BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pendidikan Inklusi di SD Negeri I Mangunsari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

  Kajian teori yang digunakan pada penelitian evaluasi program pendidikan inklusi dijabarkan dalam empat Sub teori di bawah:

2.1.1 Pendidikan Inklusi

  Pengertian inklusi sangat beragam. Pengertian inklusi secara umum berarti bahwa peserta didik berkebutuhan khusus mendapat pelayanan di kelas utama dalam kelas umum dan di bawah tanggungjawab guru kelas umum. Meskipun dalam inklusi peserta didik berkebutuhan khusus dapat menerima instruksi di setting yang berbeda seperti di ruang sumber jika dibutuhkan, tetapi kelas reguler tetap merupakan kelas utama peserta didik berkebutuhan khusus belajar (Suyanto dan Mudjito 2012:58).

  Stainback dan Stainback (dalam Budiyanto 2010:3) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di dalam kelas dengan situasi yang sama. Sekolah tersebut menyediakan dan memberi pelayanan pendidikan secara layak, memberi tantangan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap diri siswa.

  Selebihnya, sekolah secara inklusi merupakan tempat setiap anak bisa diterima dilingkungan, menjadi bagian anggota kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman-temannya, maupun lapisan masyarakat supaya kebutuhan individualnya dapat

  Sementara itu, Attig (2006:1) menyatakan bahwa inklusi diartikan mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan melihat, mendengar, tidak bisa berjalan, lambat dalam belajar.

  

Secara luas “inklusi” juga berarti melibatkan seluruh

peserta didik tanpa terkecuali, seperti: a) anak yang

menggunakan bahasa ibu, dan bahasa minoritas yang

berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di

dalam kelas: b) anak yang beresiko putus sekolah karena

korban bencana, konflik, bermasalah dalam sosial

ekonomi, daerah terpenting, atau tidak berprestasi

dengan baik: c) anak yang berasal dari golongan agama

atau kasta yang berbeda; d) anak yang sedang hamil; e)

anak yang beresiko putus sekolah karena kesehatan

tubuh yang rentan/penyakit kronis seperti asma,

kelainan jantung bawaan, alergi,terinfeksi HIV dan AIDS;

f)nak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.

  Selanjutnya Stubbs (2002:37) menyatakan pendidikan inklusi itu penting karena banyak orang masih menganggap bahwa pendidikan inklusif hanya merupakan versi lain dari pendidikan luar biasa. Konsep utama dan asumsi yang melandasi pendidikan inklusif adalah justru dalam berbagai hal bertentangan dengan konsep dan asumsi yang melandasi “pendidikan luar biasa”. UNESCO, dalam kajiannya terhadap aktifitas selama lima tahun setelah Koferensi Salamanca menggambarkan pendidikan inklusi. Telah berkembang sebagai suatu gerakan untuk menantang kebijakan dan praktek inklusi. Dalam hal ini inklusi dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Definisi mutakhir juga untuk semua anak. Sebuah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusif merupakan sekolah yang memperhatikan pengajaran dan proses pembelajaran, ketercapaian sikap, dan kesejahteraan setiap anak. Sekolah yang efektif adalah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusif. Ofsed, dikutip (dalam Stubbs:2002).

  Hasil analisa pendapat para pakar yaitu Stainback dan Stainback, Attig, Stubbs bahwa inti pendidikan inklusi adalah situasi pendidikan dalam kelas reguler dengan situasi yang sama dan kondisi siswa yang berbeda. Pembelajaran melibatkan siswa tanpa terkecuali maksudnya penggabungan dua kategori siswa yang berbeda yaitu siswa normal dengan anak berkebutuhan khusus. Persamaan pengertian ketiga pakar tentang pengertian pendidikan inklusi adalah sama-sama memandang pendidikan tanpa diskriminasi. Ada beberapa perbedaan pengertian pendidikan inklusi dari pendapat Stainback dan Stainback, Attig, dan Stubbs. Menurut Stainback dan Stainback terletak pada pemberian layanan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan serta kemampuan setiap diri siswa. Sedangkan Atiq memperjelas pendidikan inklusi dengan kategori kelainan yang diderita setiap anak yaitu kesulitan melihat, mendengar, tidak bisa berjalan, lambat dalam belajar. Selanjutnya Stubbs mempunyai pandangan yang lebih spesifik lagi. Pandangannya mengenai pendidikan

  Dari beberapa pendapat pakar tentang pendidikan inklusi dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang menggabungkan anak berkebutuhan khusus atau anak yang memiliki kelainan dalam program pelayanan pendidikan yang layak sebagaimana anak normal sehingga kebutuhan secara individual terpenuhi. Implikasinya dalam dunia pendidikan mengacu kebersamaan atau keseteraan pendidikan untuk semua anak tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, pendidikan inklusi untuk memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan.

