Hubungan antara Rutinitas Anak dengan Status Gizi pada Anak Usia 7-12 Tahun di Sekolah Dasar Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan Tahun 2011

(1)

HUBUNGAN ANTARA RUTINITAS ANAK DENGAN STATUS

GIZI PADA ANAK USIA 7-12 TAHUN DI SEKOLAH DASAR

NEGERI 20 MANNA BENGKULU SELATAN

TAHUN 2011

OLEH:

LIBERTI DWI PUTRI

080100013

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

HUBUNGAN ANTARA RUTINITAS ANAK DENGAN STATUS GIZI PADA ANAK USIA 7-12 TAHUN DI SEKOLAH DASAR NEGERI 20

MANNA BENGKULU SELATAN TAHUN 2011

KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

OLEH:

LIBERTI DWI PUTRI 080100013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Hubungan antara rutinitas anak dengan status gizi pada anak usia 7-12 tahun di Sekolah Dasar Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan Tahun 2011

Nama : Liberti Dwi Putri NIM : 080100013

Pembimbing Penguji I

(dr. Sri Sofyani, Sp. A(K) ) ( dr. Tetty Aman Nasution, M.Med. Sc) NIP: 19650828 199603 2004 NIP: 19700109 199702 2001

Medan, 21 Desember 2011 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP : 19540220 198011 1 0001


(4)

ABSTRAK

Pada saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yaitu masih dijumpainya anak-anak yang menderita gizi kurang dan buruk serta meningkatnya jumlah anak yang mengalami gizi lebih. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007, prevalensi anak usia sekolah kurus (laki-laki) adalah 13.3 % dan perempuan sebanyak 10.9%. Sedangkan prevalensi nasional anak usia sekolah gemuk (laki-laki) adalah 9.5% dan perempuan sebanyak 6.4%. Bengkulu menjadi salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi anak usia sekolah gemuk (perempuan) di atas prevalensi nasional dan masih dijumpai anak dengan status gizi kurang.

Berdasarkan fakta yang ada maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menilai ada tidaknya hubungan antara rutinitas anak dengan status gizi pada anak usia 7-12 tahun, dilakukan survei dengan desain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah anak usia 7-12 tahun di SD negeri 20 Manna Bengkulu Selatan yang berjumlah 90 orang, masing-masing sampel tersebut diwakili oleh orangtua anak sebagai responden penelitian. Data yang diperoleh melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk menentukan status gizi anak dan dilakukan wawancara untuk mendata rutinitas anak di rumah.

Hasil Pengumpulan data menunjukkan hasil Uji Chi Square, tidur malam (P=0.001) dan kuantitas menonton televisi (P=0.001) memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 7-12 tahun. Sedangkan untuk rutinitas makan malam bersama keluarga (P =0.532) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak. Karakteristik responden meliputi pendidikan , pekerjaan, dan penghasilan orang tua dilihat juga ada tidaknya hubungan terhadap status gizi anak. Dari hasil Uji Chi square, diperoleh pendidikan responden (P= 0.143), pekerjaan orang tua (P=0.267), dan penghasilan orang tua (P=0.727) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak. Disarankan kepada pihak-pihak yang terkait (Sekolah, Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan Kota Manna) untuk melakukan upaya promotif-preventif terhadap kejadian masalah gizi pada anak. Orang tua disarankan lebih memperhatikan dan melakukan pengawasan terhadap rutinitas yang dilakukan anak agar status gizi anak baik.

Kata kunci: Status Gizi, Rutinitas, makan malam bersama keluarga, tidur malam, menonton televisi, anak usia 7-12 tahun


(5)

ABSTRACT

At present Indonesia is facing nutritional problem from two different aspects, one from children who suffer from malnutrition and the other from chidren who are consuming too much nutrition. Based on the results from Health Research Association (RISKESDAS) in 2007, the prevalence of underweight children of school age nationwide boys was 13.3% and girls was 10.9%. While the national prevalence of overweight school age children boys was 9.5% and girls was 6.4%. The Bengkulu province has high prevalence of obese school age children (girls) but there are still children who are malnutritioned.

Based on the above facts research was done with the aim to asses whether there is a relationship between child routines with the nutritional status of children aged 7-12 years. The survey method used was Cross Sectional method, which is an approach assessing at just one instant. Population for this study were children aged 7-12 years in state elementary school 20 Manna, South Bengkulu, amounting to 90 people, with each sample being represented by the parents of children as research respondents. Data obtained through the measurement of body weight and height was used to determine the nutritional status of children and interviews were done at home to record the child’s routine.

The result of data anaylsis using the Chi square method, night sleep (P=0.001) and the quantity of television viewing (P=0.001) has a relationship with the nutritional status of children aged 7-12 years. As for routine dinner with the family (P=0.532) does not have relationship with a child’s nutritional status. Characteristics of respondents evaluated include education, occupation, and income of parents were also evaluated to quantify whether there is a relationship to the nutritional status of children. The result of the Chi Square test shows that education of respondents (P=0.143), occupation of parents (P=0.267), and the family income (P= 0.727) do not have any relationship with a child’s nutritional status. It is suggested to the respective departments and schools (Schools, Education Office, and District Health Office of Manna) to take promotive and preventive actions to reduce the nutritional problems in children. Parents are advised to pay more attention and to supervise the children routines so that a good nutritional status can be achieved.

Key words :Nutritional status, Routines, Dinner with the family, Sleeping at night, Watching television, children aged 7-12 years.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Hubungan antara rutinitas anak dengan status gizi pada anak usia 7-12 di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan Tahun 2011”. Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ilmiah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penulis dan pembaca.

Dengan selesainya penyusunan karya tulis ilmiah ini, perkenankanlah saya untuk meyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD (KGEH).

2. Yang terhormat dr. Sri Sofyani, Sp.A (K) selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing saya selama penyusunan proposal hingga penyusunan hasil karya tulis ilmiah ini.

3. Yang terhormat dr. Savita Handayani, Sp.PD selaku dosen penguji I dan dr. Tetty Aman Nasution, M.Med. Sc selaku dosen penguji II dalam seminar proposal dan seminar hasil karya tulis ilmiah yang telah memberikan kritik dan saran untuk revisi karya tulis ilmiah ini.

4. Kepada semua pihak Sekolah Dasar Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan, M. Takril, S.pd selaku Kepala Sekolah yang telah memberikan izin


(7)

menggunakan lokasi penelitian dan senantiasa mendukung peneliti di lapangan dalam pengumpulan data. Terima kasih juga kepada seluruh responden (orang tua murid) yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

5. Yang tercinta kedua orang tua saya Sudarman, SE dan Siti Halsum yang selalu mendukung saya secara moril dan materil selama hidup saya, juga kepada kakak tercinta Dewinta Sari, Amd. Kep atas dukungan doa dan semangat selama ini.

6. Kepada teman-teman satu bimbingan saya, Endah Rahmadani, Hemalatha, dan Kaarthini atas kerja sama dan motivasinya.

7. Kepada teman satu stambuknya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan canda tawanya selama kuliah. 8. Kepada figur, Noi, Linda dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan

satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan berkatNya kepada kita semua. Terima Kasih.

Medan, 12 Desember 2011 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... i

ABSTRAK ... ...ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Anak Usia Sekolah Dasar ... 6

2.1.1 Definisi ... 6

2.1.2 Karakteristik ... 6

2.2 Pola Makan ... 7

2.2.1 Kebutuhan Nutrisi Berdasarkan Usia Tumbuh kembang ... 7


(9)

2.2.3 Pengaturan Makan Pada Anak Usia Sekolah (7-12 tahun) ... 9

2.2.4 Kecukupan Gizi Yang di Anjurkan ... 10

2.2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Intake Makan Pada Anak SD .. 11

2.2.6 Pengaruh Makan Malam Bersama Keluarga Terhadap Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) ... 13

2.3 Pola Tidur Anak ... 14

2.3.1 Kebutuhan Tidur Menurut Usia... 15

2.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tidur ... 16

2.3.3 Fungsi Tidur ... 17

2.3.4 Hubungan Tidur Malam Terhadap Statuz Gizi Anak ... 18

2.4 Waktu Menonton Televisi ... 19

2.4.1 Rekomendasi AAP Tentang Menonton Televisi ... 20

2.4.2 Keuntungan Media Televisi ... 21

2.4.3 Pengaruh Menonton Televisi terhadap Status Gizi Anak ...22

2.5 Penilaian Status Gizi Anak ... 24

2.5.1 Status Gizi ... 24

2.5.2 Cara Penilaian Status Gizi ... 27

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 31


(10)

3.2 Variabel dan Definisi Operasional ... 31

3.3 Hipotesis ... 34

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 35

4.1 Jenis Penelitian ... 35

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

4.4 Teknik Pengumpulan Data... 37

4.5 Teknik Pelaksanaan Penelitian... 38

4.6 Pengolahan dan Analisis Data... 38

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 39

5.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 39

5.2.2 Jenis Kelamin Responden ... 39

5.2.2 Umur Responden ... 40

5.2.3 Pendidikan Responden ... 40

5.2.4 Pekerjaan Responden ... 41

5.2.5 Pendapatan Responden ... 41

5.2.6 Gambaran Umum Anak SD ... 42

5.2.7 Distribusi Gambaran Rutinitas Sehari-hari Anak SD ... 43

5.2.8 Gambaran Status Gizi ... 43

5.3 Hasil Analisis data ... 45 5.3.1 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Pendidikan


(11)

Responden ... 45

5.3.2 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Pekerjaan Responden ... 46

5.3.3 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Pendapatan Responden ... 47

5.3.4 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Rutinitas Makan Malam Bersama Keluarga ... 48

5.3.5 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Tidur Malam ... 49

5.3.6 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Kuantitas Menonton TV ... 50

5.4 Pembahasan... 51

5.4.1 Karakteristik Responden ... 51

5.4.2 Status Gizi ... 53

5.4.3 Rutinitas Anak ... 54

5.4.4 Hubungan Antara Rutinitas Anak dengan Status Gizi... 55

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

6.1 Kesimpulan ... 58

6.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(12)

