PELAKSANAAN PENYITAAN ASET TERPIDANA KORUPSI SEBAGAI UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA (Studi Di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

PELAKSANAAN PENYITAAN ASET TERPIDANA KORUPSI SEBAGAI UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA

  (Studi Di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

  (Jurnal) Oleh: Fauzul Romansah 1312011121

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

  ABSTRAK PELAKSAAN PENYITAAN ASET TERPIDANA KORUPSI SEBAGAI UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA(Studi Di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung) Oleh Fauzul Romansah, Eko Raharjo, Tri Andrisman.

  (Email :Fauzulromansyah@gmail.com) Penyitaan aset terpidana korupsi merupakanlangkahantisipatif yang bertujuanuntukmenyelamatkanataumencegah beralih atau hilangnya hartakekayaan dari terpidana korupsi yang kelakakan diputuskanoleh pengadilan, untuk disita sebagai pengganti kerugiankeuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Penyitaan aset pada praktiknya seringkali terjadi peralihan aset yang dilakukanolehterpidanakorupsisehinggapengadilanmenyatakanbahwaharta yang dimilikiterpidanakorupsitidakmencukupi untuk mengembalikankerugian negara. Permasalahan: Bagaimanakahmekanismepelaksanaanpenyitaan aset terpidanakorupsisebagaiupayapengembalian kerugian negara dan Apakah yang menjadi faktor penghambat penyitaan aset terpidanakorupsisebagaiupayapengembaliankerugiannegara. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan menekankan pada kajian kaidah hukumnya, dan ditunjang dengan pendekatan lapangan berupa perolehan tambahan informasi serta opini penegak hukum. Narasumber terdiri dari, jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dan akademisi.Studi ini menghasilkan temuan sebagai berikut; pertamamekanismepelaksanaanpenyitaan aset terpidanakorupsiberupa; penelusuranaset, pembekuan aset, penyitaan aset, perampasan aset, dan pengelolaan aset. Kedua, beberapa faktor yangmenjadi penghambat dalam pelaksanaanpenyitaan aset; a.Faktor hukum, belumadanyaperaturan yang mengatursecara mendalam tentang tata cara penyelidikan aset, penyidikan aset, pembekuan, penyitaandanlainnya. b.FaktorPenegak hukum berupa kemampuanaparatpenegak hukum yang kurangmemenuhi kapasitas yang patutdanlayakterhadappelaksanaan penegakan hukum. c.Faktor fasilitasdansaranaserta teknologi yang dapat menunjang dalampelacakanhartakekayaandaripelakutindakpidanakorupsi, dan belum adanya lembaga khusus yang menangani pelaksanaan penyitaan aset. d.budaya hukum sangatmenentukan praktik penyitaan aset agar dapat berjalandenganbaik, karenabudaya yang baiktentunyaakanmenghasilkan penegakan hukumbaik pula e.Faktor masyarakat, yaitu kurangnyakesadaranmasyarakat terhadap praktik tindakpidanakorupsi bahkan pada praktikperalihan aset kekayaan terpidana korupsi. Saran dalampenelitianiniadalah agar pemerintah memperbaiki sarana dan fasilitas teknologi untuk dapat menunjang kinerja kejaksaan dalam melakukan penyitaan aset terpidana korupsi dan dilakukan terobosan hukum untuk menyempurnakan undang-undang terkait dengan mekanisme pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi. Dilakukan penyuluhan hukum bagi masyarakat agar masyarakat dapat memahami unsur-unsur praktik peralihan aset dan mengawasi jalannya penyitaan aset yang dilakukan oleh kejaksaan.

  Kata Kunci: Penyitaan, Aset, Terpida, Korupsi.

  

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF FORCLOSUREACCUSED ASSETS ASEFFORT TO

RETURN THE LOSS OF STATE (A Study inAttorney Bandar Lampung)

By

  

Fauzul Romansah, Eko Raharjo, Tri Andrisman.

