INDEKS KONDISI BANGUNAN DAN PENDUGAAN SI

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: http://www.researchgate.net/publication/277305809

INDEKS KONDISI BANGUNAN DAN
PENDUGAAN SISA MASA PAKAI KAYU
KOMPONEN RUMAH SEDERHANA DI ALAM
SINAR SARI – BOGOR (Building Condition Index
and Remaining Service Lifetime Estimation f...
ARTICLE · JULY 2012

DOWNLOADS

VIEWS

9

32

3 AUTHORS, INCLUDING:
Effendi Tri Bahtiar

Arinana Arinana


Bogor Agricultural University

Bogor Agricultural University

27 PUBLICATIONS 8 CITATIONS

9 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

SEE PROFILE

Available from: Effendi Tri Bahtiar
Retrieved on: 23 September 2015

Index Kondisi Bangunan dan Sisa Masa Pakai Kayu

15


INDEKS KONDISI BANGUNAN DAN PENDUGAAN SISA MASA PAKAI KAYU
KOMPONEN RUMAH SEDERHANA DI ALAM SINAR SARI – BOGOR
Building Condition Index and Remaining Service Lifetime Estimation for
Wood Component of Low Cost House at Alam Sinar Sari – Bogor
Effendi Tri BAHTIAR1), ARINANA1), Muhamad Ari KURNIAWAN1)
Corresponding Author: bahtiar_et@yahoo.com
ABSTRACT
The objectives of this research are to evaluate the
performances of the buildings and to estimate the remaining
service lifetime of wood which have been used as components of
17 years old low cost house at Alam Sinar Sari - Bogor. The
most severe degraded rafters and battens of the low cost house
are chosen as samples in order to get the safe estimation. The
performance of all building components are assessed during this
study, then an index of condition is calculated. The index
represented the health of each component whether in good, fine,
lightly damaged, moderately damaged, or severely damaged.
The physical and mechanical properties are measured, and
creep testing is conducted in order to estimate the wood
remaining service lifetime.

Assessment on the house
performance results two different condition index values. The
value of condition index for the front part which was built on 1996
is 67.6%, while the back part which was built on 2002 was
80.2%. Both values justified that the house is still in fine
condition. Wood identification showed the front part of the house
using Saninten (Castanopsis sp.) as battens and Kamper
(Dryobalanops sp.) as rafters. In other hand, the back part of the
house uses Bentawas (Wrightia sp.) as battens and Meranti
(Shorea sp.) as rafters. According to its mechanical properties,
creep testing, and the rate of damaged area, it could be
calculated that the front and back part of the house can safely
serve for residential usage for next 3 and 5 years, respectively.
So it is recommended to set up a renovation in the next 3 years.
Keywords: Battens, building performance, creep testing, low cost
housing, rafters, remaining service lifetime
PENDAHULUAN
Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 2.997,13 km2 memiliki
jumlah penduduk 4,86 juta jiwa (BPS, 2011). Seiring dengan
tingginya jumlah penduduk, kebutuhan perumahan di Kabupaten

Bogor juga terus meningkat. Salah satu pemukiman yang
berkembang pesat di Bogor adalah Perumahan Alam Sinar Sari
yang mulai dibangun tahun 1996. Kaso dan reng merupakan
komponen penyusun atap yang memiliki peranan sangat vital
dalam konstruksi bangunan rumah tinggal. Kaso dan reng rumah
tinggal di Alam Sinar Sari menggunakan kayu sebagai bahan
bakunya. Sebagai material organik, kayu rentan diserang
organisme perusak. Sifatnya yang higroskopis menyebabkan
1

Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor

kayu dipengaruhi oleh fluktuasi suhu dan kelembaban
lingkungan sekitar. Kayu lebih mampu menahan beban
sementara daripada beban jangka panjang. Beban jangka
panjang memberikan deformasi akibat rangkak (creep) yang
dapat mengakibatkan kerusakan. Pendugaan sisa umur pakai
kayu komponen bangunan rumah diperlukan agar engineer
dapat memberikan jaminan seberapa lama lagi sebuah

bangunan mampu melayani penghuninya secara aman.
Pendugaan yang baik mengenai sisa umur pakai komponen
bangunan dapat memberikan gambaran kapan perlu dilakukan
renovasi sehingga menghindari pemborosan sumberdaya akibat
penggantian komponen sebelum waktu layannya berakhir,
namun tetap memberikan rasa aman.
BAHAN DAN METODE
Penilaian Kondisi Bangunan
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode rekayasa forensic
dalam rangka mengukur indeks kondisi bangunan. Obyek yang
diteliti adalah bangunan rumah sederhana berumur 17 (tujuh
belas) tahun di Alam Sinar Sari E213 - Bogor. Komponen
bangunan disurvei menggunakan nilai pembobotan yang sama
pada kriteria pemberian nilai bangunan sederhana tidak
bertingkat yang digunakan Suryadi (2005). Nilai indeks kondisi
bangunan dihitung menggunakan rumus:
BS
Ik  
 100%
(1)

