Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

  Istilah tindak pidana atau peristiwa pidana adalah sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “delict”. Istilah peristiwa pidana dikenal pula beberapa terjemahan, antara lain perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan

  

  yang boleh dihukum dan perbuatan yang dapat dihukum. Tindak pidana atau delik ialah perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat

   dipertanggungjawabkan.

  Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan tindak pidana dengan istilah “Strafbaar Feit”. Perkataan “feit” dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan

  “strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harafia perkataan “strafbaar

feit” . Pembentuk Undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa

  yang sebenarnya “strafbaar feit”, maka timbullah doktrin berbagai pendapat tentang

   apa sebenarnya yang “strafbaar feit” tersebut.

  51 52 C. S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 36. 53 Ibid ., hal. 30.

  P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (III), PT.Citra Adtya Bakti, Beberapa sarjana memberikan perumusan mengenai pengertian tindak pidana,

  

  diantaranya yaitu D.Simon menyatakan bahwa peristiwa pidana adalah “Een

  

Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een

toerekeningsvatbaar person ” yang mempunyai arti yaitu perbuatan salah dan

  melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.Peristiwa pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan dalam arti luas meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai). Simon mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban pidana, mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggung

   jawab.

  Van Hamel menguraikannya sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai untuk dipidana, dan dapat dicela

  

  karena kesalahan. Vos, menyatakan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undang-undang (Een strafbaar feit is een door de wet

  strafbaar gesteld feit ).

  Pompe memberikan dua definisi yaitu bersifat teoretis dan yang bersifat perundang-undangan. Definisi teoretis, ialah pelanggaran norm (kaidah, tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus diberikan pidana untuk 54 55 C. S. T. Kansil Op.Cit., hal. 37.

  Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 224. dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut hukum positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang- undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian, tidak berbuat, berbuat pasif) biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa.

  Van Bemmelem menyatakan toerekenbaarheid van het feit of

  toerekeningsvatbaarheid van de dader yaitu bahwa syarat untuk pemidanaan pembuat

  delik ialah peristiwa tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Van Bemmelem juga menambahkan bahwa dari asas-asas hukum yang diterima umum disyaratkan pembuat harus mempunyai Schuld (kesalahan) dan peristiwa itu menyebabkan pembuat dapat disesali serta dilakukan atau diwujudkan dengan melawan hukum.

  Hazewinkel-Suringa istilah Strafbaar feit terpilih untuk setiap langka yang dilarang disertai ancaman pidana, terdiri atas berbuat maupun pengabaian. Ia menolak istilah strafwaardig feit, dengan alasan bahwa tiap-tiap peristiwa yang bernilai untuk dipidana belum tentu dapat dipidana. Definisi strafbaar feit karena batasan demikian dapat memperkecil atau memperluas uraian delik yang tercantum di dalam pasal- pasal KUHPidana.

  Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

   Bahwa

  pokok pikiran dalam perbuatan pidana diletakkan pada sifatnya perbuatan dan bukan pada sifatnya orang yang melakukannya.

   Moeljatno berpendapat yang dikutip oleh Adam Chazawi perbuatan pidana

  lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :

   a.

  Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

  b.

  Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

  c.

  Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

  57 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 11. 58 Ibid. , hal. 14 59 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada.2002, Jakarta, hal.

  Komariah Emong Supardjadja berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan pidana dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai

   perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.

  Pembedaan ini menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak

   pidana.

  Indrianto Seno Adji mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat 60 Chairul Huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan ,Prenada Media, Jakarta, 2006, hal 28. suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas

   perbuatannya.

  Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungu masyarakat dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Konsep KUHP, tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Konsep ini juga mengemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Tindak pidana selalu dipandang

   bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

  Aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan, seperti yang dikatakan “The rules

  

which all of you us what we can and cannot do”. Aturan tersebut menentukan

   perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.

2. Unsur dan Jenis Tindak Pidana

  62 63 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 99.

  Ibid, hal.98.

