PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SASTRA DI IN

PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SASTRA DI INDONESIA:
KENYATAAN, PERKEMBANGAN, DAN HARAPAN
Ibnu Wahyudi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
/1/
Akhir-akhir ini, istimewanya pada tahun 2004 ini, ada kenyataan cukup unik
berkenaan dengan penyebutan kelas atau tingkat pada buku-buku pelajaran yang
diterbitkan di Indonesia. Sekadar sebagai contoh, buku teks yang berjudul Bahasa
dan Sastra Indonesia susunan Dawud dan kawan-kawannya1 dari Universitas Negeri
Malang, diberi embel-embel atau label “untuk SMA Kelas X”. Dikatakan “cukup
unik” dalam tulisan ini mengingat bahwa penyebutan yang sedemikian itu dapat
dikatakan sebagai tidak lazim dan tentu “mengingkari” realitas yang ada, sebab SMA
(Sekolah Menengah Atas) di Indonesia selama ini hanya mengenal tingkatan “kelas
1”, “kelas 2”, atau “kelas 3”. Demikian pula dengan penyebutan kelas untuk SMP
(Sekolah Menengah Pertama), halnya tidak berbeda dengan SMA. Sedangkan SD
(Sekolah Dasar) akan menyebutkan penjenjangannya dari “kelas 1” sampai dengan
“kelas 6”.2 Sudah barang tentu, hadirnya gejala seperti itu akan memungkinkan
timbulnya semacam pertanyaan, misalnya, mengapa pada buku-buku pelajaran atau
buku-buku teks sekarang ini—sekurang-kurangnya untuk terbitan tahun 2004—ada
penyebutan “kelas X”, atau “kelas VIII” yang mengikuti kata SMP atau SMA?

Dicantumkannya kelas-kelas yang seperti ini tidak lain berhubungan erat dan
merupakan konsekuensi logis dari suatu dinamika atau perkembangan dalam
permasalahan kurikulum di Indonesia. Tahun 2004 ini, di Indonesia, merupakan tahun
penting karena menjadi awal diterapkannya suatu kurikulum baru dalam dunia
pendidikan, yang namanya sudah mulai akrab di telinga khalayak sebagai “Kurikulum
1 Penyusun buku Bahasa dan Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Erlangga
(Jakarta, 2004) ini adalah Dr. Dawud, Dr. Nurhadi, Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd., dan Drs. Abdul Rani,
M.Pd., yang kesemuanya adalah dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
2 Bandingkan cara menulis angka “6” dan bukan “VI” pada tradisi kurikulum yang lama.
Penulisan dengan angka romawi seperti terlihat pada contoh buku yang telah disebutkan, “untuk SMA
Kelas X” bukannya tanpa maksud; penulisan itu merupakan suatu strategi baru yang mengindikasikan
adanya kesinambungan penjenjangan dalam bersekolah yang bersifat sinambung atau kontinyu.
Contohnya, buku Sjarifudin, dkk. berjudul Terampil Menggunakan Bahasa Indonesia, (Bandung:
Grafindo Media Pratama, 2003) yang dimaksudkan sebagai “mengarah pada Kurikulum Berbasis
Kompetensi”, dilabeli dengan “untuk SD Kelas VI” dan bukan “untuk SD Kelas 6”.

Berbasis Kompetensi” (KBK)—a competency-based curriculum.3 Berbeda dari
kurikulum-kurikulum sebelumnya, pada kurikulum terbaru ini4—sebagaimana tersirat
dari namanya—secara garis besar dapat dikatakan bahwa orientasi pembelajaran lebih
berfokus pada siswa, pada kompetensi siswa, dengan mempertimbangkan kerelevanan

