebut ditegaskan oleh O’moore (t.t.: 1) sebagai
berikut:There is a tendency, at present, towards viewing aggression, bullying and violence as
being synonymous. While few will disagree that bullying and violence are sub-sets of aggressive
behaviour, disagreements are encountered, especially in respect of what constitutes bullying and
violence.
Dalam hal ini, tidak diperdebatkan apakah sebuah konsep di atas berbeda ataukah sinomin, tetapi
yang ditekankan adalah bentuk-bentuk yang tampak dari suatu perilaku yang digolongkan
sebagai perilaku agresif.
Ahli psikologi sosial, yaitu Dollard dan Miller, menerangkan dengan frustration-aggression
hypothesis (Brigham, 1991; Baron & Byrne, 2004; Nashori, 2008). Orang-orang yang frustrasi
marah terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penyebab atau perantara terjadinya rasa
sakit. Disakiti atau dilukai perasaannya atau kepentingannya, itulah yang dijadikan alasan oleh

sementara orang untuk bertindak agresif. Mereka frustrasi dengan apa yang terjadi, dan jadilah
mereka menjarah, membunuh, menembak, melempar batu, memukul, membacok, dan
seterusnya. Di dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis perilaku
baik secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti seseorang (Berkowitz,
2003).
Jenis perilaku yang tergolong perilaku agresif diantaranya berkelahi (fighting), mengata-ngatai
(name-calling), bullying, mempelonco (hazing), mengancam (making threats), dan berbagai

perilaku intimidasi lainnya (Wilson, 2003). Sebagian tidak jelas hubungannya antara perilaku
yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah perilaku agresif sulit untuk didefinisikan
secara ringkas.
Loeber and Stouthamer-Loeber, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku Agresif
sebagai berikut: “Aggression is defined as those acts that inflict bodily or mental harm on
others”.
Definisi ini lebih menekankan pengertian agresif pada tindakannya, yang selanjutnya
mempunyai pengaruh negatif sebagai konsekuensi dari sebuah tindakan agresif terhadap korban,
yaitu kerugian jasmani dan mental orang lain, tanpa memandang tujuan dilakukannya tindakan
agresif itu sendiri.
Coie and Dodge, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku Agresif sebagai berikut:
“Behaviour that is aimed at harming or injuring another person or persons”.
Definisi ini tidak menekankan pada kemungkinan konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh
perilaku Agresif, tetapi lebih menekankan pada tujuan dilakukannya perilaku agresif, yaitu
kerugian atau terlukanya orang lain.
Sekarang, rumusan perilaku agresif tidak hanya dilihat dari bentuk perilakunya, melainkan juga
dilihat dari aspek tujuan atau maksud dilakukannya suatu perbuatan agresif tersebut. Rumusan
demikian sesuai dengan yang dikemukakan oleh :
Persson (2005: 81): “In the present study, the definition of aggression was broadly formulated to
encompass not only acts specifically intended to hurt another person, but also acts that result in


negative consequences for a peer, although their primary aim is to attain a personal goal,rather
than to hurt a peer”
Berdasarkan pendapat di atas,sebuah perbuatan dapat digolongkan sebagai perilaku agresif jika
perbuatan tersebut sengaja dilakukan dengan menyakiti maupun merugikan orang lain.
C. Ciri – Ciri Perilaku Agresif
Ciri Perilaku Agresif :Jujur, terbuka namun cara mengungkapkan perasaan tidak tepat,Cenderung
memaksakan