  Unsur-unsur tindak pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian

  

  perbuatan yang dipisahkan dengan pertanggung jawaban pidana. Tindak pidana atau perbuatan pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pada umumnya dijabarkan dalam beberapa unsur yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri sendiri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu

  

  segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan

   mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

  Ketika dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka unsur-unsur tindak

  

  pidana meliputi beberapa hal : a.

  Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum; b.

  Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil; c.

  Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Unsur ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada 65 66 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 100. 67 P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal. 193.

  Ibid . dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.

   Tindak pidana ialah tindak yang mengandung 5 unsur, diantaranya : a.

  Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging); b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke

  omschrijving ); c.

  Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

  Sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum. Perbuatan tersebut sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu untuk

   dinyatakan tersendiri.

  Secara teoretis, perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (rechtdelicten) merupakan perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini 69 C. S. T. Kansil Op.Cit., hal. 36. Lihat juga Moeljatno, Op.Cit., hal. 69. disebut mala in se artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut memang jahat. Pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana.

   Perbuatan pidana jenis ini disebut juga dengan istilah mala prohibita.

  Jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik komisi (commission act) dan delik omisi (ommisison act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan pencurian. Delik omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah, misalnya tidak menghadap sebagai saksi di

   muka pengadilan.

  Perbuatan pidana juga dibedakan atas perbuatan pidana kesengajaan (delik

  

dolus ) dan kealpaan (delik culpa). Delik dolus adalah delik yang memuat unsur

kesengajaan, sedangkan delik culpaadalah delik yang memuat unsur kealpaan.

  Perbuatan pidana dibedakan lagi menjadi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, sedangkan delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pembunuhan.

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana

71 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 102.

  Berbicara mengenai perbuatan apa yang dilarang dan siapa pelaku yang bertanggung jawab merupakan persoalan yang terus menerus dibicarakan dikalangan para ahli hukum. Tindak pidana atau strafbaarfeit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan yang dapat dipidana dan pertanggungjawaban pidana.

  Pertanggungjawaban pidana atau toerekenbaardheid/criminal responsibility merujuk kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya haruslah memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan tersebut apabila dalam tindakan itu terdapatnya melawan hukum serta tidak ada

   alasan pemaaf.

  Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuan yang dapat dipidana. Berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar

  

  unsur mental dalam tindak pidana. Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana. 73 Mahmud Mulyadi, dan Ferri A. Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi , PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 34.

  Penentuan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana bukan hanya berarti

  

rightfully sentences melainkan rightfully accused. Pertanggungjawaban pidana

  pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana dan menghubungkan antara keadaan pembuat dengan perbuatan dan

   sanksi yang sepatutnya dijatuhkan.

  Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk dalam pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Hal ini disebabkan asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist rea). Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan

   leer van het materiele feit .

75 Ibid ., hal. 36.

  Konsep pertanggungjawaban merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan (mens rea). Doktrin ini dilandaskan kepada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin tersebut dalam bahasa Inggris dirumuskan dengan “an act does not make a person

  

guilty, unless the mind is legally blameworthy ”. Berdasarkan asas tersebut, ada dua

  unsur syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang yaitu perbuatan lahiriah yang terlarang atau perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat

   (mens rea).

  Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya tersebut. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia

   mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.

  Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tindak pidana dengan adanya kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan

  

  menjadi 3 (tiga) yaitu

  a. Kemampuan bertanggungjawab;

   77 Bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada : 78 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 155-156. 79 Ibid.

  Tri Andrisman, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas

  1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum (faktor akal);

  2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak).

  Ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang

  

  diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti. Orang tersebut hanya dapat dkenakan tindakan tetapi tidak dapat dikenakan pidana.

  b. Sengaja (dolus/opzet) dan lalai (culpa/alpa); Sengaja atau dolus dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Kesengajaan

  

(dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld). Kesengajaan pelaku

  mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibandingkan dengan culpa, karena ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat apabila 80 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 171.

   dilakukan dengan sengaja dibandingkan dengan apabila dilakukan dengan kealpaan.

  Sedangkan, culpa diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang

   berhati-hati sehingga secara tidak disengaja sesuatu terjadi.

   Kesengajaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

  1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk);

  Bentuk sengaja sebagai maksud adalah bentuk yang paling sederhana, seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Pelaku tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pelaku tidak mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi. Contohnya apabila seseorang menembak orang lain dengan senjata yang ditujukan kearah jantung atau kepala, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku berbuat dengan sengaja (sebagai maksud) menghilangkan nyawa orang tersebut.

  2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid

  of noodzakelijkheid) ;

  Bentuk kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian diberikan contoh yang sangat terkenal, yaitu kasus Thomas van Bremerhaven. Thomas van Bremerhaven berlayar ke Sou-thamton dan meminta asuransi yang sangat tinggi di sana. Thomas memasang dinamit, supaya kapal itu tenggelam dilaut lepas. Motifnya ialah menerima uang asuransi. Kesengajaannya ialah menenggelamkan kapal itu. 82 83 S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 164.

C. S. T. Kansil, Op.Cit., hal. 53.

  Sengaja dengan kepastian terjadi itu pembuat yakni bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud.

  Penenggelaman kapal itu sebagai maksud tidak akan terjadi tanpa matinya para penumpang. Kematian penumpang merupakan kepastian terjadi jika kapal ditenggelamkan dengan dinamit di laut lepas. 3)

  Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn).

  Sengaja dengan kemungkinan sekali atau sengaja dengan kemungkinan terjadi atau sengaja bersyarat atau dolus eventualis terjadi, jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi. Sengaja dengan kemungkinan terjadi atau sengaja bersyarat sangat tipis bedanya dengan kesalahan yang disadari (bewusteschuld).

  c. Tidak ada alasan pemaaf; Alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf dalam hukum pidana antara

  

  lain daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer

85 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang hukum Pidana (KUHP),

Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu

  

ekses ), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad

   baik.

  Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Bahwa yang dipertanggungjawabkan orang tersebut ialah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pada hakikatnya, hal ini merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan

   tertentu.

  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi, menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana pada perkara tindak

   pidana korupsi yaitu :

  86 Ibid. , Pasal 49 yang berbunyi: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa

dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau

harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam

dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. (2) Melampaui batas pertahanan yang sangat

perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan

segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. 87 Ibid ., Pasal 51 yang berbunyi: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan

perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. (2) Perintah

jabatan yang diberikan oleh kuasa tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika

pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah itu. Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 181. 88 89 Andi Hamzah, Loc.Cit.

  1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

  2. Pegawai Negeri adalah meliputi : a.

  Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang kepegawaian; b.

  Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- undang HukumPidana; c.

  Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e.

  Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

  3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

  Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat.

  

90 Ruslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia.

  Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Tindakan yang terlarang (diharuskan) jika dilihat dari sudut terjadinya, maka seseorang akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan tersebut yang apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu.

  Hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung

   jawabkan tindak pidannya apabila dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab.

  Syarat untuk penjatuhan pidana ialah orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan sehingga orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa hal tersebut, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.

  Istilah tersebut dikenal dalam hukum pidana yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan

   (geen straf zonder schuld).

  Kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian pertangungjawaban dalam hukum pidana. Makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Seseorang yang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, oleh karena

   itu, ia dapat dicela atas perbuatanya.

  91 Kanter E.Y dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hal. 249 92 93 Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 157.

  Tri Andrisman, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Menurut Simon, sebagai dasar dari pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana, dan berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela. Adanya kesalahan pada pelaku ditentukan oleh beberapa hal, yaitu kemampuan bertanggungjawab, hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakuan dan akibat yang ditimbulkan dan dolus

   atau culpa.

  Pompe membahas mengenai unsur kesalahan yang mengatakan bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dari kehendak pelaku, sedangkan sifat melawan hukum merupakan bagian luar dari padanya.Kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum.Pompe membagi menjadi tiga (3) ciri-ciri

  

  yaitu kelakuan atau perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesengajaan (dolus atau culpa) dan kemampuan bertanggungjawab.