atau kekontekstualan materi ajar serta mengarah pada upaya pengembangan sikap dan
wawasan yang kaya dan bermartabat. Dengan orientasi semacam ini tidak berarti
bahwa guru atau pensyarah tidak lagi mempunyai posisi penting; guru tetap sangat
memiliki peran sentral, hanya tidak lagi sebagai satu-satunya “sumber ilmu atau
pengetahuan” tetapi menjadi sebagai semacam fasilitator. Selain itu, karakteristik
kurikulum ini harus dimaknai sebagai tidak lagi parsial, yang membedakan tingkat
“dasar”, “menengah”, dan “atas” secara tajam, melainkan lebih berketerusan atau
berkesinambungan dari kelas I (SD) hingga kelas XII (SMA). Dengan demikian,
pencantuman “SMA kelas X” seperti telah disebutkan, tentu harus dibaca sebagai
“kelas 1 SMA”. Kendati begitu, tetap banyak orang yang tentu akan bertanya-tanya
mengenai ketepatan penyebutan “SMA kelas X” itu; sebab bagaimana mungkin ada
SMA sampai kelas X, sementara di SMA hanya ada tiga tingkatan yang dijalani
pembelajar selama 3 tahun?
Penyebutan “SMA kelas X” ini jelas adalah sebuah bentuk kompromi yang
mencerminkan situasi “transisi” yang terjadi di Indonesia kini. Inilah suatu masa atau
tahap yang “terpaksa” harus ditempuh di Indonesia; suatu langkah peralihan yang
memang harus dimulai. Oleh karena itu, jika buku pelajaran yang dimaksudkan
“untuk SMA kelas I” itu langsung disebut secara tepat sebagai “untuk Kelas X”—
tanpa embel-embel SMA—dikhawatirkan akan lebih menimbulkan kebingungan di
dalam masyarakat dibandingkan dengan penyebutan “untuk SMA Kelas X” yang jelas

juga kurang tepat itu. Kekhawatiran semacam ini, bagaimanapun, selalu ada. Terlebih
3 Kniep menyatakan bahwa a competency-based curriculum starts with identification of the
competencies each learner is expected to master, states clearly the criteria and conditions by which
performance will be assessed, and defines the learning activities that will lead to the learner to mastery
of targeted competency. Pernyataan Kniep ini dapat dibaca pada makalah Suyono, “Kurikulum
Berbasis Kompetensi dan Kondisi Penerapannya di Sekolah,” yang dipresentasikan pada Simposium
Nasional Pembelajaran Bahasa, diselenggarakan oleh UNNES, 14 Oktober 2002, h. 28.
4 Meskipun secara umum kebanyakan orang “menerima” saja nama Kurikulum Berbasis
Kompetensi itu, ada saja yang mempermasalahkannya. Salah seorang pengamat pendidikan Indonesia
yang keberatan dengan pemakaian istilah “berbasis” adalah J. Drost dalam tulisannya di Kompas, 8
Agustus 2002. Menurut Drost, suatu kurikulum, yang pada galibnya adalah sebuah alat dalam proses
pembelajaran, tidak dapat mempunyai basis atau dasar. Dalam pandangannya, yang ada dan yang
semestinya, adalah kurikulum yang “bertujuan” kompetensi. Lihat Hasanuddin WS, “Problematika
Pendidikan dan Pengajaran Sastra di Sekolah: Pembelajaran Tanpa Guru Berkualitas.” Makalah yang
disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (Pilnas) XIII Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia
(Hiski) di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 8-10 September 2002.

