PROSPEK PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAM DI IN
PROSPEK PENGEMBANGAN
EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
Muslihun Muslim
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam konteks Negara Pancasila, geliat dan keinginan kuat penduduk
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sangat realitas dan rasional.
Ada idealisme masyarakat muslim Indonesia untuk menerapkan ajaran
atau konsep Islam dalam kegiatan-kegiatan ekonomi mereka. Bagi kaum
muslim Indonesia, ekonomi Pancasila adalah ekonomi Islam dalam
konteks Indonesia. Ekonomi Pancasila adalah objektifikasi ekonomi
Islam, walaupun harus diakui bahwa ekonomi Pancasila belum sesuai
sepenuhnya dengan konsep ekonomi Islam. Menarik memperhatikan
perkembangan sistem ekonomi di Indonesia ini. Setelah melalui masa trial
and error dari masa Orde Lama yang lebih miring ke Sosialisme, dan Orde
Baru yang lebih kapitalistik dari negeri asal konsep tersebut, sebenarnya
pemikiran ekonomi Islam banyak dilakukan oleh para ekonom muslim
Indonesia dalam kerangka pemikiran ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila sebagai bungkus, sedangkan ekonomi Islam sebagai substansi di
dalamnya. Dalam hal ini ekonomi Islam lebih bersifat normatif evaluatif
dan belum mampu memberikan kontribusi yang optimal. Baru pada
paruh terakhir masa Orde Baru, yakni sekitar era 90-an terjadi eskalasi
dan transformasi fungsional pemikiran ekonomi Islam, dari sekedar
normatif evaluatif menjadi praktis empiris, ditandai dengan berdirinya,
BMI, Takafful, BPR, BMT, dan lain-lain.
Kata kunci: Ekonomi Islam, ekonomi pancasila, kontektualisasi
PendahUlUan
BerangKat dari dasar negara Pancasila,
yang pada prinsipnya memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pemeluknya untuk menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya (pasal 29 ayat 2 UUD
1945), maka hal ini merupakan isyarat
bagi terbukanya kontribusi ajaran
26 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
agama dalam konstelasi hukum di Indonesia. Dengan memperhatikan nilai
Ketuhanan yang ada dalam Pancasila dan
UUD 1945 tersebut, dapat dipahami
bahwa UUD 1945 mengandung butirbutir pasal yang merupakan pintu
gerbang bagi masuknya norma-norma
hukum–yang secara kuantitatif maupun
kualitatif sangat memenuhi kebutuhan
kehidupan masyarakat Indonesia. Hal
ini disebabkan sifatnya yang sangat
membuka diri bagi masuknya nilai-nilai
agama dalam sistem hukum maupun
hukum positif di Indonesia, sekaligus
bisa menjadi penggerak lahirnya sebuah
sistem hukum maupun hukum positif
nasional pada masa mendatang.1
Dari Ketentuan pasal 29 ayat 1 yang
dengan tegas menyatakan: ”Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
pada dasarnya mengandung maksud
bahwa negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan, serta
berkewajiban membuat peraturan perundangan atau melakukan kebijakankebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa
keimanan kepada Tuhan YME dari
segolongan pemeluk agama yang memerlukannya.
Dalam kerangka di atas, pemerintah
telah berupaya menjadikan hukum
syari’at tuan di negeri sendiri. Walaupun
diakui hal ini masih terbatas pada
tiga aspek hukum Islam yakni bidang
perkawinan (munakahat), bidang kewarisan, dan bidang wakaf. Oleh karena itu, kita berharap pada masa-masa
yang akan datang hukum warisan Belanda—sebagai hukum setan seperti kata
Hazairin—akan terkikis habis dan digantikan dengan hukum responsif -yang
lebih mencerminkan rasa keadilan
yakni dengan mengadopsi hukum
yang hidup di masyarakat, bukan lantas
mengadopsi dari negara luar yang
belum tentu memiliki persamaan situasi
kehidupan sosial-budaya (sosio kultural)
masyarakatnya. Salah satu alternatif
yang sangat penting untuk dipikirkan
oleh seluruh rakyat Indonesia adalah
upaya mengadopsi prinsip muamalat
Islam—khususnya yang menyangkut
“perjanjian”—ke dalam hukum positif,
agar memiliki kekuatan hukum (yuridisformal). Sehingga umat Islam memiliki
kecendrungan yang kuat untuk menerapkan ajaran-ajaran, akhlak, dan syariat
Islam dalam melaksanakan muamalatnya.
kontriBUsi hUkUm islam dalam
memBangUn hUkUm nasional
Dalam upaya membangun kerangka
dasar hukum nasional, postulat moral
dari kalimat “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa”—perlu dipahami dan
dihayati, agar setiap usaha mengkonstruksi dan membentuk hukum dan
perundang-undangan tidak menyimpang dari spirit perjuangan dan landasan
moral yang tercantum dalam UUD 1945.
Kalimat tersebut menunjukkan adanya
struktur rohaniah dari bangsa Indonesia
–dimana cita rasa keadilan, kemerdekaan,
spirit kerakyatan, kesamaan kedudukan,
dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat—berhubungan secara berjalin dan berkelindan- sehingga tidak
dapat dipisahkan.2
Sumbangan Hukum Islam dalam
pembangunan hukum Nasional menurut Yusril Ihza Mahendra, sangat
1
H. Hartono Marjono, Menegakkan Syari’at
Islam dalam Konteks Keindonesiaan (PN. Mizan,
Bandung, 1997), 28.
2
Artidjo Alkotsar, Identitas Hukum Nasional
(Yogyakarta: PN. Fak. Hukum UII, 1997), vi.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 27
relevan karena dua alasan. Pertama,
cendikiawan Muslim memiliki tanggung jawab moral dan akademis. Kedua,
masalah pembangunan hukum merupakan masalah besar bangsa kita.
Menurut Yusril, bagaimana bisa investor akan menanamkan modalnya,
kalau tidak ada keteraturan sosial dan
ketertiban dan kepastian hukum.3 Masih
menurut Yusril, sumbangan hukum
Islam pada hukum keluarga yang mencakup perkawinan, perwalian, dan kewarisan (hukum keluarga), karena hukum keluarga memang merupakan
bidang-bidang hukum yang sensitif. Di
bidang hukum ini, hukum Islam akan
berlaku secara langsung bagi penduduk
yang beragama Islam, karena itulah
kesadaran hukum mereka. Pemerintah
dan perwakilan tidak mempunyai pilihan kecuali mengangkat status hukum
Islam di bidang ini dari hukum yang
hidup manjadi hukum Nasional, yang
berlaku khusus bagi penduduk Islam.
Pemberlakuannya secara tertulis telah
dilakukan oleh UU No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.4
Bahkan UU Peradilan Agama ini telah
diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun
2006 yang telah mengakomodir perkara
ekonomi Islam sebagai salah satu bidang
kajian Peradilan Agama. Bahkan yang
paling baru adalah UU No. 21 Tahun
2008 Perbankan Syariah, di samping
itu telah lahir pula UU Zakat dan UU
Wakaf.
3
Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial (Bandung:
Mizan,1997), 174.
4
Ibid, 178-180.
28 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
Jelaslah bahwa hukum Islam yang
tidak memisahkan iman, moralitas dan
hukum dapat menyumbangkan sesuatu
yang penting dalam menggali Pancasila
sebagai sumber pembentukan hukum
Nasional. Hukum yang diproduk di
negara kita haruslah hukum yang berdimensi religius, bukan hukum sekuler, yang bebas dari pengaruh dan
pertimbangan keagamaan. Barangkali
dasar berpikir seperti itulah yang mendasari para pendiri negara kita ini
dahulu, sehingga menamakan negara
Indonesia sebagai negara Pancasila,
yang sila pertamanya memiliki dimensi
ketuhanan yang kental.
Berbicara tentang paradigma hukum di Indonesia, barangkali perlu
diperhatikan adanya dua konsep hukum yaitu hukum positif –hukum yang
disahkan oleh konstitusi atau aturan-aturan lain yang berlaku di negara
tersebut—dan hukum yang hidup—yaitu
hukum yang tersosialisasikan dan diterima oleh masyarakat secara persuasif, karena dianggap sesuai dengan
kesadaran hukum dan cita-cita mereka
tentang keadilan. Dalam praktik tidak
jarang suatu kaidah hukum positif berlawanan dengan hukum yang hidup dan
berlawanan pula dengan kesadaran
hukum masyarakat. Di samping itu,
negara Indonesia adalah negara yang
berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Menurut perhitungan statistik resmi
yang dikeluarkan pemerintah, 88,7 %
penduduk Indonesia adalah muslim.
Karena itu secara empiris, tidaklah berlebihan dikatakan bahwa hukum Islam
di Indonesia adalah hukum yang hidup
(the living law), meskipun secara resmi
dalam aspek-aspek tertentu ia tidak
—atau belum dijadikan kaidah hukum
positif,5 seperti pada masalah-masalah
keperdataan (muamalat).
Reformasi hukum yang sedang
berjalan saat ini mestinya tak mengabaikan sifat aspiratif dari undang-undang
yang akan dibentuk. Meninggalkan sifat
aspiratif dari suatu undang-undang sama
saja dengan membuat kuburan baru.6
Pertanyaannya, mana di antara tiga jenis
hukum: produk Kolonial, Adat, dan
Islam yang lebih aspiratif di Indonesia?
Hukum adat tampaknya tak mungkin
sebab hukum adat bermacam-macam
di negeri ini.7 Dan belum tentu hukum
adat satu daerah bisa cocok untuk
daerah lainnya. Satu-satunya alternatif
adalah hukum Islam. Berarti, peluang
hukum Islam menggantikan hukum
positif, yang notabene produk penjajah
Belanda, sangat besar. Pertama, karena
mayoritas rakyat beragama Islam. Maka
wajar kalau hukum Islam yang berlaku.
Kedua, jauh sebelum kolonial Belanda
datang, hukum Islam sudah mengakar
di masyarakat dalam praktik sehari-hari.
Lebih-lebih pengadilan Agama pada
sa’at itu memiliki kompetensi yang
luas.8
7
Menurut Van Vollenhoven, sedikitnya terdapat
19 hukum adat di Indonesia. Majalah Islam Sabili,
No. 24 th. VII 17 Mei 2000, 68.
8
5
6
Ibid, 176.
Sementara menurut pakar hukum Moh.
Mahfud, MD. hukum yang berlaku di masyarakat
selama ini, bersifat sangat ortodok. Sifat ortodok
tersebut disebabkan politik yang tak demokratis.
Menurut Mahfud, hukum yang ortodok itu
memiliki lima ciri. Pertama, proses pembuatannya
sentralistik, artinya berpusat pada pemerintah.
Kedua, isinya bersifat spesifik instrumentalik, artinya
membenarkan saja kehendak penguasa baik yang
telah dilakukan maupun yang akan dilakukan.
Ketiga, bersifat open interpretatif, artinya mudah
ditafsirkan secara macam-macam oleh pemerintah.
Keempat, hukum diupayakan untuk memberikan
perlindungan bagi konstituen pemerintah. Kalau
pemerintah yang melakukan kesalahan, persoalannya
dimanipulir sehingga bukan kesalahan hukum dan
dianggap salah prosedur. Kelima, hukum itu biasa
diletakkan di bawah kebijaksanaan. Majalah Sabili,
h.67. Sementara hukum responsif memiliki tiga
ciri, yakni prosesnya partisipatif, isinya aspiratif,
dan cakupannya limitatif. Secara dikotomis sistem
politik demokratis akan melahirkan hukum yang
responsif, sedangkan sistem politik yang otoriter
akan melahirkan hukum yang konservatif/ortodoks.