  Sifat melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara objektif.Melawan hukum sebagai yang kita maksud dengan melawan hukum

   materil.Melawan hukum formil diartikan bertentangan dengan undang-undang.

  Menurut Ruslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang 94 95 S. R. Sianturi, Op. Cit., hal.159.

  Ibid ., hal. 161. dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya

  

  terdakwa maka terdakwa haruslah : a.

  Melakukan perbuatan pidana; b. Mampu bertanggung jawab; c. Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan d. Tidak adanya alasan pemaaf.

  Keempat unsur tersebut terpenuhi maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.

  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809 dicantumkan bahwa sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Memorie

  

van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu PengajuanCriminiel Wetboek

  1881 (yang menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915), menjelaskan “Sengaja” diartikan “dengan sadar dan kehendak melakukan suatu

   kejahatan tertentu”.

  

C. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana

Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

97 Ruslan Saleh, Op.Cit., hal. 75.

  

1. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undangNomor 31 Tahun 1999 Jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ada 2 (dua) sumber yaitu pertama, bersumber dari perumusan pembuat Undang-undang itu sendiri dan kedua, yang ditarik dari Pasal-pasal KUHP yaitu sebanyak 13 (tiga belas) Pasal, sehingga dengan demikian sebagian besar perumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang tersebut adalah bersumber dari KUHP. Pasal tindak pidana korupsi yang bersumber dari KUHP tersebut yaitu : Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,

   Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP.

  Tindak pidana korupsi pada mulanya hanya dipahami orang sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berhubungan dengan pemerintahan.Korupsi jika dilihat dari sudut itu maka hanya dianggap sebagai penyimpangan dari norma- norma yang berlaku bagi orang yang menjabat suatu jabatan di lingkungan pemerintahan. Esensinya terletak di satu pihak pada penggunaan kekuasaan atau wewenang yang terkandung dalam suatu jabatan, dan di lain pihak terdapat unsur

   keuntungan, baik berupa uang ataupun bukun.

  J.S. Nye dalam artikelnya “Corruption and Political Development: A Cost

  

Benefit Analysis ”, mendeskripsikan perilaku korupsi sebagai perilaku menyimpang

99 Repository.unand.ac.id/1745/1/SATRIA_abdi_03211042,diakses tanggal : 08-07- 2014.

  dari tugas yang normal dalam pemerintahan karena pertimbangan pribadi (keluarga, sahabat pribadi dekat), kebutuhan uang atau pencapaian status atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan yang memanfaatkan pengaruh pribadi dan tindakan itu termasuk perilaku penyuapan (penggunaan hadiah untuk menyimpangkan keputusan seseorang dalam posisi mengemban amanah), nepotisme (menggunakan perlindungan oleh seseorang yang mempunyai hubungan darah atau keturunan daripada berdasar kinerja), dan penyalahgunaan (penggunaan secara tidak

   sah sumber daya milik umum untuk manfaat pribadi).

  Korupsi hanya digambarkan sekedar sebagai suatu gejala politik. Pemahaman seperti itu dapat menimbulkan implikasi hukum, khususnya terhadap cara orang memandang korupsi dalam perspektif hukum pidana, akibatnya tindak pidana korupsi akan dipersepsikan orang sebagai suatu kejahatan yang hanya mungkin dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pejabat) pemerintah dengan kualifikasi pegawai negeri.

  Robert Klitgaard menyatakan korupsi muncul dalam banyak bentuk, dan membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat besar yang dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan seperti soal tarif, pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman, dan sebagainya. Robert Klitgaard juga menegaskan bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak saja di sektor pemerintahan tetapi juga dapat terjadi sektor swasta, bahkan sering

   terjadi sekaligus di kedua sektor tersebut.