  (Email :Fauzulromansyah@gmail.com) Asset seizures convict corruption anticipative is a step which aims to save or prevent a toggle or loss of wealth of treasure convict corruption will be decided by the court, to seized as a substitute for the state financial losses due to corruption. Asset seizures in practice often occur intermediate practices assets or move the hand that carried out by a convicted person corruption so that the court stated that property owned convict corruption is not sufficient for restored the state losses. The problems is: how the implementation mechanism asset seizures convict corruption in an effort to return state a loss and what is the barrier seizure asset convict corruption in an effort to return the state losses. The method used in this research is juridical normative and juridical empiric. Interviews by the prosecutor and lecture of law faculty in lampung university. The data will be collected by literature and field studies.The data analysis is qualitative. Based on result can be concluded is implementation of mechanism forclosure accused assets in Attorney Bandar Lampung as effort to return the loss of state that from Tracking assets, freezing assets, asset seizures, deprivation of assets, and management of assets. While there are factors that block in the asset seizures convict corruption and: a.The law in terms, the absence of regulations governing deeply about procedures of inquiry assets, investigation assets, freezing, the seizure and other practic of law.b.the factor of law enforcer apparatus who are not dare in conducting a breakthrough practice in inspections and giving the right decision in eradicating corruption. c.factor of facilities and infrastructe to support the performance of law enforcement. d. factor of the culture of law, Tracking wealth of an offender corruption and performance law enforcement officials seemed to slowly, the absence of a special institution handle the asset seizures. d. factor of the culture of law cultural very decisive law practice asset seizures to go well, because cultural whether it will produce law enforcement the implementation good. e.Factor of community that don’t understand the elements of corruption in the daily life of society. Advice of the research is that the government improving facilities and facilities technology to be able to support performance prosecutors in doing asset seizures convict corruption and performed a breakthrough law to improve undang-undang associated with a mechanism forclosure asset convict corruption. Counseling law done for the community so that the citizens can understand the elements of transitional assets practices and overseeing the course of the seizure of assets done by prosecutors.

  Keywords: Forclosure, assets, convict, corruption.

I.PENDAHULUAN

  Korupsi merupakan permasalahan moral dari penguasa baik itu pada tingkat kepala desa, lurah sampai pada pejabat setingkat menteri atau kepala negara. Hal ini dapat dilihat dari pemberitaan-pemberitaan baik itu media elektronik maupun cetak yang memberitakan mengenai skandal-skandal korupsi yang terjadi di Indonesia .Perkembangan korupsi di Indonesia sudah di klasifikasikan sebagai ancaman yang luar biasa (the extra ordinary crime), yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kuatnya tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk serius memerangi korupsi direspon oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan.Salah satunya dengan memperbaharui Undang-undang anti korupsi yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No.

  20 Tahun 2001. Alasan pemerintah mengeluarkan UU No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 karena Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dianggap sangat lemah dan ringan, khususnya dalam hal pidana dan pemidanaan. Pembayaran ganti kerugian dalam kasus tindak pidana korupsi termasuk dalam pidana tambahan selain putusan penjatuhan hukuman pidana dan denda. Pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi dapat berupa: (1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut, (2) Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, (c) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun, (d) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana, (e) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk memenuhi uang pengganti tersebut.

  Eksekusi pidana pembayaran ganti kerugian ini sebenarnya dilakukan sama seperti eksekusi kasus pidana pada umumnya, hanya yang menjadi pembeda adalah adanya batas waktu bagi terpidana untuk membayar uang pengganti tersebut setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap serta diharuskan menyerahkan harta bendanya untuk menutup pembayaran uang pengganti apabila terpidana mampu membayarnya. Penyitaan terhadap suatu benda dapat dilakukan jika benda tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal

  39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), yaitu :

  a. Seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

  b. Telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

  c. Dipergunakan untuk menghalang- halangi penyidikan tindak pidana.

  d. Khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

  e. Mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Penyitaan aset merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau mencegah beralihnya harta kekayaan dari terpidana korupsi. Praktik penyitaan aset di awali dengan proses pelacakan aset yang dilakukan sejak dalam tahap penyelidikan. Harta kekayaan inilah yang akan diputuskan oleh pengadilan, untuk disita untuk mengembalikan kerugian keuangan negara apabila terpidana korupsi tidak mampu membayar pidana uang pengganti yang ditetapkan oleh hakim atau sebagai pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan.

