Konvensi Keanekaragaman Hayati karya Conventio

Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity)
dan Konvensi Perdagangan Internasional untuk Tumbuhan dan Satwa Liar
yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Flora and Fauna)1

Marcelino H. Latuputty2

Setiap negara pada prinsipnya memiliki kedaulatan untuk memanfaatkan
sumber daya alamnya, namun dalam pengelolaannya harus dipastikan bahwa
pemanfaatan sumber daya alamnya tersebut tidak mencemari lingkungan yang
dapat membahayakan lingkungan dari negara lain. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992 dan juga terdapat dalam Pasal 3
Convention on Biological Diversity 1992 (CBD).3 Tanggung jawab negara untuk

tidak menyebabkan dampak lingkungan sudah ada sebelum lahirnya Rio
Declaration 1992. Selain tanggung jawab, terdapat juga kewajiban dari setiap

negara untuk melindungi hak dari negara lain, sebagaimana yang terdapat dalam
kasus Trail Smelter, yang menyatakan sebagai berikut:
“under principle of international law . . . no state has the right to
use or permit the use of territory in such a manner as to cause injury by

fumes in or to the territory of another of the properties or persons therein,
when the case is of serious consequence and the injury is established by
clear and convincing evidence.”4
Bukan hanya untuk tidak memberikan dampak lingkungan dan melindungi
hak dari negara lain, pembentukan CBD dan CITES (Convention on Trade in
1

Ujian Akhir Semester Desember 2017 pada Program Pascasarjana Hukum Transnasional,
Universitas Indonesia. Dosen pengampu: Prof. Melda Kamil Ariadno, SH., LL.M., Ph.D.
2
Mahasiswa Pascasarjana, Hukum Transnasional Universitas Indonesia. NPM: 1706084746,
korespondensi: marcelino.h@ui.ac.id
3
Pasal 3 CBD 1992 : “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the
principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their
own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction
or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of
national jurisdiction .”
4
United States v. Canada, 3 R. I. A. A. 1907 (1941). Sebagaimana dikutip dalam Max Valverde

Soto. “General Principles of International Environmental Law.” HeinOnline – 3 ILSA Journal
International & Company L. 193 (1996-1997): 195.

1

Endangered Species) dilakukan karena adanya urgensi dari masyarakat

internasional terkait eksistensi sumber daya alam maupun ekosistemnya. Dewasa
ini, akibat berbagai sebab, kekayaan alam telah mengalami degradasi yang luar
biasa, tercatat laju degradasi hutan 1,08 juta hektar/tahun hanya selama periode
2000 - 2005. Degradasi tersebut telah berdampak hilangnya sebagian fungsi
kawasan, rusaknya habitat tumbuhan dan satwa liar, juga telah berdampak pada
meningkatnya laju kelangkaan/kepunahan tumbuhan dan satwa liar, disamping
berdampak luas bagi penurunan kualitas mutu kehidupan dan meningkatnya
ancaman bagi kehidupan manusia.5 Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya
perlindungan dan konservasi terhadap keanekaragaman hayati dan tumbuhan
maupun satwa liar yang terancam punah.
Konvensi Keanekaragaman Hayati mendefinisikan Keanekeragaman
Hayati sebagai ‘variabilitas pada makhluk hidup dari segala sumber yang meliputi,
antara lain, ekosistem darat, laut dan akuatik lainnya serta kompleks ekologi tempat

mereka menjadi bagian.6 Hal ini termasuk dalam satu spesies, antarspesies dan
ekosistem’. Tujuan dari CBD secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 1 CBD, yaitu:
a. Konservasi keanekaragaman hayati;
b. Pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan; dan
c. Membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya
genetik secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap
sumber daya genetik dan dengan alih teknologi yang tepat guna, dan dengan
memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya dan teknologi itu, maupun
dengan pendanaan yang memadai.7
Selain itu, terdapat beberapa poin penting yang terdapat dalam Pembukaan CBD,
antara lain:

5

Andri Gunawan Wibisana dkk., Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,
2015), hlm. 3.
6
CBD Pasal 2.

7
Terjemahan Resmi Salinan Naskah Asli Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Keanekaragaman Hayati, http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/LingkunganHidup/IND-PI-11992-CBD%20Indo.pdf, diakses 29 Desember 2017, pukul 11:45 WIB.

2

a. Sadar akan nilai instrinsik (bawaan) keanekaragaman hayati dan nilai ekologi,
genetik, sosial, ekonomi, ilmiah, pendidikan, budaya, rekreasi dan estetika
keanekaragaman hayati dan komponen-komponennya;
b. Sadar juga akan pentingnya hayati keanekaragaman hayati bagi evolusi dan
untuk memelihara sistem-sistem kehidupan di biosfer yang berkelanjutan;
c. Menegeskan bahwa konservasi keankeragaman hayati merupakan kepedulian
bersama seluruh umat manusia;
d. Menegaskan kembali bahwa Negara-negara mempunyai hak berdaulat atas
sumber daya hayatinya;
e. Menegaskan kembali juga bahwa Negara-negara bertanggung jawab terhadap
konservasi keanekaragaman hayati dan terhadap pemanfaatan sumber daya
hayatinya secara berkelanjutan;
f. Memperdulikan