2

lagi dengan telah terbentuknya semacam opini dalam masyarakat bahwa setiap tahun

ajaran baru, selalu saja para orangtua direpotkan secara ekonomis dengan pengeluaran
biaya yang tidak sedikit untuk membeli sejumlah buku baru yang banyak diduga
hanya kulitnya saja yang baru. Begitupun dengan masalah penulisan tadi, sangat boleh
jadi dipahami hanya sebagai semacam siasat dagang saja yang akan meresahkan
konsumen, dalam hal ini adalah orangtua siswa. Pertanyaan yang tentu saja dapat
muncul atau mengemuka sehubungan dengan bentuk kompromi ini adalah, sampai
kapan masa transisi ini harus dijalani?
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bertautan dengan pelaku
dunia pendidikan itu sendiri, yaitu bersangkut paut dengan guru sebagai aktor
utamanya. Masa transisi atau perubahan akan tidak mempunyai arti sama sekali
sekiranya pelaku yang terlibat di dalamnya—yaitu guru—tidak menyadari atau
enggan mentransformasi serta memposisikan dirinya dalam arus perubahan itu. Dari
sejumlah pelatihan yang secara langsung melibatkan diri saya sebagai instruktur atau
pemberi materi “Apresiasi Sastra”5 maupun “Pembelajaran Apresiasi Sastra”,6 nada
pesimis dari para peserta yang notabene adalah para guru bahasa dan sastra Indonesia
untuk tingkat SMP maupun SMA hampir selalu mengemuka ketika perihal Kurikulum
Berbasis Kompetensi ini disebut-sebut. Kepesimisan nada itu teristimewa berpangkal
dari “pengalaman” yang selama bertahun-tahun telah mereka alami yang memberikan
“pelajaran” berharga kepada para guru itu bahwa ternyata pada akhir pembelajaran,
yang tetap terpenting adalah materi-materi yang bersifat hafalan, pemaknaan tunggal,

maupun sekadar memilih sebuah jawaban dari sekian kemungkinan jawaban yang
disediakan. Sebagai akibatnya, apapun pelatihan, strategi pembelajaran, maupun
paradigma baru yang ditawarkan, pada awalnya akan selalu saja dicurigai sebagai
tidak terlalu bermanfaat atau tidak signifikan untuk mereka. Namun demikian, secara
konkret meski perlahan-lahan, perubahan sungguh sudah terjadi: sudah ada semacam
kesadaran baru pada para guru yang telah mengikuti berbagai pelatihan itu bahwa
paradigma pengajaran sastra yang lebih menempatkan sastra sebagaimana seharusnya

5 Misalnya dalam kegiatan TOT (Training of Trainers) untuk para guru SMA maupun SMP
yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Penataran Guru Bahasa (PPPG Bahasa), Srengseng
Sawah, Jakarta, sejak tahun 2001.
6 Materi ini merupakan bagian dari kegiatan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS)
yang diikuti oleh para guru bahasa dan sastra tingkat SMP maupun SMA. MMAS diprakarsai oleh
majalah sastra Horison yang pada awalnya ditaja oleh Bappenas, diselenggarakan di sejumlah kota
maupun juga di Jakarta sendiri. Dalam perkembangannya, teknis pelaksanaan ditangani oleh PPPG
Bahasa, Depdiknas.

3

sastra, sudah dimulai dan secara pasti mewarnai dinamika pengajaran maupun

pembelajaran sastra di Indonesia.
/2/
Istilah “pengajaran” yang mempunyai makna ‘proses, cara, perbuatan mengajar
atau mengajarkan; perihal mengajar; segala sesuatu mengenai mengajar’7 belakangan
ini sudah tidak populer lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Yang kini lebih
populer dan biasa diucapkan adalah istilah “pembelajaran” sejalan dengan semangat
perubahan yang terjadi. “Pengajaran” banyak dianggap sebagai kurang tepat karena di
dalamnya terkesan mengandung pengertian bahwa hanya pihak guru yang berperan
aktif, sementara siswa atau peserta didik menerima saja apa-apa yang dicekokkan oleh
sang guru. Sedangkan “pembelajaran” lebih dipilih dan dipergunakan secara formal
karena di dalam kata ini aktivitas yang terjadi adalah seimbang antara pihak guru dan
anak didiknya; mereka sama-sama aktif dan—diharapkan—juga sama-sama kreatif.8
Perihal pergeseran keaktifan dari yang semula lebih “dikuasai” oleh para guru
dan pada gilirannya kini “dibebankan” kepada para siswa, tidak terlepas dari
kebijakan, ancangan, maupun arah kurikulum yang dalam jangka waktu tertentu
mengalami perubahan, diversifikasi, maupun modifikasi seiring dengan berbagai
kemajuan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pada intinya, seperti dinyatakan
oleh Sarwidji Suwandi, penyempurnaan atau pembaruan kurikulum dilakukan dalam
rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tuntutan masa depan yang niscaya
akan dihadapi oleh para siswa sehingga mereka akan mampu berpikir global dan