DAFTAR SINGKATAN

AAP : American Academy of Pediatric AKE : Angka Kecukupan Energi AKG : Angka Kecukupan Gizi AKP : Angka Kecukupan Protein

BB : Berat Badan

BB/TB : Berat Badan Menurut Tinggi Badan BB/U : Berat Badan Menurut Umur

CDC : Centers For Disease Control

NCHS : National Center For Health Statistics

NPY : Neuropeptida Y

NREM : Non Rapid Eye Movement

P : Probability

RDA : Recommended Dietary Allowances REM : Rapid Eye Movement

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

SD : Sekolah Dasar

SPSS : Statistical Package for The Social Science

TB : Tinggi Badan

TB/U : Tinggi Badan Menurut Umur

TV : Televisi


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul

Halaman

Tabel 2.1 Pola Makanan Anak Usia 7-12 tahun 9

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Energi & Protein Pada Anak Usia Sekolah 11

Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden 39

Tabel 5.2 Distribusi Umur Responden 40

Tabel 5.3 Distribusi Pendididikan Responden 40

Tabel 5.4 Distribusi Pekerjaan Responden 41

Tabel 5.5 Distribusi Pendapatan Responden 41

Tabel 5.6 Distribusi Jenis Kelamin Murid 42

Tabel 5.7 Distribusi Murid Berdasarkan Umur 42

Tabel 5.8 Gambaran Rutinitas Anak Sehari-hari 43

Tabel 5.9 Gambaran Status Gizi Anak 44

Tabel 5.10 Gambaran Kategori Status Gizi Anak 44

Tabel 5.11 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Pendidikan Responden 45


(14)

Tabel 5.12 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Pekerjaan

Responden 46

Tabel 5.13 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Pendapatan

Responden 47

Tabel 5.14 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Rutinitas Makan

Malam Bersama Keluarga 48

Tabel 5.15 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Tidur Malam 49 Tabel 5.16 Tabulasi Silang Kategori Status Gizi dengan Kuantitas


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti

Lampiran 2 Kuesioner

Lampiran 3 Informed Consent

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian

Lampiran 5 Data Induk

Lampiran 6 Hasil ouput data SPSS

Lampiran 7 Ethical Clearence


(16)

ABSTRAK

Pada saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yaitu masih dijumpainya anak-anak yang menderita gizi kurang dan buruk serta meningkatnya jumlah anak yang mengalami gizi lebih. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007, prevalensi anak usia sekolah kurus (laki-laki) adalah 13.3 % dan perempuan sebanyak 10.9%. Sedangkan prevalensi nasional anak usia sekolah gemuk (laki-laki) adalah 9.5% dan perempuan sebanyak 6.4%. Bengkulu menjadi salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi anak usia sekolah gemuk (perempuan) di atas prevalensi nasional dan masih dijumpai anak dengan status gizi kurang.

Berdasarkan fakta yang ada maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menilai ada tidaknya hubungan antara rutinitas anak dengan status gizi pada anak usia 7-12 tahun, dilakukan survei dengan desain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah anak usia 7-12 tahun di SD negeri 20 Manna Bengkulu Selatan yang berjumlah 90 orang, masing-masing sampel tersebut diwakili oleh orangtua anak sebagai responden penelitian. Data yang diperoleh melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk menentukan status gizi anak dan dilakukan wawancara untuk mendata rutinitas anak di rumah.

Hasil Pengumpulan data menunjukkan hasil Uji Chi Square, tidur malam (P=0.001) dan kuantitas menonton televisi (P=0.001) memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 7-12 tahun. Sedangkan untuk rutinitas makan malam bersama keluarga (P =0.532) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak. Karakteristik responden meliputi pendidikan , pekerjaan, dan penghasilan orang tua dilihat juga ada tidaknya hubungan terhadap status gizi anak. Dari hasil Uji Chi square, diperoleh pendidikan responden (P= 0.143), pekerjaan orang tua (P=0.267), dan penghasilan orang tua (P=0.727) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak. Disarankan kepada pihak-pihak yang terkait (Sekolah, Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan Kota Manna) untuk melakukan upaya promotif-preventif terhadap kejadian masalah gizi pada anak. Orang tua disarankan lebih memperhatikan dan melakukan pengawasan terhadap rutinitas yang dilakukan anak agar status gizi anak baik.

Kata kunci: Status Gizi, Rutinitas, makan malam bersama keluarga, tidur malam, menonton televisi, anak usia 7-12 tahun


(17)

ABSTRACT

At present Indonesia is facing nutritional problem from two different aspects, one from children who suffer from malnutrition and the other from chidren who are consuming too much nutrition. Based on the results from Health Research Association (RISKESDAS) in 2007, the prevalence of underweight children of school age nationwide boys was 13.3% and girls was 10.9%. While the national prevalence of overweight school age children boys was 9.5% and girls was 6.4%. The Bengkulu province has high prevalence of obese school age children (girls) but there are still children who are malnutritioned.

Based on the above facts research was done with the aim to asses whether there is a relationship between child routines with the nutritional status of children aged 7-12 years. The survey method used was Cross Sectional method, which is an approach assessing at just one instant. Population for this study were children aged 7-12 years in state elementary school 20 Manna, South Bengkulu, amounting to 90 people, with each sample being represented by the parents of children as research respondents. Data obtained through the measurement of body weight and height was used to determine the nutritional status of children and interviews were done at home to record the child’s routine.

The result of data anaylsis using the Chi square method, night sleep (P=0.001) and the quantity of television viewing (P=0.001) has a relationship with the nutritional status of children aged 7-12 years. As for routine dinner with the family (P=0.532) does not have relationship with a child’s nutritional status. Characteristics of respondents evaluated include education, occupation, and income of parents were also evaluated to quantify whether there is a relationship to the nutritional status of children. The result of the Chi Square test shows that education of respondents (P=0.143), occupation of parents (P=0.267), and the family income (P= 0.727) do not have any relationship with a child’s nutritional status. It is suggested to the respective departments and schools (Schools, Education Office, and District Health Office of Manna) to take promotive and preventive actions to reduce the nutritional problems in children. Parents are advised to pay more attention and to supervise the children routines so that a good nutritional status can be achieved.

Key words :Nutritional status, Routines, Dinner with the family, Sleeping at night, Watching television, children aged 7-12 years.


(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yaitu masih dijumpainya anak-anak yang menderita gizi kurang dan buruk serta meningkatnya jumlah anak yang mengalami gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang, kesehatan dan adanya daerah miskin gizi ( iodium ). Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan ( Almatsier, 2001 ).

Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Gibson, 2005).

Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Baik pada status gizi kurang maupun status gizi lebih terjadi gangguan gizi (Almatsier, 2001).

Masalah gizi bisa terjadi pada semua kelompok umur seperti anak-anak khususnya anak sekolah. Anak sekolah merupakan aset negara yang sangat penting sebagai sumber daya manusia bagi keberhasilan pembangunan bangsa. Anak sekolah adalah anak yang berusia 7-12 tahun, memiliki fisik lebih kuat mempunyai sifat individual dan bersikap aktif. Biasanya pertumbuhan putri lebih


(19)

cepat daripada putra. Kebutuhan gizi anak sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan jaringan (Moehji, 2003).

Hasil analisis data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2005) menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan gizi kurang pada anak usia sekolah yaitu pada tahun 2004 dan tahun 2005. Pada tahun tahun 2004, dari 17.835 anak usia sekolah ditemukan sebanyak 435 anak usia sekolah berstatus gizi buruk dan 7.400 anak usia sekolah lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar 10.000 orang anak. Dibandingkan dengan tahun 2004, angka anak usia sekolah gizi kurang mengalami peningkatan, tahun 2005 dari 16.076 anak usia sekolah yang mempunyai status gizi buruk yaitu 476 anak, 7.600 anak usia sekolah lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar 8.000 orang anak (Arisman, 2006).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007, prevalensi anak usia sekolah kurus (laki-laki) adalah 13.3 %, sedangkan prevalensi nasional anak usia sekolah kurus (perempuan) adalah 10.9%. Sebanyak 16 provinsi mempunyai prevalensi anak usia sekolah kurus (laki-laki) di atas prevalensi nasional dan sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi anak usia sekolah kurus (perempuan) di atas prevalensi nasional. Sedangkan untuk prevalensi nasional anak usia sekolah gemuk (laki-laki) adalah 9.5% dan prevalensi nasional anak usia sekolah gemuk (perempuan) adalah 6.4%. Sebanyak 16 provinsi mempunyai prevalensi anak usia sekolah gemuk (laki-laki) di atas prevalensi nasional termasuk diantaranya provinsi Bengkulu. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi anak usia sekolah gemuk (perempuan) di atas prevalensi nasional termasuk juga diantaranya provinsi Bengkulu.

Penyebab terjadinya masalah gizi pada anak bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dilihat dari rutinitas anak sehari-hari di rumah meliputi pola makan, pola tidur, dan aktivitas sehari-hari yang dilakukan anak. Pola makan yang baik akan mempengaruhi gizi anak, peran orang tua sangat penting dalam mengatur pola makan anak serta mengatur pola asuh. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada anak,


(20)

memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga. Sekarang banyak dijumpai anak yang jarang makan bersama keluarga dikarenakan orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sehingga waktu makan bersama keluarga tidak rutin dilaksanakan. Akibatnya status gizi anaknya tidak terkontrol dengan baik (Khomsan, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anderson et al (2005) pada anak usia preschool menyatakan anak yang jarang makan malam bersama keluarga memiliki resiko lebih tinggi untuk mendapatkan kegemukan daripada anak yang makan bersama keluarga secara teratur yaitu 6 atau 7 kali seminggu.

Di jaman sekarang, sebagian besar anak usia sekolah menggunakan waktunya sehari-hari untuk menonton televisi. Data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktivitas fisik seperti ke sekolah naik kendaraan dan kurangnya aktivitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain di luar rumah sehingga anak lebih sering bermain komputer, video games, dan menonton televisi dibandingkan melakukan aktivitas fisik. Penelitian di Amerika pada anak-anak menunjukkan bahwa anak dengan lama waktu menonton televisi 5 jam per hari, memiliki resiko obesitas sebesar 5.3 kali lebih besar daripada anak dengan lama menonton 2 jam per hari (Hidayati, dkk, 2006).

