KONSTRUKSI AKHLAK ISLAM DALAM NOVEL “SUJUD CINTA DI MASJID NABAWI” KARYA PUTRI INDAH WULANDARI

48

Discovery Vol.1 No.2 September 2016

KONSTRUKSI AKHLAK ISLAM DALAM NOVEL
“SUJUD CINTA DI MASJID NABAWI”
KARYA PUTRI INDAH WULANDARI
Heny Subandiyah
Universitas Negeri Surabaya
(heny_sentul@yahoo.co.id)
Abstract
Novel is one of literary work genres which can reflect the real life phenomena of human
both as the individual and part of society. Novel is interesting to investigate because it can be able
to contain the phenomena which happened in past time, today, and future time. In the era of 2000th,
the amount of Indonesian literary novels which refers to Al-Quran and Hadith are increasing and
becomes phenomenal. Those novels also show the author’s concern in every life problems faced by
Indonesian society. The Islamic teachings are constructed in the novel by the esthetic and avoiding
dogmatic technique of presentation. It means, the Islamic teachings are applicated in society and
nationality life through the characters in the novel that is colored by romantic love story inside which
prioritizing ethics value, morality, and Islam. The focus of this article is how the Islamic teaching has
a strong correlation with the behavior in Putri Indah Wulandari’s ‘Sujud Cinta di Masjid Nabawi’.

Through the sociology of literature approach, the finding of this research shows that expressing
the Islamic and nice values of behavior in the novel is important because one of novel functions
is becoming the character education device for Indonesia which recently loss its self-identity of
civilized and religious country. Besides, it also can be the media for reconditioning ethics, attitudes,
behaviours, morals, and language usages of society. It shapes Indonesian to become the society that
has good ethics and morals, in their attitudes, behaviors, and language usages.
Key words: Islamic teaching construction, behavior, muamalah, national character
education

Pendahuluan
Karya sastra merupakan salah unsur kebudayaan nasional yang dapat digunakan untuk
menggambarkan kehidupan manusia pada suatu masa. Novel merupakan salah satu dari tiga
jenis karya sastra yang menarik karena mampu merefleksikan berbagai fenomena yang terjadi
dalam masyarakat, baik yang terjadi pada masa lampau, masa kini, maupun pada masa yang
akan datang. Dalam sejarahnya, novel memiliki kekhasan yang membedakan antara satu masa
dengan masa lainnya. Perbedaan tersebut dilatari oleh adanya berbagai peristiwa yang terjadi
dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tempat karya tersebut lahir, yang terus berubah.
Penelitian terhadap karya sastra termasuk novel penting dilakukan, mengingat salah
satu fungsi karya satra adalah memberikan memberikan manfaat bagi pembacanya. Dalam hal
ini Wiyatmi (2012: 197) memperkuat pendapatnya bahwa novel juga mampu menggerakkan

masyarakat agar bersikap, berperilaku, dan bertindak sebagaimana yang disarankan dalam
ceritanya baik secara implisit maupun eksplisit. Melalui kehadiran para tokoh dalam karya
sastra (baca: novel) diharapkan mampu berperan menggerakkan masyarakat menjadi lebih peka
dan responsif dalam menghadapi problema masyarakat.
Di Era 2000-an telah lahir novel-novel sastra Indonesia yang mempunyai karakteristik
berbeda dengan novel-novel yang terbit sebelumnya. Novel-novel tersebut banyak
merekonstruksikan ajaran Islam, baik yang berhubungan dengan Iman, Islam, Ihsan, akhlak, dan
muamalah, baik yang berhubungan dengan masyarakat maupun individu. Kondisi ini menarik

Heny Subandiyah : Konstruksi Akhlak Islam Dalam Novel .....

49

untuk diteliti agar pembaca memahami fenomena apa saja yang telah muncul dan nilai-nilai
kehidupan apa saja yang dapat dipetik dari novel-novel tersebut. Sejalan dengan ini Rosmiati
(2009:129) menyampaikan bahwa karya sastra merupakan sumber informasi mengenai tingkah
laku, nilai-nilai, dan cita-cita yang ada dalam masyarakat melalui tokoh-tokoh dalam karya
sastra.
Novel-novel sastra Indonesia tahun 2000-an yang mengedepankan ajaran-ajaran Islam
tersebut dibumbui cerita percintaan. Namun, novel-novel tersebut mampu mengkonstruksikan

berbagai fenomena sosial dan ajaran Islam yang telah diaplikasikan ke dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Fenomena sosial yang dimaksud menyangkut
kekuasaan, kekeluargaan, pendidikan, sosial, fitnah, ketegaran, kesulitan, etika, dakwah,
kesabaran. Contoh-contoh untuk novel yang dimaksud antara lain Ayat-ayat Cinta (2004), Ketika
Cinta Bertasbih (2007), Dalam Mihrab Cinta (2010), Bumi Cinta (2010), Cinta Suci Zahrana
(2011), kelimanya karya Habiburrahman El Shirazy. Selanjutnya Sujud Cinta di Masjid Nabawi
(2011) karya Putri Indah Wulandari, Bumi Makkah (2011) karya Vanny Chrisma W., Melodi
Terakhir Sang Muazin Subuh (2011) karya Atim R.Anjana, Negeri 5 Menara karya A.Fuadi,
dan Khutbah di Bawah Lembah (2012) karya S. Jai, Trilogi Syaikh Siti Jenar (2006 dan 2007)
karya Agus Suyoto.
Salah satu alasan mengapa penelitian terhadap novel-novel jenis ini menarik untuk
diteliti adalah bahwa meskipun berisi ajaran-ajaran Islam, tetapi penyampaiannya tidak secara
dogmatis. Pengarang melalui kepiawaiannya telah mengungkapkan ajaran dengan cara estetis
baik melalui pemakaian bahasa yang indah maupun dari aspek isi ceritanya. Tampilan para tokoh
dengan segala problematika kehidupannya disajikan dengan cara yang halus, tidak berkesan
menggurui. Konflik antartokoh dihadirkan secara wajar yakni menyentuh ranah kehidupan
manusia yang mendasar yakni hubungan cinta antara manusia muda. Namun, percintaan tidak
disampaikan dengan cara yang vulgar melainkan dihiasi dengan adegan-adegan atau perilaku
tokoh yang mengedepankan nilai-nilai etika, moral, dan agama Islam.
Teknik penyajian yang estetis tentang ajaran Islam oleh pengarang tersebut membuat