bertingkah laku sesuai dengan karakteristik maupun potensi tempatan atau lokal.9
Dalam kaitannya dengan upaya memahami perubahan-perubahan yang pernah
terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya lagi yang berhubungan
dengan pengajaran dan pembelajaran sastra, perlu sedikit ada semacam tinjauan
terhadap “perjalanan” yang sudah dilalui.
/3/
7 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III,
cetakan pertama, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h. 17
8 Lihat, B. Rahmanto, “Reaktualisasi Pembelajaran Sastra: Siswa sebagai Pembelajar Aktif,”
Horison, XXXV (7), Juli 2002, h. 12.
9 Sarwidji Suwandi, “Peranan Guru dalam Meningkatkan Kemahiran Berbahasa Indonesia
Siswa Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi.” Makalah Kongres Bahasa Indonesia VIII, 14-17
Oktober 2003, Jakarta, h. 2.

4

Kurikulum di Indonesia sudah berganti beberapa kali semenjak pertama kali
dicanangkan pada tahun 1950.10 Pergantian atau perubahan kurikulum merupakan hal
yang wajar sebagai bentuk aktualisasi maupun responsi dari perkembangan yang
terjadi di dalam kehidupan. Akan tetapi, setiap ada modifikasi dalam kurikulum,

masyarakat pada umumnya selalu memberikan tanggapan yang pada intinya kurang
menggembirakan; bukan karena masyarakat itu anti-perubahan mengenai kandungan
kurikulum atau anti-kemajuan, melainkan karena berdampak pada buku-buku teks
yang juga berganti. Dengan bergantinya buku-buku teks atau buku-buku pelajaran itu
berarti para orangtua murid harus menyediakan tambahan dana untuk membeli bukubuku tersebut, sebagaimana sudah disebutkan di awal tulisan.
Sementara itu, menurut Suyanto, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta,
kurikulum memang harus sering diganti sesuai dengan dinamika atau perubahan
dalam masyarakat. Secara periodik kurikulum memang harus diubah.11 Perubahan
kurikulum itu, menurut Tarno, dosen Universitas Nusa Cendana,12 merupakan suatu
peristiwa yang wajar dan memang perlu terjadi atau perlu dilakukan karena kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi juga selalu muncul. Tanpa mengikuti perkembangan
atau kemajuan yang ada, pendidikan akan jauh tertinggal. Bahwa ada semacam
trauma yang melanda masyarakat luas dengan berubahnya kurikulum, hal itu tidak
dapat dipungkiri. Bahkan bagi para guru sendiri, perubahan kurikulum pun tidak
selamanya disambut dengan gembira. Arif Budi Christianto misalnya, seorang guru di
sekolah swasta di Jakarta, menyatakan bahwa implementasi KBK masih lebih sering
membingungkan para guru.13
Kembali pada “perjalanan” sastra (dan bahasa) Indonesia dalam kurikulum,
dapat diberikan gambaran bahwa semenjak tahun 1950 itu kurikulum telah mengalami
perubahan pada tahun-tahun 1958, 1964, 1968, 1975/1976, dan 1984 untuk SMA,

sementara pada tahun 1987 perubahan terjadi pada kurikulum untuk SMP. Sejak awal,
bidang studi sastra Indonesia terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia, sampai
kurikulum 1975/1976. Baru pada kurikulum 1984—khususnya untuk SMA—nama
10 Versi menurut Kompas, kurikulum yang pertama adalah tahun 1947. Lihat, Imam
Prihadiyoko dan Kenedi Nurhan, “Selamat Datang Kurikulum Berbasis Kompetensi,” Kompas, 17
Desember 2003.
11 Suyanto, “Persoalan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi,” Kompas, 6 Oktober
2003.
12 Tarno, “Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Daerah-daerah Pinggiran.” Makalah
untuk Kongres Bahasa Indonesia V, 1988.
13 Arif Budi Christianto, “Kurikulum Berbasis Kompetensi yang Membingngkan,” Kompas, 17
Januari 2003.

