KONSEP INTEGRASI ILMU DAN AGAMA

KONSEP INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Oleh: Dr. A. Ilyas Ismazil, MA1

A. Latar Belakang Masalah
Pada era baru sekarang, diskursus mengenai integrasi ilmu dan
agama makin penting dan menarik. Integrasi atau integralisme dikaui
sebagai salah satu ciri abad baru ini.2 Jika era modern menekankan
spesialisasi, maka era passcamodern justru menekankan integralisme
yang dapat menghilangkan sekat-sekat pembatas tak hanya dalam arti
fisik teritorial, melainkan juga dalam arti yang lebih luas seperti
hilangnya batas-batas disiplin keilmuan yang selama ini dijaga dan
dipertahankan secara ketat.3 Pendekatan dan epistemolgi keilmuan pun
cenderung bergeser dari pendekatan dikotomik-atomistik ke arah
pendekatan inter bahkan multidisipliner.4
Dalam konteks ini, pembahasan dan pengembangan ilmu tidak mungkin
berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan persoalan-persoalan lain,
termasuk agama. Sebaliknya, pembahasan mengenai agama tidak akan
pernah lepas dari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini, intergrasi ilmu dan agama
menjadi penting untuk dibicarakan. Ilmu yang pada hakekatnya
Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN

Syarif Hidayatullah / Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam
As-Syafi`iyah (UIA) Jakarta
1

H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2004), cwt.ke-1, h. 1525
3
Ibid.
4
M. Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN
Sunan Kalijaga: Dari Pendekatan Dikotomistik-Atomistik ke Arah Integratif
Interdisciplinary” dalam Zainal Abidin Bagir et all, (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), cet.ke-1, h. 234-266.
2

mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal
yang bersifat seharusnya (moral, agama). Misalnya, pertanyaan, untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas-batas
wewenang penjelajajahan keilmuan? Ke arah mana pengembangan
keilmuan harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kini

menjadi penting, dan untuk menjawabnya para ilmuan mau tak mau harus
berpaling pada moral dan agama. Ini berarti diskusi menegnai integrasi
ilmu dan agama merupakan sesuatu yang tak terelakkan.5
Dalam

Islam,

wahyu

pertama

yang

diterima

Nabi

saw

mengisyaratkan tuntutan integrasi ini. Perintah iqra’ menghendaki

pengembangan

ilmu,

sedangkan

bi

ism

rabbik,

menghendaki

pengembangan moral (agama). Atas dasar ini, menurut Armahedi
Mahzar,6 pengembangan ilmu dan peradaban Islam kurun awal pada masa
Bani Umayyah dan Abbasiyah bersifat integrasi (integrated). Bahkan
tema integrasi (al-taufiq bain al-din wa al-falsafah) ini menjadi issu
sentral dalam pengembangan pemikiraan dan fislafat Islam sejak masa alKindi, yang diakui sebagai filososf Muslim pertama, hingga mencapai
puncaknya di masa Ibn Rusyd.7

Ketika itu, perbincangan mengenai integrasi dapat dilihat dalam
pembahasan mengenai akal dan wahyu (al-`aql wa al-naql) atau
Pada masa lalu, khususnya dalam sejarah Barat Kristen, memang terjadi
konflik besar antara agama (greja) dan ilmu, terutama setelah kasus Copernicus dan
Galileo. Sejak itu, di Barat, ilmu terus melepaskan diri dari pengaruh agama. Namun,
pada abad modern sekarang, ilmu tak dapat melepaskan diri dari moral atau logos dari
etos. Lihat Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1990), cet.ke-1. h. 229-233. Lihat juga N. Daljoeni, ”Hubungan Etika
dengan Ilmu” dalam Jujun S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), cet.ke-1,
h, 233-235.
6
Armahedi Mahzar, “Integrasi Sains dan Agama,” dalam Zainal Abidin Bagir
et all, (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, op.cit. h. 92-111.
7
Madjid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1987), cet.ke-1, h. 374-383. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 14-20.
5


mengenai agama (al-din) dan filsafat (al-falsafah). Al-Kindi, misalnya,
mencoba menunjukkan titik temu, interaksi (Barbour), atau kontak (John
Fought) antara ilmu (filsafat) dan agama. Menurut al-Kindi, filsafat
membicarakan dan berusaha menemukan kebenaran (al-haqq). Agama
juga membicarakan kebenaran yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Dalam filsafat (Islam), pembicaraan mengenai tuhan atau kebenaran yang
pertama (al-haqq al-awwal) dipandang sebagai pembahasan paling
penting. Demikian pula, tuhan merupakan ide paling pokok dalam agama.
Berikutnya,

agama

sendiri

menyuruh

manusia

agar


berpikir,

menggunakan akal dan nalarnya secara cerdas. Oleh sebab itu, menurut
al-Kindi, belajar sains dan filsafat tidak dilarang dalam agama, bahkan
merupakan suatu keharusan agar manusia mampu memahami hakekat
dan realitas di balik tabir kehidupan alam dan sosial, serta agar ia mampu
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan
baik.8
Gagasan tentang integrasi agama dan filsafat ini terus berkembang
di dunia Islam hingga mnecapai puncaknya di tangan Ibn Rusyd. Filosof
Muslim yang bergelar “al-Syarih” (komentator filsafat Aristoteles) ini
dapat dikatakan telah menjawab tuntas soal integrasi agama dan filsafat
dalam bukunya yang masyhur, “Fashl al-Maqal fi ma bain al-syari`ah
wa al-hikmah min al-Ittishal.”