karya-karya mereka sangat mudah dicerna oleh masyarakat. Ajaran Islam tersebut sangat tepat
digunakan sebagai media pendidikan karakter masyarakat Indonesia pada umumnya. Pendidikan
karakter masyarakat pada umumnya melalui karya sastra sangat penting dan sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Melalui pendidikan karakter diharapkan
kemerosotan etika dan moral bangsa Indonesia dapat diminimalisasi.
Adapun bentuk-bentuk kemerosotan etika dan moral bangsa Indonesia saat ini dapat dilihat
dari perilaku, sikap, dan tutur bahasa masyarakat yang negatif, seperti anarkis, suka berkelahi,
suudzon, suka menghujat, suka mencari kesalahan orang lain, serta suka menyebarluaskan
kesalahan dan rahasia orang lain. Berbagai perilaku tersebut menimbulkan berbagai konflik
dan ketidaktenteraman dalam kehidupan masyarakat bahkan menimbulkan kegoncangan dalam
sistem pemerintahan Indonesia (Supratno, 2011: 2). Sejalan dengan pendapat tersebut, Mu’in
(2011: 8-9) menyampaikan bahwa setelah era reformasi datang di bumi pertiwi, bangsa ini suka
bunuh-bunuhan, provokasi, sentimen antarsuku, antaragama, kekerasan antaragama, mudah
menyelesaikan masalah dengan cara anarkis. Kejahatan, kriminalitas, pencurian, dan kekerasan
horisontal masih sering terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Berdasarkan berbagai latar belakang tersebut maka penelitian terhadap novel-novel
religius ini penting dilakukan. Namun, dalam kesempatan ini akan dianalisis salah satu judul
novel yaitu Sujud Cinta di Masjid Nabawi (2011) karya Putri Indah Wulandari. Dari judulnya
dapat dibaca bahwa novel ini tergolong novel religius yang sarat dengan simbol Islam, yaitu kata
sujud dan masjid. Sujud adalah gerakan umat Islam dalam menjalankan ibadah utamanya yaitu

salat. Masjid adalah tempat ibadah yang identik dengan dan sebuah tempat yang dimuliakan

50

Discovery Vol.1 No.2 September 2016

oleh umat Islam. Satu lagi yang membuat penelitian terhadap novel ini menarik dan penting
dilakukan adalah dari segi pengarangnya, yakni perempuan. Bagaimana penyajian unsur
akhlak dan muamalah yang terdapat dalam novel karya perempuan pengarang tersebut, yang
membedakan dengan novel karya pengarang lainnya sangat menarik untuk diungkapkan.
Penelitian terhadap novel-novel religius telah banyak dilakukan. Beberapa contoh antara
lain oleh Desi, dkk (2010) yang meneliti Negeri 5 Menara karya A.Fuadi yang menghasilkan
pengungkapan nilai moral adat, yaitu menghormati leluhur dan keteladanan orang tua, disiplin
diri, tanggung jawab, bekerja keras, tanggung jawab, tolong-menolong, ikhlas, berserah diri dan
selalu bersyukur kepada Tuhan. Selanjutnya Yetti (2012), yang meneliti novel berjudul Khotbah
di Atas Bukit karya Kuntowijoyo. Adapun hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Novel
Kuntowijoyo yang berjudul Khotbah di Atas Bukit yang menghasilkan pengungkapan nilainilai religiusitas yang dituangkan dalam bentuk yang khas, yaitu penuh dengan kritik tajam dan
sindiran yakni akibat merajalelanya kemiskinan.
Selanjutnya Saraswati (2011) meneliti Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi yang
menghasilkan pengungkapan kehidupan yang dikendalikan oleh superego yang berasal dari nilainilai agama yang dianut tokoh dan menjadikan ego tokoh bersikapkan nilai-nilai agama. Penelitain lain

dilakukan oleh Sutejo (2013) terhadap novel berjudul Trilogi Syaikh Siti Jenar karya Agus Suyoto
(Kajian Etnosufistik) yang menghasilkan pengungkapan ajaran berguru, ajaran ketuhanan,
ajaran makrifatullah, ajaran kefanaan, dan ajaran rukun Islam.
Konstruksi Sosial, Konsep Ajaran Islam, Konsep Akhlak, dan Konsep Muamalah
Konstruksi sosial (social construction) merupakan teori sosiologi kontemporer yang
berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan
dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk
memahaminya. Kenyataan adalah suatu realitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang
diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak bergantung pada kehendak
manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real)
dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 1990:1).
Dalam memahami teori konstruksi sosial, digunakan teori Bergerian yaitu eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi (Manuaba, 2010: 221-225). Ketiga hal tersebut memiliki hubungan
dasar dan dipahami sebagai satu proses yang berdialektika satu sama lain. Masing-masing dari
ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial.
Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia; melalui objektivasi, masyarakat
menjadi realitas sui generis, unik; dan melalui internalisasi, manusia merupakan produk
masyarakat. Ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada
di luar (objektivasi), dan lebih lanjut ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi)
sehingga yang berada di luar seakan-akan berada di dalam diri.

Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus-menerus ke dalam dunia
baik dalam aktivitas fisis maupun mental. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis;
keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang
tertutup dan tanpa-gerak. Keberadaannya harus terus-menerus mencurahkan kediriannya
dalam aktivitas. Keharusan antropologis itu berakar dalam kelengkapan biologis manusia yang
tidak stabil untuk berhadapan dengan lingkungannya (Berger dan Luckmann, 1990:75; Berger,
1994:5-6).
Masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena eksternalisasi. Produk
manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada di luar dirinya, menghadapkan produkproduk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya. Meskipun semua produk kebudayaan berasal

Heny Subandiyah : Konstruksi Akhlak Islam Dalam Novel .....

51

dari (berakar dalam) kesadaran manusia, namun produk bukan serta-merta dapat diserap kembali
begitu saja ke dalam kesadaran. Kebudayaan berada di luar subjektivitas manusia, menjadi
dunianya sendiri. Dunia yang diproduksi manusia memperoleh sifat realitas objektif (Berger,
1994:11-12). Semua aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi, menurut Berger dan
Luckmann (1990:75-76), dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang kemudian
mengalami pelembagaan (institusionalisasi) (Berger dan Luckmann, 1990:75-76).

Internalisasi adalah suatu pemahaman atau penafsiran individu secara langsung atas
peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna. Berger dan Luckmann (1990:87) menyatakan,
dalam internalisasi individu mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau
organisasi sosial dimana individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan peresapan
kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia
objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif (Berger, 1994:5).
Ajaran Islam adalah seperangkat aturan yang bersumber dari Alquran dan Hadits agar
ditaati oleh manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia yang
dapat menjalankan segala perintah Allah dan Rasul-Nya dan dapat menjauhi segala laranganNya termasuk orang-orang yang bertakwa agar mencapai kriteria sebagai manusia terpilih.
Ibadah merupakan pengabdian kepada Tuhan dan merupakan tujuan penciptaan manusia dan
makhluk lainnya.
Akhlak merupakan pondasi utama dalam pembentukan karakter pribadi manusia.
Untuk merealisasikan akhlak dalam kehidupan, perlu adanya pembinaan secara terus-menerus
(Sylviyanah, 2012:191). Akhlak merupakan warisan maknawi Rasulullah yang amat bernilai
karena Rasulullah diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak merupakan
asas untuk memperbaiki perangai, adab, dan kesempurnaan pribadi. Akhlak merupakan asas
bagi suatu bangunan karena bangunan tidak dapat ditegakkan dengan baik dan kuat tanpa asas
yang kukuh. Akhlak dibagi menjadi dua, yaitu akhlak baik dan akhlak buruk. (Yalawae dan
Farid, 2007:71-83).
Bidang kajian akhlak adalah tingkah laku manusia, baik yang bernilai baik (mulia) atau

