STRATEGI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN EFEKTIF DI PERGURUAN TINGGI Haryono

  

STRATEGI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN EFEKTIF

DI PERGURUAN TINGGI

Haryono

  

Mahasiswa S3 UNS, Dosen DPK STKIP PGRI Ngawi

E-mail: haryonostkip@yahoo.co.id

Abstract: a lecturer quality is one of the keys to be succeed in teaching process. The

phenomenon says that a qualified lecturer will give good impacts to the graduation of

students. Effective teaching strategy is the important part in the teaching and learning

process. To get a qualified teaching, a lecturer must use the effective teaching strategy.

  

Key words: teaching strategy, quality of lecturer, and the effective teaching

development.

  Peningkatan kualitas pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan unggul merupakan tuntutan yang tidak terelakkan untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak pernah berhenti. Lulusan lembaga pendidikan harus mampu menjawab tantangan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Setiap jenjang pendidikan harus memberikan sumbangan untuk menghasilkan sumber daya insani yang unggul yang siap menghadapi tuntutan kebutuhan tersebut. Perguruan Tinggi khususnya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mempunyai kewajiban untuk menyiapkan lulusannya menjadi tenaga yang profesional sesuai dengan standar lulusan yang dapat diterima secara global pada dunia kerja.

  Tuntutan kualitas sumber daya insani yang unggul dan mandiri memang seiring dengan tuntutan globalisasi. Di era globalisasi setiap negara berusaha meningkatkan daya saingnya dalam menghasilkan barang dan jasa dengan cara peningkatan keunggulan kualitas sumber daya insaninya. Edwards (1997) menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kepentingan untuk meningkatkan kemampuan ekonominya bagi peningkatan daya saingnya. Terkait tentang perlunya meningkatkan sumber daya insani, Kember (2000) menyatakan bahwa setiap negara mengakui betapa pentingnya memiliki angkatan kerja yang terdidik dengan baik yang mampu mengikuti perkembangan teknologi agar dapat memiliki daya saing ekonomi yang baik pula. Bahkan Gardner (2000) lebih tegas lagi menyatakan bahwa kualitas sistem pendidikan nasional suatu bangsa merupakan faktor penentu utama keberhasilan dalam abad-abad mendatang.

  Hal tersebut di atas, menunjukkan bahwa pendidikan memegang peran penting dalam upaya meningkatkan sumber daya insani guna mendorong laju pembangunan ekonomi suatu bangsa. Seperti halnya Gardner, Banathy (1991) juga menyatakan bahwa pendidikan menciptakan masa depan. depan akan ditentukan oleh pengalaman belajar dalam hidupnya, baik belajar di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, masyarakat perlu merancang sistem pendidikan yang akan menyediakan kemungkinan-kemungkinan untuk masa depan tersebut.

  Pewujudan pendidikan yang bertujuan menghasilkan sumber daya insani yang sesuai kebutuhan masa depan, maka pemerintah bersama- sama pemerintah daerah idealnya menyelenggarakan sekurang- kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. (PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 61 ayat 1; lihat pula UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas, pasal 50 ayat 3). Untuk menerjemahkan bunyi pasal 61 ayat

  1 PP 19/2005 dan pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20/2003 tersebut maka dilakukan perintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yaitu sekolah yang melaksanakan kurikulum nasional dengan mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga mampu menghasilkan siswa yang mempunyai daya saing dengan dunia internasional. Implikasinya di bidang pembelajaran adalah perlunya dilakukan upaya agar terjadi peningkatan keluaran pembelajaran siswa dengan: (1) memperkuat standar, kurikulum, dan penilaian hasil belajar siswa, (2) meningkatkan kinerja guru dan staf pendukung pembelajaran, (3) meningkatkan materi pembelajaran, peralatan, dan fasilitas, (4) meningkatkan kesiapan siswa pasca pendidikan menengah atas.

  Agar dapat mendukung hal- hal yang disebutkan tadi dipandang sangat perlu adanya transformasi orientasi dalam pengelolaan pembelajaran. Pembelajaran tidak lagi dipandang semata-mata sebagai transfer ilmu, melainkan lebih berorientasi pada keterampilan kemampuan belajar para peserta didik. Kemandirian belajar menjadi kata kunci dalam transformasi orientasi tersebut. Pilihan terhadap pendekatan, model, strategi, maupun metode-metode pembelajaran harus diarahkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian belajar peserta didik. Perguruan Tinggi berperan menyiapkan tenaga-tenaga profesional untuk mendukung program tersebut.

  METODE

  Dalam pembahasan ini penulis menggunakan metode pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan buku- buku sebagai sumber datanya (Sutrisno Hadi, 1990: 9). Sedangkan pengumpulan data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah Effective Teaching

  Methods 3 rd

   Ed . Englewood karya

  Daniel, John S, 1999 dan Teaching

  Principles and Practice

  . 2

  nd

  Ed, 19954 karya Borich, Gary D. Sedangkan sumber data sekunder adalah berbagai buku yang relevan dengan pembahasan.