Dalam buku ini dan dalam beberapa

tulisannya yang lain, Ibn Rusyd memberikan penjelasan tentang
hubungan dan harmonisasi antara agama dan filsafat. Hubungan antar
keduanya, bagi Ibn Rusyd, hanya menimbulkan tiga kemungkinan saja.

Kemungkinan pertama, temuan akal (filsafat) sama dengan apa yang
diajarkan agama. Jadi, dalam kasus ini, tidak ada petentangan
(kontradiksi). Kemungkinan kedua, temun akal secara lahiriah berbeda
Ibid., h. 109- 145. Lihat juga Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke-1, h. 14-20.
8

atau berlawanan dengan wahyu (agama). Perbedaan ini bisa direkonsiliasi
dengan jalan ta’wil, yaitu pemikiran mendalam sehingga dicapai
keselarasan. Jadi, dalam kasus ini, pertentangan hanya bersifat lahiriah
atau permukaan. Karena hanya bersifat lahiriah, maka pertentangan
dalam kasus kedua ini pada hakekatnya tidak ada. Kemungkinan ketiga,
temuan akal belum pernah disebutkan dalam nash, yaitu masalah atau
pemikiran mengenai masalah yang maskut `anh (didiamkan alias tidak
pernah dibicarakan dalam al-Qur’an dan al-Hadits baik secara langsung
maupun tidak langsung). Dalam kasus yang ketiga ini, menurut Ibn
Rusyd, tidak boleh dikatakan ada kontradiksi lantaran nash tidak
berbicara.
Sangat disayangkan, semangat dan budaya keilmuan yang
integrated ini praktis terhenti di kalagan Muslim Sunni di wilayah atau

kawasan Timur Islam pada era kemunduran, yaitu sejak jatuhnya
Baghdad pada tahun 1258 M9 hingga abad XIX atau bahkan abad XX M.
Sepanjang kurun itu tradisi dan kultur keilmuan Islam berubah menjadi
“dikotomis-atomistik,” yang memisahkan secara vis a vis ilmu-ilmu
agama (`ulum al-din) dan ilmu-ilmu umum (sains dan filsafat). Pada masa
ini pula, pengertian ilmu diredusir menjadi hanya ilmu agama, dan
menghormatan Islam kepada ilmuan (ulu al-`ilm, uli al-albab, uli alabshar, uli al-nuha) mengalami penyempitan makna pula, yaitu hanya
kepada ulama yang dalam kultur Indonesia menyempit lagi hanya kepada
faqih, yaitu kyai yang menguasai bidang hukum Islam, khususnya fiqh
al-`ibadat, yang meliputi bidang thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji
saja.
Kota Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan dan peradaban Islam
ketika itu jatuh untuk pertama kalinya oleh serbuan bangsa Mongol di bawah pimpina
Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, penakluk dari Timur yang terkenal kejam dan
bengis. Kota Bghdad jatuh untuk kedua kalinya oleh serbuan tentara Amerika dan
sekutu-sekutunya pada tahun 2004 yang kemudian mengakhiri pemerintahan Presiden
Saddam Husein di Irak.
9

Pada periode modern, sejak paruh kedua abad XIX hingga

sepanjang abad XX, kesadaran tentang perlunya integrasi atau lebih
tepatnya reintegrasi ilmu dan agama dimunculkan kembali oleh para
pemikir pembaharuan Islam, seperti Jamaluddi al-Afghani, Syekh
Muhammad Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan, Rasyid Ridha, dan para
cendekiawan Muslim lainnya di berbagai negeri Islam, termasuk di
Indonesia. Pada era baru sekarang sejak menjelang pergantian abad XX
hingga permulaan abad XXI saat ini, wacana integrasi ilmu dan agama
makin muncul ke permukaan, terlebih lagi untuk kasus Indonesia, setelah
enam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) melakukan transformasi
menjadi Universitas Islam

Negeri (UIN) dimulai oleh UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002, lalu berturut-turut, UIN Suka
Yogyakarta, UIN Malang, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, UIN
Alauddin Makasar, dan terakhir UIN Sultan Syarif Kasim Riau.
Transformasi ke enam Institusi Pendidikan Tinggi Islam ini tentu
dimaksudkan untuk lebih mendorong kemajuan dan peningkatan
penguasaan umat Islam terhadap sains dan teknologi di samping
penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama (`ulum al-din) yang menjadi main

mandate-nya. Melalui transformasi ini, diharapkan integrasi ilmu dan
agama dapat dibangun dan dikembangkan sesuai kebutuhan dan
tantangan zaman.
B. Makna dan Ruang Lingkup Integrasi
Integrasi dipahami sebagai usaha pemaduan antara ilmu dan
agama, merupakan lawan dari pemisahan. Perpaduan atau keterpaduan
(integrasi)

