Pertanggungjawaban Negara atas Kasus Gen

Pertanggungjawaban Negara atas Kasus Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan di
Bosnia Herzegovina: Implementasi dari Prinsip Responsibility to Protect
Oleh: Husni Mubarak1
I.
Konflik

Kasus Posisi
bermula di tanah balkan terjadi ketika negara-negara bekas negara Republik

Federasi Sosialis Yugoslavia mulai memproklamirkan kemerdekaan pada era 1990-an.
Perang, genosida, dan kejahataan kemanusiaan di Bosnia Herzegovina berlangsung dari tahun
1992-1995. Salah satu konflik terbesar di wilayah tersebut adalah kejahataan kemanusiaan
dan genosida terhadap etnis Bosnia oleh etnis Serbia dan Tentara Serbia.
Pada tanggal 3 Maret 1992 melalui sebuah penyelenggaraan referendum, rakyat Bosnia –
Herzegovina menyepakati pemisahan diri mereka dari Yugoslavia dan dalam waktu singkat
mendirikan negara Republik Bosnia – Herzegovina. Pemisahan diri Bosnia ini menjadi titik
awal dari perang etnis terbesar dalam sejarah Eropa kontemporer.
Serbia Montenegro saat itu dipimpin oleh Presiden Slobodan Milosevic lalu Kepala Staf
Kesatuan Angkatan Bersenjata Drina di Republik (Sprska) adalah Jenderal Radislav Kristic –
komandan Tentara Rakyat Serbia. Slobodan Milosevic merupakan pemimpin tertinggi di
Serbia yang diminta pertanggungjawaban di International Criminal Tribunal for The Former

Yugoslavia

(IYTC) atau Pengadilan Pidana Internasional di Yugoslavia atas dakwaan

Genosida terhadap penduduk sipil di Bosnia Herzegovina. Sedangkan Jenderal Radislav
Kristic didakwa dalam kasus pembunuhan massal lebih dari 7000 ribu Muslim Bosnia di
camp Srebrenica2 pada tahun 1995.

Semenjak kemerdekaan Bosnia Herzegoniva pada tahun 1992, etnis Bosnia selalu ditekan
oleh penguasa saat itu di Serbia: Slobodan Milosevic. Serbia membombardir ibukota Bosnia,
Sarajevo dan kota lainnya dibombardir habis–habisan, gerilyawan Bosnia ditangkap dan
disiksa dalam kamp–kamp konsentrasi dan puluhan ribu wanita muda Bosnia diperkosa.

1

Husni Mubarak adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dalam konsentrasi Hukum
Internasional. Analisa kasus ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Kapita Selekta Hukum
Internasional dengan pengampu Prof. Dr. Rahayu, S.H, M.Hum.
2
Eddy, OS Hiariej., Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap Hak Asasi Manusia, Jakarta: Penerbit

Erlangga, 2010, hal. 167.

1

Serbia terus melakukan berbagai intervensi militer untuk menyatukan seluruh etnis Serbia
yang berada di berbagai wilayah di Kroasia maupun di Bosnia Herzegovina yang telah
dikuasi untuk mewujudkan “Greater Serbia ”3.
II.

Uraian Fakta

Berikut adalah uraian fakta berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum atas Terdakwa
Radislav Kristic4 yang dirangkum oleh Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej dari Universitas Gadjah
Mada:
1. Pada tanggal 13 Juli 1995, Jenderal Mladic mengangkat Jenderal Radislav
Kristic sebagai Komandan Satuan Drina
2. Jenderal Radislav Kristic mengetahui dan menyetujui pembakaran Srebrenica
sehingga ribuan penduduk sipil dipindahkan ke Potocari sebagai tempat
perlindungan mereka yang tidak memadai karena di sana tidak terdapat makanan,
minuman, dan obat-obatan yang cukup.