Selain aktivitas menonton televisi, jumlah waktu tidur juga berpengaruh terhadap perubahan status gizi anak. Menurut penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Lumeng et al (2007) pada anak usia 9-12 tahun didapatkan anak dengan waktu tidur yang tidak cukup pada malam hari sedikit beresiko lebih tinggi untuk mendapatkan berat badan lebih daripada anak yang memiliki waktu tidur yang cukup (9.5 sampai 10 jam).

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas maka penulis merasa perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara rutinitas anak dengan status gizi pada anak usia 7-12 tahun di Sekolah Dasar Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan tahun 2011.


(21)

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara rutinitas anak dengan status gizi pada anak usia 7-12 tahun?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara rutinitas anak dengan status gizi pada anak usia 7-12 tahun di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui status gizi anak usia 7-12 tahun di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan.

2. Untuk mengetahui jumlah anak yang makan malam bersama keluarga secara rutin pada anak usia 7-12 tahun di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan.

3. Untuk mengetahui jumlah anak dengan waktu tidur malam yang cukup pada anak usia 7-12 tahun di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan. 4. Untuk mengetahui jumlah anak dengan waktu menonton televisi < 2

jam/hari pada anak usia 7-12 tahun di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan.

5. Untuk menganalisa hubungan rutinitas makan malam bersama keluarga terhadap status gizi pada anak usia 7-12 tahun di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan.

6. Untuk menganalisa hubungan tidur malam terhadap status gizi pada anak usia 7-12 tahun di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan.

7. Untuk menganalisa hubungan kuantitas menonton televisi terhadap status gizi pada anak usia 7-12 tahun di SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan.


(22)

1.4 Manfaat penelitian

1. Memberikan informasi penting pada sekolah tempat penelitian tentang status gizi anak di sekolah tersebut dan memberikan informasi mengenai hubungan antara rutinitas anak di rumah terhadap status gizi.

2. Dapat menjadi masukan bagi masyarakat khususnya orang tua agar senantiasa menjaga status gizi anaknya dengan baik melalui pengaturan rutinitas anak yang baik pula.

3. Sebagai wahana untuk menambah wawasan dan menerapkan ilmu yang telah penulis peroleh selama perkuliahan di FK USU.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak Usia Sekolah Dasar 2.1.1 Definisi

Anak sekolah menurut definisi WHO (World Health Organization) yaitu golongan anak yang berusia antara 7-15 tahun , sedangkan di Indonesia lazimnya anak yang berusia 7-12 tahun.

2.1.2 Karakteristik

Anak sekolah merupakan golongan yang mempunyai karakteristik mulai mencoba mengembangkan kemandirian dan menentukan batasan-batasan norma. Di sinilah variasi individu mulai lebih mudah dikenali seperti pertumbuhan dan perkembangannya, pola aktivitas, kebutuhan zat gizi, perkembangan kepribadian, serta asupan makanan (Yatim, 2005). Ada beberapa karakteristik lain anak usia ini adalah sebagai berikut :

• Anak banyak menghabiskan waktu di luar rumah • Aktivitas fisik anak semakin meningkat

• Pada usia ini anak akan mencari jati dirinya

Anak akan banyak berada di luar rumah untuk jangka waktu antara 4-5 jam. Aktivitas fisik anak semakin meningkat seperti pergi dan pulang sekolah, bermain dengan teman, akan meningkatkan kebutuhan energi. Apabila anak tidak memperoleh energi sesuai kebutuhannya maka akan terjadi pengambilan cadangan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga anak menjadi lebih kurus dari sebelumnya (Khomsan, 2010).

Pada usia sekolah dasar anak akan mencari jati dirinya dan akan sangat mudah terpengaruh lingkungan sekitarnya, terutama teman sebaya yang pengaruhnya sangat kuat seperti anak akan merubah perilaku dan kebiasaan temannya, termasuk perubahan kebiasaan makan. Peranan orangtua sangat


(24)

penting dalam mengatur aktivitas anaknya sehari misalnya pola makan, waktu tidur, dan aktivitas bermain anak (Moehyi 1996).

2.2 Pola Makan

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis , psikologis, sosial, dan budaya (Suhardjo, 2003).

Kebiasaan makan dalam kelompok memberi dampak pada distribusi makanan bagi anggota kelompok. Mutu serta jumlah bagian tiap anggota hampir selalu didasarkan pada status hubungan antar anggota , bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan gizi. Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan, yaitu : faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang meliputi asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan serta penilaian yang lebih terhadap makanan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar dari tubuh manusia yang meliputi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya, dan agama (Khumaidi, 1994).

2.2.1 Kebutuhan Nutrisi Berdasarkan Usia Tumbuh Kembang

Pada usia sekolah ini kebiasaan makan pada anak tergantung pada kehidupan sosial, kadang-kadang anak malas makan di rumah karena kondisi yang tidak disukai. Pada usia ini kemampuan makan dengan menggunakan sendok, piring, dan garpu sudah baik. Pada usia sekolah, tata cara dalam makan seperti makan dengan posisi duduk, mencuci tangan sebelum makan, tidak mengisi mulut secara penuh dan mengambil makanan secara bersamaan. Kadang-kadang anak usia sekolah juga malas untuk makan akibat stress atau sakit


(25)

sehingga perlu pemantauan dan anak sekolah cenderung suka makan secara bersamaan dengan teman sekolahnya (Hidayat, 2005).

2.2.2 Pemberian Makan pada Anak Umur 7-12 Tahun

Golongan umur ini sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup. Mereka jarang terjangkit infeksi atau penyakit gizi. Tetapi kebutuhan nutrien justru bertambah, karena mereka sering melakukan berbagai aktivitas, seperti bermain di luar rumah, olahraga, pramuka, dan kegiatan sekolah lainnya. Kebutuhan energi pada golongan umur 10-12 tahun lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan yang lebih pesat dan aktivitas yang lebih banyak. Sejak umur 10-12 tahun kebutuhan energi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Selain itu, anak perempuan yang sudah haid memerlukan tambahan protein dan mineral besi (Markum, dkk, 2002).

Tujuan pemberian makan pada bayi dan anak adalah : 1) Memberikan nutrien yang cukup sesuai dengan kebutuhan, yang dimanfaatkan untuk tumbuh kembang yang optimal, penunjang berbagai aktivitas, dan pemulihan kesehatan setelah sakit, dan 2) Mendidik kebiasan makan yang baik, mencakup penjadwalan makan, belajar menyukai, memilih, dan menentukan jenis makanan yang bermutu (Markum, dkk, 2002).

Makan bersama dengan anggota keluarga tetap dianjurkan untuk menjalin keakraban keluarga. Beberapa anak kurang menyukai makanan di rumah dan lebih banyak jajan di luar karena itu harus pandai-pandai memilih dan menghidangkan makanan di rumah. Namun sewaktu-waktu anak dapat makan di luar bersama keluarga (Markum, dkk , 2002).

Cara pemberian makan pada anak yang tidak tepat dapat menjadikan anak sulit makan, contohnya memberikan makanan dengan kasar atau dengan marah-marah, suka memaksa anak untuk cepat-cepat menghabiskan makanan setiap kali makan, memberikan makan terlalu banyak, menetapkan banyak aturan yang harus dilakukan anak pada saat makan, dan waktu yang tidak tepat (Widodo, 2009).


(26)

2.2.3 Pengaturan Makan pada Anak Usia Sekolah (7-12 Tahun)

Jadwal pemberian makan merupakan kelanjutan dari jadwal masa bayi dengan sedikit penyesuaian, menjadi sebagai berikut : 3 kali makan utama (pagi, siang, dan malam/sore), diantaranya diberikan makanan kecil atau jajanan, dan bila mungkin tambahan susu (Markum, dkk, 2002). Secara lebih terinci jadwal yang dianjurkan adalah :

Tabel 2.1 Pola Makanan Anak Usia 7-12 Tahun

Umur 7-9 tahun

BB 23kg(1900 kkal)

9-12 tahun BB 30 kg(2100 kkal)

Jam pemberian makan g urt g urt

06.00 : susu + gula 07.00 : nasi 1)

telur 10.00 : kue 12.00 : nasi 1)

hewani 2) nabati 3) sayuran buah

16.00 : bubur kacang hijau 4) 18.00 : nasi

hewani nabati sayuran buah 21.00 : susu gula

biskuit 5) 200 100 50 50 150 50 25 50 50 200 150 50 25 50 50 200 20 1 gelas ¾gelas 1 butir 1potong 1 gelas 1potong 1potong ½ gelas 1potong 1 gelas 1 gelas 1potong 1potong ½ gelas 1potong 1 gelas 2 buah

200 1 gelas 150 1 gelas 50 1 butir 50 1 potong 200 1 ½ gelas 50 1 potong 25 1 potong 75 ¾ gelas 50 1 potong 200 1 gelas 150 1 gelas 50 1 potong 25 1 potong 75 ¾ gelas 50 1 potong 200 1 gelas 20 2 buah


(27)

Keterangan :

1) Dapat diganti dengan makanan penukarnya seperti roti, jagung, kentang, sagu.

2) Diartikan sumber protein hewani : daging, telur, hati, ikan laut, ikan tawar.

3) Diartikan sumber protein nabati : tahu, tempe, kacang-kacangan. 4) Dapat diganti dengan makanan penukar sebanyak 25 gram. 5) Berat biskuit “Regal” : 8-10 gr/buah

Berat biskuit “ Farley” : 15-16 gr/buah Urt : ukuran rumah tangga

G : gram

Jenis bahan makanan pokok untuk dihidangkan terdiri atas : 1) Serealia, yang merupakan makanan pokok dan sumber kalori. Misalnya tepung, beras, ubi, ketela, sagu, jagung. 2) Makanan asal hewan sebagai lauk-pauk dan sumber protein hewan, seperti telur, daging, jeroan, ikan tawar , ikan laut, dan daging unggas. 3) Sayuran sebagai lauk-pauk. Misalnya kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati, seperti kacang hijau, kacang panjang, daun-daunan seperti bayam, kangkung, daun ketela, kubis, dan umbi-umbian seperti wortel, bit (makanan yang telah diolah menjadi tahu dan tempe). 4) Buah-buahan merupakan sumber vitamin A dan vitamin C, seperti alpukat, nenas, pisang, jeruk, pepaya, dan mangga (Markum, dkk, 2002).