di

sini

tidak

dimaksudkan

sebagai

peleburan


atau

pencampuradukan anatara ilmu dan agama, karena entitas masing-masing
tetap ada dan dijaga. Idenatitas dan watak dari keduanya, ilmu dan
agama, tidaklah hilang. Integrasi adalah upaya memposisikan ilmu dan

agama secara sehat dan konstruktif dalam arti kontributif bagi kemajuan
ilmu dan agama, bukan “ayatisasi” dengan cara mencocok-cocokan ayatayat al-Qur’an dengan temuan-temuan sains modern. Yang terakhir ini
disinyalir merupakan upaya integrasi yang kurang valid dan tidak
konstruktif.10
Untuk lebih memperjelas makna integrasi, perlu dikemukakan di
sini pandangan para pakar mengenai hubungan ilmu dan agama yang
dapat dikelompokkan ke dalam empat madzhab sebagai berikut ini.
Pertama, pandangan yang mempertentangkan antara ilmu dan agama.
Keduanya dianggap saling berlawanan bahkan saling bermusushan.
Pandangan ini dinamai madzhab konflik.
Kedua, pandangan yang menempatkan ilmu pada satu wilayah dan agama
pada wilayah yang lain. Keduanya tidak ada keterkaitan dan hubugan
karena masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Pandangan ini dikenal
dengan madzhab independent dalam pandangan Barbour dan kontras
dalam pandangan John F Haught.
Ketiga, pandangan yang melihat ada keterkaitan dan hubungan antara
ilmu dan agama. Keterkaitan ini dianggap penting karena kesadaran
bahwa keduanya sesungguhnya bisa salng memberikan pengaruh.
Pandangan ini disebut madzhab dialog atau kontak.
Lalu,

keempat,

pandangan

yang

menekankan

“pertemuan”

dan

“keterpaduan” pada “akar”, yaitu asumsi metafisis keilmuan menyangkut
alam yang menjadi objek kajian ilmu. Sains, seperti dikatakan Golshoni,
mau tak mau, mesti berasumsi bahwa alam yang menjadi objek kajiannya
adalah alam yang rasional, teratur dan memiliki hukum-hukum. Pada
dirinya sendiri sains tidak dapat memberikan asumsi ini. Dalam sains
sekuler, ini menjadi semacam “iman” yang tak perlu dibuktikan meskipun
(mau tak mau) harus diyakini. Tanpa keyakinan bahwa ada hukum yang
Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, op.cit., h. h. 18-20.

10

berlaku secara teratur, maka tak ada dasar konseptual bagi pengembangan
teori-teori ilmiah. Di sinilah, menurut Golshani, senada dengan Haught,
agama dapat menjadi dasar untuk kerja sains. 11 Pandangan demikian
dinamai madzhab integrasi dan konfirmasi. Dari sini, agama dapat
dijadikan sebagai dasar dan landasan kerja ilmu, sehingga membawa
kebaikan dan kemaslahatan bagi keduanya, ilmu dan agama. Pandangan
ini dinamai madzhab integrasi dalam pandangan Barbour dan konfirmasi
dalam pandangan Haught.12
Dari empat madzhab di atas, tampak jelas bahwa ide integrasi tidak
mewakili dua madzhab yang pertama, konflik dan independent, tetapi
mewakili dua madzhab yang terakhir, dialog dan integrasi. Meskipun
sama-sama penggagas integrasi, tetapi bentuk dan model integrasi yang
ditawarkan bisa beragam dan berbeda-beda. Untuk itu, berikut dijelaskan
beberapa model integrasi yang pernah dicoba dan dikembangkan di dunia
Islam, termasuk di Indonesia.
C. Model-model Integrasi
Sebagai ikhtiar untuk mencapai kemajuan dalam penguasaan sains dan
teknologi, agenda integrasi ilmu dan agama pada dasarnya sudah lama
menjadi pembicaraan di kalangan kaum muslim, khususnya sejak gerakan
reformasi dan pembaharuan Islam dicanangkan di dunia Islam sejak abad
XIX hingga sekarang ini. Untuk itu, hemat saya, gagasan integrasi telah
berjalan melalui empat tahap seperti berikut ini:
Tahap pertama, integrasi dalam bentuk penyadaran kepada umat Islam
tentang pentingnya sains modern bagi kemajuan kaum muslim.13 Upaya
Ibid. h. 23.
Ibid. Lihat juga, John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari
Konflik ke Dialog, terj. Ftansiskus Bargias, (Bandung: Mizan, 004), cet.ke-1, h. 1-32.
13
Tentang modernisme Islam di Mesir dan tokoh-tokohnya secara lebih dalam
sejak penghujung abad XVIII hingga abad XX, lihat Albert Hourani, Arabic Thought
in the Liberal Age 1798-1939, (London: Cambridge University Press, 1983).
11