bahwa

keanekaragaman

hayati

sedang

mengalami

pengurangan yang nyata karena kegiatan tertentu manusia; dst.8
CBD merupakan bagian dari sejumlah kesepakatan yang dihasilkan dari
Pertemuan KTT Bumi pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. CBD adalah
perjanjian multilateral negara-negara anggota konvensi dalam penyelesaian
masalah global mengenai keanekaragaman hayati. Pada prinsipnya setiap negara
memiliki hak berdaulat untuk memafaatkan sumber daya hayati sesuai dengan
kebijakan pembangunan lingkungannya masing-masing dan juga mempunyai
tanggung jawab bahwa kegiatan tersebut tidak menimbulkan dampak terhadap
negara lain. Negara-negara yang meratifikasi CBD bertanggung jawab melakukan
konservasi dan pembangunan berkelanjutan keanekaragaman hayati.9

Perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati
dilakukan melalui penetapan kawasan konservasi, pemulihan ekosistem yang rusak,
dan pengendalian spesies asing. Untuk mendukung kegiatan itu negara juga
bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan dan kesadaran masyarakat,
pelatihan, penelitian, transfer teknologi, pertukaran informasi, kerja sama teknis
dan imiah serta dukungan pendanaan. Konvensi CBD mendukung konservasi in
8
9

Ibid.
Andri Gunawan Wibisana dkk., Op. Cit., hlm. 33

3

situ (pada habitat alami), dan juga ex situ. Konsrvasi ex situ merupakan pendukung

konservasi in situ dan lebih baik dilakukan pada negara asalnya.10 Berdasarkan
Konvensi UNCBD (United Nations Convention on Biological Diversity), Negaranegara anggota menyepakati untuk melakukan konservasi in situ melalui kegiatankegiatan sebagai berikut:
a. Membuat sistem kawassan konservasi untuk keanekaragaman hayati;
b. Membangun pedoman pengelolaan kawasan konservasi untuk keanekaragaman

hayati;
c. Mengatur atau mengelola sumber dayat hayati yang penting untuk konservasi
keanearagaman hayati baik di dalam ataupun di luar kawasan konservasi secara
berkelanjutan;
d. Mendorong perlindungan ekosistem, habitat alami dan pemeliharaan populasi
spesies di lingkungan alami;
e. Mendorong pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di area
sekitar kawasan konservasi;
f. Rehabilitasi dan restorasi ekosistem yang rusak dan mendukung pemulihan
spesies yang terancam punah, melalui pembangunan dan pelaksanaan rencana
atau strategi pengelolaan lainnya;
g. Mengendalikan risiko terkait organisme hasil modifikasi genetik;
h. Pengendalian spesies yang mengancam ekosistem, habitat atau spesies.
i. Menyediakan kondisi yang diperlukan untuk konservasi keanekaragaman
hayati dan keberlanjutannya;
j. Menghormati kearifan lokal dalam konservasi;
k. Bekerja sama dalam penyediaan pendanaan dan dukungan untuk konservasi in
situ.11

Konservasi ex-situ yang diatur di dalam CBD adalah:

a. Melakukan upaya konservasi ex-situ untuk komponen hayati, diutamakan di
Negara asalnya;

10
11

Ibid., hlm. 34.
Ibid. hlm. 35.

4

b. Membangun dan memelihara fasilitas konservasi ex-situ dan melakukan
penelitian terhadap tumbuhan, satwa dan mikroorganisme, diutamakan di
Negara asal sumber genetik;
c. Melakukan upaya untuk pemulihan dan rehabilitasi spesies terancam punah dan
untuk pelepasan kembali ke habitat alami dalam kondisi yang sesuai;
d. Mengatur dan mengelola koleksi sumber daya hayati dari habitat alami untuk
tujuan konservasi ex-situ dengan tidak mengancam ekosistem dan populasi insitu spesies, kecuali diperlukannya upaya khusus ex-situ yang sementara

diperlukan pada butir c di atas, dan;

e. Bekerja sama dalam penyediaan pendanaan dan dukungan lainnya.12
Selain CBD, terdapat beberapa perjanjian internasional lain yang berkaitan
dengan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem, antara lain:
a. Cagar Biosfer, ditetapkan oleh UNESCO sebagai bagian dari program Man and
Biosphere, tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara melestarikan
keanekaragaman hayati, pembangunan ekonomi dan kebudayaan.
b. ASEAN Heritage Parks (AHPs), merupakan konservasi di wilayah ASEAN
yang penting karena memiliki keunikan keanekaragaman, ekosistem,
kehidupan liar dan nilai-nilai yang tinggi. Tujuannya untuk memelihara proses
ekologis dan sistem pendukung kehidupan; mengawetkan keanekaragaman
genetik; memastikan pemanfaatan spesies dan ekosistem berkelanjutan, serta
menjaga kondisi ekosistem yang memiliki nilai-nilai keindahan alam, budaya,
pendidikan, penelitian dan wisata.
c. Konvensi Ramsar (Convention on Wetlands of International Importance
Especially as Waterfowl Habitat 1971), bertujuan sebagai konservasi dan

pemanfaatan lahan basah secara bijaksana melalui aksi nasional untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia.13
d. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity
(Cartagena


Protocol),

disusun

berdasarkan

prinsip

kehati-hatian

(precautionary approach ) sebagaimana tercantum dalam Prinsip 15 Deklarasi
12
13

Ibid.
Ibid., hlm. 36.

