BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Sekolah - Pola konsumsi, Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Siswa Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak Usia Sekolah

  Anak Usia Sekolah (AUS) adalah anak yang berusia 6 – 12 tahun. Menurut Hurlock (1994), masa ini sebagai akhir masa kanak-kanak (late childhood) yang berlangsung dari usia enam tahun sampai tibanya anak menjadi matang secara seksual, yaitu 13 tahun bagi perempuan dan 14 tahun bagi laki-laki, namun secara umum anak usia sekolah adalah anak yang masuk sekolah dasar (SD). Anak SD dibagi atas dua bagian, yaitu kelas rendah yang berumur 6 - 9 tahun dan kelas tinggi yang berumur 10 – 12 tahun.

  Kebutuhan energi AUS lebih besar karena mereka banyak melakukan aktivitas fisik, misalnya olah raga, bermain atau membantu orang tua. Kecukupan energi pada usia ini adalah 80-90 kkal/kg BB/hari dan kecukupan proteinnya adalah 1 gram/kg BB/hari (Judarwanto, 2004). Kebutuhan energi borongan umur 10 - 12 tahun lebih besar dari pada golongan umur 7-9 tahunan, hal ini dikarenakan pertumbuhan mereka lebih cepat, terutama penambahan berat badan. Mulai umur 10 - 12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik, sehingga memerlukan energi yang lebih banyak dari anak perempuan (As’ad, 2002). Menurut Damanik (2010), karakteristik AUS meliputi pertumbuhan gigi tidak secepat bayi, gigi merupakan gigi susu yang tidak permanen (tanggal), lebih aktif memilih makanan yang disukai, kebutuhan energi tinggi karena aktivitas meningkat, pertumbuhan lambat, dan mengalami pertumbuhan yang meningkat lagi pada masa pra remaja.

  7 AUS biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Nafsu makan AUS umumnya lebih baik daripada golongan anak kecil. Makan pagi (sarapan) perlu diperhatikan supaya anak mudah menerima pelajaaran (As’ad, 2002). Menurut Judarwanto (2004), saat sarapan pagi anak harus terpenuhi sebanyak seperempat kebutuhan kalorinya sehari, yaitu sekitar 300 kkal. Selama tahap anak sekolah dan remaja, pada umumnya kebiasaan makan anak telah terbina. Kebutuhan zat gizi melonjak pada masa pubertas. Pada anak wanita, pubertas mungkin terjadi pada akhir bersekolah SD atau pada awal Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada tahap ini mereka mendapat kesempatan yang lebih banyak lagi untuk berpetualang dengan makanan (Samsudin, 1993).

2.1.1 Masalah Gizi Anak Usia Sekolah

  Masalah gizi merupakan gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi yang bersumber dari makanan. Masalah ini berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah pangan menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan yang terkait dengan tabu makanan. Masalah gizi tidak hanya terbatas pada masalah kekurangan gizi, tetapi juga masalah kelebihan gizi.

  Kelompok anak usia sekolah pada umumnya memiliki kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur anak sekolah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Keadaan ini tidak menjadi jaminan tidak ditemukannya masalah gizi pada kelompok anak sekolah. Kondisi gizi anak sekolah masih belum memuaskan dimana, masalah gizi yang sering ditemui pada kelompok ini adalah berat badan yang kurang, anemia defisiensi Fe, defisiensi vitamin C dan di daerah-daerah tertentu juga terdapat defisiensi Iodium (Sediaoetama, 1996).

  Kurang gizi pada anak usia sekolah dapat juga disebabkan oleh perilaku atau kebiasaan jajan anak yang tidak teratur. Dimana pada masa ini anak-anak sudah dapat memilih sendiri makanan yang disenangi, dan pada usia ini anak-anak gemar sekali membeli makanan yang berwarna menarik dan makanan yang memakai pemanis buatan.

  Jika jajanan yang dipilih kurang nilai gizinya seperti es dan gula-gula maka dapat mempengaruhi keadaan gizi anak (Moehji, 2003).

2.1.2 Kebutuhan Makanan Anak Usia Sekolah Lingkungan baru anak sekolah sangat mempengaruhi kebiasaan makan anak tersebut.

  Pengalaman-pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut terlambat tiba di sekolah menyebabkan anak-anak ini sering menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan kepada mereka (Moehji, 2003). Aktivitas yang padat seperti kegiatan belajar di sekolah, kursus, mengerjakan tugas, dan mempersiapkan pekerjaan untuk esok harinya membuat stamina anak cepat menurun. Hal ini dapat dihindari dengan konsumsi makanan yang sehat dan bergizi lengkap. Kandungan zat gizi makanan sebaiknya cukup dari segi energi, protein, karbohidrat, lemak, serta zat gizi mikro lainnya. Adapun jumlah energi dan protein yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi bagi anak usia sekolah seperti pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari) Anak Umur 7-12 Tahun

  Golongan Umur Berat Tinggi Energi Protein 7-9 Tahun 25 kg 120 cm 1800 kkal 45 gram 10-12 Tahun (Pria) 35 kg 138 cm 2050 kkal 50 gram 10-12 Tahun (Wanita) 38 kg 145 cm 2050 kkal 50 gram

  Sumber: Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII Jakarta 17-19 Mei 2004

2.2 Pola Konsumsi

  Menurut Kardjati (1985), pola adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari oleh satu orang yang memberikan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi, kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim dan aktifitas fisik (Atmatsier, 2002).

