Pemanfaatan PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMET

Pemanfaatan Survai Dan Pemetaan Laut Untuk Menyongsong Kadaster Laut (Yuwono)

PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT
UNTUK MENYONGSONG KADASTER LAUT (MARINE CADASTER)
Yuwono
Ketua Program Studi Teknik Geomatika FTSP-ITS
e-mail : yuwono@geodesy.its.ac.id

Abstrak
Wilayah laut saat ini mulai banyak diperbincangkan, direncanakan, ditempati dan
bahkan diperebutkan oleh perorangan, institusi negeri maupun swasta. Pemanfaatan laut, baik
yang berada di tepi pantai maupun yang berada di tengah laut sering kurang memperhatikan
aturan tata ruang laut ataupun peruntukan ”lahan” laut tersebut. Pada saat yang hampir
bersamaan sekarang ini, telah banyak dan intensip dibahas tentang hak yang akan melekat pada
sebidang tanah yang berada di laut tersebut. Terkait dengan masalah hak, maka peran Badan
Pertanahan Nasional sangat penting, karena Badan inilah yang berhak untuk mengeluarkan
status ”hak” atas tanah. Mengingat dibawah permukaan air laut ataupun pantai adalah tanah,
maka pendaftaran bidang tersebut dibahas pada Kadaster Laut. Untuk memperoleh gambaran
dasar laut dalam arti posisi dan kedalaman, perlu adanya survai yang dapat mengetahui keadaan
tersebut. Survai dan Pemetaan bidang laut akan dapat membantu untuk keperluan pembuatan
peta daerah yang dimaksud. Sangat dimungkinkan kedepan nanti diberlakukan Pajak Bumi dan

Bngunan untuk persil atau bidang di daerah laut.

Kata kunci : kadaster laut, pemetaan laut

PENDAHULUAN
Tanah merupakan aset yang tidak
bergerak. Tanah , juga mempunyai nilai
yang amat strategis dalam arti untuk
mendukung adanya pembangunan fisik
seperti industri, perumahan, perkantoran,
pertambangan dan sebagainya.
Laut, yang terkait juga dengan
tanah, merupakan kelanjutan daratan
mulai banyak digarap orang. Bangunan
maupun ”kaplingan” mulai dilakukan
untuk aktivitas usaha sehari-hari.
Masalah batas pengkaplingan dan hak
yang akan melekat pada kapling laut
tersbut
perlu

dipikirkan
untuk
kedepannya agar tidak terjadi saling
tumpang tindih (overlap) yang akan
membuat pemasalahan pertanahan ( dan
kelautan) menimbulkan dampak yang
tidak baik.

Pertemuan Ilmiah Tahunan III – Teknik Geomatika

Pengertian Kadaster (darat)
Kadaster (darat) atau Pendaftaran
Tanah menurut Rudolf Hemanses, SH
dalam (Supadiningsih, 2005) adalah
pendaftaran atau pembukuan bidangbidang
tanah dalam daftar-daftar,
berdasarkan Pengukuran dan Pemetaan ,
yang seksama dari bidang-bidang
tersebut
Kegunan dari pendaftaran tanah

ini adalah untuk menjamin kepastian
hukum oleh pemerintah sesuai dengan
Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-udang
nomor 5 Tahun 1960 tentang
PERATURAN
DASAR
POKOKPOKOK AGRARIA, atau yang dikienal
dengan UUPA (Undang-undang Pokok
Agraria) pada ayat (1) : untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah

Surabaya, 7 Desember 2006

Pemanfaatan Survai Dan Pemetaan Laut Untuk Menyongsong Kadaster Laut (Yuwono)

diadakan Pendaftaran Tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan peraturan pemerintah.
Sedang ayat (2) menyatakan :

Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal
ini meliputi : a). Pengukuran, perpetaan
dan pembukuan tanah ; b). Pendaftaran
hak-hak atas tanah dan tanah peralihan
hak-hak tersebut; pemberian surat-surat
tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat..
Ada beberapa hak yang dapat
melekat pada sebidang tanah (darat)
menurut UUPA pasal 16 yaitu hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
akai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan dan hak-hak yang
tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
diatas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya
sementara
sebagi
yang

disebutkan dalam pasal 53.
Pengertian Kadaster Laut (Marine
Cadastre)
Ada beberapa pengertian tentang
Kadaster laut (Marine Cadastre). Rais,
2006, misalnya mendefinisikan kadaster
laut sebagai kontinuitas dari kadaster
darat, yaitu penerapan prinsip-prinssip
kadaster di wilayah laut melalui
administrasian obyek dan subyek dari :
• Penggunaan ruang laut oleh
aktivitas
masyarakat
dan
pemerintah
• Menata
ruang
laut
untuk
dilindungi , dikonservasi (taman

nasional,
taman
suaka
margasatwa dan lainnya)
• Penggunaan ruang laut oleh
komunitas adat
Referensi lain tentang pengertian
kadaster laut adalah hasil Workshop on
Administering the Marine Environment
– the Spatial Dimentions , May 4-7
,2004 yang antara lain dari beberapa
negara misalnya dari Negara Kanada,

Pertemuan Ilmiah Tahunan III – Teknik Geomatika

Selandia Baru dan Australia. Marine
Cadastre (Kadaster laut) menurut
Universitas New Brunswick- Canada
,2000, adalah ”a marine information
system, encompassing both the nature

and spatial wxtent of interests and
property rights, with respect to
ownership and various rights and
responsibilities
in
the
marine
juridiction”.
Sedangkan menurut Negara
Selandia Baru (Robertson, et al, 1999),
marine cadastre is a system to enable
the boundaries of maritime rights and
interests to be recorded, spatially
managed and physically defined in
relationship to the boundaries of other
neighbouring or underlying rights and
interests “. Menurut The niversity of
Melbourne-Australia , Marine Cadastre
is a spasial boundary management tool,
which describe, visualizes and realizes

legally
defined
boundaries
and
associated rights, restrictions and
responsibilities
in
the
marine
environment, allowing them to be more
effectively assessed, administered and
managed”.
Pada dasarnya dari beberapa referensi
tersebut mengandung kesamaan yaitu
tentang hak, batas, pengelolaan dan
sstem informasi.
Konflik di laut
Konflik di laut yang terkait dengan ruang
disebabkan oleh adanya (Rais, 2006) :
• tidak

jelasnya
batas-batas
geografi antara kawasan-kawasan
penggunaan/pemanfaatan ruang
laut.
• Tidak adanya hak-hak yang
melekat
pada
penggunaan
/pemanfaatan ruang laut untuk
publik, perorangan/ masyarakat
untuk kawaasan perlindungan,
konservasi,
ekonomis
dan
kawasan lainnya.

Surabaya, 7 Desember 2006

Pemanfaatan Survai Dan Pemetaan Laut Untuk Menyongsong Kadaster Laut (Yuwono)





Hak adat (ulayat) di wilayah laut
yag lebih imajiner
Tidak adanya lembaga yang
mengadministrasikan ruang laut.

Berbeda dengan di darat yang batasbatasnya dapat terlihat secara riel dan
nyata, misalnya untuk batas kepemilikan
atau pengelolaan suatu area dapat
dipasangi tanda atau patok-patok yang
bersifat permanen. Untuk batas di laut
relatip sulit untuk memberi batas-batas
yang riel, kecuali untuk daerah yang
kecil yaitu misalnya dengan pelampungpelampung. Namum demikian untuk
daerah yang luas sekali, batas dapat
dinyatakan dengan koordinat yang nota
bene adalah ”imajiner”, karena tidak ada