Moh. Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di
Indonesia, Penyunting Tirto Suwondo (Yogyakarta:
PN. Gama Media, 1999), 83.
Sarjana Hukum Belanda, L.W.C. Van den
Berg berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa
penjajahan Belanda, bagi orang-orang Indonesia
yang beragama Islam berlaku motto “receptio in
complexu” yang berarti orang-orang muslim Indonesia
menerima dan memperlakukan syari’at secara
keseluruhan. “Seluruh hukum sipil bagi perkaraperkara yang diajukan, diputus menurut hukum
Islam,:, tegas Van Den Berg. Seiring masuknya
kolonial Belanda, maka sedikit demi sedikit hukum
Islam bergeser, lalu diganti dengan hukum kolonial
Belanda. Mengenai hal ini, Mantan Hakim Agung,
Busthanul Arifin menerangkan bahwa, pergeseran
hukum masyarakat dari hukum Islam ke hukum
kolonial lebih karena adanya rekayasa dari kolonial
Belanda sendiri. “konflik hukum tersebut bukanlah
konflik yang terjadi secara alami, melainkan konflik
yang sengaja ditimbulkan oleh sistem kolonialisme
pada waktu itu”. Tegas Busthanul. Selanjutnya
karena kebutuhan kolonialisme, hukum yang ada
saat itu di unifikasi, di satukan. “Itu berarti hukum
yang berlaku di negeri Belanda di berlakukan juga
di Indonesia”. Tegas Bustanul. Akhirnya seorang
Sarjana Belanda, C. Van Vollenhoven membuat
teori resepsi, yaitu hukum Islam berlaku di
Indonesia karena telah di terima (diresepsi) oleh
hukum adat. Maka masuklah era dimana hukum
Islam terpinggirkan oleh hukum kolonial, Majalah
Islam Sabili, 68.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 29
Kuatnya desakan agar hukum Islam menjadi hukum di negeri sendiri
datang dari berbagai pihak. Tak berlebihan memang. Menurut Hakim
Agung, Bimar Siregar, hukum Islam
itu sempurna. “Islam itu ciptaan Allah”,
katanya. Hal senada diungkapkan oleh
Salim Assegaf Al-Jufri. Menurutnya,
kalau umat ditanya, mau memilih hukum yang mana, pastilah mereka senang
hukum Allah. “Karenanya menegakkan
hukum Islam, bukan sudah sa’atnya,
tapi sudah sewajibnya”, tegasnya.9
analisis kritis ekonomi islam
indonesia
di
Ajaran Islam mengenai ekonomi
kini banyak dikaji di berbagai tempat.
Hal ini terjadi setelah lembaga keuangan berdasarkan syari’ah seperti Bank
Muamalat Indonesia (BMI) dan Asuransi Takaful mampu eksis dan bahkan unggul dibanding keuangan konvensional di tengah guncangan badai
krisis ekonomi yang mendera Indonesia—yang
dalam
pandangan
Adiwarman Azwar Karim (Wadir
Muamalat Institute) disebabkan karena
mengandalkan sistem bagi hasil, maka
bank-bank Syari’ah pun bermunculan.
Walaupun disisi lain timbul kritikan
9
Diakui juga bahwa banyak yang takut dengan
hukum Islam, menurut Abdul Rahman Saleh,
Pengamat Hukum, sekretaris Badan Pendiri YLBHI,
ketakutan atau kecurigaan terhadap hukum Islam
tidak disebabkan karena substansi hukumannya,
tetapi pada istilah nama itu. Karena masalahnya
sudah dipolitisir. Oleh karena itu menurut
Abdurrahman Saleh yang paling penting bukan
labelnya, tetapi nilai-nilai, ide-idenya masuk. Hal
senada juga diakui oleh Bambang Widjoyanto, tidak
perlu label tetapi yang penting esensinya, katanya,
Majalah Islam Sabili, 73.
30 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
terhadap klausa di atas. Menurut Atha’
Mudzhar kemampuan Bank Syari’ah
relatif bisa bertahan disebabkan karena
tidak ikut dalam jual beli mata uang
(valas), bahkan ada yang lebih ekstrim
lagi, bahwa eksisnya bank syari’ah tersebut tak lebih disebabkan karena memang tidak memiliki keberanian untuk
bersaing pada bidang yang lebih luas,
tak ubahnya seperti pohon kecil yang
tentunya tidak akan mendapatkan
terpaan angin yang lebih kencang di
bandingkan bank konvensional yang
diibaratkan sebagai pohon besar.
Dalam dataran lebih kecil di
Indonesia, ternyata praktik perekonomian Islam masih belum sepenuhnya at home.10 Sebagai contoh dunia
10
Di Indonesia, tempat sering dikembangkan
konsep ekonomi campuran (mixed economy) dalam
format ekonomi Pancasila, tanpak berkali-kali
mengalami trial and error. Pada era Orde Lama lebih
miring kepada Sosialisme. Pada era Orde Baru
lebih kapitalistik daripada di negara tempat lahirnya
kapitalisme itu sendiri. Di tengah suasana dan
kondisi ekonomi Orde Baru banyak dilakukan oleh
para ekonom muslim dalam kerangka pemikiran
ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila sebagai
bungkus luar, sedangkan ekonomi Islam lebih
sebagai substansi dalamnya. Sebagai substansi di
dalam, maka pemikiran ekonomi Islam lebih bersifat
normatif evaluatif. Artinya, kalaupun ekonomi Islam
ditampilkan, yang tergambar merupakan salah satu
dari kedua bentuk berikut: (1) mempedulikan
ekonomi Islam sekedar mencari legimitasi
bagi kebijakan yang sudah diambil pemegang
kebijakan, atau (2) menjadikan ekonomi Islam
sebagai titik rujukan untuk mengkritisi kebijakan
dan pembangunan yang sedang berlangsung. Di
sini pemikiran ekonomi Islam belum mampu
memberikan kontribusi yang optimal. Sudah
mafhum hal itu, karena tergantung pula pada political
will pemerintah dan elit pelaku ekonomi. Baru
pada paruh terakhir era Orde Baru tepatnya era
90-an terjadi eskalasi dan transformasi fungsional
pemikiran ekonomi Islam, dari sekedar normatif
perbankan yang selama ini menjadi
tulang punggung sistem perekonomian
modern juga masih di dominasi oleh
sistem Kapitalistik Konvensional. Padahal jika kelompok intelektual muslim
mau sedikit bersusah payah untuk
menggali khazanah perekonomian
syariah sebagaimana di wariskan Rasulullah saw., tidak ada alasan untuk
terlena dalam kejumudan. Sebagai contoh, kajian-kajian Muamalat di berbagai
pondok pesantren baik modern maupun
tradisional—terasa cukup intensif.
Namun kajian-kajian tersebut lebih banyak terfokus pada proses pencerahan
intelektual dan belum menyentuh pada
tataran aplikatif. Dari pengamatan di
berbagai pesantren belum ada mapping
persoalan yang terkait langsung dengan
sistem perekonomian modern. Untuk
melengkapi semua itu, sebetulnya bisa
di lakukan melalui gerakan-gerakan
progresif. Misalnya memadukan sistem
perekonomian modern dengan sistem
perekonomian klasik yang termaktub
dalam berbagai jenis kitab kuning.11
Namun demikian, sistem ekonomi
syariah tetap dianggap lebih unggul dari
sistem yang lainnya. Paling tidak Syafi’i
Antonio, Direktur Tazkia Institute, menilai keunggulan sistem syari’ah yang
terletak pada sistem bagi hasil akan
mendorong lahirnya transparansi. Seevaluatif menjadi praktis empiris dengan ditandai
berdirinya BMI, Lembaga Asuransi Takaful, Badan
Arbitrase Islam, BPR, BMT dan sebagainya, lihat
M.Nur Yasin, Pemikiran Ekonomi Islam di Indonesia
1967-1997, STAIN Mataram, 1999, h.126-127.
11
Harian Republika, Dialog Jum’at Menjadikan
Ekonomi Syari’ah Tuan di Negeri Sendiri, Jum’at 5
Mei 2000, 13.
cara tidak langsung, mekanisme bagi
hasil itu merupakan bentuk yang lebih
riil terhadap pelaksanaan manajemen
terbuka. Melalui pola itulah, setiap nasabah bisa melakukan pemantauan terhadap bank yang bersangkutan.
Hal senada diungkapkan juga oleh
Didin Hafiduddin, Dewan Pengawas
Syariah Asuransi Takaful, bahwa keunggulan sistem perekonomian Islam banyak
sekali. Diantaranya memiliki tiga prinsip
dasar. Pertama, tidak boleh melakukan
transaksi yang bersifat gharar (penipuan).
Kedua, tidak boleh melakukan bisnis
dengan maksud menimbun (ihtikar).
Ketiga, larangan berbisnis yang bersifat
ribawi. Masih menurut Didin, etika
bisnis dalam sistim syari’ah terletak
pada prinsip dasar kesediaan untuk
saling menguntungkan. Dalam kondisi
apapun, misalnya menghadapi orang
yang sangat awam terhadap barang tertentu, sipenjual tetap diwajibkan untuk
menjual dengan harga standar, bukan
menggunakan asas ‘aji mumpung’. A.M.
Saifuddin, Pakar Ekonomi Islam, bahkan mengatakan bahwa ekonomi Islam
lebih menekankan pada sistem perdagangan yang adil (fair trade) bukan
perdagangan bebas (free trade) seperti
yang dikumandangkan oleh negaranegara maju.
Namun demikian, baik A.M.
Saifuddin, Didin, maupun Syafi’i Antonio mengakui bahwa ekonomi sistem
syari’at di Indonesia masih mengalami
kendala. Syafi’i Antonio misalnya, melihat kendalanya terletak pada kesan
bahwa ajaran Islam yang benar-benar
teraplikasi dengan baik hanya ibadah
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 31
mahdlah. Sedangkan aspek Muamalat,
seperti sisitem ekonomi syariah, masih
sebatas wacana. Sementara menurut
Didin Hafiduddin, mayoritas umat
Islam belum sepenuhnya merespon
sistem itu, antara lain disebabkan belum memasyarakatnya sistem tersebut,
karena kalah populer dengan sistem
kapitalistik. Selain itu terjadinya pemahaman yang parsial terhadap Islam.
Bahkan mungkin di sebabkan karena
memang ada sekelompok orang yang
phobi terhadap Islam.
Dalam pandangan Adiwarman
Karim, adanya musibah krisis di negara
kita justeru menjadi pendulum bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syariah. Syafi’i Antonio melihat ada blessing in disguise dibalik
krisis tersebut. Masih menurut Syafi’i
Antonio, paling tidak, musibah tersebut
selain mengajak banyak pihak untuk
melakukan introspeksi diri, sekaligus
juga melakukan terobosan-terobosan
kontemplatif. Karenanya tak mengherankan jika dalam waktu relatif singkat,
kini mulai menjamur sistem perbankan
syari’ah di daerah.
Melihat gejala-gejala di atas, penulis
teringat kembali terhadap tulisan
Moch. Mahfud, Guru Besar Hukum
Tata Negara, yang menganggap bahwa
hukum adalah produk politik sebagai
suatu aksioma. Sehingga keadaan politik
tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter teretentu pula.12 Oleh
karena itu, dalam rangka mewujudkan
hukum yang responsif -yang di dalamnya
12
Moch. Mahfud, MD, Pergulatan Politik…, 70.