5

bidang studi ini berubah menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia dalam program inti,
serta Sastra Indonesia dikhususkan untuk program pilihan Pengetahuan Budaya.
Namun dalam kenyataannya, menurut Tarno14 lagi, pengajaran sastra di SMP maupun
SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya sematamata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3
jam per minggu. Lebih lanjut Tarno menegaskan seperti di bawah ini.

Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari
ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa
pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang
studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi
Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat
terjadinya penyempitan kedudukan sastra.15
Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya
mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi
penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan
sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya.16 Namun demikian, di dalam praktiknya,
pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian
yang selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu
merupakan juga guru yang mengajar bahasa. Hal semacam ini sebenarnya tidak
menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama
besarnya; namun kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para
guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Kendati demikian, jika
diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para
guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan
sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.
/4/

14 Tarno, loc.cit.
15 Ibid.
16 Dalam hubungannya dengan persoalan ringkasan atau sinopsis ini, Wilson Nadeak dalam
artikel berjudul “Sastra Kita: Masalah Pengajaran dan Apresiasi,” Suara Karya, 31 Oktober 1993,
menyatakan bahwa “sebenarnya penulis ikhtisar itu berniat baik. Sekadar untuk “mengingatkan”
kembali apa yang sudah dibaca. Upaya ini sangat menolong bagi seorang pengajar sastra yang suka
membaca buku sastra sehingga waktu ia mengajarkan kembali contoh-contoh karya sastra, ia
menggunakan buku itu sebagai pengingat dan bahan perumusan struktur sebuah karya sastra.
Sayangnya, buku semacam ini menjadi semacam buku “pintar” bagi siswa atau mahasiswa yang malas
berpikir dan membaca sastra untuk mengambil jalan pintas, membaca buku ini demi perolehan angka
atau ujian semester. Buktinya, jenis buku seperti ini banyak yang mengalami cetak ulang sementara
karya sastra yang diikhtisarkan lama atau jarang dicetak ulang.”

6

Kenyataan yang cukup memprihatinkan mengenai pengajaran sastra di sekolah,
bukan karena porsinya yang hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata
pelajaran Bahasa Indonesia atau alokasi waktu yang sangat minimal itu, melainkan
juga karena strategi pengajarannya yang mengkhianati jatidiri sastra itu sendiri.
Metode menghafal misalnya, yang dapat saja berupa menghafal nama-nama para
sastrawan, menghafal peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kegiatan
sastra atau peristiwa sastra, maupun menghafal contoh-contoh soal terdahulu dengan
jawaban yang tersedia,17 yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus pada
ujian akhir maupun pada kuis-kuis yang diadakan, sungguh-sungguh telah
mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat sastra.
Dikatakan sebagai “telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat
sastra” karena sastra, bagaimanapun, adalah sebuah karya seni yang berbeda dengan
ilmu alam maupun ilmu-ilmu lain yang serba dapat diukur, dihitung, maupun diduga
secara tetap dan pasti. Sastra, seperti halnya karya-karya seni yang lain, harus
ditempatkan dan diperlakukan sebagaimana karya fiktif, imajinatif, kreatif, serta
berdimensi makna yang tidak tetap. Dengan jatidiri yang sedemikian itu, maka jika
sastra juga diperlakukan sama dengan bidang ilmu lainnya, yang terjadi kemudian
tentu adalah “seolah-olah” pembelajar telah memahami atau mengkaji sastra tetapi
sesungguhnya bukan mengapresiasinya. Kenyataan seperti ini tentu merupakan hal
yang tidak semestinya terjadi dan memang tidak boleh terjadi.
Menanggapi realitas semacam itu, banyak pengamat pendidikan maupun
pengamat sastra pada khususnya, yang telah melemparkan pendapat dan kritik tajam
yang pada intinya menghendaki dikeluarkannya sastra dari “bagian” bahasa
Indonesia.18 Kalau bukan suatu keinginan untuk sampai “mengeluarkan” sastra dari
kurikulum, banyak pihak menghendaki agar ada pemisahan yang tegas antara guru
bahasa Indonesia dengan guru khusus sastra.19 Bahkan menjelang diberlakukannya
kurikulum 1994, banyak isu yang beredar, yang antara lain menyebutkan bahwa pada
17 Kecenderungan seperti ini sudah merupakan hal jamak, agaknya. Geko Kriswanto dalam
tulisannya “Logika dalam Pelajaran Bahasa Indonesia,” Kompas, 31 Mei 2004 menyatakan
“kecenderungan lama masih saja muncul dengan mengajarkan bahan-bahan pelajaran yang kira-kira
akan keluar pada waktu ujian akhir.”
18 Pendapat-pendapat “keras” seperti ini, sejauh pengamatan, memang belum ada yang
memformulasikannya dalam bentuk suatu tulisan—barangkali karena kekontroversialannya—tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu sering menjadi topik pembicaraan yang bersifat nonformal, atau di
luar forum-forum pertemuan.
19 Seperti dinyatakan oleh Hasanuddin WS, keinginan untuk memisahkan sastra dari mata
ajaran bahasa ini sudah lama terdengar dan menguat secara semiformal dalam diskusi-diskusi di selasela Pertemuan Ilmiah Nasional HISKI tahun 1992. Lihat, Hasanuddin WS, loc.cit. Pendapat lain
mengenai hal ini