3. Pada tanggal 12 Juli 1995 sekitar 2 jam, Radislav Kristic hadir dan mengawasi
para wanita, anak-anak, dan orangtua Muslim Bosnia untuk dipindahkan ke
Potocari dan selama dalam pengungsian mereka dianiaya.
4. Radislav Kristic pada tanggal 12 Juli 1995 mengetahui bahwa para pria Muslim
Bosnia yang menjadi pengungsi setelah pembakaran Srebrenica dipisah secara
paksa dari keluarganya dan ditahan tanpa alasan hukum serta diberlakukan secara
tidak manusiawi.
5. Pada tanggal 13 dan 14 Juli 1995 dibawah pengawasan Kristic ribuan pria
Muslim Bosnia yang telah dipisahkan dari keluarganya dieksekusi secara massal
oleh Komando Satuan Drina di Srebrenica. Kristic juga memerintahkan Brigade
Zvornik pada tanggal 14 Juli 1995 untuk membantu melakukan eksekusi terhadap
ribuan tahanan muslim Bosnia.
6. Kolonel Deara sebagai eksekutor terhadap ribuan pria Muslim Bosnia pada
tanggal 15 Juli 1995 meminta bantuan kepada Jenderal Radislav Kristic

3

Rizki, Rantaperkasa., Memorandum Hukum Kepada Penutut International Criminal Tribunal For The Former
Yugoslavia (ICTY) Dalam Kasus No. IT-02-54 Dengan Terdakwa Slobodan Milosevic Mengenai Dakwaan
Genosida di Bosnia Herzegovina, Bandung: Jurnal Hukum Tugas Akhir Mahasiswa FH UNPAD,

http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/02/memorandum-hukum-kepada-penuntut-international-criminal-tribunalfor-the-former-yugoslavia-icty-dalam-kasus-no-it-02-54-dengan-terdakwa-slobodan-milosevic-mengenaidakwaan-genosida-di-bosnia-herzeg/ , diakses tanggal 11 Januari 2015.
4
Eddy, OS. Hiariej, op.cit, hal. 167-168.

2

menambah personil yang akan digunakan untuk mengeksekusi secara massal.
Permintaan Deara disetujui oleh Kristic dengan mengirimkan bantuan tenaga
eksekutor dari Brigade Bratunac untuk melakukan eksekusi di lahan pertanian
Branjevo keesokan harinya pada tanggal 16 Juli 1995.
7. Pada tanggal 16 Juli 1995, Kolonel Popovic melaporkan kepada Jenderal Kristic
bahwa telah terjadi eksekusi massal terhadap ribuan Muslim Bosnia oleh
Komando Satuan Drina yang berada di bawah rantai komandonya. Laporan
tersebut ditanggapi oleh Kristic dan Membiarkan eksekusi tetap berlangsung.

III.

Permasalahan Hukum
Bahwa eksistensi Responsibility to Protect dalam Hukum Internasional semakin


menguat. Ada upaya masyarakat Internasional dalam perlindungan HAM dikarenakan
sepanjang sejarah abad ke-20 telah terjadi banyak krisis kemanusiaan yang melanda
dunia. Apa yang terjadi di Bosnia, Kosovo, Somalia, Rwanda, dan di Indonesia sendiri
adalah peristiwa Pembantaian Massal terhadap orang-orang yang berafiliasi dengan Partai
Komunis Indonesia di tahun 1965-1966. Apa yang terjadi kepada kemanusiaan kita
merupakan potret buram pelanggaran atas Hak Asasi Manusia. Hal ini menyebabkan
negara-negara di dunia melakukan persamaan persepsi dalam hal perlindungan HAM
dengan prinsip Responsibility to Protect.
Akar intelektual dan kemauan dari politik responsibility to protect ini ditelusuri dari
pemahaman dasar terkait kedaulatan. Hal ini senantiasa bermakna ganda: antara hak dan
tanggung jawab. Thomas Hobbes pernah mengemukakan terkait konsep teori kontrak
sosial antara negara dan rakyat 5. Negara yang diperintahkan dan diberi mandat oleh
warga-nya harus dapat melindungi dan mewujudkan tanggung jawab dalam hal
pemberian rasa aman. Sejak tahun 2000-an gagagasan kedaulatan menjadi salah satu pilar
politik negara dan dan dunia modern.
Ide kedaulatan merebak ketika terjadinya banyak kasus dalam periode kurun waktu
tahun 1990-an yaitu kasus kejahatan kemanusiaan yang salah satunya terjadi di Bosnia
Herzegovina. Pelanggaran atas prinsip Responsibility to Protect sendiri dalam kasus
5