32 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
memiliki ciri partisipatif, aspiratif dan
limitatif-, maka diharapkan pemerintah
bersama DPR memiliki political Will
untuk bukan saja melahirkan aturan
hukum bidang muamalat (KHI bidang
perdata) tetapi juga harus mendorong
pelaksanaan yang mencerminkan cita
ideal dari peratrah yang telah dibentuk.
mewUjUdkan hUkUm Perdata islam
di indonesia
Agama Islam merupakan agama
yang universal, syariat Islam tidak hanya
mengatur hal-hal yang bersangkut
paut dengan masalah ibadah atau hubungan dengan Tuhan (hubungan vertikal) saja yang dikenal dengan “hablum
minallah”, akan tetapi Islam telah mengajarkan bagaimana cara kita berhubungan dengan sesama manusia
(secara horizontal) yang dikenal dengan
“hablum minannas”. Konsep dasar pola
pikir dan tindak tanduk tersebut sangat
sederhana tapi pas dimana kedua pola
di atas lengkap dengan nilai azasnya,
yaitu “Jangan lakukan hal-hal yang tidak
diperintahkan “ dalam konteks hablum
minallah atau ibadah, dan “Lakukan
apa saja yang baik yang kau mau menurut
akalmu, kecuali dilarang Allah”, dalam
konteks hablum minannas. Hubungan
jenis kedua ini, dalam literatur Fiqh
Islam banyak dikenal dengan istilah
muamalat. Kata muamalat itu sendiri
memiliki arti khusus dan arti umum.
Secara bahasa, muamalat artinya perhubungan atau pergaulan. Namun dalam
tulisan ini, yang kami maksudkan
dengan muamalat adalah muamalat dalam
arti khusus yakni hubungan antar manusia dengan manusia yang lainnya,
yang berhubungan dengan masalah
ekonomi.13
Bidang-bidang hukum dalam kehidupan kemasyarakatan yang mendapatkan pengaturan normatif yang
terperinci hanyalah terbatas di bidang
hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Sedangkan dibidang yang lainnya, corak pengaturan normatif yang
diberikan Qur’an dan Hadits pada
umumnya terbatas pada norma-norma
dasar.14 Sedangkan pelaksanaannya dirinci baik melalui ijtihad secara perorangan (fiqh), maupun dituangkan
dalam hukum positif yang dibuat oleh
negara (qânun).
Moch. Kosnoe menjelaskan bahwa
dalam pembukaan UUD 1945 memiliki
empat nilai dasar, nilai dasar yang
kedua adalah hukum itu mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Di
sini keadilan sosial bukan semata-mata
sebagai tujuan. Akan tetapi sekaligus
pegangan yang konkret dalam membuat
peraturan hukum.15 Jadi dalam ke13
Masduha Abdurrahman, Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Perdata Islam (Fiqih Muamalat)
(Surabaya: Central Media, 1992), 31.
14
Aturan dalam Islam ada yang bersifat global
dan ada yang rinci. Yang global biasanya untuk halhal yang memungkinkan berubah karena faktor
waktu maupun tempat, sedangkan yang rinci untuk
hal-hal yang baku. Masalah ekonomi dan politik
sering berubah temporal, menurut ruang dan waktu.
Oleh sebab itu, untuk masalah ini Islam cukup
meletakkan aturan dasarnya saja, Yusuf Qardhawi,
Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami, Terj.
Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), 22.
15
Nilai dasar tersebut berasal dari ide nilainilai dasar dari tata hukum, menurut filsafat hukum
bangsa kita, yang dituangkan di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 –sementara dalam
hidupan kenegaraan kita, khususnya
yang berkenaan dengan pandangan dasar
Pancasila, prinsip keadilan disebutkan
dalam rangka “kemanusiaan yang adil
dan beradab” dan “keadilan sosial”.
Fakta ini menunjukkan tingginya citacita keadilan dalam konsep kenegaraan
kita. Bahkan dengan jelas disebutkan
bahwa “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat” merupakan tujuan negara kita.
Penulis melihat bahwa sistem ekonomi
yang diperaktikkan oleh negara kita,
yang dalam lingkup tarik menarik antara
dua ideologi besar yakni Kapitalisme
Barat dan Sosialisme Timur, sebenarnya
lebih dekat kepada sistem ekonomi
yang ditemukan dalam Islam, walaupun
belum diperaktikkan secara maksimal.
Hal ini mungkin di sebabkan karena
memang secara inklusif sebenarnya
ajaran Islam tersebut telah merambah
sistem ekonomi kita. Sementara persoalan keadilan ini merupakan suatu
persoalan pokok yang disadari umat
manusia semenjak mereka berpikir.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa tema pokok usaha perbaikan
(ishlah) masyarakat yang dilakukan oleh
para Rasul adalah menegakkan keadilan
(Qs.Yunus: 47).
Menurut Mubyarto sistem ekonomi
kapitalis dan sosialis mengandung kelemahan yang sangat mendasar, yaitu
makin menjauhi unsur-unsur moralitas
Pembukaan itu sendiri terdapat pendirianpendirian yang asasi yang berhubungan dengan soal:
kemerdekaan, penjajahan, ketuhanan, kebebasan,
dan pemerintahan. Untuk lebih jelasnya baca:
Nilai-nilai Dasar Tata Hukum Nasional Kita oleh
Moch. Kosnoe dalam Artidjo Alkotsar, Identitas
Hukum…,30-42.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 33
dan ajaran agama. Ekonomi komunis
sudah jelas didasarkan atas teori
materialisme sejarah, yang menganggap
urusan materi menentukan sejarah umat
manusia. Sebaliknya filsafat ekonomi
Kapitalis Liberal bersumber pada psikologi
hedonisme yang mendewa-dewakan kesenangan, terutama dari komoditas
yang bersifat materi.16 Konsep moralitas
ekonomi Islam di sini tentunya konsep
moral yang merujuk pada nash. Sehingga
dalam situasi di atas, barangkali moral
ajaran-ajaran Islam akan lebih pas jika
diposisikan sebagai dasar perekonomian
di Indonesia. Sementara negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
tidak mendasarkan diri pada suatu
agama tertentu –sekalipun umat Islam
mayoritas- tidak menjadikan negara
kita ini sebagai negara Islam. Oleh
karena itu, masalah yang sangat krusial
adalah bagaimana ajaran agama Islam—
khususnya tentang muamalat—yang
telah hidup di tengah-tengah masyarakat
itu menjadi dasar hukum dan pedoman
bagi pemeluknya. Salah satu solusinya
adalah berusaha mentransformasikan
nilai-nilai moral dan keadilannya dalam tataran pergulatan ekonomi di Indonesia.
Sementara, Hartono Marjono mengatakan bahwa pada pasal 27 ayat (1)
UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
dengan jelas mengata-kan:”Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.17
Walaupun demikian, Hartono Marjono
menilai secara teoritis bahwa dalam
melakukan kegiatan keuangan, telah
pula disediakan Undang-Undang No.
7 Tahun 1992, sehingga setiap Muslim
dapat sepenuhnya menjalankan kegiatannya sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam bila ia menghendaki. Sedang di
lingkungan muamalat lainnya, seperti
jual beli, sewa menyewa, perjanjian
kerja, perjanjian usaha dalam bentuk
perserikatan perdata (maatschap), penitipan barang, perjanjian pinjampakai, perjanjian pinjam-pakai-habis
(verbruiklening), pemin-jaman dengan
hasil, perjanjian penanggungan hutang, dan perjanjian perdamaian, yang
merupakan perjanjian-perjanjian dengan nama seperti tersebut dalam KUH
Perdata, serta perjanjian-perjanjian dengan nama apapun, bila kaum muslim
menghendakinya, maka melalui asas
kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan pada pasal 1338 KUH Perdata,
mereka dapat sepenuhnya melakukan
16
Sudjangi (editor), Kajian Agama dan Masyarakat,
15 Tahun BPPA 1975 (Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan, 1992/1993),115-116.Berdasarkan
analisa Kuntowijaya dan Dawam Raharjo dapatlah
disimpulkan bahwa baik sistem Kapitalis maupun
sistem Komunis, keduanya berdasarkan pengejaran
material, sedangkan ekonomi Islam berdasarkan
moral dan spiritual atau akhlak dan etika. M. Nur
Yasin, Pemikiran Ekonomi…,75.
34 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
17
Meskipun hakim mengetahui ada rumusan
norma hukum positip tertulis, hakim dapat saja
mengesampingkannya jika ia berkeyakinan bahwa
kesadaran hukum positip tertulis itu bertentangan
dengan nilai-nilai dan kesadaran hukum masyarakat,
yang mungkin konsep ini lebih mendekati konsep
anglo saxon (Barat). Yusril Ihza Mahendra, dalam Ali
Yafie, Wacana Baru …,176.
hal itu berdasarkan ajaran-ajaran dan
akhlak Islam.18
Namun, dalam rangka memperoleh kepastian hukum dan memudahkan bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa perkara perdata bagi
umat Islam yang menginginkan penyelesaiannya dengan hukum Islam,
maka saat ini pemerintah Indonesia
telah menggolkan KHI bidang ekonomi syariah. Di samping itu, telah
dikeluarkan oleh DPR UU perbankan
syariah, UU Zakat, dan UU wakaf.
Hal ini diperlukan, dalam rangka
mengantisipasi kecendrungan masyarakat muslim untuk menerapkan ajaranajaran, akhlak dan syariat Islam dalam
aktivitas muamalat-nya dan memudahkan
para hakim menyelesaikan perkara
umat Islam pada masalah muamalat atau
ekonomi Islam.
mendialogkan nama “ekonomi
islam” dan ikhtiar
Positivisasinya
Untuk sebagian orang, nama “ekonomi Islam” masih menjadi masalah.
Dalam al-Qur’an, ekonomi Islam
diidentikkan dengan iqtishâd, yang artinya “umat yang pertengahan”. Atau bisa
diartikan mengunakan rizki yang ada di
sekitar kita dengan cara berhemat agar
menjadi manusia yang baik dan tidak
merusak nikmat-Nya. Dari sini, bisa
dinyatakan bahwa nama ekonomi Islam
bukan nama baku dalam terminologi
Islam. Tidak ada peraturan atau undang-undang yang menyatakan harus
bernama ekonomi Islam. Sehingga
bisa saja orang menyebutnya “ekonomi
Ilahiyah”, “ekonomi syariah”, “ekonomi
Qur’ani”, atau “ekonomi” saja.19
Menurut Dawam Raharjo, ada
tiga kemungkinan penafsiran tentang
istilah “ekonomi Islam”. Pertama, yang
dimaksud adalah “ilmu ekonomi” yang
berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam.
Kedua, yang dimaksud adalah”sistem
ekonomi Islam”. Sistem menyangkut
pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan
ekonomi dalam suatu masyarakat
atau negara berdasarkan suatu cara
atau metode tertentu. Oleh sebab itu,
“sistem” bersifat normatif. Ada kalanya
pengaturan itu dilakukan secara terbatas,
umpamanya dalam perusahaan atau desa.
Ketiga, adalah sebagai “perekonomian
Islam” atau mungkin lebih tepat, “perekonomian dunia Islam”.20
Menurut Prof Dawam Rahardjo,
Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu yang
mempelajari prilaku manusia sebagai
hubungan antara tujuan dan alat-alat
langka yang mengandung pilihanpilihan dalam penggunaannya sesuai
syariat Islam. Sementara menurut M.
Abdul Mannan ekonomi Islam adalah
“Islamic economics is a social which studies
the economics problem of a people imbued
with the values of Islam”. [Ekonomi Islam
merupakan suatu studi sosial yang
19
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu
Pengantar (Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2003), 6.