  Berdasarkan Transparency International, korupsi adalah prilaku pejabat publik, atau para pemain politik atau para pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri, atau memperkaya orang lain yang ada hubungan kedekatan dengan dirinya, dengan cara menyalagunakan kekuasaan publik atau wewenang yang dipercayakan kepada mereka. Definisi ini tegas dan lugas bahwasannya korupsi biasanya dilakukan oleh oknum yang mendapat kesempatan untuk korup, tentu saja mereka yang memiliki kekuasaan, atau kepercayaan publik seperti pejabat birokrat, para dewan wakil rakyat, pimpinan polri, kejaksaan, hakim dan sebangsanya, juga tidak terkecuali para pelayan masyarakat seperti pegawai

   negeri sipil dan sejenisnya pula.

  Perilaku serta tindakan tidak wajar atau ilegal secara kasat mata dapat diukur dengan mudah melalui pengamatan fisik berdasarkan pola kehidupan keseharian.

  Pertama dengan menentukan jenjang kepegawaiannya termasuk golongan berapakah dia, lantas berapa gaji dan tunjangan bulanannya, lalu sesuaikah bentuk rumah megah dan mobil mewah yang dimilikinya. Berdasarkan pengamatan tersebut, jika tidak sebanding, maka indikasi awal perlu dicurigai apakah ia termasuk tikus atau ada sisi sinyalement lain yang perlu dibongkar. Hukum tindak pidana korupsi mengisyaratkan pula penjeratan pada prilaku memperkaya orang lain dengan mempergunakan 102

  Robert Klitgaard, “Membasmi Korupsi”, Terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor,Jakarta, 1998, hal. 19. wewenang atau kekuasaan, sehingga kita jangan salah bahwa ukuran materi bukan satu-satunya indikasi yang mesti di amati, namun modus operandi akan lebih

   substansi pada akar permasalahan yang hendak kita terjuni.

  Tindakan korupsi dalam bentuk apapun yang jelas biasanya memiliki ciri-ciri

  

  khas, diantaranya sebagai berikut : a.

  Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang; b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat berakar, sehingga individu-individu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka; c.

  Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum; e.

  Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan- keputusan yang tegas, dan meraka yang mampu untuk mempengaruhi keoutusan- keputusan itu; f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan; g.

  Korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan; h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu; i.

  Korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

  Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus.Tindak pidana korupsi apabila dijabarkan mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran terhadap keuangan dan perekonomian negara.Adanya hal-hal tertentu didalam tindak pidana korupsi yang memerlukan penanganan secara khusus, dan 104 105 Ibid ., hal. 8.

  Syed Hussein Alatas, “Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data menyimpang dari beberapa aturan umum yang terdapat dalam kodifikasi.Undang- undang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan Peraturan perundang- undangan pidana yang telah memenuhi karakteristik sebagai suatu undang-undang

   pidana khusus.

  Konvensi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United

  

Nations Convention Againts Corruption ) adalah merupakan landasan hukum yang

  bersifat universal untuk memerangi praktek korupsi berdasarkan karakteristik tindak

   pidana korupsi yang menjadi ancaman secara nasional maupun internasional.

  Karateristik tindak pidana korupsi dapat dilihat dari tipologi tindak pidana korupsi antara lain: murni merugikan keuangan negara, suap, pemerasan, penyerobotan, gratifikasi, percobaan, pembantuan dan permufakatan. Komisi pemberantasan korupsi telah menerbitkan buku saku yang telah mengklasifikasi bentuk dan jenis tindak pidana korupsi ke dalam 30 (tiga puluh) karakteristik berdasarkan UUPTPK yang dikelompokkan sebagai berikut : pertama, kerugian keuangan negara. Kedua, suap menyuap.Ketiga, penggelapan dalam jabatan.Keempat, pemerasan.Kelima, perbuatan

   curang.Keenam, benturan kepentingan dalam pengadaan.Ketujuh, gratifikasi.

  106 107 Elwi Danil, Op.Cit., hal. 87.

  Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention

Againts Corruption , 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi 2003) Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 32 Taun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4620, mendeskripsikan masalah tindak pidana korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai- nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. Karakteristik tindak pidana korupsi mengarah pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku yang menentukan suatu perbuatan pidana dapat dipidana

  

  (strafbarehandeling) cenderung diarahkan pada pejabat/pegawai negeri (deambtenaar) dengan maksud (met het oogmerk om) menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum (zich of een ander wederrechtelijk te

  

bevoordelen ) dengan menyalahgunakan kekuasaannya (door misbruik van gezag

beshikken ). Tindakan tersebut menunjukkan bahwa karakteristik tindak pidana

  

  korupsi sebagai extra ordinary crime. Menurut Romli Atmasasmita bahwa : Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mandalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan sudah merupakan kejahatan yang laur biasa (extra ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan orde baru sampai saat ini jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.

  Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi dapat dilihat dari dilahirkannya undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini mengklasifikasikan 109

  O.C Kaligis dan Associates, “Kumpulan Kasus Menarik Jilid 4”, O.C Kaligis dan Associates, jakarta, 2009, hal. 15. Bahwa strafbarehandeling harus dibedakan antara bestanddel delict dengan element delict. 110 P. A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, “Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi ”, Sinar Grafika , Jakarta, 2009, hal. 149. perbuatan yang dapat dilakukan sebagai tindak pidana korupsi, disamping

  

  dibentuknya lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi yakni KPK dengan tidak mengabaikan tugas aparat penegak hukum lainnya dalam bingkai

  criminal justice system yakni kejaksaan dan kepolisian.

  Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang memiliki karakteristik yang secara mendasar membedakannya dengan undang-undang nomor 3 tahun 1971 yang digunakan dalam rangka efektifitas penegakan hukum tindak pidana, sebagai

  

  berikut: a.

  Tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal (delik formal) bukan delik materil dimana pengembalian (kerugian) keuangan negara tidak menghapus penuntutan pidana terhadap terdakwa; b. Pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum, disamping perseorangan; c. Pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminil yang dapat diperlakukan keluar batas teritorial Indonesia; d.

  Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang atau “balanced burden of proof”; e. Pengaturan tentang ancaman pidana dengan minimum khusus, disamping ancaman maksimum; 112

  Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal.137. 113 Romli Atmasasmita, “Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum”, f.

  Ancaman pidana mati sebagai pemberatan; g.

  Pengaturan tentang penyidikan gabungan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung; h.

  Pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia Bank yang lebih luas dengan diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa atau freezing yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan; i. Pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol sosial diperluas sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif; j. Memuat amanat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang bersifat independen.

  Korupsi pada hakikatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa

  

  dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut : a.

  Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of

  purpose or intent ); b.

  Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance

  upon the ingenuity or carelesneof the victim ); c.

  Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation) Beberapa pidana yang ditunjuk atau yang terkait di dalam UUPTPK menyangkut pemenuhan rumusan delik yang tidak hanya terfokus pada pemenuhan 114

  Barda Nawawi Arief dan Muladi, “Bunga Rampai Hukum Pidana”, Alumni, Bandung, 1992, perumusan delik “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” namun delik yang ada kaitannya dengan delik jabatan (actieve omkoping) misalnya dalam hal delik korupsi yang berbentuk penggelapan oleh pegawai negeri atau

   pejabat yang secara expressis verbis tercantum unsur sengaja (bestanddeel).

  Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi lebih luas dari

  

  huku m pidana umum, hal ini nyata dalam hal : a.

  Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat 1 sampai ayat

  4 UUPTPK); b. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal

  23 ayat 5), bahkan kesempatan banding tidak ada; c. Perumusan delik dalam UUPTPK yang sangat luas ruang lingkupnya terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat 1 sub a dan b UUPTPK; d.

  Penafsiran kata penggelapan pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas.

  Tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo

  

  Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terbagi atas beberapa tipe, diantaranya : 115 116 Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 96. 117 Ibid ., hal. 64.

  Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoretis, Praktik dan a.

  Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama Terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun1999 menyebutkan bahwa : (1)

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN BEBAS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN YANG KORBANNYA ANAK (Studi Putusan MA Nomor : 1638 K / Pid. Sus / 2010)

0 6 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN BEBAS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN YANG KORBANNYA ANAK (Studi Putusan MA Nomor : 1638 K / Pid. Sus / 2010)

0 7 11

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

0 4 71

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

0 0 9