7

kurikulum ini tidak akan lagi ada komponen sastra di dalam bidang studi bahasa
Indonesia. Konon, bidang studi sastra akan dipisahkan dari pelajaran bahasa
Indonesia, seperti ditulis oleh HD Haryo Sasongko20 dan disinggung pula oleh
Pamusuk Eneste dalam artikelnya.21 Meskipun kenyataan yang banyak dibayangkan
dan (mungkin) memang diharapkan oleh banyak peminat sastra itu tidak terwujud—
karena ternyata Kurikulum 1994 masih memasukkan sastra sebagai bagian bidang ajar
bahasa Indonesia—isu-isu seperti itu secara tidak langsung telah mempunyai
pengaruh positif dalam memandang dan memposisikan pengajaran maupun
pembelajaran sastra.
Faktor yang ikut memperparah tidak signifikannya atau bahkan gagalnya
pengajaran maupun pembelajaran sastra di sekolah adalah pada guru itu sendiri.
Bukan suatu rahasia lagi bahwa sebagian besar guru sastra adalah guru bahasa yang
lebih memberikan perhatian kepada permasalahan bahasa, utamanya pada masalahmasalah teknis. Bahkan, seperti dikemukakan oleh I Wayan Artika, banyak guru sastra
yang “tidak menyukai sastra”.22 Maka, dengan “pengakuan” semacam ini, apa yang
dapat diharapkan? Oleh karena itu, jika pengajaran sastra berada dalam posisi
terpuruk, bukan sesuatu yang perlu diherankan. Namun permasalahannya tentu bukan
hanya pada “keheranan” atau tidaknya, melainkan pada apa upaya atau langkahlangkah yang dapat dijalankan untuk memperbaiki kenyataan yang sedemikian itu.
/5/
Sejumlah gagasan, ide, rencana, tindakan nyata, serta sumbang saran melalui
tulisan di pelbagai media dan kesempatan, maupun pemikiran-pemikiran positif lain
yang dikemukakan oleh berbagai kalangan, telah merebak dan membawa angin
perubahan dalam pengelolaan maupun praktik pengajaran dan pembelajaran sastra.
Hasanuddin WS dalam tulisannya yang telah disebut di depan, mengatakan, “Apapun
kondisinya, semua perbincangan yang berkaitan dengan masalah sastra dan
pengajaran sastra semestinya disyukuri dan dicermati karena fenomena tersebut
merupakan indikator kepedulian banyak pihak terhadap keberlangsungan kehidupan

20 HD Haryo Sasongko, “Tentang Pelajaran Sastra di sekolah: Dari Indoktrinasi ke Apresiasi,”
Mutiara, Minggu III-Oktober 1993.
21 Pamusuk Eneste, “Karya sastra untuk Sekolah,” Media Indonesia, 11 Januari 1994.
22 I Wayan Artika, “Diskusi Pascamembaca Karya (Catatan Pembelajaran Sastra dari sebuah
SMU negeri di Kota Singaraja, Bali Utara).” Makalah yang disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional
HISKI, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 8-10 September 2002.

