Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di

PENYEBARAN RADIKALISME DAN TERORISME DI KALIMANTAN TIMUR

en yebar

an R adik

alisme dan

Ter orisme di K

alimantan

Timur

RADIKALISME

TERORISME

RADIKALISME

TERORISME RADIKALISME TERORISME RADIKALISME

TERORISME

RADIKALISME

TERORISME

RADIKALISME

TERORISME

RADIKALISME

TERORISME

RADIKALISME

TERORISME

RADIKALISME

TERORISME

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

PENYEBARAN RADIKALISME

DAN TERORISME DI KALIMANTAN TIMUR

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

Mukhamad Ilyasin lahir pada 11 September 1966 di Kabupaten Purworejo. Setelah menamatkan sekolah dasar di SDN Celep Purworejo 1979, dia kemudian melanjutkan studi ke SMPN Purworejo dan menyelesaikan studinya 1983. Pada tahun 1986 beliau menamatkan studi di Madrasah Aliyah Negeri Purworejo. Ilyasin kemudian melanjutkan karir akademiknya pada Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Samarinda pada 1986 dan mampu menyelesaikannya tepat waktu yakni pada 1990. Suami dari Hj. Titi Kadi, S.Ag ini kemudian melajutkan studi di Program Master (S2) Pascasarjana UNMUL-UNJ dan lulus pada 2004. Program Doktoral (S3) dilanjutkan di Universitas Negeri Malang dengan masa tempuh empat tahun yaitu di 2008. Ilyasin dikenal sebagai sosok pekerja keras, disiplin dan komitmen tinggi. Hasil dari semua ini beliau dipercaya menjadi Rektor IAIN Samarinda 2014-2019, yang sebelumnya berstatus STAIN. Perubahan dari STAIN ke IAIN juga tidak lepas dari gebrakan dan terobosan kepemimpinannya di kampus ini. Sebelum memegang jabatan Rektor, Ilyasin memulai karirnya dari bawah from zero to hero yaitu sebagai, Kepala Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 1996- 1998, Sekretaris P3M Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 1998-2000, Bendahara Proyek Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 2000-2001, Pemimpin Proyek Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 2001-2004, Pembantu Ketua II STAIS Kutai Timur periode

Zamroni dilahirkan di Nganjuk, 18 Pebruari 1975 dari pasangan Dawam Supeno dan Supinah (Almarhumah). Jenjang pendidik an formalnya adalah S D N Rowomarto II (1988); SMPN Lengkong- Nganjuk (1991); MAN Nglawak-Kertosono- Nganjuk (1994); S.1 (Program Sarjana) Program Studi PAI STAIN Samarinda (2002); S.2 (Program Magister) Pascasarjana UIN Malang (2007); S3 (Program Doktor) Pascasarjana di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (2016). Beberapa karya publikasi ilmiah yang pernah dipublikasikan antara lain: Kepemimpinan Pendidikan dan ESQ Model: Rekonstruksi Sekolah Berbasis Spiritual (2010); Pendidikan Pembebasan Dalam Perspektif Barat&Timur (2011); Budaya Organisasi dan Pengembangan Perguruan Tinggi Islam (2012); Seni Mendidik Dalam Pendidikan: Improvisasi Memanusiakan Manusia via Pendidikan (Editor/2011); Pendidik an Berbasis Multikultural (Belajar Integrasi Sosial dari Heterogenitas Masyarakat Kalimantan Timur (Editor, 2016). Adapun dalam bentuk jurnal: Konsep Pendidikan Perspektif Pemikir Islam (2007); Pendidikan Islam Integratif (Tawaran Baru Epistemologi Pendidikan Islam) (2010). Adapun berupa penelitian antara lain: Pola Penyebaran dan Penanganan Faham Radikal di Kaliman Timur (2015); Interkoneksi Agama dan Sains Dalam Pengembangan Perguruan Tinggi (Studi Tentang Arah Pengembangan

Dr . Muk

hamad Ily

asin & Dr

. Zamr

oni

Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44 Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni PENYEBARAN RADIKALISME DAN TERORISME DI KALIMANTAN TIMUR

PENYEBARAN RADIKALISME DAN TERORISME DI KALIMANTAN

TIMUR

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

Editor:

Saipul Hamdi

Desain Kaver & Tata Letak:

Fatich Bagus

Cetakan 1, Januari 2017

Penerbit: IAIN Samarinda Press Kantor Rektorat IAIN Samarinda Lt.2, Jl. H.A.M. Rifadin Samarinda Seberang, Kalimantan Timur 75131 Tlp. 0541-742193; Fax.: 0541-206172(75111) Email: iainsamarindapress@gmail.com Website: www.iainsamarindapress.com

ISBN 978-602-73602-2-8

Dicetak Oleh:

Arti Bumi Intaran Jalan Mangkuyudan Mj. 3/216 Yogyakarta 55143 Email: m.makakambamakakimbi@yahoo.co.id

No. Kontak: 085333275999; 085333275999

DEDIKASI

Buku ini kami persembahkan kepada mereka yang

selalu menyalakan api suluh perdamaian dan mencintai perdamaian demi keselarasan kosmik

peradaban

PENGAKUAN

Alhamdulillah akhirnya buku Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur ini dapat dituntaskan. Buku ini yang semulanya merupakan hasil penelitian tidak akan dapat dilakukan tanpa keterlibatan serta kerjasama banyak pihak. Karenanya, kami ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Hasyim Mi’radje dalam kapasitasnya sebagai Ketua Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Kalimantan Timur yang memfasilitasi penelitian ini bekerjasama dengan IAIN Samarinda. Ucapan yang sama disampaikan kepada para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, agamawan, umumnya para narasumber dari penelitian ini. Last but not least, rekan-rekan akademisi IAIN Samarinda yang selalu menghadirkan ruang kontemplatif kegelisahan akademik serta pimpinan IAIN Samarinda Press yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini. Semoga apa yang kita ikhtiarkan menjadi amal-jariyah demi tersemainya tradisi keilmuan yang mencerahkan.