20
18
53.
Hartono Marjono, Menegakkan Syari’at…,
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi
Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
3
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 35
mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat berdasarkan nilai-nilai Islam].21
dengan tenaga atau ongkos yang sekecilkecilnya.23
Syed Nawab Haider Naqvi mengatakan bahwa sebagai mainstream
perbankan Islam, ilmu ekonomi Islam
harus dikembangkan secara simultan
dalam dua tingkat. Pertama, ia harus
merefleksikan suatu pemahaman dan
pengenalan yang jelas terhadap esensi
nilai-nilai etik Islam yang fundamental.
Kemudian dengan mengubah nilai-nilai
etik tersebut ke dalam aksioma-aksioma
yang bersifat operatif. Kedua, karena
menggunakan masyarakat Muslim sebagai counter part ilmu ekonomi Islam
dalam konteks dunia riil, maka serangkaian hipotesis tentang perilaku
Muslim yang dipandang representatif
harus ditetapkan.22
Meski tujuan dan prinsip sama,
tetapi pelaksanaan ekonomi Islam dan
ekonomi Barat tetap berbeda. Sistem
ekonomi Islam adalah sistem ekonomi
yang terjadi setelah prinsip ekonomi
yang menjadi pedoman kerjanya
dipengaruhi atau dibatasi oleh garisgaris ajaran Islam. Sistem ekonomi
Islam bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadis, yang dikembangkan oleh
para ulama yang memenuhi syarat dan
ahli dalam bidangnya. Islam mengakui
motif laba (profit) dalam kehidupan
ekonomi, namun terikat oleh moral
dan soial. Moral dan sosial merupakan
keseimbangan yang harmonis antara
kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat. Di era pembangunan ekonomi setiap negara dewasa ini, peranan
lembaga perbankan sangat besar dan
menentukan. Dengan beroperasinya
bank yang berdasarkan prinsip syariat
Islam, diharapkan punya pengaruh
yang besar terhadap terwujudnya suatu
sistem ekonomi Islam yang menjadi
keinginan bagi setiap negara Islam atau
negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam.”
Syafruddin Prawiranegara mengemukakan pandangannya seputar ekonomi Islam. Menurut beliau, dari tujuan, prinsip, atau motif ekonomi, tidak
ada perbedaan antara sistem ekonomi
Islam dengan sistem ekonomi Barat.
Semua sistem ekonomi, termasuk
sistem ekonomi Islam, bekerja atas
dasar dua hal (1) tujuan yang sama yaitu
mencari pemuasan berbagai keperluan
hidup manusia, baik keperluan hidup
pribadi maupun keperluan masyarakat
secara keseluruhan, (2) prinsip atau
motif ekonomi yang sama, yaitu setiap
orang atau masyarakat akan berusaha
mencapai hasil yang sebesar-besarnya
21
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam, Terj. Drs M. Nastangin, PT Dhana
(Yogyakarta: Bhakti Prima Yasa, 1997), 19
22
Muhammad, Metodologi Penelitian Pemikiran
Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), 35.
36 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
Ada beberapa hal penting yang
menarik untuk digarisbawahi dari pemikiran Safrudin di atas bahwa sistem
ekonomi Islam, terutama, dicirikan oleh
sumber inspirasinya yaitu wahyu Allah,
dengan model pendekatan normatifdeduktif.
23
Syafruddin Prawiranegara ,Sistem Ekonomi
Islam (Jakarta:Publicita, tt.), 10, 15, dan 27.
Berkaitan dengan pola akomodasi
sistem ekonomi Indonesia terhadap sistem ekonomi yang ada, dalam penelitian
Yasin digambarkan keadaan ekonomi
Indonesia selama ini. Di Indonesia
sering dikembangkan konsep ekonomi
campuran (mixed economy) dalam format
ekonomi pancasila, tampak berkali-kali
mengalami trial and error. Pada era Orde
Lama lebih miring kepada sosialisme.
Pada era Orde Baru lebih kapitalistik
daripada di negara tempat lahirnya kapitalisme itu sendiri.
ransi Takaful, Badan Arbitrase Islam,
BPR, BMT, dan sebagainya.24
Di tengah suasana dan kondisi
ekonomi Orde Baru banyak dilakukan
oleh para ekonom muslim dalam kerangka pemikiran ekonomi Pancasila.
Ekonomi Pancasila sebagai bungkus
luar, sedangkan ekonomi Islam lebih
sebagai substansi dalamnya. Sebagai
substansi di dalam, maka pemikiran
ekonomi Islam lebih bersifat normatifevaluatif. Artinya, kalaupun ekonomi
Islam ditampilkan, yang tergambar merupakan salah satu dari kedua bentuk
berikut: (1) mempedulikan ekonomi
Islam sekedar mencari legimitasi bagi
kebijakan yang sudah diambil pemegang
kebijakan, atau (2) menjadikan ekonomi Islam sebagai titik rujukan untuk
mengkritisi kebijakan dan pembangunan
yang sedang berlangsung. Di sini, pemikiran ekonomi Islam belum mampu
memberikan kontribusi yang optimal.
Baru pada paruh terakhir era Orde
Baru tepatnya era 90-an terjadi eskalasi
dan transformasi fungsional pemikiran
ekonomi Islam, dari sekedar normatifevaluatif menjadi praktis-empiris dengan
ditandai berdirinya BMI, Lembaga Asu-
2. Undang-Undang No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama
No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama yang mengakomodir perkara
atau sengketa syariah;
Berkaitan dengan pengembangan
Ekonomi Syariah ke depan telah bermunculan regulasi yang telah dihasilkan
di negara kita ini, di antaranya:
1. Peraturan Pemerintah No.28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik; ketiga, Instruksi Presiden
No.13 Tahun 1980 tentang pedoman
pelaksanaan UU No.2 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil;
3. Kompilasi Ekonomi Syariah Islam;
4. UU No.7 Tahun 1992 jo. PP No.70
dan No.72 Tahun 1992 jo. UU
No.10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakomodasi bank
syariah jo UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
5. Undang-Undang No. 38 Tahun
1999 tanggal 23 September 1999
tentang Pengelolaan Zakat;
6. UU RI No.41 Tahun 2004 tentang
Wakaf;
7. KHI ekonomi Syariah.25
24
M. Nur Yasin, Pemikiran Ekonomi Islam 19671997, Penelitian Individual (Mataram: STAIN
Mataram, 1999), 75.
25
Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi dan
Positivisasinya di Indonesia (Mataram: LKIM IAIN
Mataram, 2006), 277-278.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 37
kesimPUlan
Ajaran Islam tentang aturan bermuamalat tidak bisa dipungkiri lagi
keberadaannya, walaupun dalam tataran praktis masih perlu dielaborasi
sedemikian rupa agar tidak menyimpang
dari nilai dasarnya, yakni keadilan dan
nilai etika bisnis yang memiliki kesediaan
untuk saling menguntungkan. Oleh
karena itu, realitas masyarakat Indonesia
yang mayoritas dan dukungan formal
dari semangat Pancasila dan UUD
1945, mengharuskan bagi semua umat
Islam di Indonesia baik dari kalangan
praktisi hukum, MUI, dan organisasiorganisasi keagamaan untuk mendorong
agar pemerintah bersama DPR sebagai
wakil rakyat memiliki political will dalam
mewujudkan bukan saja terbentuknya
KHI bidang perdata ini atau undangundang terkait, tetapi bagaimana pemerintah dalam menjalankan system ekonomi yang lebih berempati kepada
kepentingan rakyat pada umumnya.
Bagi kaum muslim Indonesia, ekonomi Pancasila adalah ekonomi Islam
dalam konteks Indonesia. Dalam istilah Kontowijoyo, ekonomi Pancasila
adalah objektivikasi ekonomi Islam,
walaupun harus diakui bahwa ekonomi
Pancasila belum sesuai sepenuhnya dengan konsep ekonomi Islam. Namun
demikian, menarik memperhatikan
perkembangan sistem ekonomi di Indonesia ini. Setelah melalui masa trial
and error dari masa Orde Lama yang lebih
38 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
miring ke Sosialisme, dan Orde Baru
yang lebih Kapitalistik dari negeri asal
konsep tersebut, sebenarnya pemikiran
ekonomi Islam banyak dilakukan oleh
para ekonom muslim Indonesia dalam
kerangka pemikiran ekonomi Pancasila.
Ekonomi Pancasila sebagai bungkus,
sedangkan ekonomi Islam sebagai
substansi di dalamnya. Dalam hal ini
ekonomi Islam lebih bersifat normatif
evaluatif –ekonomi Islam belum mampu
memberikan kontribusi yang optimalbaru pada paruh terakhir masa Orde
Baru, yakni sekitar era 90-an terjadi
eskalasi dan transformasi fungsional
pemikiran ekonomi Islam, dari sekedar
normatif evaluatif menjadi praktis empiris,
ditandai dengan berdirinya, BMI,
Takafful, BPR, BMT, dan lain-lain.
Namun saat ini seiring dengan kenaikan harga BBM terhembus isu yang
sangat kencang bahwa besaran kenaikan
harga BBM saat ini yang mencampai
angka Rp 2.000.000,- merupakan pesanan IMF. Kalau isu ini benar, maka
sangat kuat dugaan orang bahwa sistem
ekonomi di negara kita saat ini disetir
oleh Amerika yang nota bene negara
Kapitalis. Penulis berharap Indonesia
tetap menjaga kemandirian sistem ekonomi yang diterapkan tanpa harus diintervensi oleh negara luar, apalagi
sistem ekonomi yang dipaksakan adalah
sistem ekonomi yang tidak selaras
dengan ideologi rakyat Indonesia secara
umum.
daftar PUstaka
Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial
Bandung: Mizan,1997.
Artidjo Alkotsar, Identitas Hukum
Nasional Yogyakarta: Fak. Hukum
UII, 1997.
H. Hartono Marjono, Menegakkan
Syari’at Islam dalam Konteks
Keindonesiaan Bandung: Mizan,
1997.
Harian Republika, Dialog Jum’at,
Menjadikan Ekonomi Syari’ah Tuan
di Negeri Sendiri, Jum,at 5 Mei
2000.
Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi
Islam: Suatu Pengantar Yogyakarta:
Penerbit Ekonisia, 2003.
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam, Terj. Drs M.
Nastangin, PT Dhana. Yogyakarta:
Bhakti Prima Yasa, 1997.
M.
Dawam Rahardjo, Islam dan
Transformasi
Sosial
Ekonomi
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
M. Nur Yasin, Pemikiran Ekonomi Islam
di Indonesia 1967-1997, STAIN
Mataram, 1999.
Masduha Abdurrahman, Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Perdata Islam
(Fiqih Muamalat) Surabaya: Central
Media,1992.
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan
Hukum di Indonesia, Penyunting
Tirto Suwondo. Yogyakarta: Gama
Media, 1999.
Muhammad,
Metodologi
Penelitian
Pemikiran
Ekonomi
Islam.
Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi dan
Positivisasinya di Indonesia Mataram:
LKIM IAIN Mataram, 2006.
Sudjangi (editor), Kajian Agama
dan
Masyarakat,
15
tahun
BPPA 1975, Badan Penelitian
dan Pengembangan, Jakarta,
1992/1993.
Syafruddin
Prawiranegara,
Sistem
Ekonomi Islam Jakarta: Publicita,
tt.
Yusuf Qardhawi, “Daurul Qiyam wal
Akhlaq fil Iqtishad al-Islami, Terj.