  Makanan yang dikonsumsi anak haruslah merupakan sumber zat gizi yang baik. Menurut Judarwanto (2004), berat badan yang kurang karena kurangnya asupan gizi biasanya disertai dengan kekurangan vitamin, mineral dan zat gizi lainnya sehingga mengakibatkan kecerdasan dan daya tahan tubuh berkurang. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya mengandung sekurang-kurangnya tiga zat gizi. Jumlah makanan yang mereka butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur dan aktivitas tubuhnya. Jika anak-anak hanya menunggu jam makan keluarga, mereka sering merasa lapar. Ada baiknya anak diberi makanan selingan atau memberi makan dengan frekuensi yang lebih sering (Nasution dan Riyadi, 1994). Nilai kecukupan gizi pada anak laki – laki usia 11 – 12 tahun berbeda dengan anak perempuan dengan usia yang sama. Angka kecukupan gizi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Angka kecukupan gizi rata – rata yang dianjurkan (per orang per hari) pria dan wanita Usia 10 – 12 Tahun

  14

  14

  50 700 450

  1

  1

  1

  54 500

  15 1900

  50 700 500

  Variabel Pria

  1

  1

  1

  45 500

  2000

  TB = 140 kg Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B12 (mg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Seng (mg)

  Wanita BB = 35 kg

  BB = 30 kg TB = 135 cm

  15 Sumber: Muhilal, et al (1998) Pola konsumsi makan yang baik pada seseorang dapat dinilai dari dampak yang ditimbulkan akibat dari pola konsumsi yang dilakukan, yaitu dengan menilai status gizi seseorang. Pola konsumsi seseorang tidak lepas dari kebiasaan makan yang dilakukannya. Kebiasaan makan seringkali merupakan suatu pola yang berulang atau bagian dari rangkaian panjang kebiasaan hidup secara keseluruhan yang dapat diukur dengan pola konsumsi pangan. Pola konsumsi pangan adalah jenis frekuensi beragam pangan yang biasa dikonsumsi yang umumnya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo, 1989). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah, 2004). Survei konsumsi pangan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu (a) metode recall (mengingat), (b) metode inventaris, (c) metode pendaftaran dan (d) metode penimbangan (Riyadi, 2001). Menurut Supariasa dkk (2001), metode pengukuran konsumsi pangan untuk individu, meliputi metode food recall 24 jam, metode frekuensi makan (food frequency), metode penimbangan (food weighing) dan metode riwayat makan (diet history).

2.2.1 Metode Food Recall 24 Jam

  Metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Melalui metode ini responden menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Metode ini sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Menurut Sanjur (1997) yang dikutip oleh Supariasa, dkk (2001), langkah-langkah pelaksanaan recall 24 jam adalah sebagai berikut:

  1. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan atau minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu, kemudian petugas melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram).

  2. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).

  3. Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia.

  Menurut Supariasa, dkk (2001), metode food recall 24 jam ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari metode ini adalah sebagai berikut:

  1. Mudah melaksanakannya serta tidak membebani responden. Biaya relatif murah karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas.

  2. Prosesnya cepat sehingga dapat mencakup banyak responden.

  3. Dapat digunakan pada responden yang buta huruf.

  4. Dapat memberikan gambaran nyata dan benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung asupan zat gizi sehari.

  Metode food recall 24 jam ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu sebagai berikut:

  1. Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan recall satu hari.

  2. Ketepatan sangat tergantung pada daya ingat responden.

  3. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).

  4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih atau terampil dalam menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.

  5. Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian.

  Keberhasilan metode ini sangat ditentukan oleh daya ingat responden dan keunggulan serta kesabaran dari pewawancara, maka untuk dapat meningkatkan mutu data recall 24 jam dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut).

  Apabila pengukuran hanya dilakukan satu kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif menggambarkan kebiasaan makanan individu.

2.2.2 Metode Frekuensi Makan (Food Frequency)

  Menurut Supariasa, dkk (2001), secara umum survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama waktu periode tertentu setiap hari, minggu, bulan, atau tahun.

  Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode waktu tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden. Kelebihan dari metode ini adalah relatif mudah dan sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan.

  Metode frekuensi makanan ini juga memiliki beberapa kekurangan antara lain tidak dapat digunakan untuk menghitunga asupan zat gizi sehari-hari, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk ke dalam daftar kuesioner, responden harus jujur dan mempunyai motivasi yang tinggi.

2.3 Status Gizi

  Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ-organ, serta menghasilkan energi. Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Menurut Supariasa, dkk (2001), status gizi adalah suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Contohnya, gizi kurang merupakan keadaan tidak seimbangnya konsumsi makanan dalam tubuh seseorang.