  Upaya pengembalian aset negara “yang dicuri” (stolen asset recovery) dari hasil tindak pidana korupsi sangatlah tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang cukup luas dan sulit dijangkau dalam menyimpan maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Pernyataan serupa juga terungkap oleh sebuah lembaga internasional, Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery mengemukakan bahwa “asset recovery is a difficult task and is fraught with the complicity of the banks involved, the navigation of a costly international legal labyrinth and the fact that those implicated in public looting are usually those with the most power and influence”. Dapat diartikan bahwa pengembalian aset merupakan masalah yang begitu rumit untuk ditelusuri jalan keluarnya, dan akan mencakup masalah perbankan, juga berhubungan dengan adanya fakta pengambilan uang rakyat karena jabatan atau pengaruh yang melekat pada pelaku tindak pidana korupsi. Pengembalian aset menjadi issue penting karena pencurian aset negara di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah berkuasa di negara yang bersangkutan merupakan masalah serius. Di Indonesia, korupsi telah menyebabkan kerugian besar dari keuangan negara, namun juga terhadap keutuhan bangsa. Masalah yang timbul di atas pada hakikatnya berkaitan dengan peran jaksa dalampelaksanaanpenyitaan aset terpidanakorupsi sebagai upaya pengembalian kerugian negara. Adanya jangka waktu dalam proses penyidikan hingga proses penyitaan aset dapat menjadi celah hukum bagi terpidana korupsi untuk melakukan praktik-praktik kecurangan yang dapat menimbulkan tindak pidana baru. Praktik kecurangan ini menimbulkan citra buruk bagi kejaksaan sebagai lembaga eksekusi penyitaan aset terpidana korupsi, bahwa timbulnya asumsi masyarakat telah terjadi praktik kerja sama antara terpidana tindak pidana korupsi dan jaksa eksekutor untuk menggelapkan dan mengalihkan harta terpidana korupsi. Berdasarkanlatar belakang di atas,makadalamhaliniyangmenjadi permasalahandidalampenelitianiniadalah:

  a. Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi oleh jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung ?

  b. Apakah yang menjadi faktor penghambat penyitaan aset terpidana korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian negara ?

  Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2(dua) pendekatan, yaitu: pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan dengan cara melihat dan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen serta peraturan- peraturan lainnya yang berlaku dan berhubungan dengan judul dan pokok bahasan yang akan diteliti, yaitu Pelaksanaan Penyitaan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung) dan pendekatan Empiris, Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung dari wawancara guna mengetahui kenyataan yang terjadi dalam praktek. Peneliti melakukan wawancara dengan Jaksa pada Kejaksaan Negeri,serta akademisi untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana PelaksanaanPenyitaan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung).Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi data lapangan yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber di lokasi penelitian dan data kepustakaan yang diperoleh dari studi kepustakaan.Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua kategori, yaitu data primer dan data sekunder.Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu :penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian di lapangan (Field

  Research)

  Analisis data dilakukan secara analisis deskriftif kualitatif yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan data dan fakta yang dihasilkan dari hasil penelitian di lapangan dengan suatu interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum. Selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian, baik data primer, maupun data sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang bersifat umum yang kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus.