500
Catatan : I k = Indeks kondisi (%)
B
= Bobot kepentingan komponen
S
= Skor nilai hasil survey lapangan
500 = Total skor nilai maksimum kali bobot
Hasil nilai indeks kondisi, kemudian diklasifikasikan menjadi
lima kelas kondisi bangunan yaitu baik, sedang, rusak ringan,
rusak sedang, dan rusak berat seperti yang ditampilkan pada
Tabel 1.
Beberapa reng dan kaso yang mengalami kerusakan paling
parah diambil dari komponen penyusun atap rumah untuk
dijadikan contoh uji. Contoh uji diidentifikasi jenis kayunya,
diukur kadar air dan berat jenisnya, diuji lentur statis, diukur
kedalaman kerusakan, dan dilakukan uji rangkak (creep). Sisa
masa pakai kayu komponen rumah tersebut diestimasi dengan
mengikuti prosedur perhitungan sebagaimana dilakukan Bahtiar
et al. (2012).
Identifikasi jenis kayu

Foto makroskopis bidang lintang dengan perbesaran 30x dan
10x digunakan sebagai bantuan awal. Hasil pemotretan

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)

Bahtiar, et al

16
kemudian dicocokkan dengan Pedoman Identifikasi Kayu
(Mandang dan Pandit, 2002).
Tabel 1. Kategori nilai indeks kondisi bangunan (Sulaiman, 2005)
Indeks
Kategori
Uraian Kondisi Bangunan
Kondisi (%)
81 – 100
Baik Apabila Kondisi pada komponen tersebut
masih berfungsi dengan baik dan ada
pemeliharaan rutin
61 – 80

Sedang Apabila Kondisi pada komponen tersebut
masih berfungsi meskipun tidak ada
pemeliharaan rutin
41 – 60
Rusak Apabila kerusakan terjadi pada komponen non
Ringan struktural lebih sering terlihat sebagai
kerusakan pada pekerjaan finishing, seperti
penutup atap, pasangan plafon, pasangan
keramik pasangan bata, plesteran dan lainlain
21 – 40
Rusak Apabila kerusakan terjadi pada sebagian
Sedang komponen non strukutural maupun struktur
atap, struktur langit-langit, struktur beton,
lantai, dan lain-lain. Pada fasilitas utilitas
kerusakan yang terjadi sudah mengganggu
fungsional dari fasilitas tersebut
0 – 20
Rusak Kerusakan terjadi pada sebagian besar
Berat komponen bangunan, baik struktural maupun
non struktural yang apabila setelah diperbaiki

masih dapat berfungsi dengan baik
sebagaimana mestinya meski dengan
pembiayaan yang cukup mahal.

Pengujian sifat fisis
Pengujian sifat fisis kayu meliputi kadar air (Mc) berat jenis
(), dan degradasi kerapatan di tiap-tiap kedalaman (i). Kadar
air diperoleh dengan cara menimbang contoh uji dalam kondisi
kering udara, dan kondisi setelah dioven selama 24 jam pada
suhu (103±2) oC. Nilai kadar air (Mc) dihitung dengan Persamaan
2:
W  Wo
Mc  a
 100%
(2)
Wo
Catatan : Wa = Berat kayu kering udara (g)
Wo = Berat kayu kering oven (g)
Berat jenis () kayu adalah nilai rasio kerapatan kayu setelah
dioven terhadap kerapatan air (Persamaan 3).

Wo
Vu
(3)
 100%


Vi
=Volume kayu sebelum serutan ke-i (cm3)
V(i+1) =Volume kayu setelah serutan ke-i (cm3)
Apabila kerapatan kayu lebih rendah daripada kerapatan
kayu bagian tengah (kontrol) maka dapat diketahui telah terjadi
degradasi mutu pada kedalaman tersebut. Titik batas degradasi
kayu ditentukan pada pertemuan kerapatan kayu pada tiap
kedalaman dengan kerapatan kontrol. Kayu bagian tengah
digunakan sebagai kontrol karena bagian tersebut tidak
terekspose dan terlindungi dari berbagai faktor perusak.
Pengujian sifat mekanis
Pengujian lentur statis dengan konfigurasi one point loading
(Gambar 1) dilakukan sesuai dengan prosedur British Standard
(BS 373-1957) untuk memperoleh nilai MOE, MOR, defleksi

ketika patah, dan beban maksimum (Pmaks). Contoh uji berukuran
2 cm x 2 cm x 30 cm, sejumlah 10 buah dari setiap komponen
rangka atap.
Pengujian rangkak (creep)
Pengujian rangkak dilakukan untuk menentukan penurunan
kekuatan kayu akibat beban jangka panjang. Konfigurasi
pembebanan yang dipilih adalah pengujian lentur dengan beban
tunggal terpusat di tengah bentang. Contoh uji berukuran 2 cm x
2 cm x 30 cm, dengan jumlah contoh uji sebanyak 6 buah untuk
setiap komponen. Adapun variasi beban (P) yang diberikan pada
masing-masing contoh uji yaitu 10 kgf, 20 kgf, 30 kgf, 40 kgf, 50
kgf dan 60 kgf. Besarnya defleksi diukur per 30 menit pada
setengah hari ke-1, per 1 jam pada setengah hari berikutnya, per
2 jam pada setengah hari ke-2, per 3 jam pada setengah hari
berikutnya, per 4 jam pada setengah hari ke-3, dan selanjutnya
per 6 jam sampai hari ke-15. Data waktu dan defleksi diplotkan
pada diagram cartesius dan dicari hubungannya melalui regresi
linier sederhana dengan transformasi logaritmik. Pengukuran
kelembaban dan suhu lingkungan dilakukan bersamaan dengan
pengukuran defleksi pada uji rangkak.