12

ini telah dilakaukan sejak abad XIX hingga permulaan abad XX oleh para
pembaharu Muslim yang mula-mula seperti Tahtawi, Syekh Sayyid
Jamaluddin al-Afgani, Syekh Muhammad Abduh di Mesir, dan Sir
Sayyid Ahmad Khan di India. Mereka mengembangkan paham modern di
dunia Islam dan mendorong kaum Muslim agar menguasi sains modern. 14
Tema besar yang menjadi perhatian mereka, seperti ddikatakan Nazih N
Ayubi, adalah berupaya untuk memodernkan Islam (stiving to modernize
Islam) dengan menganjurkan agar umat Islam menerima dan mengambil
sains dan teknologi modern yang telah menjadi pangkal kemajuan Barat
sekarang.15
Pada masa ini, respon yang diberikan intelektual Muslim tidak tunggal.
Selain kelompok yang positif seperti dikemukakan di atas, terdapat pula
kelompok yang negatif alias menolak sains Barat, karena dianggap
bertentangan dengan tradisi dan budaya Islam. Alasan lainnya, mereka
memandang sains modern berasal dan tumbuh di Barat, sedangkan Barat
adalah kaum kafir, musuh Islam yang menjajah negeri-negeri Islam.
Maka mengambil sains adalah haram, lantaran mengandung makna
berteman dan bekerjasama dengan musuh (Barat). Namun, seperti
diketahui modernisme terus berlangsung di negeri-negeri Islam, dan
dalam perkembangannya boleh dikatakan tidak ada lagi

kelompok-

kelompok Islam yang menolak sains modern. Ini berarti, integrasi ilmu
dan agama pada tahap awal ini terus berlangsung. Upaya integrasi
dilakukan, antara lain, dengan memasukkan kurikulum umum ke
sekolah/perguruan tinggi agama, dan sebaliknya memasukkan kurikulum
Bandingkan dengan Harusn Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah
Pemikiran dan Pergerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
14
Dikehendaki dengan sains modern adalah kajian-kajian tentang alam dan
juga sosial yang berkembang atau dikembankan di dunia Barat sejak abad XVII M.
Perkembangan sains modern telah berlngsung kurang lebih tiga abab.
15
Nazih N Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World,
London, New York, Routledge, 1991. h. 230-231 A. Ilyas Ismail, Paradigma
Dakwah, op.cit., h. 62.

agama ke sekolah/perguruan tinggi umum. Inilah program integrasi yang
dahulu dilakukan oleh Syekh Muhammad Abduh sewaktu beliau menjadi
mufti pendidikan di al-Azhar Mesir. Model integrasi macam ini kemudian
ditiru di negeri-negri Islam lain, termasuk Indonesia. Di Indonesia, model
integrasi ini masih terus berjalan hingga sekarang, terutama di pesantren
dan sekolah-sekolah agama yang diselenggarakan di bawah naungan
Departemen Agama.
Pada zamannya, usaha ini dianggap penting karena sebagian besar kaum
muslim pada masa itu, seperti telah disinggung di atas, masih melarang
dan memandang haram sains modern. Namun, pada perkembangan lebih
lanjut, integrasi model ini dianggap tidak memadai lagi. Apa yang
dilakukan Abduh dianggap oleh pemikir dan pembaharu Islam
sesudahnya, seperti al-Faruqi dan Fazlur Rahman, sebagai kegiatan
tambal sulam yang tidak membawa dan menghasilkan integrasi ilmu dan
agama dalam arti yang sesungguhnya. Tak heran bila kemudian datang
era integrasi tahap berikutnya, yaitu tahap islamisasi.
Tahap kedua, yaitu islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana digagas
oleh Ismaail Raji al-Faruqi seperti telah dikemukakan di atas16 Integrasi
model ini didorong oleh banyak faktor, internal dan eksternal skaligus.
Secara internal, umat Islam dirasakan belum beranjak dari ketertinggalan.
Upaya integrasi yang dilakukan seperti disinggung di muka belum
banyak membawa kemajuan. Sementara secara eksternal, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat tidak hanya membawa berkah, tetapi
juga laknat atau “kutukan” bagi manusia. Ini dapat dilihat dari
Uraian lebih dalam tentang n islamisasi ilmu bisa dibaca, antara lain, S.M.N
al-`Attas, Islam and Secularism, The Positive Aspects of Tasawwuf: Preliminary
Thought on an Islamic Philoshopy os Science, Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge: General Principles and Work Plan (Virginia International Institute of
Islamic Thought, 1982); Tauhid: It’s Implication for Thought and Life, (Virginia
International Institute of Islamic Thought, 1982); Syed Hossen Nasr, Man and Nature,
Science and Civilization in Islam, dan Islamic Cosmological Doctrines.
16

penyalahgunaan senjata pembunuh massal, produk teknologi modern,
yang digunakan pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Belum lagi,
ancaman “kiamat kubra” sewaktu perang dingin yang melibatkan dua
negara adidaya ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ini sangat
memprihatinkan dan mencemaskan, sekaligus suatu ironi. Manusia dibuat
ketakutan oleh kemajuan yang diciptakan sendiri. Kata Sayyid Hossen
Nashr, manusia modern telah membakar dirinya

dengan api yang

dinyalakan oleh tangannya sendiri.17 Dampak lain ialah munculanya pola
hidup baru yang bersifat materialistik, sekularistik, dan hedonistik yang
menimbulkan penjajahan dan pengerusakan terhadap alam dan ekosistem
yang kesemuanya dirsakan mengganggu ketentraman dan kedamaian bagi
kehidupan manusia di muka bumi. Kenyataan ini dipandang tidak sesuai
dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan secara umum. Maka, ilmu
yang berbicara sesuatu menurut senyatanya (objektif) mulai dikaitkaitkan dengan sesuatu yang seharusnya dan sebaiknya (normatif,
tuntutan moral dan agama).