Norma dan Etika Ekonomi Islam
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Majalah Islam Sabili, No. 24 th. VII 17
Mei 2000.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 39
EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
Muslihun Muslim
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam konteks Negara Pancasila, geliat dan keinginan kuat penduduk
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sangat realitas dan rasional.
Ada idealisme masyarakat muslim Indonesia untuk menerapkan ajaran
atau konsep Islam dalam kegiatan-kegiatan ekonomi mereka. Bagi kaum
muslim Indonesia, ekonomi Pancasila adalah ekonomi Islam dalam
konteks Indonesia. Ekonomi Pancasila adalah objektifikasi ekonomi
Islam, walaupun harus diakui bahwa ekonomi Pancasila belum sesuai
sepenuhnya dengan konsep ekonomi Islam. Menarik memperhatikan
perkembangan sistem ekonomi di Indonesia ini. Setelah melalui masa trial
and error dari masa Orde Lama yang lebih miring ke Sosialisme, dan Orde
Baru yang lebih kapitalistik dari negeri asal konsep tersebut, sebenarnya
pemikiran ekonomi Islam banyak dilakukan oleh para ekonom muslim
Indonesia dalam kerangka pemikiran ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila sebagai bungkus, sedangkan ekonomi Islam sebagai substansi di
dalamnya. Dalam hal ini ekonomi Islam lebih bersifat normatif evaluatif
dan belum mampu memberikan kontribusi yang optimal. Baru pada
paruh terakhir masa Orde Baru, yakni sekitar era 90-an terjadi eskalasi
dan transformasi fungsional pemikiran ekonomi Islam, dari sekedar
normatif evaluatif menjadi praktis empiris, ditandai dengan berdirinya,
BMI, Takafful, BPR, BMT, dan lain-lain.
Kata kunci: Ekonomi Islam, ekonomi pancasila, kontektualisasi
PendahUlUan
BerangKat dari dasar negara Pancasila,
yang pada prinsipnya memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pemeluknya untuk menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya (pasal 29 ayat 2 UUD
1945), maka hal ini merupakan isyarat
bagi terbukanya kontribusi ajaran
26 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
agama dalam konstelasi hukum di Indonesia. Dengan memperhatikan nilai
Ketuhanan yang ada dalam Pancasila dan
UUD 1945 tersebut, dapat dipahami
bahwa UUD 1945 mengandung butirbutir pasal yang merupakan pintu
gerbang bagi masuknya norma-norma
hukum–yang secara kuantitatif maupun
kualitatif sangat memenuhi kebutuhan
kehidupan masyarakat Indonesia. Hal
ini disebabkan sifatnya yang sangat
membuka diri bagi masuknya nilai-nilai
agama dalam sistem hukum maupun
hukum positif di Indonesia, sekaligus
bisa menjadi penggerak lahirnya sebuah
sistem hukum maupun hukum positif
nasional pada masa mendatang.1
Dari Ketentuan pasal 29 ayat 1 yang
dengan tegas menyatakan: ”Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
pada dasarnya mengandung maksud
bahwa negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan, serta
berkewajiban membuat peraturan perundangan atau melakukan kebijakankebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa
keimanan kepada Tuhan YME dari
segolongan pemeluk agama yang memerlukannya.
Dalam kerangka di atas, pemerintah
telah berupaya menjadikan hukum
syari’at tuan di negeri sendiri. Walaupun
diakui hal ini masih terbatas pada
tiga aspek hukum Islam yakni bidang
perkawinan (munakahat), bidang kewarisan, dan bidang wakaf. Oleh karena itu, kita berharap pada masa-masa
yang akan datang hukum warisan Belanda—sebagai hukum setan seperti kata
Hazairin—akan terkikis habis dan digantikan dengan hukum responsif -yang
lebih mencerminkan rasa keadilan
yakni dengan mengadopsi hukum
yang hidup di masyarakat, bukan lantas
mengadopsi dari negara luar yang
belum tentu memiliki persamaan situasi
kehidupan sosial-budaya (sosio kultural)
masyarakatnya. Salah satu alternatif
yang sangat penting untuk dipikirkan
oleh seluruh rakyat Indonesia adalah
upaya mengadopsi prinsip muamalat
Islam—khususnya yang menyangkut
“perjanjian”—ke dalam hukum positif,
agar memiliki kekuatan hukum (yuridisformal). Sehingga umat Islam memiliki
kecendrungan yang kuat untuk menerapkan ajaran-ajaran, akhlak, dan syariat
Islam dalam melaksanakan muamalatnya.
kontriBUsi hUkUm islam dalam
memBangUn hUkUm nasional
Dalam upaya membangun kerangka
dasar hukum nasional, postulat moral
dari kalimat “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa”—perlu dipahami dan
dihayati, agar setiap usaha mengkonstruksi dan membentuk hukum dan
perundang-undangan tidak menyimpang dari spirit perjuangan dan landasan
moral yang tercantum dalam UUD 1945.
Kalimat tersebut menunjukkan adanya
struktur rohaniah dari bangsa Indonesia
–dimana cita rasa keadilan, kemerdekaan,
spirit kerakyatan, kesamaan kedudukan,
dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat—berhubungan secara berjalin dan berkelindan- sehingga tidak
dapat dipisahkan.2
Sumbangan Hukum Islam dalam
pembangunan hukum Nasional menurut Yusril Ihza Mahendra, sangat
1
H. Hartono Marjono, Menegakkan Syari’at
Islam dalam Konteks Keindonesiaan (PN. Mizan,
Bandung, 1997), 28.
2
Artidjo Alkotsar, Identitas Hukum Nasional
(Yogyakarta: PN. Fak. Hukum UII, 1997), vi.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 27
relevan karena dua alasan. Pertama,
cendikiawan Muslim memiliki tanggung jawab moral dan akademis. Kedua,
masalah pembangunan hukum merupakan masalah besar bangsa kita.
Menurut Yusril, bagaimana bisa investor akan menanamkan modalnya,
kalau tidak ada keteraturan sosial dan
ketertiban dan kepastian hukum.3 Masih
menurut Yusril, sumbangan hukum
Islam pada hukum keluarga yang mencakup perkawinan, perwalian, dan kewarisan (hukum keluarga), karena hukum keluarga memang merupakan
bidang-bidang hukum yang sensitif. Di
bidang hukum ini, hukum Islam akan
berlaku secara langsung bagi penduduk
yang beragama Islam, karena itulah
kesadaran hukum mereka. Pemerintah
dan perwakilan tidak mempunyai pilihan kecuali mengangkat status hukum
Islam di bidang ini dari hukum yang
hidup manjadi hukum Nasional, yang
berlaku khusus bagi penduduk Islam.
Pemberlakuannya secara tertulis telah
dilakukan oleh UU No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.4
Bahkan UU Peradilan Agama ini telah
diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun
2006 yang telah mengakomodir perkara
ekonomi Islam sebagai salah satu bidang
kajian Peradilan Agama. Bahkan yang
paling baru adalah UU No. 21 Tahun
2008 Perbankan Syariah, di samping
itu telah lahir pula UU Zakat dan UU
Wakaf.
3
Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial (Bandung:
Mizan,1997), 174.
4
Ibid, 178-180.
28 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
Jelaslah bahwa hukum Islam yang
tidak memisahkan iman, moralitas dan
hukum dapat menyumbangkan sesuatu
yang penting dalam menggali Pancasila
sebagai sumber pembentukan hukum
Nasional. Hukum yang diproduk di
negara kita haruslah hukum yang berdimensi religius, bukan hukum sekuler, yang bebas dari pengaruh dan
pertimbangan keagamaan. Barangkali
dasar berpikir seperti itulah yang mendasari para pendiri negara kita ini
dahulu, sehingga menamakan negara
Indonesia sebagai negara Pancasila,
yang sila pertamanya memiliki dimensi
ketuhanan yang kental.
Berbicara tentang paradigma hukum di Indonesia, barangkali perlu
diperhatikan adanya dua konsep hukum yaitu hukum positif –hukum yang
disahkan oleh konstitusi atau aturan-aturan lain yang berlaku di negara
tersebut—dan hukum yang hidup—yaitu
hukum yang tersosialisasikan dan diterima oleh masyarakat secara persuasif, karena dianggap sesuai dengan
kesadaran hukum dan cita-cita mereka
tentang keadilan. Dalam praktik tidak
jarang suatu kaidah hukum positif berlawanan dengan hukum yang hidup dan
berlawanan pula dengan kesadaran
hukum masyarakat. Di samping itu,
negara Indonesia adalah negara yang
berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Menurut perhitungan statistik resmi
yang dikeluarkan pemerintah, 88,7 %
penduduk Indonesia adalah muslim.
Karena itu secara empiris, tidaklah berlebihan dikatakan bahwa hukum Islam
di Indonesia adalah hukum yang hidup
(the living law), meskipun secara resmi
dalam aspek-aspek tertentu ia tidak
—atau belum dijadikan kaidah hukum
positif,5 seperti pada masalah-masalah
keperdataan (muamalat).
Reformasi hukum yang sedang
berjalan saat ini mestinya tak mengabaikan sifat aspiratif dari undang-undang
yang akan dibentuk. Meninggalkan sifat
aspiratif dari suatu undang-undang sama
saja dengan membuat kuburan baru.6
Pertanyaannya, mana di antara tiga jenis
hukum: produk Kolonial, Adat, dan
Islam yang lebih aspiratif di Indonesia?
Hukum adat tampaknya tak mungkin
sebab hukum adat bermacam-macam
di negeri ini.7 Dan belum tentu hukum
adat satu daerah bisa cocok untuk
daerah lainnya. Satu-satunya alternatif
adalah hukum Islam. Berarti, peluang
hukum Islam menggantikan hukum
positif, yang notabene produk penjajah
Belanda, sangat besar. Pertama, karena
mayoritas rakyat beragama Islam. Maka
wajar kalau hukum Islam yang berlaku.
Kedua, jauh sebelum kolonial Belanda
datang, hukum Islam sudah mengakar
di masyarakat dalam praktik sehari-hari.
Lebih-lebih pengadilan Agama pada
sa’at itu memiliki kompetensi yang
luas.8
7
Menurut Van Vollenhoven, sedikitnya terdapat
19 hukum adat di Indonesia. Majalah Islam Sabili,
No. 24 th. VII 17 Mei 2000, 68.
8
5
6
Ibid, 176.
Sementara menurut pakar hukum Moh.
Mahfud, MD. hukum yang berlaku di masyarakat
selama ini, bersifat sangat ortodok. Sifat ortodok
tersebut disebabkan politik yang tak demokratis.
Menurut Mahfud, hukum yang ortodok itu
memiliki lima ciri. Pertama, proses pembuatannya
sentralistik, artinya berpusat pada pemerintah.
Kedua, isinya bersifat spesifik instrumentalik, artinya
membenarkan saja kehendak penguasa baik yang
telah dilakukan maupun yang akan dilakukan.
Ketiga, bersifat open interpretatif, artinya mudah
ditafsirkan secara macam-macam oleh pemerintah.
Keempat, hukum diupayakan untuk memberikan
perlindungan bagi konstituen pemerintah. Kalau
pemerintah yang melakukan kesalahan, persoalannya
dimanipulir sehingga bukan kesalahan hukum dan
dianggap salah prosedur. Kelima, hukum itu biasa
diletakkan di bawah kebijaksanaan. Majalah Sabili,
h.67. Sementara hukum responsif memiliki tiga
ciri, yakni prosesnya partisipatif, isinya aspiratif,
dan cakupannya limitatif. Secara dikotomis sistem
politik demokratis akan melahirkan hukum yang
responsif, sedangkan sistem politik yang otoriter
akan melahirkan hukum yang konservatif/ortodoks.