  Analisa data yang digunakan adalah dengan deskriptif analisis, yaitu konsentrasi terhadap solusi atau pemecahan masalah yang ada, kemudian data yang sudah ada disusun untuk dianalisa

  ( Sanapiyah Faisal, 1982: 162)

  . Untuk memberikan kesimpulan yang valid maka data- data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan metode sebagai berikut: (a) induktif, yaitu cara berfikir yang bertolak dari suatu peristiwa khusus kemudian ditarik ke suatu peristiwa umum (generalisasi) dan; (b) deduktif, yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari sumber data yang bersifat umum kedalam suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

  HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

  Setiap orang pada dasarnya mempunyai dorongan alami untuk terus belajar. Dorongan ini bersumber dari kebutuhan untuk mempertahankan keberadaan serta fungsi dan perannya sebagai sumber daya insani. Dorongan ini akan makin kuat apabila pada diri seseorang memiliki kebutuhan untuk meningkatkan kesuksesan yang telah diraihnya (Havelock dan Zlotolow, 1995). Dorongan untuk terus belajar juga diperlukan sehubungan dengan perubahan cepat yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa kita dalam era dengan masyarakat yang tidak dapat berkembang tanpa ilmu pengetahuan karena setiap upaya peningkatan kesejahteraan hidup memerlukan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan globalisasi secara bersama- sama telah mengakibatkan persaingan yang makin ketat tentang perlunya penyediaan sumber daya insani unggul. Untuk dapat mempertahankan daya saingnya, sumber daya insani juga perlu terus meningkatkan kemampuannya. Bahkan seperti diungkapkan Mansell dan When (1998), sumber daya paling pokok dalam perekonomian modern adalah ilmu pengetahuan; dan untuk itu proses belajar pada diri setiap orang menjadi hal yang paling penting untuk dilakukan. Pembangunan ekonomi dalam suatu negara harus disertai hasrat belajar yang tinggi dari setiap anggota masyarakatnya. Hasrat belajar mencakup juga keinginan untuk meningkatkan atau memperbaiki pengetahuan tradisional dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya insani.

  Dalam era seperti digambarkan tersebut, setiap orang harus menjadi pembelajar sepanjang hayat. Setiap orang harus mengembangkan potensi dirinya melalui usaha berkelanjutan untuk terus memperoleh atau meningkatkan pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan pemahaman yang diperlukan untuk dapat diterapkan dengan rasa nyaman, percaya diri, dan kreatif sesuai peran, suasana, dan lingkungan masing-masing (Longworth, 1999). Bekal yang harus dimiliki oleh pembelajar sepanjang hayat adalah kemampuan- kemampuan atau kecakapan serta sikap belajar mandiri, yaitu belajar yang didorong oleh kemauan dari dalam diri sendiri. Delors et al dalam Stoll, MacBeath, & Mortimore (2001) mengemukakan rekomendasi yang dikeluarkan

  UNESCO’s International Commision on Education for the Twenty-first Century yang menyatakan bahwa

  setiap individu perlu memiliki bekal untuk dapat memanfaatkan kesempatan belajar sepanjang hayatnya, baik untuk memperluas pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki maupun untuk beradaptasi dengan kondisi dunia yang berubah, bersifat kompleks, dan saling tergantung satu sama lain. Untuk memperoleh bekal seperti itu komisi ini juga merekomendasikan perlunya pembelajaran bertumpu pada empat pilar, yaitu: (1) learning to know, untuk memperoleh pengetahuan umum yang bersifat luas sebagai alat untuk pemahaman dan belajar bagaimana seharusnya belajar; (2)

  learning to do, untuk memperoleh

  kompetensi dalam menghadapi berbagai situasi dan untuk dapat bertindak kreatif pada lingkungan tertentu; (3) learning to live together, untuk mengembangkan saling pengertian satu sama lain, sebagai pengakuan adanya saling ketergantungan, dan untuk berpartisipasi dan bekerjasama dengan orang lain; (4) learning to be, untuk mengembangkan kemandirian, kemampuan pengambilan keputusan, dan tanggung jawab pribadi melalui pengembagan seluruh aspek dari potensi diri.

  Setiap anggota masyarakat yang memposisikan dirinya sebagai pembelajar sepanjang hayat akan membentuk masyarakat gemar belajar yang merupakan prasyarat tumbuhnya masyarakat pecinta ilmu pengetahuan. Setiap orang akan selalu berusaha memperbarui atau meningkatkan kemampuan dan keterampilannya sesuai dengan tuntutan yang dihadapinya (Edwards, 1997). Penyesuaian kemampuan seseorang perlu terus dilakukan mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, dalam dunia industri, ataupun lembaga tempat seseorang mengabdikan dirinya. Tanpa penyesuaian kemampuan diri, sesorang sulit untuk dapat terus berperan secara maksimal.

  Kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan tertentu yang harus terus ditumbuhkan, dikembangkan dan ditingkatkan karena diperlukan dalam pergaulan masyarakat, dalam lembaga ataupun dalam dunia kerja mencakup banyak dimensi, seperti: kemampuan berkomunikasi, kemampuan di dalam pemecahan masalah, kepemimpinan, kemampuan bekerja sama dalam tim (berkolaborasi), kemampuan bernegosiasi dan persuasi, kemampuan di dalam pengambilan keputusan, menciptakan peluang, penanggungan resiko, fleksibelitas, dan sikap pro- aktif, kemampuan menangani hal yang bersifat kompleks, serta aspek- aspek psikologi lain seperti: komitmen, integritas, semangat, kreativitas, dan konsistensi (Ary Ginanjar Agustian, 2002); atau secara ringkas mencakup kemampuan kognitif dan karakteristik-karakteristik afektif (Gagne, 2000). Dengan dimilikinya keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan serta sikap seperti itu, seseorang akan memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menyikapi perubahan di sekitarnya, termasuk dalam pergaulan, dalam pekerjaan, maupun dalam suatu organisasi.