  Status gizi seseorang atau kelompok orang dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut keadaan gizinya baik atau sebaliknya (Nasoetion dan Riyadi, 1994). Status gizi pada anak dipengaruhi oleh tiga determinan, yaitu determinan langsung, determinan tidak langsung dan determinan dasar. Determinan langsung merupakan faktor yang terdapat pada tingkat individu. Hal yang menjadi determinan langsung pada status gizi anak adalah konsumsi makanan dan status kesehatan atau infeksi (Riyadi, 2001). Selanjutnya menurut Riyadi (2001), determinan tidak langsung adalah determinan yang terdapat pada tingkat rumah tangga yaitu ketahanan rumah tangga, perawatan anak, lingkungan kesehatan, termasuk akses terhadap semua determinan tidak langsung adalah kemiskinan. Determinan dasar adalah potensi sumberdaya yang tersedia di suatu negara wilayah dan masyarakat. Sumberdaya ini dibatasi oleh lingkungan alam, akses terhadap teknologi dan juga mutu sumberdaya manusia.

  Berbagai cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, diantaranya adalah antropometri. Pengukuran antropometri maksudnya adalah pengukuran yang dilakukan terhadap berat badan, lingkaran bagian-bagian tubuh, serta lapisan kulit. Penilaian gizi dilakukan sebagai interpretasi informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi pangan, biokimia, antropometri dan klinis pada seseorang atau sekelompok orang. Informasi yang diperoleh tersebut digunakan untuk menentukan status kesehatan seseorang atau sekelompok penduduk tertentu (Wikipedia, 2013).

  Antropometri dapat dilakukan dengan beberapa cara pengukuran, yaitu pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan sebagainya. Dari pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 1999). Di dalam ilmu gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur berat badan atau tinggi badan secara sendiri - sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator-indikator yang dapat merupakan kombinasi ketiganya.

  Masing-masing indikator memiliki makna tersendiri. Misalnya kombinasi antara berat badan dengan umur membentuk indikator berat badan menurut umur (BB/U), kombinasi antara tinggi badan dengan umur membentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kombinasi antara berat badan dengan tinggi badan membentuk indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

2.3.1 Penilaian Status Gizi secara Antropometri

  Menurut Supariasa, dkk (2002) penilaian status gizi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu : antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.

  Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporasi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

  Pemeriksaan klinis merupakan metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Metode ini umumnya untuk survei klinis secara tepat (rapid

  clinical surveys) . Survey ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis

  umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign ) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit (Fauzarrahman, 2013).

  Pemeriksaan secara biokimia merupakan pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan berbagai macam tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Penilaian secara biofisik merupakan metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan). Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa, 2002)

  Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu: survey konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Survei konsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi dalam masyarakat, keluarga, dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan atau kekurangan zat gizi. Selain itu, mengukur status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya dengan gizi. Penggunaanya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.

  Faktor Ekologi digunakan untuk mengungkap bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya.

  Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaaan ekologis seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2002)

2.3.2 Indeks Antropometri

  Parameter antropometri merupakan dasar penilaian status gizi dan kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Penilaian antropometri dilakukan melalui pengukuran dimensi fisik dan komposisi kasar tubuh. Penilaian dilakukan terhadap berat badan (BB), tinggi Badan atau Panjang badan/Tinggi badan (PB/TB), Lingkar kepala, Lingkar lengan atas (LLA atau LILA) dan tebal lemak Kulit (Almatsier, 2009).

  Menilai status gizi menggunakan beberapa indeks penilaian yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan atau Panjang Badan (BB/TB atau BB/PB), Tinggi Badan atau Panjang Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U), dan Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) (WHO, 2005). Dalam semua indeks tersebut, dianjurkan menggunakan perhitungan dengan menggunakan perhitungan dengan Z-score (Menggunakan nilai median sebagai nilai normalnya). Indeks antropometri yang biasa digunakan untuk kelompok remaja atau anak usia sekolah adalah IMT/U. Interpretasi berbagai indikator pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Baku Antropomentri Menurut Standar WHO 2005

  Indikator Status gizi Keterangan (BB/U) Status Gizi Baik - 2 SD sampai 2 SD

  Status Gizi Kurang - 3 SD sampai < - 2 SD Status Gizi Sangat Kurang < - 3 SD Status Gizi Lebih > 2 SD

  (PB/U atau TB/U) Normal - 2 SD sampai 2 SD Pendek - 3 SD sampai < - 2 SD Sangat Pendek < - 3 SD Tinggi > 2 SD

  (BB/PB atau BB/TB) Sangat Gemuk > 3 SD Gemuk > 2 SD sampai 3 SD Resiko gemuk > 1 SD sampai 2 SD Normal - 2 SD sampai +1 SD

  Kurus - 3 SD sampai < - 2 SD Sangat Kurus < -3 SD

  (IMT/U) Sangat Gemuk > 3 SD Anak umur 5 – 18 Gemuk > 2 SD sampai 3 SD Tahun Resiko gemuk > 1 SD sampai 2 SD

  Normal - 2 SD sampai +1 SD Kurus - 3 SD sampai < - 2 SD Sangat Kurus < -3 SD

  Sumber : Kemenkes RI, 2011 Karakteristik berat badan merupakan indikator yang sensitif, maka indeks BB/U lebih mengggambarkan status seseorang gizi saat ini. Menurut Supriasa (2002), berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh, dimana massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.