5


Rio 1992 yang berkaitan dengan persinggahan, penanganan, pemanfaatan, dan
perpindahan lintas batas negara dari Living Modified Organisms (LMOs /
Organisme Hail Modifikasi / OHM) untuk menjamin tingkat perlindungan yang
memadai dan aman bagi lingkungan hidup dan kesehatan manusia.14 Sedangkan
ruang lingkup protokol ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 meliputi
perpindahan lintas batas, persinggahan, penanganan dan pemanfaatan semua
LMOs yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap konservasi dan
pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Dalam pengaturan
protokol, LMOs dikategorikan menjadi tiga jenis pemanfaatan yaitu LMOs
yang diintroduksi ke lingkungan; LMOs yang ditujukan untuk pemanfaatan
langsung sebagai pangan atau pakan atau untuk pengolahan; dan LMOs untuk
pemanfaatan terbatas (penelitian).15
e. Nagoya Protocol on Acces and Benefit Sharing from their Utilization, tujuannya
untuk mengikat para pihak dalam mengatur akses atas sumber daya genetik dan
pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari pemanfaatan
sumber daya genetik. Sumber daya genetik tersebut tidak secara bebas diperjual
belikan, namun dalam mengakses harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam
protokol yaitu berdasarkan persetujuan atas dasar informasi awal (Prior
Informed Consent) dan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms ), serta

keterlibatan masyarakat adat/tradisional dan untuk mencegah pencurian
keanekaragaman hayati (Biopiracy). Protokol Nagoya tidak hanya mengatur
tentang akses sumber daya genetik tetapi juga produk turunan (derivative) dan
pemanfaatannya.16

14

Cartagena Protocol merupakan tindak lanjut dari Pasal 8 dan 19 CBD yang khusus mengatur
pengaruh bioteknologi terhadap keanekaragaman hayati. Keterangan Pemerintah Mengenai
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengesahan Protokol Cartagena tentang
Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, hlm. 14.
15
Ibid., hlm. 15.
16
Keanekaragaman Hayati, dalam http://www.slideshare.net/tiwirani3/keanekaragaman-hayati46410617, dakses 27 Desember 2017, pukul 11:33 WIB.

6

Di Indonesia sendiri, peraturan per-Undang-Undang-an terkait konservasi
keanekaragaman hayati dan perlindungan ekosistem di Indonesia dapat ditemukan
dalam beberapa produk hukum di bawah ini, antara lain:
a. UUD Pasal 33 ayat (3) : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
b. TAP MPR No. IX/MPR/2000 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Salah satu prinsip adalah, “Memelihara keberlanjutan yang
dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun
generasi akan mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya
dukung lingkungan.”
c. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. UU
ini menetapkan ekosistem sebagai salah satu keanekaragaman hayati yang perlu
dijamin keberadaaan dan keberlanjutannya bagi kehidupan manusia.
d. UU No. 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman.
e. UU No. 5/1994 tentang Pengesahan UNCBD.
f. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Hutan merupakan salah satu ekosistem
yang kompleks dan UU ini mengatur pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya.
Fungsi lindung dan fungsi konservasi dipertahankan untuk menjamin
keanekaragaman hayati di tingkat ekosistem terjaga.
g. UU No. 39/2014 tentang Perkebunan. UU ini lebih fokus pada keanekaragaman
hayati sumber daya genetik tanaman perkebunan.
h. UU No. 21/2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena tentang Keamanan
Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati. Inti dari UU ini adalah
keamanan penerapan produk bioteknologi modern yaitu Organisme Hasil
Modifikasi Genetik (OHMG). Pengamanan diperlukan untuk menghindari
pengaruh merugikan terhadap keanekaragaman hayati, termasuk ekosistem,
serta resiko terhadap kesehatan manusia.
i. UU No. 45/2009 tentang Perikanan. Pemmerintah menetapkan kawasan
konservasi ekosistem sumber daya ikan, antara lain suaka alam perairan, taman
nasional perairan, taman wisata perairan, dan/atau suaka perikanan.

7

j. UU No. 27/2007 (UU Mo. 1/2014) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau kecil. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
merupakan

ekosistem

yang

dijamin

keberadaan,

ketersediaan

dan

kesinambungannya.
k. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU
ini dimaksudkan sebagai aturan terpenting dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup akibat kegiatan manusia dalam upaya pemanfaatan sumber
daya alam. Salah satu tujuan adalah menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk hidup dan kelestarian ekosistem. Dalam UU terdapat instrumen untuk
perencanaan, serta pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH),
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk tingkat kebijakan, serta
AMDAL untuk tingkat kegiatan.
l. UU No. 11/2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Acces to Genetic
Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their
Utilization to the CBD .17