  Mengembangkan Pembelajaran Efektif

  Menurut teori belajar Gagne, proses belajar merupakan suatu proses transformasi masukan (input) menjadi hasil/keluaran (output). Masukan berupa pesan atau informasi ditransformasikan ke dalam susunan syaraf kemudian disimpan untuk ditransformasikan kembali menjadi pesan yang akan mengontrol munculnya perilaku sebagai hasil belajar (Gagne dan Driscoll, 1989). Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang mampu memudahkan terjadinya proses belajar pada diri peserta didik (mahasiswa). Untuk memudahkan terjadinya proses belajar, peran dosen dalam merancang pembelajaran menjadi sangat strategis. Pilihan metode, media, bahan, dan cara-cara evaluasi yang tepat akan mendorong keaktifan belajar peserta didik (student active

  learning ) yang selanjutnya

  mendorong percepatan terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Menciptakan sebuah pembelajaran yang bersifat konstruktivistik merupakan salah satu wujud nyata upaya mendorong student active

  learning. Belajar dalam pandangan

  kaum konstuktivistik mencakup: (1) proses dan perolehan informasi melalui aktivitas bertanya, menginterpretrasi, dan analisis; (2) menggunakan informasi dan proses penalaran untuk mengembangkan, membangun, dan mencari alternatif- alternatif pemaknaan dan pemahaman atas konsep-konsep dan gagasan-gagasan; (3) mengintegrasikan pengalaman yang sedang dihadapi dengan pengalaman yang lalu atau pengetahuan yang telah dimiliki tentang sesuatu hal. Dengan demikian, kaum konstruktivistik memaknai belajar sebagai suatu proses mengkonstruksi, mengkreasi, menemukan, dan mengembangkan sendiri sebuah ilmu pengetahuan (Marlowe, & Page, 1998).

  Belajar memang merupakan suatu proses internal pada diri seseorang, namun proses internal tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa rangsangan yang berasal dari lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Rancangan program pembelajaran pada dasarnya adalah merupakan penyediaan faktor eksternal yang secara sengaja direncanakan dan diselenggarakan dengan tujuan untuk menggerakkan, memudahkan, dan meningkatkan proses internal pada diri seseorang. (Gagne, 1976).

  Belajar juga perlu didukung oleh upaya menumbuhkan motivasi diri pada diri peserta didik. Keller (dalam Driscoll, 1994) menyatakan perlunya dosen untuk mendorong tumbuhnya minat (attention) untuk belajar, menumbukan kesadaran akan relevansi (relevance) pengalaman belajar mereka dengan tujuan atau kebutuhan diri, menumbuhkan kepercayaan diri (confidence) tentang kemampuan belajar, dan rasa puas (satisfaction) untuk dapat mendorong belajar lebih lanjut. Karena proses belajar yang terjadi dalam otak tidak dapat diamati secara langsung, maka teori belajar yang didasarkan atas proses yang terjadi tersebut ditarik kesimpulannya dari pengamatan terhadap gejala yang berbentuk perilaku yang tampak oleh mata termasuk prestasi atau hasil belajar. Pengujian terhadap prinsip-prinsip belajar menurut teori ini dilakukan dengan menghubungkan hasil belajar yang diperkirakan dengan hasil senyatanya (Gagne dan Driscoll, 1989).

  Teori belajar yang dikemukakan Gagne yang disebut teori pengolahan informasi (information-processing theory ) menjelaskan bahwa penerimaan rangsangan berupa materi belajar akan menyebabkan terjadinya proses belajar yang melibatkan kerja syaraf otak yang kemudian ditampilkan sebagai hasil belajar berupa perubahan perilaku. Bahkan menurut Richey (1986) didasarkan atas pandangan bahwa otak manusia merupakan pengolah informasi melalui bekerjanya sistem ingatan, sedangkan menurut Snelbecker (1984), manusia merupakan pengolah informasi yang aktif. Lewat bekerjanya sistem ingatan yang merupakan proses kerja mental secara aktif terjadilah proses pengolahan informasi sebagai proses belajar. Tiga anggapan dasar dari teori ini seperti dikemukakan Newell dan Simon (1976), adalah: (1) terdapatnya suatu sistem kendali terdiri dari ingatan-ingatan yang berisikan berbagai informasi yang dihubungkan oleh berbagai hubungan yang teratur, (2) terjadi pengolahan-pengolahan sederhana atas informasi-informasi yang tersimpan dalam ingatan, dan (3) kaidah-kaidah pengolahan dalam keseluruhan program telah terfomulasikan.

  Belajar pengolahan informasi dapat dilihat kesamaannya dengan teori Bruner (1977), bahwa proses belajar pada diri seseorang mengandung tiga proses simultan. Pertama, proses untuk mendapatkan perolehan (akuisisi) sesuatu dari informasi baru. Hal yang diperoleh dari informasi baru sering merupakan pengganti atau perbaikan atas pengetahuan sebelumnya. Kedua, proses transformasi pengetahuan yang diperoleh disesuaikan dengan kebutuhan atau tugas. Dalam proses ini terjadi analisis atas informasi lalu diubah dalam bentuk lain seperti simbol- simbol. Ketiga, proses evaluasi. Dalam proses ini terjadi penilaian, apakah transformasi yang dilakukan sudah sesuai dengan kebutuhan atau tugas yang dihadapi. Program pembelajaran pada dasarnya adalah usaha untuk memberi bantuan memudahkan terjadinya tiga proses simultan tersebut.

  Hal yang mirip dikemukakan pula oleh Weinstein dan Mayer seperti dikutip Pintrich (1990), yang menyatakan bahwa proses belajar menurut teori pengolahan informasi terdiri dari empat tahapan proses, yaitu: seleksi, pemerolehan (akuisisi), pembentukan (konstruksi), dan integrasi. Dalam tahap seleksi, perhatian terhadap rangsang atau informasi dikendalikan atau dipilih kemudian ditransfer ke dalam ingatan jangka pendek. Dalam tahap akuisisi, informasi ditransfer dari ingatan jangka pendek keingatan jangka panjang. Pada tahap pembentukan, diorganisasikan berbagai gagasan yang terdapat dalam ingatan jangka panjang. Tahap integrasi, menyangkut penyam- bungan pengetahuan terdahulu dengan informasi yang sedang masuk.