kehendak,Diliputi

rasa

marah,

menyalahkan,Ingin

menjatuhkan

orang


lain,Menimbulkan ketegangan, rasa sakit, cemas, salah.
Agresif Merupakan perilaku yang :Mengutamakan kebutuhan, perasaan diri sendiriMengabaikan
hak dan perasaan orang lainMenggunakan segala cara, verbal dan non verbal, misal. sinisme,
kekerasan
Isi Pikiran agresif :Hanya perduli dengan tercapainya tujuan diriDisertai tanda verbal seperti:
suara keras, nada kasar, mata melotot, jari tegang.
Contoh seseorang dengan Perilaku Agresif dalam mengeluarkan pendapat :Bodoh!Pasti kamu
tidak percaya!
D. Perilaku agresif pada anak
Agresif terjadi pada masa perkembangan. Perilaku agresif sebenarnya sangat jarang ditemukan
pada anak yang berusia di bawah 2 tahun. Tidak hanya melihat dari efek negative saja,
melainkan ada suatu korelasi positif antara perilaku agresif dan kreativitas.
Pada tingkat yang paling dasar sifat agresif dan kreativitas berhubungan erat satu sama lain dan
saling berkaitan sebagai proses kelangsungan hidup. Sejumlah penelitian pada sifat agresif telah
menunjukkan bahwa ketika kita ditempatkan dalam situasi yang tidak menyenangkan dan
memicu tingkat emosi yang berbeda, sehingga apabila tingkat reaksi terlalu tinggi kita mulai
untuk menampilkan perilaku yang agresif dan dapat bertindak tanpa dorongan atau menahan diri.
Sedangkan definisi berpikir kreatif adalah adanya pemikiran yang berbeda yang dapat digunakan
untuk mengatasi situasi yang sulit menjadi lebih mudah. Hal ini dimungkinkan bahwa


kemampuan berpikir divergen dapat dimobilisasi di bawah tekanan situasi dimana agresi verbal
atau bahkan fisik yang digunakan secara teknis menutup area otak yang berhubungan dengan
berpikir kreatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara agresi verbal dan kefasihan
verbal, fleksibilitas dan orisinalitas. Dengan kata lain, Orang yang terlibat dalam agresi verbal
dan ancaman agresi fisik memiliki skor tertinggi pada pengukuran orisinalitas fleksibilitas verbal
dan figural. Hasil ini tidak sepenuhnya bertentangan dengan apa yang diketahui tentang
agresifitas kimia otak. Menjadi agresif tidak menyebabkan inaktivasi korteks otak yang
mengurangi kemampuan kita untuk berpikir kreatif. Tapi tingkat agresi juga memainkan peranan
apakah ada atau tidak ketika kita kehilangan kemampuan untuk berpikir kreatif dalam situasi
stres.
Jenis situasi stres yang diamati selama studi oleh Tacher dab Readdick ( 2006 )yang cukup
ringan menurut standar adalah ketika situasi ini melibatkan agresivitas antara lain ketika anakanak berkelahi satu sama lain untuk mendapatkan posisi terbaik dan berjuang untuk sebuah
pengakuan dikelompok bermain. Ketika anak-anak mengancam orang lain dalam situasi stres,
mereka datang dengan kognitif bagaimana caranya untuk menghentikan lawan, membuat sikap
tubuh untuk mengusir serangan dan menggunakan kemampuan verbal mereka untuk
menghentikan perilaku agresif. kegiatan kognitif tersebut merupakan ciri khas berpikir divergen,
meskipun satu atau mungkin lebih berpikir agresivitas ini kurang relevan. penggunaan ancaman
di kelompok usia ini adalah sesuai dengan tahapan perkembangan.

Di sisi lain, ketika anak memasuki usia 3-7 tahun, perilaku agresif menjadi bagian dari tahapan
perkembangan mereka dan sering kali menimbulkan masalah, tidak hanya di rumah tetapi juga
disekolah. Diharapkan setelah melewati usia 7 tahun, anak sudah lebih dapat mengendalikan
dirinya untuk tidak menyelesaikan masalah dengan perilaku agresif. Tetapi, bila keadaan ini
menetap, maka ada indikasi anak mengalami gangguan psikologis.
Dampak utama dari perilaku agresif ini adalah anak tidak mampu berteman dengan anak lain
atau bermain dengan teman-temannya. Keadaan ini menciptakan lingkaran setan, semakin anak
tidak diterima oleh teman-temanya, maka makin menjadilah perilaku agresif yang

ditampilkannya. Maka dari itu kita harus mampu mengetahui factor penyebab anak berperilaku
agresif.
Perilaku agresif biasanya ditunjukkan untuk menyerang, menyakiti atau melawan orang lain,
baik secara fisik maupun verbal. Hal itu bisa berbentuk pukulan, tendangan, dan perilaku fisik
lainya, atau berbentuk cercaan, makian ejekan, bantahan dan semacamnya
E. Identifikasi Perilaku Agresif
Perilaku agresif dianggap sebagai suatu gangguan perilaku bila memenuhi persayaratan sebagai
berikut .
1. Bentuk perilaku luar biasa, bukan hanya berbeda sedikit dari perilaku yang biasa. Misalnya,
memukul itu termasuk perilaku yang biasa, tetapi bila setiap kali ungkapan tidak setuju
dinyatakan dengan memukul, maka perilaku tersebut dapat diindikasikan sebagai perilaku