  Menurut Purwaning M.Yanuar Mekanisme atau prosedur yang dapat diterapkan untuk proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berupa;pengembalian aset melalui jalur pidana, pengembalian aset melalui jalur perdata, pengembalian aset melalui jalur administrasi atau politik. Proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Kejaksaan sebagai aparat berwenang dalam penegakan hukum juga mengenal pengembalian aset melalui perampasan aset tanpa pemidanaan, serta pengembalian aset secara sukarela. Berikut ini adalah penjabaran mekanisme yang diterapkan Kejaksaan:

  1. Pengembalian Aset Melalui Jalur Pidana

  Kejaksaan dan KPK menerapkan mekanisme jalur pidana yang hampir sama dalam proses maupun prosedurnya, meskipun ada beberapa hal pembeda secara praktis di antara keduanya. Dasar hukum yang sama digunakan keduanya adalah penggunaan prosedur beracara yang digunakan dalam penyidikan dan penyelidikan suatu perkara pidana, yaitu berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan tetap menggunakan ketentuan pokok dari tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupi. Selain itu, keduanya tidak terlepas dari masing-masing ketentuan lembaga atau komisi yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan-ketentuan ini tdiatur dalam

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2.1 Pelaksanaan Penyitaan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara.

  Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 bahwa ”perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut”. Gambaran prosedur penanganan atau proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui jalur pidana dapat berupa: a) Penelusuran Aset Penelusuran aset atau pelacakan aset (asset tracking) pengertiannya tidak dikenal dalam hukum perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam kerangka hukum acara pidana, kegiatan pelacakan memiliki kaitan yang erat dengan tindakan penyelidikan dan penyidikan meskipun tidak disebutkan. Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP memberikan definisi Penyidikan. Eka Aftarini berpendapat bahwa Penelusuran atau pelacakan aset tidak selalu dalam rangka pengungkapan tindak pidana, tetapi juga dapat semata-mata untuk menemukan aset hasil kejahatan dengan tanpa mengungkapkan kejahatannya. Penelusuran aset ditujukan untuk membawa penyelidik, penyidik, dan penuntut kepada informasi yang aset hasil tindak pidana korupsi disimpan atau disembunyikan. Hal tersebut tidak begitu saja langsung dapat dipulihkan. Jika aset yang disembunyikan berada di Indonesia, maka masih akan membutuhkan proses hukum lanjutan seperti pembuktian hak kepemilikan harta benda atau aset terkait. Akan tetapi, apabila keberadaan aset di luar Indonesia, maka akan menimbulkan problem yang lebih kompleks.

  a) Pembekuan aset Setelah informasi dikumpulkan dan keseluruhannya berkenaan dengan aset- aset hasil tindak pidana korupsi, barulah langkah selanjutnya melakukan pembekuan aset. Pembekuan aset atau

  asset freezing dalam hukum acara pidana

  tidak disebutkan pengertiannya. Jika dilihat dari tujuannya, tindakan pembekuan kurang lebih sama dengan penyitaan, yang keduanya mempunyai maksud untuk mengamankan aset agar pada waktunya dapat dikembalikan kepada yang berhak.

  Pembekuan atau freezing dalam Black Law

  Dictionary (memiliki arti sebagai

  berikut:”temporally prohibiting the

  transfer, conversion, disposition, or movement of property or temporally assuming custody or control of property on the basis of an order issued by court or competent authority” . Pembekuan

  diartikan sebagai larangan sementara untuk melakukan transfer, konfersi, disposisi, atau penempatan atau pemindahan atas harta kekayaan atau pelarangan untuk menempatkan sementara dalam pengampuan atau pengawasan harta kekayaan berdasarkan putusan pengadilan atau perintah otoritas tertentu.

  b) Penyitaan Pengertian penyitaan lebih dikenal dalam hukum acara pidana maupun hukum acara perdata.Penyitaan dapat didefinisikan sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 Butir