  Berat badan memiliki hubungan linier dengan tinggi badan, dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Jellife (1996) telah memperkenalkan indeks untuk mengidentifikasi status gizi yaitu BB/TB atau BB/PB. Saat ini indeks BB/TB atau BB/PB merupakan indeks yang independen terhadap umur.

  Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang bersifat kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya : kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Kemenkes RI, 2010). Penggunaan PB/U atau TB/U perlu mempertimbangkan umur anak, karena akan menentukan posisi pengukuran anak terlentang atau berdiri.

2.4 Vegetarian

  Istilah vegetarian diciptakan sejak tahun 1847 dan pertama kali digunakan secara formal pada tanggal 30 September 1847 oleh Joseph Brotherton dan kawan-kawan, di Nothwood Villa, Inggris pada saat pertemuan pengukuhan Vegetarian Society Inggris (Wikipedia, tahun 2003). Pada tahun 1985, hampir 7% atau sekitar 12 juta penduduk Amerika menganggap diri mereka vegetarian dan sekitar 4% menganggap diri mereka vegan. Di Amerika, masyarakat yang menjalankan diet vegetarian lebih banyak wanita daripada pria, dan cenderung berusia lebih tua dari 60 tahun. Masyarakat ini biasanya adalah masyarakat berpengetahuan baik, dan biasanya hidup di perkotaan (Krummel & Kris 1996). Pengikut vegetarian di Amerika kebanyakan berpendidikan setingkat SLTA, berstatus menikah, dan berusia diatas 40 tahun (Sabate, 2001).

  Belum ada istilah yang baku untuk vegetarian. Istilah vegetarian mempunyai cakupan yang luas dalam dunia nutrisi dan makanan. Pada umumnya istilah vegetarian mengacu pada seseorang yang tidak mengkonsumsi daging, terutama daging merah seperti daging sapi, namun akhir-akhir ini dilaporkan bahwa 20% vegetarian masih mengkonsumsi daging minimal sekali dalam sebulan. Secara khusus dapat dikatakan bahwa istilah vegetarian dapat digunakan untuk mereka yang sebagian makanannya terdiri dari tumbuhan dan menghindari konsumsi produk hewani seperti daging, baik daging merah maupun daging putih (Shils, 2006).

  Banyak literatur ilmiah menyatakan bahwa seseorang masih dikatakan vegetarian apabila ia mengkonsumsi produk hewani (kombinasi daging sapi, ikan, ayam) kurang dari satu kali per minggu (Sabate, 2001). Karena itu, para ahli biasanya memutuskan apakah seorang vegetarian atau bukan dari pola makan orang tersebut, sehingga penilaian tidak terjadi secara subjektif. Sayangnya tidak ada definisi yang pasti dan konsisten untuk istilah vegetarian dalam berbagai penelitian ilmiah (Shils, 2006). Masyarakat memilih menjadi vegetarian karena berbagai alasan. Hal ini mencakup alasan kesehatan, keagamaan atau kepercayaan etik, alasan metafisika, lingkungan dan bahkan alasan politik.

  Ada berbagai jenis vegetarian yang dianut oleh masyarakat, beberapa diantaranya adalah vegan yaitu hanya mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan seperti biji-bijian (atau padi- padian), kacang-kacangan, sayur-sayuran termasuk rumput laut dan buah-buahan. Jenis lakto yaitu mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan juga mengkonsumsi susu dan olahannya.

  Jenis ovo yaitu selain mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan juga mengkonsumsi telur dan olahannya. Jenis lakto-ovo yaitu selain mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan juga masih mengkonsumsi telur, susu dan olahannya. Jenis pesco vegetarian yaitu masih mengkonsumsi ikan. Jenis pollovegetarian yang masih mengkonsumsi ayam. Jenis

  fruitarian yaitu mengkonsumsi buah-buahan, serta jenis macrobiotic.

  Asupan protein secara umum mencukupi pada diet vegetarian tetapi tidak bagi vegans. Kebutuhan protein terpenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis sayuran secara teratur dan memenuhi kebutuhan energi. Pada vegetarian, variasi tanaman sebagai sumber protein nabati diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein. Sumber protein nabati yang dapat saling melengkapi antara lain dengan mengkonsumsi kacang-kacangan dan serealia secara bersamaan. Kebutuhan protein pada vegetarian kira-kira 30% lebih tinggi dari nonvegetarian. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kandungan asam amino esensial dan rendahnya daya cerna protein nabati kecuali kacang kedelai.

  Menurut Fajriyah (2008), bagi vegetarian lacto-ovo yaitu mereka yang masih mengkonsumsi telur dan minum susu, masukan protein yang memadai dapat dijamin dengan dengan banyak mengkonsumsi kedua jenis makanan ini, termasuk yogurt dan keju. Tetapi pada vegan, yaitu vegetarian kuat yang tidak mengkonsumsi telur dan susu, harus mengkonsumsi kombinasi protein sayuran untuk memenuhi lima porsi/bagian proteinnya antara lain kacang-kacangan, biji-bijian, dan biji gandum. Beberapa bahan pengganti daging merupakan sumber protein yang cukup baik, namun beberapa bahan lainnya rendah protein dan tinggi lemak serta tinggi kalori.