Moh. Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di
Indonesia, Penyunting Tirto Suwondo (Yogyakarta:
PN. Gama Media, 1999), 83.
Sarjana Hukum Belanda, L.W.C. Van den
Berg berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa
penjajahan Belanda, bagi orang-orang Indonesia
yang beragama Islam berlaku motto “receptio in
complexu” yang berarti orang-orang muslim Indonesia
menerima dan memperlakukan syari’at secara
keseluruhan. “Seluruh hukum sipil bagi perkaraperkara yang diajukan, diputus menurut hukum
Islam,:, tegas Van Den Berg. Seiring masuknya
kolonial Belanda, maka sedikit demi sedikit hukum
Islam bergeser, lalu diganti dengan hukum kolonial
Belanda. Mengenai hal ini, Mantan Hakim Agung,
Busthanul Arifin menerangkan bahwa, pergeseran
hukum masyarakat dari hukum Islam ke hukum
kolonial lebih karena adanya rekayasa dari kolonial
Belanda sendiri. “konflik hukum tersebut bukanlah
konflik yang terjadi secara alami, melainkan konflik
yang sengaja ditimbulkan oleh sistem kolonialisme
pada waktu itu”. Tegas Busthanul. Selanjutnya
karena kebutuhan kolonialisme, hukum yang ada
saat itu di unifikasi, di satukan. “Itu berarti hukum
yang berlaku di negeri Belanda di berlakukan juga
di Indonesia”. Tegas Bustanul. Akhirnya seorang
Sarjana Belanda, C. Van Vollenhoven membuat
teori resepsi, yaitu hukum Islam berlaku di
Indonesia karena telah di terima (diresepsi) oleh
hukum adat. Maka masuklah era dimana hukum
Islam terpinggirkan oleh hukum kolonial, Majalah
Islam Sabili, 68.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 29
Kuatnya desakan agar hukum Islam menjadi hukum di negeri sendiri
datang dari berbagai pihak. Tak berlebihan memang. Menurut Hakim
Agung, Bimar Siregar, hukum Islam
itu sempurna. “Islam itu ciptaan Allah”,
katanya. Hal senada diungkapkan oleh
Salim Assegaf Al-Jufri. Menurutnya,
kalau umat ditanya, mau memilih hukum yang mana, pastilah mereka senang
hukum Allah. “Karenanya menegakkan
hukum Islam, bukan sudah sa’atnya,
tapi sudah sewajibnya”, tegasnya.9
analisis kritis ekonomi islam
indonesia
di
Ajaran Islam mengenai ekonomi
kini banyak dikaji di berbagai tempat.
Hal ini terjadi setelah lembaga keuangan berdasarkan syari’ah seperti Bank
Muamalat Indonesia (BMI) dan Asuransi Takaful mampu eksis dan bahkan unggul dibanding keuangan konvensional di tengah guncangan badai
krisis ekonomi yang mendera Indonesia—yang
dalam
pandangan
Adiwarman Azwar Karim (Wadir
Muamalat Institute) disebabkan karena
mengandalkan sistem bagi hasil, maka
bank-bank Syari’ah pun bermunculan.
Walaupun disisi lain timbul kritikan
9
Diakui juga bahwa banyak yang takut dengan
hukum Islam, menurut Abdul Rahman Saleh,
Pengamat Hukum, sekretaris Badan Pendiri YLBHI,
ketakutan atau kecurigaan terhadap hukum Islam
tidak disebabkan karena substansi hukumannya,
tetapi pada istilah nama itu. Karena masalahnya
sudah dipolitisir. Oleh karena itu menurut
Abdurrahman Saleh yang paling penting bukan
labelnya, tetapi nilai-nilai, ide-idenya masuk. Hal
senada juga diakui oleh Bambang Widjoyanto, tidak
perlu label tetapi yang penting esensinya, katanya,
Majalah Islam Sabili, 73.
30 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
terhadap klausa di atas. Menurut Atha’
Mudzhar kemampuan Bank Syari’ah
relatif bisa bertahan disebabkan karena
tidak ikut dalam jual beli mata uang
(valas), bahkan ada yang lebih ekstrim
lagi, bahwa eksisnya bank syari’ah tersebut tak lebih disebabkan karena memang tidak memiliki keberanian untuk
bersaing pada bidang yang lebih luas,
tak ubahnya seperti pohon kecil yang
tentunya tidak akan mendapatkan
terpaan angin yang lebih kencang di
bandingkan bank konvensional yang
diibaratkan sebagai pohon besar.
Dalam dataran lebih kecil di
Indonesia, ternyata praktik perekonomian Islam masih belum sepenuhnya at home.10 Sebagai contoh dunia
10
Di Indonesia, tempat sering dikembangkan
konsep ekonomi campuran (mixed economy) dalam
format ekonomi Pancasila, tanpak berkali-kali
mengalami trial and error. Pada era Orde Lama lebih
miring kepada Sosialisme. Pada era Orde Baru
lebih kapitalistik daripada di negara tempat lahirnya
kapitalisme itu sendiri. Di tengah suasana dan
kondisi ekonomi Orde Baru banyak dilakukan oleh
para ekonom muslim dalam kerangka pemikiran
ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila sebagai
bungkus luar, sedangkan ekonomi Islam lebih
sebagai substansi dalamnya. Sebagai substansi di
dalam, maka pemikiran ekonomi Islam lebih bersifat
normatif evaluatif. Artinya, kalaupun ekonomi Islam
ditampilkan, yang tergambar merupakan salah satu
dari kedua bentuk berikut: (1) mempedulikan
ekonomi Islam sekedar mencari legimitasi
bagi kebijakan yang sudah diambil pemegang
kebijakan, atau (2) menjadikan ekonomi Islam
sebagai titik rujukan untuk mengkritisi kebijakan
dan pembangunan yang sedang berlangsung. Di
sini pemikiran ekonomi Islam belum mampu
memberikan kontribusi yang optimal. Sudah
mafhum hal itu, karena tergantung pula pada political
will pemerintah dan elit pelaku ekonomi. Baru
pada paruh terakhir era Orde Baru tepatnya era
90-an terjadi eskalasi dan transformasi fungsional
pemikiran ekonomi Islam, dari sekedar normatif
perbankan yang selama ini menjadi
tulang punggung sistem perekonomian
modern juga masih di dominasi oleh
sistem Kapitalistik Konvensional. Padahal jika kelompok intelektual muslim
mau sedikit bersusah payah untuk
menggali khazanah perekonomian
syariah sebagaimana di wariskan Rasulullah saw., tidak ada alasan untuk
terlena dalam kejumudan. Sebagai contoh, kajian-kajian Muamalat di berbagai
pondok pesantren baik modern maupun
tradisional—terasa cukup intensif.
Namun kajian-kajian tersebut lebih banyak terfokus pada proses pencerahan
intelektual dan belum menyentuh pada
tataran aplikatif. Dari pengamatan di
berbagai pesantren belum ada mapping
persoalan yang terkait langsung dengan
sistem perekonomian modern. Untuk
melengkapi semua itu, sebetulnya bisa
di lakukan melalui gerakan-gerakan
progresif. Misalnya memadukan sistem
perekonomian modern dengan sistem
perekonomian klasik yang termaktub
dalam berbagai jenis kitab kuning.11
Namun demikian, sistem ekonomi
syariah tetap dianggap lebih unggul dari
sistem yang lainnya. Paling tidak Syafi’i
Antonio, Direktur Tazkia Institute, menilai keunggulan sistem syari’ah yang
terletak pada sistem bagi hasil akan
mendorong lahirnya transparansi. Seevaluatif menjadi praktis empiris dengan ditandai
berdirinya BMI, Lembaga Asuransi Takaful, Badan
Arbitrase Islam, BPR, BMT dan sebagainya, lihat
M.Nur Yasin, Pemikiran Ekonomi Islam di Indonesia
1967-1997, STAIN Mataram, 1999, h.126-127.
11
Harian Republika, Dialog Jum’at Menjadikan
Ekonomi Syari’ah Tuan di Negeri Sendiri, Jum’at 5
Mei 2000, 13.
cara tidak langsung, mekanisme bagi
hasil itu merupakan bentuk yang lebih
riil terhadap pelaksanaan manajemen
terbuka. Melalui pola itulah, setiap nasabah bisa melakukan pemantauan terhadap bank yang bersangkutan.
Hal senada diungkapkan juga oleh
Didin Hafiduddin, Dewan Pengawas
Syariah Asuransi Takaful, bahwa keunggulan sistem perekonomian Islam banyak
sekali. Diantaranya memiliki tiga prinsip
dasar. Pertama, tidak boleh melakukan
transaksi yang bersifat gharar (penipuan).
Kedua, tidak boleh melakukan bisnis
dengan maksud menimbun (ihtikar).
Ketiga, larangan berbisnis yang bersifat
ribawi. Masih menurut Didin, etika
bisnis dalam sistim syari’ah terletak
pada prinsip dasar kesediaan untuk
saling menguntungkan. Dalam kondisi
apapun, misalnya menghadapi orang
yang sangat awam terhadap barang tertentu, sipenjual tetap diwajibkan untuk
menjual dengan harga standar, bukan
menggunakan asas ‘aji mumpung’. A.M.
Saifuddin, Pakar Ekonomi Islam, bahkan mengatakan bahwa ekonomi Islam
lebih menekankan pada sistem perdagangan yang adil (fair trade) bukan
perdagangan bebas (free trade) seperti
yang dikumandangkan oleh negaranegara maju.
Namun demikian, baik A.M.
Saifuddin, Didin, maupun Syafi’i Antonio mengakui bahwa ekonomi sistem
syari’at di Indonesia masih mengalami
kendala. Syafi’i Antonio misalnya, melihat kendalanya terletak pada kesan
bahwa ajaran Islam yang benar-benar
teraplikasi dengan baik hanya ibadah
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 31
mahdlah. Sedangkan aspek Muamalat,
seperti sisitem ekonomi syariah, masih
sebatas wacana. Sementara menurut
Didin Hafiduddin, mayoritas umat
Islam belum sepenuhnya merespon
sistem itu, antara lain disebabkan belum memasyarakatnya sistem tersebut,
karena kalah populer dengan sistem
kapitalistik. Selain itu terjadinya pemahaman yang parsial terhadap Islam.
Bahkan mungkin di sebabkan karena
memang ada sekelompok orang yang
phobi terhadap Islam.
Dalam pandangan Adiwarman
Karim, adanya musibah krisis di negara
kita justeru menjadi pendulum bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syariah. Syafi’i Antonio melihat ada blessing in disguise dibalik
krisis tersebut. Masih menurut Syafi’i
Antonio, paling tidak, musibah tersebut
selain mengajak banyak pihak untuk
melakukan introspeksi diri, sekaligus
juga melakukan terobosan-terobosan
kontemplatif. Karenanya tak mengherankan jika dalam waktu relatif singkat,
kini mulai menjamur sistem perbankan
syari’ah di daerah.
Melihat gejala-gejala di atas, penulis
teringat kembali terhadap tulisan
Moch. Mahfud, Guru Besar Hukum
Tata Negara, yang menganggap bahwa
hukum adalah produk politik sebagai
suatu aksioma. Sehingga keadaan politik
tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter teretentu pula.12 Oleh
karena itu, dalam rangka mewujudkan
hukum yang responsif -yang di dalamnya
12
Moch. Mahfud, MD, Pergulatan Politik…, 70.