2.2.4 Kecukupan Gizi yang Dianjurkan

Angka kecukupan gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus dipenuhi dari makanan untuk mencukupi hampir semua orang sehat. Tujuan utama penyusunan AKG ini adalah untuk acuan perencanaan makanan dan menilai tingkat konsumsi makanan individu/masyarakat ( Almatsier, 2001).


(28)

Hardiansyah dan Tambunan (2004) mengartikan Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Selanjutnya Angka Kecukupan Protein (AKP) dapat diartikan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein yang hilang ditambah sejumlah tertentu, agar mencapai hampir semua populasi sehat (97.5%) di suatu kelompok umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh tertentu pada tingkat aktivitas sedang. Angka kecukupan energi dan protein pada anak usia sekolah dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Energi dan Protein pada Anak Usia Sekolah

Umur (tahun) Berat Badan (kg) Tinggi Badan (kg)

Angka Kecukupan Energi

(kkal/orang/hari)

Angka Kecukupan Protein

(gram/orang/hari)

7-9 25.0 120 1800 45

Pria 10-12

35.0 138.0 2050 50

Wanita 10-12

38 145 2050 50

Sumber : Hardiansyah dan Tambunan (2004) diacu dalam Widya karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004.

2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intake Makan pada Anak Sekolah

Dasar

1. Peran Keluarga

Peranan keluarga amat penting bagi anak sekolah, bahkan pada pemilihan bahanan makanan sekalipun. Makan bersama keluarga dengan suasana yang akrab akan dapat meningkatkan nafsu makan mereka (Widodo, 2009).


(29)

2. Peranan Ibu

Sekalipun anak-anak sudah bermain dengan anak-anak lain di luar rumah, keluarga masih merupakan pengaruh sosialisasi yang terpenting. Tidak hanya lebih banyak kontak dengan anggota-anggota keluarga daripada dengan orang-orang lain tetapi hubungan itu lebih erat, lebih hangat, dan lebih bernada emosional. Hubungan keluarga yang erat ini pengaruhnya lebih besar pada anak daripada pengaruh-pengaruh sosial lainnya.

Peranan ibu terhadap lingkungan anak ini tidak terhenti dimasa anak-anak saja tetapi harus terus berlangsung dan kadang-kadang sampai seumur hidupnya, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman yang menegangkan , menakutkan, menggoncangkan dan membahayakan. Secara khusus, ibu sebagai orang dekat dengan anak akan dapat menjaga kesehatan anak. Ibu dapat memberikan pengertian, memperbaiki pola asuh makan, meningkatkan kegiatan aktivitas fisik, mengenalkan pendidikan gizi sedini mungkin , membatasi promosi makanan yang tidak sehat. Kesemuanya itu sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebabkan anak tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya infeksi (Soekirman, 2000).

3. Teman Sebaya

Tidak heran jika asupan makan akan banyak dipengaruhi oleh kebiasaan makan teman-teman atau sekelompoknya. Apa yang diterima oleh kelompok (berupa figur idola, makanan, minuman) juga dengan mudah akan diterimanya. Demikian pula halnya dengan pemilihan bahan makanan. Untuk itu, perlu diciptakan dalam sekelompok itu suatu kondisi supaya mereka mendapatkan informasi yang baik dan benar mengenai kebutuhan dan kecukupan gizinya sehingga mereka tidak perlu membenci makanan yang bergizi.


(30)

4. Media Massa

Media massa lebih banyak berperan disini adalah media televisi, koran, dan majalah. Di satu sisi banyak sekali iklan makanan yang kurang memperhatikan perilaku yang baik terhadap pola makan. Oleh sebab itu, informasi tersebut harus pula ditunjang dengan informasi ilmiah yang benar mengenai kesehatan dan gizi (Judiono, 2003).

2.2.6 Pengaruh Makan Malam Bersama Keluarga Terhadap Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar (7-12 Tahun)

Suasana dalam keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan makan anak. Hal ini dapat meningkatkan gairah makan dan membuat anak menyukai makanan yang disajikan. Suatu studi mengungkapkan, pola makan anak usia sekolah dasar dari keluarga bahagia cenderung lebih baik daripada mereka yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Hal ini dilandasi oleh tidak adanya kebiasaan makan bersama. Pola makan seorang anak pada dasarnya dapat dibentuk oleh keluarganya, kalau orang tua dapat memperhatikan pola konsumsi anak-anaknya, maka mereka bisa mengontrol dan menasihati makanan apa yang seharusnya dikonsumsi dan makanan apa yang seharusnya dihindari (Khomsan, 2010).

Makan bersama keluarga dihubungkan dengan asupan makanan yang bergizi dan sehat bagi keluarga. Pada penelitian Gillman et al (2000) menemukan makan malam keluarga banyak mengkonsumsi buah dan sayur, sedikit makanan yang berminyak dan soda, sedikit saturated and trans fat, rendah gula, dan banyak serat. Neumark-Sztainer et al (2000) juga menemukan hubungan positif antara frekuensi makan keluarga dengan asupan buah, sayuran, makanan tinggi kalsium, dan hubungan negatif dengan konsumsi soft drink.

Pada era kemajuan seperti saat ini, orang tua memang telah menjadi manusia sibuk karena urusan pekerjaan di luar rumah. Oleh karena itu kebiasaan makan bersama akhirnya luntur karena tiadanya waktu saling berkumpul, apalagi makan bersama. Orang tua yang terlalu sibuk tidak bisa menyajikan makanan


(31)

yang bergizi untuk anak-anaknya sehingga memungkinkan anak untuk memilih makanan cepat saji yaitu makanan fast food yang umumnya mengandung kalori tinggi, kadar lemak, gula, dan sodium (Na), tetapi rendah serat kasar, vitamin A, asam askorbat, kalsium, dan folat. Kandungan gizi yang tidak seimbang ini bila terlanjur menjadi pola makan, akan berdampak negatif pada keadaan gizi anak (Khomsan, 2010).

2.3 Pola Tidur Anak

Tidur merupakan suatu proses aktif yang memiliki variasi siklis normal dalam kesadaran mengenai keadaan sekitar. Berbeda dengan keadaan terjaga, orang yang sedang tidur tidak secara sadar waspada akan dunia luar, tetapi tetap memiliki pengalaman kesadaran dalam batin, misalnya mimpi. Selain itu, orang yang tidur dapat dibangunkan oleh rangsangan eksternal, misalnya bunyi alarm. Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat yang berperan sebagai lonceng biologik (Mardjono, 2009).

Karakter dan pola tidur anak mengalami suatu transisi normal dari masa bayi sampai masa dewasa, yang dipengaruhi tidak saja oleh faktor kematangan saraf, tetapi juga oleh temparamen anak dan lingkungan pengasuhan. Siklus tidur terdiri atas 2 keadaan berbeda :

1) Tidur aktif (REM) yang ditandai oleh rapid eye movement ( gerakan mata cepat), gerakan motorik, vokalisasi, mimpi, dan mudah terbangun.

2) Tidur tenang dalam atau non REM. Ada 4 tahap, yaitu :

• Tahap 1 : tahap paling pangkal dari tidur, tahap berakhir dalam beberapa menit, pengurangan aktivitas fisiologis, mudah terbangun dan jika terbangun merasa seperti melamun.

• Tahap 2 : merupakan proses tidur bersuara, kemajuan relaksasi, untuk terbangun masih relatif mudah, tahap berakhir 10-20 menit.

• Tahap 3 : tahap awal dari tidur yang dalam, tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak, otot-otot dalam keadaan relaksasi penuh, tanda


(32)

tanda vital menurun tapi tetap teratur, tahap berakhir dalam 15-30 menit.

• Tahap 4 : merupakan tahap tidur terdalam , sangat sulit membangunkan orang yang sedang tidur pada tahap ini , tanda-tanda vital menurun, tahap berakhir kurang lebih 15-30 menit.

Pola tidur rutin pada orang normal dimulai dengan periode sebelum tidur yaitu periode mengantuk. Periode ini berkembang selama kurang lebih 10-30 menit. Ketika seseorang tertidur, biasanya akan melewati 4-6 siklus tidur penuh. Tiap siklus terdiri dari 1 periode tidur REM (Rapid Aye Movement) dan 4 tahap tidur NREM. 50% waktu tidur bayi berada dalam keadaan REM, dengan interval NREM selama 50 sampai 60 menit diantara fase aktif. Sedangkan pada anak dan orang dewasa, hanya 20% dari waktu tidurnya terdiri atas tidur REM yang diselingi oleh interval 90 sampai 100 menit tidur tenang atau NREM (Rudolph, 2006). Apabila seseorang mengalami periode REM yang kurang, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya, nafsu makan bertambah dan nafsu birahinya juga akan lebih besar. Sedangkan jika NREM yang kurang, keadaan fisik menjadi kurang gesit. Dengan adanya tidur, maka manusia dapat memelihara kesegarannya, kebutuhan, dan metabolisme seluruh tubuhnya sepanjang masa (Mardjono, 2009).

2.3.1 Kebutuhan Tidur Menurut Usia

Neonatus tidur selama sekitar 18 jam sehari, dengan waktu tidur yang terdistribusi antara sepanjang siang dan malam hari. Namun, pola tidur-bangun yang cepat akan menyesuaikan diri dengan siklus siang-malam karena adanya irama sirkadian inheren dan jadwal pengasuhan oleh orangtua. Antara usia 6 dan 15 bulan, sebagian besar anak tidur sekitar 10 sampai 12 jam pada malam hari dan dua kali tidur siang, masing-masing berlangsung lebih dari 1 jam yaitu pada pagi hari dan siang hari. Setelah usia 15 bulan, anak biasanya tidur siang sekali sehari dan pada usia 4 tahun berhenti tidur siang sama sekali. Walaupun terdapat perbedaan individual yang signifikan, tetapi anak berusia 5 tahun memerlukan


(33)

sekitar 11 jam tidur malam hari, dan anak usia 10 tahun memerlukan tidur malam sekitar 9.5 jam sampai 10 jam. Sebagian besar remaja memerlukan tidur 8 sampai 9 jam setiap malam, sedangkan pada usia dewasa memiliki waktu tidur malam hari rata-rata 6-8.5 jam perhari (Rudolph, 2006).