yang bernilai buruk (tercela). Yang dinilai dalam akhlak adalah tingkah laku manusia dalam
berhubungan dengan Tuhan, dengan sesamanya, dan dengan makhluk hidup yang lain seperti
binatang dan tumbuhan serta benda-benda mati yang juga merupakan makhluk Tuhan. Akhlak
merupakan konsep kajian terhadap ihsan, yaitu ajaran tentang penghayatan akan hadirnya Tuhan
dalam hidup. Dengan kata lain, ihsan merupakan puncak tertinggi dari keislaman seseorang
sehingga dia disebut kaffah. Dalam kehidupan sehari-hari ihsan tercermin dalam bentuk akhlak
yang mulia (al-akhlak al-karimah) (Supratno, 2015).
Konstruksi Akhlak Islam dalam Novel Sujud Cinta di Masjid Nabawi
Novel Sujud Cinta di Masjid Nabawi menceritakan tentang seorang tokoh perempuan
yang salehah yang mampu memberikan teladan bagi pembaca khususnya muslimah. Teladan
yang diberikan sang tokoh ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari baik sebagai seorang gadis
maupun sebagai umat Islam. Shabrina Lailatun Nida, dipanggil Nida, beribu Indonesia dan
berayah Kufah. Garis keturunan ini sudah cukup menggambarkan bagaimana pengarang
menampilkan sosok tokoh utama dari segi fisik. Sebagaimana umumnya gadis berdarah
campuran, Nida pastilah seorang gadis cantik dan menarik hati siapa pun yang melihatnya.
Nida kelahiran Indonesia dan sempat dibesarkan sebentar di Indonesia karena mereka
sekeluarga pindah ke Kufah. Pada saat remaja dia kembali ke Indonesia untuk belajar di
pesantren Husnul Khotimah yang khusus menyiapkan generasi tahfizh dan tahfizhah Quran.
Saat belajar dia bersahabat dengan Maryam Muhsin yang berasal dari Madinah. Dari cerita-


52

Discovery Vol.1 No.2 September 2016

cerita sahabatnya, tanpa disadari Nida jatuh cinta pada saudara kembar Maryam bernama
Muhammad Muhsin. Meskipun tidak sekali pun bertemu, Nida begitu yakin bahwa Muhammad
adalah jodohnya. Dia terus menyembunyikan rasa cintanya yang besar itu rapat-rapat. Setelah
menyelesaikan hafalan Qurannya, Nida kembali ke Kufah, dan Maryam kembali ke Madinah.
Sekembalinya di Kufah, Nida mendaftar dan diterima di Universitas Al-Azhar di Kairo.
Di kampus Nida dikenal sebagai mahasiswa yang cantik dan cerdas bahkan dia termasuk
salah satu mahasiswa berprestasi sehingga dikirim ke Universitas Utrecht-Belanda, bahkan
diterima di salah satu pergutuan tinggi di Amerika Serikat untuk salah satu program. Kesalehan
Nida menyebabkan banyak laki-laki yang menyukainya termasuk Azhar, mahasiswa yang
diidolakan. Namun, perasaan cintanya yang besar kepada Muhammad menyebabkan Nida tidak
mampu menerima cinta Azhar yang besar kepadanya. Perasaan bersalah Nida terhadap Azhar
yang meninggal pada saat melacak keberadaan Muhammad Muhsin, menyebabkan dia mulai
membuka diri terhadap laki-laki. Itu sebabnya ketika ayahnya membawakan jodoh untuknya,
yaitu Aziz, dia menerimanya. Pernikahan sudah ditentukan dan disiapkan tetapi peristiwaperistiwa lain menyebabkan pernikahan tersebut gagal dilaksanakan. Dan pada akhirnya Nida
benar-benar bertemu dan berjodoh dengan Muhammad Muhsin yang sejak awal dicintainya dan
mereka hidup bahagia.

Cerita tersebut dapat digambarkan bagaimana akhlak tokoh utama, Shabrina Lailatun
Nida. Berdasarkan teori Bergerian, dijelaskan bahwa individu adalah produk masyarakat.
Dalam hal ini apabila individu baik maka akan menghasilkan masyarakatnya yang baik pula.
Sebaliknya, bila individu yang tinggal dalam suatu masyarakat pada umumnya tidak baik maka
akan menghasilkan masyarakat yang tidak baik (Supratno, 2015). Individu yang baik dalam hal
ini dimaknai seseorang yang memiliki akhlak yang baik (al-akhlakul karimah) atau akhlak yang
paripurna. Setiap pemeluk Islam diajarkan untuk berakhlak baik, sebagaimana dicontohkan
oleh Rasulullah Muhammad saw.
Dalam novel Sujud Cinta di Masjid Nabawi digambarkan bagaimana Nida adalah tokoh
muslimah yang memiliki akhlak baik bahkan mendekati akhlakul karimah. Dia pantas menjadi
teladan bagi muslimah muda masa kini dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Secara teori
dikatakan bahwa akhlak yang baik terwujud dalam perilaku manusia dalam menga hubungan
baik dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan sesama manusia. Dalam hal ini, dapat dilihat dari
cara Nida berhubungan dengan Tuhan, alam, dan dengan sesama manusia yang bersumber pada
ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Alquran dan Hadits. Nida sangat tahu bagaimana
menjalani kehidupan ini dalam menjaga hubungan dengan Tuhannya sebagai manusia.
Berbeda dengan kebanyakan anak muda seusianya masa kini yang berebut dapat menimba
ilmu di sekolah-sekolah favorit dengan ukuran yang berbeda-beda, Nida justru memilih belajar
di pesantren untuk dapat menghafal Quran. Gadis yang rajin itu senantiasa menghabiskan
waktu dengan Quran kecil yang tak pernah lepas dari genggamannya. Itu sebabnya dia cepat
menguasai hafalan ayat-ayat yang diberikan padanya sehingga dijuluki sebagai santri teladan.
Selain rajin, faktor lain yang menyebabkan dia cepat mampu menghafal adalah upayanya untuk
memahami makna setiap ayat yang dibacanya. Dengan pemahamannya akan setiap ayat yang
dibaca, membuatnya mampu menghayati sehingga cepat sekali menghafal. Berikut kutipan
bagaimana dia mampu menghayati bacaannya.
Matanya yang teduh, bersih, dan bercahaya mulai mengeluarkan butiran bening yang
mengalir dari relung hati terdalam.
Rabby…., sesungguhnya hanya karena-Mu aku hidup, hanya dengan nama-Mu aku
kuat menghadapi hidup ini. Tak kuasa diri ini terlepas dari jalan-Mu, dan sesungguhnya
beribu nikmat telah Engkau berikan kepadaku, hanya pada-Mu hamba berserah
(Wulandari, 2011:14).