2.1.1.1 Landasan Pendidikan Inklusi

  Landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia filosofis adalah Pancasila yang merpakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Abdulrahman dalam Kemendikbud: 2013:3). Filsafat tersebut memandang kebhinekaan manusia sebagai umat Tuhan dengan beragam keunikan.

  Menurut Suyanto dan Mudjito (2102:31) landasan yuridis berdasarkan ketentuan undang- undang yang berlaku baik Nasional maupun Internasional. Landasan yuridis Nasional meliputi : UUD 45 amandemen pasal 31, UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, UU No.23 tahun 2002 tentang hak Perlindungan Anak, UU No. 4 tahun 1997 mengenai Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 127 sampai dengan pasal 142, Permendiknas No.70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi, Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C/C6/MN/2003 tanggal

20 Januari 2003, Deklarasi Bandung “Indonesia

  Menuju Pendidikan Inklusif” tanggal 8-14 Agustus 2004 tentang penjaminan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, Deklarasi Bukittinggi tahun 2005. Landasan yuridis Internasional yaitu Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education (1994).

  Landasan paedagogis tercermin pada pasal 3 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa , berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab (Suyanto dan Mudjito (2102:31).

  Landasan Empiris penelitian tentang pendidikan inklusi banyak dilakukan di beberapa Negara barat sejak 1980-an. Penelitian itu di antaranya: The National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasil yang diperoleh ditunjukkan dengan klasifikasi dan penempatan anak yang mempunyai berkelainan di lingkungan sekolah, situasi kelas atau tempat khusus tidak efektif dan mengalami perbedaan. rekomendasi agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar mengemukan bahwa sulit melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan dengan tepat, karena ciri khusus mereka sangat beragam (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). (Kemendikbud:2013:6)

2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Inklusi

  Pendidikan inklusif bertujuan : (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik (Permendiknas No.70 tahun 2009 Pasal 2)

  Sasaran pendidikan inklusi adalah memberikan layanan pendidikan berkualitas yang didefinisikan kembali sebagai proses belajar dengan memperhitungkan kemampuan belajar anak yang berbeda, mengurangi esklusifitas, dan tidak mengajarkan pengetahuan akademik yang tinggi semata. Karena itu, untuk dapat melaksanakan pendidikan inklusi dibutuhkan sistem pendidikan dan anak-anak didik (Renato Opertti dalam Suyanto dan Mudjito:2012:71)

  Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Foreman (dalam Delphie 2009:13) banyak keuntungan yang diperoleh bahwa sekolah yang menggunakan model pembelajaran inklusi, walaupun tingkat kelainannya pada tingkat sedang, berat dan bervariasi kelainan. Berdasarkan teori di atas maka sekolah inklusi mempunyai tujuan. Adapun tujuan pendidikan inklusi sebagai berikut:

  

a) Pemenuhan hak pendidikan. Semua anak di Indonesi

berhak memperoleh pendidikan tanpa terkecuali sesuai

kondisi dan kebutuhan, b) Perluasan akses pendidikan

Pelayanan dan pemerataan pendidikan di semua wilayah

bagi semua anak tanpa ketercuali sesuai dengan kondisi

dan kebutuhan, c) Peningkatan mutu

pendidikanPenyediaan layanan pendidikan yang bermutu,

berimbang, berwatak dan tidak diskriminatif bagi semua

anak, d) Efisiensi pembiayaan pendidikan Meminimalisir

pemborosan pembiayaan pendidikan akibat penggunaan

sistem pendidikan segregatif (SLB), e) Membangun

karakter masyarakat inklusif.

Semua komponen masyarakat bersikap positif terhadap

penyelenggaran pendidikan inklusi yang bermutu,

berkarakter dan bermantabat, f) Mendorong terbentuknya

nilai inklusif. Nilai inklusif menjadi pedoman perilaku dan

tindakan agen-agen penyelenggara pendidikan

(Kemendikbud 2013:8)

  Beberapa tujuan pendidikan inklusi dapat dianalisa bahwa inti dari pendidikan inklusi adalah pemberian layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Persamaannya terletak pada pendidikan mengenai tujuan pendidikan inklusi.

  Kesimpulan yang dapat diambil adalah tujuan pendidikan inklusi merupakan perluasan akses pendidikan dan menghargai perbedaan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

2.1.1.3 Kelebihan Pendidikan Inklusi

  Anak berkebutuhan khusus merupakan anak dalam proses pertumbuhan/perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental intelektual, sosial, emosional) dibanding dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pendidikan khusus (Suyanto dan Mudjito:2012:59). Berdasarkan pendapat pakar tersebut diperlukan pelayanan khusus bagi anak yang mempunyai kelainan. Hal ini diperkuat dengan Surat Edaran dari Dirjen Dikdasmen tentang penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap Kabupaten/Kota.

  Sebelumnya di Indonesia sudah berkembang sekolah segregatif dan integrasi. Suyanto dan Mudjito (2012:63) menguraikan dua pengertian itu sebagai berikut:

  a.