agresif. Atau, bila memukulnya menggunakan alat yang tidak wajar, misalnya memukul dengan
menggunakan tempat minum.
2. Masalah ini bersifat kronis, artinya perilaku ini bersifat menetap, terus-menerus, tidak
menghilang dengan sendirinya.
3. Perilaku tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma sosial atau budaya.
Untuk itu, untuk dapat mengetahui anak berperilaku kita harus dapat mengenali gejala serta
karakteristik anak yang berperilaku agresif. Perilaku agresif juga dapat ditampilkan oleh anak
individu (agresif tipe soliter) maupun secara berkelompok ( agresif tipe group). Pada perilaku
agresif yang dilakukan berkelompok/grup, biasanya ada anak yang merupakan ketua kelompok
dan memerintahkan teman-teman sekelompoknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tertentu. Pada tipe ini, biasanya anak-anak yang bergabung mempunyai masalah yang hampir
sama lalu memberikan kesempatan yang sama pada salah satu anak untuk menjadi ketua
kelompok. Pada tipe ini sering terjadi perilaku agresif dalam bentuk fisik.
Sedang pada tipe soliter, perilaku agresif dapat berupa fisik maupun verbal, biasanya dimulai
oleh seseorang yang bukan bagian dari tindakan kelompok. Tidak ada usaha si anak untuk

menyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri dari orang lain
sehingga lingkungan juga menolak keberadaannya.
Tidak jarang anak-anak ini, baik secara individual atau berkelompok, membuat anak lain
mengikuti kemauan mereka dengan cara-cara yang agresif. Akibatnya, ada anak atau sekelompok

anak yang menjadi korban dari anak lain yang berperilaku agresif.
Secara umum, yang dimaksud dengan gangguan emosi dan perilaku adalah ketidakmampuan
yang ditunjukan dengan respons emosional atau perilaku yang berbeda dari usia sebayanya,
budaya atau norma sosial. Ketidakmampuan tersebut akan mempengaruhi prestasi sekolah yaitu
prestasi akademik, interaksi sosial dan ketrampilan pribadinya. Ketidakmampuan ini sifatnya
menetap dan akan lebih tampak bila sang anak berada dalam situasi yang dirasakan
menegangkan olehnya
Gangguan emosi dan perilaku dapat saja muncul bersama gangguan psikologis lain, misalnya
ADD ( Attention Deficit Disorder) yaitu gangguan pemusatan pikiran (GPP) atau ADHD
( Attention Dificit and Hyperactive Disorder)yaitu gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas ( GPPH) ataupun retardasi mental.
Karakteristik dari masalah perilaku dan emosional ini sangat bervariasi. Berikut ini akan
digambarkan karakteristik perilaku agresif menurut Masykouri (2005) :

· Perilaku agresif dapat bersifat verbal maupun nonverbal.
Bersifat verbal biasanya lebih tergantung pada situasional bersifat nonverbal yakni perilaku
agresif yang merupakan respons dari keadaan frustasi, takut atau marah dengan cara mencoba
menyakiti orang lain.
Bentuk-bentuk perilaku agresif ini yang paling tampak adalah memukul, berkelahi, mengejek,
berteriak, tidak mau mengikuti perintah atau permintaan, menangis atau merusak. Anak yang

menunjukan perilaku ini biasanya kita anggap sebagai pengganggu atau pembuat onar.
Sebenarnya, anak yang tidak mengalami masalah emosi atu perilaku juga menampilkan perilaku

seperti yang disebutkan diatas, tetapi tidak sesering atau seimpulsif anak yang memiliki masalah
emosi atau perilaku. Anak dengan perilaku agresif biasanya mendapatkan masalah tambahan
seperti tidak terima oleh teman-temannya (dimusuhi, dijauhi, tidak diajak bermain) dan dianggap
sebagai pembuat masalah oleh guru. Perilaku agresif semacam itu biasanya diperkuat dengan
didapatkan penguatan dari lingkungan berupa status, dianggap hebat oleh teman sebaya, atau
didapatkannya sesuatu yang diinginkan, termasuk melihat temannya menangis saat dipukul
olehnya.