18

Mula-mula tuntuan ini berlaku pada

penggunaan ilmu (aksiologi), belakangan berkembang pada aspek
metafisika keilmuaan (ontologi) dan epistemologinya sekaligus. Secara
konseptual, integrasi model islamisasi ini “bernafsu” untuk melakukan
islamisasi pada aspek-aspek keilmuan di atas secara mendasar dan
fundamental.
Islamisasi ilmu, seperti telah dipaparkan sebelumnya, digagas untuk
pertama kalinya oleh Ismail Raji al-Faruqi, pemikir asal Palestina yang
tinggal dan menetap di Pheladelphia Amerika Serikat. Ilmu (sains Barat)
Seyyed Hossein Nasr mengibaratkan kehidupan seperti roda. Dalam roda itu
terdapat poros yang merupakan pusat eksistensi, sumber segala yang ada (sentrum),
yaitu Tuhan. Dari poros itu ada jari-jari penghubung. Manusia modern, kata Nasr,
berada di ujung jari-jari itu (pheri-pheri) yang menggambarkan posisi dan
keberadannya yang sangat jauh dari pusat kehidupan, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.
Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man,(London and New
York: Longman Group Ltd., 1975), cet. ke-1, h. 4-5.
18
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, op.cit., h. 229-230
17

dalam pandangan al-Faruqi, harus diislamkan, karena ditemukan banyak
hal yang menyimpang dari nilai-nilai dan world view Islam. Islamisasi,
bagi al-Faruqi, bermakna merombak konsep dan paradigma keilmuan
sesuai dengan pandangan dasar Islam baik menyangkut metafisika ilmu
(ontology), metode dan cara kerja ilmu (epistemology), maupun
penggunaan (aksiologi)-nya. Bagi al-Faruqi, ilmu tidak bebas nilai (not
free of values), tetapi penuh dengan nilai-nilai dan budaya dari dan di
mana ilmu itu dikembangkan. Dalam bukunya, Islamization of
Knowledge, al-Faruqi memaparkan langkah-langkah strategis dan teknis
untuk kerja islamisasi ini, termasuk misalnya rencana penulisan ulang
buku daras (buku ajar) untuk sekolah/perguruan tinggi Islam.19 Untuk
mendukung

projek

besar

Islamisasi

ini,

al-Faruqi

membentuk

International Institute of Islamic thought (III-T). Selain al-Faruqi, tokoh
lain yang sejalan dan mendukung gagasan islamisasi ini adalah Naquib
al-Atas, tokoh dan pemikir pendidikan Islam modern dari Malaysia.
Malah, menurut orang-orang Malaysia, islamisasi ilmu itu sessunguhnya
adalah ide original dari al-Atas yang dicuri dan dipublikasikan oleh alFaruqi. Seperti al-Faruqi, al-Atas banyak mengkritik sains Barat. Dalam
beberapa tulisannya, ia menganjurkan agar dilakukan “dewesternisasi”
ilmu, istilah yang kurang lebih sama maknanya dengan islamisasi. ilmu.
Bila al-Faruqi mendirikan III-T, al-Atas membangun Institute of Islamic
Science and Civilization (Istac) di Malaysia.. Sesuai namanya, Institusi
ini dimaksudkan untuk mendukung cita-cita al-Atas, yaitu membangun
dan mengembangkan sains dan peradaban Islam yang maju dan modern.20

Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles
and Work Plan (Virginia International Institute of Islamic Thought, 1982) dan Tauhid:
It’s Implication for Thought and Life, (Virginia International Institute of Islamic
Thought, 1982). Lihat juga Osman Bakar, Tauhid dan Sains, op.cit., h.234-235.
20
Abuddin Nata, Metodologi Study Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 405-432
19