 air

Catatan : Vu

= Volume kayu kering udara (cm3)
air = Kerapatan air (1 g/cm3)
Pengukuran degradasi kerapatan contoh uji dilakukan pada lima
tingkat kedalaman. Kayu diserut berulang-ulang untuk
mendapatkan kerapatan di tiap-tiap tingkat kedalaman.
Kerapatan kayu di tiap tingkat kedalaman (i) diperoleh dengan
mengukur dimensi dan menimbang berat contoh uji sebelum dan
sesudah diserut. Kerapatan pada setiap tingkat kedalaman
dihitung sesuai dengan Persamaan 4 yang disarankan oleh
Bahtiar et al. (2012):

Wi  W(i1)
Vi  V(i1)
=Berat kayu sebelum serutan ke-i (g)
=Berat kayu setelah serutan ke-i (g)

i 

Catatan : Wi
W(i+1)

(4)

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)

Gambar 1. Bentuk dan ukuran contoh uji lentur
Pendugaan sisa masa pakai kayu
Pendugaan sisa masa pakai kayu ditentukan melalui
perhitungan mekanika teknik yaitu membandingkan sisa
kekuatan dan sisa luas penampang dengan tegangan aktual
yang terjadi. Pendugaan sisa masa pakai kayu pada penelitian
ini dihitung dibawah asumsi bahwa pembangunan rumah tinggal
tersebut telah dilakukan secara efisien, yaitu tegangan rencana
bernilai sama dengan tegangan izinnya. Sesuai dengan
Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI) NI-5 1961, nilai

Index Kondisi Bangunan dan Sisa Masa Pakai Kayu
tegangan izin lentur (  lt ) dapat dihitung berdasarkan berat jenis
()-nya (Persamaan 5):
(5)
 lt  170
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Bangunan
Bangunan yang diteliti merupakan rumah hunian sederhana
berlokasi di Perumahan Alam Sinar Sari E213 - Bogor.
Bangunan asli berupa rumah tipe 21 dibangun tahun 1996,
kemudian pada tahun 2002 ditambahkan bangunan di belakang
bangunan asli. Bahan konstruksi bagian belakang juga tidak
sama dengan bagian belakang.
Sesuai dengan hasil survei lapangan, komponen bangunan
bagian depan memiliki nilai indeks kondisi yang lebih rendah
dibandingkan bangunan bagian belakang yaitu adalah sebesar
67,6% untuk bangunan bagian depan, sedangkan bagian
belakang adalah sebesar 80,2%. Kedua nilai kondisi bangunan
tersebut menurut Sulaiman (2005) menggambarkan bangunan
masih berada dalam kondisi sedang (61%-80%) yaitu komponen
bangunan tersebut masih berfungsi meskipun tidak ada
pemeliharaan rutin.
Perbedaan nilai indeks kondisi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor perusak atau kegagalan
konstruksi. Contoh kegagalan konstruksi yang terjadi adalah
dinding pada bagian sambungan antar rumah disebelahnya tidak
diplester, sehingga air hujan merembes melalui dinding. Faktor
perusak biologis yang ditemukan di dalam rumah diantaranya
rayap, kecoa, jamur, tumbuhan liar, lebah, dan lumut.
Kayu komponen bangunan bagian depan banyak mengalami
penurunan kualitas dibandingkan bagian belakang. Hal tersebut
dibuktikan dengan ditemukannya serangan jamur, rayap tanah,
rembesan air hujan dan retakan pada balok kayu struktur rumah
(Gambar 2). Retakan pada balok kayu dapat segera ditangani
dengan memberikan pelat sambung di samping balok untuk
mengurangi resiko puntiran. Untuk memperpanjang umur pakai
kayu komponen rumah tinggal tersebut, penanganan khusus
perlu dilakukan untuk mencegah semakin berkembangnya
organisme perusak. Tindakan yang direkomendasikan antara
lain fumigasi, pelaburan bahan pengawet, dan pembasmian
koloni rayap.