8

kesastraan sebagai bagian kebudayaan republik ini. Fenomena ini tampak dengan jelas
menempatkan posisi sastra sebagai hal yang penting dan tidak boleh diabaikan.”23
Sehubungan dengan langkah nyata yang sudah dan masih dilakukan, tidak dapat
diketepikan sejumlah kegiatan. Pertama, yang segera harus disebut dalam hal
pemikiran serta kontribusi konkretnya adalah pihak majalah sastra Horison—di
bawah “komando” Taufiq Ismail—dalam mewujudkan rencana aksinya. Ada 6
kegiatan yang pernah dan masih dilaksanakan, yaitu (1) penerbitan sisipan Kakilangit
[sejak November 1996] dalam majalah Horison yang dimaksudkan sebagai wahana
apresiasi sastra yang terfokus maupun sarana penampung tulisan kreatif dan opini
para siswa serta guru, (2) pelatihan MMAS [Membaca, Menulis, Apreasiasi Sastra]
sejak Februari 1999 yang ditujukan untuk menyadarkan maupun meningkatkan
pemahaman para guru akan hakikat maupun dinamika sastra, (3) kegiatan SBSB
[Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya] yang dilaksanakan sejak tahun 2000 dan
disponsori oleh The Ford Foundation bagi suatu kegiatan interaktif antara para
sastrawan dengan para siswa dari sejumlah sekolah di Indonesia, (4) kegiatan SBMM
[Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca] yang dilaksanakan sejak tahun 2000
dimaksudkan sebagai tempat berdialog atau berdiskusi antara para mahasiswa yang
sebagian telah membaca karya-karya seorang sastrawan atau lebih dengan para
sastrawan itu, (5) kegiatan sayembara LMKS [Lomba Mengulas Karya Sastra] dan
LMCP [Lomba Menulis Cerita Pendek] untuk para guru yang dimaksudkan sebagai
sarana meningkatkan kemampuan mengapresiasi dan menulis ulasan maupun fiksi,
dan (7) kegiatan SSSI [Sanggar Sastra Siswa Indonesia] yang merupakan bengkel
kerja bagi upaya meningkatkan kebiasaan membaca, menulis, dan mengapresiasi
sastra dengan bimbingan para alumni kegiatan MMAS.24
Selain Horison, tidak dapat diabaikan juga adalah strategi lembaga PPPG yang
terus-menerus giat mengadakan pelatihan TOT maupun penataran lain bagi para calon
instruktur maupun para guru umumnya dengan melibatkan tenaga-tenaga terlatih dari
Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pendidikan Indonesia,
maupun dari lembaga lain. Meskipun dari segi jumlah masih sedikit, dibandingkan
dengan jumlah guru se-Indonesia, pelatihan atau penataran semacam ini sangat efektif
dalam kaitan membuka cakrawala berpikir atau bersikap mengenai dunia sastra. Dari
23 Hasanuddin WS, loc.cit., h. 1.
24 Disarikan dari tulisan Taufiq Ismail, “Setelah Menguap dan Tidur 45 Tahun.” Makalah
Utama yang disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasioanl HISKI di Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta, 8-10 September 2002, h. 3-8.