Gagasan islamisasi ini mendapat banyak tanggapan, baik yang pro
maupun kontra. Banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit pula yang
menentang. Di antara yang menolak adalah Fazlur Rahman. Bagi
Rahman, islamisasi ilmu tidak perlu dan bahkan tidak mungkin
dilakukan, karena ilmu pada dasarnya adalah bebas nilai (Free of Values),
teurtama pada aspek ontology dan epistemologinya. Pemberian nilai
hanya dimungkinkan pada aspek penggunaan (aksiologi)-nya saja. Untuk
itu, menurut Rahman, islamisasi seperti diusulkan al-Faruqi, tidak perlu,
tetapi yang perlu dilakukan adalah menyiapkan sitem etik dan moral yang
kuat untuk menangkal dampak-dampak negatif yang mungkin timbul
karena kemajuan sains dan teknologi. Dalam soal ini, Harun Nasution dan
juga Nurcholish Madjid berpandangan sama dengan Rahman. Pada
kenyataannya, islamisasi seperti diusulkan al-Faruqi, memang kurang
berkembang, malahan terjebak pada “ayatisasi,” yaitu mencocok-cocokan
ayat-ayat al-Qur’an dengan temuan sains modern. Usaha semacam ini,
dinilai oleh kelompok yang menentang sebagai kerja yang mubadzir,
merupakan upaya integrasi yang kurang valid dan sekaligus kurang
konstruktif dan produktif.21 Menurut Dawam Rahardjo, islamisasi yang
diprakarsai oleh III-T, baru berjalan pada tahap memberikan nilai-nilai
moral dan etika pada rumpun ilmu-ilmu sosial (social sciences). Diakui
sendiri oleh Dawam, pemberian nilai seperti itu tidak terbayangkan pada
rumpun ilmu-ilmu alam (natural sciences), karena wataknya yang amat
objektif dan empirik. Pada perkembangannya, gagasan islamisasi lebih
dipahami sebagai issu politis (idelogis), dari pada akademik, lantaran
memunculkan adanya sains Islam dan sains bukan Islam (sekuler). Oleh
sebab itu, lalu timbul gagasan pengilmuan Islam, yang merupakan
antitesis dari pengislaman ilmu (islamisasi).
Lik Wilardjo, “Hipotetikalitas: Ketidakpastian dan Pilihan Etis” dalam Zainal
Abidin Bagir, (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama, op.cit., h. 112-125.
21

Tahap ketiga, integrasi model pengilmuan Islam. Ide ini merupakan kritik
dan sekaligus antitesis dari tesa islamisasi ilmu ala al-Faruqi. Pada
pengilmuan Islam, yang dipentingkan bukan mengislamkan ilmu, tetapi
mengilmukan Islam, dalam arti menjadikan Islam sebagai sumber
gerakan keilmuan. Di Indonesia, gagasan ini dimunculkan untuk pertama
kalinya oleh Kuntowijoyo, intelektual yang sangat inovatif dari
Yogyakarta ini. Ide ini dapat ditelusuri dari pandangan Kunto mengenai
periodisasi Islam di Indonesia. Menurut Kunto, Islam sekarang telah
bergeser dari periode ideolgi ke periode ilmu. Periode ideologi sudah
berakhir bersamaan dengan berakhirnya zaman Orde Baru. Pada periode
ideologi, Islam dipahami sebagai ideologi yang dilawankan dengan
ideologi-ideologi lain, seperti sosialisme, marxisme dan lain-lain.
Perjuangan umat pada periode ini lebih bersifat politis yang ditunjukkan,
antara lain, dalam cita-cita membangun dan mewujudkan Negara Islam.
Berlainan dengan periode ideologi, Islam pada periode ilmu, menurut
Kunto, lebih dipandang sebagai kekuatan dan gerakan keilmuan. Aktor
penting pada periode ini adalah para intelektual Islam. Orientasi
perjuangan umat pada periode ini, tidak bersifat poltis, tetapi intelektual
dalam arti membangun tradisi dan budaya keilmuan yang kuat dalam
masyarakat Islam. Dari sini diharapkan lahir teori atau ilmu yang
diturunkan dari premis-premis Qur’ani. Untuk mendukung gagasannya,
Kunto mengusulkan pengembangan epistemologi Islam yang lebih
kontekstual. Kunto mengkritik tradisi berpikir bayani, yang dinilanya
hanya berputar-putar dari teks ke teks. Tradisi brpikir bayani dianggap
kurang mampu merespon perkembangan dan kemajuan zaman. Kunto
mengusulkan pola pikir reflektif yang bergerak dari teks ke konteks, lalu
balik lagi ke teks. Teks berarti al-Qur’an, sedang konteks berarti
perkembangan sains dan teknologi serta kondisi sosial yang timbul akibat
kemajuan sains dan teknologi. Pola pikir yang bertolak dari teks ke