17
Kadar Air dan Berat Jenis
Kadar air (Mc) keempat contoh uji berada pada kisaran
12,17%-12,91% yaitu kadar air kayu kering udara (Tabel 3).
Kadar air kayu kering udara di Indonesia berkisar 10%-18%
(Kasmudjo 2010). Kaso rumah bagian depan yaitu kayu kamper
memiliki berat jenis (BJ) tertinggi (0,63). BJ kayu terendah (0,38)
adalah kaso rumah bagian belakang yang dibuat dari kayu
meranti. Reng rumah bagian depan juga memiliki BJ cukup
tinggi (0,5) dibandingkan reng rumah bagian belakang yang
memiliki BJ 0,48. Kayu yang memiliki BJ tinggi, umumnya
semakin tinggi pula kekuatannya.
Secara umum dapat dikatakan komponen rumah bagian
depan lebih kuat dibandingkan komponen rumah bagian
belakang karena pemilihan jenis kayu yang lebih baik. Seiring
dengan semakin terbatasnya ketersediaan kayu bermutu tinggi
dewasa ini, kayu-kayu komponen rumah sederhana yang
dibangun lebih akhir umumnya menggunakan kayu yang
bermutu lebih rendah daripada yang dibangun pada masa
sebelumnya. Kayu bentawas dahulu hanya digunakan untuk
perabot rumah tangga, namun kini telah digunakan untuk
komponen struktural seperti reng. Kebanyakan masyarakat telah
memanfaatkan kayu-kayu rakyat dari pohon cepat tumbuh untuk
memenuhi berbagai keperluannya termasuk komponen rumah
sebagai pengganti kayu dari hutan alam.

Identifikasi Jenis Kayu
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa rumah dibangun pada
dua masa yang berbeda, sehingga contoh uji berupa kaso dan
reng diambil dari komponen atap bagian depan dan bagian
belakang. Empat potong contoh uji diambil yaitu Reng Belakang
(RB), Reng Depan (RD), Kaso Belakang (KB), dan Kaso Depan
(KD). Identifikasi jenis kayu dilakukan secara makroskopis dan
dibandingkan dengan Pedoman Identifikasi Kayu (Mandang dan
Pandit 2002). Hasil identifikasi kayu disajikan pada Tabel 2.
Bangunan asli dibangun tahun 1996 menggunakan kayu kamper
(Dryobalanops sp.) untuk kaso dan Saninten (Castanopsis sp.).
untuk reng. Bangunan tambahan pada rumah bagian belakang
menggunakan kayu Meranti (Shorea sp) untuk kaso dan
Bentawas (Wrightia sp.) untuk reng. Mandang dan Pandit (2002)
menyebutkan bahwa jenis meranti, kamper, dan saninten
merupakan jenis kayu yang biasa digunakan untuk bahan
bangunan.

Gambar 2. Beberapa kerusakan yang terjadi pada konstruksi
atap bangunan (retakan, tunnel rayap, serangan white rot,
rembesan air, dan serangan brown rot).
Degradasi Kerapatan
Gambar 3 memperlihatkan degradasi kerapatan pada tiap
kedalaman kayu yang terjadi pada keempat contoh komponen
rumah. Komponen rumah bagian depan (Kaso Depan, Reng
Depan) memperlihatkan grafik yang lebih curam dibandingkan
komponen rumah bagian belakang (Kaso Belakang, Reng
Belakang). Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan yang dialami
komponen rumah bagian depan lebih parah dibanding bagian
belakang. Batas kedalaman kerusakan kayu yang telah terjadi
juga tergambarkan pada Gambar 3. Batas kerusakan kayu

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)

Bahtiar, et al

18
diperoleh dari titik pertemuan kerapatan kontrol dengan kurva
kerapatan dari setiap tingkat kedalaman.
Kontrol yang
digunakan adalah bagian tengah contoh uji. Kaso rumah bagian
depan mengalami degradasi paling tinggi yaitu sedalam 7,86 mm
diikuti dengan reng rumah bagian depan yang mengalami
degradasi sedalam 4,37 mm. Keadaan ini terjadi karena umur
pemakaian dari kayu rumah bagian depan sudah 17 tahun
lamanya. Sedangkan rumah bagian belakang, sebagai
konstruksi tambahan yang baru digunakan selama 11 tahun,
tingkat kerusakannya lebih rendah. Kerusakan kaso dan reng
rumah bagian belakang hanya sedalam 3,22 mm dan 2,92 mm.
0.65
Kontrol=0,62

Kerapatan (g/cm3)

0.60

Kontrol=0,58

0.55

Uji Lentur
Nilai MOE dan SR hasil pengujian lentur statis pada
umummya lebih rendah dibandingkan referensi dari Atlas Kayu
Indonesia (Martawijaya dan Kartasujana, 2005) dan eProsea
(Ba, et al 1995) (Tabel 4). Hasil uji lentur menunjukkan nilai
modulus elastisitas (MOE) yang paling tinggi dari keempat
contoh uji adalah reng rumah bagian belakang dengan nilai MOE
sebesar 126.751 kg/cm2. Sedangkan MOE paling rendah dimiliki
kaso rumah bagian belakang sebesar 74.265 kg/cm2. Reng
rumah bagian depan memiliki nilai Modulus of Rupture (SR)
paling tinggi yaitu 669 kg/cm2. Sedangkan paling rendah adalah
reng rumah bagian depan sebesar 437 kg/cm2. Oleh karena nilai
hasil pengujian pada umumnya lebih rendah daripada referensi,
dapat dikatakan bahwa kayu telah terdegradasi sehingga
kekuatannya menurun.