Heny Subandiyah : Konstruksi Akhlak Islam Dalam Novel .....

53

Kutipan tersebut memperjelas bagaimana upaya Nida untuk selalu menjalin kedekatan
dengan Tuhannya. Dalam setiap gerak kehidupannya mulai bangun tidur di pagi hari hingga
malam hari, dia selalu menghubungkan dengan kuasa Tuhan. Sebagai umat Islam, dia berusaha
menjalankan ajaran agamanya termasuk bersyukur, salat, membaca Quran, dan berdoa. Berikut
kutipannya.
Alhamdulillah….Alhamdulillahilladzii ahyaanaa ba’damaa amaatana wa ilaihin
nusuur. Segala puji bagimu Allah yang telah menghidupkanku kembali setelah
mematikanku.
Kulangkahkan kakiku dengan basmalah menuju istana cinta-Mu, Rabbi.
Usai shalat, tangisku mulai pecah, mengingat semua dosa dan kesalahan serta kelalaianku
pada Rabbku, dan ternyata di balik semua itu Ia masih memberikanku kebahagiaan
dengan menghadirkan insan yang dapat mengisi palung hatiku (Wulandari, 2011:20).
Kutipan tersebut menjelaskan bagaimana Nida bersikap di pagi hari, yakni berdoa
sebagai ucapan syukur pada-Nya karena masih diberi kehidupan, dan memulai setiap gerak
dengan mengucapkan basmalah yang artinya dengan nama Allah. Selain itu, Nida selalu
menjadikan salat dan doa sebagai sarana menghapuskan dosa dan kelalaiannya. Akhlak Nida
yang seperti ini tentu tidak datang begitu saja melainkan sudah dibiasakan sejak kecil. Dari
latar belakang keluarganya yang memiliki keimanan kuat telah lahir Nida yang juga memiliki
tingkat keimanan tinggi. Ayah ibunya yang telah mendidiknya agar selalu mendekatkan diri
pada Tuhan, menjadikan ajaran agama sebagai petunjuk dalam berperilaku di dunia ini sehingga
terbentuk akhlak yang religius. Ayahnya berprinsip, ajaran agama adalah satu-satunya jalan
keselamatan sehingga untuk mencapainya Nida dimasukkan dalam pesantren yang menyiapkan
generasi muda penghafal Alquran (tahfizhah). Ayah ibunya begitu yakin bahwa mereka tidak
dapat menjaga anaknya selamanya, padahal anak adalah amanah dari Tuhan yang kelak akan
diminta pertanggungjawabannya. Menjadikan Nida seorang tahfizhah adalah impian kedua
orang tuanya dalam rangka melindungi anaknya dari akhlak yang tidak baik.
Lingkungan yang baik akan berpengaruh pada terbentuknya akhlak yang baik bagi
individu. Pesantren diyakini oleh ayah dan ibunya sebagai lingkungan yang baik, yang akan
membentuk akhlak yang baik bagi Nida. Meskipun Nida adalah puteri satu-satunya, demi
tujuan tersebut maka kedua orang tuanya rela harus berpisah dengan Nida karena sejak kecil
anaknya dididik di pesantren. Setiap merasakan kerinduan pada Nida, kedua orang tuanya
selalu menghibur diri dengan salat dan berdoa demi keselamatan dan kebahagiaannya. Dengan
demikian, Nida dibesarkan dalam suasana yang penuh doa dan airmata penuh keridhoan dari
kedua orang tuanya. Bacalah ungkapan hati ibunya tatkala dia merindukan Nida yang jauh
dari pelukannya sebagaimana tertuang dalam surat yang ditulisnya tatkala ibunya mulai sakitsakitan.
Assalamu’alaikum….
Putriku,
Menjelang engkau dewasa
Rajutlah benang-benang keimanan
Untuk menutupi auratmu
Sebutlah nama Tuhanmu
Dalam setiap detik hidupmu

54

Discovery Vol.1 No.2 September 2016

Agar kau tidak diperdaya situasi zaman
Yang memang sudah gila tak kenal iba
… (Wulandari, 2011:39)
Kutipan tersebut membuktikan bagaimana penanaman akhlak mulia telah diperoleh
Nida sejak kecil terutama dalam kehidupan beragama. Keyakinan Nida pada Kuasa dan kasih
sayang Tuhan padanya dimiliki secara total. Hal ini dibuktikan bagaimana dia bersedih ketika
kehilangan ibunya. Dalam kesedihannya dia selalu percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana
yang indah pada hamba-Nya yang sabar dan tawakal. Kehilangan orang yang sangat dikasihinya
tidak membuatnya marah, sebalinya membuat dia semakin dekat dengan Tuhan. Dia berprinsip
bahwa setiap musibah adalah upaya Tuhan agar dia lebih pada-Nya. Berikut kutipan yang
memperkuat pernyataan tersebut.
Ummi, aku hampir tak percaya menerima kenyataan ini, air mataku tak henti-hentinya
mengalir mendengar kabar bahwa kau telah pergi meninggalkan aku dan abi. Walaupun
demikian adanya, hari ini aku merasa tenang. Aku percaya, kali ini Ummi lebih bahagia,
karena Ummi lebih dekat di sisi-Nya (Wulandari, 2011:35).
Kutipan tersebut memperkuat pendapat bahwa Nida adalah sosok yang memiliki
keyakinan yang kuat akan kebesaran dan kasih sayang Tuhan. Tuhanlah yang menentukan
segala gerak kehidupan setiap manusia. Manusia adalah makhluk yang lemah, yang sekadar
menjalani cerita kehidupan yang sudah ditentukan. Perhatikan kutipan berikut.
…Aku percaya bahwa Allah akan selalu bersama keyakinan dan perasaan hamba-Nya
(Wulandari, 2011:50).
Kepercayaan Nida pada Tuhan terpelihara dengan baik karena didikan ayahnya.
Ayahnyalah yang mengajarkan agar selalu menjadi anak yang tegar dalam menerima segala
kenyataan, terutama ketika mengalami kesedihan. Kutipan berikut menjelaskan bagaimana
kepercayaan ayahnya yang memicu lahirnya sosok Nida yang begitu hebat.
Anakku…, Abi selalu percaya bahwa kau anak yang tegar menerima kenyataan ini,
begitupun dengan Ummi. Ummi sangat bangga padamu.
Abi, apa salah jika aku menangis?
Tidak anakku, Abi juga sangat terpukul dengan kepergian Ummi, tak ada sosok seorang
istri yang memiliki akhlak seperti Ummi. Tapi Ummi juga berpesan kepada Abi, supay
kau jangan bersedih dan meratapi kepergiannya, karena saat ini Ummi sedang bahagia
karena bertemu dengan Kekasih abadi, Sang Rabbul Izzati, Allah Swt (Wulandari, 2011:
33).
Kutipan tersebut mempertegas bahwa ketegaran dan kebaikan akhlak Nida menurun
dari akhlak ibu bapaknya. Ajaran akan adanya kasih sayang Allah kepada hamba-Nya sudah
ditanamkan melalui keteladanan. Bagaimana cara ayahnya menyikapi kesedihan karena ditinggal
oleh ibunya, terpatri dengan kuat pada diri Nida sehingga dia tumbuh sebagai pribadi yang
tegar. Prinsip bahwa segala kejadian adalah kehendak-Nya, dan mengembalikan semua urusan

Heny Subandiyah : Konstruksi Akhlak Islam Dalam Novel .....