  Sekolah segregatif yaitu sekolah yang menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus (tunanetra, tunarungu, tunadaksa dan tuna grahita) ditempatkan sekolah khusus semacam sekolah luar biasa.

  

Kurikulum dan sarana dan prasaran dirancang untuk

anak special need.

  

b. Sekolah integratif yaitu sekolah yang memilki

kurikulum standard an menghendaki setiap siswa untuk menempuh kurikulum tersebut. Biasanya yang bersekolah di sekolah integrative adalah siswa-siswa yang memiliki fisik dan mental normal.

  Melihat pengertian di atas, ada beberapa permasalahan serius untuk anak berkebutuhan khusus dalam bergaul dengan anak normal di sekolah umum atau reguler. Berdasar kenyataan tersebut, maka diperlukan suatu sistem pendidikan yang dapat mempertemukan anak yang memiliki berkebutuhan khusus dengan anak normal. Penyatuan dalam kontek sekolah tanpa diskriminasi yaitu sekolah inklusi. Keselarasan dalam penyatuan siswa normal dengan anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler sangat membantu dalam berinteraksi. Stubbs (2002:96) pendidikan inklusif bertujuan untuk mengubah sistem sekolah, bukan untuk memberi label kepada individu atau kelompok anak tertentu atau untuk mengubahnya. Menurut teori tersebut maka dapat dikatakan bahwa sekolah inklusi mempunyai peranan penting pada pendidikan anak berkebutuhan khusus. Selanjutnya Suyanto dan Mudjito (2012:51) mengatakan ada beberapa kelebihan atau keunggulan sekolah inklusi yakni:

  a)

membangun kesadaran dan consensus pentingnya

pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan sikap

dan nilai yang diskriminatif; b) melibatkan dan

memberdayakan masyarakat untuk analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi; c) setiap anak pada setiap distrik dan mengidentifikasikan alasan mengapa mereka tidak sekolah; d) mengidentifikasikan hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran; e) melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak

  Persamaan dari beberapa pengertian tersebut di atas adalah penyatuan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal dalam kontek sekolah tanpa diskriminasi. Tidak ada perbedaan pada pendapat tersebut. Kesimpulam yang dapat diambil adalah mengubah sistem pendidikan yang mempunyain peranan penting bagai anak berkebutuhan khusus dengan pengabungan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal dalam situasi untuk membantu berinteraksi.

2.1.1.4 Program Pendidikan Inklusi

  Program pendidikan untuk melayani anak yang memiliki kebutuhan khusus serta kebijakan- kebijakan dalam rangka penyelenggaraan sekolah inklusi disusun, diterapkan, dan dievaluasi secara sistematik. Proses pemograman berdasarkan pada tinjauan khusus dari kemampuan-kemampuan individu yang bersangkutan. Artinya, seorang pendidik memerlukan pemikiran khusus agar dapat membantu mereka untuk mandiri Patton (dalam Delphie 2009:69). Pogram layanan pendidikan inklusi melalui tahapan- tahapan sebagai berikut: a. Pelaksanaan deteksi dini; b. penentuan sasaran dan tujuan; c. penentuan metode yang tepat; d. penyiapan peralatan; e. penentuan kegiatan yang sejalan; f. evaluasi seluruh hasil kerja.

  Selanjutnya Delphie (2009:70) berpendapat terdapat beberapa modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan antara lain kurikulum, lingkungan fisik sekolah, proses hubungan sosial di kelas, media mengajar, sistem evaluasi, dan struktur adminitrasi.

  Inti pendapat Patton dan Delphie mengenai program pendidikan inklusi adalah proses pemograman berdasarkan kemampuan-kemampuan individu. Terdapat perbedaan pendapat antara keduanya, menurut Patton program pendidikan inklusi memerlukan pendidik yang mempunyai pemikiran khusus agar dapat membantu mereka untuk mandiri. Sedangkan Delphie memandang program pendidikan inklusi membutuhkan program yang lebih luas lagi. Dari beberapa uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa program layanan disusun, diterapkan dan dievaluasi secara sistematis, pemograman berdasarkan tinjauan khusus secara bertahap selain itu ada beberapa modifikasi.

2.1.2 Evaluasi

  Pandangan umum mengenai evaluasi adalah kegiatan yang berkaitan dengan penilaian hasil belajar atau tes namun evaluasi dalam penelitian ini merupakan kegiatan yang memberikan gambaran mengenai keterlaksanaan suatu program. Menurut Sukardi (2014:2) evaluasi merupakan suatu proses mencari data atau informasi tentang atau subjek yang dilaksanakan untuk tujuan pengambilan keputusan terhadap objek atau subjek tersebut. mendefinisikan evaluasi ialah proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Sedangkan Maclcolm Provus, juga dalam Tayibnapis evaluasi sebagai perbedaan apa yang ada dengan suatu standar untuk mengetahui apakah ada selisih.

  Selanjutnya Arikunto dan Jabar (2014:2) mengatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.