Kontrol=050

0.50
0.45

Uji Creep (Rangkak)

Kontrol=0.43

0.40

Reng Depan
Reng Belakang
Kaso Depan

0.35
0.30
0

2
4
6
8
Jarak contoh uji dari tepi balok (mm)

10

Gambar 3. Kerapatan contoh uji pada berbagai kedalaman
Tabel 2. Identifikasi kayu secara makroskopis
Photo
Kaso Belakang

Kaso Depan

Padanan (Mandang dan Pandit 2002)
Meranti
Ciri Utama:
(Shorea sp.)
Saluran aksial menyebar
menurut garis tangensial
panjang berisi endapan
putih, pori soliter dan
berganda radial ada
yang berisi tilosis, kayu
teras merah muda
kecoklatan.
Kamper
Ciri Utama:
(Dryobalanops sp.) Saluran aksial menyebar
garis tangensial panjang,
pori soliter beberapa
berisi tilosis, ada yang
bergejala kerinyut, kayu
berwarna merah, bila
segar berbau kamper.

Reng Belakang

Bentawas
(Wrightia sp.)

Reng Depan

Saninten
(Castanopsis .sp)

Ciri Utama:
Kayu kuning pucat,
tekstur halus dan rata,
pori berukuran kecil,
sebagian berganda
radial terdiri atas 2-3
pori, jumlah pori banyak,
jari-jari sempit dan rapat,
parenkima pita pendek di
antara jari-jari.
Ciri Utama:
Kayu berwarna kuning
kecoklatan, porinya
berkelompok radial
hingga diagonal, jarijarinya dua ukuran lebar,
parenkim berbentuk jala

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)

Menurut Mardikanto et al. (2011) kayu yang dibebani secara
terus menerus dengan beban tetap selama 10 tahun,
diperkirakan hanya mampu menahan beban sebesar 60%-nya
dibandingkan pembebanan pada standar waktu pengujian. Bila
pembebanan hanya berlangsung singkat maka kapasitas
menahan beban pada kayu lebih besar dibandingkan bila beban
bekerja dalam jangka waktu panjang.
Tabel 3. Hasil pengujian kadar air (Mc) dan berat jenis ()
Berat
Jenis Kayu
Kadar Air (%)
Jenis
Reng
Saninten
12,9
0,50
Depan
(Castanopsis sp.)
Kaso
Kamper
12,5
0,63
Depan
(Dryobalanops sp.)
Reng
Bentawas
12,6
0,48
Belakang
(Wrightia sp.)
Kaso
Meranti
12,2
0,38
Belakang
(Shorea sp.)
Tabel 4. Rataan Hasil Pengujian MOE dan SR (kgf/cm2)
Pengujian
Referensi
Contoh Uji
MOE
SR
MOE
SR
Reng Depan
104.549 669
103.000*)
978*)
(Saninten)
Kaso Depan
91.204 537 111.000-172.000*) 635 -1100*)
(Kamper)
Reng Belakang
126.751 437
65.750**)
900**)
(Bentawas)
Kaso Belakang
74.265 590 98.000-123.000*) 587-856*)
(Meranti)
Catatan: *) Martawijaya dan Kartasujana (2005);
**) Ba, et al (1995)
Bila kayu dibebani, awalnya kayu akan berubah bentuk
secara elastis. Jika beban diteruskan maka terjadi deformasi
sejalan dengan berjalannya waktu. Kayu yang mendapat beban
terus menerus akan mengalami deformasi plastis, umumnya
sangat lambat namun persisten dalam jangka waktu lama. Inilah
yang dikatakan creep. Meskipun pada tegangan rendah, creep
terus berlangsung selama beban bekerja. Bila bebannya cukup
tinggi maka kerusakan dapat terjadi. Grafik hasil pengujian creep
kayu Saninten disajikan pada Gambar 4.

Index Kondisi Bangunan dan Sisa Masa Pakai Kayu

19

12

Defleksi (mm)