PENGANTAR PENERBIT

Alhamdulillah IAIN Samarinda Press berkerja sama dengan LP2M IAIN Samarinda telah berhasil menerbitkan buku perdana yang berjudul “Penyebaran Terorisme dan Radikalisme di Kalimantan Timur”. Buku ini sangat penting dan krusial tidak hanya pada tataran kontribusi teoritis yang disajikan oleh penulis, tetapi juga sebagai salah satu rujukan penting baik bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan dalam rangka mengatasi upaya penyebaran radikalisme dan terorisme, maupun bagi masyarakat secara umum yang langsung bersentuhan dan berhadapan hidup berdampingan bersama kelompok-kelompok tersebut. Buku ini juga terasa spesial karena daerah yang diteliti dan kasusnya belum banyak mendapat perhatian dari kaum akademisi lokal dan nasional yakni Kalimantan Timur.

Radikalisme dan terorisme merupakan salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia pasca reformasi. Instabilitas politik dan kebebasan demokrasi pasca Suharto memberikan ruang bagi siapapun dan kelompok manapun untuk tumbuh eksis termasuk kelompok radikal dan teroris. Radikalisme dan terorisme terus tumbuh dan menyebar secara massif ke seluruh daerah di Indonesia melintasi umur, jenis kelamin, kelas, mazhab dan ideologi. Bahkan perempuan dan anak-anak di bawah umur juga menjadi target kelompok radikal untuk dikaderisasi sejak dini sebagai jihadis. Sedangkan media- media yang digunakan sangat variatif selain yang konvensional seperti pembukaan halakah-halakah, majelis taklim, juga yang modern secara online.

Mereka memanfaatkan media-media sosial termasuk facebook, twitter, WhatApp, instagram, blog dan lain- lain untuk menyebarkan doktrin dan ideologi mereka. Hasilnya cukup efektif, gerakan ini mampu merekrut anggota secara global termasuk masyarakat Indonesia dari berbagai daerah.

Sejak kejadian bom Bali 1 di tahun 2002, Kaltim menjadi target baru kelompok teroris sebagai tempat persembunyian yang aman jauh dari jangkauan kejaran aparat. Sebagian pelaku bom Bali 1 melarikan diri ke Balikpapan, Samarinda dan Kutai Barat memanfaatkan jaringan kepesantrenan yang ada. Kaltim juga menjadi sorotan ketika terjadi bom di Sarinah Jl. M. Tamrin Jakarta di awal tahun 2016 karena salah satu jaringannya berada dan tinggal di kota Balikpapan. Pasca aksi demo terbesar di Indonesia 4 November 2016 di Jakarta yang dihadiri oleh ratusan ribu masyarakat Islam, kelompok teroris Juhanda memanfaatkan kondisi negara yang sedang ribut pada kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok dengan melakukan aksi pelemparan bom Molotov di gereja Oikumene di Loa Janan Ilir, Samarinda, Kaltim yang menyebabkan tewasnya anak kecil satu orang, dan tiga orang terluka yang pada waktu itu sedang bermain di depan gereja. Jumlah korban luka dewasa tiga orang sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 7 orang. Pelaku langsung diamankan oleh aparat keamanan dan dinyatakan positif sebagai bagian dari jaringan kelompok teroris internasional ISIS. Dari fenomena ini dapat dikatakan bahwa Kaltim tidak lagi steril dari gerakan kelompok radikalis dan teroris. Buku ini dengan cerdas mengupas secara tuntas pola-pola penyebaran radikalisme dan terorisme di Kalimantan Timur dan menawarkan solusi.

Buku ini terdiri dari empat bab yaitu bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rediinisi radikalisme dan terorisme, melacak akar terorisme dan radikalisme agama, reposisi Islam sebagai agama perdamaian, lokasi penelitian dan struktur buku. Bab kedua membahas tentang pola penyebaran radikalisme dan terorisme yang dipengaruhi oleh unsur-unsur rendahnya pemahaman agama, lemahnya ekonomi masyarakat, dorongan untuk mengubah kondisi yang ada, kuatnya pengaruh ideologi radikal, kesenjangan sosial politik, lemahnya semangat kebangsaan dan provokasi Barat melalui media.

Bab ketiga membahas tentang sistem rekrutmen dan media penyebaran radikalisme dan terorisme. Sistem rekrutmen dan narasi radikalisme dan terorisme yang meliputi sistem konvensional dan modern. Sedangkan media penyebaran radikalisme dan terorisme melalui jalur lembaga pendidikan, penentuan target radikalisasi, pemberian doktrin radikalisme dan terorisme. Sedangkan bab empat membahas tentang penanganan radikalisme dan terorisme melalui edikasi kepada masyarakat, penguatan pada satuan pendidikan, penguatan Ormas Islam, deradikalisasi paham keagamaan Islam, mengubah pola pikir masyarakat, penguatan Rohis, penanaman dan penguatan cinta tanah air dan sosialisasi bahanya radikalisme dan terorisme.

Samarinda, Januari 2017

Penerbit

PENGANTAR PENULIS

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan tauiq, hidayah, dan inayah- Nya sehingga penulisan buku ini dapat terselesaikan. Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta sosial menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras dan sangat membebani beban psikologi umat Islam secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai pihak dalam menangani masalah radikalisme dan terorisme sangat diharapkan dengan tujuan untuk mempersempit ruang gerak radikalisme dan terorisme dan memblokir arus penyebarannya di masyarakat.