· Perilaku agresif merupakan bagian dari perilaku antisosial.
Perilaku anti social sendiri mencakup berbagai tindakan seperti tindakan agresif. Ancaman secara
verbal terhadap orang lain, perkelahian, perusakan hak milik, pencurian, suka merusak ( vandalis
), kebohongan, pembakaran, kabur dari rumah, pembunuhan dan lain-lain. Menurut buku
panduan diagnostik (dalam Masykouri, 2005: 12.4) untuk gangguan mental, seseorang dikatakan
mengalami gangguan perilaku antisosial ( termasuk agresif ) bila tiga di antara daftar perilaku
khusus berikut terdapat dalam seseorang secara bersama-sama paling tidak selama enam bulan.
Perilaku tersebut sebagi berikut.Mencuri tanpa menyerang korban lebih dari satu kali.Kabur dari
rumah semalam paling tidak dua kali selama tinggal di rumah orang tua.Sering

berbohong.Dengan sengaja melakukan pembakaran.Sering bolos sekolah.Memasuki rumah,
kantor, mobil, orang lain tanpa izin.Mengonarkan milik oranglain dengan sengaja.Menyiksa
binatang.Menggunakan senjata lebih dari satu kali dalam perkelahian.Sering memulai
berkelahi.Mencuri dengan menyerang korban.Menyiksa orang lain.
Meskipun dari ciri-ciri tersebut tampaknya sangat jarang dilakukan anak usia sekolah, namun
sebagai orang tua khususnya pendidik, perlu mewaspadai agar perilaku-perilaku tersebut jangan
sampai muncul ketika anak beranjak remaja atau masa perkembangan remaja. Jadi seorang
pendidik perlu lebih teliti untuk mengenali gejala perilaku yang tidak umum pada anak didiknya
sedini mungkin, sehingga kasus tersebut dapat ditangani lebih awal.
Jenis – Jenis Perilaku Agresif

Menurut Buss (Nashori, 2008) yaitu:
1.Perilaku agresif fisik aktif secara langsung.
Misalnya:menusuk,menembak,membunuh.2.Perilaku agresif fisik aktif yang secara tidak
langsung.Misalnya membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain.
3.Perilaku agresif fisik pasif secara langsung.Misalnya tidak memberikan jalan kepada orang
lain.
4.Perilaku agresif fisik pasif yang tidak langsung.Misalnya menolak untuk melakukan sesuatu,
menolak mengerjakan perintah orang lain.5.Perilaku agresif verbal aktif secara langsung.
Misalnya memaki – maki orang.6.Perilaku agresif verbal aktif tidak langsung, misalnya

menyebar gossip.7.Perilaku agresif verbal pasif secara tidak langsung.Misalnya menolak untuk
berbicara dengan orang lain, menolak untuk menjawab pertanyaan orang lain atau menolak
untuk memberikan perhatian pada suatu pembicaraan.
8.Perilaku agresif verbal pasif secara langsung. Misalnya tidak setuju dengan pendapat orang lain
tetapi tidak mau mengatakan (memboikot) ataupun tidak mau menjawab pertanyaan orang lain.
F. Perilaku Agresif dalam Pendidikan
Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005), dan akhirakhir ini cenderung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa dalam berbagai
bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya semakin sering terdengar.
Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan kompleks. Persoalan perilaku agresif siswa
semakin kompleks manakala perilaku agresif akhir-akhir ini juga dipertontonkan oleh guru, ada
guru

yang

memukul

siswanya,

bahkan

ada

yang

sampai

menganiaya/membunuh

siswanya.Contoh yang lebih konkrit adalah
Agresivitas di dalam dunia pendidikan yang paling fenomenal mungkin adalah agresivitas yang
dilakukan senior kepada junior di IPDN Bandung. Cliff Muntu meninggal dunia akibat
tendangan bebas ke dada dan pukulan bertubi-tubi ke ulu hati dari senior-seniornya
(www.atmajaya.ac.id. Namun, agresivitas di dunia pendidikan yang menghebohkan bukan itu
saja. Di kalangan pelajar, agresivitas antar pelajar telah lama menjadi persoalan, salah satu di