konteks, lalu

kembali lagi ke teks, dimaksudkan untuk mendukung

perumusan teori atau premis-premis hipotetis dari al-Qur’an. Pola pikir
ini diharapkan Kunto dapat mendukung gagasan integrasi yang
disebutnya pengilmuan Islam. Sepeniggal Kunto, gagasan ini belum
banyak diperbincangkan lagi. Selain kelihatan terlalu ideal dan rumit,
gagasan ini juga kurang didukung oleh infrastruktur keilmuan yang
memadai, yaitu penguasaan umat terhadap sain modern dan pola pikir
(epistemology) reflektif-transendental yang diusung Kunto. Di tengahtengah kemandegan ini, muncul tawaran integrasi baru yang lebih
komprehensif dan mudah-mudahan lebih mejanjikan bagi kemajuan
Islam.
Tahap keempat, integrasi ilmu dan agama era transformasi STAIN/IAIN
menjadi UIN. Transformasi ini secara umum agaknya didorong oleh
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, umat Islam masih tertinggal dalam penguasaan sains dan
teknologi. Negeri-negeri Islam sekarang ini dalam klasifikasi yang dibuat
oleh Bassam Tibi, intelektual Muslim yang kini menetap di Jerman itu,
masih tergolong “Pre-Industrial Countries”, (PIC), yaitu negara-negara
pra industri. Jadi, negeri-negeri Islam hingga kini belum masuk ke
kelompok negeri-negeri industri baru, The Newly Industrializing
Countries (NIC), seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan lainlain.22
Diakui dunia kini memasuki era baru yang disebut globalisasi. Namun,
globalisasi dalam bidang iptek sesungguhnya tidak terjadi, atau terjadi dalam arti yang
amat terbatas. Iptek dalam arti produk memang meluas dan menyebar di Negaranegara Berkembang. Namun, iptek dalam arti proses tetap dikuasai oleh Negaranegara Maju sebagai ”Agen Tunggal” penguasaan dan pengembangan iptek.
Akibatnya, sekarang terjadi konflik besar antara The dominant scientific-technolgy
western culture dan The Pre-industrial non-Western culture, sehingga masyarakat
dunia (world society) menjadi timpang alias tidak setara (non-egalitarian) atau seperti
dikatakan tokoh perdamaian Norwegia, Johan Galtung, ”Kita hidup dalam suatu
tatanan dunia yang feodal. Lihat Bassam Tibi, The Crisis of Modern Islam: A PreIndustrial Culture in the Scientific-Technological Age, (Salt Lake City: University of
Utah Press, 1988), h. 2-3.
22

Kedua, studi tentang Islam kelihatannya tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan sains dan teknologi. Al-Qur’an sendiri, dalam bahasa
Quraish Shihab, memberikan kondisi piskologis yang sangat kondusif
bagi kemajuan ilmu pengetahuan.23 Al-Qur’an menyuruh kaum Muslim
agar mempelajari tidak saja ayat-ayat Allah yang berwujud firman
(qawliyyah), tetapi juga ayat-ayat yang berwujud alam semesta
(kawniyyah).

Ilmu-ilmu

yang

digali

dari

ayat-ayat

qawliyyah

dikelompokkan dan dinamai ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyyah),
sedangkan ilmu-ilmu yang digali dari ayat-ayat kawniyyah baik alam fisik
amupun alam sosial dikelompokkan dan dinamai sains dan teknologi
(al-‘ulum wa al-teknologiyyah). Keduanya diyakini tidak pernah ada
kontradiksi, karena kedua-duanya berasal dari sumber yang sama, yaitu
Allah SWT. Klasifikasi ini tidak dimaksudkan untuk pemisahan, tetapi
pengelompokan sekadar untuk keperluan akademik. Umat Islam pada
dasarnya harus mempelajari keduanya agar memperoleh kebaikan dalam
hidupnya di dunia dan akhirat.
Ketiga, untuk memahami dan apalagi menguasai kedua kelompok
keilmuan di atas, maka Perguruan Tinggi Islam harus mempelajari dan
mengembangkan

kedua-keduanya

secara

seimbang.

Selama

ini,

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri seperti STAIN dan IAIN, sesuai
kedudukannya sebagai Sekolah Tinggi atau Institut, hanya mendalami
Meskipun Kitab suci al-Qur’an dalam pandangan Quraish bukan kitab sains,
tetapi Kitab petunjuk (hudan li al-nas), namun al-Qur’an memberikan dorongan dan
dukungan yang amat kuat untuk kemajuan ilmu dan sains. Bagi Quraish, menyadari
dukungan psikologis yang diberikan al-Qur’an ini jauh lebih penting ketimbang,
misalnya, menghitung-hitung jumlah ayat, lalu mencocok-cocokannya dengan
temuan-temuan sains modern. Hal yang terahir ini dinilai Quraish memiliki
bahayanya sendiri mengingat watak ilmu dan teori ilmiah bersifat relatif dan berubahubah dalam arti suatu teori dianggap benar sebelum datang teori baru yang
membatalkannya. Meskipun begitu, Quraish mengakui bahwa sampai saat ini tidak
ditemukan adanya pertentangan antara ayat –ayat al-Quran dan temuan-temuan atau
teori-teori besar dalam sains modern. Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,
op.cit., h.41-42.
23