Dalam konteks ini peran lembaga pendidikan sangat penting dalam menghentikan laju radikalisme tersebut. Pendidikan dan lembaga pendidikan sangat berpeluang menjadi penyebar benih radikalisme dan sekaligus penangkal (baca: deradikalisasi) Islam radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya lembaga pendidikan Islam tertentu (terutama yang nonformal, seperti pesantren) telah mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme agama kepada para peserta didiknya. Belakangan sekolah-sekolah formal juga mulai mengajarkan elemen-elemen Islam radikal, misalnya mengajarkan kepada murid untuk tidak menghormat bendera Merah Putih saat upacara bendera.

Sejak tahun 2000an seakan menjadi momentum kebangkitan kaum radikalis Islam di Asia Tenggara khususnya di Indonesia. Bak jamur di musim hujan, kelompok-kelompok yang relatif identik dengan organisasi radikal yang mengatasnamakan s i m b o l Islam bermunculan sebut saja seperti Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (FKASWJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad (LJ) dan lain sebagainya. Dari berbagai kelompok tersebut ada satu organisasi yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok Islam, yaitu Jama’ah Islamiyah (JI) telah diindikasikan sebagai gerakan teroris cabang al-Qaeda di Asia Tenggara. Gerakannya dalam menyebarkan paham dan keyakinan doktrin radikal dan teror sangat sistematis dan massif yang merengsek dari individu ke individu, dari kelompok ke kelompok lainnya, bahkan telah sampai pada institusi seperti halnya institusi pendidikan.

Fenomena radikalisme dan terorisme yang ada di Indonesia sebaiknya disikapi sebagai wake up call yang menyadarkan seluruh komponen bangsa untuk melakukan konsolidasi diri dengan usaha- usaha early warning sistem, pembinaan umat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh. Pada dasarnya, radikalisme dan berbagai turunannya, terlepas dari simbol agama apapun yang mereka gunakan dan merupakan musuh bersama umat beragama. Jika kita telaah lebih dalam, kelompok radikal dan teroris seringkali menempatkan agama sebagai tameng untuk melegitimasi tindakan dan perbuatannya. Padahal, agama bukanlah faktor utama yang memicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme. Agama menjadi sumber kebaikan dan kedamaian. Terorisme misalnya, tidak memiliki akar Fenomena radikalisme dan terorisme yang ada di Indonesia sebaiknya disikapi sebagai wake up call yang menyadarkan seluruh komponen bangsa untuk melakukan konsolidasi diri dengan usaha- usaha early warning sistem, pembinaan umat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh. Pada dasarnya, radikalisme dan berbagai turunannya, terlepas dari simbol agama apapun yang mereka gunakan dan merupakan musuh bersama umat beragama. Jika kita telaah lebih dalam, kelompok radikal dan teroris seringkali menempatkan agama sebagai tameng untuk melegitimasi tindakan dan perbuatannya. Padahal, agama bukanlah faktor utama yang memicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme. Agama menjadi sumber kebaikan dan kedamaian. Terorisme misalnya, tidak memiliki akar

Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, baik ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertakwa dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat.

Penulis sadar, buku ini belumlah sempurna, oleh karena itu, saran dan masukan yang konstruktif kami harapkan demi kesempurnaan buku ini.

Samarinda, 1 Januari 2017 MI & Z

DAFTAR ISI Dedikasi — v

Pengakuan — vi Pengantar Penerbit — vii Pengantar Penulis — x Daftar Isi — xiii

BAB 1Pendahuluan — 1

Latar Belakang — 1 Redeinisi Radikalisme dan Terorisme — 6 Melacak Akar Terorisme dan Radikalisme

Agama — 12 Reposisi Islam sebagai Agama Perdamaian — 17

Lokasi Penelitian — 22 Struktur Buku — 25

BAB 2Pola Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kaltim — 27

Rendahnya Pemahaman Agama — 28 Lemahnya Ekonomi Masyarakat — 35 Dorongan untuk Mengubah Kondisi yang

Ada — 41

Kuatnya Pengaruh Ideologi Radikal — 46 Kesenjangan Sosial Politik — 48 Lemahnya Semangat Kebangsaan — 53 Provokasi Barat melalui Media — 55

BAB 3Sistem Rekrutmen dan Media Penyebaran Radikalisme dan Terorisme Di Kaltim — 61

Sistem Rekrutmen dan Narasi Radikalisme dan Terorisme — 61

Media Penyebaran Radikalisme dan Terorisme — 72 Jalur Lembaga Pendidikan — 73 Penentuan Target Radikalisasi — 77

Model Doktrin Radikalisme dan Terorisme — 81

BAB 4Penanganan Radikalisme dan Terorisme di Kaltim — 85

Edukasi Kepada Masyarakat — 86 Penguatan pada Satuan Pendidikan — 89 Penguatan Ormas Islam — 94 Deradikalisasi Paham Keagamaan

Islam — 96 Mengubah Pola Pikir Masyarakat — 100 Penguatan Rohis — 103 Penanaman dan Penguatan Cinta Tanah Air — 106 Sosialisasi Bahayanya Radikalisme dan

Terorisme — 109

Bab 5 Kesimpulan — 113 Daftar Pustaka — 115

Biodata Penulis — 119 Indeks — 125

PENYEBARAN RADIKALISME DAN TERORISME DI KALIMANTAN TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar belakang

Aksi terorisme yang semakin menguat dan mengglobal dalam satu dekade terakhir ini telah mendorong komunitas internasional untuk mencari jalan yang tepat dalam penyelesaiannya. Berbagai studi dan penelitian telah dilakukan oleh para kademisi untuk menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi aksi terorisme yang muncul di hampir seluruh belahan dunia terutama di negara-negara Muslim seperti Iraq, Libia, Pakistan, Syiria dan lain-lain. Beberapa kaum intelektual dan peneliti menyimpulkan bahwa faktor pemicu gerakan radikalisme dan terorisme adalah penyalahgunaan ideologi agama “jihad” sebagai jalan kekerasan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok (Gabriel, 2002; Esposito, 2003). Dalam hal ini, gerakan Islam radikal menggunakan simbol- simbol agama untuk melegitimasi kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggap berseberangan atau tidak sesuai dengan pemahaman keagamaan yang mereka yakini.