Sebagai contoh (meskipun bukan di Indonesia), kasus terkait upaya
perlindungan dan penciptaan nilai keanekaragaman hayati dapat dilihat dalam
praktik rehabilitasi oleh perusahaan tambang yang dilakukan di Lembah Upper
Hunter, New South Wales, Australia sejak tahun 2006 sampai dengan 2011.18
Tambang batu bara Dartbrook milik Anglo American yang terletak di wilayah
Upper Hunter telah diberhentikan sementara untuk perbaikan dan perawatan sejak
tahun 2006, namun kegiatan restorasi keanekaragaman hayati terus berlanjut. Di
bawah kemitraan dengan Hunter Central Rivers Catchment Managament Authority
(yang kini berubah menjadi Local Land Services Hunter ), baru-baru ini Anglo
American merampungkan proyek peningkatan stabilitas tepi sungai dan perbaikan
keanekaragaman hayati di sepanjang 6,5 km di tepian Sungai Hunter yang telah

17

Andri Gunawan Wibisana dkk., Op. Cit., hlm. 37-39.
Kelompok Kerja Australian Government, Pengelolaan Keanekaragaman Hayati: Praktik Kerja
Unggulan dalam Program Pembangunan Berkesinambungan untuk Indutsri Pertambangan
(Unknown, 2016), hlm. 21.

18

8

berjalan selama lima tahun.19 Dalam rangka memperbaiki kesehatan sungai, proyek
ini membangun dan memasang 20 gelondong kayu dan ditambah dengan dua
struktur gelondong kayu kompleks yang mereka sebut sebagai ‘hotel ikan’ karena
bangunan ini menciptakan kolam yang dalam yang berfungsi sebagai tempat
berlindung bagi spesies ikan asli.20
Akibatnya, aliran sungai menjadi lebih kompleks sehingga tercipta
rangkaian aliran dalam dan dangkal yang baru. Manfaat ekstra yang diperoleh dari
struktur ini adalah peningkatan stabilitas tepi sungai. Hal ini menguntungkan bagi
spesies ikan asli seperti kakap putih dan menghalau spesies ikan pendatang seperti
gurame. Nelayan setempat sudah melihat adanya peningkatan jumlah ikan asli di
sungai.21
Aspek proyek lainnya melibatkan restorasi tumbuhan di sepanjang 6,5 km
tepian sungai. Tepi sungai tersebut kehilangan stabilitasnya dan mengalami erosi
akibat aliran sungai setelah di masa lalu tumbuhan river red gum (Eucalyptus
camaldulensis) dibersihkan untuk membuka lahan bagi pertanian. Benih river red

gum selalu gagal bertunas sampai akhirnya Anglo American mengalirkan air sisa
banjir ke daerah tersebut setalah turun hujan deras di tahun 2007. Kegiatan lainnya
meliputi pemasangan pagar untuk mengahalau ternak dari tepi sungai dan
penyediaan palungan berisi air minum agar ternak tidak minum dari sungai, serta
pencabutan spesies tumbuhan pendatang seperti dedalu. Selain itu, beberapa ribu
bibit river red gum yang ditanam dari benih yang diambil dari lokasi di Dartbrook
juga ditanam. Dengan tunas-tunas ini, luas habitat pohon tersebut yang tersisa
bertambah sebanyak 8 ha sehingga menjadikannya. Salah satu populasi spesies
river red gum terbesar di Hunter Valley. Restorasi ini tidak berhubungan dengan
rehabilitasi lokasi tambang tetapi dilaksanakan sebagai bagian dari komitmen
Anglo American untuk menerapkan praktik unggulan pengelolaan lahan.22
Di lain pihak, CITES merupakan konvensi yang mengontrol dan mencegah
perdagangan spesies langka (endangered species), baik itu satwa maupun
19

Ibid.
Ibid.
21
Ibid.
22
Ibid.
20

9

tumbuhan. CITES adalah salah satu konvensi yang dianggap paling efektif dalam
konservasi satwa dan tumbuhan, karena konvensi ini adalah salah satu dari sedikit
konvensi yang menyediakan sanksi bagi ketidaktaatan (non-compliance).23 CITES
sepenuhnya ditujukan untuk mengontrol dan mencegah perdagangan komersial
spesies langka dan produk turunannya.24 Menurut Hunter, et al., inti dari CITES
adalah sistem perdagangan berdasarkan kategori spesies yang dimuat di dalam
lampiran-lampiran (Appendices) dari CITES. Penempatan sebuah spesies di dalam
lampiran tertentu akan menentukan ketat tidaknya kontrol atas perdagangan spesies
tersebut dan spesimennya.25 Dengan demikian, CITES meliputi tidak hanya spesies
langka, tetapi juga spesimen (specimen) dari spesies tersebut.
Spesies menurut CITES meliputi spesies, subspesies, atau populasi yang
terpisah secara geografis (species, subspecies, or geograpically separate
population thereof).26 Sedangkan spesimen meliputi satwa atau tumbuhan yang

masih hidup atau sudah mati (any animal or plant, wheter alive or dead), serta
bagian atau turunan yang dapat dikenali dengan mudah (readily recognizable part
or derivative) dari satwa atau tumbuhan tersebut.27 CITES mewajibkan Negara