kelompok ilmu-ilmu agama (al-ulum al-diniyyah). Kalaupun diajarkan
sains modern, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humanities, itu
dimaksudkan hanya sebagai penguat dan pendukung, sehingga integrasi
dalam arti yang sebenarnya tidak terjadi. Akibatnya, studi Islam yang ada
di STAIN dan IAIN, seperti berulangkali dikemukakan oleh M Amin
Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta, menjadi entitas tunggal (single entity)
atau menjadi entitas-entitas yang terisolasi (isolated entities), berdiri
sendiri, terpisah dan terlepas dari perkembangan sains modern. 24 Bagi
Amin, ini sebuah kenistaan yang tidak boleh terjadi, khususnya pada
masa-masa mendatang. Itu sebabnya, IAIN perlu ditransformasikan
menjadi UIN. Transformasi ini, menurut Amin, bukan latah atau ikutikutan, tetapi dilandasi oleh pemikiran yang dalam dan diskusi yang agak
panjang agar umat Islam menjadi bagian dari perubahan dan kemajuan
yang kini sedang berlangsung.25
Meski sama-sama bertransformasi menjadi UIN, namun model integrasi
yang dikembangkan agaknya berda-beda antara satu UIN dan UIN
lainnya. Perbedaan ini paling tidak tampak pada penekanan (stressing)
menyangkut aspek-aspek tertentu mengenai ilmu dan agama itu sendiri.
Sebagai contoh UIN Malang menekankan integrasi tak hanya pada
tataran akademik semata, tetapi juga dalam arti kepribadian muslim yang
akan dibangun. Ini dapat dilhat dari struktur keilmuan dan pembudayaan
akademik dan keagamaan yang dikembangkan di kampus ini. Struktur
keilmuan yang dikembangkan di UIN ini, seperti berulangkali
dikemukakan oleh Imam Suprayogo, mengambil analogi pohon.26 Sebuah
pohon tentu memiliki akar, batang-tubuh, dahan dan ranting, hingga daun
dan buah. Akar dimaknai sebagai alat mempelajari ilmu dan agama, yaitu
Amin Abdullah, Desain Pengembangan Akademik, op.cit. 264-265
Ibid., h. 260-261.
26
Imam Suprayogo, ”Membangun Integritas Ilmu dan Agama: Pengalaman
UIN Malang” dalam Zainal Abidin Bagir, (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama, op.cit., h.
213-219.
24
25

bahasa (Arab dan Inggris) dan filsafat ilmu (logika saintifik). Batang
berarti dasar-dasar agama, lalu dahan dan ranting bermakna disiplindisiplin ilmu yang menjadi spesialisasi, dan seterusnya daun dan buah
adalah output dari ilmu, yaitu amal shaleh dan keluhuran budi pekerti
(akhlaq al-karimah). Dengan filosofi ini, para mahasiswa setelah
menempuh studi di kampus ini, diharapkan menjadi orang-orang yang
memiliki kedalaman iman, keluasan ilmu, dan keluhuran budi pekerti.
Mereka itulah ilmuan dan kaum cerdik pandai yang dalam al-Qur’an
dinamai uli al-albab, uli al-abshar, dan uli al-nuha.
Berlainan dengan UIN Malang, UIN Yogyakarta agaknya lebih
menekankan integrasi pada tataran keilmuan dan epistemologi. Integrasi
di sini dapat dimaknai sebagai integrasi antara ilmu-ilmu agama
(Hadharat al-Nashsh) di satu pihak dan ilmu-ilmu modern (hadharat al`ilm) serta humaniora, yaitu etika dan filsafat (hadhaarat al-falsafah) di
pihak yang lain.27 Pada era sebelumnya, menurut Amin, keilmuan yang
diajarkan di IAIN merupakan entitas tunggal (single entity), atau entitasentitas yang berdiri sendiri-sendiri (isolated entities). Pada era UIN
sekarang, keilmuan yang dibangun haruslah merupakan integrasi yang
saling terkait satu dan yang lain antara hadharat al-nashsh, hadharat al`ilm, dan hadharat al-falsafat (interconnected entities). Etos keilmuan
yang menekankan interdisciplinary, sensitivitas, dan interkonetivitas
antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama dinamai Amin “Jaring
Laba-laba Keilmuan” (Teo-antroposentris-Integralistik).28 Diakui oleh
Amin, bahwa hadharat al-nashsh (penyangga budaya teks-Bayani) tidak
lagi bisa berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari hadharat al-`ilm (teknik
dan komunikasi) dan juga tidak bisa terlepas dari hadharat al-falsafah
(etik) dan juga sebaliknya. Hadharat al-`ilm (budaya ilmu), yaitu ilmuM. Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik ,” op.cit., h. 260-266.
Ibid.

27
28

ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi akan tidak punya
“karakter”, yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan
hidup, jika tidak dipandu oleh hadharat al-falsafah (etik emansipatoris)
yang kukuh. Sementara itu, hadharat al-nashsh (budaya agama yang
semata-mata mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadaharat
al-`ilm (sains dan teknologi), tanpa mengenal humanities kontemporer
sedikitpun berbahaya karena jika tidak hati-hati akan mudah terbawa arus
kearah gerakan radicalism-fundamentalis. Untuk itu, lanjut Amin,
diperlukan hadharat al-falsafah (etik yang bersifat transformative
liberatif). Begitu juga, hadharat al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa
kering jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam
teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan
dan dihadapi oleh hadharat al-`ilm (budaya ilmu-ilmu empiris-teknis)29
Inilah, menurut Amin, projek keilmuan yang diemban oleh visi dan misi
perubahan IAIN ke UIN. Dengan pendekatan “interconnected entities”
seperti dikemukakan di atas, jelaslah bahwa masing-masing rumpun ilmu
sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan
oleh

karenanya

bersedia

untuk

berdialog,

bekerjasama,

dan

memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu
lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika
masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya.
Diakui oleh Amin, “projek” ini membutuhkan upaya yang sungguhsungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan
mengorbankan

kepentingan

egoisme

sektoral

keilmuan,

menyongsong realisasi projek baru keilmuan era UIN.30

Ibid., h. 264.
Ibid., h. 266.

29
30

untuk