I.G Wahyu Wicaksana, ASEAN dan The Responsibility To Protect: Agenda Humanitarianisme Untuk Asia
Tenggara, Jurnal unair.ac.id, http://i-g-w-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70006-UmumASEAN%20Dan%20The%20Responsibility%20to%20Protect:%20Agenda%20Humanitarianisme%20Untuk%20A
sia%20Tenggara.html, diakses tanggal 11 Januari 2015

3

Bosnia ini memang tidak sepenuhnya merupakan kedaulatan dari Serbia untuk
melindungi rasa aman warga Bosnia, tetapi dalam konteks negara-negara balkan saat itu,
Bosnia dan Serbia merupakan berasal dari negara pecahan yang sama: Yugoslavia.
Artinya, walaupun Bosnia dan Serbia setelah pecahnya Yugoslavia menjadi bagian dari
negara yang berbeda. Namun, bukan menjadi alasan Serbia untuk melakukan
penyerangan kepada warga Bosnia. Prinsip Responsibilty to Protect atas negara-negara
Balkan dan bekas negara Yugoslavia harus dijunjung tinggi.
Menurut Prof. Dr. Rahayu: “Pada hakikatnya „R to P‟ merupakan komitmen politik
dan moral yang disepakati oleh negara-negara berkaitan dengan tanggung jawab dan
kewajiban setiap negara serta masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan
kepada setiap individu dari tindak kekejaman massal (mass atrocity) yang meliputi
kejahatan genosida (genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic
cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanit iy).”6


Selanjutnya prinsip „R to P‟ juga muncul atas reaksi internasional yang terjadi
berkaitan dengan pelanggaran HAM berat. Bahwa „R to P‟ muncul akibat ketika proses
intervensi kemanusiaan juga tidak juga membuat perdamaian di dunia ini. Konflik
kemanusiaan tetap terjadi dan dalam hal intervensi kemanusiaan juga ditandai peristiwa
arogansi dari kekuatan negara-negara besar yang menginjak kedaulatan negara lemah. 7
Kemanusiaan akan menjadi sesuatu yang harus dipertahankan dan diperjuangankan
oleh umat manusia di seluruh dunia ini.Proses-proses tindak kekejaman massal yang
sewenang-wenang kepada manusia yang tak bersalah (seperti yang terjadi di Bosnia)
merupakan cermin kebrutalan negara yang lebih kuat kepada negara yang lebih lemah.
Hal ini harus kita wujudkan dalam suatu “kewajiban” berupa kedaulatan untuk
melindungi kemanusiaan: diwujudkan dalam Responsibility to Protect.

6

Prof. Dr Rahayu, S.H.,M.Hum., Eksistensi Prinsip Responsibility to Protect dalam Hukum Internasional,
Disampaikan pada upgrading Dosen Hukum Internasional di Universitas Diponegoro, 20-21 Mei 2011, hlm. 7.
7
Thomas M. Frank, dalam Prof. Dr. Rahayu, ibid.

4


IV.

Penelusuran Bahan Hukum

4.1 Genosida

Istilah Genosida terdiri dari dua kata, yakni geno dan cide. Geno atau genos berasal dari
bahasa Yunani kuno yang berarti ras, bangsa, atau etnis. Sedangkan cide, caedere atau cidium
berasal dari bahasa Latin yang berarti membunuh. 8
Secara harafiah genosida dapat diartikan sebagai pembunuhan ras. Istilah ini diperkenalkan
oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944 – seorang Yahudi kelahiran Polandia. Lemkin
mencatat bahwa istilah genocide adalah berasal dari kata Yunani: ethochide yang mempunyai
kata dasar ethos yang berarti bangsa dan kata latin cide.9
Dari pengertian diatas secara harafiah dapat disimpulkan bahwa genocide atau genosida
merupakan sebuah kejahataan Hak Asasi Manusia yang merenggut nyawa/membunuh bangsa
atau etnis lain yang berbeda.
Menurut Lemkin, Genosida dibagi kedalam dua fase. Fase pertama adalah menghancurkan
pola kebangsaan kelompok yang ditindas. Fase kedua adalah gangguan pola kebangsaan dari
penindas.10 Penindasan terhadap kelompok lain hingga kelompok lain merasa terganggu dan