55

pada-Nya, akan membuat seseorang menjadi tenang meskipun dia sedang dalam kesedihan
yang dalam karena ditinggal oleh orang terkasih. Sebuah keyakinan telah ditanamkan pada
diri Nida bahwa kebahagiaan seseorang adalah jika sudah bertemu dengan kekasih sejati, yaitu
Allah Subahanahu wa Taala.
Hubungan yang terjaga antara hamba dengan Tuhannya tergambar dengan jelas pada
diri Nida, dan menjadi indikasi kebaikan akhlaknya. Hal ini terjadi tidak hanya pada saat Nida
mengalami kesedihan. Perilaku Nida pada saat memandang alam sekitar sehingga muncul
kekagumannya pada keindahannya pun menjadikannya kembali mengingat Tuhan, yang berarti
membuatnya semakin dekat pada-Nya. Bagaimana cara dia berperilaku pada saat melihat dan
menikmati keindahan alam? Berikut kutipannya.
Abi, tak pernah kusangka sebelumnya, ternyata Sungai Nil begitu indah, bahkan
melebihi keindahan Sungai Tigris dan Eufrat (Wulandari, 2011:51).
Ya Allah, Sang Rabbul Jalil, Kekuasaan-Mu begitu agung. Kau sanggup menciptakan
Maha Karya yang tak tertandingi (Wulandari, 2011:53).
Subhanallah, begitu indahnya pemandangan di Sungai Nil. Sungguh malunya aku
karena terlalu sering lalai dari mengingat seluruh nikmat yang telah Kau berikan padaku
(Wulandari, 2011:54).
Demikian dijelaskan bagaimana Nida menjaga hubungan baik, berakhlak baik dengan
Tuhan (hablum minallaah). Kesempatannya menikmati keindahan alam yaitu Sungai Nil baik
secara langsung maupun melalui lukisan, tidak menyebabkan dia kufur nikmat. Justru pada saat
itu dia selalu mengingat Tuhan, Sang Pencipta alam semesta. Ucapan Subhanallah, ‘Mahasuci
Allah’ sangat tepat untuk diucapkan seorang Muslim pada saat merasa takjub pada segala
sesuatu termasuk pada keindahan alam. Sikap seperti ini lahir karena kebiasaan sedari kecil
yang ditanamkan pada Nida baik di lingkungan pesantren maupun di keluarganya.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa akhlak yang baik yang dimiliki seseorang tidak
hanya ditunjukkan bagaimana orang itu mampu menjalin hubungan dengan Tuhannya (hablum
minallaah), dengan alam semesta, dan dengan sesama (hablum minannaas). Akhlak baik
terhadap sesama sudah tampak ketika Nida masih menjadi murid di pesantren. Dia termasuk
anak yang suka bergaul dan ramah pada siapa saja. Salah satu kebaikan akhlaknya ditunjukkan
pada saat dia mengetahui ada murid baru di pesantren Husnul Khotimah tempatnya belajar. Jika
kebanyakan temannya bersikap cuek kepada murid baru, tidak demikian halnya dengan Nida.
Dengan senang hati dia menghampiri murid baru itu dan mendahului memperkenalkan dirinya,
bahkan akhirnya menjalin persahabatan dengannya sebagaimana kutipan berikut.
Assalamu’alaikum, perkenalkan namaku Nida, selamat datang di Pesantren Husnul
Khotimah.
Wa’alaikumsalam, Nida. Namaku Maryam Muhsin.
Kalau boleh saya tahu, kamu pindahan dari mana?
Aku baru saja pindah dari Pesantren al-Hikmah Jeddah (Wulandari, 2011:16).
Kutipan tersebut menjelaskan bagaimana baiknya akhlak Nida dalam upayanya menjaga
hubungan dengan sesama manusia. Dia memutuskan bersahabat dengan Maryam bukan hanya
karena kebutuhan untuk bersosialisasi tetapi dia menjadikan teman sebagai salah satu cara

56

Discovery Vol.1 No.2 September 2016

untuk menjalankan perintah-perintah Tuhan. Oleh karena itu dia mempunyai prinsip bahwa
berteman semata karena Allah. Kutipan berikut menjelaskan hal itu.
Maryam adalah sahabat yang baik, dia selalu mendukungku di setiap langkahku, dan
kali ini aku menemukan sosok seorang sahabat sejati karena Allah (Wulandari, 2011:16).
Kutipan tersebut mempertegas pernyataan bahwa keputusan Nida untuk menjalin
persahabatan dengan Maryam adalah karena keyakinannya bahwa persahabatan itu karena Allah.
Dan karena itu pula mereka saling menjaga dan tidak main-main. Mereka saling mendukung
dalam kebaikan. Sikap ini harus dimiliki oleh dua orang sahabat. Masing-masing harus memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang bagaimana menjalin persahabatan yang benar.
Mereka harus yakin bahwa persahabatan mereka terjadi karena kehendak Allah Subahanahu
wa Taala sehingga untuk itu mereka akan mempertanggungjawabkan persahabatan mereka dan
tidak menghianatinya.
Akhlak baik terhadap sesama juga ditunjukkan oleh Nida pada saat dia jatuh cinta.
Sebagai manusia biasa apalagi sedang masa puber, jatuh cinta adalah hal yang wajar, demikian
pun Nida. Pada umumnya seseorang yang jatuh cinta karena bertemu atau saling menatap
terlebih dahulu. Namun, tidak demikian dengan Nida yang jatuh cinta justru hanya karena
membayangkan saja sosok yang dicintainya itu. Dan caranya menyikapi perasaan cinta itulah
yang patut diteladai oleh anak-anak zaman sekarang. Perhatikan kutipan berikut.
Ummi…, aku mencintai seseorang…namanya Muhammad Muhsin. Aku belum pernah
melihatnya, jangankan untuk mengenalnya, menatap dirinya saja aku tak pernah. Aku
juga tak mengerti mengapa perasaan cintaku pada Muhammad begitu dalam (Wulandari,
2011:36).
Kutipan tersebut menjelaskan bagaimana Nida bersikap pada saat jatuh cinta. Di era
sekarang sudah bukan hal yang aneh jika sepasang muda-mudi yang jatuh cinta melakukan
perbuatan maksiat bahkan di tempat umum. Sebaliknya, Nida sangat menjunjung tinggi dan
mengagungkan perasaan cintanya. Dia percaya bahwa cinta adalah karunia Tuhan yang paling
indah yang harus dijaga kesuciannya. Nida mempunyai kriteria sendiri untuk memilih laki-laki
yang kelak akan dinikahinya. Kutipan berikut memperkuat pendapat tersebut.
Walaupun aku belum mengenal dan melihat dirinya, aku tetap yakin dia orang yang shalih,
dia orang yang baik, Ummi, pasti Ummi juga akan berpikiran yang sama denganku jika
Ummi mendengar semua cerita tentang Muhammad kepadaku (Wulandari, 2011:36).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa keshalihan merupakan syarat utama bagi Nida
untuk memilih laki-laki. Baginya, laki-laki yang shalih yang dapat dijadikan imam bagi
kehidupannya kelak. Selain saleh, kriteria laki-laki yang layak menjadi imam dalam hidupnya
adalah yang mempunyai perangai, tutur kata, dan pribadi yang baik sehingga mampu membawa
kebaikan bagi siapa saja. Laki-laki itu harus memiliki akhlak sebagaimana yang diteladankan
oleh Rasulullah. Kutipan berikut akan menambah apa saja kriteria laki-laki selain karena
keshalihannya, yang akan dipilih Nida menjadi suaminya kelak.
Bayangan seseorang yang indah perangainya, baik tutur katanya, dan pribadinya yang
selalu bersinar menerangi kelamnya hati. Dia adalah bayangan seorang insan yang
Allah ciptakan dengan baik walaupun tak mungkin melebihi kesempurnaan akhlak
Rasulullah, namanya Muhammad Muhsin (Wulandari, 2011:90-91).