Anggota untuk menunjuk Management Authority, sebagai otoritas yang akan
memberikan izin terkait perdagangan spesies yang termasuk di dalam Lampiran
CITES serta Scientific Authority, sebagai otoritas yang akan memberikan
pandangan/nasihat ilmiah terkait ekspor dan impor tersebut.28 Di Indonesia,
Management Authority adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

(PHKA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan untuk
Scientific Authority adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat

Penelitian Biologi.29
23

Patricia Birnie, Alan Boyle, and Catherine Redgwell, International Law and the Environment
(Oxford: Oxford University Press, 2009), p. 685.
24
Ibid.
25
David Hunter, James Salzman, and Durwood Zaekel, International Environment Law and Policy.
Sebagaimana dikutip dalam Andri Gunawan Wibisana dkk., Op. Cit., hlm. 11
26
The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES),
12 ILM.1085 (1973), Pasal 1 huruf a. Sebagaimana dikutip dalam Ibid.
27
CITES Pasal I huruf b. Sebagai contoh, yang termasuk sebagai spesimen adalah seekor gajah serta
gading dari gajah tersebut. Ibid. Atau bisa juga seperti halnya Badak Jawa dan cula dari Badak Jawa.
28
CITES Pasal IX.
29
Andri Gunawan Wibisana dkk., Loc. Cit.

10

CITES membagi kategori spesies ke dalam 3 kelompok Lampiran.
Lampiran I berisi spesies yang terancam punah (threatened with extinction) yang
akan atau dapat terganggu dengan adanya perdagangan. Perdagangan spesimen dari
spesies Lampiran I harus diatur secara ketat agar tidak membahayakan
kelangsungan hidup spesies, serta hanya boleh diizinkan untuk keadaan luar biasa.30
Lampiran II berisi dua kelompok spesies. Kelompok pertama , adalah seluruh
spesies yang bukan merupakan spesies yang terancam punah, tetapi akan menjadi
terancam punah apabila perdagangan spesimen dari spesies tersebut tidak diatur
secara ketat guna mencegah pemanfaatan yang membahayakan kelangsungan hidup
dari spesies tersebut. Kelompok kedua , adalah spesies yang juga harus diatur untuk
menjamin agar perdagangan spesimen dari spesies pada kelompok pertama dapat
dikontrol secara efektif.31 Spesies pada kelompok kedua inilah yang disebut sebagai
“look-alike species”, yaitu spesies yang sebenarnya tidak terancam, tetapi memiliki
kemiripan dengan spesies yang dapat terancam apabila perdagangannya tidak
diatur.32
Lampiran III berisi spesies menurut hukum nasional dari Negara Peserta
adalah spesies yang eksploitasinya harus dicegah atau dibatasi, dan karenanya
memerlukan kerja sama dengan Negara Peserta lainnya. 33 Dengan demikian,
spesies pada Lampiran II adalah spesies yang paling tidak terancam kepunahan oleh
adanya perdagangan.34 CITES mewajibkan Negara Peserta untuk tidak
mengizinkan adanya perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk dalam
Lampiran I, II dan III, kecuali jika perdagangan tersebut dilakukan dengan tata cara
yang diatur dalam CITES.35

30

CITES Pasal II par. 1.
CITES Pasal II, par 2.
32
Hunter et al., menyebut look-alike species sebagai spesies yang memiliki kemiripan dengan
spesies pada Lampiran I. Lihat David Hunter, James Salzman and Durwood Zaelke, p. 1037
sebagaimana dikutip dalam Andri Gunawan Wibisana dkk., Op. Cit., hlm. 12. Pendapat ini sedikit
berbeda dengan yang secara tegas dinyatakan di dalam CITES Pasal II paragraf 2. Andri Gunawan
Wibisana dkk., dalam kutipan yang sama.
33
CITES Pasal II, par 3.
34
Andri Gunawan Wibisana dkk., Loc. Cit.
35
CITES Pasal II, par 4.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penjelasan Lampiran I, II dan III CITES dan kewajiban
lain Negara Anggota dapat dilihat dalam Andri Gunawan Wibisana dkk., Op. Cit., hlm. 12-19.
31

11

Indonesia telah meratifikasi CITES pada tahun 1978 melalui Keputusan
Presiden No. 43 tahun 1978 tentang Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Dengan ratifikasi ini

Indonesia memiliki beberapa kewajiban diantaranya:36
a. Menetapkan hukum nasional terkait implementasi CITES. Hal ini terlihat dari
Resolution Conf. 8.4 (Rev. CoP15) yang meminta negara anggota untuk

memenuhi kewajibannya di CITES dengan melalui kebijakan, Undang-Undang
dan prosedur yang tepat.
b. Memberikan laporan tahunan mengenai perdagangan kepada Sekretariat
CITES, sesuai dengan Pasal III, par. 6 CITES.
c. Membayar iuran berdasarkan penilaian yang ditentukan oleh PBB.
d. Berpatisipasi dan berperan aktif di dalam pertemuan para pihak (Conference of
Parties, COP).