9

beberapa kali pelatihan yang melibatkan saya sebagai salah seorang instruktur, sangat
terlihat adanya perubahan yang signifikan pada diri para guru itu akan apa yang
seharusnya mereka lakukan ketika mereka kembali ke sekolah masing-masing sebagai
guru bahasa dan sastra Indonesia. Hanya sayangnya, kegiatan yang dilaksanakan oleh
PPPG ini kurang ditunjang pendanaannya oleh Departemen Pendidikan Nasional
Indonesia. Bukan hanya aspek honorarium yang sangat kecil bagi para pelatih, tetapi
juga keberlangsungannya tidak dapat terlalu diharapkan terus-menerus, sementara
jumlah guru yang “harus” mengikuti pelatihan ini jumlahnya ribuan. Satu-satunya
harapan adalah, para instruktur yang sudah mengikuti TOT, dapat dan mampu
menularkan pengetahuan atau ilmunya kepada kolega di daerahnya. Hanya saja, hasil
dari kegiatan yang terakhir ini belum saya peroleh.
Lembaga lain yang harus disebut meskipun sumbangan nyatanya dalam
mengubah paradigma pembelajaran sastra tidak terlalu kelihatan akibat dari belum
terencananya kegiatan, adalah HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia)
dan HPBI (Himpunan Pembina Bahasa Indonesia) yang kadangkala mengadakan
semacam pelatihan, penataran, lokakarya, seminar, atau konferensi yang berhubungan
dengan masalah bahasa dan sastra. Kedua himpunan ini dinyatakan sebagai belum
mempunyai rencana kegiatan yang jelas dan langsung, dalam kaitannya dengan
peningkatan pembelajaran bahasa dan sastra, karena kedua lembaga ini adalah
lembaga profesi yang lebih sering berkutat dengan permasalahan internalnya saja,
selain memang bahwa kedua himpunan ini tidak mempunyai sumber dana yang pasti.
Apa yang digambarkan pada bagian ini, yang memberikan deskripsi perihal
kegiatan yang diprakarsai oleh Horison, PPPG, HISKI, maupun HPBI, mestilah
dipandang sebagai suatu dinamika positif yang memberikan sumbangan berarti bagi
suatu perkembangan kehidupan sastra maupun pengajaran dan pembelajaran sastra di
Indonesia dewasa ini. Jika apa yang dilakukan oleh lembaga atau himpunan-himpunan
ini ditunjang pula oleh aktivitas individual yang berperspektif masa depan, seperti
tumbuhnya kesadaran akan peran sentral guru dalam KBK, pemberdayaan aspek
kreatif dalam pembelajaran sastra, pemahaman yang berwawasan luas akan materi
KBK yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, kesediaan diri para guru
untuk juga mereformasi sikap dan meluaskan bacaan mereka, serta terus-menerus
memperbarui variasi metode pengajarannya, niscaya pembelajaran sastra akan
mengarah dan menuju kepada suatu wilayah yang amat membahagiakan, bermanfaat

10

untuk orang banyak, dan mampu meninggikan martabat guru itu sendiri maupun
khazanah sastra Indonesia sendiri.
/6/
Akhirnya memang hanya sebuah harapan. Mudah-mudahan, dengan berbagai
upaya, rencana, strategi, ancangan, maupun kehendak untuk selalu mengaktualisasi
diri dan menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi dalam pembelajaran sastra,
kehidupan akademis maupun kehidupan sastra itu sendiri dapat berjalan beriringan
dan saling memanfaatkan. Untuk saat ini, di Indonesia, dapat dikatakan sebagai masa
gemilang dalam hal dunia penciptaan sastra. Para pengarang baru bermunculan,
menawarkan berbagai gaya dan tema, serta diam-diam telah mampu memposisikan
diri sebagai sebuah ranah yang tidak lagi seperti orang tua yang terbungkuk-bungkuk
sambil sesekali batuk-batuk, tetapi telah menjelma diri sebagai gadis manis yang
selalu diimpi-impikan dan dirindui banyak orang. Di Indonesia sekarang, orang
cenderung tidak malu-malu lagi membawa atau membaca novel mutakhir di
keramaian atau di tempat-tempat umum. Malahan, karya-karya fiksi Indonesia
sekarang sudah menjadi benda hadiah untuk berbagai perhelatan dan acara.
Dan “hanya” inilah hadiah saya untuk acara seminar ini. Semoga bermanfaat.
Depok, Agustus 2004

11