  Berdasarkan teori pengolahan informasi tersebut, diakui bahwa sistem pengo-lahan informasi yang terjadi pada diri seseorang memiliki keterbatasan yakni hanya mampu mengolah sedikit atau beberapa macam informasi dalam satu waktu. Simbol-simbol yang diproses harus diatur dalam struktur ingatan dan isinya dapat berubah cepat. (Snelbecker, 1974). Menyadari akan keterbatasan ini, maka perlu dicari cara untuk memudahkan belajar antara lain dengan menyajikan masalah yang sederhana yang cepat dapat dipecahkan dan hasilnya dimanfaatkan untuk menghadapi masalah yang lebih sulit.

  Bekerjanya syaraf otak seperti itu juga dikemukakan Silberman (1996) yang menyatakan bahwa otak orang yang sedang belajar bukan sekedar menerima informasi melainkan memprosesnya. Kerja syaraf otak akan semakin efektif apabila informasi yang menjadi materi belajar didiskusikan dengan sesama teman atau paling tidak ditanyakan. Akan lebih bagus lagi kalau orang yang belajar dapat melakukan sesuatu terkait dengan informasi tersebut. Silberman memformulasikan hal ini dengan Kredo belajar aktifnya, yaitu: What I hear, I forget.

   What I hear and see, I remember a little. What I hear, see, and ask questions about or discuss with someone else, I begin to understand . What I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge and skill. What I teach to another, I master.

  Banyak pilihan metode atau strategi yang dapat dilakukan dalam mengaplikasikan kredo tersebut antara lain cooperative learning,

  problem-based learning, discovery- inquiry learning , dan sebagainya.

  Penggunaan metode ceramah (lecturing) bagaimanapun sulit untuk ditinggalkan, namun perlu variasi- variasi dipadukan dengan berbagai teknik atau metode yang lain.

  Silberman (1996) menawarkan 101 teknik atau strategi active learning yang secara praktis diharapkan mampu mendorong partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran.

  Upaya mengaplikasikan

  active learning perlu dukungan

  manajemen Perguruan Tinggi maupun kesungguhan Dosen dalam menekuni profesinya. Di samping itu, dosen harus terus menerus meningkatkan kemampuannya agar memiliki predikat dosen yang baik. Borich (1996) menyatakan bahwa dosen yang baik harus memiliki sikap bijak, memiliki kepandaian yang memadai, memiliki kemampuan memahami peserta didik, dan memiliki jiwa dedikasi.

  Active learning juga sangat

  tergantung bagaimana dosen mengelola pembelajaran. Dalam mengelola pembelajaran (proses belajar mengajar), dosen dengan dukungan pihak manajemen Perguruan Tinggi harus berusaha menjadikannya sebagai pembelajaran yang berkualitas melalui kegiatan evaluasi diri yang diintegrasikan dengan kegiatan mengelola pembelajaran itu sendiri. Patut disimak kegiatan evaluasi diri dengan menggunakan paradigma peningkatan kualitas pembelajaran yang dikemukakan Kember (2000) berikut.

  Keterangan:

  1)

  Evaluasi sumatif oleh pengajar; 2) Evaluasi portofolio perihal pengajaran untuk tujuan peningkatan;

  3) Review pengajaran oleh pihak eksternal; 4) Review pengajaran oleh sejawat; 5) Lokakarya membahas didaktik untuk perumusan saran perbaikan; 6)

  Lokakarya evaluasi diri; 7) Proyek riset tindakan;

  8) Proyek riset tindakan menggunakan teknik evaluasi melalui riset student active learning; 9)

   Proyek riset tindakan individual atas masalah pengajaran yang dihadapi

  Gambar 2 Paradigma Peningkatan Kualitas Proses Belajar Mengajar (Sumber: David Kember. 2000. Action Learning & Action Research, p. 19)

  Aplikasi Student Active Learning

  (SAL) memerlukan suasana kondusif

  dari Lembaga. Kampus sendiri harus difungsikan sebagai sebuah organisasi belajar yang didukung oleh seluruh stakeholder -nya terutama para dosen dalam mengoperasionalkan SAL. Kampus sebagai sebuah organisasi belajar harus menunjukkan ciri-ciri berikut: (1) setiap orang harus merasa terlibat; (2) setiap orang harus meningkatkan kapasitasnya untuk berkreasi; (3) seluruh anggota organisasi harus lebih mengutamakan kebersamaan; segala sesuatunya lebih baik dikerjakan oleh tim bukan menyandarkan pada kehendak satu orang; (4) secara berkelanjutan, organisasi harus meningkatkan kesadarannya untuk bertumpu pada ilmu pengetahuan dan menanamkannya kepada setiap anggotanya; (5) visi dari organisasi harus dimunculkan dari seluruh tingkatan yang ada dalam organisasi, tanggung jawab manajemen puncak adalah menangani proses tersebut sehingga benar-benar visi organisasi merupakan sumbangan semua pihak; (6) setiap anggota organisasi diajak mempelajari proses yang sedang berjalan pada setiap tingkatan sehingga mereka paham bahwa tindakan mereka mempengaruhi yang lain; (7) setiap orang bebas untuk saling menyoroti, sehingga hampir tidak ada yang harus ditabukan dan tidak ada hal yang tidak dapat didiskusikan; (8) setiap orang saling memperlakukan satu sama lain sebagai mitra yang setara; dalam berbicara satu sama lain dan dalam bekerja, mereka saling menghormati dan mempercayai satu sama lain tanpa membedakan posisi masing-masing; dan (9) semua orang harus diberi kebebasan melakukan percobaan, mengambil resiko, dan menilai secara terbuka

  4 2 9 8 7 1 ,3 ,5 hasil-hasilnya; bila seseorang membuat kesalahan tidak harus disingkirkan (Sange et al., 1996).