  16 KUHAP yaitu “serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”.

  c) Perampasan Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata “rampas” yang diatur dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

  d) Pengelolaan aset Pengelolaan aset adalah serangkaian proses yang dilakukan oleh suatu lembaga berupa pemeliharaan atau perawatan aset terkait kejahatan selama proses hukum terhadap aset tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pengelolaan aset ini merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat bahwa aset yang dirampas dapat saja berupa aset yang harus dipelihara seperti mobil, gedung, dan barang lainnya yang jika tidak diurus bisa mengalami kerusakan dan penurunan nilai. Apabila aset yang telah disita dan dirampas berupa tanah atau perusahaan, maka lembaga yang bertugas untuk itu akan memutuskan apakah aset tersebut akan disewakan atau dimanfaatkan untuk kegiatan usaha lainnya atau bahkan segera dilelang.

  e) Penyerahan aset Penyerahan aset terpidana korupsi menurut Eka Aftarinimerupakan serangkaian proses yang dilakukan oleh lembaga pengelola aset untuk menyerahkan aset yang telah dikelola kepada jaksa penuntut umum selaku eksekutor setelah status hukum aset tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jaksa penuntut umum yang kemudian menyerahkan aset tersebut kepada negara atau pihak ketiga berdasarkan putusan pengadilan.

  f) Pengawasan pemanfaatan aset Tindakan pengawasan pemanfaatan aset merupakan serangkaian tindakan berupa suatu prosedur yang dilakukan oleh lembaga pengelolaan aset yang disertai dengan kerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap aset-aset yang telah diserahkan kepada negara.

  Pemberantasan korupsi serta penyelamatan aset Negara, hendaknya harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik.Tidak hanya melalui jalur represif tetapi harus secara simultan melalui langkah langkah preventif dengan membangun kesadaran hukum masyarakat melalui sosialisasi dan keteladanan dari para aparat penegak hukum itu sendiri untuk menghindari perbuatan melanggar hukum agar penggalangan kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif membantu aparat dalam pemberian informasi untuk kepentingan penegakan hukum dalam berbagai tingkatan dapat berjalan dengan efektif. Jaksa selaku penyidik, ketika penyidikan maka jaksa melakukan upaya untuk mengembalikan kerugian Negara dengan cara melakukan penyitaan. Jaksa berupaya untuk mencari harta terpidana untuk disita, guna sebagai jaminan untuk mengamankan aset tersangka. Tahap persidangan jaksa selaku penuntut umum memperoleh informasi mengenai aset lain yang dimiliki oleh terdakwa, maka jaksa selaku ekskutor dapat menyita dengan persetujuan hakim untuk dikeluarkan penetapan untuk menyita harta si terpidana. Pada saat telah dikeluarkan putusan berkekuatan hukuman tetap, jaksa selaku eksekutor mencari lagi hartanya untuk disita.Mulai dari penyidikan, penuntutan, dan putusan ingkrah jaksa memiliki kewenangan untuk penyitaan.

  Terminologi penyitaan bagi Jaksa ada 2 (tahap eksekusi):

  a. Setelah putusan ingkrah, jaksa melakukan penyitaan harta mana saja, bertujuan untuk mengumpulkan aset terpidana dalam rangka untuk memenuhi uang pengganti (recovery asset).

2. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan penyitaan aset teroidana korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian negara