Berdasarkan laporan Patterns of Global Terrorism yang dirilis oleh pemerintah Amerika Serikat pada 2000, dijelaskan bahwa gerakan terorisme yang bermotif agama dan ideologi merupakan jenis teror yang paling banyak terjadi di dunia. Dalam laporan itu disebutkan terdapat 43 kelompok teroris internasional yang utama. Dari 43 kelompok tersebut

27 berasal dari sub kelompok misi religius fanatik yang terdiri dari 18 kelompok dari kalangan umat Islam, 8 kelompok Kristen Protestan dan Katolik, dan

1 kelompok penganut sekte Aum Shinrikyo. Selain dari

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

basis keagamaan, terdapat 12 sub kelompok teroris berbasis ideologi seperti Marxisme, Liberalisme, dan Sosialisme dengan berbagai variannya dan 4 sub kelompok berbasis etno-nasionalisme (http://www. state.gov/j/ct/rls/pgtrpt/ diakses pada 5 Januari 2015).

Gerakan terorisme di Indonesia sendiri menunjukkan adanya fenomena bahwa sebagian besar gerakan tersebut diduga memiliki motif agama termasuk gerakan Jama’ah Islamiah (JI) cabang al- Qaeda untuk Asia Tenggara. Jama’ah Islamiyah adalah gerakan Islam militan yang diklaim sebagai kelompok teroris oleh Amerika dan sekutunya yang beroperasi di Thailand, Filipina, Singapura dan Malaysia. Di Indonesia JI terpecah ke dalam Ansharut Tauhid yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir pada 27 Juli 2008 (Narendra, 2015: 43). Gembong teroris dari pentolan Jama’ah Islamiah yang telah terbunuh seperti Noordin Mohammad Top dan Azhari Husein mengklaim bahwa mereka menganut salah satu ajaran bahwa undang- undang yang dibuat parlemen Indonesia merupakan hasil perbuatan syirik karena menyaingi Tuhan dalam mengatur kehidupan manusia (Narendra, 2015; Turmudi dan Suhbudi, 2005). Pemerintah yang tidak menjadikan al-Qur’an dan hadis secara sempurna dianggap sebagai pemerintahan yang sekuler produk Barat yang thoghut dan wajib diperangi. Atas dasar pandangan tersebut maka anggota Jama’ah Islamiah berkeyakinan bahwa aksi teror yang dilakukan di Indonesia merupakan gerakan jihad dan perang suci melawan kekufuran (Hendropriyono, 2007: 126-128).

Keragaman keyakinan tentang pemahaman keagamaan akan membentuk tatanan sosial yang berbeda. Sejak munculnya Reformasi di Indonesia

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

pada 1998 yang ditandai dengan terbukanya kran demokrasi dan kebebasan telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal dan teroris. Mereka salah dalam memanfaatkan kebebasan tersebut untuk menunjukkan eksistensinya secara bebas dan berlebihan, yang tidak pernah dapat dilakukan sebelumnya pada masa Orde Baru. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan meskipun pencetus radikalisme bisa juga lahir dari berbagai sumbu dan sumber-sumber lain seperti ketimpangan ekonomi, kekerasan politik, ketidakadilan sosial, dan perang ideologi (Bar, 2008: 11-12). Kalimantan Timur yang menjadi lokasi dalam penelitian ini termasuk wilayah yang rawan disusupi oleh ajaran-ajaran kelompok radikalis dan teroris, apalagi penduduk yang berdomisili di Kaltim bersifat plural dan multikultur. Jika tidak dikelola dengan baik, kemungkinan daerah Kaltim dengan mudah dipengaruhi dan diprovokasi oleh kelompok-kelompok militan dengan memanfaatkan keterbatasan SDM masyarakat khususnya di bidang keagamaan (Hamdi, dkk, 2015).

Apabila dilihat dari perspektif sosial-ekonomi rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah di Kaltim baik di tingkat kabupaten maupun kota cukup besar. Begitu juga dengan aspek pendidikan yang perkembangan kualitas dan infrastrukturnya tergolong cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa Kalimantan Timur memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Hal-hal inilah yang tampaknya ikut berperan dalam menjadikan Kaltim sebagai wilayah yang kondusif dan aman untuk sementara ini. Meski demikian, hal itu bukan jaminan Kaltim sepi dari ancaman terorisme dan benih-benih radikalisme, pertikaian antara warga,

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

kekerasan etnis, dan konlik agama (Aritonang, 2004: 560). Menurut Saipul Hamdi dkk (2015: 8) bahwa Kalimantan Timur dijadikan target oleh kelompok teroris sebagai sarang persembunyian pasca tragedi Bom Bali 1 pada 2002. Pelaku teroris Ali Imron dan Abu Zar berusaha bersembunyi di Pesantren Al-Istiqomah Sempaja dan Pesantren Hidayatullah di Kutai Barat untuk menghindari kejaran aparat kepolisian, namun akhirnya tertangkap di Pulau Berukang.

Sejak dekade 1990-an fenomena radikalisme mulai muncul dengan berkembangnya kelompok- kelompok yang eksklusif, fundamentalis dan militan di Kaliman Timur. Mereka muncul di kampus-kampus dan di masyarakat dalam bentuk Ormas seperti FPI, LDII, Salai dan HTI, dan organisasi kampus seperti Pusdima dan KAMMI. Bahkan jauh sebelum itu sejak tahun 1970-an telah terbentuk komunitas Hidayatullah yang menjalani kehidupan beragama secara ketat, eksklusif, dan fundamentalis di Kota Balikpapan, Kaltim. Pesantren Hidayatullah merupakan bagian dari cabang Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Abdullah Said pada 1973 di Balikpapan (Hamdi, dkk, 2015: 6). Hidayatullah konsen pada agenda dakwah dan pendidikan Islam secara nasional. Kader- kader Hidayatullah disebar ke berbagai wilayah dari Sabang sampai Merauke melalui keputusan pimpinan pesantren. Jika pimpinan Pesantren Hidayatullah mengutus alumninya ke suatu daerah untuk membuka cabang baru, maka harus ditaati instruksi tersebut. Meskipun organisasi ini di awal-awal kurang berkembang, tetapi secara bertahap mereka terus eksis, tumbuh, dan mampu menanamkan pengaruhnya di masyarakat luas (Hamdi dkk, 2015: 5).