10
8
6
4
2
0
0

50
10 kgf

100
20 kgf

150
200
Jangka waktu pembebanan (jam)
30 kgf

40 kgf

250

300

50 kgf

60 kgf

Gambar 4. Hasil pengujian creep pada kayu saninten sebagai reng komponen rumah depan
Gambar 4 memperlihatkan bahwa defleksi lebih besar
terjadi pada beban tinggi dibandingkan beban yang lebih
ringan. Gejala ini berlaku untuk semua material pada
umumnya, tidak terkecuali kayu, sebagaimana dilaporkan oleh
beberapa peneliti antara lain: Barbara (2000) yang mengukur
creep defleksi pada balok fiberboard, balok chipboard, dan
balok majemuk berpenampang box; Gowda et al. (1996) pada
kayu pinus, spruce, glulam, laminated veneer lumber (LVL),
dan balok I, Leivo (1992) pada kayu gergajian, sambungan nail
plate, dan rangka kuda-kuda. Semua peneliti tersebut
melaporkan bahwa defleksi pada komponen yang menerima
beban permanen akan meningkat dengan semakin tingginya
tingkat beban.
Gambar 4 juga memperlihatkan defleksi yang meningkat
pada jangka waktu pembebanan yang semakin panjang
meskipun besarnya beban yang diberikan adalah tetap. Kurva
creep defleksi mengikuti fungsi logaritma dari lama
pembebanan. Temuan ini diperkuat oleh peneliti sebelumnya
yang melaporkan hal serupa. Bazant and Meiri (1995)
melaporkan bahwa regangan pada kayu spruce pada uji
rangkak dapat dipas dengan fungsi dari waktu yang diskala
logaritmik. Hoffmeyer (1990) juga mencatat bahwa tingkat
tegangan hingga patah memiliki hubungan linier dengan lama
pembebanan dalam skala logaritmik. Sejalan dengan laporan
para peneliti tersebut, maka pendekatan regresi linier
sederhana dengan transformasi logaritmik dilakukan pada
penelitian ini dan menghasilkan Persamaan 6, 7, 8, 9, 10 dan
11 yang memiliki signifikasi model
yang sangat nyata dengan koefisien determinasi (R2) 68,3%95,01%. Dengan demikian persamaan-persamaan tersebut
(Persamaan 6, 7, 8, 9, 10 dan 11) berturut-turut dapat
digunakan untuk menduga besarnya defleksi pada
pembebanan 10 kgf, 20 kgf, 30 kgf, 40 kgf, 50 kgf, dan 60 kgf
dalam jangka waktu tertentu.
(6)
y  0,1389 ln T   0,9620; R2  68,3%

y  0,2623 ln T   0,9397; R2  72,16%

(7)

y  0,2822 ln T   1,8521; R2  90,19%

y  0,3805 ln T   0,9409; R2  77,77%
y  0,4638 ln T   1,9323; R  87,57%
2

y  1,3521 ln T   2,1622; R  95,01%
2

(8)
(9)
(10)
(11)

Catatan

: y = defleksi (mm),
T = jangka waktu pembebanan (jam)
Fluktuasi defleksi pada pengujian rangkak dipengaruhi
oleh fluktuasi suhu dan kelembaban udara ruangan pengujian.
Puncak (peak) pada kurva creep defleksi secara teratur berada
pada jarak yang sama dari puncak kurva suhu dan lembah
kurva kelembaban. (Gambar 5). Gambar 5 memperlihatkan
hubungan antara kelembaban udara dan suhu terhadap
fluktuasi defleksi pada beban 60 kg. Pengukuran terhadap
kelembaban udara menunjukkan fluktuasi yang berbanding
terbalik dengan fluktuasi pada grafik defleksi uji rangkak.
Fenomena ini dapat dijelaskan dengan sifat higroskopis kayu
yang dapat mengembang dan menyusut akibat perubahan
kadar air yang dipengaruhi oleh kelembaban udara.
Sementara itu pada kondisi pembebanan yang sama, semakin
tinggi temperatur, defleksi yang terjadi juga semakin
meningkat. Fenomena serupa berlaku untuk semua tingkat
beban dan semua jenis kayu yang diuji pada penelitian ini.
Hasil pengujian lentur statis kayu saninten pada bentang
28 cm memperlihatkan bahwa rata-rata defleksi pada beban
patah adalah 7,4 mm. Sementara itu, defleksi sebesar 7,4 mm
akibat beban permanen berdasarkan persamaan 1, 2, 3, 4, 5,
dan 6 masing-masing dapat dicapai pada jangka waktu 100
juta tahun; 5,6 juta tahun; 39.300 tahun; 2.690 tahun; 14,98
tahun; dan 0,0055 tahun untuk pembebanan 10 kgf, 20 kgf, 30
kgf, 40 kgf, 50 kgf, dan 60 kgf. Diagram kartesius besarnya
beban permanen yang diperlukan agar contoh uji patah pada
jangka waktu pembebanan tertentu disajikan pada Gambar 6.
Seperti terlihat pada Gambar 6, regresi linier sederhana
dengan transformasi power berhasil mendapatkan Persamaan
12 yang memiliki koefisien determinasi yang cukup tinggi (R2 =

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)

Bahtiar, et al

20

b 





3

,37
T h  417
T
(15)
12
Catatan : b = lebar penampang balok (cm),
h =tinggi penampang balok (cm)
Dengan demikian rasio momen inersia pada kondisi mula-mula
(Ikini) dengan momen inersia pada waktu mendatang (Inanti)
dapat disajikan pada Persamaan 16:
I kini
bh3

(16)
3
,37
,37
I nanti b  417
T h  417
T

I

4,37
17







11
10

70

Defleksi (mm)

9
8

60

7

50

6
5

40

4

30

3
2

Kelembaban (%) dan Suhu (C)

80

20
0

12

24

Defleksi Beban 60 kgf

36
48
60
Waktu Pembebanan
Suhu

72

84

Kelembaban Udara

Gambar 5. Hubungan defleksi dengan fluktuasi suhu dan
kelembaban udara

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)

80

40
y = 50,04x-0.045
R² = 0,9601
20

Beban (kgf)