32 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
memiliki ciri partisipatif, aspiratif dan
limitatif-, maka diharapkan pemerintah
bersama DPR memiliki political Will
untuk bukan saja melahirkan aturan
hukum bidang muamalat (KHI bidang
perdata) tetapi juga harus mendorong
pelaksanaan yang mencerminkan cita
ideal dari peratrah yang telah dibentuk.
mewUjUdkan hUkUm Perdata islam
di indonesia
Agama Islam merupakan agama
yang universal, syariat Islam tidak hanya
mengatur hal-hal yang bersangkut
paut dengan masalah ibadah atau hubungan dengan Tuhan (hubungan vertikal) saja yang dikenal dengan “hablum
minallah”, akan tetapi Islam telah mengajarkan bagaimana cara kita berhubungan dengan sesama manusia
(secara horizontal) yang dikenal dengan
“hablum minannas”. Konsep dasar pola
pikir dan tindak tanduk tersebut sangat
sederhana tapi pas dimana kedua pola
di atas lengkap dengan nilai azasnya,
yaitu “Jangan lakukan hal-hal yang tidak
diperintahkan “ dalam konteks hablum
minallah atau ibadah, dan “Lakukan
apa saja yang baik yang kau mau menurut
akalmu, kecuali dilarang Allah”, dalam
konteks hablum minannas. Hubungan
jenis kedua ini, dalam literatur Fiqh
Islam banyak dikenal dengan istilah
muamalat. Kata muamalat itu sendiri
memiliki arti khusus dan arti umum.
Secara bahasa, muamalat artinya perhubungan atau pergaulan. Namun dalam
tulisan ini, yang kami maksudkan
dengan muamalat adalah muamalat dalam
arti khusus yakni hubungan antar manusia dengan manusia yang lainnya,
yang berhubungan dengan masalah
ekonomi.13
Bidang-bidang hukum dalam kehidupan kemasyarakatan yang mendapatkan pengaturan normatif yang
terperinci hanyalah terbatas di bidang
hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Sedangkan dibidang yang lainnya, corak pengaturan normatif yang
diberikan Qur’an dan Hadits pada
umumnya terbatas pada norma-norma
dasar.14 Sedangkan pelaksanaannya dirinci baik melalui ijtihad secara perorangan (fiqh), maupun dituangkan
dalam hukum positif yang dibuat oleh
negara (qânun).
Moch. Kosnoe menjelaskan bahwa
dalam pembukaan UUD 1945 memiliki
empat nilai dasar, nilai dasar yang
kedua adalah hukum itu mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Di
sini keadilan sosial bukan semata-mata
sebagai tujuan. Akan tetapi sekaligus
pegangan yang konkret dalam membuat
peraturan hukum.15 Jadi dalam ke13
Masduha Abdurrahman, Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Perdata Islam (Fiqih Muamalat)
(Surabaya: Central Media, 1992), 31.
14
Aturan dalam Islam ada yang bersifat global
dan ada yang rinci. Yang global biasanya untuk halhal yang memungkinkan berubah karena faktor
waktu maupun tempat, sedangkan yang rinci untuk
hal-hal yang baku. Masalah ekonomi dan politik
sering berubah temporal, menurut ruang dan waktu.
Oleh sebab itu, untuk masalah ini Islam cukup
meletakkan aturan dasarnya saja, Yusuf Qardhawi,
Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami, Terj.
Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), 22.
15
Nilai dasar tersebut berasal dari ide nilainilai dasar dari tata hukum, menurut filsafat hukum
bangsa kita, yang dituangkan di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 –sementara dalam
hidupan kenegaraan kita, khususnya
yang berkenaan dengan pandangan dasar
Pancasila, prinsip keadilan disebutkan
dalam rangka “kemanusiaan yang adil
dan beradab” dan “keadilan sosial”.
Fakta ini menunjukkan tingginya citacita keadilan dalam konsep kenegaraan
kita. Bahkan dengan jelas disebutkan
bahwa “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat” merupakan tujuan negara kita.
Penulis melihat bahwa sistem ekonomi
yang diperaktikkan oleh negara kita,
yang dalam lingkup tarik menarik antara
dua ideologi besar yakni Kapitalisme
Barat dan Sosialisme Timur, sebenarnya
lebih dekat kepada sistem ekonomi
yang ditemukan dalam Islam, walaupun
belum diperaktikkan secara maksimal.
Hal ini mungkin di sebabkan karena
memang secara inklusif sebenarnya
ajaran Islam tersebut telah merambah
sistem ekonomi kita. Sementara persoalan keadilan ini merupakan suatu
persoalan pokok yang disadari umat
manusia semenjak mereka berpikir.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa tema pokok usaha perbaikan
(ishlah) masyarakat yang dilakukan oleh
para Rasul adalah menegakkan keadilan
(Qs.Yunus: 47).
Menurut Mubyarto sistem ekonomi
kapitalis dan sosialis mengandung kelemahan yang sangat mendasar, yaitu
makin menjauhi unsur-unsur moralitas
Pembukaan itu sendiri terdapat pendirianpendirian yang asasi yang berhubungan dengan soal:
kemerdekaan, penjajahan, ketuhanan, kebebasan,
dan pemerintahan. Untuk lebih jelasnya baca:
Nilai-nilai Dasar Tata Hukum Nasional Kita oleh
Moch. Kosnoe dalam Artidjo Alkotsar, Identitas
Hukum…,30-42.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 33
dan ajaran agama. Ekonomi komunis
sudah jelas didasarkan atas teori
materialisme sejarah, yang menganggap
urusan materi menentukan sejarah umat
manusia. Sebaliknya filsafat ekonomi
Kapitalis Liberal bersumber pada psikologi
hedonisme yang mendewa-dewakan kesenangan, terutama dari komoditas
yang bersifat materi.16 Konsep moralitas
ekonomi Islam di sini tentunya konsep
moral yang merujuk pada nash. Sehingga
dalam situasi di atas, barangkali moral
ajaran-ajaran Islam akan lebih pas jika
diposisikan sebagai dasar perekonomian
di Indonesia. Sementara negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
tidak mendasarkan diri pada suatu
agama tertentu –sekalipun umat Islam
mayoritas- tidak menjadikan negara
kita ini sebagai negara Islam. Oleh
karena itu, masalah yang sangat krusial
adalah bagaimana ajaran agama Islam—
khususnya tentang muamalat—yang
telah hidup di tengah-tengah masyarakat
itu menjadi dasar hukum dan pedoman
bagi pemeluknya. Salah satu solusinya
adalah berusaha mentransformasikan
nilai-nilai moral dan keadilannya dalam tataran pergulatan ekonomi di Indonesia.
Sementara, Hartono Marjono mengatakan bahwa pada pasal 27 ayat (1)
UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
dengan jelas mengata-kan:”Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.17
Walaupun demikian, Hartono Marjono
menilai secara teoritis bahwa dalam
melakukan kegiatan keuangan, telah
pula disediakan Undang-Undang No.
7 Tahun 1992, sehingga setiap Muslim
dapat sepenuhnya menjalankan kegiatannya sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam bila ia menghendaki. Sedang di
lingkungan muamalat lainnya, seperti
jual beli, sewa menyewa, perjanjian
kerja, perjanjian usaha dalam bentuk
perserikatan perdata (maatschap), penitipan barang, perjanjian pinjampakai, perjanjian pinjam-pakai-habis
(verbruiklening), pemin-jaman dengan
hasil, perjanjian penanggungan hutang, dan perjanjian perdamaian, yang
merupakan perjanjian-perjanjian dengan nama seperti tersebut dalam KUH
Perdata, serta perjanjian-perjanjian dengan nama apapun, bila kaum muslim
menghendakinya, maka melalui asas
kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan pada pasal 1338 KUH Perdata,
mereka dapat sepenuhnya melakukan
16
Sudjangi (editor), Kajian Agama dan Masyarakat,
15 Tahun BPPA 1975 (Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan, 1992/1993),115-116.Berdasarkan
analisa Kuntowijaya dan Dawam Raharjo dapatlah
disimpulkan bahwa baik sistem Kapitalis maupun
sistem Komunis, keduanya berdasarkan pengejaran
material, sedangkan ekonomi Islam berdasarkan
moral dan spiritual atau akhlak dan etika. M. Nur
Yasin, Pemikiran Ekonomi…,75.
34 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
17
Meskipun hakim mengetahui ada rumusan
norma hukum positip tertulis, hakim dapat saja
mengesampingkannya jika ia berkeyakinan bahwa
kesadaran hukum positip tertulis itu bertentangan
dengan nilai-nilai dan kesadaran hukum masyarakat,
yang mungkin konsep ini lebih mendekati konsep
anglo saxon (Barat). Yusril Ihza Mahendra, dalam Ali
Yafie, Wacana Baru …,176.
hal itu berdasarkan ajaran-ajaran dan
akhlak Islam.18
Namun, dalam rangka memperoleh kepastian hukum dan memudahkan bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa perkara perdata bagi
umat Islam yang menginginkan penyelesaiannya dengan hukum Islam,
maka saat ini pemerintah Indonesia
telah menggolkan KHI bidang ekonomi syariah. Di samping itu, telah
dikeluarkan oleh DPR UU perbankan
syariah, UU Zakat, dan UU wakaf.
Hal ini diperlukan, dalam rangka
mengantisipasi kecendrungan masyarakat muslim untuk menerapkan ajaranajaran, akhlak dan syariat Islam dalam
aktivitas muamalat-nya dan memudahkan
para hakim menyelesaikan perkara
umat Islam pada masalah muamalat atau
ekonomi Islam.
mendialogkan nama “ekonomi
islam” dan ikhtiar
Positivisasinya
Untuk sebagian orang, nama “ekonomi Islam” masih menjadi masalah.
Dalam al-Qur’an, ekonomi Islam
diidentikkan dengan iqtishâd, yang artinya “umat yang pertengahan”. Atau bisa
diartikan mengunakan rizki yang ada di
sekitar kita dengan cara berhemat agar
menjadi manusia yang baik dan tidak
merusak nikmat-Nya. Dari sini, bisa
dinyatakan bahwa nama ekonomi Islam
bukan nama baku dalam terminologi
Islam. Tidak ada peraturan atau undang-undang yang menyatakan harus
bernama ekonomi Islam. Sehingga
bisa saja orang menyebutnya “ekonomi
Ilahiyah”, “ekonomi syariah”, “ekonomi
Qur’ani”, atau “ekonomi” saja.19
Menurut Dawam Raharjo, ada
tiga kemungkinan penafsiran tentang
istilah “ekonomi Islam”. Pertama, yang
dimaksud adalah “ilmu ekonomi” yang
berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam.
Kedua, yang dimaksud adalah”sistem
ekonomi Islam”. Sistem menyangkut
pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan
ekonomi dalam suatu masyarakat
atau negara berdasarkan suatu cara
atau metode tertentu. Oleh sebab itu,
“sistem” bersifat normatif. Ada kalanya
pengaturan itu dilakukan secara terbatas,
umpamanya dalam perusahaan atau desa.
Ketiga, adalah sebagai “perekonomian
Islam” atau mungkin lebih tepat, “perekonomian dunia Islam”.20
Menurut Prof Dawam Rahardjo,
Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu yang
mempelajari prilaku manusia sebagai
hubungan antara tujuan dan alat-alat
langka yang mengandung pilihanpilihan dalam penggunaannya sesuai
syariat Islam. Sementara menurut M.
Abdul Mannan ekonomi Islam adalah
“Islamic economics is a social which studies
the economics problem of a people imbued
with the values of Islam”. [Ekonomi Islam
merupakan suatu studi sosial yang
19
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu
Pengantar (Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2003), 6.
20
18
53.