benda fisik yang terlihat.
Perebutan area ini akan sangat
rentan terhadap konflik, untuk mengatasi
hal tersebut diatas harus ada kesepakatan
antara dua ”tetangga” yang bersebelahan
untuk menentukan batas yang saling
disepakati.
Untuk hak-hak yang melekat
pada ”bidang” di laut, mungkin masih
perlu kesepakatan dahulu antar instansi
yang berwenang dan terkait misalnya
Badan Pertanahan Nasional (BPN),
Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP), Departemen Dalam Negeri dan
sebagaiya apakah dimungkinkan untuk
hak milik, hak guna bangunan dan
sebagainya.
Sejauh
ini,
sepengatahuan
penulis, belum ada sertifikat yang terkait
dengan ”bidang” atau ”kapling” yang
terkait dengan laut. Apabila telah ada
sertifikat tersebut, maka akan ada
kepastian hak tentang ”kapling” tersebut.
Walaupun sertifikat di Indonesia
sifatnyabukan mutlak, tetapi merupakan
bukti kuat,maka sudah cukup untuk
melindungi secara hukum kepemilikan
hak atas ”kapling” laut tersebut.

kasus konflik pemanfaatan ruang dapat
menjadi tidak jelas penyelesaiannya ,
kepentingan publik tidak terlindungi,
dan penyelenggaraan investasi di bidang
kelautan dan perikanan tidak ada
jaminan bagi kelangsungannya untuk
jangka waktu tertentu.
Disamping itu, yang tidak kalah
pentingnya adalah kepastian letak, yaitu
dimana obyek itu berada. Apabila salah
dalam mengidentifkasi letak atau tempat
atau posisi, maka kesalahan tersebut
dapat fatal, karena dapat terjadi lokasi
yang ditunjuk ternyata milik orang lain
Walaupun kadaster laut belum
diterapkan, namun demikian cakupan
yang akan diraih antara lain meliputi
(Djais, 2006) pertama prinsip, yaitu
kepemilikan atau common property ,
rentan dan dinamika. Kedua, tentang isu
pokok yaitu mencakup tentang konflik,
integrasi dan perbatasan. Ketiga
mengenai proses yaitu pengelolaan yang
mencakup tata ruang laut, hak dan
pemanfaatan, sistem informasi kelautan
dan organisasi/kelembagaan. Keempat
adalah tindakan yaitu adanya konsensus
yang
dibuat
selanjutnya
akan
menghasilkan suatu kebijakan yang
terkait dengan laut.
Secara skematis, ruang lingkup kadaster
laut dapat dilihat pada gambar -1 yang
berupa diagram alir.

Adanya aspek kepastian hukum dapat
memiliki implikasi yang luas. Sebagai
misal dari segi hukum, seperti kasusPertemuan Ilmiah Tahunan III – Teknik Geomatika

Surabaya, 7 Desember 2006

Pemanfaatan Survai Dan Pemetaan Laut Untuk Menyongsong Kadaster Laut (Yuwono)

RUANG LINGKUP KADASTER LAUT

Prinsip

Isu Pokok

Proses

Tindakan
Konsensus

Kepemilikan

Konflik

(Common Poperty)

Integrasi

Rentan (fragile)

Perbatasan

Dinamis

Pengelolaan

Hak Adat
Tata Ruang Laut,
Kadaster Laut (Hak Pemanfaatan)
Sistem Informasi Kelautan
Organisasi / Kelembagaan

Ratifikasi UNCLOS

Kebijakan
/Peraturan
Pemerintah
(periknan,
pertambangan,
pelayaran dll.)

Kebijakan (UU/PP) :
UU no. 24/92 : Penatan
Ruang, PP Tata Ruang
Laut

KEBIJAKAN ?

Sumber : Djais , 2006

SURVAI DAN PEMETAAN LAUT
Survai dan Pemetaan laut antara
lain bertujuan untuk menentukan posisi
atau letak suatu obyek di laut.
Disamping itu dapat juga menentukan
kedalaman suatu dasar laut atau perairan
yang banyak dipelajari di Survai
Hidrografi.
Pada awalnya, hidrografi secara
sederhana
bertujuan
untuk
menggambarkan relief dasar laut,
mencakup semua unsur alam dan buatan
manusia yang pada prinsipnya hampir
sama dengan peta darat yang dalam hal
ini topografi ( Ingham, 1984). Namun
demikian dengan perkembangan jaman
dan
kemajuan
teknologi,
survai
hidrografi mempunyai pengertian yang
lebih luas lagi.
Istilah Hidrografi pertama kali
dikemukakan
oleh
International
Hydrographic Organization (IHO) pada
Special Publication Number 32 (SP-32)