Heny Subandiyah : Konstruksi Akhlak Islam Dalam Novel .....

57

Usai kubaca surat dari Abi, batinku menangis. Amin ya Rabb, kutunggu masa itu, masa
dimana seseoang datang kepadaku dan mencintaiku karena-Mu, karena nama-Mu Yang
Maha Suci di atas segala kesucian (Wulandari, 2011:147).
Kutipan tersebut memperjelas apa saja kriteria laki-laki yang diidamkan oleh Nida.
Kebaikan akhlak adalah menjadi syarat utama meskipun dia tahu bahwa tidak mungkin ada
yang menyamai kesempurnaan akhlak Rasulullah. Ya, Nida menggunakan Rasul sebagai cermin
atau ukuran dalam menilai kebaikan akhlak seseorang. Dia mematok tinggi untuk hal tersebut
karena dia tidak mau main-main dalam menjalani kehidupan berumah tannga. Dia akan menjaga
kesucian jiwa dan raganya untuk laki-laki yang dicintai dan yang harus mencintainya. Dan satu
lagi untuk urusan mencintai adalah dia menginginkan seseorang yang mencintainya semata
karena Allah, bukan karena kecantikan, kepandaian, atau apa pun yang baik di mata manusia.
Ketika mengalami jatuh cinta, Nida juga merasakan sedih karena muncul kerinduan
pada sosok yang dicintainya. Pada umumnya seseorang akan berusaha mencari orang yang
dirindukan tersebut agar bisa bertemu muka. Tidak demikian dengan Nida, yang sangat menjaga
perasaan rindunya agar tidak terkotori oleh perbuatan nafsu. Dia begitu menjaga hatinya agar
tidak terjamah oleh maksiat meskipun hanya dalam bayangan. Dia begitu khawatir jika perasaan
cintanya yang indah pada manusia akan mengalahkan perasaan cintanya pada Tuhan dan RasulNya, Sang pemilik keindahan, juga pada ayah ibunya dan keluarganya. Berikut kutipannya.
Tapi, cintaku saat ini hanya untuk Rabb-ku, Rasulku, ummi, abi, keluargaku, dan untuk
Muhammad Muhsin (Wulandari, 2011:93).
Akhlak mulia yang juga dimiliki oleh Nida adalah kesetiaan. Hal ditunjukkan dari
perilakunya pada saat dia mengerti ada Azhar yang mulai tertarik padanya. Dia sangat menjaga
hatinya dari laki-laki yang diidolakan oleh banyak mahasiswi di kampusnya tersebut. Meskipun
reputasi Azhar tidak kalah dengan Muhammad, sosok yang dicintainya dalam bayangan, dia
tetap setia pada perasaannya tersebut. Berikut kutipannya.
Aku sadar…, cintaku pada Muhammad memiliki resiko yang sangat besar, lebih riskan
untuk mengecewakan dan dikecewakan. Tapi entah mengapa bayangannya tak bisa
digantikan oleh sosok nyata sesempurna apa pun kecuali Rasul dan Abi (Wulandari,
2011:69).
Aku merasakan ada yang berbeda, mengapa Azhar terus melihat ke arahku dari kejauhan,
tapi sudahlah …. Mulai kualihkan pandanganku ke arah teman-temanku yang lain. Jaga
hatiku hanya untuk imamku kelak, Rabbi… (Wulandari, 2011:75).
Tapi, cintaku saat ini hanya untuk Rabb-ku, Rasulku, ummi, abi, keluargaku, dan untuk
Muhammad Muhsin (Wulandari, 2011:93).
Kutipan tersebut memperjelas bahwa kesetiaan sudah menjadi sifat utama Nida.
Meskipun hatinya jatuh cinta pada bayangan dan tidak pernah bertemu tetapi dia tetap setia.
Kesetiaannya pada perasaannya dilandasi oleh kepercayaannya yang penuh pada kasih saying
Tuhan. Dia begitu yakin bahwa Tuhan akan mempertemukan dirinya dengan jodohnya, sang
mutiara hatinya, yaitu Muhammad Muhsin entah di mana nanti. Bahkan dia telah berdoa untuk
pertemuannya kelak dipilihkan suatu tempat yang indah, yang agung dan diridhoi Tuhan. Dan
baginya tempat idamannya adalah Masjid Nabawi yang memang indah dan agung. Berikut
kutipan untuk memperjelas hal ini.