Radikalisme yang berujung pada terorisme

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

menjadi isu yang krusial bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teroris dan umat Islam diklaim menggunakan kekerasan untuk menyebarkan agamanya. Image yang berkembang ini tentunya tidak lepas dari pembelokan sejarah oleh kelompok orientalis yang mengklaim Islam disebarkan dengan pedang. Bahkan sekarang ini lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah diklaim sebagai “sarang teroris”. Asumsi ini tidak selamanya salah karena faktanya banyak tokoh- tokoh dan alumni dari pesantren yang menjadi motor penggerak radikalisme dan terorisme. Kondisi ini sangat membebani psikologi umat Islam yang sudah terkena stigma dan label sebagai pelaku teror yang berdampak secara keseluruhan.

Keterlibatan berbagai pihak dalam menangani masalah radikalisme dan terorisme sangat diharapkan dengan tujuan untuk mempersempit ruang gerak kelompok teroris. Dalam konteks di atas, peran sekolah, pesantren, dan lembaga pendidikan tinggi pada dasarnya sangat urgen untuk menghambat laju radikalisme tersebut atau setidaknya membangun wacana tandingan “deradikalisasi” dan “counter terorisme”. Jangan sampai lembaga pendidikan berperan sebaliknya menjadi media penyebaran benih- benih radikalisme. Beberapa hasil penelitian tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya peran lembaga pendidikan Islam tertentu terutama lembaga non-formal termasuk pesantren, halaqah dan harakah tarbiyah, yang mengajarkan fundamentalisme agama yang disertai dengan jihad. Akhir-akhir ini sekolah- sekolah formal juga mulai terkena virus mengajarkan elemen-elemen Islam radikal, misalnya mengajarkan

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

kepada murid untuk tidak menghormati bendera merah putih pada saat apel bendera, membenci kelompok non-Muslim, anti Barat, anti Yahudi dan lain-lain.

Redeinisi Radikalisme dan Terorisme

Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah, menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme berarti paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastik, dan sikap ekstrem dalam aliran politik (Michael, dkk, 2011: 360). Radikalisme bisa dibedakan dalam dua level, yaitu level pemikiran dan level aksi. Pada level pemikiran radikalisme masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih diperbincangkan yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun pada level aksi radikalisme dapat berada pada ranah politik dan keagamaan.

Pada ranah politik misalnya, fenomena radikalisme tercermin dalam aksi memaksakan pendapat dengan cara-cara inkonstitusional dan mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu yang pada akhirnya melahirkan konlik sosial. Sedangan pada ranah keagamaan, fenomena radikalisme agama tercermin dari tindakan-tindakan destruktif yang anarkhis atas nama agama dari sekelompok orang terhadap kelompok internal agama sendiri maupun eksternal pemeluk agama lain yang berbeda penafsiran dan pemahamannya (Ibar dan Maddy-Weitzman, 2013). Karena merasa kelompoknya yang paling benar dan berupaya memaksakan pandapat mereka kepada

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

kelompok lain yang dianggap “sesat”, maka konlik dan kekerasan tidak dapat dihindari. Yang termasuk dalam tindakan radikalisme agama adalah aktivitas untuk memaksakan pendapat, keinginan dan cita-cita keagamaan kepada orang atau kelompok lain dengan jalan kekerasan. Radikalisme agama bisa menjangkiti semua pemeluk agama baik Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam.

Menurut Rubaidi terdapat lima ciri gerakan radikalisme, yaitu pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi inal dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika al-Qur’an dan hadis hadir di muka bumi ini dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks al-Qur’an dan hadis, maka puriikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya yang bukan berasal dari lahirnya Islam (budaya Arab) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir bercampurnya antara ajaran Islam dengan praktik lokal yang lebih dikenal dengan istilah bid’ah. Keempat, menolak ideologi non-Timur termasuk demokrasi, sekularisme dan liberalisme yang berasal dari negera-negara Barat. Segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada al-Qur’an dan hadis. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karenanya, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan isik dengan kelompok lain dan juga dengan pemerintah sendiri. Kelompok ini kemudian membuat faksi-faksi perlawanan terhadap pemerintah seperti dalam kasus DI/TII di Indonesia, Al-Qaeda di

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

Afganistan, ISIS di Syiria dan Iraq, Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Hizbullah di Libanon.

Kyai Hasyim Muzadi, mantan Ketua umum PB NU berpendapat bahwa perlu dibedakan antara radikal dengan radikalisme. Seseorang yang berpikir radikal dengan tujuan berpikir mendalam sampai ke akar- akarnya sangat dibolehkan dalam Islam. Sebagai contoh, seseorang yang dalam hatinya berpandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik disebabkan karena Indonesia tidak menerapkan syari’at Islam dan oleh karena itu dasar negara Indonesia harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah). Pendapat yang radikal seperti ini sah-sah saja menurut beliau selama itu dalam wacana pemikiran dan tidak sampai pada tindakan yang menimbulkan keresahan publik. Apa yang muncul dalam pikiran seseorang tidak dapat diadili karena tidak termasuk tindak pidana (Eresco, 1992: 54). Tidak jauh berbeda dengan Kyai Muzadi, peneliti terorisme asal Australia Greg Fealy dan Hooker (2006: 4) berpandangan bahwa radical Islam refers to those Islamic movement that seek dramatic change in society and the state. The comprehensive implementation of Islamic law and the upholding of “Islamic norms’, however deined, are central elements in the thinking of most radical groups.