  Stufflebeam (dalam Suparman 2012:301) menyatakan bahwa

  “Evaluation is a systematic

investigation of some object’s value”. Evaluasi adalah

  suatu investigasi, penelitian, penyelidikan, atau pemeriksaan yang sistematik terhadap nilai suatu objek. Selain itu masih ada pengertian evaluasi menurut Vedung (dalam Sukardi 2014:7)

  “Evaluation is

the process of determining worth, merit, and value of the

things”. (Evaluasi adalah proses untuk menentukan

  harga, citra dan nilai sesuatu). Worth dan Merit bisa diartikan nilai atau harga, tetapi memiliki makna yang berbeda. Suatu program dievaluasi karena akan ditunjukkan harga, citra, dan nilainya.

  Inti pendapat para pakar mengenai evaluasi adalah kegiatan untuk mencari informasi. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengertian evaluasi Berdasarkan beberapa pendapat para pakar maka dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi merupakan suatu proses secara sistematik untuk mengumpulkan informasi selanjutnya untuk pengambilan keputusan terhadap suatu objek.

2.1.2.1 Program

  Program adalah suatu rencana yang telah dipikirkam sebelum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Arikunto dan Jabar (2014:4) program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang terus menerus, dan terjadi pada organisasi yang . melibatkan sekelompok orang Sedangkan Sukardi (2014:4 ) program merupakan salah satu hasil kebijakan yang penetapannya melalui proses panjang dan disepakati oleh para pengelolanya untuk dilaksanakan baik oleh sivitas akademika maupun tenaga administrasi institusi. P rogram menurut Sa’ud dan Makmun (2009:182) program menyangkut persiapan rencana-rencana yang spesifik disertai prosedur-prosedur untuk diterapkan oleh lembaga.

  Inti dari program menurut Arikunto dan Jabar, Sukardi Sa’ud dan Makmun adalah suatu unit yang merupakan implementasi kebijakan melalui proses panjang dan disepakati bersama. Persamaan dari teori para pakar terdapat pada keterlibatan organisasi atau lembaga dalam pelaksanaannya. Perbedaannya menurut pendapat Sa’ud dan Makmun lebih rinci karena ada persiapan rencana-rencana yang spesifik disertai prosedur-prosedur penerapan. Menurut tiga pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa program adalah rencana-rencana yang spesifik yang disepakati suatu organisasi selanjutnya untuk dilaksanakan dan diterapkan baik akademika maupun tenaga administrasi.

2.1.2.2 Evaluasi Program

  Ralph Tyler (dalam Arikunto dan Jabar 2014: 5) menyatakan bahwa evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasikan. Definisi lain dari Cronbach dan Stufflebeam (dalam Arikunto dan Jabar 2014:5) bahwa evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Evaluasi program menurut Sukardi (2014:3) merupakan evaluasi yang berkaitan erat dengan suatu program atau kegiatan pendidikan, termasuk di antaranya tentang kurikulum, sumber daya manusia, penyelengaraan program, proyek penelitian dalam suatu lembaga. Sedangkan Spaulding dalam Sukardi,

  

“Program evaluation is conducted for decision making

purpose”. Artinya evaluasi program dilakukan untuk

  tujuan pengambilan keputusan.

  Sementara itu, menurut David dan Hawthorn (dalam Sukardi 2014:3) evaluasi dipandang:”…as a

  

structured process that creates and synthesizes

stakholders about a given program or policy

  ” artinya evaluasi program sebagai proses terstruktur yang menciptakan dan menyatukan informasi bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian para pemangku kepentingan tentang program dan kebijakan yang ditentukan.

  Patton (2009:53) menyatakan bahwa evaluasi program artinya mengukur pencapaian suatu tujuan, berdasarkan perangkat yang dibuat sebelumnya secara hati-hati dari tujuan yang dapat diukur.

  Inti evaluasi program menurut Ralph Tyler, Cronbach dan Stufflebeam, Sukardi, Spaulding, dan David dan Hawthorn adalah proses menyatukan informasi untuk mengambil keputusan atau kebijakan dan mengukur tujuan. Persamaannya terletak pada tujuan pengambilan keputusan sedangkan perbedaan pada pendapat Patton lebih spesifik karena pencapaian tujuan berdasarkan perangkat yang dibuat sebelumnya.

  Kesimpulan dari beberapa pendapat bahwa evaluasi program merupakan proses secara terstruktur untuk menyampaikan informasi dalam rangka mengukur suatu tujuan kemudian disampaikan kepada pengambil keputusan. Atas dasar teori-teori dan kesimpulan maka pada penelitian ini mempunyai alasan dilaksanakannya evaluasi program adalah untuk mengukur efektitas dan pelaksanaan program yang akan diteliti.

  Suatu kegiatan dievaluasi untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan program yang telah direncanakan. Semua kegiatan tentunya mempunyai tujuan begitu pula dengan evaluasi. Arikunto dan Jabar (2014:18) mendefinisikan bahwa evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan kegiatan program yang telah ditentukan, karena evaluator ingin mengetahui bagian mana dari komponen dan subkomponen program yang belum terlaksana.