UU yang dianggap sebagai dasar implementasi dari CITES adalah UU No.
5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. UU ini
memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok dan mencakup keseluruhan aspek
dari konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Karena itulah, maka
UU ini memuat ketentuan yang sangat umum, dan kemudian pengaturan yang
mendetail diserahkan kepada peraturan pelaksananya. Di samping itu, UU No. 5
tahun 1990 disusun berdasarkan keperluan untuk memiliki peraturan perundangundangan yang bersifat nasional dan menyeluruh terkait konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, guna memberikan dasar hukum bagi upaya
“perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi
kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan manusia.”37 UU No. 5
tahun 1990 ini melarang setiap orang untuk:38

Windy Vidya Pratita. “Analisis Terhadap Upaya Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa
Yang Dilindungi (Studi Kasus: Perdagangan Ilegal Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning)”,
sebagaimana dikutip dalam Andri Gunawan Wibisana dkk., Ibid., hlm. 21.
37
Ibid., hlm. 20.
38
Pasal 21 ayat (1) UU No. 5 tahun 1990.

36

12

a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalamkeadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di
luar Indonesia.
Disamping itu, setiap orang juga dilarang untuk:39
c. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup;
d. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan mati;
e. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat
lain di dalam atau di luar Indonesia;
f. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian
lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat
lain di dalam atau di luar Indonesia; dan
g. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
UU No. 5 tahun 1990 menentukan bahwa jika terdapat terjadi pelanggaran
terhadap berbagai larangan di atas, maka tumbuhan dan satwa tersebut dirampas
untuk negara.40 Selain itu, UU juga menyatakan bahwa jenis tumbuhan dan satwa
yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan
ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak
memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.41

39

Pasal 21 ayat (2) UU No. 5 tahun 1990.
Pasal 24 ayat (1) UU No. 5 tahun 1990
41
Pasal 24 ayat (2) UU No. 5 tahun 1990.
40

13

Dari materi yang diatur di dalam Undang –undang ini Undang-undang No.
5 Tahun 1990 mengandung kelemahan mendasar untuk pelaksanaan CITES,
yaitu:42
a. Hanya mengkategorisasi jenis menjadi dilindungi dan tidak dilindungi.
b. Bagi jenis dilindungi ketentuan mengenai sanksi terhadap pelanggaran diatur
jelas dan cukup memadai.
c. Bagi jenis tidak dilindungi, tidak ada ketentuan tentang sanksi apabila terjadi
pelanggaran, padahal banyak jenis tidak dilindungi di Indonesia yang termasuk
dalam Appendiks CITES.
Ketentuan lebih lanjut terkait perlindungan spesies dapat ditemukan dalam
dua peraturan pemerintah, yaitu: PP. No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, dan PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar. PP No. 7 tahun 1999 dibuat dalam rangka memberikan
landasan hukum mengenai pengawetan tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
Upaya pengawetan ini ditujukan untuk: a). Menghindarkan jenis tumbuhan dan
satwa dan bahaya kepunahan; b). Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem
yang ada; dan c). Agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara
berkelanjutan.43 Selain dari itu, PP No. 7 tahun 1999 mendefinisikan tumbuhan dan
satwa dilindungi apabila memenuhi kriteria:44 a). Mempunyai populasi yang
kecil;45 b). Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;46 c).

42

Windy Vidya Pratita, Op. Cit., hlm. 114.
Pasal 2 PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
44
Pasal 5 ayat (1) PP No. 7 tahun 1999
45
Suatu jenis mempunyai populasi yang kecil apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. berdasarkan observasi, dugaan maupun proyeksi terdapat penurunan secara tajam pada
jumlah individu dan luas serta kualitas habitat;
b. setiap sub populasi jumlahnya kecil;
c. mayoritas individu dalam satu atau lebih fase sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi hanya
pada satu sub populasi saja;
d. dalam waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;
atau
e. karena sifat biologis dan tingkah laku jenis tersebut seperti migrasi, jenis tersebut rentan
terhadap bahaya kepunahan.
Penjelassan Pasal 5 ayat (1) huruf a, PP No. 5 tahun 1999.
46
Suatu jenis dikatakan mengalami penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam jika
diketahui:
43

14

Daerah penyebaran yang terbatas (endemik).47 Selain itu, PP ini juga menyatakan
bahwa tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria dilindungi wajib dilakukan
upaya pengawetan.58 Pengawetan ini meliputi kegiatan pengelolaan di dalam
habitatnya (in situ),48 dan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk
menambah dan memulihkan populasi.49 Lebih dari itu, hal yang sangat penting yang
diatur dalam PP No. 7 tahun 1999 adalah Lampiran dari PP ini yang berisi
penetapan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Pemasukkan atau
pengeluaran suatu jenis tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dapat
dilakukan dengan Keputusan Menteri berdasarkan pertimbangan dari Otoritas
Keilmuan (Scientific Authority).50
Sementara itu, PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar memuat ketentuan mengenai pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Menurut PP ini, kegiatan pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk: a). Pengkajian,
penelitian dan pengembangan; b). Penangkaran; c). Perburuan; d). Perdagangan; e).

a.