Adapun radikalisme adalah radikal dalam paham atau ismenya. Biasanya mereka akan menjadi radikal secara permanen. Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secara demokratis, kekuatan masyarakat, dan teror. Dengan kata lain radikalisme adalah radikal yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Sedangkan radikalisasi adalah seseorang yang tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

ketidakadilan di masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketidakadilan ekonomi, politik, dan lemahnya penegakan hukum (Appleby, 2000). Jadi, jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap maka radikalisme kemudian hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan selalu muncul di masyarakat dalam basis apapun termasuk berbasis etnis atau ideologis.

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaannya yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak sehingga seringkali yang jadi korban adalah warga sipil (Eubank dan Weinberg, 2006: 19). Istilah terorisme merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang resmi dan tidak mengikuti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justiikasi. Oleh karena itu, para pelaku teroris layak mendapat hukuman yang setimpal karena aksi kriminalitasnya.

Akibat makna-makna negatif yang terkandung dalam perkataan “teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain (Purwanto, 2004). Padahal makna sebenarnya dari istilah jihad atau mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat dalam perang. Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama dan menargetkan kelompok

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

di luar agama atau yang berseberangan dengan mereka. Ideologi jihad telah mengalami eksploitasi dan penyalahgunaan untuk pembenaran tindakan- tindakan teror yang jauh dari konsep asalnya.

Pelaku terorisme bisa bersifat individual, kelompok, bahkan negara yang dikenal dengan terorisme negara. Noam Chomsky di dalam beberapa kasus menyebut negara Amerika Serikat masuk dalam kategori terorisme negara karena seringkali mencampuri urusan negara lain dengan kekuatan militernya. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari negara- negara Barat seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris dari berbagai kelompok dan negara di dunia seperti pejuang Hizbullah di Libanon, Taliban di Afghanistan, Boko Haram di Nigeria, Muslim Moro di Filipina, rezim komunis Korea Utara, dan negara Islam Syi’ah di Iran. Di sisi lain, apabila diperhatikan dari liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat seringkali melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Radikalisme dan terorisme agama dalam beberapa dekade terakhir menghiasi perdebatan di kalangan para sarjana baik di tingkat nasional maupun internasional. Pro dan kontra muncul di antara mereka terkait dengan konsep, teori, dan pola gerakan radikalisme dan terorisme tersebut. Radikalisme oleh sebagian kelompok dimaknai sebagai jawaban terhadap sikap diamnya dunia internasional atas berbagai tindakan destruktif di negara- negara Islam (Zuhairi, 2010: 73). Bagi kelompok lain, apapun alasan kemuculannya radikalisme tetap membahayakan mengingat dampaknya yang

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

sangat besar bagi keberlangsungan hidup manusia. Radikalisme menimbulkan dampak negatif baik itu rusaknya tatanan sosial kebangsaan maupun jatuhnya korban dari masyarakat sipil yang tidak berdosa dan tidak terkait langsung dengan inti masalah (Zuhairi, 2010). Radikalisme mengambil bentuknya yang sangat destruktif dalam berbagai peristiwa pengeboman, penculikan, pembunuhan bahkan pencurian dengan kekerasan. Tragedi Bom Bali 1 pada 2002, Bali 2 pada 2005, Bom Sarinah di Jl. Tamrin Jakarta 2016 dan beberapa peristiwa pengeboman di Indonesia adalah contoh bagaimana radikalisme telah merenggut ketenangan dan kerukunan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun oleh founding father Indonesia (https://m.tempo. co/read/news/2016/01/15/078736374/bom- thamrin-serangan-ala-paris-di-jakarta-ini-buktinya, diakses pada 10 Juli 2016).

Abdurrahman Mas’ud, sejarawan Islam menyatakan bahwa gerakan radikalisme agama dalam beberapa hal dapat mengganggu stabilitas nasional dan kesatuan negara Indonesia (Kemenag, 2011). Setidaknya ada tiga alasan mengapa radikalisme agama ini dapat menggangu NKRI, pertama adalah mewarnai dan mengganti ideologi negara yang mapan dengan ideologi kelompok tersebut tanpa mempertimbangkan kepentingan ideologi kelompok lain. Kedua adalah membawa instabilitas dan keresahan sosial karena sifatnya yang militan, keras, cenderung anarkhis, dan tidak kompromi. Ketiga adalah dampak dari radikalisme dapat mengancam eksistensi kedudukan para elit penguasa. Menurut Mas’ud bahwa untuk menyikapi fenomena radikalisme tersebut adalah dengan wake up call, menyadarkan seluruh komponen

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

bangsa untuk melakukan konsolidasi diri dengan usaha-usaha early warning system, pembinaan umat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh (Kemenag, 2011).

Pada dasarnya radikalisme dan berbagai turunannya terlepas dari simbol agama apapun yang digunakan adalah musuh bersama umat beragama. Jika kita telaah lebih dalam, kelompok radikal dan teroris seringkali menempatkan agama sebagai tameng untuk melegitimasi tindakan dan perbuatannya (Khisbiyah, 2000; Zuhairi, 2010). Padahal, agama bukan faktor utama yang memicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme karena agama menjadi sumber kebaikan dan kedamaian. Terorisme misalnya, tidak memiliki akar dalam Islam dan semua aksi teror bukanlah tindakan keagamaan. Islam sangat keras mengecam terorisme dan ini dijelaskan dalam al- Qur’an dan hadis Rasulullah. Ketika agama berlawanan dengan karakter dasar agama itu sendiri berarti agama tersebut telah terkontaminasi oleh kepentingan di luar agama seperti kepentingan ekonomi dan politik (Esposito, 2010: 57).