antaranya adalah peristiwa tawuran antar pelajar. Sebagai contoh, puluhan siswa SMK Bhakti
sedang nongkrong di kampus Universitas Kritsen Indonesia (UKI) Jakarta. Tiba-tiba puluhan
siswa SMK Penerbangan menyerang mereka dengan senjata tajam. Akibatnya, seorang siswa
menderita luka bacok di kepala dan pahanya dalam tawuran tersebut (Tempointeraktif, 18
Februari 2007).
Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan pendidikan jika tidak segera ditangani, di samping
dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk
beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk
meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa
dan akan semakin meluas.
Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya
ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui
pengalaman dan pendidikan. Dengan demikian, siswa yang mempunyai perilaku agresif, melalui
pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif.
Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan
rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan
anak dalam mengatur/ mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran
keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.
Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan sehat, tempat
di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki dengan
sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi seorang siswa ternyata tidak
selalu menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas dan takut.
Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan sekolah sering
menghantui siswa.
Menurut Todd, Joana, dkk. (dalam Nataliani, 2006), kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal
di kalangan siswa telah menjadi sebuah masalah serius yang ada di berbagai negara di seluruh
dunia. Perilaku agresif siswa telah menimbulkan dampak negatif, baik bagi siswa itu sendiri
maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian
hari baik dalam hal kesehatan juga kehidupanya.

Sehubungan dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136) menyatakan:
“These behaviors, even when not overtly violent, may inhibit learning and create interpersonal
problems for those involved”. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Goldstein, Harootunian,
& Conoley, (1994), Wilson, et al. (2003) menyatakan: “In addition, minor forms of aggressive
behavior can escalate, and schools that do not effectively counteract this progression may create
an environment in which violence is normatively acceptable”. Dengan demikian, jika perilaku
agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu
proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan
buruk tersebut. Semakin sering siswa dihadapkan pada perilaku agresif, siswa akan semakin
terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan perilaku
agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi siswa bahwa perbuatan agresif
merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku
sejumlah guru yang cenderung agresif pula ketika menghadapi murid-muridnya. Situasi
demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku
agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.
G. Penyebab Perilaku agresif
Topik-topik di dalam kajian bidang psikologi dapat ditinjau melalui berbagai sudut pandang yang
berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang tersebut tergantung pada teori masing-masing yang
mendasarinya, antara lain:
· Penggunaan perspektif biologi (biological perspective) akan memperhatikan bagaimana
hormon, temperamen, otak dan nervous system berdampak pada perilaku agresif.
· Penggunaan perspektif tingkah laku (behavioral perspective) akan memperhatikan bagaimana
variabel-variabel lingkungan dapat menguatkan tindakan-tindakan agresif.
· Penggunaan pandangan psikoanalisa, perilaku agresif manusia sebagian besar didorong oleh
sifat bawaan manusia yang destruktif, yang oleh Freud dinamakan thanatos, atau insting
kematian.
· Dari sudut pandang ethologi (ilmu tentang perilaku hewan), agresi adalah insting berkelahi
dalam rangka mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain.

· Penggunaan teori frustrasi berpandangan bahwa setiap perilaku manusia memiliki tujuan
tertentu, jika seseorang gagal dalam mencapai tujuannya maka akan timbul perasaan frustrasi,
selanjutnya, keadaan frustrasi akan dapat menimbulkan agresi, dan intensitas frustrasi yang tergantung pada besarnya ambisi individu dalam mencapai tujuan, banyaknya penghalang, dan
berapa banyak frustrasi yang pernah dialami sebelumnya.
Para ahli teori belajar sosial (Social Learning Theory) memberikan sumbangan yang lebih
optimis mengenai kejadian perilaku agresif.
· Dalam pandangannya Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross (1961), perilaku agresif
merupakan perilaku yang dipelajari, baik melalui observasi maupun melalui pengalaman
langsung, bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given).
Bandura berpendapat bahwa perilaku agresif timbul karena adanya pengalaman observasi
terhadap model yang terjadi tanpa disadari (modelling atau imitasi).Perilaku akan ditiru bila
orang yang ditiru dikagumi dan meniru menimbulkan perasaan bangga (menimbulkan penguatan
emosional).
Oleh karena itu, untuk memahami sumber-sumber perilaku agresif dapat dimulai dengan
mempelajari kondisi-kondisi di luar diri individu daripada memperhatikan faktor individu itu
sendiri.
Pendekatan Bandura adalah suatu perluasan dari behaviorisme yang pada dasarnya memandang
perilaku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup mereka, perilaku manusia
terbentuk oleh ganjaran dan hukuman-hukuman yang dialaminya setiap hari. Bandura mencoba
mengembangkan konsep-konsep yang digunakan pada operant dan classical cond-tioning untuk
menjelaskan perilaku sosial manusia yang kompleks. Konsep utamanya adalah penguatan dan
imitasi.
Dalam memandang perilaku agresif, Bandura menyatakan bahwa jika anak-anak menjadi saksi
yang pasif pada sebuah tayangan yang agresif, mereka akan meniru perilaku agresif tersebut jika
ketika diberi kesempatan (Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross, 1961).
Proses sosialisasi, yaitu transfer nilai dan norma dari orangtua ke anak, berpengaruh secara
langsung pada perilaku anak. Tujuan utama dari proses sosialisasi orangtua dan anak adalah

menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau peraturan tertentu. Anak akan
melakukan keinginan orangtua bila ada kelekatan yang aman di antara mereka. Tujuan kedua
proses sosialisasi adalah menumbuhkan self regulation (pengaturan diri), yaitu kemampuan
mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu diingatkan dan diawasi oleh orangtua. Dengan adanya
self regulation ini, anak akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat
diterima oleh orangtua dan lingkungannya (Hetherington&Parke1999).
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orangtua.
Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999). Pola asuh
orangtua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan karakteristik anak yang
impulsif, agresif dan memiliki keterampilan sosial yang rendah. Sedangkan anak yang
orangtuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan, berperilaku agresif atau
menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk (dalam Yanti, 2005) yang
menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak
adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak konsisten, pengawasan yang lemah,
ketidakterlibatan orangtua, dan penerapan disiplin yang kaku.
Di sisi lain, lingkungan di luar keluarga yang cukup berperan bagi perkembangan perilaku anak
adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak
dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan
agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995 dalam Yanti, 2005).
Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman
sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang
memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka
(Jimerson,dkk,2002).
Sehubungan dengan pandangan-pandangan di atas yang menyiratkan bahwa perilaku agresif
bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia,tetapi merupakan perilaku yang
terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan,maka tulisan berikut lebih berorientasi pada
pandangan-pandangan tersebut,di mana aplikasinya dapat digunakan dalam dunia pendidikan
yang juga berpendapat bahwa pendidikan dan pengalaman dapat membentuk perilaku seseorang.
H.Intervensi terhadap Perilaku Agresif

Akhir-akhir, banyak dikemukakan teori tentang keterkaitan antara kemampuan emosional dan
munculnya psychopathology, utamanya perilaku.
Kemampuan mengatur emosi mempegaruhi keterampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan
oleh Rubin, Coplan, Fox & Calkins (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998) menyimpulkan
bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisai dengan
lancar maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki
keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang
mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walau jaringan sosialnya tidak luas
tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri.
Sedangkan anak-anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi,
cenderung akan berperilaku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu
bersosialisasi dan mengontrol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.
Munculnya perilaku agresif juga terkait dengan keterampilan sosial anak, yaitu kemampuan anak
mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau
lingkungannya (Cartledge & Milburn, 1995). Mereka cenderung menunjukkan prasangka
permusuhan saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya
sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif (Crick & Dodge
dalam Yanti, 2005). Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan
dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial
(Lochman, dkk. dalam Yanti, 2005). Rendahnya keterampilan sosial ini membuat anak kurang
mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan agresif
sebagai strategi coping. Mereka cenderung menganggap tindakan agresif sebagai cara yang
paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya.
Penolakan oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya justru semakin berdampak buruk
bagi anak. Jaringan sosial dan kualitas hubungan mereka dengan lingkungan menjadi rendah,
padahal kedua kondisi ini merupakan media yang paling dibutuhkan anak untuk
mengembangkan keterampilan sosialnya. Anak juga menjadi lebih suka bergaul dengan
temannya yang memiliki karakteristik yang sama dengan mereka. Seolah-olah seperti “lingkaran
setan”. Hal ini akan membuat keterampilan sosial anak tetap rendah dan gangguan perilaku

mereka semakin parah yang pada akhirnya akan membuat mereka semakin dijauhi oleh
lingkungan.
Keterampilan sosial bukanlah suatu kemampuan yang dibawa individu sejak lahir (not innately
given), tetapi diperoleh melalui proses belajar, baik belajar dari orangtua sebagai figur yang
paling dekat dengan anak maupun belajar dari teman sebaya dan lingkungan masyarakat.
Michelson, dkk (dalam Yanti 2005) menyebutkan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu
keterampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi dan
melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik.