  Marcuardt (1996) menguatkan pendapat Sange et al. tersebut dengan penegasannya bahwa proses belajar pada dasarnya adalah suatu proses untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan berkreasi yang langsung berkaitan dengan tindakan dalam dunia nyata. Belajar harus dipandang sebagai gejala atau proses sosial karena kemampuan belajar seseorang sangat ditentukan oleh kualitas dan sikap keterbukaan dalam menjalin kerjasama dengan orang lain. Penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dalam sebuah lembaga pendidikan formal memerlukan dukungan manajemen yang efektif pula. Pihak manajemen lembaga pendidikan mempunyai banyak peran dan fungsi. Pihak manajemen lembaga pendidikan harus memfungsikan lembaga yang dipimpinnya sebagai organisasi belajar dan membawa organisasi beserta seluruh pihak yang terlibat di dalamnya untuk belajar lebih cepat dibandingkan dengan para pesaingnya.

  Oleh karena itu, pihak manajemen harus membawa lembaga pendidikan antara lain untuk: (1) memahami visi dan motivasi yang jelas sebagai organisasi belajar, (2) selalu responsif secara sigap dan efektif terhadap setiap perubahan kondisi kompetitif, (3) secara cepat mengubah setiap informasi menjadi pengetahuan yang berharga, (4) mendorong penggunaan teknologi yang mutakhir, (5) selalu berusaha melakukan percepatan pencapaian target, (6) berusaha lebih inovatif dibandingkan pesaingnya, (7) memiliki konfidensi dan kemampuan mengelola perubahan (Guns & Anundsen, 1996). Di samping itu, Eble dan McKeachie (1986) menyatakan bahwa pihak manajemen harus memelihara suasana yang kondusif di Kampus yang dapat mendatangkan kepuasan dan rasa kemandirian atau otonomi pada para tenaga pengajar. Pengajar yang memperoleh kepuasan di sekolah atau di kampus cenderung akan sukses dalam tugas-tugas mereka.

  Pihak manajemen harus terus berusaha menumbuhkan dan memelihara faktor-faktor yang dapat menumbuhkan kepuasan. Faktor- faktor dimaksud adalah seperti diperlihatkan dalam gambar berikut:

  

Gambar 2

Faktor-faktor yang Menjadi Sumber Tumbuhnya Kepuasan

  Keterangan

  1) Rasa mampu mencapai sukses;

  2) Rasa kemandirian;

  3) Kesempatan untuk terus;

  4) Maju/mengembangkan diri;

  5) Memiliki siswa yang cakap;

  Dalam konteks ini, karena inovasi merupakan jantungnya perubahan, maka pihak manajemen harus menyediakan kondisi yang menunjang tumbuhnya inovasi, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun lembaga. Pihak manajemen harus secara konsisten meningkatkan kemampuan berinovasi dan melakukan adopsi atau adaptasi atas inovasi-inovasi di bidang pendidikan (Wheatley, 2002). Pihak manajemen perlu mendorong seluruh tenaga pengajar untuk secara terus-menerus melakukan kajian tentang belajar dan pembelajaran dan melakukan tindakan bersama untuk mengatasi masalah-masalah pembelajaran yang tidak dapat diatasi secara individual; para tenaga pengajar perlu ditumbuhkan pada diri mereka motivasi yang kuat untuk melaksanakan tugas bukan karena hal itu merupakan tugas semata- mata, melainkan karena mereka memiliki keinginan yag kuat untuk mengabdi dalam tugasnya (Goldsmith, 2002).

  Pihak manajemen perlu memfasilitasi kegiatan-kegiatan diskusi untuk saling tukar pengalaman di antara para dosen menyangkut metode mengajar, media pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar yang digunakan. Kegiatan-kegiatan untuk melakukan inovasi, mengadaptasi, memodifikasi ataupun mengujicobakan metode, media, dan teknik-teknik evaluasi juga perlu mendapat dukungan pihak manajemen. Penyediaan fasilitas juga harus mencakup penetapan standar kualitas yang diinginkan sesuai dengan tuntutan perkembangan standar kualitas yang terus meningkat. Pentingnya pelibatan semua pihak, khususunya tenaga pengajar, dalam meningkatkan baik kualitas proses maupun hasil pembelajaran ditegaskan oleh Hoy, Bayne-Jardine, dan Wood (2000) yang menyatakan bahwa usaha peningkatan kualitas merupakan sebuah proses atau strategi untuk mendorong perubahan. harus dilakukan di kelas oleh para pengajar dengan disertai adanya keinginan kuat dari mereka dalam upaya peningkatan proses pembelajaran disertai dengan adanya proses monitoring dan evaluasi.

  Pembahasan

  Berdasar pada hasil tersebut di atas, dapat diketahui bahwa untuk mewujudkan apakah suatu pembelajaran efektif atau tidak, akan sangat ditentukan oleh peran atau posisi sentral pengajar atau dosen sebagai pengelola pembelajaran. Penampilan dosen dalam mengajar sangat berpengaruh dalam menentukan kualitas belajar peserta didik, sedangkan kualitas belajar peserta didik akan menjadi indikator utama pembelajaran yang efektif (Cave, Hanney, Henkel, & Kogan, 1997; Raka Joni, 1992). Peran dosen terutama dosen yang berkualitas tidak dapat digantikan oleh apa pun termasuk oleh teknologi (Elliott, 1999). Kualitas mengajar tenaga pengajar di perguruan tinggi merupakan hal paling utama dalam menilai kualitas sebuah perguruan tinggi. Begitu pentingnya peranan seorang dosen, Borich (1996) membuat kiasan bahwa dalam diri seorang dosen yang efektif harus didapati sikap bijak Nabi Sulaiman, kemampuan memahami Sigmund Freud, kepandaian Einstein, dan dedikasi Florence Nightingale.