terancam nyawanya merupakan kejahatan HAM yang berat. Pengaturan dalam Hukum
Internasional terkait Genosida telah diatur dalam Konvensi Genosida.
4.2 Kejahatan Kemanusiaan
Definisi Kejahatan Kemanusiaan menurut Statuta Roma pasal 7 adalah sebagai berikut
(terjemahan :
1. Untuk tujuan Statuta ini, “Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti setiap perbuatanperbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan (me)luas
atau sistemik yang ditujukan kepada suatu kelompok populasi sipil secara disengaja:
(a) Pembunuhan;
8

William, A. Schabas dalam Eddy, OS. Hiariej, ibid, hal. 7.

9

Roy Gutman dalam Eddy, OS. Hiariej, ibid, hal 7.

10

William, A. Schabas dalam Eddy, OS. Hiariej, ibid, hal. 8.


5

(b) Pemusnahan;
(c) Perbudakan;
(d) Deportasi atau pemindahan paksa populasi;
(e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik yang melanggar aturanaturan dasar hukum Internasional;
(f) Penyiksaan
(g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa,
pemaksaan sterilisasi, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang
beratnya sebanding;
(h) Persekusi terhadap suatu kelompok atau perkumpulan yang dapat diidentifikasi
atas dasar-dasar politik, ras, kebangsaan, suku, budaya, agama, jender yang
sebagaimana didefinisikan di dalam ayat 3, atau atas dasar-dasar lain yang secara
universal diakui sebagai tidak diperbolehkan berdasarkan hukum internasional
yang berhubungan dengan setiap tindakan yang diamksud di dalam ayat ini atau
setiap kejahatan yang berada dalam Yuridiksi Mahkamah;
(i) Penghilangan paksa orang-orang;
(j) Kejahatan apherteid;
(k) Perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja
menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap tubuh atau mental atau

kesehatan fisik. 11
Dalam kasus yang terjadi di Bosnia Herzegovina, unsur kejahatan kemanusiaan dapat
diterapkan atas kejahatan pembunuhan massa, perbuatan tidak manusiawi, dan juga
pemerkosaan.
4.3 Responsibility to Protect
Salah satu pilar utama dari „R to P‟ adalah menekankan bahwa setiap negara memiliki
tanggung utama untuk melindungi rakyatnya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan
etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 12

11

Pasal 7 Statuta Roma. Kejahatan kemanusiaan berada diantara kejahatan-kejahatan paling serius yang
menjadi perhatian (bagi) masyarakat Internasional secara keseluruhan, memerlukan dan meminta
pertanggungjawaban pidana (secara) individual atau perorangan. Lihat: Erikson, Hasiholan Gultom.,
Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur,
Jakarta: PT. Tatanusa, 2006, hal. 56.
12
Prof. Dr. Rahayu, Op.Cit, hlm. 10

6

Bentuk tanggung jawab dari negara adalah sebagai berikut 13:
1. Menjamin adanya mekanisme yang efektif untuk menangani konflik-konflik
domestik.
2. Melindungi hak-hak perempuan, kaum muda dan minoritas di dalam negara.
3. Menerapkan perjanjian-perjanjian hukum internasional yang terkait mengenai hak
asasi manusia, hukum humaniter internasional dan hukum mengenai hak asasi
manusia, hukum humaniter internasional dan hukum mengenai pengungsi, serta
statuta Roma mengenai Pengadilan Hak Asasi Internasional ( Rome Statute of the
International Criminal Court)

4. Terlibat di dalam proses untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip yang terkandung
di dalam “ Responsibility to Protect” dapat diintegrasikan ke dalam negara.
5. Berupaya untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang mendukung penegakan tanggung
jawab untuk melindungi, seperti dengan aparat kepolisian, militer, pengadilan dan
penyusun undang-undang, untuk memperbaiki penegakan hukum ( rule of law) dan
perlindungan hak asasi manusia.
6. Bekerja bersama-sama dengan kelompok-kelompok non-pemerintah dan organisasiorganisasi internasional untuk memfasilitasi kemajuan “Responsibility to Protect”

V.