  b. sedangkan penyitaan dalam proses penyidikan hingga penuntutan, penyitaan terbatas terhadap barang atau aset yang berhubungan langsung dengan kejahatan. Tujuan dari penyitaan pada tahap ini adalah untuk mengamankan guna untuk jaminan tersangka sebagai bukti dari hasil kejahatannya. Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka JPU segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata trhadapm ahli warisnya, sedangkan untuk ketidak jelasan alamat terpidana ataupun keberadaan harta terpidana maka jaksa bekerja sama dengan Kepolisian untuk menyelidiki keberadaan terpidana serta harta terpidana dan juga meminta bantuan dari masyarakat sekiranya pernah mengetahui keberadaan terpidana yang dimaksud oleh JPU. Upaya mengembalikan harta Negara apabila tersangka lari ke luar negeri dibentuk tim pemburu koruptor atau tim terpadu pencarian tersangka dan terpidana tipikor. jadi melalui berbagai sarana baik termasuk perjanjian ekstradisi, MLA (mutual legal assistance) perjanjian timbal balik, hubungan resiprositas serta hubungan bilateral dengan Negara terkait. Untuk memperoleh informasi berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh pejabat negara, termasuk terhadap penelusuran keuangan tersangka yang disimpan melalui jasa perbankan, perlu dilakukan revisi terhadap berbagai peraturan perundang undangan yang membatasi upaya aparat penegak hukum serta perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang perbuatan mana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dan mana yang tidak. Dan yang tidak kalah penting adalah memberikan sanksi hukum yang tegas kepada para aparat hukum yang menyalahgunakan jabatannya untuk menyelamatkan aset negara. Faktor penghambat yang membuat pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian Negara , yaitu:

  1. Faktor hukum Pengertian tentang aset yang secara jelas hingga saat ini belum dapat didefinisikan baik oleh ahli hukum maupun peraturan perUndang- Undangan, Belum adanya peraturan yang mengatur secara detail tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, pembekuan, penyitaan dan rentetan hukum acara lainnya yang melibatkan yurisdiksi dari negara lain, serta adanya ketidak harmonisan antara setiap Undang-Undang yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

  2. Faktor Penegak hukum Penegak hukum adalah orang yang melakukan upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata menurut aturan yang berlaku sebagai pedoman hubungan-hubungan hukum namun dalam kehidupan bermasyarakat masih ada aparat penegak hukum yang tidak memiliki ketegasan teradap pelaku tindak pidana korupsi, Menurut penjelasan Sunarto dalam kehidupan bermasyarakat masih ada aparat penegak hukum yang tidak memiliki ketegasan teradap pelaku tindak pidana korupsi yang di anggap sebagai penjahat berkerah putih dan sulit untuk di tangkap oleh aparat penegak hukum karena koruptor memiliki berbagai akses untuk menyembunyikan harta hasil tindak pidana korupsi tersebut maka aparat penegak hukum yang memiliki profesionalitas tinggi yang khusus menangani tindak pidana korupsi sangat di butuhkan guna mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi yang nyata dalam pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi sebagai upaya pengembalian Negara.

  3. Faktor fasilitas dan sarana Sarana atau fasilitas sangat mempengaruhi penegakan hukum, menurut Sunarto diperlukan adanya fasilitas yang mendukung maka proses penegakan hukum akan lebih mudah untuk dicapai. Tentunya dalam hal teknologi guna menunjang pelacakan dan penelusuran aset dari terpidana korupsi sehingga proses penyidikan dari pemberantasan dan peradilan tindak pidana korupsi mencadi cepat, mudah, dan efektif.

  Kepastian penanganan suatu perkara senantiasa tergantung pada masukan sumber daya yang diberikan di dalam program pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu yang ikut mendukung dalam pelaksanaannya.

  Menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, sebaiknya untuk melengkapi sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum perlu dianut jalan pikiran sebagai berikut: Yang tidak ada harus diadakan dengan yang baru, yang rusak atau salah, harus diperbaiki atau dibetulkan, Yang kurang harus ditambah, yang macet harus dilancarkan, yang mundur atau merosot harus dimajukan dan ditingkatkan.

  Menurut penulis kurangnya sarana dalam pelacakan harta kekayaan dari pelaku tindak pidana korupsi yang masih dilakukan seacara manual dengan mendatangi dan tidak melakukan pelacakan yang berbasis iptek sehingga kinerja aparat penegak hokum terkesan lambat dan kurangnya komitmen pemerintah dalam menangani kasus-kasus yang menjadi perhatian publik.