  Menurut Worten dkk (dalam Tayibnapis 2008:3) evaluasi program bertujuan: a. membuat kebijakan dan keputusan; b. menilai hasil yang dicapai para pelajar; c. menilai kurikulum; d. memberi kepercayaan kepada sekolah; e. memonitor dana; f. memperbaiki materi dan program.

  Secara lebih rinci tujuan evaluasi program menurut Sukmadinata (2010:121) adalah:

  a.

  

a) membantu perencanaan untuk melaksanakan program

  

b) membantu dalam penentuan keputusan

penyempurnaan atau perubahan program; c) membantu

dalam penentuan keputusan keberlanjutan atau

penghentian program; d) menemukan fakta-fakta dukungan dan penolakan terhadap program d)

memberikan sumbangan dalam pemahaman proses

psikologis, social, politik, dalam pelaksanaan program

serta faktor yang mempengaruhi program.

  Berdasarkan pendapat Arikunto dan Jabar, Worten dan Sukmadinata bahwa inti tujuan evaluasi program adalah untuk mengetahui keterlaksanaan dilakukan penyempurnaan program. Persamaannya pada ketiga pendapat tersebut adalah untuk mengetahui keterlaksanaan program yang telah ditentukan. Secara garis besar evaluasi program dapat dikatakan suatu kegiatan untuk mengetahui keberhasilan program dan kegagalannya selanjutnya diadakan tindak lanjut demi sempurnanya pelaksanaan sebuah program dan dibuatnya kebijakan atau keputusan.

2.1.2.4 Manfaat Evaluasi

  Sukmadinata (2010:127) menyatakan bahwa kriteria atau standar yang digunakan dalam evaluasi program adalah apakah hasil evaluasi dapat digunakan untuk menentukan kebijakan secara tepat atau tidak. Pengguna hasil evaluasi dapat bertahap, dari penentu kebijakan tertinggi sampai terendah. Di sisi lain Sukardi (2014:10) mengatakan bahwa evaluasi program mempunyai empat manfaat sebagai berikut :

  

a) melihat secara kontinu dan terus menerus

suatu program atau proyek jika dilengkapi dengan

fungsi monitor: b) mengontrol agar program tetap

berada dalam koridor mutu dan memiliki

kewenangan untuk mengendalikan dalam tingkat

penjaminan layanan atau servis baik pada para

pengguna maupun pemangku kepentingan: c)

sebagai umpan balik terhadap proses

penyelenggaraan lembaga: d) mengevaluasi semua

komponen dalam kinerja program.

  Inti pendapat Sukmadinata dan Sukardi manfaat evaluasi untuk menentukan kebijakan secara tepat dilengkapi fungsi monitor. Dari dua pendapat manfaat evaluasi program yakni sebagai pengontrol, umpan balik, evaluasi kinerja untuk mewujudkan penjaminan layanan dan pengambilan kebijakan.

2.1.2.5 Model Evaluasi Context, input, Process, dan Product (CIPP)

  Penelitian evaluasi program penyelenggaraan pendidikan inklusi di SDN I Mangunsari menggunakan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) Adapun pengertian model evaluasi adalah desain evaluasi yang dibuat oleh ahli-ahli atau pakar-pakar evaluasi yang biasanya dinamakan sama dengan pembuatnya atau tahap pembuatannya (Tayibnapis 2008:13)

  Stufflebeam (dalam Sukmadinata 2010 :127) mengembangkan model evaluasi pendidikan yang bersifat komprehensif yang mencakup konteks (context), masukan (input), proses (proces), dan hasil (product), yang disingkat menjadi CIPP.

1. Context evaluation : evaluasi terhadap konteks 2.

  Input evaluation : evaluasi terhadap masukan 3. Process evaluation : evaluasi terhadap proses 4. Product evaluation: evaluasi terhadap hasil

  Selanjutnya Stufflebeam (dalam Wirawan :2011:92) menyatakan model evaluasi CIPP merupakan kerangka komprehensif untuk mengarahkan pelaksanaan evaluatif dan evaluasi sumatif terhadap objek program, proyek, personalia, produk, institusi, dan sistem. Model evaluasi ini dikonfigurasi untuk organisasi evaluator, evaluasi diri yang dilakukan oleh tim proyek atau penyedia layanan individual yang dikontrak atau evaluator eksternal. Model evaluasi ini dipakai secara meluas di seluruh dunia dan dipakai untuk mengevaluasi berbagai disiplin dan layanan misalnya pendidikan, perumahan, pengembangan masyarakat, transfortasi dan system evaluasi personalia militer. Model CIPP dapat diuraikan pada gambar 3.1

Gambar 2.1 Model CIPP

  

Sumber: wirawan (2011:93)

Context Evaluation Berupaya untuk mencarai jawaban atas pertanyaan: apa yang perlu dilakukan Waktu: pelaksanaan sebelum program diterima Keputusan: perencanaan program