  Jelasnya,dosen yang efektif adalah dosen yang mampu mengajar secara efektif. Untuk dapat mengajar secara efektif, pertama-tama harus dipahami bahwa mengajar adalah merupakan seni sekaligus sebagai ilmu (Ornstein dan Lasley, II, 2000). Oleh karenanya, seorang dosen adalah seorang seniman dalam arti sebagai seorang tenaga profesional yang terlatih sekaligus sebagai ilmuwan. Mengajar sebagai seni ditunjukkan oleh perlu adanya keinginan kuat atau keantusiasan pelakunya terhadap bidang studi yang akan diajarkannya. Dalam hal ini dosen tidak terpaku pada sebuah gaya mengajar tertentu, tetapi berusaha mengembangkan gaya khas sendiri yang unik yang dianggap paling efektif olehnya dan terus berusaha memodifikasikannya. Orang-orang seperti ini tidak akan pernah kehilangan perspektif mengenai hal-hal baru. Mereka justru selalu ingin mencoba sesuatu yang baru dalam rangka peningkatan diri.

  Namun, hal ini tidak cukup karena dosen juga harus merupakan seorang ilmuwan yang dituntut selalu menerapkan prinsip-prinsip ilmiah dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Sebagai ilmuwan dalam proses pembelajaran perlu dilakukan langkah-langkah dari prinsip-prinsip ilmiah berikut: (1) mengidentifikasi tujuan, (2) merencanakan strategi atau merumuskan serangkaian langkah logis dalam mencapai tujuan, (3) mengumpulkan dan mengevaluasi data, dan (4) mengkomunikasikan hasil-hasilnya (Elliott, Kratochwill, Cook, & Travers, 2000). Sebagai ilmuwan seorang dosen juga dituntut untuk terus belajar. Dia harus menjadi teladan bagi mahasiswanya, menjadi pembelajar sepanjang hayat dan menjadi pelopor anggota masyarakat pecinta ilmu pengetahuan. Ia harus menyadari bahwa telah terjadi perubahan pemahaman tentang belajar dan mengajar. Teori-teori psikologi belajar telah mengalami perubahan cepat. Mengajar tidak lagi dipahami hanya sebagai proses menyampaikan ilmu pengetahuan dari mereka yang tahu (dosen) ke yang tidak tahu (peserta didik) melainkan lebih sebagai tugas mengatur aktivitas- aktivitas dan lingkungan yang bersifat kompleks dari peserta didik (Shuell, 1996). Dengan demikian, seorang dosen harus memiliki jiwa inovatif yang menonjol serta selalu melakukan refleksi diri. Dosen yang bersifat reflektif (reflective teacher) akan selalu melakukan evaluasi terhadap setiap langkah pembelajaran yang dilakukannya. Berdasarkan evaluasi tersebut, ia akan berusaha mencari cara-cara inovatif dalam upaya meningkatkan penampilan diri yang lebih efektif.

  Dosen efektif adalah dosen yang mampu membantu peserta didik memperoleh yang terbaik dari pembelajaran yang dikelolanya (Cruickshank, Bainer, & Metcalf, 1999}, atau dosen yang berhasil membawa peserta didik dapat menguasai kemampuan yang menjadi tujuan pembelajaran (Crowl, Kaminsky, & Podell, 1997; Evans dan Nation, 2000). Dalam hal ini, faktor kemampuan dosen dalam memotivasi peserta didik untuk memperoleh sesuatu yang terbaik dari proses belajar yang dijalaninya merupakan hal yang sangat mendasar. Dosen dituntut kemampuannya untuk menciptakan suasana kelas sebagai “masyarakat belajar” yaitu tempat para peserta didik datang dengan maksud utama untuk belajar, bekerja sama dengan dosen dan seluruh teman sekelasnya untuk meraih kesuksesan. Untuk menciptakan suasana kelas seperti itu, dosen dalam mengelola pembelajaran harus pandai memimpin, bukan memerintah, selama proses pembelajaran. Sebagai pemimpin, dosen harus memberikan penguatan bukan menghukum; dosen lebih banyak menunjukkan bukan menceritakan; dosen harus mampu memberdayakan peserta didik dan mengutamakan kerja sama, bukan memaksakan otoritasnya, sehingga rasa tanggung jawab tiap peserta didik dapat ditumbuhkan. Dengan menciptakan suasana kelas seperti itu, setiap peserta didik akan merasa aman, nyaman, dan dihargai sehingga mendorong tumbuhnya ikatan emosional yang positif pada diri peserta didik dengan dosen dan kampus yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya motivasi belajar dan motivasi berprestasi (Brophy, 1998).

  Pembelajaran yang Efektif

  Pandangan bahwa mengajar adalah sebagai seni dan ilmu dan dosen sekaligus harus menjadi dosen yang efektif mempunyai konsekuensi yang cukup berat. Dosen harus memiliki kompetensi, pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial (PP Nomor 19/2005 pasal 28 ayat 3). Penguasaan kompetensi-kompetensi tersebut harus terimplementasikan dalam kemampuan atau perilaku antara lain; (a) memiliki kejelasan isi pelajaran: pengorganisasian bahan, kemantapan penguasaan, dan strategi penyampaiannya; (b) variasi atau fleksibilitas penggunaan pendekatan pembelajaran; (c) orientasi atau fokus pada tugas pekerjaan: penyediaan waktu untuk tatap muka, penyiapan kondisi, dan evaluasi; (d) kemampuan mengatur pembelajaran sedemikian rupa agar mahasiswa mencurahkan waktu yang cukup terlibat aktif dalam proses belajar; (e) komitmen pada standar profesi: orientasi pada capaian hasil belajar yang tinggi bagi peserta didik; (f) komitmen pada standar etika; (g) strategi analitik dan gaya reflektif; (h) kepercayaan diri pada kemampuan menjalankan tugas; (i) kemampuan berkomunikasi dengan bahasa simbol; (j) kepercayaan bahwa peserta didik memiliki kemampuan untuk belajar; (k) kehangatan, antusiasme, dan kepedulian terhadap peserta didik Kemampuan memonitor perkembangan peserta didik; (l) kemampuan memberikan umpan balik berdasarkan hasil pengukuran dan evaluasi; (m) memiliki kreativitas; (n) kemampuan membangkitkan minat dan motivasi peserta didk, dan (p) kemampuan merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas dan kemampuan menyampaikannya kepada peserta didik.