Melacak Akar Terorisme dan Radikalisme Agama

Terorisme selama ini dipandang sebagai dorongan spirit agama Islam untuk menegakkan Khilafah Islamiah. Pandangan ini tentu keliru dan sangat fatal karena dapat menciderai konstruksi suci agama Islam sendiri. Apalagi secara geneologi istilah terorisme sendiri mulai popular pasca penyerangan gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001 melalui pembajakan pesawat komersial (Esposito, 2010: 11). Slogan “war against terrorism” yang dikampanyekan oleh Amerika sulit untuk dideinisikan.

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

Hingga kini belum ada satu kesepakatan dari berbagai pihak tentang deinisi istilah itu karena semua pihak merasa berkepentingan untuk menerjemahkannya sesuai dengan kepentingan dan sudut pandang masing masing (Abimanyu, 2005: 129). Media Barat memainkan peran penting dalam membangun opini dengan memberikan stempel dan cap bahwa terorisme disokong sepenuhnya oleh semangat jihad Islam. Opini ini mempengaruhi pandangan masyarakat dunia, bahkan sebagian besar umat Islam di Indonesia yang meyakini jalan jihad sebagai jalan suci yang harus ditempuh demi menegakkan negara syari’at melawan pemikiran dan penindasan Barat. Padahal, di Eropa sendiri stempel terorisme telah lama diberikan kepada kelompok-kelompok politik yang makar yang ingin mengambil alih kekuasaan dari pemerintah seperti Brigade Merah ETA di Spanyol, IRA di Irlandia dan lain-lain (Purwanto, 2004: 48).

Peribahasa “Mati satu tumbuh seribu” merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan semakin maraknya aksi-aksi terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok Salai-Jihadis. Tertangkapnya tujuh terduga teroris beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa terorisme terus mengancam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Yang memalukan adalah gerakan ini tidak lagi murni berurusan dengan agama, akan tetapi mereka ditangkap terkait kasus perampokan toko mas di Tambora Jakarta Barat pada 10 Maret 2013 (http://m.tempo.co/read/ news/2013/03/15/064467225/Polisi-Tangkap- Perampok-Toko-Emas-Tambora, diakses pada 10 Desember 2015).

Berdasarkan informasi bahwa ketujuh teroris

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

tersebut diduga terkait jaringan teroris Abu Omar. Pelatihan kelompok teroris di Aceh dan di Poso yang dikomandoi oleh jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso merupakan peranakan dari gerakan Salai- Jihadis Jama’ah Islamiah. Varian-varian jihadis terus bermunculan seperti jamur sejak munculnya ISIS yang menjelma sebagai kekuatan terorisme global (Aidinly, 2016). Kasus Bom Sarinah di Jalan Tamrin Jakarta

14 Januri 2016 memperlihatkan bahwa radikalisme masih mengancam kesatuan NKRI dan keutuhan bangsa Indonesia. Jaringan terorisme telah membumi di tengah-tengah masyarakat kita yang didukung oleh pesantren Salai-Jihadis sehingga keberadaannya perlu direspons secara serius agar generasi-generasi teror berikutnya tidak bermunculan lagi (https://m. tempo.co/read/news/2016/01/15/078736374/ bom-thamrin-serangan-ala-paris-di-jakarta-ini- buktinya, diakses ada 20 Januari 2016).

Secara teoretis kata ‘radikal’ adalah sikap, sama seperti sikap ‘disiplin’ militer atau sikap ‘rajin’ belajar. Sikap radikal adalah perasaan (afeksi) yang positif terhadap segala yang serba ekstrem sampai ke akar-akarnya. Paham radikal ini sepertinya sangat susah dihilangkan mengingat regenerasi sangat gencar dilakukan dengan merekrut generasi muda sebagai penerus melancarkan berbagai aksi teror. Kekeliruan memaknai jihad telah membawa mereka ke dalam ideologi radikal. Di sini yang keliru bukanlah ajaran agamanya, namun manusia yang salah dalam memahami ajaran agama yang sebenarnya yang penuh kedamaian dan toleran. Zuhairi Misrawi (2010) mengatakan bahwa terorisme dan radikalisme tidak bisa dikaitkan dengan agama karena yang bermasalah bukan agama, tetapi umat yang kerap kurang tepat

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

memahami doktrin agama, tidak kontekstual dan bernuansa kekerasan.

Para pelaku teror sangat keliru dalam memaknai ajaran agama termasuk jihad yang diidentikkan dengan kekerasan, perang dan pembunuhan (Qodir, 2004: 40-7). Jika jihad dimaknai secara sempit maka pemahaman seperti itu sangat keliru dan fatal yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pemikiran para generasi muda. Tampaknya terorisme telah berhasil membajak agama untuk kepentingan penghancuran kemanusiaan. Ketika agama dibajak untuk melegalkan radikalisme atas nama agama, maka agama menjadi instrumen pembenaran diri dalam melakukan kekerasan. Sempitnya makna jihad di kalangan teroris terjadi karena pemahaman keagamaan yang mereka yang minim dalam memaknai kata jihad. Islam memang membolehkan perang isik, tapi dengan aturan dan sarat-sarat yang benar seperti tidak boleh membunuh anak-anak dan perempuan, tidak boleh merusak tempat ibadah milik umat lain dan fasilitas-fasilitas umum. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana fundamentalisme-radikalisme agama itu dicegah di masyarakat Muslim?

Jika kita identiikasi secara jernih distingsi antara “kita” dan “mereka” membutuhkan legitimasi terus- menerus agar tidak usang dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah, ritual keagamaan, dan keterlibatan dalam upacara- upacara keagamaan tertentu. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, dan musik. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas dan

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok. Dalam situasi yang amat genting narasi seperti ini akan berkembang semakin tajam mengarah kepada eskalasi konlik dan kekerasan. Kelompok sendiri “kita” disucikan dan makin disucikan, sedang kelompok lain “mereka” dilecehken, disesatkan, disetankan, dan dikairkan.