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tidur

Menurut Alimul (2006), kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi beberapa faktor. Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur tersebut adalah :

1. Penyakit

Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien kurang tidur bahkan sampai tidak bisa tidur.

2. Latihan dan kelelahan

Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap gelombang lambat (NREM) diperpendek.

3. Stress psikologis

Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan saat tidur.

4. Obat

Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah : obat diuretik bisa menyebabkan


(34)

sesorang menjadi insomnia, anti depressan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, golongan beta blocker dapat berefek pada timbulnya insomnia, dan golongan narkotik dapat menekan REM.

5. Nutrisi

Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya triftopan yang merupakan asam amino dari protein yangg dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang juga dapat mempengaruhi proses tidur bahkan terkadang sulit tidur.

6. Lingkungan

Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat terjadinya proses tidur.

7. Motivasi

Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menyebabkan gangguan proses tidur.

2.3.3 Fungsi Tidur

1. Tidur bisa memulihkan fungsi fisiologis dan psikologis.

2. Tidur yang lelap dapat bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung. 3. Tidur untuk memperbaiki proses biologis secara rutin

• Selama NREM tahap 4, tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk meningkatkan perbaikan dan pertumbuhan sel. • Tidur NREM menjadi sangat penting khususnya pada anak-anak

yang lebih banyak mengalami tidur tahap 4. 4. Tidur memiliki peran untuk mengurangi kelelahan • Tubuh menyimpan energi selama tidur

• Otot skelet berelaksasi secara progresif dan tidak adanya kontraksi otot, menyimpan energi kimia untuk proses seluler.


(35)

• Penurunan laju metabolik basal lebih jauh menyimpan persediaan energi tubuh.

5. Tidur untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan memori dan pembelajaran

• Tidur REM dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Selama tidur, otak akan menyaring informasi yang disimpan tentang aktivitas pada hari tersebut.

2.3.4 Hubungan Tidur Malam Terhadap Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar (Usia 7-12 Tahun)

Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan ada hubungan antara tidur yang cukup terhadap berat badan anak. Jumlah waktu tidur yang tidak cukup pada anak usia sekolah (< 9.5 sampai 10 jam pada malam hari) dapat meningkatkan resiko kegemukan. Mekanisme fisiologisnya jumlah waktu tidur yang tidak cukup pada malam hari pada anak dapat menyebabkan perubahan siklus kadar ghrelin dan leptin yang berperan pada pengaturan nafsu makan (Lumeng et al, 2007).

Rasa lapar dan rasa kenyang diatur di bagian otak yaitu hipotalamus. Leptin dan ghrelin merupakan suatu hormon yang secara signifikan dapat menyebabkan pengaturan berat badan. Hormon leptin adalah salah satu hormon penting yang berperan dalam pembentukan berat badan setelah makan. Leptin bekerja di arcuate nucleus untuk menekan nafsu makan dan meningkatkan metabolic rate dengan menghambat NPY (Neuropeptida Y) dan menstimulasi melanocortin. Pada orang gemuk yang memiliki simpanan lemak yang besar lebih banyak produksi leptinnya daripada orang yang kurus. Kadar leptin di dalam darah yang tinggi (pada orang yang memiliki simpanan lemak yang tinggi) menginformasikan ke otak untuk mengurangi nafsu makan yang mana ditandai dengan pengurangan asupan makanan. Kadar leptin di dalam darah yang rendah


(36)

(pada orang yang memiliki simpanan lemak sedikit) menginformasikan ke otak untuk meningkatkan nafsu makan. Selain berperan dalam mengendalikan asupan energi (nafsu makan), leptin juga berperan dalam mengendalikan pengeluaran energi. Peningkatan leptin akan meningkatkan aktivitas fisik, pembentukan panas, dan pengeluaran energi. Hormon ghrelin dilepaskan oleh mukosa lambung ketika hormon leptin diproduksi di sel lemak. Ghrelin bekerja di hipotalamus untuk meningkatkan asupan makan dengan menstimulasi NPY neuron ( Robbins, 2007).

Terdapat hubungan antara hormon melatonin dan hormon leptin. Melatonin merupakan hormon yang diproduksi pada malam hari saat tidur, sehingga bila produksi melatonin maka akan mempengaruhi produksi leptin. Pelepasan leptin bisa menurunkan nafsu makan yang mana diatur oleh circadian pacemaker yang sebaiknya ditingkatkan pada saat tidur. Ritme sirkadian endogen (siklus bangun-tidur) mempengaruhi sirkulasi leptin, glukosa, dan kadar insulin. Penurunan jumlah waktu tidur pada malam hari dapat menurunkan sekresi leptin dan meningkatkan sekresi ghrelin selama 24 jam. Jumlah waktu tidur yang singkat ditunjukkan dengan perubahan metabolisme karbohidrat dan gangguan glucose intolerance yang bisa mempengaruhi berat badan anak. Sedangkan jumlah tidur yang lama dihubungkan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh anak sehingga memiliki resiko yang lebih sedikit untuk overweight. Penurunan kuantitas dan kualitas tidur dapat juga menyebabkan peningkatan agresi, gangguan tingkah laku, gangguan fungsi memory, dan prestasi akademik yang buruk pada anak dan dewasa muda (Lumeng et al, 2007).

2.4 Waktu Menonton Televisi

Meskipun Children’s Television Act of 1990 telah membatasi program televisi untuk anak 10.5 menit/jam dalam satu minggu dan 12 menit/jam pada akhir minggu, namun banyak anak yang menonton televisi hampir 16 menit/jam. Setiap anak menghabiskan total 6 jam sehari untuk menonton televisi, bermain video game, mendengarkan musik atau membaca majalah, namun sebagian besar orang tua tidak menanggapi hal ini dengan serius (Committee on communications, 2006) .


(37)

Masih dijumpai pertambahan waktu menonton televisi pada anak umur 2 tahun menonton televisi dari waktu yang telah direkomendasikan oleh AAP (American Academy of Pediatric). Menonton televisi pada usia dini ini berhubungan dengan gangguan memusatkan perhatian pada usia 7 tahun. Sehingga tidak dianjurkan menonton televisi pada anak usia dini. Menonton televisi dalam waktu yang lama dapat mempengaruhi kognitif, kebiasaan, dan aktivitas fisik anak termasuk juga prestasi di sekolah, perhatian, dan status gizi anak. Dalam hal ini diperlukan langkah preventif untuk menghindari pengaruh negatif televisi terhadap anak (Jordan et al, 2006).

2.4.1 Rekomendasi AAP tentang Menonton Televisi

American Academy of Pediatric telah merekomendasikan tentang panduan menonton televisi pada anak, antara lain: (Committee on public education)

1. Dokter anak sebaiknya memberikan bimbingan tentang bahaya televisi dan membuat jadwal menonton televisi untuk pasiennya.

2. Dokter anak sebaiknya mengajukan pertanyaan tentang program televisi yang ditonton oleh pasiennya secara rutin dan memberikan nasihat kepada orang tua, meliputi hal di bawah ini:

a. Berhati-hati memilih program televisi yang akan ditonton anak b. Mendiskusikan tentang program televisi yang ditonton

c. Mengajarkan kemampuan dari program yang ditonton d. Membatasi waktu menonton televisi

e. Memilih peranan tokoh televisi dengan selektif

f. Menyediakan aktivitas yang lain selain menonton televisi g. Tidak menempatkan televisi di ruang tidur anak

h. Menghindari penggunaan televisi oleh pengasuh anak.

3. Dokter anak harus mendorong orang tua untuk menghindari anaknya yang berusia di bawah 2 tahun untuk tidak menonton televisi. Hal ini disebabkan usia di bawah 2 tahun merupakan masa awal pertumbuhan otak.


(38)

4. Dokter anak sebaiknya menganjurkan tokoh televisi yang sesuai untuk anak dan membatasi waktu menonton televisi, video serta tidak meletakkan televisi di kamar tidur anak.

5. Dokter anak sebaiknya waspada dan memberikan edukasi pada orang tua, anak, remaja, guru, tentang pengaruh negatif televisi. Namun perlu juga diberi tahu manfaat dari televisi terhadap pendidikan anak.

6. Dokter anak harus bekerja sama dengan orang tua, guru, pihak sekolah dan masyarakat untuk mempromosikan televisi sebagai media edukasi.

7. Dokter anak sebaiknya melibatkan anak dengan kegiatan umum di lingkungannya serta mendorong stasiun televisi untuk menambah program pendidikan di televisi.

8. Dokter anak sebaiknya mendorong pemerintah untuk memerintahkan dan mendanai stasiun televisi dalam membuat program pendidikan dan mendemonstrasikan program televisi ini di sekolah.

9. Dokter anak sebaiknya mendorong pemerintah dan yayasan lainnya untuk melakukan penelitian terhadap media edukasi dan penelitian lainnya yang berkaitan dengan pengaruh negatif televisi.

2.4.2 Keuntungan Media Televisi

Dalam beberapa dekade, AAP telah merekomendasikan keunggulan media massa untuk anak dan remaja, salah satunya adalah televisi. Adapun keunggulan televisi adalah televisi dapat menyediakan program pendidikan untuk anak usia sekolah, menambah kreativitas dan pengetahuan anak. Namun selain televisi mempunyai keunggulan, televisi juga mempunyai pengaruh negatif bagi anak dan remaja. Tidak semua program televisi mengandung makna negatif bagi anak dan remaja. Program televisi berupa media pendidikan justru dapat mengurangi efek negatif televisi lainnya. Media ini mampu menguraikan tujuan dan pesan dari tayangan televisi sehingga anak dapat mengerti dan memahami pesan serta gambar yang dilihatnya di televisi dan memudahkan anak serta orangtua untuk memutuskan apakah mereka perlu menonton suatu tayangan televisi (Thakkar et al, 2006).