58

Discovery Vol.1 No.2 September 2016

Lukisan masjid Nabawi itu membuat diriku kembali teringat kenangan dan harapanku
kepada Muhammad, dan sampai hari ini aku masih terus berharap bertemu dengan sosok
Muhammad Muhsin dalam nyataku di serambi Masjid Nabawi (Wulandari, 2011: 50)
Selain menjaga kesetiaannya pada perasaannya, Nida juga memiliki kesetiaan kepada
sesama perempuan. Dia tidak mungkin mau menyakiti hati perempuan dengan alasan apa pun,
apalagi terhadap sesama muslimah yang menurutnya adalah saudara seiman. Peristiwa ini
hampir terjadi ketika Nida hendak dijodohkan dengan Aziz oleh abinya dan keluarga besarnya.
Pada awalnya dia tidak mengetahui bahwa Aziz telah beristeri, Aisyah, yang ternyata saat itu
divonis mengidap penyakit kanker serviks. Atas hasil musyawarah keluarga dan persetujuan
Aisyah, Aziz hendak dinikahkan dengan Nida. Nida baru mengerti tiga hari sebelum acara
ijab kabul dilaksanakan. Bagaimana hancurnya hati Nida, tidak dapat dibayangkan. Persiapan
pernikahan sudah dilaksanakan termasuk mengirimkan undangan bahkan dia sudah mencoba
gaun pengantin yang akan dikenakan. Dan diapun ketika itu sudah mulai berusaha menerima
laki-laki lain dalam hatinya. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut.
Ya Allah…hamba kalut, bingung, tak kuasa airmata ini membanjiri kedua pipi ini. Ya
Allah, ini amat berat, tolong kuatkan aku Ya Rabb…Aku ingin menjerit, mengapa begitu
sulit masalah jodoh kujalani. Dulu aku kehilangan Azhar, dan apa saat ini aku juga harus
kehilangan Aziz, padahal aku juga sudah mulai berusaha menimbulkan bibit-bibit cinta
di hatiku (Wulandari, 2011:205).
Dapat dibayangkan bagaimana beratnya kondisi psikis Nida saat pernikahan hendak
dilaksanakan, padahal selama ini dia selalu mengelak jika didekati oleh laki-laki karena di
hatinya telah terisi Muhammad. Tetapi Nida berpikir logis dan jernih, yakni dia tidak akan
melanjutkan pernikahannya meskipun dia harus menanggung malu pada teman-teman yang
telah diundangnya. Dia justru lebih memikirkan kesedihan Aisyah karena menyaksikan sendiri
pernikahan suaminya dengan perempuan lain. Meskipun Aisyah mengatakan bahwa dia ikhlas
menjalani karena ingin suaminya bahagia, tetapi hati kecil Nida tidak mempercayainya. Sebagai
perempuan dia dapat mereasakan bahwa tidak mungkin ada isteri yang merelakan suaminya
berada dalam pelukan perempuan lain. Berikut kutipannya “Tapi aku tak ingin ada seorang pun
yang tersakiti karena pernikahanku, aku menikah untuk kebahagiaan bagi semuanya, aku tak
rela tersenyum di atas tangisan dirimu, Aisyah” (Wulandari, 2011:207).
Nida mewujudkan dan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, juga
ditunjukkan tatkala dia berperan sebagai anak. Sejak kecil Nida adalah anak yang patuh dan taat
kepada kedua orang tuanya. Dia selalu menuruti nasihat-nasihat yang diberikan ayah ibunya.
Keshalehahannya menyebabkan ayah ibunya begitu bangga padanya. Berikut kutipannya.
“Abi…, tak mungkin aku melupakan nasihat ummi yang selalu diucapkannya menjelang aku
tidur. Abi bangga padamu Nak, ternyata kau masih mengingat nasehat-nasihat yang ummi dan
abi berikan padamu” (Wulandari, 2011:57).
Kutipan tersebut menjelaskan bagaimana Nida menyikapi semua nasihat kedua orang
tuanya. Tidak sekadar mengingatnya, melainkan diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Itu semua bisa terjadi karena Nida begitu menghormati kedua orang tuanya, terlebih kepada
abinya setelah kematian ibunya.
Abi…, aku sangat menghormati Abi sebagai orang tuaku satu-satunya. Setelah kehilangan
ummi, aku tak mungkin rela membiarkan hati Abi terluka. Aku sudah kehilangan ummi,
jadi aku tak mau kehilangan Abi. Maka dari itu, insyaallah aku akan berusaha menjadi

Heny Subandiyah : Konstruksi Akhlak Islam Dalam Novel .....

59

yang terbaik selalu (Wulandari, 2011:57).
Terdengar kata salam dari lisan Abi disertai langkah kakiknya bersama ratusan orang
lainnya menuju pesawat. Lima menit lagi pesawat akan lepas landas, panggilanpanggilan terhadap penumpang yang belum naik mulai bersahutan. Ya Allah, jaga dan
selamatkan Abi dalam perjalanannya menuju Kufah (Wulandari, 2011:57-58).
Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana cara Nida mencintai dan menghormati
kedua orang tuanya. Dia selalu menjaga dirinya dengan tidak berbuat dan berperilaku yang dapat
membuat ayahnya kecewa atau bersedih hati. Dia sangat khawatir kehilangan abinya karena dia
telah merasakan sakit dan sedihnya tatkala kehilangan ibunya. Untuk menenteramkan hatinya
dan hati abinya dia selalu mendoakan dan memohon keselematan untuk abinya. Berikut kutipan
yang memperjelas bagaimana ayah-anak tersebut saling menjaga.
Assalamualaikum, Nida anakku.
Waalaikumsalam, Abi…Kujawab salam abi seraya mencium tangannya.
Bagaimana kabarmu, Nak?
Alhamdulillah, Abi, Allah selalu menjagaku, bagaimana dengan Abi?
Berkat perlindungan Allah dan doa yang selalu kau panjatkan, keadaan Abi baik-baik
saja (Wulandari, 2011:102).
Tampak dari kutipan bahwa Nida memiliki akhlak yang baik kepada ayahnya, dipicu
oleh kebaikan ayahnya pula. Ayahnya begitu mencintai Nida dan ini sangat dirasakannya
sehingga dia pun mencintai dan menghormati ayahnya. Wujud penghormatan Nida pada
ayahnya dapat dilihat tatkala dia berjumpa ayahnya, dia mencium tangannya. Dan rasa kasih
sayangnya diwujudkan dalam bentuk doa yang selalu dipanjatkan untuk ayahnya.
Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara eksternalisasi, masyarakat
merupakan produk manusia secara individu. Masyarakat pesantren sebagaimana Pesantren
Husnul Khotimah, Universitas Al-Azhar di Kairo, masyarakat Kufah dan Madinah serta Mesir
pada umumnya merupakan masyarakat yang baik, yang logikanya akan menghasilkan produk
manusia yang baik seperti tokoh utama dalam novel ini, Shabrina Lailatun Nida, Maryam
Muhsin, Muhammad Muhsin, Abi dan Ummi Nida, Aisyah, Nijma, Azhar, dan Aziz.
Secara objektivasi, masyarakat yang baik seperti masyarakat pesantren dan sekolah
keagamaan Universitas Kairo, masyarakat Kufah, Mesir, dan Madinah pada umumnya baik
maka juga akan menghasilkan realitas sosial atau fenomena sosial yang baik yang anggota
masyarakatnya akan cenderung melakukan hal-hal yang mengarah kepada kebaikan.
Secara internalisasi, individu adalah produk masyarakat. Nida sebagai manusia yang
memiliki iman yang kuat, pandai, hafal Alquran, dan mempunyai akhlak yang baik merupakan
produk masyarakat, yaitu produk keluarganya, teladan akhlak dari ayah dan ibunya, para
ustadz dan teman-teman di lingkungan pesantren, Universitas Al-Azhar di Kairo, dan budaya
kehidupan Masyarakat Kufah, Madinah, dan Mesir yang religius. Budaya masyarakat seperti
itu akan mempengaruhi secara positif bagi akhlak Nida di kelak kemudian hari. Dia tumbuh
menjadi perempuan yang hampir sempurna di mata manusia dan Tuhan. Hal ini terjadi karena
akhlak Nida bertumpu pada ajaran Islam yang tertuang dalam Alquran dan Hadits yang selalu
dipelajari dan diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