96,01%) sehingga cukup baik untuk menduga besarnya beban
patah pada jangka waktu pembebanan tertentu.
(12)
P  50,04T 0.045
Catatan : P = beban permanen (kgf),
T = waktu patah (tahun)
Saat pengujian lentur statis kayu saninten, diperoleh hasil
rata-rata beban patah (Pmaks) sebesar 140,35 kg sehingga
rasio (K) antara beban permanen dengan beban patah dapat
disajikan menjadi Persamaan 13.
P
K
 0,3565T 0,045
(13)
Pmaks
Oleh karena K adalah rasio beban permanen dengan
beban maksimum pada pengujian lentur statis maka nilai K
equivalen dengan rasio tegangan permanen dengan Modulus
of Rupture (SR) hasil pengujian lentur statis. (Persamaan 14)

P

K
(14)
Pmaks S R
Seperti disampaikan sebelumnya kerusakan kayu Saninten
telah terjadi hingga kedalaman 4,37 mm akibat beban tetap
serta degradasi oleh faktor lingkungan baik biologis maupun
non biologis selama jangka waktu penggunaan 17 tahun. Jika
laju degradasi ini diasumsikan linier, maka momen inersia (I)
penampang semakin rendah dengan berjalannya waktu (T).
Degradasi momen inersia disajikan pada Persamaan 15.

10
0.001

1

1000

1000000 1E+09

1E+12

1E+15

Waktu Patah (Tahun)

Gambar 6. Kurva waktu patah pembebanan dan beban
permanen
Secara umum, tegangan lentur lazim disajikan dalam
Persamaan 17:
Mc

(17)
I
Simbol c adalah centroid, yaitu setengah dari tinggi
penampang balok, sehingga rasio tegangan lentur yang bisa
ditahan setelah pemberian beban dalam jangka waktu tertentu
dibandingkan dengan nilai saat ini adalah :

 nanti M 12 h  417,37 T  I kini

 kini
M 12 h
I nanti

(18)

yang dapat disederhanakan menjadi Persamaan 19 :

 nanti
bh2

 kini b  0,2572T h  0,2572T 2

(19)

Selanjutnya dengan mengkombinasikan Persamaan 14
dengan Persamaan 19 dapat diperoleh rasio kekuatan kayu
nanti dibandingkan kini adalah :


SR



b  0,2572T h  0,2572T 2 0,3565T 0,045
bh2

(20)

Oleh karena modulus of rupture (SR) rata-rata hasil pengujian
reng rumah depan yang terbuat dari kayu Saninten adalah 669
kg/cm2 (Tabel 3), maka tegangan lentur maksimum yang
masih dapat diterima dalam jangka waktu tertentu di masa
datang adalah :



b  0,2572T h  0,2572T 2 238,48T 0,045

(21)
bh2
Perhitungan mekanika teknik dari Persamaan 6 sampai
Persamaan 21 telah dilakukan pula dalam penelitian ini untuk
tiga jenis kayu yang lain yang digunakan untuk reng atau kaso,
sehingga diperoleh Persamaan 22, 23, dan 24 berturut-turut
untuk kaso rumah depan (Kamper), reng rumah belakang
(Bentawas), dan kaso rumah belakang (Meranti):

Index Kondisi Bangunan dan Sisa Masa Pakai Kayu



b  0,4625T h  0,4625T 2 285,21T 0,006

21

(22)

2

bh
b  0,2656T h  0,2656T 2 292,12T 0,004
(23)

bh2
b  0,2926T h  0,2926T 2 260,97T 0,023
(24)

bh2
Persamaan 21, 22, 23, dan 24 dapat disajikan dalam bentuk
tabulasi seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Estimasi waktu patah setiap komponen rangka atap
(kaso/reng) jika menerima tegangan aktual tertentu.

Waktu
σaktual (kg/cm2) yang diberikan
Patah
Reng
Kaso
Reng
Kaso
(tahun) Depan (3/5) Depan (5/7) Belakang (3/5) Belakang (5/7)
1
196.17
225.76
238.72
225.59
2
154.13
174.35
191.50
190.45
3
120.57
131.60
150.94
160.47
4
92.86
96.45
116.36
134.28
5
69.92
68.08
87.25
111.31
6
51.06
45.74
63.11
91.21
7
35.77
28.71
43.49
73.72
8
23.62
16.28
27.95
58.62
9
14.22
7.75
16.03
45.70
10
7.23
2.43
7.29
34.78

Jika bangunan rumah telah dibangun secara efisien, maka
tegangan aktual di lapangan dapat diasumsikan sama dengan
tegangan izin kayunya. Sesuai dengan rumus berat jenis yang
ditetapkan PKKI NI-5 Tahun 1961, tegangan izin lentur
keempat jenis kayu yang digunakan untuk reng dan kaso
rumah sederhana yang diteliti disajikan pada Tabel 6.
Apabila kayu mendapatkan tegangan aktual sesuai dengan
nilai tegangan izinnya, maka sisa masa pakai kayu dapat
diestimasi dengan membaca Tabel 5. Hasil estimasi sisa
masa pakai tersebut disajikan pada Tabel 6. Seperti terlihat
pada kolom terakhir pada Tabel 6, rumah bagian depan harus
direnovasi pada waktu tiga tahun ke depan, sedangkan rumah
bagian belakang masih aman digunakan hingga lima tahun
mendatang. Estimasi ini dipilih pada kondisi paling aman
karena contoh uji diambil dari bagian yang mengalami rusak
paling parah, dan beban aktual diambil sesuai dengan
tegangan izinnya.
Tabel 6. Nilai tegangan izin dan estimasi sisa pakai kayu
komponen rumah sederhana
Contoh Uji