Pertemuan Ilmiah Tahunan III – Teknik Geomatika

tahun 1970 dan Group of Experts on
Hydrographic Surveying and Nautical
Charting dalam laporannya pada Second
United Nation Regional Cartographic
Conference for the Americas di Mexico
City tahun 1979. IHO mengemukakan
bahwa (Poerbandono, 2005) :
“ that branch of applied science which
deal with measurement and description
of physical feature of the navigable
portion of earth’s surface and joining
coastal areas, with special reference to
their use for the purpose of navigation “
Dari definisi diatas, dapat
diterjemahkan secara bebas bahwa
hidrografi merupakan cabang dari
ilmu terapan yang membahas tentang
pengukuran dan deskripsi atau uraian
unsur bagian permukaan bumi yang
dikaitkan dengan daerah pantai
dengan
acuan
tertentu
untuk
keperluan navigasi.
Dalam hal ini ada unsur pengukuran atau
lebih jauh lagi tentang pemetaan yang

Surabaya, 7 Desember 2006

Pemanfaatan Survai Dan Pemetaan Laut Untuk Menyongsong Kadaster Laut (Yuwono)

disertai dengan deskripsi atau uraian.
Oleh karena itu untuk mempelajari
hidrografi akan lebih baik apabila
didahului dengan pengetahuan tentang
pengukuran dan pemetaan.
Definisi tentang hidrografi dikemukakan
oleh Group of Experts on Hydrographic
Surveying and Nautical Charting bahwa
:
“ the science of measuring, describing,
and depecting nature and configuration
of the sea bed, geographical relationship
to landmass, and characteristics and
dynamics of the sea “.
Secara ringkas dapat dikemukan bahwa
hidrografi merupakan ilmu pengetahuan
tentang
pengukuran
penjelasan,
gambaran
alamiah dan konfigurasi dasar laut,
keterkaitan
massa
bumi,
dan
karakteristik serta dinamika laut.
PEMANFAATAN SURVAI DAN
PEMETAAN LAUT
Pemanfaaan bidang survai dan
pemetan untuk menyongsong kadaster
laut antara lain dengan membuat
kepastian letak atau posisi suatu obyek
atau daerah atau wilayah.
Posisi ini dapat dilakukan dengan
konvensional maupun yang modern.
Yang dimaksud dengan konvensional
misalnya dengan
peralatan teodolit,
sextant dan sejenisnya. Untuk peralatan
modern misalnya dengan Total Station
maupun Global Positioning System
(GPS).
Pada daerah yang luas hampir tidak
mungkin
dilakukan
dengan
alat
konvensional , misalnya untuk batas
antar kabupaten atau kota dan juga
Propinsi.
Banyak ruang laut yang dimanfaatkan
untuk bangunan ataupun kegiatan,
misalnya saja laut dipartisi dikapling)
untuk budidaya rumput laut, alur
pelayaran yang dibuat sendiri oleh rakyat
/ nelayan agar tidak mengganggu
budidaya yang mereka usahakan,