  Kompetensi dan aspek psikologik yang harus dikuasai dan atau dimiliki dosen yang efektif tersebut, diringkas oleh Elliott, Kratochwill, Cook, & Travers (2000) ke dalam tiga hal pokok yang harus mereka kuasai, yakni: (1) penguasaan aspek-aspek didaktik- paedagogik, (2) penguasaan bidang studi yang akan diajarkan; dan (3) penguasaan metode atau teknik mengajarkan bidang studi tersebut. Atau versi dosen di Indonesia, seorang dosen harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial (PP Nomor 19/2005 pasal 28 ayat 3).

  Sedangkan untuk memilih metode atau teknik mengajar terbaik yang akan digunakan, Hergenhahn dan Olson (1997) memberikan kriteria bahwa teknik mengajar yang terbaik adalah teknik mengajar yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara paling efektif dan efisien. Untuk dapat mengukur keefektifan dan efiesiensi tersebut, syaratnya adalah adanya tujuan pembelajaran yang dapat diukur pula. Pada sisi lain Cole dan Chan (1994) mengemukakan sebuah model mengenai prinsip-prinsip mengajar yang efektif yang telah teruji untuk berbagai bidang studi dengan ukuran keberhasilan tingginya prestasi belajar peserta didik apabila dosen menerapkan model tersebut. Inti model ini menyebutkan bahwa kunci utama agar dapat mengajar efektif adalah pemahaman yang baik atas nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip- prinsip dan teori-teori tentang belajar- mengajar serta penerapannya dalam praktik. Prinsip-prinsip dalam model ini terdiri dari tiga tingkatan. Prinsip tingkat pertama adalah kemampuan berkomunikasi. Tingkat kedua mencakup kemampuan: (1) membuat perencanaan dan persiapan, (2) menjelaskan dan mendemonstrasikan, (3) mengajukan pertanyaan, (4) merumuskan tugas pekerjaan, (5) memberikan balikan dan koreksi, (6) melakukan pengukuran dan penilaian. Tingkat ketiga mencakup: (1) pengelolaan kelas, (2) pemberian motivasi dan

  reinforcement,

  dan (3) menumbuhkan sikap belajar mandiri. Kesemuanya ini bermuara pada perlunya tindakan atau peran profesional dosen dalam memberi kuliah di dalam kelas.

  Di samping metode yang sudah sering digunakan yakni metode ceramah atau ceramah bervariasi, berbagai pendekatan, strategi, metode, atau teknik lain yang akan digunakan dalam melaksanakan pembelajaran di kampus harus lebih dikenali, dipahami, dan ditetapkan untuk dipilih yang paling tepat untuk membawa mahasiswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Di luar metode ceramah atau ceramah bervariasi beberapa pendekatan, strategi, metode, dan teknik dapat dipertimbangkan untuk digunakan antara lain: (a) belajar dengan kerja sama (cooperative

  2002); (f) model simulasi bisnis dengan multimedia interaktif, misalnya seperti yang digunakan dalam Human Resources Skills:

  Participation Approach

  yang diterapkan dalam Observation

  participation approach ), misalnya

  pembelajaran dengan penggunaaan bahan ajar tertulis yang dikembangkan berdasarkan model Dick dan Carey dengan disertai penggunaan strategi-strategi kognitif; (j) pendekatan observasi berpartisipasi (observation

  advance organizer; (i) pendekatan

  yang berhasil meningkatkan pemahaman tentang proses penjaringan karyawan dan proses pengambilan keputusan (Klassen & Drummond, 2000); (g) pendekatan konstruktivistik untuk mendorong peserta didik tidak hanya pasif menerima informasi melainkan aktif membangun ilmu pengetahuan; (h) pendekatan pembelajaran dengan penggunaan bahan ajar tertulis yang dikembangkan berdasarkan model Dick dan Carey disertai penggunaan

  Learning through an Interactive Multimedia Business Simulation

  Mediated Learning in American Business Education (Gemeinhardt,

  learning ), dengan metode ini para

  dalam Best Practices in Technology-

  learning ), misalnya yang diterapkan

  banyak bidang studi baik bidang sosial maupun nonsosial (Boud & Feletti, 1997); (c) pendekatan kolaboratif untuk mendorong peserta didik belajar secara mendalam untuk memperoleh kemampuan- kemampuan tingkat tinggi seperti kemampuan berpikir kritis dan belajar bagaimana seharusnya belajar sehingga dapat dihindarkan terjadinya miskonsepsi mengenai hal-hal yang dipelajari (Evan & Nation, 2000); (d) belajar kelompok, dalam rangka membangun kerja sama dan saling memahami satu sama lain (Mulder, Swaak, & Kessels, 2002); (e) belajar bermedia teknologi (technology-mediated

  learning dapat digunakan untuk

  pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (Naidu, Cunnington, & Jasen, 2002); problem-based

  learning ), antara lain dengan

  peserta didik diharapkan dapat saling membantu satu sama lain, berdiskusi, saling berargumentasi, saling mengisi kekurangan satu sama lain (Slavin, 1995); (b) belajar berbasis pemecahan masalah (problem-based