Fungsi agama sebagai pemberi identitas kelompok dan narasi yang menopangnya dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam jihad akbar “perjuangan suci besar” melawan kelompok-kelompok lain atau kelompok “mereka”. Pemberian legitimasi ini dapat berlangsung dalam berbagai cara, misalnya seruan formal kepada tradisi kegamaan tertentu yang menunjukkan situasi-situasi khusus, di mana penggunaan kekerasan bersenjata dapat dibenarkan, penguatan narasi- narasi yang menunjukkan kejahatan, dan kebengisan kelompok “mereka” yang mengancam keselamatan kelompok “kita” dan rujukan kepada sebuah misi suci berupa tindakan militeristik yang setidaknya dalam situasi tententu dapat dibenarkan. Bagaimanakah sebuah aksi kekerasan bersenjata pada akhirnya dapat dibenarkan oleh agama. Inilah sebab keempat mengapa agama secara intrinsik potensial untuk melahirkan konlik dan kekerasan karena komunitas agama tertentu, kelompok “kita” pada akhirnya memerlukan sebuah ruang dan wilayah, di mana “kita” bisa unggul dan mendominasi kelompok lain.

Kalau kita lihat sejarah secara sekilas maka akan tampak jelas bahwa ambiguitas di atas adalah fakta-fakta keras yang sulit ditolak. Karenanya hal itu

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

mesti tidak terlalu mengagetkan atau mengecewakan siapapun. Kenyataan itu juga tidak perlu membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia yang damai karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan oleh agama dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya. Sementara benar bahwa agama bahkan inti ajarannya menyerukan perdamaian, juga benar dikatakan bahwa semua agama baik dalam sejarah maupun dalam konteks kontemporer merupakan salah satu dari beberapa sumber konlik dan kekerasan yang paling pokok (Khisbiyah, 2000: 67-84).

Reposisi Islam sebagai Agama Perdamaian

Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu penting, tetapi yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah kita menyadari dan mengakuinya. Dalam hal ini ambiguitas di atas harus dijadikan sebagai kesempatan dan peluang baru untuk menunjukkan dan mewujudkan potensi intrinsik agama sebagai sumber daya perdamaian. Para agamawan yang punya komitmen kepada perdamaian tidak hanya boleh berkeluh kesah tanpa menawarkan solusi. Tidak cukup bagi mereka hanya dengan mengatakan agama dapat berperan seperti itu atau ini, melainkan juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkrit ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi maka upaya perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi.

Untuk sampai ke sana, sisi kedua dari agama di atas, yakni sebagai salah satu sumber konlik. Ekspresi

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

kekerasan atas nama agama harus ditinjau secara teliti dan dilihat kasus demi kasus pada konteksnya yang lebih luas. Tujuannya bukan untuk menekankan sisi buruk agama, melainkan untuk memperoleh potret yang benar-benar dan selengkap-lengkapnya sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja dakwah ke arah upaya-upaya perdamaian di masa depan. Dalam hal ini, kabar buruk yang benar harus dipandang sebagai sesuatu yang lebih baik ketimbang kabar baik yang palsu dan bohong. Jika ancang- ancangnya benar seperti itu, maka kita memiliki tiga gugus pertanyaan besar yang harus dijawab, yaitu, pertama, dalam kondisi apa saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama, dalam kondisi apa pula para aktor agama menolak aksi-aksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai sebuah tugas suci atau sebuah privilese keagamaan, dan ketiga, dalam kondisi apa pula para aktor agama yang memiliki komitmen kepada perdamaian dan aksi-aksi tanpa kekerasan dapat mengembangkan diri menjadi para agen pembangun perdamaian?

Dalam studinya baru-baru ini, Scott Appleby mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas itu. Menurutnya, kekerasan keagamaan tejadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat berhasil memanfaatkan argumen- argumen keagamaan, etnisitas dan kebudayaan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain (Appleby, 2000). Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ektremisme dimungkinkan jika

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur

para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi anti-kekerasan baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan strukural suatu masyarakat. Upaya-upaya perdamaian oleh agama terjadi ketika para pemeluk agama yang militan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi- aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi sinyal awal, dan melakukan unsur-unsur lain ke arah transformasi konlik.

Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Maka peran aktif dunia pendidikan dianggap vital sebagai proteksi dini secara menyeluruh untuk pencegahan gejala dan paham kekerasan atas nama agama. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, anti destruksi, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan dan dikampanyekan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada umat lebih bernada mengejek daripada mengajak, memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Akhirnya, generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknya- lah yang paling benar, sementara yang lain salah dan harus diperangi, merupakan akibat dari sistem pendidikan kita yang salah dan keliru. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.

Fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit orang- orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar belakang pendidikan umum,

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

seperti dokter, insinyur, ahli teknik, dan ahli sains. Sebagian besar dari mereka hanya mempelajari materi agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamannya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Mereka juga tidak bisa memilih guru yang tepat yang tidak mengajarkan ideologi kekerasan, sebaliknya mereka dididik oleh kelompok Islam garis keras yang memiliki pemahaman agama yang serabutan. Berangkat dari fenomena ini, maka dibutuhkan pengembangan pendidikan agama yang integratif dan menyeluruh untuk menghindari pemahaman keagamaan yang parsial. Pendidikan dan agama adalah satu paket yang tidak bisa dipisah- pisahkan. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, diperlukan kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, baik dari kalangan ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak, langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah, serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertakwa, dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat.

Bangsa dan negara kita akan terlindung dari bahaya terorisme jika tidak menyalahgunakan ajaran agama. Ini sesuai dengan janji dan spirit al-Qur’an dalam Surat al-A’raf ayat 96 menyatakan:

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24