  Kecukupan kalsium bukan masalah bagi vegetarian yang mengkonsumsi telur dan susu, tetapi tidak demikian hanya bagi vegan yang memerlukan strategi khusus. Banyak produk kedelai yang kaya kalsium, tetapi harus hati-hati akan susu kedelai yang diberi banyak gula (gula, sirup, jagung, atau madu). Lebih aman bila mengkonsumsi produk susu kedelai murni. Produk tahu dapat dianggap kaya kalsium bila pada proses penggumpalannya diberikan kalsium (Fajriyah, 2008). Bila tidak diberikan, maka tahu tersebut tidak mengandung atau hanya sedikit mengandung kalsium.

  Jumlah orang yang menjalankan pola makan vegetarian semakin bertambah. Di Kanada diperkirakan ada 4% populasi orang dewasa memilih pola makan vegetarian.

  Berdasarkan kerja gabungan Pakar Diet Kanada dan Asosiasi Diet Amerika yang diterbitkan pada bulan Juni 2004 , pola makan vegetarian yang disusun secara cermat sangatlah sehat dan dapat memberikan gizi yang memadai untuk segala usia. Pola makan vegetarian juga memberikan manfaat kesehatan untuk mencegah serta mengobati penyakit tertentu (Miewald.C, 2004).

  Di Amerika Serikat (AS) pernah muncul anjuran agar konsumsi telur dibatasi hanya maksimal empat butir seminggu. Selain itu, daging merah (sapi) frekuensi konsumsinya sebaiknya dikurangi atau diganti dengan daging putih (unggas) yang telah dihilangkan kulitnya. Pola pangan nabati atau lebih dikenal dengan pola makan vegetarian dipraktikkan oleh orang karena beberapa alasan, antara lain mengikuti anjuran agama, adanya rasa sayang pada hewan, atau karena alasan kesehatan.

  Menurut Khomsan (2012), pola pangan nabati sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pola pangan tinggi serat. Konsumsi serat rata-rata orang Indonesia berdasarkan data 1998/1999 adalah 10,5 g per kapita per hari. Angka ini masih jauh dari anjuran gizi yang 20-30 g per kapita per hari. Apabila kita mau lebih meningkatkan konsumsi serat (bersumber dari pangan nabati, seperti sayuran dan buah), maka kita akan terhindar dari penyakit kanker, jantung koroner, dan kecenderungan obesitas (kegemukan).

2.5 Prestasi Belajar

  Belajar merupakan suatu aktivitas yang menimbulkan perubahan yang relatif permanen sebagai akibat dari upaya-upaya yang dilakukan seseorang. Belajar merupakan hal sangat mendasar bagi manusia dan merupakan proses yang berkesinambungan yang mengubah seseorang dalam berbagai cara (Suparno, 2001). Masalah belajar di masa anak- anak merupakan hal yang sering dihadapi orang tua dan guru. Keluhan-keluhan yang sering kita dengar adalah anak sukar menangkap pelajaran, cepat lupa bila diajarkan sesuatu, tidak dapat konsentrasi, tidak mengerti huruf, kesukaran dalam membaca, menulis dan berhitung, tidak ada gairah belajar dan sebagainya (Prasetyo, 1993).

  Prestasi belajar menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1993) adalah merupakan penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan dalam mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar siswa meliputi prestasi kognitif (kemampuan berpikir dan analisis), prestasi afektif (sikap) dan prestasi psikomotor (tingkah laku). Namun dari tiga aspek tersebut aspek kognitiflah yang menjadi tujuan utama dalam suatu sistem pendidikan tanda mengesampingan aspek yang lain (Syah, 2001).

  Menurut Atmodiwirjo (1993), intelegensi berperan sebagai kapasitas global dari individu untuk bertindak sesuai dengan tujuan, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungan secara efektif. Dalam hal ini kapasitas global dimaksudkan bahwa intelegensi terdiri dari berbagai elemen atau kemampuan yang tidak seluruhnya berdiri sendiri tetapi secara kualitatif dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai kompetensi intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang cukup, lingkungan yang positif yang mampu merangsang dan menunjang direalisasikannya potensi yang telah ada serta anak sendiri yang aktif berperan dalam interaksi dengan lingkungan tersebut. Faktor yang dapat mempengaruhi intelegensi seorang anak antara lain faktor keturunan, faktor parental yaitu berhubungan dengan faktor gizi dan penyakit yang diderita ibu hamil, kesulitan dalam proses kelahiran yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan seorang anak serta keadaan sosial ekonomi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh penyakit atau cedera otak, serta ketunaan pada alat indra yang mengganggu penerimaan rangsang (sensory input) dari lingkungan sehingga pemprosesan informasi tidak dapat berjalan dengan baik (Atmodiwirjo, 1993).

  Gizi kurang pada anak dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan anak. Kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal ini mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru terutama pada usia di bawah tiga tahun sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto, 2004).