Pertemuan Ilmiah Tahunan III – Teknik Geomatika

misalnya tambak, rumput laut mutiara
dan lainnya.
Disamping itu juga adanya bangunan
yang relatip permanen, misalnya baganbagan untuk keperluan pengeboran
minyak di laut, persil-persil rumah di
kepulauan,
misalnya
di
propinsi
kepulauan Riau.
Dari semua bangunan yang sifatnya
permanen maupun semi permanen akan
menempati
ruang.
Untuk
dapat
mengidentifikasi tempat-tempat tersebut
perlu diketahui adanya posisi obyek
tersebut. Tidak hanya posisi saja yang
perlu diketahui, tetapi juga batas-batas
area yang ada di sekitar daerah tersebut.
Dari sini dapat dibuat peta sekitar
perairan tersebut yang menyangkut
posisi dan kedalaman, bila perlu.
Setelah diidentifikasi obyek tersebut,
selanjutnya dipertanyakan adanya hak
apa yang melekat pada bidang atau persil
yang ditempati bangunan itu. Dapat juga
nantinya berkembang pada pajak yang
akan menjadi kewajiban di tempat ini.
Yang dimaksud pajak disini adalah Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB). Sangat
mungkin untuk ditarik PBB pada kapling
yang dimanfaatkan dan dimiliki (dengan
jenis hak tertentu), namun demikian
tentu harus menunggu peraturan yang
mendukung tentang penarikan pajak
tersebut.
PENUTUP
Laut yang merupakan sebagian
besar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sebagian telah dimanfaatkan
untuk berbagai kegiatan dan didirikan
bangunan baik permanen maupun tidak
permanen.
Bangunan ataupun kegiatan
pastilah terletak pada suatu bidang atau
persil (laut) yang merupakan terusan
atau lanjutan dari daratan. Apabila di
daratan dikenal adanya kadaster,yaitu
pemberian kepastian secara hukum
terhadap tanah yang ditempati untuk
kegitan ataupun bangunan, maka

Surabaya, 7 Desember 2006

Pemanfaatan Survai Dan Pemetaan Laut Untuk Menyongsong Kadaster Laut (Yuwono)

kadaster laut juga dapat diberlakukan
untuk area yang berada di laut.
Persoalan
memang
tidak
sederhana karena batas-batas di laut
tidak dapat ditandai dengan mudah,
misalnya patok . Batas-batas dapat
dibuat kesepakan antar ”tetangga”
kapling yang dengan menggunakan
koordinat hasil survai dan pemetaan
yang disepakati bersama.Disamping itu
untuk kadaster laut perlu melibatkan
beberapa insatansi yang terkait misalnya
Departemen Kelautan dan Perikanan,
Badan Pertanahan Nasional, Departemen
Dalam
Negeri
dan
sebagainya.
Dimungkinkan kedepan adanya pajak
(PBB) untuk persil di laut.
DAFTAR PUSTAKA
Djais, Ferrianto H. (2006) Lokakarya
Pengembangan
Pokok-pokok
Kebijakan Pengaturan Hak-hak
atas Pemanfaatan Ruang Laut.
Departemen
Kelautan
dan
Perikanan. Jakarta 8 Nopember
2006
Ingham. 1984. Hydrography for The
Surveyor
and
Engineering.
Second edition. London

Kebijakan Pengaturan Hak-hak
atas Pemanfaatan Ruang Laut.
Departemen
Kelautan
dan
Perikanan. Jakarta 8 Nopember
2006
Supadiningsih, Chatarina N. (2005).
Pertanahan-1. Program Studi
Teknik Geodesi FTSP – ITS
Surabaya.
Undang-udang
nomor 5 Tahun 1960 tentang
PERATURAN
DASAR
POKOK-POKOK AGRARIA,

Penulis
Ir.

Yuwono, MT, pendidikan S-1
diselesaikan
di
Teknik
Geodesi – ITB pada tahun
1978, melanjutkan studi S-2
pada instansi yang sama
diselesaikan pada tahun 1998.
Bekerja
pada
Teknik
Geomatika – FTSP, ITS.
Bidang kajian yang diminati
Pertanahan dan Survei dan
pemetaan laut,.

International
Workshop
on
Administering
the
Marine
Environment
The
Spatial
Dimentions , May 4-7, 2004.
Kuala Lumpur . Malaysia
Poerbandono, dan Djunarsyah, Eka
.2005.
Survei
Hidrografi.
Penerbit
Refika
Aditama
Bandung.
Rais, Jacub, et al 2004. Menata Ruang
Laut Terpadu. Cetakan Pertama.
Penerbit PT. Pradnya Paramita
Jakarta.
Rais,

Jacub,
2006.
Lokakarya
Pengembangan
Pokok-pokok

Pertemuan Ilmiah Tahunan III – Teknik Geomatika

Surabaya, 7 Desember 2006