  Input Evaluation Berupaya mencari jawaban atas pertanyaan apa yang harus dilakukan Waktu :pelaksanaa n sebelum program dimulai Keputusan :penstruktur an program Process

  Evaluation Berupaya mencari jawaban atas pertanyaan: apakah program sedang dilakukan? Waktu pelaksanaan: ketika program dilaksanakan Keputusan: pelaksanaan

  Product Evaluation Berupaya mencari jawaban atas pertanyaa n: apakah program sukses? Waktu pelaksana an: ketika program selesai Keputusan : resikel ya atau tidak program Evaluasi kontek menurut Daniel Stufflebeam adalah untuk menjawab pertanyaan apa yang akan dilakukan? (what needs to be done?). Evaluasi ini yang mendasari disusunya suatu program.

  Evaluasi masukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan: Apa yang harus dilakukan? (What should

  

be done?) evaluasi ini mengidentifikasi dan problem,

  asset, dan peluang untuk membantu para pengambil keputusan mendefinisikan tujuan, prioritas-prioritas, dan membantu kelompok-kelompok lebih luas pemakai untuk menilai tujuan, prioritas, dan manfaat-manfaat dari program, menilai pendekatan alternative, rencana tindakan, rencana staf dan anggaran untuk feasibilitas dan potensi cost effectiveness untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan yang ditargetkan. Para pengambil kebutuhan memakai evaluasi masukan dalam memilih di antara rencana-rencana yang ada, menyusun proposal pendanaan, alokasi sumber- sumber, menempatkan staf, menskedul pekerjaan, menilai rencana-rencana aktivitas, dan penganggaran.

  Evaluasi proses berupaya mencari jawaban atas pertanyaan: Apakah program sedang dilaksanakan? (Is

  

is being done?) Evaluasi ini berupaya mengakses

  pelaksanaan dari rencana untuk membantu staf program melaksanakan aktivitas dan kemudian membantu kelompok pemakai yang lebih luas menilai program dan mmenginterprestasikan manfaat.

  Evaluasi produk diarahkan untuk mencari jawaban pertanyaan: Did it succed? Evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan menngakses keluaran direncanakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya untuk membantu staf menjaga upaya memfokuskan pada mencapai manfaat yang penting dan akhirnya untuk membantu kelompok- kelompok pemakai lebih luas mengukur kesuksesan upaya dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan yang ditargetkan.

  Teori ini digunakan untuk meneliti program pendidikan inklusi dengan alasan bahwa peneliti merasa cocok dengan model evaluasi tersebut. Dalam model ini peneliti harus menganalisa kebutuhan atau kontek, membuat rencana program, melaksanakan program dan terakhir dapat melihat out put dari program.

2.1.3 Desain Evaluasi Program

  Desain merupakan tindakan bagaimana mengumpulkan informasi yang komparatif sehingga hasil program yang dievaluasi dapat dipakai untuk menilai manfaat dan besarnya program apakah akan diperlukan atau tidak (Tayibnapis 2008:64) sedangkan menurut Sukardi (2014:63) desain secara umum merupakan komponen evaluasi program yang mendeskripsikan rencana evaluasi baik dalam kegiatan evaluasi maupun penelitian. Secara ontology desain program dapat diartikan menjadi dua macam, yaitu arti secara umum dan spesifik atau sempit. Desain evaluasi program secara umum adalah semua proses, termasuk di dalamnya persiapan, pelaksanaan, dan penulisan laporan yang dilakukanoleh peneliti untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian. Desain secara spesifik dapat diartikan sebagai penggambaran secara jelas tentang pemaparan permasalahan (Sukardi 2014:64).

  Desain bisa dikatakan suatu cara bagaimana menjabarkan secara rinci unsur-unsur program yang akan dievaluasi. Pada kegiatan evaluasi instrumen- instrumen perlu dipersiapkan sebagai alat pengukuran suatu program dapat terlaksana dengan baik atau tidak.

  Tayibnapis (2008:37) mengatakan evaluasi sumatif dilakukan pada akhir program untuk memberi informasi kepada konsumen yang potensial tentang manfaat atau kegunaan program. Sedangkan Sukmadinata (2010:122) mendefinisikan evaluasi sumatif diarahkan pada mengevaluasi hasil, untuk menilai apakah program cukup efektif dan efisien atau tidak, atas dasar evaluasi tersebut apakah program dilanjutkan atau dihentikan.

  Selain menggunakan model CIPP peneliti juga menggunakan desain program evaluasi sumatif. Alasan digunakannya desain ini, karena peneliti ingin mengetahui keefektifan program yang dilaksanakan di SD Negeri I Mangunsari sebagai sekolah inklusi.

2.1.4 Evaluasi Program Pendidikan Inklusi

  Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan UU No.20 tahun 2003. Berkaitan dengan UU tersebut maka penting diadakan evaluasi program karena dapat dilihat keterlaksanaan program sebagai wujud kinerja kepala sekolah.

  Selanjutnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelolaan, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Evalausi yang dimaksudkan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaran pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

  Secara umum, evaluasi program pendidikan inklusi menyajikan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan inklusi di sekolah. Evaluasi program berkaitan erat dengan kinerja kepala sekolah dan akreditasi sekolah. Dengan akreditasi sekolah maka dapat dilakukan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Sedangkan kinerja kepala sekolah dinilai untuk mengetahui keterlaksanaan program yang direncanakan sebelumnya. Pelaksanaan evaluasi dalam penelitian ini melibatkan guru kelas, guru mapel, guru pembimbing khusus, siswa, komite sekolah dan tenaga kependidikan sebagai pelaksana program.

  Evaluasi program dalam penelitian ini Maka fokus penelitian adalah hasil pelaksanaan program pendidikan inklusi yang telah ditetapkan. Penelitian evaluasi ini bertujuan untuk menghasilkan kebijakan. Hasil evaluasi dapat memberi input atau masukan terhadap keseluruhan program pendidikan inklusi yang meliputi kontek, masukan, proses, dan hasil program.

2.2 Penelitian yang Relevan

   Hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevan

  dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut penelitian yang dilakukan Lipsky, Dorothy Kerzner; Gartner, Alan dengan judul: “The Evaluation of Inclusive

  

Education Programs” (1995) dengan hasil penelitian dan

  evaluasi pada inklusi menunjukkan kecenderungan yang kuat adanya peningkatan hasil belajar siswa (akademis, perilaku, dan sosial) baik bagi mahasiswa program pendidikan khusus dan mahasiswa pendidikan umum. Kunci keberhasilan program pendidikan inklusi meliputi : kepemimpinan yang visioner, kolaborasi, penggunaan penilaian, dukungan tenaga staf, pendanaan mencukupi, orang tua, dan keterlibatan keluarga serta orang tua yang efektif. Penelitian yang dilakukan oleh Lipsky, Dorothy Kerzner; Gartner, Alan memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan program pendidikan inklusi.

  Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa kunci keberhasilan program pendidikan inklusi adanya kolaborasi dari beberapa pihak. Perbedaan penelitian terletak pada manfaat program pendidikan inklusif; status pendidikan khusus; dan efek inklusi pada mahasiswa program pendidikan khusus maupun mahasiswa pendidikan umum. Sedangkan peneliti hanya mengevaluasi program pendidikan inklusi di sekolah dasar dan efek inklusi bagi perkembangan akademik maupun sosial.

  David Jonah Sowalsky Kieval :

  “Program

Evaluation Of An Inclusion Program At An Overnight

Summer Camp” (2013) hasil penelitian disimpulkan:

  bahwa rencana evaluasi sudah layak, evaluasi berguna bagi siswa dan stakeholder dan diadakan pengembangan lanjutan dengan diimplementasikannya karena dianggap telah berhasil dilakukan, dan umpan balik dari siswa dan pemangku kepentingan. Hasil penelitian bahwa evaluasi dan hasilnya sudah jelas, praktis, berguna, dan cocok untuk program tersebut.

  Ada kesamaan antara penelitian yang dilakukan David Jonah Sowalsky Kieval dengan peneliti. Kesamaannya terletak pada penelitian evaluasi program inklusi. Hasil penelitian dari David Jonah Sowalsky Kieval evaluasi program sudah layak diimplementasikan kembali karena sudah berhasil dan mendapat umpan balik. Perbedaan pada penelitian ini terletak pada evaluasi program di sekolah sedangkan penelitian David Jonah Sowalsky Kieval pelaksanaan evaluasi program di luar sekolah.

  Fitri Nurcahyani berjudul: “Evaluasi Mriyunan Sidayu Gresik” (2013) dengan hasil: penilaian konteks sesuai dengan penyelenggaraan inklusi, penilaian masukan berjalan dengan baik, penilaian proses ada satu indikator yang belum tercapai yaitu alokasi waktu untuk ABK tidak sesuai dengan teori, penilaian hasil telah sesuai semua indikator telah terpenuhi, dan modifikasi kurikulum pada salah satu aspek berdampak pada aspek yang lain.

  Penelitian yang dilakukan Fitri Nur Cahyani di Gresik dari hasil penilain proses ada salah satu indikator belum tercapai tapi dari konteks, masukan dan penilaian hasil mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Ada perbedaan penelitian Fitri Nurcahyani dengan peneliti yaitu Fitri Nurcahyani mengevaluasi implementasi kurikulum di sekolah inklusi sedangkan peneliti meneliti evaluasi program pendidikan inklusi. Persamaannya adalah sama-sama menggunakan model CIPP.