observasi di mana saat ini sedang terjadi penurunan tajam atau terjadi di waktu yang telah
lampau namun ada potensi untuk terjadi kembali; atau
b. dugaan atau proyeksi yang didasarkan pada setidaknya salah satu dari: 1). penurunan areal
atau kualitas habitat; 2). ancaman dari faktor luar seperti adanya pengaruh patogen,
kompetitor, parasit, predator, persilangan, jenis asing (jenis introduksi) dan pengaruh racun
atau polutan; atau 3). menurunnya potensi reproduksi.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf b, PP No. 5 tahun 1999.
47
Daerah penyebaran yang terbatas ditunjukkan dengan terpenuhinya salah satu dari kriteria di
bawah ini:
a. terjadi fragmentasi populasi;
b. hanya terdapat di satu atau beberapa lokasi (endemik);
c. terjadi fluktuasi yang besar pada jumlah sub populasi atau jumlah areal penyebarannya;
d. berdasarkan observasi, dugaan maupun proyeksi terdapat penurunan yang tajam pada
setidaknya salah satu dari: 1). areal penyebaran; 2). jumlah sub populasi; 3). jumlah
individu; 4). luas dan kualitas habitat; 5). potensi reproduksi.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf c, PP No. 5 tahun 1999.
48
Pasal 8 ayat (1) PP No. 7 tahun 1999.
Selanjutnya disebutkan pula bahwa pengawetan in situ meliputi kegiatan: a). Identifikasi; b).
Inventarisasi; c). Pemantauan; d). Pembinaan habitat dan populasinya; e). Penyelamatan jenis; f).
Pengkajian, penelitian dan pengembangannya. Pasal 8 ayat (3), PP No. 7 tahun 1999.
49
Pasal 8 ayat (2) PP No. 7 tahun 1999.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kegiatan pengawetan ex situ meliputi kegiatan: a). Pemeliharaan;
b). Pengembangbiakan; c). Pengkajian, penelitian dan pengembangan; d). Rehabilitasi satwa; dan e.
Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa. Pasal 8 ayat (4) PP No. 7 tahun 1999.
50
Pasal 4 ayat (3), PP No. 7 tahun 1999.

15

Peragaan; f). Pertukaran; g). Budidaya tanaman obat-obatan; dan h). Pemeliharaan
untuk kesenangan.51
Terkait kegiatan perdagangan tumbuhan dan satwa liar, PP No. 8 tahun 1999
menetapkan beberapa ketentuan. Pertama , PP menyatakan bahwa tumbuhan dan
satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi,
yang diperoleh dari hasil penangkaran atau pengambilan atau penangkapan dari
alam.52 Kedua , perdagangan tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh
Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia setelah mendapat
rekomendasi Menteri.53 Ketiga , badan usaha ini wajib: a). memiliki tempat dan
fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang memenuhi syarat-syarat
teknis; b). menyusun rencana kerja tahunan usaha perdagangan tumbuhan dan
satwa; dan c). menyampaikan laporan tiap-tiap pelaksanaan perdagangan tumbuhan
dan satwa.54 Di samping itu, badan usaha tersebut juga memiliki kewajiban untuk
membayar pungutan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.55
Keempat, perdagangan tumbuhan dan satwa liar diatur berdasarkan lingkup

perdagangan: a). dalam negeri; dan b). ekspor, re-ekspor, atau impor.56 Kelima ,
perdagangan tumbuhan dan satwa liar wajib dilengkapi dengan dokumen yang
sah.57 Keenam, perdagangan tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan ekspor, reekspor, atau impor dilakukan atas dasar izin Menteri.58 Ketujuh, dokumen ekspor,
re-ekspor, dan impor dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat: a).
memiliki dokumen pengiriman atau pengangkutan; b). izin ekspor, re-ekspor, atau
impor; dan c). rekomendasi otoritas keilmuan (Scientific Authority).59 Kedelapan,
tumbuhan dan satwa liar yang dieskpor, reekspor, atau impor wajib dilakukan

51

Pasal 3, PP No. 8 tahun 1999.
Pasal 18, PP No. 8 tahun 1999.
53
Pasal 19 ayat (1), PP No. 8 tahun 1999.
Dikecualikan dari ketentuan ini adalah perdagangan dalam skala terbatas oleh masyarakat yang
tinggal di dalam dan sekitar Areal Buru dan di sekitar Taman Buru berdasarkan peraturan mengenai
perburuan satwa buru. Pasal 19 ayat (2), PP No. 8 tahun 1999.
54
Pasal 20 ayat (1), PP No. 8 tahun 1999.
55
Pasal 21, PP No. 8 tahun 1999.
56
Pasal 22 ayat (1), PP No. 8 tahun 1999.
57
Pasal 22 ayat (2), PP No. 8 tahun 1999.
58
Pasal 24 ayat (1), PP No. 8 tahun 1999.
59
Pasal 24 ayat (2), PP No. 8 tahun 1999.
52