(39)

Dengan adanya media edukasi orangtua dapat membuat keputusan yang tepat seperti memilih tayangan yang kreatif untuk anak, membangun pikiran yang kritis, menambah kemampuan dan memahami masalah politik, sosial, ekonomi. Program televisi edukasi juga berhasil menambah pengetahuan anak usia prasekolah, memperbaiki perilaku dan menambah imajinasi (Thakkar et al, 2006).

2.4.3 Pengaruh Menonton Televisi Terhadap Status Gizi Anak

Televisi bisa berdampak dalam mempengaruhi status gizi anak. Televisi bisa mempengaruhi kebiasaan makan anak dan menyebabkan anak menjadi kurang gerak (kurang aktivitas). Hal ini dikarenakan sangat intensifnya anak-anak berada di depan televisi. Lamanya waktu menonton televisi diperkirakan hanya dikalahkan oleh lamanya waktu tidur. Survey di Amerika Serikat menunjukkan anak-anak prasekolah rata-rata menonton televisi 26.3 jam/minggu, 3 jam diantaranya adalah acara iklan. Iklan-iklan makanan di televisi tidak jarang menonjolkan karakteristik fisik dari makanan seperti rasa yang renyah, rasa manis, dan rasa coklat. Hal ini membuat anak-anak berkeinginan kuat segera mencicipinya. Pengaruh televisi terhadap kebiasaan makan dapat terjadi melalui dua proses. Pertama, iklan televisi akan menyebabkan alokasi pembelian jenis makanan baru yang sebelumnya tidak pernah dikonsumsi. Anak-anak yang konsumsi makannya tergantung ketersediaan pangan di rumah akhirnya terkondisi dengan jenis-jenis makanan baru yang dibeli ibunya. Akhirnya terbentuklah kebiasaan makan dengan komoditi pilihan berdasarkan iklan televisi. Kedua, makanan dalam iklan-iklan televisi seringkali ditampilkan dalam rangka menunjang suatu aktivitas. Jadi tidak sekedar memenuhi rasa lapar. Karena banyaknya aktivitas dalam hidup seseorang, maka jenis-jenis makanan yang menyertai aktivitas itu pun akan semakin banyak. Dan bila makanan-makanan tersebut bersifat low density nutrients maka ada kemungkinan kasus obsesitas akan segera muncul (Khomsan, 2010).

Dietz dan Gortmaker (1985) telah meneliti hubungan menonton televisi dengan obesitas pada anak. Dikemukakan bahwa ada hubungan positif antara jumlah waktu menonton televisi dengan frekuensi makan panganan (cemilan).


(40)

Pada saat seorang anak menonton televisi, dia tidak hanya menikmati program intinya tetapi juga terkondisi untuk menerima iklan makanan. Ada kenikmatan tersendiri bila seorang anak yang sedang nonton televisi makan panganan yang sama dengan bintang film iklan. Apapun yang dikonsumsi selama menonton televisi, selama makanan tersebut berupa panganan yang hanya padat kalori, maka dampaknya adalah kelebihan bobot badan. Survei dari kedua peneliti tersebut juga menunjukkan semakin lama seorang anak menonton televisi, maka konsumsi makanan seperti yang diiklankan dalam televisi juga meningkat. Ini membuktikan kebiasaan makan ini dapat berubah karena intervensi iklan di televisi. Penemuan lainnya adalah meningkatnya waktu menonton televisi akan membuat anak mempengaruhi pola belanja makanan orang tuanya di pasar swalayan. Pada saat orang tua akan berbelanja, anak langsung menyampaikan daftar pesanan panganan yang harus dibeli ibunya. Meningkatnya kebiasaan mengkonsumsi panganan padat kalori dan banyaknya waktu yang digunakan untuk menonton televisi membuat anak-anak rawan terhadap obesitas (Khomsan, 2010).

Menonton televisi tergolong ke dalam aktivitas ringan. Ini berarti tidak banyak energi yang terpakai, sementara itu konsumsi energi panganan meningkat terus sehingga terjadilah keseimbangan energi positif. Aktivitas anak sebelum dan sesudah era televisi tampak berbeda, dulunya anak sering bermain bersama teman-temannya di luar rumah tetapi sekarang anak lebih memilih untuk menonton televisi seharian di rumah. Oleh karena itu, orang tua harus pandai-pandai mengatur jadwal menonton televisi bagi anak-anaknya supaya energi tubuh dapat tersalurkan keluar melalui aktivitas fisik lainnya. Hari minggu/libur sebaiknya dimanfaatkan untuk rekreasi keluarga di luar rumah. Acara televisi pada hari Minggu biasanya penuh dengan hiburan yang menarik, seperti film kartun, oleh karena itu orang tua yang bijaksana harus mengajak putra-putrinya untuk beraktivitas fisik sehabis menonton acara TV di pagi hari (Khomsan, 2010).


(41)

2.5 Penilaian Status Gizi Anak 2.5.1 Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat mengkonsumsi makanan dan menggunakan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih (Almatsier, 2004). Sedangkan menurut Soekirman (2000), status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan, tubuh manusia, dan lingkungan hidup manusia.

Status gizi seorang anak pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : (Soekirman, 2000)

1. Penyebab langsung , yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya akan lemah dan pada akhirnya mempengaruhi status gizinya.

2. Penyebab tidak langsung, terdiri dari :

a. Ketahanan pangan di keluarga, terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan, dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

b. Pola pengasuhan anak, berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan kesehatan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak.

c. Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan


(42)

kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan , ditambah dengan pengalaman ibu tentang kesehatan, makin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi.

Selain itu, ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi terjadinya status gizi lebih (kegemukan) antara lain : (Salam 1989, dalam Nelly, 2008). 1. Jenis kelamin

Status gizi lebih dijumpai pada wanita terutama pada saat remaja, hal ini disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal (Arisman, 2004).

2. Umur

Anak yang status gizi lebih cenderung pada saat remaja dan dewasa serta dapat berlanjut ke masa lansia (Arisman, 2004).

3. Tingkat sosial ekonomi

Sosial ekonomi keluarga adalah keadaan keluarga dilihat dari pendidikan orang tua, status pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, penghasilan keluarga, status pekerjaan orangtua, dan jumlah anggota keluarga. Orang tua yang berpendidikan tinggi biasanya mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang tentang gizi. Menurut Hidayati, dkk (2006) peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.

4. Faktor lingkungan

Anak sekolah sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan. Kesibukan menyebabkan mereka memilih makan di luar, atau menyantap jajanan. Lebih jauh lagi kebiasaan ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan terutama iklan di televisi. Teman sebaya berpengaruh besar pada anak sekolah atau remaja dalam hal memilih jenis makanan.


(43)

5. Aktivitas fisik

Sebagian besar energi masuk melalui makanan pada anak remaja dan orang dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan banyak energi tersimpan sebagai lemak, sehingga orang-orang yang kurang melakukan aktivitas cenderung menjadi gemuk. Aktivitas fisik berkonstribusi terhadap kejadian obesitas terutama kebiasaan duduk terus-menerus, menonton televisi, penggunaan komputer, dan alat-alat berteknologi tinggi lainnya.

6. Kebiasaan makan

Orang yang banyak makan akan memiliki gejala cenderung untuk menderita kegemukan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang serat merupakan faktor penunjang timbulnya masalah kegemukan (Salam, 1989).

7. Faktor psikologis

Menurut Dariyo (2004), keadaan psikologis yang dapat menyebabkan status gizi berlebih adalah ketidakstabilan emosional yang menyebabkan individu cenderung untuk melakukan pelarian diri dengan cara banyak makan makanan yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi.

8. Faktor budaya

Kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangan merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut life style (gaya hidup). Faktor-faktor yang merupakan asupan (input) bagi terbentuknya suatu life style keluarga ialah : penghasilan, pendidikan, lingkungan kota atau desa, susunan keluarga, pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan, pendapat tentang kesehatan, pengetahuan gizi, produksi pangan. Tingkat obesitas (status gizi lebih) sangat erat hubungan nya dengan proses modernisasi (akulturasi) dan meningkatnya kemakmuran bagi sekelompok masyarakat. Pola hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) dan pola makan yang mengkonsumsi makanan siap saji (fast food)telah menjadi secular trend bagi masyarakat kita terutama di kota-kota besar.


(44)

9. Faktor genetik

Menurut Whitney dkk, (1990) dan Hegarthy (1996) genetik memegang peranan penting dalam mempengaruhi berat dan komposisi tubuh seseorang.

2.5.2 Cara Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi merupakan cara yang dilakukan untuk menilai status gizi seseorang. Pada anak, untuk mengetahui pertumbuhannya secara praktis bisa dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan anak secara teratur. Cara penilaian status gizi dapat ditentukan dengan cara penilaian langsung, meliputi : antropometri, biokimia, klinis dan biofisik atau secara tidak langsung meliputi survey konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi (Yuniastuti, 2008).

Penilaian status gizi (Yuniastuti, 2008) 1. Analisis diet

Untuk menilai kualitatif dan kuantitatif makanan dengan metode wawancara atau pencatatan makanan sehari-hari. Dari analisis diet dapat diketahui masalah-masalah yang timbul seperti kesulitan makan, kebiasaan makan, alergi makanan. Secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah metode recall 24 jam, food records, dan weighting method. Secara kualitatif akan diketahui frekuensi makan maupun cara memperoleh pangan. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah food frequency questionaire dan dietary history.

2. Pemeriksaan klinis

a. Gizi kurang : Kelainan fisik tidak jelas, anak hanya tampak kurus b. Gizi buruk : Marasmus, Kwashiorkor

Marasmus : Anak tampak sangat kurus, wajah seperti orangtua, cengeng, perut umumnya cekung, dan kulit keriput seperti baggy pants (pakai celana longgar).


(45)

Kwashiorkor : Anak tampak edema, wajah nampak membulat, pandangan mata sayu, rambut tipis serta kemerahan seperti warna rambut jagung, pembesaran hati, otot mengecil, dan perubahan status mental.