Goleman (1996) menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dalam menangani perilaku
agresif siswa di sekolah, program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional ternyata
menunjukkan hasil yang positif. Siswa yang terlibat dalam program tersebut semakin berkurang
sikap agresifnya. Goleman (1996: 274) menyatakan: “…and the longer they had been in the
program, the less aggressive they were as teenagers”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, perilaku agresif siswa dapat direduksi melalui program
pembelajaran keterampilan sosial dan emosional. Sulit untuk menyusun daftar yang lengkap
tentang keterampilan sosial apa yang harus dimiliki anak agar selalu berhasil dalam interaksi
sosialnya, karena sebagaimana kehidupan sosial itu sendiri, kesempatan untuk berhasil secara
sosial juga dapat berubah sesuai waktu, konteks, dan budaya. Namun demikian, menurut
Schneider dkk (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998),agar seseorang berhasil dalam interaksi
sosial,maka secara umum dibutuhkan beberapa keterampilan sosial yang terdiri dari pengaturan
emosi,dan perilaku yang tampak yaitu:
a.Memahami pikiran, emosi, dan apa yag dimaksudkan oleh orang lain.
b.Menangkap dan mengolah informasi mengenai partner sosial dan lingkungan pergaulan yang
berpotensi menimbulkan interaksi.
c.Menggunakan berbagai cara yang dapat digunakan untuk memulai komunikasi atau interaksi
dengan orang lain, memeliharanya,dan mengakhiri-nya dengan cara yang positif.

d.Memahami konsekuensi dari sebuah tindakan sosial, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang
lain atau tujuan tindakan tersebut.
e.Membuat penilaian moral yang matang yang dapat mengarahkan tindakan sosial.
Beberapa contoh program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional yang dapat dilakukan
untuk mereduksi perilaku agresif siswa di sekolah, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk melihat bagaimana sejumlah isyarat sosial
yang mereka tafsirkan sebagai permusuhan itu sesungguhnya netral atau bersahabat.
Pembelajaran dan pelatihan di atas penting diberikan, sebab perilaku agresif sering kali muncul
karena adanya penafsiran yang salah terhadap sejumlah isyarat sosial dari orang lain yang
cenderungan selalu dianggap sebagai isyarat permusuhan. “… children with aggressive behavior
more often make errors interpreting intent in ambiguous social situations and attend selectively
to hostile social cues than do their nonaggressive peersb. Siswa diberikan pembelajaran dan
pelatihan untuk meninjau dari sudut pandang anak lain,untuk memperoleh perasaan bagaimana
mereka dilihat oleh orang lain dan merasakan apa yang barangkali dipikirkan dan dirasa-kan oleh
orang lain dalam perselisihan yang telah membuat mereka begitu marah.c. Siswa dilibatkan
secara langsung untuk mengendalikan amarah melalui skenario-skenario peragaan,misalnya
diejek,yang dapat membuat merekamarah dan dituntun untuk mengendalikannya.
d. Melatih skill berbicara dan belajar meminta maaf. Latihan ini penting didasarkan pada asumsi
bahwa perilaku agresif terjadi karena orang tidak bisa atau kurang dapat berkomunikasi dengan
baik, sebagaimana dikatakan oleh Shields & Cicchetti (dalam Bohnert, et al., 2003: 2):
“Aggressive symptoms were associated with decreased ability to verbally express negative
feelings, exhibit empathy towards others, and display a range of emotion”
Perilaku agresif siswa akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, baik bagi siswa itu
sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di
kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya.
Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya
ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan

pendidikan yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya. Dengan demikian, siswa yang
mempunyai agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi
perilaku yang lebih positif.
Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan
rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan
anak dalam mengatur/mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran
keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.

Menurut Davidoff perilaku agresif remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresif yaitu:
a. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku
agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang
paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang
berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
b. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat
sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau
ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada
manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott
(Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit
melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau
santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa
keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati
sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.

c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor
keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan
menyuntikan hormon testosteropada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan
hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut
berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi
lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat
kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid,
kadar hormon kewanitaan yaitu estrogendan progresteronmenurun jumlahnya akibatnya banyak
wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan.
Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada
saat berlangsungnya siklus haid ini.