Hartono Marjono, Menegakkan Syari’at…,
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi
Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
3
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 35
mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat berdasarkan nilai-nilai Islam].21
dengan tenaga atau ongkos yang sekecilkecilnya.23
Syed Nawab Haider Naqvi mengatakan bahwa sebagai mainstream
perbankan Islam, ilmu ekonomi Islam
harus dikembangkan secara simultan
dalam dua tingkat. Pertama, ia harus
merefleksikan suatu pemahaman dan
pengenalan yang jelas terhadap esensi
nilai-nilai etik Islam yang fundamental.
Kemudian dengan mengubah nilai-nilai
etik tersebut ke dalam aksioma-aksioma
yang bersifat operatif. Kedua, karena
menggunakan masyarakat Muslim sebagai counter part ilmu ekonomi Islam
dalam konteks dunia riil, maka serangkaian hipotesis tentang perilaku
Muslim yang dipandang representatif
harus ditetapkan.22
Meski tujuan dan prinsip sama,
tetapi pelaksanaan ekonomi Islam dan
ekonomi Barat tetap berbeda. Sistem
ekonomi Islam adalah sistem ekonomi
yang terjadi setelah prinsip ekonomi
yang menjadi pedoman kerjanya
dipengaruhi atau dibatasi oleh garisgaris ajaran Islam. Sistem ekonomi
Islam bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadis, yang dikembangkan oleh
para ulama yang memenuhi syarat dan
ahli dalam bidangnya. Islam mengakui
motif laba (profit) dalam kehidupan
ekonomi, namun terikat oleh moral
dan soial. Moral dan sosial merupakan
keseimbangan yang harmonis antara
kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat. Di era pembangunan ekonomi setiap negara dewasa ini, peranan
lembaga perbankan sangat besar dan
menentukan. Dengan beroperasinya
bank yang berdasarkan prinsip syariat
Islam, diharapkan punya pengaruh
yang besar terhadap terwujudnya suatu
sistem ekonomi Islam yang menjadi
keinginan bagi setiap negara Islam atau
negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam.”
Syafruddin Prawiranegara mengemukakan pandangannya seputar ekonomi Islam. Menurut beliau, dari tujuan, prinsip, atau motif ekonomi, tidak
ada perbedaan antara sistem ekonomi
Islam dengan sistem ekonomi Barat.
Semua sistem ekonomi, termasuk
sistem ekonomi Islam, bekerja atas
dasar dua hal (1) tujuan yang sama yaitu
mencari pemuasan berbagai keperluan
hidup manusia, baik keperluan hidup
pribadi maupun keperluan masyarakat
secara keseluruhan, (2) prinsip atau
motif ekonomi yang sama, yaitu setiap
orang atau masyarakat akan berusaha
mencapai hasil yang sebesar-besarnya
21
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam, Terj. Drs M. Nastangin, PT Dhana
(Yogyakarta: Bhakti Prima Yasa, 1997), 19
22
Muhammad, Metodologi Penelitian Pemikiran
Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), 35.
36 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
Ada beberapa hal penting yang
menarik untuk digarisbawahi dari pemikiran Safrudin di atas bahwa sistem
ekonomi Islam, terutama, dicirikan oleh
sumber inspirasinya yaitu wahyu Allah,
dengan model pendekatan normatifdeduktif.
23
Syafruddin Prawiranegara ,Sistem Ekonomi
Islam (Jakarta:Publicita, tt.), 10, 15, dan 27.
Berkaitan dengan pola akomodasi
sistem ekonomi Indonesia terhadap sistem ekonomi yang ada, dalam penelitian
Yasin digambarkan keadaan ekonomi
Indonesia selama ini. Di Indonesia
sering dikembangkan konsep ekonomi
campuran (mixed economy) dalam format
ekonomi pancasila, tampak berkali-kali
mengalami trial and error. Pada era Orde
Lama lebih miring kepada sosialisme.
Pada era Orde Baru lebih kapitalistik
daripada di negara tempat lahirnya kapitalisme itu sendiri.
ransi Takaful, Badan Arbitrase Islam,
BPR, BMT, dan sebagainya.24
Di tengah suasana dan kondisi
ekonomi Orde Baru banyak dilakukan
oleh para ekonom muslim dalam kerangka pemikiran ekonomi Pancasila.
Ekonomi Pancasila sebagai bungkus
luar, sedangkan ekonomi Islam lebih
sebagai substansi dalamnya. Sebagai
substansi di dalam, maka pemikiran
ekonomi Islam lebih bersifat normatifevaluatif. Artinya, kalaupun ekonomi
Islam ditampilkan, yang tergambar merupakan salah satu dari kedua bentuk
berikut: (1) mempedulikan ekonomi
Islam sekedar mencari legimitasi bagi
kebijakan yang sudah diambil pemegang
kebijakan, atau (2) menjadikan ekonomi Islam sebagai titik rujukan untuk
mengkritisi kebijakan dan pembangunan
yang sedang berlangsung. Di sini, pemikiran ekonomi Islam belum mampu
memberikan kontribusi yang optimal.
Baru pada paruh terakhir era Orde
Baru tepatnya era 90-an terjadi eskalasi
dan transformasi fungsional pemikiran
ekonomi Islam, dari sekedar normatifevaluatif menjadi praktis-empiris dengan
ditandai berdirinya BMI, Lembaga Asu-
2. Undang-Undang No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama
No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama yang mengakomodir perkara
atau sengketa syariah;
Berkaitan dengan pengembangan
Ekonomi Syariah ke depan telah bermunculan regulasi yang telah dihasilkan
di negara kita ini, di antaranya:
1. Peraturan Pemerintah No.28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik; ketiga, Instruksi Presiden
No.13 Tahun 1980 tentang pedoman
pelaksanaan UU No.2 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil;
3. Kompilasi Ekonomi Syariah Islam;
4. UU No.7 Tahun 1992 jo. PP No.70
dan No.72 Tahun 1992 jo. UU
No.10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakomodasi bank
syariah jo UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
5. Undang-Undang No. 38 Tahun
1999 tanggal 23 September 1999
tentang Pengelolaan Zakat;
6. UU RI No.41 Tahun 2004 tentang
Wakaf;
7. KHI ekonomi Syariah.25
24
M. Nur Yasin, Pemikiran Ekonomi Islam 19671997, Penelitian Individual (Mataram: STAIN
Mataram, 1999), 75.
25
Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi dan
Positivisasinya di Indonesia (Mataram: LKIM IAIN
Mataram, 2006), 277-278.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 37
kesimPUlan
Ajaran Islam tentang aturan bermuamalat tidak bisa dipungkiri lagi
keberadaannya, walaupun dalam tataran praktis masih perlu dielaborasi
sedemikian rupa agar tidak menyimpang
dari nilai dasarnya, yakni keadilan dan
nilai etika bisnis yang memiliki kesediaan
untuk saling menguntungkan. Oleh
karena itu, realitas masyarakat Indonesia
yang mayoritas dan dukungan formal
dari semangat Pancasila dan UUD
1945, mengharuskan bagi semua umat
Islam di Indonesia baik dari kalangan
praktisi hukum, MUI, dan organisasiorganisasi keagamaan untuk mendorong
agar pemerintah bersama DPR sebagai
wakil rakyat memiliki political will dalam
mewujudkan bukan saja terbentuknya
KHI bidang perdata ini atau undangundang terkait, tetapi bagaimana pemerintah dalam menjalankan system ekonomi yang lebih berempati kepada
kepentingan rakyat pada umumnya.
Bagi kaum muslim Indonesia, ekonomi Pancasila adalah ekonomi Islam
dalam konteks Indonesia. Dalam istilah Kontowijoyo, ekonomi Pancasila
adalah objektivikasi ekonomi Islam,
walaupun harus diakui bahwa ekonomi
Pancasila belum sesuai sepenuhnya dengan konsep ekonomi Islam. Namun
demikian, menarik memperhatikan
perkembangan sistem ekonomi di Indonesia ini. Setelah melalui masa trial
and error dari masa Orde Lama yang lebih
38 |
iqtishaduNa
Jurnal Ekonomi Islam
miring ke Sosialisme, dan Orde Baru
yang lebih Kapitalistik dari negeri asal
konsep tersebut, sebenarnya pemikiran
ekonomi Islam banyak dilakukan oleh
para ekonom muslim Indonesia dalam
kerangka pemikiran ekonomi Pancasila.
Ekonomi Pancasila sebagai bungkus,
sedangkan ekonomi Islam sebagai
substansi di dalamnya. Dalam hal ini
ekonomi Islam lebih bersifat normatif
evaluatif –ekonomi Islam belum mampu
memberikan kontribusi yang optimalbaru pada paruh terakhir masa Orde
Baru, yakni sekitar era 90-an terjadi
eskalasi dan transformasi fungsional
pemikiran ekonomi Islam, dari sekedar
normatif evaluatif menjadi praktis empiris,
ditandai dengan berdirinya, BMI,
Takafful, BPR, BMT, dan lain-lain.
Namun saat ini seiring dengan kenaikan harga BBM terhembus isu yang
sangat kencang bahwa besaran kenaikan
harga BBM saat ini yang mencampai
angka Rp 2.000.000,- merupakan pesanan IMF. Kalau isu ini benar, maka
sangat kuat dugaan orang bahwa sistem
ekonomi di negara kita saat ini disetir
oleh Amerika yang nota bene negara
Kapitalis. Penulis berharap Indonesia
tetap menjaga kemandirian sistem ekonomi yang diterapkan tanpa harus diintervensi oleh negara luar, apalagi
sistem ekonomi yang dipaksakan adalah
sistem ekonomi yang tidak selaras
dengan ideologi rakyat Indonesia secara
umum.
daftar PUstaka
Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial
Bandung: Mizan,1997.
Artidjo Alkotsar, Identitas Hukum
Nasional Yogyakarta: Fak. Hukum
UII, 1997.
H. Hartono Marjono, Menegakkan
Syari’at Islam dalam Konteks
Keindonesiaan Bandung: Mizan,
1997.
Harian Republika, Dialog Jum’at,
Menjadikan Ekonomi Syari’ah Tuan
di Negeri Sendiri, Jum,at 5 Mei
2000.
Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi
Islam: Suatu Pengantar Yogyakarta:
Penerbit Ekonisia, 2003.
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam, Terj. Drs M.
Nastangin, PT Dhana. Yogyakarta:
Bhakti Prima Yasa, 1997.
M.
Dawam Rahardjo, Islam dan
Transformasi
Sosial
Ekonomi
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
M. Nur Yasin, Pemikiran Ekonomi Islam
di Indonesia 1967-1997, STAIN
Mataram, 1999.
Masduha Abdurrahman, Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Perdata Islam
(Fiqih Muamalat) Surabaya: Central
Media,1992.
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan
Hukum di Indonesia, Penyunting
Tirto Suwondo. Yogyakarta: Gama
Media, 1999.
Muhammad,
Metodologi
Penelitian
Pemikiran
Ekonomi
Islam.
Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi dan
Positivisasinya di Indonesia Mataram:
LKIM IAIN Mataram, 2006.
Sudjangi (editor), Kajian Agama
dan
Masyarakat,
15
tahun
BPPA 1975, Badan Penelitian
dan Pengembangan, Jakarta,
1992/1993.
Syafruddin
Prawiranegara,
Sistem
Ekonomi Islam Jakarta: Publicita,
tt.
Yusuf Qardhawi, “Daurul Qiyam wal
Akhlaq fil Iqtishad al-Islami, Terj.
Norma dan Etika Ekonomi Islam
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Majalah Islam Sabili, No. 24 th. VII 17
Mei 2000.
iqtishaduNa
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 39