  4. Faktor budaya hukum Budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat, secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Dapat dikatakan bahwa walaupun sekarang ini masyarakat sudah banyak yang memiliki kesadaran hukum namun dalam hal tindak pidana korupsi menjadi budaya yang berkembang dan tetap tertanam bahwa keluarga yang terlibat merasa malu untuk melaporkan nya karna akan menjadi aib keluarga dan terkesan menjadi suatu perbuatan yang umum bagi mereka yang melakukan tindak pidana korupsi.

  5. Faktor masyarakat Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta system atau aturan yang sama.

  Manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.Menurut Sunarto berpendapat bahwa masyarakat masih memiliki paradigma salah yang menyatakan pelaku tindak pidana korupsi merupakan tindakan yang umum dilakukan sehingga dapat terjadi begitu lama dan terus menerus bertambah bila di biarkan bahkan akan menjadi penyakit yang menular bagi penerus bangsa sebagai regenerasi namun disisi lain masyarakat tidak mengetahui bahwa pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang sangat luas dan sistematis dalam melancarkan tindakanya tersebut.

  Berdasarkan penjabaran mengenai hambatan-hambatan dalam penyitaan aset di atas maka penulis berpendapat bahwa faktor hukum dan faktor sarana serta fasilitas merupakan faktor penghambat yang paling dominan. Faktor hukum dapat menjadi hambatan dalam proses peradilan tindak pidana korupsi khususnya dalam pengungkapan harta benda hasil dari suatu tindak pidana dikarenakan belum adanya peraturan hukum yang jelas dan terperinci yang mengatur mengenai eksekusi pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi oleh kejaksaan untuk mengembalikan kerugian negara, juga belum adanya lembaga khusus yang independen untuk menangani masalah penyitaan aset terpidana korupsi. Faktor fasilitas dan sarana juga sangat mempengaruhi terhambatnya eksekusi pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi, yaitu belum adanya teknologi yang mumpuni untuk melakukan pelacakan terhadap harta benda terpidana korupsi secara cepat, mudah dan efektif sehingga dapat mempersingkat waktu dan mengurangi frekuensi terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh terpidana korupsi sehingga menimbulkan tindak pidana baru seperti money laundring ataupun peralihan aset terpidana korupsi. Ketersediaan sarana dan fasilitas yang mendukung tentunya menjadi hal yang dilematis bagi pemerintah dalam hal pengungkapan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi sehingga mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu pula penulis berpendapat bahwa budaya hukum dalam praktik pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi sangat berkaitan erat dengan kinerja dari aparat penegak hukum yang menjalankan penegakan hukum, dalam pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi memerlukan waktu yang terkadang sangat lama dalam pelaksanaanya dan terkesan lambat maka faktor budaya hukum sangatlah menentukan apakah berjalan dengan baik atau tidak upaya tersebut, karena budaya yang baik tentunya akan menghasilkan penegakan hukum atau pelaksanaan yang baik begitu pula sebaliknya budaya yang buruk akan menghasilkan penegakan hukum atau pelaksanaan yang buruk.

  1. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa mekanisme pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian negara melalui jalur pidana berupa; a) Penelusuran Aset: Penelusuran aset ditujukan untuk membawa penyelidik, penyidik, dan penuntut kepada informasi yang aset hasil tindak pidana korupsi disimpan atau disembunyikan.

  b) Pembekuan Aset: Pembekuan diartikan sebagai larangan sementara untuk melakukan transfer, konfersi, disposisi, atau penempatan atau pemindahan atas harta kekayaan atau pelarangan untuk menempatkan sementara dalam pengampuan, pengawasan harta kekayaan berdasarkan putusan pengadilan.

  c) Penyitaan: Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

  d) Perampasan: Tindakan pengadilan melalui putusannya untuk mengambil alih secara hukum kepemilikan ataupun penguasaan dari satu pihak untuk diserahkan kepada pihak lainnya.