Jenis Kayu

σ izin = σaktual Sisa Masa Pakai
(kg/cm2)
Kayu (Tahun)

Saninten
(Castanopsis sp.)
Kamper
Kaso Depan
(Dryobalanops sp.)
Bentawas
Reng Belakang
(Wrightia.sp)

85,0

4

107,1

3

81,6

5

Kaso Belakang Meranti (Shorea.sp)

64,6

7

Reng Depan

KESIMPULAN
Bangunan rumah tinggal sederhana di Komplek Alam
Sinar Sari E213 Bogor memiliki umur yang berbeda sehingga
kondisi saat ini dinilai memiliki dua nilai indeks kondisi. Nilai
indeks kondisi bangunan sebesar 67,6% diberikan untuk
rumah bagian depan yang dibangun tahun 1996, sedangkan
kondisi rumah bagian belakang yang dibangun tahun 2002
masih lebih baik daripada bagian depan sehingga mendapat
nilai sebesar 80,2%. Capaian nilai indeks kondisi tersebut
menggambarkan rumah tersebut, baik bagian depan maupun
belakang, berada dalam kondisi sedang (61%-80%).
Identifikasi jenis kayu memperlihatkan bahwa rumah bagian
depan menggunakan kayu Saninten (Castanopsis sp.) sebagai
reng dan Kamper (Dryobalanops sp.) sebagai kaso.
Sedangkan rumah bagian belakang menggunakan kayu
Bentawas (Wrightia sp.) sebagai reng dan kayu Meranti
(Shorea sp.) sebagai kaso. Perhitungan sisa masa pakai
kayu komponen penyusun struktur atap rumah tersebut,
menunjukkan bahwa komponen kayu rumah bagian depan dan
belakang berturut-turut masih aman digunakan sampai tiga
dan lima tahun mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Biro Pusat Statistik. (2011). Statistik Kabupaten Bogor,
BPS, Jakarta.
Ba, N., Thin, N.N., Tonanon, N. dan Sudo, S., 1995. Wrightia
R.Br.In: Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I. and
Wong, W.C. (Editors). Plant Resources of South-East
Asia No. 5(2): Timber trees; Minor commercial
timbers. Backhuys Publisher, Leiden, The
Netherlands.
Bahtiar, E.T., Nugroho, N., Arinana, dan Darwis, A. (2012).
“Pendugaan Sisa Umur Pakai Kayu Komponen
Cooling Tower di Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi (PLTP) Unit II Kamojang.” Jurnal Teknik Sipil,
Vol.19, No. 2, Agustus, hal 103-114, Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan ITB, Bandung.
Barbara, M. (2000). “Creep of beams of wood and wood-based
materials under transverse load”. Proceeding of World
Conference on Timber Engineering. British Columbia,
31 July – 3 August 2000, Whistler Resort Canada.
Bazant, Z.P., and Meiri, S. (1985). “Measurement of
compression creep of wood at humidity changes.”
Wood Sci. Technol, Vol. 19, No. 2, hal179-182,
Springer-Verlag, New York USA.
Gowda, C., Kortesmaa, M., and Ranta-Maunus, A. (1996).
“Long term creep tests on timber beams in heated and
non-heated environments”. VTT Building Technology,
Technical Research Center of Findland.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)

22

Hoffmeyer, P. (1990). “Failure of wood as influenced by
moisture and duration of load.” Doctoral dissertation.
College of Environmental Science and Forestry, State
University of New York, Syracuse, N.Y., USA.
Kasmudjo. (2010). Teknologi Hasil Hutan, Cakrawala Media,
Yogyakarta.
Leivo, M. (1992). “Modeling the creep for the wood structures.”
Rakenteinden Mekaniika, Vol. 25 No. 2, hal 39-57,
Finnish Association for Structural Mechanics, Finland.
Mandang, Y.I. dan Pandit I.K.N. (2002). Pedoman Identifikasi
Jenis Kayu di Lapangan, Yayasan Prosea, Bogor.
Mardikanto, T.R., Karlinasari, L., dan Bahtiar, E.T. (2011). Sifat
Mekanis Kayu, IPB Press, Bogor.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)

Bahtiar, et al

Martawijaya, A., dan Kartasujana, I., (2005). Atlas Kayu
Indonesia, Departemen Kehutanan, Bogor.
Sulaiman (2005). “Keterandalan Konstruksi Bangunan
Pendidikan (Studi Kasus pada Gedung Sekolah
Dasar).” Thesis, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Suryadi, D. 2005. “Kekokohan Konstruksi Bangunan Sekolah
Dasar Negeri (Studi Kasus :Kec. Cibarusah Kab.
Bekasi).” Skripsi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan,
Bogor.
Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. (1978).
Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI) NI-5
1961. Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat
Jenderal Ciptakarya.