  mata ajaran Pengantar Ilmu Politik; (k) model- modsel lain yang dapat dikelompokkan ke dalam model sosial, model personal, model pengolahan informasi, dan model sistem “behavioral”; (l) pendekatan- pendekatan atau strategi-strategi belajar aktif yang lain lagi, baik untuk memulai pelajaran, maupun untuk belajar tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  Sumber daya insani profesional dan unggul yang mempunyai daya saing dengan dunia kerja merupakan tuntutan harus dipenuhi oleh penyelenggaraan pendidikan. Hal ini pada hakikatnya merupakan tujuan diselenggarakannya program- program pendidikan di setiap satuan pendidikan. Untuk menghasilkan lulusan yang unggul atau berkualitas/profesional diperlukan pembelajaran yang berkualitas. Penyelenggaraan pembelajaran yang berkualitas memerlukan lembaga pendidikan yang memfungsikan dirinya sebagai organisasi belajar, memerlukan manajemen yang efektif, memerlukan dosen yang efektif, dan memerlukan peserta didik yang aktif dan efektif dalam proses belajarnya.

  Dosen yang efektif adalah salah satu kunci keberhasilan pembelajaran. Untuk dapat mengajar yang efektif, maka dosen yang bersangkutan harus memahami metodologi pembelajaran, strategi pembelajaran dan menjadikan dirinya menjadi manusia pembelajar.

  Saran

  Berdasar keseluruhan uraian tersebut, dikedepankan saran-saran kepada berbagai pihak sebagai berikut: Pertama, pihak manajemen/pengelola perguruan tinggi tidak sedikit yang kurang memberikan motivasi agar para dosen melakukan proses perkulihan yang lebih efektif, maka sebaiknya pihak manajemen senantiasa memberikan dorongan dan motivasi kepada para dosen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Kedua, masih banyak dosen yang belum menerapkan pembelajaran yang efektif, maka sebaiknya para dosen mulai menggunakan metode dan strategi yang lebih baik. Ketiga, banyak mahasiswa yang tidak berani mengutarakan pendapat jika seorang dosen tidak kreatif dan inovatif dalam perkuliahan, sehingga dosennya pun tidak mengetahui kekurangan. Sebaiknya, mahasiswa diharapkan berani memberikan umpan balik atau masukan kepada dosen tersebut, agar ada perbaikan.

  Andrik Purwasito. 2003. Inovasi

  Pengembangan Metode Pembelajaran: Observation Participation Approach Mata Ajaran Pengantar Ilmu Politik . Ringkasan

  Laporan Teaching Grant Proyek QUE Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Tahun 2002.

  Ary Ginanjar Agustian. 2002.

  Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual: ESQ . Jakarta: Penerbit Arga.

  Ashcroft, Kate. 1995.

  The Lecturer’s Guide to Quality and Standards in Colleges and

  Universities . London: The Falmer Press.

  Guns, Bob, & Kristin Anundsen.

  Changing University Teaching: Reflection on Creating Educational Technologies . London:

  Kogan Page. Gagne, Robert M. 2000. “Mastery

  Learning and Instructional Design.” Dalam Rita C. Richey (Ed.). The Legacy of

  Robert Gagne . Syracuse: ERIC-Clearinghouse.

  Gardner, Howard. 2000. The

  Disciplined Mind . New York: Penguin Putnam, Inc.

  1996. The Faster Learning

  Learning: The Politics of the New Learning Environment . London: Jessica Kingsley Publishers.

  Organization: Gain and Sustain the Competitive Edge . Johannesburg: Pfeiffer Company.

  Havelock, Ronald G., & Steve Zlotolow. 1995. The

  Change Agent’s Guide. 2 nd

  Ed . Englewood Cliffs, N.J.:

  Educational Technology Publications. Henson, Kenneth T., & Ben F. Eller.

  1999. Educational

  Psychology for Effective Teaching . Belmont, CA:

  Evans, Terry, & Daryl Nation. 2000.

  Elliott, Geoffrey. 1999. Lifelong

  Banathy, Bela H. 1991. Systems

  Bainer, & Kim K. Metcalf. 1999. The Act of Teaching.

  Design of Education: A Journey to Create the Future. Englewood Cliffs,

  N. J.: Educational Technology Publications. Borich, Gary D. 1996. Effective

  Teaching Methods. 3 rd Ed .

  Englewood Cliffs, N. J.: Prentice Hall Inc. Cole, Peter G., & Lorna Chan. 1994.

  Teaching Principles and Practice . 2 nd

  Ed. New York: Prentice Hall Cruickshank, Donald R., Deborah L.

  2 nd

  Places: Flexibility, Lifelong Learning and a Learning Society . London: Routledge.

   Ed . Boston: McGraw- Hill College.

  Daniel, John S. 1999. Mega-

  Universities and Knowledge Media: Technology Strategies for Higher Education . London: Kogan

  Page. Eble, Kenneth E., & Wilbert J.

  McKeachie. 1986.

  Improving Undergraduate Education through Faculty Development . San

  Francisco: Jossey-Bass Publishers. Edwards, Richard. 1997. Changing

  Wadsworth Publishing Company.

  • – Ditjen Dikti Depdikbud.

  New York: Oxford University Press.

  Ed. Boston: Allyn and Bacon. Tilaar, H.A.R. 1990. Pendidikan

  Learning: Theory, Research, and Practice . 2 nd .

  Alyn and Bacon. Slavin, Robert E. 1995. Cooperative

  Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject . Boston:

  Silberman, Mel. 1996. Active

  Konsorsium Ilmu Pendidikan

  Pikiran Mengenai Pendidikan Guru . Jakarta:

  Raka Joni, T. 1992. Pokok-pokok

  Lasley, II. 2000. Strategies for Effective Teaching . Boston: McGraw-Hill Higher Education.

  Thousand Oaks, CAL.: Corwin Press, Inc. Ornstein, Allan C., & Thomas J.

  Sustaining the Constructivist Classroom .