16

tindak karantina untuk memeriksa kesehatan jenis tumbuhan dan satwa liar serta
kelengkapan dan kesesuaian spesimen dengan dokumen.60 Kesembilan, kegiatan
ekspor, re-ekspor, atau impor tumbuhan dan satwa liar tanpa dokumen atau
memalsukan dokumen atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) termasuk dalam pengertian penyelundupan.61
Kasus terkait implementasi CITES di Indonesia dapat dilihat dalam upaya
konservasi Ramin di Riau.62 Ramin tersebar di Riau khususnya pada lahan gambut
yang berada di kawasan teridentifikasi memiliki tegakan pohon Ramin antara lain:
Hutan Lindung Giam-Siak Kecil, Suaka Margasatwa Danau Bawah dan Danau
Pulai Besar, Suaka Margasatwa Tasik Belat, Suaka Margasatwa Tasik Sekap, Suaka
Margasatwa Bukit Batu. Selain di kawassan konservasi, di beberapa hutan produksi
yang dikelola oleh perusahaan kehutanan diindikasikan masih ada tegakan Ramin
dalam jumlah yang tergolong kecil. Hak Penguasaan Hutan (HPH) PT. Diamond
Raya Timber, PT. Rokan Permai, PT. Triomas FD (ketiganya anak perusahaan
Grup Uniseraya), PT. Inhutani IV di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) dan Ijin
Pemanfaatan Kayu (IPK) PT. Uniseraya merupakan beberapa perusahan kehutanan
yang memiliki tegakan jenis Ramin.63
Eksploitasi kayu ramin yang berlebihan dan hanya mengandalkan dari
sebaran alamnya telah mengakibatkan penurunan populasi ramin dengan sangat
cepat. Berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species, status konservasi ramin
tergolong rawan dengan kategori VU A1cd. Status tersebut mengindikasikan terjadi
penurunan populasi berdasarkan observasi, kesimpulan dan dugaan lebih dari 20%
selama lebih dari 10 tahun terakhir atau 3 generasi atau manapun dari keduanya
yang lebih lama berdasarkan penurunan wilayah penyebaran, wilayah keberadaan
dan/atau penurunan kualitas habitat dan tingkat eksploitasi potensial dan aktual.

60

Pasal 25, PP No. 8 tahun 1999.
Pasal 26, PP No. 8 tahun 1999.
62
Provinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki lahan gambut yang terluas di Sumatra, sekitar
4,044 juta ha (56,1% dari luas lahan gambut Sumatra atau 45% dari luas daratan Provinsi Riau.
Johan Duranes. “Implementasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)
dalam Upaya Konservasi Ramin di Riau – Indonesia.” eJournal Ilmu Hubungan Internasional,
Volume 4, Nomor 4, (2016): 1178.
63
Ibid.
61

17

Pada tahun 2001 Menteri Kehutanan melakukan moratorium melalui keputusan
menteri Nomor 127/Kpts-V/2001 Tanggal 11 April 2001 yang mengharuskan
segala bentuk perdagangan ramin dihentikan sementara, Selain itu Indonesia
mengajukan usulan pencantuman ramin dalam appendix III kepada Sekretariat
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora) pada tanggal 12 April 2001, dan Sekretariat mendistribusikannya

kepada negara anggota CITES melalui Notification to the Parties No 2001/026,
yang menyampaikan bahwa pencantuman ke dalam Appendix III Ramin dari
Indonesia dan resmi berlaku sejak 6 Agustus 2001, Diharapkan dengan
pencantuman Ramin dalam Appendix III CITES, perdagangan illegal ramin dari
Indonesia dapat dikendalikan melalui mekanisme CITES (KEPUTUSAN
MENTERI KEHUTANAN NOMOR 127/Kpts-V/2001).64

64

Ibid.

18

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Birnie, Patricia., Alan Boyle, and Catherine Redgwell, International Law and the
Environment. Oxford: Oxford University Press, 2009.

Kelompok Kerja Australian Government, Pengelolaan Keanekaragaman Hayati:
Praktik Kerja Unggulan dalam Program Pembangunan Berkesinambungan
untuk Indutsri Pertambangan. Unknown, 2016.

Wibisana, Andri Gunawan. dkk., Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Jakarta:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2015.

Jurnal:
Duranes, Johan. “Implementasi Convention on International Trade in Endangered
Species (CITES) dalam Upaya Konservasi Ramin di Riau – Indonesia.”
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 4, (2016).

Soto, Max Valverde. “General Principles of International Environmental Law.”
HeinOnline – 3 ILSA Journal International & Company L. 193 (1996-

1997).

Website:
Keanekaragaman

Hayati,

dalam

http://www.slideshare.net/tiwirani3/keanekaragaman-hayati-46410617,
dakses 27 Desember 2017.

19

Terjemahan Resmi Salinan Naskah Asli Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang

Keanekaragaman

Hayati,

http://storage.jak-

stik.ac.id/ProdukHukum/LingkunganHidup/IND-PI-1-1992CBD%20Indo.pdf, diakses 29 Desember 2017.

Skripsi:
Pratita, Windy Vidya. “Analisis Terhadap Upaya Penegakan Hukum Perdagangan
Ilegal Satwa Yang Dilindungi (Studi Kasus: Perdagangan Ilegal Burung
Kakatua Kecil Jambul Kuning).” Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Januari 2016.
Konvensi Internasional dan Peraturan Per-Undang-Undang-an:
Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity.

Convention on Biological Diversity.

Convention on Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES),
beserta Annexes I, II dan III.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

7 Tahun 1999 tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3803)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 15)

20

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49)

21