Analisa Hukum

Kasus Kejahatan Kemanusiaan dan Genosida yang terjadi di Bosnia telah diadili melalui
Pengadilan HAM Ad Hoc di Yugoslavia yang berdasarkan ketentuan Hukum Internasional.
Pengadilan tersebut bernama International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia
(ICTY). ICTY ini merupakan pengadilan tribunal setelah Nuremberg dan Tokyo.
ICTY merupakan Mahkamah Pidana Internanasional Ad-Hoc yang sifatnya sementara
sebelum adanya

Mahkamah Pidana Internasional ( International Criminal Court) yang

terbentuk dengan dasar hukum Statuta Roma. Dasar hukum pembentukan dari ICTY adalah
Statuta ICTY.
Sejarah berdirinya ICTY tidak lepas dari Peran Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan
PBB membentuk komisi ahli pada tanggal 6 Oktober 1992 untuk meneliti pelanggaran

13

Disampaikan Sekjen PBB, dalam Prof. Dr Rahayu, ibid.

7

hukum Internasional yang terjadi di sana. Komisi ini kemudian menyimpulkan bahwa telah
terjadi pelanggaran berat terhadap hukum humaniter Internasional dan ancaman bagi
perdamaian Internasional. 14
Terjadinya konflik di dua wilayah yakni dibekas negara Yugoslavia dan Rwanda, yang bisa
dikatakan kekejamannya telah mendekati keadaan pada Perang Dunia II mendorong Dewan
Keamanan PBB untuk bertindak dibawah Piagam VII PBB 15. Pada tahun 1993 didirikan
ICTY.
Hukum Internasional sebagai instrumen politik mempunyai tiga peran: Pertama adalah alat
pengubah konsep, kedua adalah sarana intervensi domestik dan alat penekan/penolak
tekanan. Dalam hal pengadilan ICTY, kejahatan HAM yang terjadi di Bosnia bisa secara
ampuh dalam mengadili aktor intelektual dari kejahatan tersebut: Slobodan Milosevic selaku
Presiden dan juga Jenderal Radislav Kristic. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa dalam
Penegakan HAM dan Kemanusiaan di dunia Internasional. ICTY juga memainkan peran
melalui sarana penekan tekanan dalam Hukum Internasional sebagai instrumen politik.
Lebih jauh Christopher K. Lamont menjelaskan terkait kepatuhan dari negara-negara atas
putusan dari Pengadilan Ad-Hoc/ICTY Yugoslavia:
In the cases of Croatia and Serbia coercion and inducements proved effective in bringing
about compliance; however, the level of coercion or inducements required to transform state
behavior varied greatly between the two states. 16

Paksaan dan bujukan ini efektif untuk menyeret aktor intelektual pelanggaran HAM berat ke
ICTY. Saya kira, penyelesaian kasus yang terjadi di Bosnia Herzegovina ke dalam
Pengadilan HAM berat sebelum adanya Statuta Roma dan rekomendasi „R to P‟ merupakan
kemajuan pesat dalam hal kemanusiaan dan tanggung jawab negara dalam perlindungan
HAM.

14

Steven, R. Ratner, dalam Eddy, OS. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2009, hal. 80
15
Jawahir, Thontowi, et al., Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Aditama, 2006, hal. 245.
16
Christopher, K. Lamont, International Criminal Justice and the Politics of Compliance, Burlington: Ashgate
Publishing Company, 2010, hal. 166.

8

VI.