  Gusti Nono Haryono, Uray Husna Asmara, “Studi

  Evaluasi Program Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Kabupaten Pontianak” (2013). Penelitian tersebut menyatakan: hasil temuan komponen konteks menunjukkan konteks landasan hukum penyelenggaraan pendidikan inklusif secara jelas dan tegas belum tertuang dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan Negara kita. Hasil temuan komponen input menunjukkan input ABK yang bersekolah jumlahnya cukup besar dibanding populasi proses menunjukkan kegiatan perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran untuk setiap aspek dinilai masuk dalam katagori baik dan cukup baik. Hasil temuan komponen produk menunjukkan produk perkembangan aspek akademik ABK berdasarkan nilai UAS dan UN dinilai cukup menggembirakan.

  Hasil penelitian yang dilakukan Gusti Nono Haryono, Uray Husna Asmara, Herculanus Bahari Sindju mendapatkan temuan bahwa landasan hukum penyelenggaraan pendidikan inklusif secara jelas dan tegas belum tertuang dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan. Kesamaan adalah sama-sama menggunakan evaluasi model CIPP.

  Hasil penelitian Terry Irenewaty dan Anam (2006) yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusi di SMA Muh ammadiyah 4 Yogyakarta” menunjukkan bahwa tidak ada standar/kriteria khusus dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pelaksanaan pendidikan inklusi tergantung dari kesediaan itu sendiri. Penelitian yang dilaksanakan oleh Terry Irenewaty dan Anam menunjukkan bahwa tidak ada kriteria khusus dalam penyelenggaraan inklusi. Peneliti kurang setuju dengan hasil tersebut karena ada peraturan yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan inklusi. Perbedaan dengan peneliti adalah penelitian Terry Irenewaty dan Anam dilakukan di SMA swasta sedangkan peneliti melakukan penelitian di SD negeri. penelitian yang dilakukan Lipsky dkk, David Jonah Sowalsky Kieval, Fitri Nurcahyani,Gusti Nono Haryono dkk, Terry Irenewaty dan Anam terletak pada sosialisasi yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan masyarakat, guru, dan sekolah lain, kepedulian pemerintah desa dengan memberi sumbangan sebesar Rp 1.000.000,00 untuk penyelenggarann pendidikan inklusi, dan mempunyai siswa ABK dari luar Kecamatan Ngadirejo.

2.3. Kerangka Pikir

  Penunjukan SD Negeri I Mangunsari sebagai fasilitasi sekolah inklusi membuat kepala sekolah berbenah diri menuju sekolah inklusi. Program- program inklusi mulai dicanangkan di sekolah tersebut. Pemrograman sekolah inklusi tentunya tidak terlepas dari peran kepala sekolah sebagai seorang leader yang professional. Menurut Mulyasa (2009:90) mengatakan bahwa kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Menurut pendapat di atas ada keterkaitan fungsi kepala sekolah di SD Negeri I Mangunsari dalam perencanaan program dan pelaksanaannya.

  Pembuatan program-program sekolah inklusi Teamwork sekolah merupakan karakteristik sebuah sekolah yang harus diwujudkan dalam meningkatkan program inklusi di SD Negeri I Mangunsari. Pelaksanaan inklusi tentunya ada hambatan-hambatan bahkan ada pro dan kontra di masyarakat. Hal ini dijadikan kajian demi terwujudnya program pendidikan inklusi. Sesuai dengan program tersebut Kepala Sekolah mengadakan sosialisasi tentang sekolah inklusi.

  Gambar 2.2 Kerangka pikir

  Team pengelo la

  Program berjala baik

Dilanjutkan Dihentikan

  UUD 1945 pasal 31 UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 3,

  pasal 5, pasal 11 dan pasal 32 Permendiknas RI No,70 tahun 2009 Program Inklusi SDN I Identifika si ABK, workshop

Modifika

si

kurikulu

  Pencari an bakat Sarpras

  , GPK, Dana

Context Input Process Product

EVALUASI

  

Hasil Evaluasi

Program tidak berjalan

  

Program tidak

maksimal

Diperbaiki

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Ex In Supervision untuk Meningkatkan Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran Guru di Gugus Pergiwo Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung

0 0 10

BAB II LANDASAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Ex In Supervision untuk Meningkatkan Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran Guru di Gugus Pergiwo Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung

0 0 34

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Ex In Supervision untuk Meningkatkan Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran Guru di Gugus Pergiwo Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung

0 0 12

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Ex In Supervision untuk Meningkatkan Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran Guru di Gugus Pergiwo Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung

0 0 38

A. Program Pengelolaan Pembelajaran Guru danatau Kepala Sekolah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Ex In Supervision untuk Meningkatkan Kemampuan Pengelolaan Pembelajaran Guru di Gugus Pergiwo Kecamatan Temanggung Ka

0 1 37

BAB II KAJIAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Komite Sekolah di Gugus Abimanyu UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung

0 0 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Komite Sekolah di Gugus Abimanyu UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung

0 0 44

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Komite Sekolah di Gugus Abimanyu UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Komite Sekolah di Gugus Abimanyu UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung

0 0 118

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pendidikan Inklusi di SD Negeri I Mangunsari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung

0 0 8