60

Discovery Vol.1 No.2 September 2016

Dengan menyandarkan diri pada kuasa Allah Subhanahu wa Taala, Nida menjalani
kehidupan ini dengan sederhana dan penuh keyakinan. Dia menggunakan criteria laki-laki yang
baik baginya adalah yang memiliki akhlakul karimah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah.
Nida menggunakan Allah Taala sebagai ukuran bagi laki-laki yang mencintainya nanti. Artinya,
dia menginginkan bahwa laki-laki pendamping hidupnya adalah sosok yang selain berakhlakul
karimah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah, tetapi juga yang mencintainya karena Allah.
Keteguhan Nida dalam menjalani kehidupan meskipun dia jauh dari orang tuanya karena
urusan menuntut ilmu, dapat dijadikan teladan bagaimana seharusnya muslimah muda masa
kini berpikir, bertindak, dan bersikap. Untuk mempertahankan imannya, ia selalu menjalankan
salat, membaca hafalan Alqurannya setiap hari, berzikir, dan bertasbih serta selalu menjaga
hatinya dari laki-laki. Nida juga sosok yang memiliki kesetiaan baik terhadap perasaan cintanya
kepada Muhammad Muhsin maupun kesetiaannya kepada sahabatnya. Dia rela menderita
daripada melihat temannya menangis. Dia rela membatalkan pernikahannya meskipun harus
menanggung malu ketika dia tahu bahwa Aisyah akan menangis jika pernikahan itu tetap
dilangsungkan. Nida tidak akan mau bahagia di atas tangisan penderitaan perempuan lain.
Demikian akhlakul karimah yang digambarkan oleh tokoh Nida dalam novel Sujud
Cinta di Masjid Nabawi karya Putri Indah Wulandari. Kisah dalam novel ini dapat dijadikan
teladan atau pendidikan budi pekerti yang baik bagi generasi muda khususnya muslimah.
Bagi bangsa Indonesia, teladan yang dilakukan oleh tokoh Nida dapat dijadikan sarana bagi
perbaikan akhlak masyarakat yang akhir-akhir ini cenderung merosot. Hal ini dapat dipahami
karena sebenarnya karya sastra memiliki dua fungsi utama, yaitu indah dan bermanfaat (dulce
et utile).
Daftar Pustaka
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality
oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES
Desi, Marisa. 2010. “Moralitas dalam Novel Negeri 5 Menara”. Jurnal Online UM. (http://
jurnal –online um.ac.id).
Hanafi, Syafiq Mamadah dan Ahmad Sobirin. 2002. “Relevansi Ajaran Agama Dalam Aktivitas
Ekonomi (Studi Komparatif antara Ajaran Islamdan Kapitalisme)”. Igtisad, Journal of
Islamic Economics. Volume 3, Nomer 1, Muharam 1423 H/ Maret 2002.
Ishak, Moch. Said. 2002. “Konsep Iman dan Khufur: Perbandingan Perspektif Antara Aliran
Teologi. Jurnal Teknologi. 36 (E) Juni. 200 61-74. University Teknologi Malaysia.
Islami, Dian Ismi. 2013. Konsep Komunikasi Islam dalam Sudut Pandang Formula Komunikasi
Efektif. Jurnal Wacana. Volume XII No:1.
Jai, S. 2012. Khutbah di Bawah Lembah. Jogyakarta : Najah.
Jayanti, Novi Tri. 2012. “Konflik Tokoh Dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburahman El
Shirazy: Kajian Sosiologi Sastra”. (http://ejurnal
bahasa dan sastra indonesia, volume
1, nomer 2, 2012).
Manuaba, I.B. Putra. 2010. “Teori Konstruksi Sosial”. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan
Politik. Volume 21, Nomer 3:221-230.
Marzuki. 2009. Prinsip Dasar Akhlak Mulia, Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika
dalam Islam. Yogyakarta : Debut Wahana Press. (www.staf.uny.ac.id).
Muslimin, Imam. 2004. “Pendidikan dan Humanisme”. El-Hikmah, Jurnal Pendidikan Fakultas
Tarbiyah UIN Malang. Volume III, Edisi Agustus 2004.

Heny Subandiyah : Konstruksi Akhlak Islam Dalam Novel .....

61

Nasuha, A. Chozin. 2009. “Konsep Islam dalam Pemikiran ISIF”. Jurnal Islam-Indonesia:
Volume 01, Nomor 01, Tahun 2009/1431
Rusmiati, Ana. 2009. “Aspek-Aspek Budaya dalam Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburahman.
Acintya. Volume 1, nomer 2, Desember 2009.
Saraswati, Ekorini. 2011. “Pribadi dalam Novel Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi: Telaah
Psikoanalisis Segmond Freud’. Artikulasi. Volume 2, nomer 2, Agustus 2011.
Shirazy, Habiburahman El. 2004. Ayat-ayat Cinta. Jakarta: Ihwah Publishing House.
------ 2005. Ketika Cinta Bertasbih. Jakarta: Ihwah Publishing House.
------ 2010. Dalam Mihrab Cinta. Jakarta: Ihwah Publishing House.
------ 2011. Bumi Cinta. Jakarta: Ihwah Publishing House.
Supratno, Haris. 2015. “Konstruksi Ajaran Islam dalam Novel Ayat-ayat Cinta dan Bumi Cinta
Karya Habiburrahman El-Shirazi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
Paramasastra.
Yalawae dan Farid. 2007. “Akhlak Warisan Rasulullah S.A.W. Pembawa Kemuliaan Umat”.
Jurnal Usuluddin. Bil 26. (http://myais.fsktm.um.edu.my/8029/1/JUS-26-05.pdf).
Yetti, Erli. 2012. “Religiusitas dalam Novel Sastra Indonesia: Studi Kasus Kutbah Diatas Bukit
Karya Kunto Wijoyo”. (http://jurnal unas. ac.id. sawo manila).
Wulandari, Putri Indah. 2011. Sujud Cinta di Masjid Nabawi. Jogyakarta : Sabil