2. Faktor lingkungan
Yang mempengaruhi perilaku agresif remaja yaitu:

a. Kemiskinan
Remaja yang besar dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami
mengalami penguatan. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya
krisis ekonimi dan moneter menyebabkan pembengklakan kemskinan yang semakin tidak
terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar. Ya walau harus kita
akui bahwa faktor kemiskinan ini tidak selalu menjadikan seseorang berperilaku agresif, dengan
bukti banyak orang di pedesaan yang walau hidup dalam keadaan kemiskinan tapi tidak
membuatnnya berprilaku agresif, karena dia telah menerima keadaan dirinya apa adanya.

b. Anoniomitas
Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya
antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal. Lebih jauh lagi, setiap individu

cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identiras diri). Jika seseorang merasa anonim ia
cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak terikkat dengan norma
masyarakat da kurang bersimpati dengan orang lain.

c. Suhu udara yang panas
Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang
hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu
juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan
yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga
menjadi sepi.

Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak
terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision
pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih
banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al,
dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992

3. Kesenjangan generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat
terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak
nyambung. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu
penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.

4. Amarah

Marah merupakan emosi yang memiliki cirri-ciri aktifitas system saraf parasimpatik yang tinggi
dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan akarena adanya
kesalahan yang muingkin nyata-nyata salah atau mungkin tidak (Davidoff, Psikologi Suatu
Pengantar, 1991). Pada saat amrah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut disalurkan maka
terjadilah perilaku agresif.

5. Peran belajar model kekerasan
Model pahlawan-pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan
tindak kekerasan. Hal bisa menjadikan penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal
tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya.
Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan
dan hali ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif.

6. Frustasi
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh ssesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara
merespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustasi yang
behubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya
kebutuhan yang harus segera tepenuhi tetapi sulit sekali tercap[ai. Akibatnya mereka menjadi
mudah marah dan berprilaku agresi.

7. Proses pendisiplinan yang keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan
memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja
(Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti akan
membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, membenci orang yang

memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada akhirnya
melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

Sejak manusia dilahirkan ke dunia ini ia akan melewati beberapa priode kehidupan hingga saat
dia sampai ke liang lahad. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua,
tidak lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan dari
tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap masa pertumbuhan
memiliki ciri-ciri tersendiri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian
pula dengan masa remaja. Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam
proses kehidupan ini. Masa remaja sering menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua. Masa
remaja sering menjadi pembahasan dalam banyak seminar. Padahal bagi si remaja sendiri, masa
ini adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Oleh karena itu, dengan
mengetahui faktor penyebab seperti yang dipaparkan di atas diharapkan dapat diambil manfaat
bagi para orangtua, pendidik dan terutama para remaja sendiri dalam berperilaku dan mendidik
generasi berikutnya agar lebih baik sehingga aksi-aksi kekerasan baik dalam bentuk agresi verbal
maupun agresi fisik dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

Khalil Gibran mengatakan bahwa anak adalah ibarat anak panah. Pertanyaannya, sudahkah anak
panah ini memperoleh kebebasan untuk mengarahkan kemana yang ia tuju? Ataukah demi
gengsi, atau apalah yang lain anak panah itu akan dibawa dan ditancapkan pada sasaran? Remaja
adalah sebuah generasi dari suatu peradaban. Karenanya mempunyai peran strategis dalam
perencanaan pembangunan dan bahkan pada arah serta pelaku pembangunan itu sendiri. Namun
demikian perlakuan yang salah pada remaja baik yang nakal maupun yang tidak oleh para
orangtua dan pengambil kebijakan justru akan berakibat semakin buruk pada peradaban bangsa
itu.

Pertanyaan terakhir adalah sudahkan kita mengambil langkah-langkah yang tepat guna
mengarahkan perbuatannya kepada hal yang lebih positif?

Daftar Pustaka
David, Jonathan Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 2005.
Koeswara, E, Agresi Manusia. Bandung: PT Erasco. 1998.
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
http: // www. E- psikologi. Com/ epsi/ individual detail. Asp ?id= 380

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25