  Menurut Judarwanto (2004), kurang gizi pada fase cepat tumbuh otak (di bawah usia 18 bulan) akan bersifat irreversible (tidak dapat pulih) dan kecerdasan anak tersebut tidak bisa lagi berkembang secara optimal. Kurang energi dan protein pada masa anak-anak akan menurunkan IQ yang menyebabkan kemampuan geometrik rendah dan anak tidak bias berkonsentrasi secara maksimal. Menurut penelitian Arnelia et al. (1995), rata-rata nilai IQ anak yang pernah menderita gizi buruk sewaktu balita lebih rendah 13,7 point dibandingkan dengan anak yang tidak pernah menderita KEP. Namun IQ yang tinggi tidak selalu menjadi jaminan untuk meraih prestasi belajar di sekolah, tapi harus dibarengi dengan upaya mengasah keterampilan, kerajinan, ketekunan dan kemampuan berfikir.

  Portosuwido, dkk (1976) telah melakukan penelitian dibidang kognitif pada anak sekolah dasar dengan mengukur skor prestasi belajar melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS. Keempat mata pelajaran ini sudah cukup menggambarkan nilai kognitif sekolah dasar, yang dimaksud dengan skor prestasi ialah hasil yang dicapai oleh murid pada mata pelajaran tertentu yang dinyatakan dalam wujud angka (Soematri, 1978).

2.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

  Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri terdiri dari faktor biologis dan faktor psikologis sebagai contoh faktor kesehatan jasmani dan rohani, kecerdasan (intelegensia), daya ingat, kemauan, bakat (Dimyati, 1989).

2.5.1.1 Faktor Internal

  Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar meliputi faktor biologis dan psikologis, mulai dari kandungan, sampai lahir dan sesudah lahir sudah tentu merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan seseorang. Hal ini merupakan salah satu faktor biologis yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor biologis yang lain yaitu kondisi kesehatan fisik yang sehat dan segar sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Namun demikian didalam menjaga kesehatan fisik ada beberapa hal yang sangat perlu diantaranya makan dan minum harus teratur serta memenuhi persyaratan kesehatan, olahraga dan istirahat yang cukup (Dimyati, 1989).

  Selain faktor biologis terdapat faktor psikologis yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor psikologis tersebut antara lain intelejensi, kemauan, bakat, dan daya ingat. Intelegensi atau tingkat kecerdasan dasar memang berpengaruh besar terhadap keberhasilan belajar seseorang. Seseorang yang mempunyai intelegensi jauh dibawah normal akan sulit diharapkan untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam proses belajar. Sangat perlu dipahami bahwa intelegensi itu bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan seseorang. Intelegensi itu hanya merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor.

  Sebaliknya, seseorang yang intelegensinya tidak seberapa tinggi atau sedang, mungkin saja mencapai prestasi belajar tinggi jika proses belajarnya ditunjang dengan berbagai faktor lain yang memungkinkan untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal (Slameto, 2003).

  Kemauan dapat dikatakan sebagai faktor utama penentu keberhasilan belajar seseorang. Lebih dari itu, dapat dikatakan kemauan merupakan motor penggerak utama yang menentukan keberhasilan seseorang dalam setiap segi kehidupannya. Bagaimanapun baiknya proses belajar yang dilakukan seseorang hasilnya akan kurang memuaskan jika orang-orang tersebut tidak mempunyai kemauan yang keras. Bakat memang merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan belajar seseorang dalam suatu bidang tertentu. Kegagalan dalam belajar yang sering terjadi sehubungan dengan bakat justru disebabakan seseorang terlalu cepat merasa dirinya tidak berbakat dalam suatu bidang (Hakim, 2000).

  Daya ingat sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Daya ingat dapat didefinisikan sebagai daya jiwa untuk memasukan, menyimpan dan mengeluarkan kembali suatu kesan. Sesuai dengan tahap-tahapnya, daya ingat mempunyai sifat-sifat yaitu sifat lambat atau cepat yaitu menunjukkan lamanya waktu untuk memasukan kesan kedalam pikiran. Sifat setia yaitu kesan-kesan yang masuk dapat disimpan sama persis dengan objek yang sebenarnya. Sifat tahan lama dimiliki oleh daya menyimpan yang berarti kesan-kesan yang masuk dapat disimpan dalam waktu lama atau tidak mudah lupa. Sifat luas dimiliki oleh daya menyimpan, yang berarti dapat menyimpan kesan dalam jumlah yang banyak. Sifat siap dimiliki oleh daya reproduksi, yang berarti dapat mengeluarkan kembali kesan- kesan yang telah tersimpan di dalam pikiran, baik secara lisan maupun tulisan, kemampuan mengingat ini dipengaruhi pula oleh daya jiwa yang lain diantaranya adalah kemauan dan daya konsentrasi. Daya konsentrasi: merupakan suatu kemampuan untuk memfokuskan pikiran, perasaan, kemauan dan segenap pancaindera ke satu objek di dalam suatu aktivitas (Gie, 1995)