Pendapat Hukum

Kasus pembunuhan massal dan juga genosida yang terjadi di Bosnia Herzegovina dalam
rentang waktu 1992 sampai dengan 1995, merupakan suatu tragedi yang mengerikan dalam
sejarah kemanusiaan dan masyarakat Internasional. Lebih dari 7000 orang meninggal atas
pembunuha massal dan masih banyak korban lainnya.
Penyelesaian kasus Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan di Bosnia Herzegovina melalui
Pengadilan Pidana Internasional Ad-Hoc di Yugoslavia (ICTY) dan dilakukan secara efektif
dimana dapat dijerat Presiden Serbia Slobodan Milosevic dan juga Jenderal Radislav Kristic
diputus bersalah dan menjadi terpidana. Bahwa Majelis Hakim yang mengadili Jenderal
Radislav Kristic atas pertimbangan menurut pasal 3b di Statuta ICTY: bahwa Pengadilan
Internasional memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang melanggar hukum atau
kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut dapat meliputi, tetapi tidak terbatas pada:
penghancuran dahsyat kota-kota besar, kota-kota kecil atau pedesaan atau perusakan yang
dilakukan oleh keterdesakan militer.
Dasar pembentukan ICTY adalah hukum kebiasaan Internasional melalui Dewan Keamanan
PBB untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan serius terhadap hukum Internasional:
Genosida, Kejahatan Kemanusiaan, dan Kejahatan Perang. Semoga di masa depan berkurang
kejahatan-kejahatan tersebut. Masyarakat Internasional dapat menghormati ketentuanketentuan Hukum Internasional terkait Hak Asasi Manusia. Terahkir, diharapkan pula seluruh
negara di dunia ini tak terkecuali untuk meratifikasi Statuta Roma agar Penegakan HAM
dengan instrumen Hukum Internasional yang telah disepakati dapat berjalan dengan baik.
Salah satu tanggung jawab dalam konsep „R to P‟adalah meratifikasi Statuta Roma terkait
Pengadilan Hak Asasi Internasional, alangkah lebih indahnya jika negara kita sendiri,
Indonesia dapat meratifikasi seluruhnya Statuta Roma dan kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan di Indonesia – seperti pembantaian massal Eks-PKI pada kurun waktu 19651966 – dapat diusut dan diungkap melalui pengadilan HAM berat. Sama halnya seperti
Pengadilan yang dilakukan untuk menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan di Bosnia
Herzegovina.

9

VII.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Gultom, Erikson Hasiholan., Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur , Jakarta: PT Tatanusa, 2006.

Hiariej, Eddy. OS., Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009
______________., Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Jakarta:
Penerbit Erlangga , 2010.

Lamont, Cristopher K., International Criminal Justice and The Politics of Compliance ,
Burlington: Ashgate Publishing Company, 2010.
Rahayu., Hukum Hak Asasi Manusia , Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2012.
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia Di Era Global: Tantangan Implementasinya di
Indonesia , Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Diponegoro, 2013.

Ratner, Steven R, et al., Melampaui Warisan Nuremberg: Pertanggungjawaban Untuk
Kejahatan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional , Jakarta: ELSAM,

2008.
Samekto, Adjie., Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2009.
Thontowi, Jawahir, et al., Hukum Internasional Kontemporer , Bandung: Refika Aditama,
2006.
JURNAL DAN MAKALAH
Rahayu, Eksistensi Prinsip Responsibility to Protect dalam Hukum Internasional,
Disampaikan pada upgrading Dosen Hukum Internasional di Universitas Diponegoro, 20-21
Mei 2011.
Rizki, Rantaperkasa., Memorandum Hukum Kepada Penutut International Criminal Tribunal
For The Former Yugoslavia (ICTY) Dalam Kasus No. IT-02-54 Dengan Terdakwa Slobodan
Milosevic Mengenai Dakwaan Genosida di Bosnia Herzegovina , Bandung: Jurnal Hukum
10

Tugas Akhir Mahasiswa FH UNPAD, http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/02/memorandumhukum-kepada-penuntut-international-criminal-tribunal-for-the-former-yugoslavia-ictydalam-kasus-no-it-02-54-dengan-terdakwa-slobodan-milosevic-mengenai-dakwaan-genosidadi-bosnia-herzeg/ , diakses tanggal 11 Januari 2015.

11