  e) Pengelolaan aset: Serangkaian proses yang dilakukan oleh suatu lembaga berupa pemeliharaan atau perawatan aset terkait kejahatan selama proses hukum terhadap aset tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

  2. Faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian negara, yaitu sebagai berikut :

III. PENUTUP

  a. Faktor hukum, yaitu belum adanya peraturan yang mengatur secara rinci tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, pembekuan, penyitaan dan sebagainya terkait dengan aset

A. Simpulan

  terpidana korupsi sbagai upaya pengembalian kerugian negara.

  3. Dilakukan upaya perbaikan terhadap moral dari aparatur penegak hukum agar tidak terjadinya penyelewengan tugas dan wewenang serta tidak terjadi praktik-praktik koalisi antara aparat dan terpidana korupsi untuk melalukan peralihan aset.

  c. Faktor fasilitas dan sarana: kurangnya sarana dan fasilitas teknologi dalam pelacakan aset terpidana korupsi sehingga kinerja kejaksaan menjadi terhambat dan terkesan lamban.

  d. Faktor budaya hukum, dimana budaya hukum dalam praktik penyitaan aset terpidana korupsi sangat berpengaruh dalam menentukan jangka waktu penelusuran aset hingga penyitaan dan mempengaruhi proses pemeriksaan perkara.

  e. Faktor masyarakat, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap unsur-unsur yang dapat menjadi praktik kecurangan dari terpidana korupsi yang terjadi di sekitar masyarakat.

  b. Faktor Penegak hukum, terjadinya kemerosotan moral dari aparat penegak hukum sehingga pelaksanaan penyitaan aset dapat dijadikan celah permainan aparat yang berkoalisi dengan pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan kecurangan terhadap aset terpidana tindak pidana korupsi.

  5. Perbaikan terhadap budaya hukum yang berkembang di lingkungan aparat penegak hukum untuk memberikan input dan menghasilkan output yang baik pula.

  4. Adanya penyuluhan hukum terhadap masyarakat guna memberikan pemahaman mengenai unsur-unsur tindak pidana dan praktik-praktik kecurangan yang di lakukan di kehidupan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

  2. Pemerintah seharusnya merealisasikan sarana dan prasarana berbasis tekhnologi komunikasi dan informasi dalam pelacakan aset pelaku tindak pidana korupsi, sehingga kinerja kejaksaaan tidak untuk mendapatkan alat bukti dan keterangan dalam proses pelacakan dan eksekusi aset menjadi cepat dan efektif.

  1. Dibentuknya peraturan hukum yang secara terperinci mengatur mengenai pelaksanaan penyitaan aset terpidana korupsi bahkan sebaiknya dibentuk lembaga khusus yang bertugas melakukan penyitaan aset terpidana korupsi agar upaya pengembalian kerugian negara dapat tercapai secara maksimal.

  Bryan A Garner, 1999,Black’s Law

  Setelah melihat kesimpulan di atas maka penulis akan memberikan saran sebagai berikut:

  Fukuyama, Francis, 2005,Memperkuat

B. Saran

  Negara Tata Pemerintahandan Tata Dunia Abad 21 , Jakarta: PT

  GramediaPustakaUtama, Mulyadi, Lilik, 2011, Tindak Pidana

  Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya,

  Bandung, PT Alumni. . Pope, Jeremy, 2007,

  StrategiMemberantasKorupsiElemen SistemIntegritasNasional , Jakarta,

  YayasanObor Indonesia Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-faktor

  Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , Jakarta, PT. Raja Grafindo

  Persada.

  Dictionary , United States of America: West Group. Jakarta, UI Press. Soemitro, RoniHanitijo, 1982,

  MetodePenelitianHukum , Jakarta, Ghalia Indonesia.

  Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni

  Perundang-Undangan :

  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. .