3. Antropometri

Antropometri adalah pengukuran berbagai dimensi fisik tubuh manusia pada berbagai usia. Pengukuran antropometri terdiri atas dua dimensi, yaitu pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Di Indonesia pengukuran antropometri banyak digunakan dalam kegiatan program maupun dalam penelitian salah satu adalah berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Secara umum pengukuran antropometri memiliki kelebihan sebagai berikut : 1. Penggunaannya sederhana, aman, dan tidak mencederai, dan dapat

untuk ukuran sampel yang besar.

2. Peralatan yang digunakan tidak mahal, portable, tahan lama, dan dapat dibuat atau dibeli secara lokal.

3. Dapat dilakukan oleh petugas yang relatif tidak ahli sehingga petugas lapangan yang dilatih dengan baik dapat melaksanakan dengan teliti. 4. Dapat diperoleh informasi tentang riwayat gizi masa lampau, sesuatu

yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain.

5. Dapat digunakan untuk melakukan pemantauan status gizi dari waktu ke waktu, atau dari satu generasi ke generasi ke generasi berikutnya. 6. Dapat digunakan untuk melakukan screening test dalam rangka

mengidentifikasi individu yang beresiko terhadap malnutrisi. Pengukuran antropometri juga memiliki kelemahan, antara lain :

1. Kurang sensitif apabila dibandingkan dengan cara lain.

2. Dapat mendeteksi gangguan status gizi yang terjadi dalam periode waktu singkat, tetapi tidak dapat mengidentifikasi defisiensi zat gizi khusus.


(46)

3. Tidak dapat membedakan gangguan pertumbuhan atau komposisi tubuh yang disebabkan oleh defisiensi tertentu (misanya Zn) dengan defisiensi yang disebabkan oleh gangguan intake energi dan protein. 4. Faktor-faktor non gizi (penyakit genetik) dapat mengurangi spesifisitas

dan sensitivitas pengukuran antropometri, tetapi efek ini dapat dihilangkan atau dipertimbangkan melalui desain percobaan dan sampling yang lebih baik.

Dalam penilaian status gizi melalui pengukuran antropometri bisa juga menggunakan persen (%) untuk menilai status gizi kurang, baik, atau lebih.

Kategori status gizi berdasarkan antropometri : a. Berat badan

BB/U dibandingkan pada buku yang diacu , dalam % : Interpretasi :

• 80-120% : gizi baik

• 60-80% : gizi kurang (tanpa edema), buruk (ada edema) • <60% : gizi buruk

b. Tinggi badan

Evaluasi TB memerlukan data : umur, seks, standar baku yang diacu, TB diplot pada kurva TB dinyatakan dalam %:

Interpretasi :

• < sentil 5 : defisiensi berat

• sentil 5-10 : defisiensi nutrisi/genetik

Penentuan status gizi bisa ditentukan menngunakan Eid Index yaitu perbandingan berat badan aktual dengan berat badan ideal dalam persen. Berat badan ideal dapat diketahui dengan bantuan grafik CDC – NCHS 2000 sesuai jenis kelamin dan usia anak yaitu dengan memproyeksikan hasil pengukuran tinggi badan ke kurva persentil 50 tinggi badan, lalu ke kurva persentil 50 berat badan. BB menurut TB (BB/TB) : lebih akurat mencerminkan proporsi tubuh (CD


(47)

BB/TB% = BB terukur saat itu dibagi BB baku dari pengukuran TB saat itu x100%

Interpretasi :

• < 70% : malnutrisi berat • >70-80% : malnutrisi sedang • >80-90% : malnutrisi ringan • >90-110% : normal

• >110-120% : overweight • > 120% : obesitas


(48)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

m

3.2 Variabel dan definisi operasional

• Pendidikan orang tua adalah tingkat pendidikan formal terakhir ayah maupun ibu yang pernah diikuti dan diselesaikan sampai memperoleh ijazah.

Cara ukur : wawancara Alat ukur : kuesioner Skala pengukuran : ordinal

Kategori : pendidikan dasar : SD – SMP

pendidikan lanjut : SMA - Perguruan Tinggi • Pekerjaan orang tua adalah kegiatan yang dilakukan sehari-hari ayah

maupun ibu

Cara ukur : wawancara Alat ukur : kuesioner Skala pengukuran : ordinal Makan malam bersama

keluarga

Tidur malam

Kuantitas menonton televisi

Status gizi anak usia 7-12 tahun

• Gizi Kurang • Gizi Normal • Gizi Lebih


(49)

Kategori : 1. Bekerja : PNS, wiraswasta, buruh/tani 2. Tidak bekerja : IRT (Ibu Rumah Tangga) • Pendapatan orang tua adalah jumlah pendapatan total keluarga selama

satu bulan dalam satuan rupiah berdasarkan upah minimum regional wilayah Provinsi Bengkulu .

Cara ukur : wawancara Alat ukur : kuesioner Skala pengukuran : ordinal

Kategori : penghasilan rendah : < 815.000 penghasilan tinggi : > 815.000

• Anak usia sekolah dasar adalah anak yang berusia 7-12 tahun

• Makan adalah memasukkan makanan pokok (nasi) ke dalam mulut serta mengunyah dan menelannya.

• Makan malam bersama keluarga adalah makan malam bersama ibu dan salah satu atau dua anggota keluarga lain (ayah, kakak, abang, atau adik).

Cara ukur : wawancara Alat ukur : kuesioner Skala pengukuran : ordinal

Kategori : rutin : 6 atau 7 kali tidak rutin : < 6 kali

• Makan pagi bersama keluarga adalah makan pada pagi hari bersama ibu dan salah satu atau dua anggota keluarga lain (ayah, kakak, abang, atau adik).

Kategori : selalu : diberi nilai 3 kadang-kadang : diberi nilai 2

jarang : diberi nilai 1

• Tidur adalah periode alamiah kesadaran yang terjadi ketika tubuh direstorasi (diperbaiki) yang dicirikan oleh rendahnya kesadaran dan keadaan metabolisme tubuh yang minimal.


(50)

• Pola tidur adalah kuantitas dan kualitas tidur seseorang. Kualitas tidur dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya.

Untuk melihat pola tidur anak digunakan CSHQ (Children’s Sleep Habits Questionnaire)

Kategori : selalu : diberikan nilai 3 kadang-kadang : diberikan nilai 2 jarang : diberikan nilai 1

• Tidur yang cukup adalah jumlah atau kuantitas tidur pada malam hari yang normal menurut usia.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner

Skala pengukurannya : ordinal

Kategori : cukup : 9.5 sampai 10 jam tidak cukup : < 9.5 jam

• Menonton televisi adalah melihat sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar.

Cara Ukur : wawancara Alat ukur : kuesioner Skala pengukuran : ordinal

Kategori : selalu : diberi nilai 1 kadang-kadang : diberi nilai 2

jarang : diberi nilai 3

• Kuantitas menonton televisi adalah waktu yang digunakan oleh anak untuk menonton televisi.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner


(51)

Kategori : baik : < 2 jam perhari

buruk : > 2 jam perhari

• Status gizi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tentang gizi seseorang. Dapat diukur dengan alat timbangan badan untuk berat badan dan meteran untuk tinggi badan kemudian disesuaikan dengan ketentuan Eid Index dengan acuan grafik CDC-NCHS 2000 sesuai jenis kelamin dan usia anak.

Berat badan adalah berat badan yang diukur dengan timbangan dalam kilogram (kg). Tinggi badan adalah tinggi badan yang diukur dengan meteran dalam sentimeter (cm).

BB/TB% = BB terukur saat itu dibagi BB baku dari pengukuran TB saat itu x 100%

Interpretasi : 1. <70% : malnutrisi berat 2. >70-80% : malnutrisi sedang 3. >80-90% : malnutrisi ringan 4. >90-110% : normal

5. >110-120% : overweight 6. > 120% : obesitas

Kategori : 1. Gizi kurang : jika status gizi malnutrisi 2. Gizi normal : jika status gizi normal 3. Gizi lebih : jika status gizi overweight

dan obesitas

3.3 Hipotesa

Ho : tidak adanya hubungan antara rutinitas anak meliputi makan malam bersama keluarga, tidur malam, dan kuantitas menonton televisi terhadap status gizi pada anak usia 7-12 tahun.

Ha : ada hubungan antara rutinitas anak meliputi makan malam bersama keluarga, tidur malam, dan kuantitas menonton televisi terhadap status gizi pada anak usia 7-12 tahun.


(52)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian analitik ini diharapkan dapat mencari hubungan antar variabel yaitu untuk menilai hubungan antara rutinititas anak yaitu makan malam bersama keluarga, tidur malam, dan kuantitas menonton televisi terhadap status gizi pada anak usia Sekolah Dasar. Pengambilan data dengan pendekatan cross sectional yaitu pengambilan data dilakukan pada suatu saat (point time approach). Pengukuran pada subjek penelitian hanya sekali saja (Notoatmodjo, 2005).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan dengan pertimbangan bahwa di sekolah tersebut masih banyak dijumpai masalah gizi pada anak baik itu status gizi kurang maupun gizi lebih dan belum ada dilakukan penelitian sebelumnya.

Penelitian ini akan dilakukan selama 2 minggu, yaitu dimulai pada pertengahan Juli sampai bulan Agustus.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi target adalah semua anak dengan usia 7 sampai 12 tahun. Populasi terjangkau adalah populasi target yang berusia 7 – 12 tahun SDN 20 Manna Bengkulu Selatan.

Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Responden adalah orangtua murid yang akan dijadikan sampel.