2.5.1.2 Faktor Eksternal

  Faktor eksternal adalah merupakan faktor yang bersumber dari luar individu itu sendiri. Faktor meliputi faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah, faktor lingkungan masyarakat dan faktor waktu. Faktor lingkungan rumah atau keluarga ini merupakan lingkungan pertama dan utama dalam menentukan perkembangan pendidikan seseorang. Kondisi lingkungan keluarga sangat menentukan keberhasilan belajar seseorang diantaranya ialah adanya hubungan yang harmonis diantara sesama anggota keluarga, tersedianya tempat dan peralatan belajar yang cukup memadai, keadaan ekonomi keluarga yang cukup, suasana lingkungan rumah yang cukup tenang, adanya perhatian yang besar dari orang tua terhadap perkembangan proses belajar dan pendidikan anak-anaknya. Faktor keluarga juga menentukan pola konsumsi yang akan dianut oleh anak, jika orangtua menginginkan anaknya dapat berprestasi di sekolah mereka pastinya akan memberikan makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan seimbang. Hal ini tentu saja akan meningkatkan status gizi anak tersebut sehingga prestasi pun dapat diraih (Wardyaningrum, 2010).

  Faktor lingkungan sekolah merupakan hal mutlak yang harus ada di sekolah untuk menunjang keberhasilan belajar adalah tata tertib dan disiplin yang ditegakkan secara konsekuen dan konsisten. Kondisi lingkungan sekolah yang juga mempengaruhi kondisi belajar antara lain adanya guru yang baik dalam jumlah yang cukup dan memadai sesuai dengan jumlah bidang studi yang ditentukan, peralatan belajar yang cukup lengkap, gedung sekolah yang memenuhi persyaratan bagi berlangsungnya proses belajar yang baik, adanya teman yang baik, adanya keharmonisan hubungan diantara semua personil sekolah (Slameto).

  Di dalam masyarakat ada lingkungan atau tempat tertentu yang dapat menunjang keberhasilan belajar, ada pula lingkungan atau tempat tertentu yang menghambat keberhasilan belajar. Lingkungan atau tempat tertentu yang dapat menunjang keberhasilan belajar diantaranya adalah lembaga-lembaga pendidikan non formal yang melaksanakan kursus-kursus tertentu seperti kursus bahasa inggris dll. Lingkungan atau tempat tertentu yang dapat menghambat keberhasilan belajar antara lain adalah tempat hiburan tertentu yang banyak dikunjungi yang mengutamakan kesenangan atau hura-hura seperti diskotik, bioskop dan tempat lain.

  Adanya keseimbangan antara kegiatan belajar dan kegiatan yang bersifat hiburan atau rekreasi merupakan faktor waktu yang menunjang prestasi belajar. Tujuannya agar selain dapat meraih prestasi belajar yang maksimal, siswa dan mahasiswa tidak dihinggapi kejenuhan dan kelelahan pikiran yang berlebihan serta merugikan (Hakim, 2000).

2.6 Kaitan Pola Makan Vegetarian dan Status Gizi dengan Prestasi Belajar

  Banyak peneliti terdorong untuk menemukan hubungan antara kecenderungan mengonsumsi makanan nondaging dengan kecerdasan atau prestasi belajar. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa penemu dan filsuf yang cukup terkenal cerdas merupakan penganut vegetarian seperti Albert Enstein, Plato, Aristoteles, Socrates, Isaac Newton, dan Thomas A. Edison. British Medical Journal menerbitkan hasil penelitian tersebut dimana peneliti mengukur IQ sejumlah responden pada usia 10 tahun, kemudian mengikuti perkembangan mereka hingga umur 30 tahun. Data menunjukkan bahwa mereka yang menjadi vegetarian saat anak-anak memiliki IQ sekitar 5 poin lebih tinggi daripada rata-rata orang dewasa yang bukan vegetarian (Harmandini, 2011).

  Mereka yang vegetarian juga lebih cenderung memiliki pekerjaan dan gelar yang lebih tinggi. Menurut para peneliti, ini disebabkan karena pola makan mereka yang kaya sayuran dan buah-buahan telah mampu meningkatkan kemampuan otak di antara manfaat kesehatan lain untuk meningkatkan kecerdasan. Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak vegetarian tumbuh lebih tinggi dan memiliki IQ lebih tinggi daripada teman-teman sekolahnya. Risiko untuk penyakit jantung, obesitas, diabetes dan penyakit lain juga menurun untuk jangka panjang. Meskipun tidak terlalu populer di Indonesia, ada juga sebagian masyarakat di tanah air yang menerapkan pola hidup vegetarian atau tidak memakan daging. Mereka percaya, pola hidup itu bermanfaat bagi kesehatan serta mampu mencerdaskan anak. Sebagian besar masyarakat cenderung menganggap pola hidup vegetarian pada anak penyebab kekurangan gizi atau gizi buruk. Menurut Ayu (2012), hal tersebut tergantung dari asupan makanan yang diberikan dan kecerdasan sang ibu dalam memilih lauk sekalipun menerapkan pola vegetarian. "Pola hidup vegetarian tidak akan membuat anak kekurangan gizi”. Oleh karena itu, orang tua tidak perlu khawatir tetapi harus diperhatikan pemilihan jenis makanannya misalnya nabati yang mengandung asam lemak esensial sebagai asupan makanan.