Pengambilan sampel dengan populasi terbatas dilakukan dengan menggunakan rumus (Wahyuni, 2008):


(53)

N = besar sampel

Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku pada α tertentu. Sesuai derajat kemaknaan 95%, yaitu 1.96 p = harga proporsi di populasi

Bila proporsi sebelumnya tidak diketahui, maka dipergunakan p=0.5 (Sastroasmoro, 2008)

d = kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir, yaitu 0.1 N = jumlah populasi

Setelah dilakukan perhitungan menggunakan rumus di atas dengan perkiraan jumlah populasi 352 didapatkan hasilnya 76 , maka jumlah sampel sebesar 76 anak. Kemudian ditambah sampel sebanyak 10%, sehingga sampel seluruhnya menjadi 84 sampel.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2008). Kriteria inklusi:

• Anak yang berusia 7-12 tahun dalam keadaan sehat • Anak yang mendapat persetujuan dari orang tua • Anak yang tinggal satu rumah dengan orang tua


(54)

Kriteria eksklusi:

• Anak yang menolak diteliti

• Anak yang sedang mengalami sakit

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini cara pengumpulan data menggunakan cara wawancara yaitu melakukan pengumpulan data

1. Data primer adalah data yang berasal dari sampel penelitian. Data primer yang diperoleh yaitu :

a. Penilaian status gizi anak melalui pemeriksaan antropometri meliputi penimbangan berat badan (kg) dan pengukuran tinggi badan (cm) kemudian disesuaikan berdasarkan grafik indeks persentasi BB/TB standar CDC-NCHS 2000 .

b. Informasi rutinitas anak dirumah yang diperoleh dengan memberikan kuesioner kepada responden dimana yang menjadi respondennya adalah orangtuanya. Pengisian kuesioner dilakukan saat itu juga ketika peneliti melakukan kunjungan, agar didapat respons rate yang tinggi. Kuesioner akan dijelaskan secara menyeluruh sampai benar-benar dimengerti dan dapat diisi secara benar oleh responden.

2. Data sekunder

Data diperoleh dari Sekolah Dasar Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan antara lain data jumlah siswa, nama-nama siswa,umur siswa, dan alamat orangtua.


(55)

4.5 Teknik Pelaksanaan Penelitian

• Setelah mendapat izin dari Komite Etik Penelitian FK USU serta mendapat izin dari Kepala Sekolah SD Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan dikumpulkan anak usia 7 sampai 12 tahun.

• Semua peserta dicatat identitasnya yaitu nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, dan nomor telepon yang dapat dihubungi, dan nama orangtua/wali..

• Diberikan lembar penjelasan dan lembar persetujuan penelitian untuk diisi oleh orangtua masing-masing murid.

• Setelah lembar persetujuan diisi oleh orangtua, anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan ke dalam sampel penelitian. • Dilakukan pemeriksaan antropometri, anak yang menjadi sampel akan

diukur berat badan dan tinggi badannya. Setelah mendapat hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan anak, kemudian dilakukan penilaian status gizi menggunakan Eid Index yaitu perbandingan berat badan aktual dengan berat badan ideal disesuaikan dengan grafik CDC-NCHS 2000 .

• Diberikan kuesioner yang akan diisi oleh orangtua yang sebelumnya telah dijelaskan oleh peneliti cara pengisian kuesioner, dilihat rutinitas anak sehari-hari di rumah meliputi frekuensi makan malam bersama keluarga, lama tidur malam, dan lamanya menonton televisi.

4.6 Pengolahan dan Analisa Data

Data dari setiap responden akan dimasukkan ke dalam komputer oleh peneliti. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas yaitu makan malam bersama keluarga, tidur malam, dan kuantitas menonton televisi terhadap status gizi dipakai analisis Chi Square atau uji Kai-Kuadrat (Uji x2). Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 17.0.


(56)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Sekolah Dasar Negeri 20 Manna Bengkulu Selatan merupakan salah satu Sekolah Dasar Negeri yang berdiri sejak tahun 1983 dan berlokasi di Jalan Kapten Saleh, Kelurahan Padang Kapuk, Kecamatan Kota Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu, Indonesia. Saat ini telah melakukan banyak pembenahan dari seluruh komponen yang ada, baik peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pelaksana seluruh kegiatan yang ada di SDN 20, maupun pembangunan sarana dan prasarana dalam upaya mendukung proses belajar mengajar yang dilakukan secara berkesinambungan.

SDN 20 Manna Bengkulu Selatan memiliki ruang belajar sebanyak 13 lokal, 1 ruang guru, 1 ruang perpustakaan, 1 ruang laboratorium komputer ,dan 3 kantin. SDN 20 Manna Bengkulu Selatan dipegang oleh Takril, S.Pd sebagai Kepala Sekolah serta dibantu 25 orang guru ( 4 pria dan 21 wanita).

5.2 Deskripsi Karakteristik Responden 5.2.1 Jenis kelamin Responden

Gambaran penyebaran responden penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) Laki-laki

Perempuan

9 81

10 90


(57)

Dari tabel yang disajikan di atas terlihat orang tua yang menjadi responden dalam penelitian ini kebanyakan perempuan (ibu) daripada laki-laki. Jenis kelamin perempuan mencapai 81 orang (90%) dan laki-laki hanya 9 orang (10%).

5.2.2 Umur Responden

Gambaran penyebaran responden penelitian berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.2 Distribusi Umur Responden

Umur (tahun) Frekuensi Persentase (%) 25-30 31-35 36-40 41-45 46-50 8 27 22 27 6 8.9 30.0 24.4 30.0 6.7

Total 90 100

Dari tabel yang disajikan di atas dapat diketahui bahwa kelompok umur responden (orang tua) terbanyak adalah pada usia antara 31-35 tahun dan 41-45 tahun yaitu masing-masing sebanyak 27 orang (30%), sedangkan yang paling sedikit terdapat pada usia 46-50 tahun yaitu sebanyak 6 orang (6.7%).

5.2.3 Pendidikan Responden

Gambaran penyebaran responden penelitian berdasarkan pendidikan responden (orang tua) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Responden

Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

Pendidikan rendah Pendidikan tinggi 34 56 37.8 62.2


(1)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .637a 2 .727

Likelihood Ratio .640 2 .726

Linear-by-Linear Association .624 1 .430

N of Valid Cases 90

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.87.


(2)

kategoristatusgizi * frekuensimakanmalambersama Crosstabulation

frekuensimakanmalamb ersama

Total tidak rutin rutin

kategoristatusgizi gizi kurang Count 0 12 12

% within frekuensimakanmalamber

sama

.0% 13.8% 13.3%

gizi normal Count 3 61 64

% within frekuensimakanmalamber

sama

100.0% 70.1% 71.1%

gizi lebih Count 0 14 14

% within frekuensimakanmalamber

sama

.0% 16.1% 15.6%

Total Count 3 87 90

% within frekuensimakanmalamber

sama


(3)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.261a 2 .532

Likelihood Ratio 2.087 2 .352

Linear-by-Linear Association .005 1 .942

N of Valid Cases 90

a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .40.

kategoristatusgizi * kuantitastiduranak Crosstabulation

kuantitastiduranak

Total tidak

cukup cukup

kategoristatusgizi gizi kurang Count 1 11 12

% within kuantitastiduranak 5.3% 15.5% 13.3%

gizi normal Count 6 58 64

% within kuantitastiduranak 31.6% 81.7% 71.1%

gizi lebih Count 12 2 14

% within kuantitastiduranak 63.2% 2.8% 15.6%

Total Count 19 71 90


(4)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 41.553a 2 .000

Likelihood Ratio 34.585 2 .000

Linear-by-Linear Association 25.596 1 .000

N of Valid Cases 90

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.53.

kategoristatusgizi * lamamenontontelevisi Crosstabulation

lamamenontontelevisi

Total buruk baik

kategoristatusgizi gizi kurang Count 0 12 12

% within lamamenontontelevisi

.0% 19.7% 13.3%

gizi normal Count 17 47 64

% within lamamenontontelevisi

58.6% 77.0% 71.1%

gizi lebih Count 12 2 14

% within lamamenontontelevisi

41.4% 3.3% 15.6%


(5)

kategoristatusgizi * lamamenontontelevisi Crosstabulation

lamamenontontelevisi

Total buruk baik

kategoristatusgizi gizi kurang Count 0 12 12

% within lamamenontontelevisi

.0% 19.7% 13.3%

gizi normal Count 17 47 64

% within lamamenontontelevisi

58.6% 77.0% 71.1%

gizi lebih Count 12 2 14

% within lamamenontontelevisi

41.4% 3.3% 15.6%

Total Count 29 61 90

% within lamamenontontelevisi


(6)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 24.986a 2 .000

Likelihood Ratio 27.559 2 .000

Linear-by-Linear Association 22.495 1 .000

N of Valid Cases 90

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.87.


Dokumen yang terkait

Hubungan Antara Pola Makan dengan Status Gizi Pada Anak Murid 9-12 Tahun di Sekolah Dasar Advent 2 di Kecamatan Medan Selayang

17 133 68

Status Gizi Anak Pra-Sekolah Usia 3 Sampai 5 Tahun Di Pinggiran Sungai Deli

11 76 71

Hubungan Konsumsi Kalori Harian dengan Status Gizi Anak Usia 6-12 Tahun di Panti Asuhan Mamiyai Al Ittihadiyah, Medan Tahun 2011

1 26 80

Pola Asuh Dan Status Gizi Anak Usia 0-36 Bulan Di Desa Kutambaru Kecamatan Kutambaru Kabupaten Langkat Tahun 2010

1 31 90

Hubungan Status Gizi Anak Usia Masuk Sekolah Dasar dengan Status Gizi Anak Balita dan Keadaan Sosial Ekonomi Keluarga

0 5 94

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI, KARBOHIDRAT, DAN PROTEIN DARI MAKANAN JAJANAN DENGAN STATUS GIZI ANAK SEKOLAH DASAR USIA 9 12 TAHUN

0 3 58

HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH DI SD N GODOG I POLOKARTO SUKOHARJO.

0 0 17

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS HIDUP IBU DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 - 12 TAHUN DI SDN REJODANI SARIHARJO NGAGLIK Hubungan Antara Kualitas Hidup Ibu Dengan Status Gizi Anak Usia 6-12 Tahun di SDN Rejodani Sariharjo Ngaglik Sleman.

0 0 13

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS HIDUP IBU DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 - 12 TAHUN DI SDN REJODANI SARIHARJO NGAGLIK Hubungan Antara Kualitas Hidup Ibu Dengan Status Gizi Anak Usia 6-12 Tahun di SDN Rejodani Sariharjo Ngaglik Sleman.

0 0 15

Hubungan Antara Status Gizi Dengan Prestasi Belajar Pada Anak Sekolah Dasar bab 1

0 0 5