  Beberapa jenis asam lemak esensial seperti asam lemak omega 3, asam lemak omega 6 dan asam lemak omega 9 terkait langsung dengan pembentukan jaringan otak. Ketika bayi, kebutuhan tiga komponen terdapat dalam air susu ibu, sementara saat berusia 6 bulan hingga 2 tahun, bayi mendapat tambahan ketiga asam omega dari makanan-makanan yang sehat seperti sayur mayur, kacang-kacangan dan biji-bijian. Maka dari itu, pola hidup vegetarian yang tidak mengkonsumsi daging terjamin kebutuhan asam lemak omega dengan mengkonsumsi sayur mayur, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Terkadang, masyarakat masih terbatas pengetahuannya terkait sayur-mayur. Sebagai contoh, untuk memenuhi kebutuhan asam omega 3, anak bisa diberikan konsumsi seperti biji-bijian macam wijen, kedelai dan jagung atau memanfaatkan hasil olahannya semisal minyak wijen, minyak jagung dan minyak kedelai. Sementara khusus sayur mayur bisa diberikan sayuran yang berwarna hijau (Ayu, 2012)

  Kebutuhan asam lemak omega 6, dapat dipenuhi dengan mengasup makanan berupa kacang-kacangan, jagung, wijen dan biji matahari atau bisa juga memanfaatkan olehannya seperti minyak wijen, minyak jagung, kacang tanah dan minyak bunga matahari. Menurut Ayu (2012), asam lemak omega 6 memiliki posisi strategis, sebab merupakan bahan pembentuk AA (Arachidonic acid) dan DHA (Docosahexaenoic) yang nantinya akan mempengaruhi pembentukan jaringan otak. Untuk memenuhi kebutuhan akan asam lemak omega 9, orang tua bisa juga memberikan asupan makanan berupa minyak zaitun dan kacang-kacangan lain, semisal, kacang polong, kacang hijau dan kacang tanah. Zat lainnya yang diperlukan guna menunjang pembentukan kecerdasan pada anak vegetarian adalah zat besi dan zinc (seng) yang juga terdapat pada sayur-mayur. Khusus Zinc, jelasnya, merupakan zat yang kini diteliti para ilmuwan karena diyakini mampu mendukung pembentukan sel otak.

  Salah satu penelitian yang menggambarkan status gizi balita vegetarian dan nonvegetarian terjadi pada tahun 2008 lalu. Penelitian Susianto (2008) menyebutkan bahwa tidak ada bayi vegetarian yang menderita gizi kurang apalagi gizi buruk sebaliknya pada bayi vegetarian terdapat kelebihan berat badan. Kesimpulan tersebut tergambar dari hasil penelitian yang mencatat prevalensi obesitas bayi vegetarian sebesar 5.3% dan bayi nonvegetarian 12.3%, 13.3 % bayi vegetarian dan 8.2% nonvegetarian yang gemuk, 56 % balita vegetarian dan 57.5% nonvegetarian yang berstatus gizi normal, namun terdapat 25.3% bayi vegetarian dan 21.9% nonvegetarian yang beresiko kegemukan. Penelitian mengambil sampel 148 balita dengan rincian 75 vegetarian dan 73 non vegetarian yang terpilih secara purpose sampling.

  Keadaan gizi juga akan mempengaruhi kemampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan akan mempengaruhi prestasi belajar. Penelitian kaitan indeks prestasi dengan status gizi anak dalam studi kasus anak di Kabupaten Nabire oleh Wilma (2006) menemukan bahwa semakin rendah status gizi siswa semakin rendah pula nilai prestasi mereka. Penelitian Huwae (2005) menyatakan dari 43 sampel anak sekolah yang diteliti di Kabupaten Nabire terdapat 36 % menderita gizi kurang dan 1,3 % mengalami gizi buruk. Penelitian ini menyatakan terdapat hubungan yang erat antara status gizi dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar yaitu semakin tinggi status gizi siswa maka akan semakin tinggi pula prestasi belajar mereka.

  Pola konsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu disusun berdasarkan data jenis pangan, frekuensi penggunaan serta banyaknya yang dimakan.

Dokumen yang terkait

Pola konsumsi, Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Siswa Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013

5 59 89

Hubungan antara Rutinitas Anak dengan Status Gizi pada Anak Usia 7-12 Tahun di Sekolah Dasar Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan Tahun 2011

1 45 108

Pola Makan dan Status Gizi Anak Sekolah Dasar di Desa Perbukitan dan di Desa Tepi Danau Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2010

2 58 78

Pola Konsumsi, Status Gizi Dan Prestasi Belajar Pada Anak Vegetarian Di Kota Medan Tahun 2004

1 36 60

Kebugaran Jasmani dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pola Konsumsi Ikan Siswa Sekolah Dasar Negeri 060919 di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 1 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down - Gambaran Status Karies Gigi dan Status Gizi pada Anak Sindrom Down Usia 12-18 Tahun di SLB C Kota Medan

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gizi 2.1.1. Definisi Gizi - Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa Siswi Kelas 5 SD Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Makan - Perbedaan Pola Makan, Kadar Gula Darah, Kolesterol dan Asam Urat Antara Kelompok Vegetarian dan Non Vegetarian di Perumahan Cemara Asri Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang Tahun 2014

0 0 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Anak - Gambaran Pola Asuh dan Status Gizi Balita Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

0 0 23